Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KULIAH TOKSIKOLOGI

FARMAKOKINETIKA DAN STUDI KASUS KERACUNAN

BENZODIAZEPIN

Dosen Pengajar: apt. Siwi Padmasari, M. Sc.

Disusun oleh: Kelompok 11

No Nama Mahasiswa NPM Tugas


1 Nabila Febriana Satya 222205077 Mencari dasar teori, membuat
evaluasi 3-4, identifikasi kasus
2 Devi Nana Saputri 222205112 Membuat leaflet, membuat evaluasi
1-2, mencari kasus
3 Diana Anastasya N. Y 222205133 Mencari studi pustaka, identifikasi
kasus, membuat soal 5-6
4 Fillah Akbar Fahrezza 222205134 Mencari dasr teori, identifikasi
kasus, membuat soal 9-10
5 Catherine Gisya Natasha 222205136 Mencari dasar teori, membuat
P. R evaluasi 7-8
PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat
waktu tanpa adanya halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu apt. Siwi Padmasari,
M. Sc. sebagai dosen pengajar mata kuliah Toksikologi yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.
Semoga apa yang telah ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Yogyakarta, September 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................... 1
1.3 Tujuan......................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................... 2

2.1 Definisi........................................................................................................................2

2.2 Proses......................................................................................................................... 3

2.3 Pengukuran Konsntrasi Obat....................................................................................4

2.4 Benzodiazepin............................................................................................................4

2.4.1 Mekanisme Kerja Benzodiazepin.......................................................................... 5

2.4.2 Lama Kerja Benzodiazepin.................................................................................... 7

2.4.3 Farmkodinamik Benzodiazepin............................................................................ 7

2.4.4 Farmakokinetik Benzodiazepin.............................................................................8

2.4.5 Efek Benzodiazepin................................................................................................ 9

2.4.6 Ketergantungan.................................................................................................... 10

BAB III PEMBAHASAN STUDI KASUS....................................................................... 12

3.1 Identifikasi Kasus.................................................................................................... 15

BAB IV KESIMPULAN.................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 18

ii
Evaluasi......................................................................................................................... 19

LAMPIRAN LEAFLET................................................................................................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Farmakokinetika berasal dari kata pharmacon (=obat) dan kinetics (=
sesuatu yang berubah dengan pertambahan waktu). Jadi,
farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan
jumlah obat di dalam tubuh dengan bertambahnya waktu.
Farmakokinetika juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari apa
yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat.
Aplikasi konsep farmakokinetika untuk menentukan besarnya dosis
dan interval pemberian obat untuk individu sehingga diperoleh terapi
yang rasional disebut farmakokinetika klinis. Aplikasi konsep
farmakokinetika klinis merupakan salah satu pendekatan yang harus
dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya efek toksik,
meminimalkan efek samping obat, serta mengoptimalkan terapi.
Pemahaman tentang prinsip-prinsip farmakokinetika yang mencakup
proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat di dalam
tubuh dan parameternya.

1.2 Rumusan Masalah


Pada makalah ini terdapat penjelasan terkait farmakokinetika yang
mencakup proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat di
dalam tubuh. Serta penjelasan terkait kasus keracunan obat
benzodiazepine.

1.3 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu bisa memahami tentang
farmakokinetika serta memahami apa yang akan terjadi jika keracunan
benzodiazepine.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari perjalanan obat di
dalam tubuh, mulai dari absorpsi, distribusi obat ke seluruh tubuh, dan
eliminasi melalui proses metabolisme dan atau ekskresi. Deskripsi
disribusi dan eliminasi obat sering disebut disposisi obat. Karakteristik
disposisi obat merupakan suatu persyaratan penting untuk penentuan
aturan pendosisan. Pada perkembangannya farmakokinetika
direpresentasikan oleh model kompartemen yaitu model satu
kompartemen dengan rute intravaskuler (pemberian obat langsung
terhadap pembuluh darah), dan model satu kompartemen dengan rute
ekstravaskuler (pemberian obat tidak pangsung terhadap pembuluh
darah).

