Anda di halaman 1dari 16

Di Bawah Sinar Bulan

By Nabil Fathurrahman

”Cinta itu terkadang bisa menjadi seperti angin. Kau tak dapat
melihatnya, tapi kau dapat merasakannya, dan juga, kau tidak akan pernah tahu
kapan ia datang dan kapan ia akan pergi layaknya angin yang bertiup,
membuatnya seketika meninggalkan dirimu,”

“Tanpa jejak.”

Tiba-tiba saja serangkaian kalimat itu muncul dari dalam benakku begitu
aku sedang melakukan pembayaran pada karyawan toko.

Setelah selesai, aku kemudian melangkah keluar dari minimarket dengan


sekantung makanan ringan bergelantung di tangan kananku. Astaga, andai saja aku
tidak kehabisan ide untuk tulisanku, aku pasti tidak akan repot-repot keluar ke
minimarket malam-malam seperti ini.

Begitu aku tiba di sebuah tikungan, aku kemudian berbelok untuk berjalan
melewati lorong, tanpa lampu jalan, hanya berhiaskan sinar purnama di angkasa.
Sunyi dan sepi, jendela rumah orang-orang sudah gelap, hanya beberapa kamar
yang terlihat masih menyala. Aku terus melangkah, memperhatikan setiap sisi
lorong tersebut. Syukurlah, Tidak banyak yang berubah, aku masih familiar dengan
bentuk rumah-rumah di sini karena jika tidak, bisa-bisa aku tersesat di kampung
halamanku sendiri.

Aku kembali keluar dari lorong, menapaki jalan utama. Sudah tidak ada
kendaraan yang lalu lalang, kecuali sebuah truk kontainer berukuran raksasa yang
baru saja melintas di dekatku itu, suara knalpotnya berdesing panjang dalam
keheningan, bersama sorot lampunya yang menerangi apa pun yang ada di
hadapannya . Semua aktivitas orang-orang nampaknya telah digantikan oleh tidur
yang lelap. Aspal yang biasanya hitam kini terlihat berwarna biru gelap ditimpa
cahaya bulan. Di langit di atas sana, bintang berderang, bergelantungan erat
menemani sebuah lingkaran terang yang sejak tadi mengawasiku dengan
cahayanya yang keperakan.
Sepertinya apa yang seringkali orang-orang katakan itu benar. Bahwa
sekolahmu akan lebih bagus setelah kau lulus. Aku bisa melihat perubahan
infrastruktur dari SMA-ku dulu. Penambahan lapangan olahraga, perluasan taman,
bahkan kebun atapnya dapat kulihat dari pinggir pagar.

Aku sampai di sebuah pertigaan. Tepat di depanku, sebuah taman bermain


berdiri di sudut sebuah lapangan berumput dengan lapangan bola sebagai tetangga
satu tanahnya, disusul oleh lapangan basket berukuran kecil dengan permukaan
lantai yang terbuat dari beton. Aku ingat dengan jelas tempatku bermain bola itu,
tapi, tidak dengan taman bermain dan lapangan basketnya—tempat-tempat itu
belum ada sebelumnya, dan mereka juga membangun pagar penghalang bola yang
membatasi taman dan lapangan-lapangan itu. Cukup pintar, kurasa.

“Eki no humo de mikaketa…”

Sebuah suara memecah keheningan malam itu. Sebuah alunan yang


mengiringi serangkaian kata—sekilas terdengar seperti suara hantu. Bulu kudukku
seketika meremang mendengarnya, bukan karena lagu yang dinyanyikan
melainkan suara itu pernah kudengar di suatu tempat yang lama. Sangat lama tapi
tetap membekas kuat dalam hatiku. Aku memalingkan pandanganku, melihat
sekeliling, mencoba menemukan asal suara itu. Tidak mungkin suara itu hanya
imajinasiku. Karena aku sangat mengenal pemilik suara itu.

Aku akui, aku mungkin sudah agak lupa dengan masa SMA-ku. Tapi aku
ingat satu momen dengan jelas. Momen yang tak bisa dan tak ingin kulupakan.
Masa di mana aku bertemu dengannya.

***

Suatu malam saat aku masih tinggal di sekitar sini—bersama kedua orang
tuaku, aku diam-diam menyelinap keluar dari rumahku di larut malam. Dengan
mata yang masih segar dan otak yang tidak tenang karena memikirkan kelanjutan
tulisanku. Aku berjalan-jalan sendirian, mengikuti ke mana angin membawaku.
Aku menengadah, di atasku—atap bumi—langit gelap membentang sejauh mata
memandang berhiaskan bintang yang sebanyak buih di laut. Begitu tenang sampai
suara jarum jatuh akan terdengar seperti letusan sebuah balon.
Angin menerbangkanku sampai ke depan sekolahku. Tidak ada yang spesial.
Hanya sebuah bangunan besar yang gelap. Gemboknya bergantung di salah satu
kisi-kisi pagar. Pintu berderit, aku masuk dengan santainya seperti saat jam
sekolah.

