KARAKTERISTIK GANGGUAN PENDENGARAN
SENSORINEURAL BILATERAL KONGENITAL
PADA ANAK YANG DIDETEKSI DENGAN
PEMERIKSAAN BERA DI BAGIAN ILMU
KESEHATAN THT-KL FK UNPAD / RS PERJAN
dr.HASAN SADIKIN BANDUNG
Oleh
Yussy Afriani Dewi
Bagian llmu Kesehatan Telinga,Hidung, Tenggorok — Kepala Lehner
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Disampaikan pada The 11" Asean Orl Head & Neck Surgery Congress
Ball 23-25 August 2005KARAKTERISTIK GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL
BILATERAL KONGENITAL PADA ANAK YANG DIDETEKSI DENGAN
PEMERIKSAAN BERA DI BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FK
UNPADIRS PERJAN dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
Yussy Aftiani Dew!
Bagian Himu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok — Bedah Kepala Leher
fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RS Perjan Dr. Hasan Sadikin
Bandung
ABSTRAK
‘Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui berbagai aspek gangguan pendengaran
kongenital baik dari segi klinik maupun sosiologik.
Subjek dan Metoda : Subjek penelitian adalah anak yang dilakukan pemeriksaan
BERA di Basian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNPAD/RS PERJAN dr. HASAN
SADIKIN Bandung dengan gangguan pendengaran sensorineural bilateral
Kongenital selma periode April 2002 — April 2005. Penelitian dilakukan secara
deskriptif retrospektif.
Hasil Penelitian : Sebanyak 286 anak yang termasuk dalam penelitian terdiri dari
149 (52,1%) laki-aki dan 137 (47.9%) perempuan. Sekitar $8,8% anak terdeteksi
pada umur > 1 sampai 3 tahun. Usia anak saat dicurigai menderita gangguan
dengar mulai dari umur 5 bulan sampai 14 tahun. Tenggang waktu antara usia
pada saat mulai dicurigai adanya gangguan pendengaran sampai dilakukan
pemeriksaan BERA adalah 82 (28,7%) < 6 bulan, 72 (25.2%) antara > 6 bulan
sampai < 1 tahun, 70 (24.4%) antara > I sampai < 2 tahun. Penderita lebih banyak
berasal dari daerah perkotaan yaitu 149 (52%) anak dan sebagian besar dirajuk
oleh Spesialis THT sebanyak 129 (45%) anak. Derajat gangguan pendengaran
terbanyak adalah derajat berat sebanyak 181 (63,3%) anak dan derajat sangat
berat sebanyak 96 (33,55%) anak, sebagian besar bersifat simetris (71%), Faktor
resiko terbanyak adalah faktor resiko yang tidak dapat diidentifikasi (51,05%)
Kemudian prematur/BBLR (13,63%), asfiksia (13,29%), Hiperbilirubinemia
(8.74%), and rubella (7,34%).
Kesimpulan : Anak-anak dengan gangguan pendengaran sensorineural bilateral
kongenital lebih banyak mempunyai faktor resiko yang tidak dapat diidentifikasi.
Usia curiga pada saat anak-anak dideteksi mengalami gangguan pendengaran
‘asi tinggi. Agar deteksi dapat lebih dini, perlu peningkatan pengetahuan tenaga
‘kesehatan dan masyarakat dan perlu upaya pencegahan terhadap faktor resiko,
Kata Kunci ; Gangguan pendengaran sensorineural bilateral kongenital, anak,
BERACHARACTERISTIC OF CONGENITAL BILATERAL SENSORINEURAL,
HEARING LOSS IN CHILDREN DIAGNOSED BY BRAIN EVOKED
RESPONSE. AUDIOMETRY IN DEPARTMENT
OTORHINOLARYNGOLOGY-HEAD AND NECK SURGERY HASAN
SADIKIN HOSPITAL BANDUNG
ent of Otorhinolaryngology — Head and Neck Surgery
‘of Medicine Padjadjaran University — Hasan Sadikin General Hospital
Bandung West Java
ABSTRACT
‘Objective : The purpose of this study is to explore the clinical and sociological
characteristics of congenital bilateral sensorineural leans 10>
Subject and Methods : Subjects were children who suffer from congenital
bilateral sensorineural hearing loss diagnosed by BERA in department of ORL-
HNS Hasan Sadikin Hospital from period of April 2002 until April 2005. Data
obtained retrospectively from patient's record and presented descriptively.