Gambar 1 Diagram Farmakokinetika

Hipotesis dasar farmakokinetika klinis adalah mengetahui hubungan


antara efek farmakologis atau respons toksik dengan konsentrasi obat
yang dicapai pada sirkulasi sistemik. Pada prinsipnya penerapan
farmakokinetika klinis bertujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi
atau menurunkan efek samping dan toksisitas obat pada pasien. Efek
obat selalu dihubungkan dengan konsentrasi obat pada tempat aksinya

2
atau reseptornya. Sedangkan tempat aksi obat dapat berada secara luas
di dalam tubuh, misalnya di jaringan.
Toksikokinetika adalah penerapan prinsip-prinsip farmakokinetika
untuk merancang, melakukan, dan interpretasi studi evaluasi keamanan
obat dan dalam memvalidasi dosis yang dipaparkan pada hewan.
Toksikologi klinis adalah studi efek merugikan dari obat-obat dan
senyawa-senyawa toksik (racun) dalam tubuh. Farmakokinetika suatu
obat pada pasien yang mendapat pengobatan berlebihan (intoksikasi)
dapat sangat berbeda dari farmakokinetika obat yang sama yang
diberikan pada dosis terapeutik yang lebih rendah.

2.2 Proses
Beberapa proses farmakokinetika:
1. Absorpsi
Absorpsi obat adalah proses senyawa obat dipindahkan dari tempat
absorpsinya ke dalam sirkulasi sistemik. Proses ini tergantung pada
karakteristik tempat absorpsi, aliran darah di tempat absorpsi, sifat
fisiko-kimia obat dan karakteristik produk (bentuk sediaan).
Berbagai bentuk sediaan obat dengan cara pemberiannya,
menentukan tempat absorpsi obat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi absorpsi seperti luas permukaan dinding usus,
kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan
aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya mempengaruhi laju dan
jumlah absorpsi obat.
2. Distribusi
Distribusi obat ke berbagai kompartemen cairan dan jaringan
dibatasi oleh ikatan obat dalam protein plasma, karena molekul besar
seperti kompleks protein sukar melewati membran sel. Sebaliknya,
obat bebas yang tidar terikat dan aktif mudah melewati membran sel.
Obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya
disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh, khususnya
melalui peredaran darah.

3
3. Metabolisme
Metabolisme obat terjadi di hati. Tempat metabolisme yang lain
adalah dinding usus, ginjal, paru-paru, darah, otak dan kulit, juga di
lumen kolon (oleh flora usus). Tujuan metabolisme obat adalah
mengubah obat yang non polar menjadi polar agar dapat di ekskresi
melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif
umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi
lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
4. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Selain itu ada
beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-paru,
empedu, air susu, dan usus. Selama obat di absorpsi ke dalam
sirkulasi sistemik, obat di distribusikan ke semua jaringan dalam
tubuh dan juga secara serentak di eliminasi. Eliminasi suatu obat
dapat terjadi melalui ekskresi atau biotransformasi atau kombinasi
dari keduanya.

2.3 Pengukuran Konsentrasi Obat


Pengukuran konsentrasi obat dan metabolit dalam masing-masing
material biologis menghasilkan informasi penting, seperti jumlah obat
yang tertahan dalam, atau di transport ke dalam, jaringan atau cairan,
keluaran farmakologis atau toksikologis yang mungkin dari pendosisan
obat, dan pembentukan atau transport metabolit obat. Konsentrasi suatu
obat merupakan unsur penting dalam penentuan farmakokinetika,
konsentrasi obat dapat diukur dalam sampel biologis, seperti air susu ibu,
saliva, plasma, dan urine.

2.4 Benzodiazepin
Perkembangan kimia organik heterosiklik sangat penting bagi
manusia. Memang, bagian kimia ini memungkinkan sintesis molekul
bioaktif yang digunakan dalam industri farmasi untuk pembuatan obat.

4
Dalam keluarga ini benzodiazepin telah terbukti penting secara
farmakologis karena memiliki efek ansiolitik, analgesic, antikonvulsan,
antidepresan, kataleptik, hipnotik, myorelaksan, dan obat penenang pada
sistem saraf pusat (SSP). Ini adalah kasus 7-bromo-5-(2-pyridinyl)-1,4-
benzodiazepin-2-one (bromazepam) yang dipasarkan untuk efek
anxiolytic yang kuat dan efek hipnotisnya yang efektif. Benzodiazepin
merupakan golongan ansiolitik yang digunakan sebagai terapi untuk
mengurangi ansietas akut atau agitasi. Penggunaannya tidak
direkomendasikan dalam jangka waktu panjang dengan faktor
ketergantungan, Gangguan memori, gangguan motorik, pusing, vertigo,
pandangan kabur, perubahan mood dan euforia, serta gejala putus obat.
Penggunaan benzodiazepin pada pasien ansietas dengan
penyalahgunaan obat tergolong kontroversial. Hasil dari suatu penelitian
menyebutkan bahwa penggunaan benzodiazepin pada kondisi tersebut
dapat menginduksi kecenderungan kekambuhan serta ketergantungan.
Dalam penggunaannya, efek benzodiazepine yang di ingunkan adalah
efek hipnotik-sedatif (Mendra, dkk 2021).