Dengan iseng, aku mendorong pintu masuk dan secara ajaib, pintunya
terbuka tanpa ada halangan sedikit pun. Jelas itu sangat aneh. Pintu utama sekolah
yang tidak terkunci di larut malam bukanlah hal umum terjadi. Aku bisa
memaklumi jika hanya pintu atau pagar yang lupa dikunci tapi untuk kedua-
duanya, rasanya ada yang tidak beres. Tidak ada satu pun lampu ruangan yang
kuperhatikan menyala tadi dan gembok juga bukan dirusak melainkan dibuka
dengan kuncinya. Apakah selama ini sekolahku memang tidak pernah mengunci
pintu depan dan pagar?

Tidak pernah disebutkan larangan untuk memasuki sekolah pada saat malam
hari. Dengan demikian, aku akan menganggap tidak ada larangan untuk itu. Tidak
ada salahnya berjalan-jalan di sekolah saat malam dan mungkin dengan itu aku
bisa mendapatkan inspirasi untuk tulisanku. Lagipula, aku tidak ada niat untuk
melakukan sesuatu yang aneh.

“Permisi,” ucapku saat melangkah masuk kemudian menutup pintu. Di kiri


dan kananku terpampang sebuah lorong gelap dan kosong yang membentang dari
sisi tembok. Tidak ada satu pun makhluk kasat mata saat itu kecuali aku yang
berdiri seperti orang bodoh di tengah lorong. Aku mulai penjelajahan malamku
dengan mengelilingi lorong ruangan semua kelas di lantai pertama terkunci. Begitu
pun dengan perpustakaan, kantor dan ruangan lainnya. Di lantai dua, semua
ruangan juga terkunci sama rapatnya. Tidak ada yang aneh. Apakah benar,
sekolahku tidak ada niat untuk mengunci pintu?

Aku kembali menaiki tangga hingga ke lantai ketiga, lantai terakhir tapi
bukan yang paling atas. Semuanya juga terkunci. Aku sampai ke salah satu sudut
bangunan melihat keluar jendela, orang-orang tidak perlu turun untuk menonton
pertandingan olahraga. Mereka bisa menontonnya dengan jelas dari lantai tiga.

“Anata kara… kurushimi o…”

Aku mendengar nyanyian, begitu lembut dan merdu, membuat sekujur


tubuhku merinding karena hanya aku satu-satunya manusia di lantai ketiga saat itu.
Suaranya tidak terlalu besar, tapi aku tahu bahwa asalnya ada di dekatku.

“Ubaeta… sono toki…”


Aku lanjut berjalan mencari asal suara itu. Tapi suara tersebut semakin
samar-samar. Kelas sedang terkunci, lantai dua kosong. Artinya hanya ada
kemungkinan terakhir, suara itu berasal dari atap.

Aku mempercepat langkahku, menaiki anak tangga. Ada satu hal yang tidak
kuketahui saat itu, yakni bahwa suara tersebut yang akan menjadi kunci utama bagi
kisah-kisah selanjutku.

“Watashi nimo… ikiteyuku…”

Pintu berderit dan nyanyian itu seketika terhenti. Dari ambang pintu,
tatapanku bertemu dengan tatapan seorang gadis di pinggir pagar atap. Angin tiba-
tiba bertiup membelai rambut panjangnya. Sangat jelas bahwa itu adalah manusia
dan bukan hantu atau sejenisnya. Selama beberapa saat, kami berdua seperti patung
yang saling menatap dalam ketidaktahuan.

Begitu aku melihat dirinya sedikit lebih lama, aku dapat dengan cepat
mengenal dirinya.

Dia adalah seorang gadis dengan tubuh kurus dan mungil, dan tidak terlalu
tinggi—sejengkal lebih pendek daripada aku. Kulitnya putih terang di bawah
siraman cahaya bulan yang juga menyinari rambut hitamnya yang tergerai, juga
kedua bola matanya yang berwarna cokelat, tampak berkilau memantulkan sinar
bulan. Ia mengenakan sebuah jaket hoodie yang membungkus dirinya, juga
mengenakan sebuah celana panjang lebar berwarna gelap kebiruan, dan dapat
kulihat ia memakai sepasang headphone yang melingkar di bagian atas kepalanya
dan menutupi kedua telinganya sementara sebelah tangannya menggenggam
sebuah handphone yang masih menyala terang.