Result : 286 children included in the study consist of 149 (52,196) males and 137
(47.9%) females. More (58,8%) children are detected by BERA at age of > 1-3
years. Children’s age that first suspected to have hearing disorder was between 5
months and 14 years old. The delay between suspected and diagnosis is 82
(28,7%) < 6 months, 72 (25,2%) between > 6 months - < 1 year, 70 (24.4%)
between > 1 - <2 years. Fifty-two percents (149) subject came from urban area
and 45% (129) of them were referred by ORL specialists. The degrees of hearing
loss are severe 181 (63,3%) and profound 96 (33,55%). Most cases (71%) are
symmetrical. The cause of hearing loss in 51,05% of children couldn't be
determined, 13,63% were premature/low birth weight, 13,29% were an asphyxia,
8,74% were hyperbilirubinemia, and 7,34% were rubella.
Conclusion : The risk factor for congenital bilateral sensorineural hearing loss
mostly could not be identified. Age of children when suspected to have hearing
disorder is still high. Early detection needs knowledge from health provider
officer, society, and prevention of the risk factors.
Key words : Congenital bilateral sensorineural hearing loss, child, BERA.-
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran secara garis besar dapat disebabkan oleh fakior
genetik (bawaan) dan faktor non. genetik (didapat). Gangguan pendengaran juga
bisa timbul sejak lahir (prelingual) atau timbul setelah usia tiga tahun
(postlingual) yang akan mempengaruhi kemampuan komunikasi penderita’”,
Gangguan pendengaran pada anak merupakan salah satu kelainan yang
sering timbul sejak Iahir (kongenital), umumnya tipe sensorineural, bersifat
bilateral, sebagian besar derajat berat dan sangat berat. Tahun pertama sampai
tahun ketiga kehidupan merupakan masa yang sangat penting bagi anak untuk
belajar mendengar dan mengembangkan kemampuan berbicara serta berbahasa’.
Bila gangguan pendengaran bilateral terjadi sejak lahir atau sebelum periode
perkembangan bicara (prelingual) tidak terdeteksi maka akan mengganggu
perkembangan bicara, berbahasa, dan kognitif, Deteksi dan rehabilitasi dini yang
‘epat akan memberikan peluang yang sangat besar untuk perkembangan bicara
‘dan berbahasa yang lebih baik™**.
‘Angka kejadian gangguan pendengaran sensorineural bilateral kongenital
adalah satu sampai tiga per seribu Kelahiran pada populasi perawatan bayi normal
ddan dua sampai empat per seratus bayi di perawatan intensif. Menurut perkiraan
WHO (1967) angka kejadian gangguan pendengaran jenis sensorineural bilateral
derajat berat pada anak adalah satu sampai tiga dalam seribu kelahiran*”.
Besarnya angka kejadian gangguan pendengaran sensorineural di berbagai
negara dilaporkan bervariasi. Berdasarkan perkiraan WHO di atas, maka di Jawa
Barat dengan penduduk sekitar 37 juta jiwa dan angka pertambahan penduduk
sebesar 1.8% per tahun, diperkirakan sedikitnya 600 bayi lahir dengan gangguan
pendengaran sensorineural bilateral berat.