2.4.1 Mekanisme Kerja Benzodiazepin


GABA (γ-Amino butyric acid) merupakan transmitter inhibitory utama
yang bekerja dengan cepat. Neuron-neuron GABA secara luas
didistribusikan di dalam otak dengan kepadatan tertinggi terdapat pada
ganglia basalis, hypothalamus, amigdala, dan area limbic lainnya.
Kepentingan psikofarmakologi utama GABA adalah peranannya pada
kompleks reseptor GABAA pada aksi obat-obat golongan benzodiazepine,
barbiturate, alcohol, dan neurosteroid. Benzodiazepine berikatan pada
komplek reseptor GABAA dan memfasilitasi aksi GABA sehingga
meningkatkan frekuensi pembukaan kanal klorida (Cl). Karena golongan
ini membutuhkan GABA untuk dapat menjalankan aksinya, maka
golongan ini tidak toksik jika terjadi overdosis dibandingkan dengan
golongan barbiturate. Benzodiazepine merupakan agonis pada tempat
yang memodulasi kemampuan GABA untuk berikatan pada tempatnya.

5
Agonis memfasilitasi pengikatan GABA sedangkan antagonis
menguranginya, yang menghasilkan efek stimulasi. Benzodiazepine
menghasilkan sejumlah efek terapi dan efek sampingnya dengan
beikatan pada reseptor GABAA dan memodulasi fungsi reseptor GABA,
suatu reseptor inhibitor yang paling prolifik di dalam otak.
Benzodiazepine yang beraksi dengan reseptornya tersebut akan me-
reinforce aksi inhibisi neuron GABA-ergik, sehingga gangguan panik yang
disebabkan oleh hiperaktivitas sistem limbik tersebut dapat mereda.
Alprazolam golongan benzodiazepine potensi merupakan triazolo
benzodiazepine yaitu golongan benzodiazepine dengan cincin triazole
melekat pada strukturnya. Alprazolam bekerja pada kompleks reseptor
GABAA-Benzodiazepine. Sistem kimiawi dan reseptor GABA
menghasilkan inhibisi atau efek menenangkan Alprazolam pada sistem
saraf pusat. Benzodiazepine, khususnya alprazolam menyebabkan
supresi yang nyata pada aksis hipothalamikpituitari-adrenal.
Kemampuan terapetik alprazolam menyerupai benzodiazepine lainnya,
meliputi ansiolitik, antikonvulsan, muscle relaxant, hipnotik, dan
amnesik. Alprazolam sangat efektif digunakan pada penanganan
gangguan panik dan agoraphobia dan tampak lebih selektif pada kondisi
tersebut dibanding obat-obat golongan benzodiazepine lainnya.
Alprazolam merupakan obat yang telah mendapat persetujuan dari FDA
untuk digunakan dalam terapi jangka pendek (sampai 8 minggu)
gangguan panik, dengan atau tanpa agoraphobia. Alprazolam
direkomendasikan untuk penanganan kasus gangguan panik yang
resisten dimana tidak terdapat riwayat toleransi maupun dependensi
obat. Alprazolam secara cepat diabsorbsi dari traktus gastrointestinalis
dengan bioavailabilitas 80-100%. Puncak konsentrasi plasma dicapai
dalam waktu 1- 2 jam dan dieliminasi dari tubuh dengan waktu paruh
12-15 jam. Sebagian besar obat berikatan dengan protein plasma,
terutama albumin serum. Alprazolam akan mengalami hidrokulasi di
liver menjadi α- hidroksialprazolam, dan metabolit yang dihasilkan juga
memiliki efek farmakologis meskipun dalam jangka pendek, karena