“Heh? Fujimura-san?! Kenapa kau ada di sini?” tanyanya dengan raut


wajahnya seperti telah melihat keanehan dunia.

Aku memicingkan mata. “Yamamoto… Luna-san?” Yamamoto Luna,


seorang teman kelasku selama tiga semester. Aku kurang mengenalnya, tapi dia
cukup baik sebagai teman satu kelas. Suatu kebetulan yang aneh bertemu—berdua
—dengannya di sini.

Aku menjulurkan kepalaku, melihat sekeliling. “Yah, singkat cerita, aku


insomnia karena tidak bisa melanjutkan tulisanku dan diterbangkan oleh angin ke
sekolah yang tidak terkunci. Lalu aku memutuskan untuk menjelajahi lorong yang
gelap dan berakhir di sini karena mendengar suara nyanyian yang kurasa berasal
dari atap.”

“Kau sendiri, apa yang kau lakukan malam-malam di atas sekolah?”

Gadis yang menyanyikan lagu yang kudengar tadi lalu tertawa. “Maaf, maaf,
aku tidak mengira suaraku bisa semenakutkan itu. Kalau kau tidak keberatan, kau
boleh bergabung denganku melihat langit malam. Langit itu tidak terbatas, ada
kemungkinan kau bisa mendapatkan sesuatu darinya.”

Aku akan lakukan apa pun demi tulisanku meski harus melintasi lembah
tandus sekalipun! Lagi pula, rasa penasaranku belum terjawab semua. Aku
menutup pintu lalu duduk salah satu bangku taman atap.

“Ngomong-ngomong, Yamamoto-san, aku mengembalikan pertanyaanmu.


Kenapa kau ada di sini?”

Ia tetap menengadah, menatap lautan bintang yang membentang di atas


kami. “Aku suka langit malam. Di saat langit cerah, saat orang-orang sedang
bermimpi indah, aku akan ada di luar dan menatap angkasa.” Ujarnya dengan
tersenyum.

“Kau menjawabnya dengan kalimat yang sangat dramatis. Tapi, bukan itu
maksudku. Kenapa kau bisa sampai ke atap?” tanyaku.

“Soal itu…” Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya,


mengeluarkan sesuatu. Sebuah kunci.

“Klub astronomi punya izin khusus memasuki sekolah saat malam. Ah, soal
kau, tidak perlu khawatir. Para guru tidak perlu tahu keberadaanmu malam ini.
Lagipula aku sendiri yang ceroboh karena tidak mengunci kembali pintu depan.”

Aku mengangguk.

“Kau tidak takut naik ke sini sendirian?”

“Tidak ada alasan untuk takut,” jawabnya.

“Manusia bukan takut akan kegelapan. Mereka takut jika mereka tidak
sendirian di dalam kegelapan itu. Begitulah yang kutahu.” Ia melanjutkan sambil
angkat bahu dan kembali memutar badannya untuk memandangi langit dengan
kedua tangan bertumpu pada pagar atap, sementara membiarkan rambutnya
berkibar bebas karena embusan angin yang seketika bertiup lebih kencang dari
sebelumnya.

Memang benar, langit terlihat berbeda malam itu, rasanya begitu tenang,
pikirku. Atau apa mungkin yang aku rasakan adalah aura kebahagiaan Yamamoto-
san? Sejauh yang kupelajari, manusia bisa menularkan auranya ke manusia lain.
Seperti dalam suasana sedih yang kuat, seseorang yang instingnya tajam bisa
memunculkan rasa iba dalam hatinya.

“Yamamoto-san, aku penasaran akan satu hal,” aku menunjuk salah satu
titik kecil di angkasa.

“Bintang yang tidak berkelip itu, apa?”

Ia memicingkan mata. “Oh, itu? Itu bukan bintang, mungkin yang kau lihat
itu Pluto.”

“Pluto…” Aku bergumam. Lalu kembali mengangkat telunjukku ke langit


dan menggerakkannya untuk membentuk sebuah segitiga dari dua bintang di dekat
Pluto, menatap empat bintang yang membentuk trapesium.

“Kalau itu Nunki, maka yang di sebelahnya itu Ascella. Berarti sejak tadi
aku memandang Sagitarius. Konstelasi kecil di sampingnya adalah Corona
Australis. Dan awan tipis di dekatnya bukan awan, melainkan sedikit dari Milky
Way. Luar biasa…” Itu Pertama kalinya dalam hidupku bisa melihat sedikit dari
galaksi yang membentang di atasku setiap malam.