Di negara berkembang deteksi din’ gangguan pendengaran belum berjalan
dengan sempurma, masih banyak didapati masalah pendengaran pada anak setelah
‘mencapai usia 2 tahun bahkan lebih, di usia yang seharusnya anak sudah mampu
berbicara. Alasan orang tua untuk berkonsultasi karena anaknya belum bisa
berbicara, tanpa menyadari kemungkinan penyebabnya adalah gangguanpendengaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman orang tua mengenai
pentingnya fungsi pendengaran sebagai dasar proses perkembangan bicara’
Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) 1994 menetapkan gangguan
pendengaran pada anak sebaiknya sudah dapat dideteksi pada usia tiga bulan dan
intervensi yang tepat dimulai pada usia enam bulan. Intervensi tersebut dengan
‘amplifikasi melalui pemasangan alat bantu mendengar (ABM), implantasi kohlea,
dan pendidikan khusus (terapi wicara, SLB-B) sebagai upaya rehabilitasi,
sehingga diharapkan anak dapat mencapai kemampuan berbicara dan berbahasa
yang optimal’
‘Anak dengan gangguan pendengaran yang didiagnosis secara dini
(Sebelum usia 6 bulan) dan dilakukan intervensi pada usia 6 bulan akan mencapai
perkembangan berbahasa jaub lebih baik dari pada bila dilakukan intervensi pada
usia lebih dari 6 bulan. Anak dengan gangguan pendengaran dan kognitifnya
normal, bila dilakukan intervensi sebelum atau pada usia 6 bulan akan mempunyai
Kemampuan perkembangan berbahasa normal, Anak dengan gangguan
pendengaran yang diintervensi setelah usia 6 bulan tetapi sebelum usia 36 bulan
‘mencapai perkembangan berbahasa yang hampir sama. Anak dengan gangguan
pendengaran yang mendapat pendidikan dan penatalaksanaan gangguan
pendengaran pada tahun-tahun pertama kehidupannya, memiliki peluang lebih
dari $0% untuk dapat mengikuti pendidikan secara integrasi di sekolah umum di
kemudian hari”
Deteksi dini sangat penting, terutama harus dilakukan pada anak dengan
faktor resiko gangguan pendengaran, karena 50% bayi baru lahir dengan faktor
resiko mengalami gangguan pendengaran sejak lahir. Deteksi gangguan
pendengaran pada anak dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi subjektif,
yyaitu dengan memperhatikan respon anak tethadap bunyi berupa perubahan
tingkah laku, atau dengan pemeriksaan objektif, pemeriksaan dengan peralatan
elektrofisiologik, misalnya dengan Brainstem Evoked Respon Audiometry
(BERA) dan Oro-Acoustic Emmision (AE). Kelebihan pemeriksaan BERA
adalah objektif, reliabel sehingga sangat bermanfaat pada pasien yang tidak
kooperatif, bayi, dan anak. Dengan alat ini dapat ditentukan ambang dengar secara
cobjektif, tipe gangguan pendengaran konduktif atau sensorineural dan dapat‘membantu menentukan telinga mana yang harus memakai ABM. Alat ini
‘mempunyai sensitifitas 98% dan spesifisitas 96%. Pemeriksaan OAE ideal untuk
‘menilai integritas sel rambut luar di dalam kohlea. Pemeriksaan OAE ideal untuk
skrining, karena dapat memeriksa bayi mulai usia satu hari dalam waktu beberapa
‘menit saja, tetapi tidak bisa menunjukkan ambang dengar, hanya memperkirakan
apakah anak mendengar atau tidak, sehingga perlu diperiksa lebih lanjut dengan
pemeriksaan lain seperti ERA dan audiometri*!!™!*"*
Atas dasar pertimbangan tersebut, dilakukan penelitian gangguan
pendengaran sensorineural bilateral kongenital pada anak yang didiagnosis,
dengan pemeriksaan BERA di Sub Bagian Audiologi Bagian Ilmu Kesehatan
‘THT-KL FK UNPAD/RS PERJAN dr. HASAN SADIKIN Bandung,
SUBJEK DAN METODE
Subjek penelitian adalah anak yang terdeteksi menderita gangguan
pendengaran sensorineural bilateral yang timbul sejak lahir (kongenital) dan telah
diperiksa dengan BERA di Sub Bagian Audiologi fimu Kesehatan THT-KL FK.
UNPAD/ RS PERJAN dr. HASAN SADIKIN Bandung periode April 2002-April
2008.
Bentuk dan Rancangan Penelitian
Penelitian dilaksanakan secara deskriptif-retrospektif di Bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL FK UNPADY RS PERJAN dr. HASAN SADIKIN Bandung.