6
secara cepat akan terkonjugasi menjadi bentuk glukoronidase yang tidak
aktif dan diekskresikan melalui urin.
(Amri, 2015)
2.4.2 Lama Kerja Benzodiazepin
Benzodiazepin dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok yaitu:
a. Long acting
Benzodiazepin dirombak dengan jalan demetilasi dan
hidroksilasi menjadi metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu
kerja) yang kemudian dirombak kembali menjadi oksazepam yang
dikonjugasi menjadi glukoronida tak aktif. Metabolit aktif desmetil
biasanya bersifat anxiolitas. Sehingga biasanya, zat long acting
digunakan sbg obat tidur walaupun efek induknya yang paling
menonjol adalah sedatif- hipnotik.
b. Short acting
Benzodiazepine di metabolisme tanpa menghasilkan zat zat
aktif. Sehingga waktu kerjanya tidak diperpanjang. Obat-obatan ini
jarang menghasilkan efek sisa karena tidak terakumulasi pada
penggunaan berulang.
c. Ultra shot acting
Benzodiazepine memiliki lama kerja yang leih pendek dari short
acting hanya kurang dari 5.5 jam. Semakin kuat zat berikatan pada
reseptornya maka semakin lama juga waktu kerjanya. Obat-obatan
yang lazim digunakan untuk gangguan tidur adalah obat golongan
benzodiazepin (kerja pendek/ masa paruh obat <10 jam misalnya
triazolam; kerja menengah/ masa paruh obat 10-20 jam: misalnya
alprazolam, lorazepam, estazolam; kerja panjang/ masa paruh
obat >20 jam: misalnya diazepam, clonazepam). Obat golongan
benzodiazepin kerja pendek efektif untuk mengatasi insomnia karena
kesulitan untuk memulai tidur (sleep-onset insomnia).

2.4.3 Farmakodinamik benzodiazepine

7
Farmakodinamik benzodiazepine terdiri dari sedasi, hipnotik,
anastesi, efek konvulsan dansebagai relaksan otot. Sedasi dapat
didefinisikan sebagai menurunnya tingkat respon stimulus dengan
penurunan dalam aktivitas dan ide spontan. Perubahan ini terjadi pada
dosis yang rendah. Zat-zat benzodiazepin dapat menimbulkan efek
hipnotik jika diberikan dalam dosis besar. Efeknya pada pola tidur
normal adalah dengan menurunkan masa laten mulainya tidur,
peningkatan lamanya tidur, penurunan lamanya tidur.

Kebanyakan zat hipnotik-sedatif sanggup menghambat


perkembangan dan penyebaran aktivitas epileptiformis dalam susunan
saraf pusat. Beberapa zat hipnotik – sedatif dalam golongan
benzodiazepin mempunyai efek inhibisi atas refleks polisinaptik dan
transmisi internunsius, dan pada dosis tinggi bisa menekan transmisi
pada sambungan neuromuskular otot rangka.

Efek pada Respirasi dan Kardiovaskular. Beberapa zat hipnotik-sedatif


dapat menimbulkan depresi pernafasan pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif. Dan pada penyakit yang melemahkan sistem
kardiovaskular bisa menyebabkan depresi kardiovaskular. Ini
kemungkinan disebabkan oleh kerja pada pusat vasomotor pada medula
oblongata. Pada dosis tinggi, kontraktilitas miokardium dan tonus
vaskular mungkin akan tertekan yang akan menyebabkan kolaps
sirkulasi. Efek terhadap respirasi dan kardiovaskular akan lebih jelas jika
diberikan secara intravena.

Pemberian benzodiazepin pada menghasilkan penekanan pada


zat endogen mirip benzodiazepin. Sehingga zat-zat ini berkurang
kadarnya saat pemberian benzodiazepin. Efek inilah yang akan
mempengaruhi ketergantungan tubuh terhadap benzodiazepin. Akan
tetapi, hal ini dapat dihindari dengan pemakaian benar dari zat-zat
turunan benzodiazepin.

8
2.4.4 Farmakokinetik Benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan basa lemah yang sangat efektif diarbsorbsi