Kepalaku masih menengadah ke atas dan mulutku terus menggumamkan hal


acak.

“Sagitarius, salah satu bintang zodiak. Berbentuk seekor centaurus,


berdekatan dengan Pluto dan Capricornus. Padahal yang aku lihat hanya
sekumpulan titik tidak berbentuk. Aku penasaran, apakah orang dulu menarik garis
di antara titik secara acak lalu memberi nama keren kepada mereka?”

“Wow! Luar biasa, aku tidak pernah tahu kau paham soal astronomi,
Fujimura-san. Kenapa kau bisa tahu sejauh itu?” tanyanya kegirangan sambil
kedua bola matanya menatap diriku antusias dan berbinar-binar seolah terdapat
jutaan bintang di dalamnya.
“Aku tidak bisa mengakui bahwa aku pandai dalam astronomi. Semua
pengetahuan acakku adalah hasil dari hobi menulisku. Tulisan yang bagus harus
mempunyai dasar logika yang kuat. Makanya aku harus tahu soal langit jika ingin
menulis tentang langit.”

“Kau… Seorang penulis?” Tanyanya.

“Iya, begitulah…” Jawabku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Keren banget!” Sahutnya antusias sambil menepukkan tangan.

“Tapi, hanya penulis amatiran, kok—“

“Tunggu sebentar, aku akan kembali.” Ia bergegas lari masuk ke sekolah.


Terdengar suara sesuatu yang besar jatuh. Nampaknya ia sedang melompati
tangga. Nekat sekali.

Dalam sekejap ia kembali dengan sebuah teleskop bintang melingkar di


lengannya. Ia memasang dudukan teleskopnya lalu menyetel kiri dan kanan.

“Ini, silakan.” Ia mempersilahkanku melihat teleskopnya.

Sebuah bintang kecil—tidak, bintang itu besar—terlihat dengan teleskop.

“Ini…”

“Sagitarius,” potongnya.

“Atau mungkin lebih tepatnya, bagian atas sagitarius. Yah, meski


sebenarnya tidak ada atas dan bawah di luar angkasa. Jadi, yang kau lihat lebih
jauh itu Milky Way.” Lanjutnya sambil ikut melihat teleskop dengan mendekatkan
wajahnya padaku, membuatku sontak langsung menghindar.

“Luar biasa…” Gumamku sambil terus memperhatikan bintang itu dengan


mata sendiri, membiarkan gadis itu yang kini melihat dengan teleskop sementara
aku berdiri bersedekap menerima terpaan angin yang mengelus wajahku.

“Kosmik, angkasa luas, cthulhu, suasana gelap, seram… Sepertinya aku


akan mencoba menulis horor kosmik seperti yang ditulis oleh Lovecraft.”

“Tidak, tidak. Tolong jangan menulis sesuatu yang seram tentang langit.
Langit itu indah. Tidak ada hal yang menyeramkan di luar sana. “ Ia langsung
menyanggahku sembari menatapku lurus-lurus dan menggelembungkan pipinya,
terlihat sedikit kesal.

“Emmm…Mungkin.” Lanjutnya lagi setelah ia terdiam beberapa saat dan


mengerjapkan matanya beberapa kali.

Aku melepaskan diri dari teleskop dan kembali menengadah ke angkasa.

“Kau benar, langit itu indah dan memiliki kisah-kisah indah di dalamnya.
Starry Night karya Vincent Van Gogh, kisah Kaguya-hime, Tsuki no Usagi—
Kelinci Bulan, Milky Way—Bimasakti, cincin Saturnus, lagu Twinkle Twinkle
Little Star, kau benar, langit begitu indah.” Ribuan ide memasuki otakku. Aneh
sekali, padahal setiap malam aku melihat langit tapi baru kali ini langit memberiku
inspirasi. Tidak, aku salah, bukan langit, melainkan Yamamoto-san lah yang
memberitahuku semua ini.

“Aku berhutang rasa terima kasih, Yamamoto-san.”

Ia tersenyum dan menggeleng. “Kau boleh memanggilku dengan nama


depanku kalau kau mau.”

Aku menoleh padanya, dan membalas senyum gadis itu yang terlihat persis
bagaikan langit malam yang cerah, bertaburkan bintang-gemintang yang
gemerlapan menemani sang purnama di antara mereka. Aku tertawa kecil, namun,
itu hanyalah tawa canggung yang kulakukan untuk meredakan detak jantungku
yang kian semakin kencang—aku tidak tahu mengapa.