Cara Pemilihan dan Ukuran Sampel
Semua anak yang dilakukan pemeriksaan BERA yang mengalami
‘gangguan pendengaran tipe sensorineural pada kedua telinga (bilateral) dan
timbul sejak lahir (Kongenital),
Cara Kerja
Semua data yang terkumpul dalam catatan medis hasil pemeriksaan BERA
dibahas dan disusun ke dalam tabel dan grafik berdasarkan‘Angka kejadian gangguan pendengaran
‘Lamanya tenggang waktu antara usia curiga dengan usia periksa
Sumber rajukan
Jenis, derajat, dan sifat gangguan pendengaran
Kemungkinan faktor resiko
oe
PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Dilakukan dengan program komputer SPSS-PC versi 12.0 for windows 98
HASIL PENELITIAN
Dilakukan penelitian mengenai gangguan pendengaran sensorineural
bilateral kongenital pada anak yang didiagnosis dengan pemeriksaan BERA di
Sub Bagian Audiologi Bagian lmu Kesehatan THT-KL/RS Perjan dr. Hasan
Sadikin Bandung periode April 2002-April 2005, Selama periode tersebut terdapat
624 anak yang diperiksa BERA umumnya karena orang tua mencurigai adanya
gangguan pendengaran dan terlambat berbicara. Dari sejumlah anak tersebut
terdapat 270 (43,3%%) anak dengan pendengaran normal dan 354 (56.7%) anak
‘dengan gangguan pendengaran. Dari 354 anak tersebut, terdapat 68 (19,2%) anak
dengan gangguan pendengaran yang tidak termasuk subjek penelitian, yaitu 24
(6.8%) anak dengan gangguan pendengaran didapat (bukan kongenital), 17 (4.89%)
anak dengan gangguan pendengaran konduktif kongenital, 27 anak (9,4%) dengan
‘gangguan pendengaran unilateral kongenital, Subjek penelitian adalah jumlah
seluruh anak dengan gangguan pendengaran kongenital bilateral adalah 286
(45.8%) anak.1, Angka kejadian gangguan pendengaran sensorineural bilateral
kongenital berdasarkan umur dan jenis kelamin
‘abel 1. Kelompok umur dan jenis kelamin
Tapas vee Takiiaks Perempuan Tamla
% %
3s oF 3105
7 24 6 ou Bo4s
343 7 4S 168588
2% 700 4ST 65227
3 80 MW 49° 7 RO
ois) sae i
Pada tabel tersebut terdapat 286 anak dengan SNHL bilateral kongenital
dengan 168 (58,8%) anak berusia antara > 1 sampai 3 tahun, 65 (22.7%) anak usia
antara > 3 tahun sampai > $ tahun, 37 (12,9%) anak berusia > S tahun, Sedangkan
anak dengan kelompok usia sangat dini dan usia dini hanya sebagian kecil, yaitu 3
(1,05%) anak dengan usia 0-6 bulan dan 13 (4,5%) anak dengan usia antara > 6
bulan sampai 1 tahun,
Pada tabel diatas juga tampak kejadian gangguan pendengaran pada
kelompok laki-laki sedikit lebih tinggi dari perempuan, yaitu 149 (52,1%) dan 137,
(479%),
2, ‘Tenggang Waktu
Grafik 1. Tenggang waktu antara usia curiga dengan usia saat diperiksa BERADidapatkan kesenjangan antara usia curiga dengan usia saat diperiksa
BERA. Sebagian besar lama kesenjangan tersebut yaity 82 (28,7%) anak
adalah < 6 bulan, 72 (25,2%) anak > 6 bulan sampai < 1 tahun, 70 (24.4%)
anak > 1 tahun sampai < 2 tahun, 33 (11,5%) > 3 tahun, dan 29 (10,19) anak
antara > 2 tahun sampai <3 tahun,
3. Sumber Rujukan
Grafik 2. Jumlah subjek penelitan berdasarkan jenis dacrah asal
Dari grafik diatas tampak 149 (52%) subjek penelitian berasal dari daerah
perkotaan, 96 (34%) subjek penelitian berasal dari daerah pedesaan, dan 41 (14%)
subjek penelitian tidak diketahui jenis daerah asalnya karena alamatnya tidak
elas.