pada pH tinggi yang ditemukan dalam duodenum. Rearbsorbsi di usus
berlangsung dengan baik karena sifat lipofil dari benzodiazepin dengan
kadar maksimal dicapai pada 1⁄2 sampai 2 jam. Kecuali pada
penggunaan klordiazepoksida, oksazepam dan lorazepam. Karena
sifatnya yang kurang lipofilik, maka kadar maksimumnya baru tercapai
pada 1-4 jam. Distribusi terutama di otak, hati dan jantung. Beberapa
diantara zat benzodiazepin mengalami siklus enterohepatik. Jika
diberikan suposituria, absorbsinya agak lambat. Tetapi bila diberikan
dalam bentuk larutan rektal khusus, absorbsinya sangat cepat. Oleh
karena itu bentuk ini sangat sering diberikan pada keadaan darurat
seperti pada kejang demam. Metabolisme di hati sangat bertanggung
jawab terhadap pembersihan dan eliminasi dari semua benzodiazepin.
Kebanyakan benzodiazepin mengalami fase oksidasi, demetilasi, dan
hidroksilasi menjadi bentuk aktif. Kemudian dikonjugasi menjadi
glukoronida oleh enzim glukoronil transferase. Kebanyakan hasil
metabolit benzodiazepin golongan long acting adalah dalam bentuk aktif
yang mempunyai waktu paruh yang lebih lama dari induknya. Sehingga
lebih dapat menyebabkan efek hangover dari pada golongan short acting
pada penggunaan dosis ganda. Yang perlu diwaspadai adalah pada
penggunaan golongan short acting lebih dapat menyebabkan efek
abstinens. Efek ini timbul karena penggunaannya dapat menekan zat
endogen. Sehingga pada penghentian mendadak, zat endogen tidak dapat
mencapai maksimal dalam waktu cepat. Sehingga terjadilah gejala
abstinens yang lebih parah daripada sebelum penggunaan zat tersebut.

2.4.5 Efek Samping benzodiazepine

Beberapa efek samping dapat timbul selama pemakaian awal. Efek


tersebut antara lain adalah rasa kantuk, pusing, nyeri kepala, mulut
kering, dan rasa pahit di mulut. Adapun efek samping lainnya seperti

9
hang over yaitu Efek sisa yang disebabkan adanya akumulasi dari sisa
metabolit aktif. Jika ini terjadi pada pengendara kendaraan bermotor,
resiko terjadinya kecelakaan meningkat lebih dari lima kali lipat.
Amnesia Retrograde yaitu efek samping ini bisa dimanfaatkan oleh
bagian bedah untuk menghilangkan sensasi ngeri karena melihat proses
pembedahan dan gejala paradoksal yaitu berupa eksitasi, gelisah, marah-
marah, mudah terangsang, dan kejang-kejang, serta ketergantungan
yaitu efek ini biasanya lebih bersifat psikologis. Timbulnya efek ini
karena timbulnya gejala abstinens yang menyebabkan pemakai merasa
lebih nyaman jika menggunakan zat ini. Jika terjadi menahun, hal ini
akan menimbulkan kompulsif. Sehingga terjadilah ketergantungan fisik.
Toleransi yaitu efek ini terjadi setelah 1-2 minggu pemakaian.

2.4.6 Ketergantungan benzodiazepn

Benzodiazepin dapat menekan produksi endogen zat yang mirip


dengan benzodiazepin. Produksi endogen ini diperlukan guna menekan
efek eksitasi dari zat-zat eksitator dalam otak. Jika zat ini tidak ada, maka
eksitasi fisiologis tidak dapat dihambat oleh inhibisi fisiologis.

Pada penggunaan benzodiazepin dalam dosis tinggi (yang


terutama digunakan untuk mendapatkan daya sedasi), benzodiazepin
akan sangat menekan produksi inhibitor endogen yang ada dalam tubuh.
Jika penggunaannya dihentikan secara mendadak, zat endogen tersebut
tidak dapat kembali ke tingkat semula sebelum ditekan oleh konsumsi
benzodiazepin. Akibatnya akan terjadi efek penarikan atau yang biasa
dikenal dengan withdrawal effects. Kadar endogen yang tidak dapat
kembali ke tingkat semula ini akan memperparah keadaan. Hal ini
dikarenakan tertekannya efek inhibisi sistem saraf pusat, sedangkan efek
zat eksogen (benzodiazepin sudah tidak ada). Akibatnya terjadi eksitasi
tanpa terhambat pada sistem saraf pusat. Keadaan ini menyebabkan efek
abstinens yaitu efek yang mirip sebelum obat diberikan.

10
Pada penggunaan yang salah efek tersebut akan terjadi. Akan
tetapi penderita akan kembali merasa nyaman saat kembali
menggunakan obat tersebut. Karena merasa nyaman setelah penggunaan
kembali obat inilah yang menyebabkan ketergantungan psikologis dan
fisik terhadap benzodiazepin. Hal inilah yang menjadi awal
ketergantungan. Semakin lama dipakai, maka akan terjadi efek kompulsif
pada pengguna. Yang lama kelamaan akan menjadi ketergantungan fisik
akibat produksi endogen tubuh yang sangat berkurang karena tertekan
oleh penggunaan benzodiazepin. Hal lain yang harus diperhatikan saat
pemberian benzodiazepin adalah bahwa obat ini mempunyai dosis letal
yang sangat tinggi dan dapat menyebabkan toleransi pada penggunaan
lebih dari 1-2 minggu. Semakin tinggi dosis yang dipakai karena adanya
toleransi, semakin tertekan pula produksi endogen zat inhibitor mirip
benzodiazepin dalam sistem saraf pusat. Sehingga efekpun akan
berlanjut. Golongan yang biasanya menyebabkan gejala abstinens adalah
golongan short acting. Efek ini timbul dikarenakan tidak adanya
perpanjangan waktu kerja akibat tidak terbentuknya metabolit aktif dari
hasil metabolisme zat benzodiazepin tersebut. Akibatnya ketika
penghentian mendadak, tertekannya zat endogen mirip benzodiazepin
tidak dapat diimbangi oleh perpanjangan waktu kerja hasil metabolitnya.
(Sholehah,2015)

11
BAB III
PEMBAHASAN STUDI KASUS

Tn. AP, laki-laki, usia 19 tahun, datang dibawa oleh ibu dan pamannya ke
Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung hari Sabtu, 27
Juli 2019 pukul 03.00 dengan keluhan mengamuk sejak dua hari yang lalu.
Pasien mengamuk dengan merusak barang di rumah dan marah-marah
kepada semua orang yang dia temui. Pasien juga dikeluhkan berbicara
sendiri, melantur saat diajak berbicara, sering memanjat plafon rumah
karena merasa keluarga pamannya ingin mencelakakan dirinya dan sulit
tidur sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit. Keluarga mengatakan
bahwa pasien sering tidak tidur saat malam hari dan berkeliaran tanpa
tujuan di rumah. Pasien mengatakan bahwa dirinya melihat hal-hal gaib
seperti bayangan jin dan mendengar bisikan yang menyuruh pasien
memberhentikan mobil-mobil untuk mengingatkan orang-orang akan kuasa
Tuhan. Pasien juga mengatakan bahwa dirinya yakin mempunyai kekuatan
untuk membaca pikiran orang lain setelah bersalaman dengan orang
tersebut.
Pasien sebelumnya baru pulang ke rumah selama sepuluh hari setelah
sebelumnya dirawat di RSJD Provinsi Lampung selama satu bulan. Setelah
lima hari berada di rumah, keluarga pasien mengaku mengundang Ustad
untuk melakukan Rukiyah kepada pasien, semenjak itu pasien mengaku
mulai berhenti minum obat dan keluhan mulai dirasakan kembali oleh pasien.
Pasien merupakan pasien poli NAPZA satu tahun yang lalu, namun setelah
dua kali kontrol, pasien berhenti berobat karena merasa sudah sehat dan
pindah ke Tangerang. Selama pasien tinggal di Tangerang, pasien mengaku
kembali menggunakan Dextrometrophan, Alprazolam dan Tramadol. Hal ini
dilakukan hampir setiap hari bersama dengan temannya. Pasien mengaku
dalam sehari bisa menghabiskan sekitar satu box Dextrometrophan dan
Tramadol, sedangkan untuk Alprazolam tergantung pemberian teman pasien.
Setelah tiga bulan berada di Tangerang, pasien mulai mengalami
perubahan perilaku dan merasakan keluhan-keluhan tersebut sehingga