Grafik 3, Jumlah rujukan berdasarkan sumber rujukanDidapatkan jumlah perujuk terbanyak adalah dokter spesialis THT 129
(45%) orang dan residen THT 122 (43%) orang. Terdapat 14 (5%) orang yang
dirujuk oleh dokter umum, 9 (3%) orang oleh dokter spesialis anak, dann 12 (4%)
orang perujuknya tidak tercatat atau tidak jelas
4. Derajat Gangguan Pendengaran
‘Tabel 2. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan kelompok umur
= Ringan Sedan ‘erat Sangat Borat Jumlah
a % % a
en ttn 103 toss way Sass
ee ee ee)
>3-S tahun MUM UL ll
> S tahun ct ass 37293
__ Sunita 31ST 96 as Rs 00
ee ee i a
Dari tabel diatas tampak bahwa pada semua kelompok umur angka
Kejadian gangguan pendengaran sebagian besar adalah derajat berat 181 (63,3%)
‘anak dan sangat berat 96 (33,55%) anak. Sedangkan derajat sedang 6 (2,1%) anak
dan derajat ringan 3 (1,05%) anak
Grafik 4. Derajat dan sifat gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran simetris lebih banyak dibanding dengan gangguan
pendengaran asimetris untuk seluruh derajat gangguan pendengaranGrafik 5. Derajat gangguan pendengaran dan jenis kelamin
‘nese ‘Seana Bent Sanat Sart
erat GangguanPendengaran dan Jn Katana
akan BPerempuan
‘Terdapat perbedaan derajat gangguan pendengaran antara laki-laki dan
Perempuan. Pada derajat berat perempuan (92 orang) sedikit lebih banyak dari
laki-laki (89 orang), pada derajat sangat berat laki-laki (35 orang) lebih tinggi dari
erempuan (41 orang), sedangkan pada derajat ringan dan sedang hampir sama
5. Faktor Resiko
abel 3. Faktor resiko berdasarkan derajatgangguan pendengaran
Kemunghinan | B®" Sedong—[—Berat —]— Sagat —] — Toma
Fakior Resiko =
"T* [=] @ ) me] ee] ee
Helier Ppp as} a ta a a
Rubel oe 3) as] ar ae
| Ototoksik prenatal = -~ =| 2] 7] Tf 03s 3] 105
Hipetiinabinenia | —-[ =| -] —-] 19] en5} a} aap] 5} aa
Promatu/BBLR =[ 1p e] a8] 98 0} 33] as ss
“aia =P pp] Bon 5] 38] a8 sae
Tidak dapat | 3 F053 195] ar eae} 37 Tas ae Sra
didentiiasi
Tamia SS] 6] Ba] ar] eas] 96 S58] Re To
Faktor resiko terbanyak adalah
(7.34%),
tidak dapat diidentifikasi (51,05%),
Prematur (13,63%), asfiksia (13,29%), hiperbilirubinemia (8,74%), serta rubellaGrafik 6. Jumlah faktor resiko menurut jenis kelamin
Tidak didapatkan perbedaan yang mencolok jumlah faktor resiko pada
kelompok laki-laki dan perempuan.
Grafik 7. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan faktor resiko
‘Sebagian besar faktor resiko menimbulkan gangguan pendengaran derajat
berat dan sangat berat dengan perbandingan yang bervariasi.
DISKUSI
Telah dilakukan penelitian tethadap anak-anak dengan gangguan
sensorineural bilateral kongenital yang didiagnosis dengan pemeriksaan BERA di
Sub Bagian Audiologi Bagian Ilmu Kesehatan THT KL FK UNPADYRS Perjan
dr. Hasan Sadikin Randung periode April 2002 sampai April 2005.
12Gangguan pendengaran sebagian timbul sejak lahir (kongenital) yang
bersifat bilateral sebanyak 286 anak. Sedangkan gangguan pendengaran didapat
sebanyak 24 orang, Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa gangguan
pendengaran pada anak sering kongenital dan umumnya bersifat sensorineural
bilateral’
Bila mengacu pada standar JCIH, usia diagnosis yang didapatkan pada
penelitian ini belum mencapai standar optimal karena gangguan pendengaran
kongenital pada anak harus sudah terdeteksi pada usia < 3 bulan dan dilakukan
rehabilitasi mulai usia 6 bulan. Keterlambatan diagnosis akan mengganggu
perkembangan bicara, berbahasa, kognitif anak tersebut. Bila dilakukan
rehabilitast kelompok usia < 6 bulan maka akan tercapa perkembangan bicara
dan berbahasa yang paling optimal, pada kelompok usia antara 6 bulan sampai 3
tahun mempunyai prognosa yang hampir sama tetapi kurang optimal dan
kelompok usia > 3 tahun mempunyai prognosa yang kurang baik™"”
Pada penelitian ini didapatkan kejadian gangguan pendengaran pada laki-
Jaki sedikit lebih tinggi dari perempuan. Hal ini sesuai dengan sebagian besar
negara-negara Eropa bahwa kejadian gangguan pendengaran lebih banyak
ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Selain itu didapatkan
kesenjangan antara usia curiga dengan usia saat diperiksa BERA yang sesuai
dengan Kepustakaan bahwa di negara berkembang masih banyak didapati
konsultasi gangguan pendengaran pada anak setelah mencapai usia dua tahun
bahkan lebih. Keadaan tersebut mungkin karena kurangnya pengetahuan
masyarakat khususnya orang tua akan tanda-tanda gangguan pendengaran pada
anak serta kurang mengetahui bahwa gangguan pendengaran kongenital bila tidak
ditangani secara dini akan mengganggu perkembangan berbicara dan berbahasa.
Selain itu bisa juga disebabkan karena pengetahuan petugas kesehatan yang masih
skurang’
Subjek penelitian sebagian besar dari daerah perkotaan, hal ini mungkin
kkarena pengetahuan dan Keadaan ekonomi masyarakat perkotaan lebih baik
sehingga pemeriksaan BERA lebih terjangkau, Sebagai perujuk yang terbanyak
adalah dokter spesialis THT dan dokter residen THT mungkin disebabkan karena
ebanyakan subjek langsung datang ke spesialis THT dan poli THT RSHS,
BDisamping itu mungkin juga subjek datang ke dokter umum atau ke spesialis anak
Kemudian dirujuk ke spesialis THT atau Poli THT. Tetapi pada penelitian ini tidak
‘ercatat siapa yang merujuk ke spesialis THT dan poli THT tersebut. Penelitian
Saim (1990) di Malaysia pada 122 anak dengan SNHL bilateral kongenita,urutan
Perujuk terbanyak adalah spesialis THT 42,6%, Spesialis Anak 32,8%, dan dokter
‘umum 8,2%, lain-lain 5,2%°
Jka petugas kesehatan diberbagai unit pelayanan memahami dan ikut
beperan dalam deteksi gangguan pendengaran kongenital pada anak, maka
‘ujukan ke klinik Audiologi bisa datang dari berbagai sumber.