12
akhirnya pasien diantar pulang oleh bibinya ke Lampung untuk kembali
berobat. Pasien mengaku sudah menggunakan Dextromethorphan, Komix, Pil
Anjing, lem Aibon dan jamur tai sapi semenjak kelas 2 SMA dan hal itu sering
dilakukan pasien bersama- sama temannya hampir setiap hari.
Riwayat tumbuh kembang pasien baik dengan pendidikan terakhir SMA,
pasien saat ini tidak bekerja namun pernah bekerja sebagai satpam di sebuah
rumah sakit dan tukang parkir. Pasien belum menikah namun memiliki
seorang pacar dengan hubungan jarak jauh. Pasien beragama Islam dan
mengaku beribadah meskipun masih tidak rutin. Riwayat kehidupan militer,
masalah psikoseksual serta riwayat keluarga dengan keluhan serupa
disangkal.
Pada pemeriksaan status mental ditemukan pasien seorang laki-laki sesuai
usia, kesadaran compos mentis, penampilan kurang rapi, cukup bersih,
perilaku normoaktif, sikap kooperatif terhadap pemeriksa, mood hipotimia,
afek terbatas, mood dan afek serasi. Pasien bicara spontan, artikulasi jelas,
volume cukup, intonasi sedang, kuantitas cukup, kualitas cukup serta
emosional. Pada persepsi ditemukan halusinasi auditorik dan halusinasi
visual, bentuk pikiran non-realistis dengan arus pikir koheren, pada isi pikir
ditemukan waham kebesaran serta wahan rujukan. Pengetahuan dan
kecerdasan pasien sesuai taraf pendidikan, daya ingat keseluruhan baik,
konsentrasi dan perhatian baik, pengendalian impuls baik, daya nilai sosial
baik, Reality Testing of Ability (RTA) terganggu, tilikan derajat II dan secara
umum jawaban pasien dapat dipercaya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
tanda-tanda vital normal, status generalis dan status neurologis juga normal.
Pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan kelainan, pemeriksaan kimia
darah ditemukan peningkatan SGOT yaitu 47 U/l. pemeriksaan widal tidak
ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan narkotika ditemukan hasil positif
Benzodiazepin. Pada pemeriksaan lainnya berupa kuisioner University of
Rhode Island Change Assessment Scale (URICA), didapatkan total 7,6 dengan
hasil fase pre- kontemplasi dan pada hasil pemeriksaan Drug Abuse
Screening Test (DAST) ditemukan skor dengan hasil tingkat keparahan
substansi. (Manullang, dkk. 2019)

13
14
Identifikasi kasus
1. Kondisi paparan zat kimia:
a. Jalur paparan: ekstravaskular (per oral)
b. Lama dan kekerapan paparan: Satu tahun lebih dan hamper setiap hari
c. Jenis paparan: Paparan kronis
d. Dosis paparan: Sehari bisa menghabiskan sekitar satu box
Dextrometrophan dan Tramadol, sedangkan untuk Alprazolam
tergantung pemberian temannya
e. Saat Paparan: Menggunakan Dextromethorpan, Komix, Pil Anjing, Lem
Aibon, dan jamur tai sapi semenjak kelas 2 SMA hampir setiap hari
2. Kondisi makhluk hidup
a. Umur: 19 tahun
b. Jenis Kelamin: laki laki
c. Pemeriksaan:
 Gula darah: peningkatan SGOT, yaitu 47 U/1
 Widal: tidak ditemukan kelainan
 Pemeriksaan narkotika: positif benzodiazepin
 Pada pemeriksaan lainnya berupa kuisioner University of Rhode
Island Change Assessment Scale (URICA), didapatkan total 7,6
dengan hasil fase pre-kontemplasi dan pada hasil pemeriksaan
Drug Abuse Screening Test (DAST) ditemukan skor dengan hasil
tingkat keparahan substansi.
 Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital normal,
status generalis dan status neurologis juga normal
 Pada pemeriksaan status mental ditemukan pasien seorang laki-
laki sesuai usia, kesadaran compos mentis, penampilan kurang
rapi, cukup bersih, perilaku normoaktif, sikap kooperatif
terhadap pemeriksaan, mood hipotimia, afek terbatas, mood dan
afek serasi. Pasien bicara spontan, artikulasi jelas, volume cukup,
intonasi sedang, kuantitas cukup, kualitas cukup serta emosional.
Pada persepsi ditemukan halusinasi auditorik dan halusinasi

15
visual, bentuk pikiran non-realistis dengan arus pikir koheren,
pada isi pikir ditemukan waham kebesaran serta wahan rujukan.
Pengetahuan dan kecerdasan pasien sesuai taraf pendidikan,
daya ingat keseluruhan baik, konsentrasi dan perhatian baik,
pengendalian impuls baik, daya nilai sosial baik.

16
BAB IV
KESIMPULAN

Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari perjalanan obat di dalam


tubuh, mulai dari absorpsi, distribusi obat ke seluruh tubuh, dan eliminasi
melalui proses metabolisme dan atau ekskresi. Deskripsi disribusi dan
eliminasi obat sering disebut disposisi obat. Benzodiazepine berikatan pada
komplek reseptor GABAA dan memfasilitasi aksi GABA sehingga
meningkatkan frekuensi pembukaan kanal klorida (Cl). Karena golongan ini
membutuhkan GABA untuk dapat menjalankan aksinya, maka golongan ini
tidak toksik jika terjadi overdosis dibandingkan dengan golongan barbiturate.
Benzodiazepine merupakan agonis pada tempat yang memodulasi
kemampuan GABA untuk berikatan pada tempatnya. Farmakodinamik
benzodiazepine terdiri dari sedasi, hipnotik, anastesi, efek konvulsan
dansebagai relaksan otot. Beberapa efek samping dapat timbul selama
pemakaian awal. Efek tersebut antara lain adalah rasa kantuk, pusing, nyeri
kepala, mulut kering, dan rasa pahit di mulut.

17
DAFTAR PUSTAKA

Amri. (2015). Farmakologi Alprazolam Dalam Mengatasi Gangguan Panik.


Jurnal Kedokteran Syiah Kuala,, 12 No. 2.

Anonim. (2014). American Society Of Healthy System Pharmacists.

Aslam, M. C. (2013). Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan


Pasien. Universitas Surabaya.

Das Gupta, R. G. (2013). Kidney Disordes. Arch Intern Med. 170(22), 2021-
2027.

Eyler, R. B. (2013). Antibiotic Dosing in Critically ill Patients with Acute


Kidney Injury. Nature Reviews Nephrology, 7 (4), 226-235.

Mahendra, d. (2021). Efektivitas dan Keamanan Terapi Benzodiazepin pada


Pasien Gangguan Ansietas dengan Riwayat Penyalahgunaan Obat,
Depatemen Farmakoloi dan Farmasi Klinik. Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada.

Manullang.Dkk. (2019). Gangguan Psikotik Akibat Penggunan Zat Psikoaktif


Multipel Pada Pria Muda Usia 19 Tahun, Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Lampung.

Shargel, L. (2013). Biofrmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi 5.


Airlangga University Press.

Sholeheh, L. (2015). Penangana Insomnia, Fakultas Kedokteran Universitas


Udayana. Denpasar.

18
Evaluasi

1. Pasien mengaku dalam sehari bisa menghabiskan sekitar satu box


Dextrometrophan dan Tramadol, sedangkan untuk Alprazolam
tergantung pemberian teman pasien. Pasien juga mengonsumsi Komix,
Pil Anjing, lem Aibon dan jamur tai sapi semenjak kelas 2 SMA.Yang
termasuk golongan obat benzodiazepin pada kalimat di atas yaitu
a. Alprazolam
b. Dextrometrophan
c. tramadol
d. Morfin
e. Kodein
2. Benzodiazepin merupakan
a. Asam
b. Basa kuat
c. Basa lemah
d. Asam kuat
e. Hidrofil
3. Benzodiazepin efektif di absorbsi pada ph tinggi yang di temukan pada
a. Usus
b. Duodenum
c. Hati
d. Ginjal
e. Paru
4. Sifat dari benzodiazepin
a. Lipofilil
b. Hidrofil
c. Polar
d. Non polar
e. Asam
5. Benzodiazepin adalah golongan obat psikotropika yang memiliki efek
a. Sedatif

19
b. Antiepilepsi
c. Antioksidan
d. Antivirus
e. Antipiretik
6. Benzodiazepin bekerja langsung pada sistem saraf pusat dan
mempengaruhi dalam pengiriman sinyal di
a. Hati
b. Ginjal
c. Usus
d. Otak
e. Jantung
7. Terdapat 4 proses yang terlibat dalam toksikokinetika, kecuali
a. Absorbsi
b. Distribusi
c. Eliminasi
d. Metabolisme
e. Disolusi
8. Kenapa absorbsi lebih baik di usus dari pada di lambung
a. Aliran darah ke lambung lebih banyak
b. Luas permukaan lambung lebih luas dari pada usus
c. Aliran darah ke usus jauh lebih banyak
d. Zat aktif di serap oleh lambung lebih banyak
e. Volume cairan usus sedikit
9. Organ utama tempat untuk metabolisme
a. Ginjal
b. Usus
c. Kulit
d. Hepar
e. Lambung
10. Eliminasi obat yang palinh cepat pada sekresi tubulus melalui
a. Ginjal
b. Keringat

20
c. Saliva
d. Fases
e. Asi

21
LAMPIRAN LEFLET

22

Anda mungkin juga menyukai