Pada penelitian int didapatkan bahwa pada semua kelompok umur angka
Kejadian gangguan pendengaran sebagian besar adalah derajat berat dan sangat
berat Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa dersjat gangguan pendengaran
Kongenital sebagian besar adalah derajat berat dan sangat bera Sedangkan
Penelitian Saim (1990) di Malaysia mendapatkan hail sebagai berikut ringan
2.5%, sedang 16,4%, berat 16,4%, dan sangat berat 64,7942
Gangguan pendengaran simetris lebih banyak dibanding dengan yang
asimetris untuk seluruh derajat gangguan pendengaran. Hasil pemeriksaan ini
Sangat penting untuk menentukan telinga mana yang akan dipasang alat bantu
‘mendengar. Pada gangguan pendengaran asimetris telinga yang dipasang alat
bantu mendengar adalah telinga yang derajat pendengarannya lebih baik
‘Tampak urutan 4 besar dari faktor resiko yang didapatkan adalah tidak
dapat diidentfikasi (51,05%), prematur/BBLR (13,63%), asfiksia(13,29%), dan
hniperbilirubinemia (8,749), Sedangkan penelitian Saim (1990) di Malaysia
dltemukan urutan tidak dapat didentifikasi (53.39%), rubella (13,1%), prematur
(0%), dan herediter (8,296). Hasil peneltian Asad (2003), mendapatkan urutan
empat besar sebagai berikut: tidak dapat diidentifikasi (45,3%), prematur/BBLR
(17%), rubella (14,4%), dan asfiksia (9,9%),
Tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah gangguan dengar tersebut
adalah
'. Perlu diadakan upaya tindakan pencegahan/preventi’ primer terhadap
fakior resiko gangguan pendengaran Kongenital dengan imunisas,
PPemeliharaan higiene, dan nutrisi yang baik, perbaikan prakiek pelayanan
4persalinan, deteksi dan penanganan inkompatibiltas Rh, serta penyuluhan
kesehatan telinga/menghindari penggunaan obat ototoksik
2 Perlu peningkatan pengetahuan tenaga keschatan, baik dokter umum,
‘maupun paramedis, dalam hal deteksi dini dan faktor-faktor serta
perujukan anak yang dicurigai,
3. Diadakan program penyuluhan kepada masyarakat mengenai berbagai
faktor resiko gangguan pendengaran dan pentingnya deteksi din.
DAFTAR PUSTAKA
1, Djelantik BD. Progressive autosomal dominant hearing loss due to a
genetic defect on chromosome 1 in families from West Java. An
‘audiologic and genetic study (PhD thesis). Antwerp : Antwerp University,
Belgium. 1996
2. Kunst HPM, Marres H, Van Camp G, Cremes C, Non-syndromic
autosomal dominant sensorineural hearing loss: a new field of research
Clin. Otolaryngology: 1998; 23:9-17.
3. Sataloff RT, Sataloff J. Hearing loss in children. Hearing loss. 3" ed. New
‘York : Marcel Dakker, Inc. 1993,
4. Corlson DL, Rech HL. Pediatric audiology. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Bailey. 2 ed, Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998.
5. Asad. Aspek Klinik dan sosiologik gangguan pendengaran sensorineural
bilateral kongenital pada anak balita yang dideteksi dengan pemeriksaan
BERA. Tesis program pendidikan dokter spesialis limu Kesehatan THT-
KI. Bandung. 2003
6 AAP. Join committee on infant hearing 1994 position statement.
Pediatrics. 1994
7. ASHA. Audiologic screening of newbom infants who are at risk for
hearing impairment. ASHA guidelines March, 1994.
8 Abirao SF, ABR pada tumor angulus serebelopontin laporan kasus,
Konas Perhati VIL. Ujung Pandang, 1986
1s9. ano CY, Factors predictive of successful outcomer of deaf and hard of
hearing children of hearing parents. University of Colorado Website. 1998,
10, Bess, F-H, et al. Screening auditory function. Audiology the fundamentals
William and Wilkins. 1990.
11. Davis A, Wood S. The efidenfiology of childhood hearing impairment
factors relevant to planning of services. 1992
12, Finitzo-Hieber, 7. Auditory brainstem response : It’s place in infant
audiological evaluations. Sem. In speech and hear. 1982.
13. Hall J.W. Assesment of peripheral and central auditory function. Head and
‘neck surgery-otolaryngology. 2 ed. Bailey BJ. Philadelphia. 1998,
14, Maurer, MD, PhD., Philip E. Noel, MD, John A. Risey, MCD, Ronald G.
Amedee, MD, FACS, Otoacoustic emissions (OAs) - SIPAC. American
‘academy of otolaryngology-Head and Neck surgery foundation, Inc. 1991.
15. Northen, J.L. Downs, M.P. Screening for hearing disorders. Hearing and
children. 4% ed. Williams and Wilkins. 1991
16