“Kau juga boleh memanggil nama depanku,”

“Luna.”

Aku pamit pulang dan langsung kembali duduk di balik meja belajarku,
membuka layar laptop yang tadinya kututup sembari meletakkan sebungkus
keripik kentang berukuran besar di sisinya. Namun, tak sampai lima menit, aku
telah tertidur pulas.

***
Paginya, seluruh tubuh serasa tertimpa seekor kerbau, sangat berat—dan aku
masih harus mengerahkan seluruh kemampuanku untuk tiba di sekolah. Aku yakin
sekali bahwa mataku sekarang pasti tampak lebih gelap dari mata milik seekor
panda. Dan begitu aku telah tiba di kelas, aku langsung merebahkan punggungku
di sandaran bangku.

“Kazuto! Oy, Kazuto!”

Aku memaksa mataku terbuka. Tepat di depan mataku Shoto dan Kimura
mencoba membangunkanku dengan mengguncang bahuku. “Kantin, kuy!”

“Tidak biasanya kau tidur di kelas. Sebaiknya kita ke kantin dan mencari
sebotol kopi untukmu.”

“Kedengarannya bagus.” Mataku terbuka semakin lebar begitu aku


mendengar Shoto menyebut kopi. Akan jadi masalah jika aku terus tertidur hingga
jam pelajaran dimulai. Aku kemudian bangkit meski kabut tebal seolah masih
menyelimuti seisi kepalaku dengan rasa kantuk yang sangat hebat.

“Oy, Kagima, kantin, nggak?” Kini Kimura mencoba membangunkan


Kagima—lelaki yang duduk di sebelahku—yang juga tampak sedang memejamkan
matanya dan menutup wajahnya dengan sebuah buku tipis. Namun, raja tidur itu
hampir tidak berkutik.

Kagima bergerak sedikit, lalu ia mengangkat jempolnya dengan mantap


tanpa mengubah posisinya.

“Yosh, aku akan melakukan apa pun demi temanku! Mari kita cari dua botol
kopi segar hingga kalian berdua akan merasa seperti baru bangun di langit! Shoto,
beri tumpangan!” Kagima berseru sembari berusaha untuk bangkit seperti orang
yang sangat lemah.

“Aku tidak mendengar ada ‘kita’ di awal kalimatmu. Dan analogimu aneh,”
keluh Shoto meski ia tetap membantu Kimura mengangkat Kagima yang berdiri
terkulai itu di punggungnya seperti sedang menggendong seorang yang baru
bangun dari pingsan. Andai masih ada tempat, aku ingin dibawa dengan cara
seperti itu dalam keadaan tidur juga.

Tepat saat di pintu, seseorang bertabrakan dengan Kimura.

“Oy, kalau jalan gunakan matamu, Kimura!” ucapnya kesal.


“Hah, apa? Kau yang pertama menabrakku, Sakurai!”

Beberapa orang perempuan kemudian muncul meleraikan mereka. Lalu


memegang lengan Sakurai yang masih mengoceh dengan Kimura. “Baiklah, cukup
sampai di situ Sakurai, maaf untuk gangguannya Kimura.”

Sesuatu yang cepat melesat tiba-tiba melewatiku saat di pintu kelas.


Terlambat sedikit saja, mungkin dalam waktu kurang dari satu menit ada yang dua
tabrakan di tempat yang sama. Orang itu berbalik menatapku. “Oh, Kazuto!”

Aku balas menyapanya. “Eh, Luna.”

“Kau tampaknya masih kurang tidur, Kazuto? Ah, untuk yang tadi malam,
itu sangat menyenangkan, terima kasih, ‘ya!” Ia berlari tanpa memedulikanku.

Aku berteriak. “Tidak perlu dipikirkan, harusnya aku yang berterima kasih.
Dan juga, jangan berlari di lorong!”

Aku lanjut berjalan, kedua teman di depanku menyipitkan mata mereka


kepadaku. Keduanya saling menatap kemudian mengangguk seirama. Mereka
meletakkan Kagima di lantai. Dengan cepat, tanganku genggam. Sesaat kemudian
punggungku sudah rapat ke tembok dengan kedua tanganku ditahan oleh kuda
temanku.

Kagima yang tiba-tiba telah kembali segar ikut bergabung bersama mereka.
“Apa maksud semua ini, Tuan Ka-Zu-To?”

“Tunggu, aku yang tidak mengerti. Dan sebenarnya, kau sudah bangun sejak
tadi?!”

“Jangan membelokkan pembicaraan, apa arti dari ‘tadi malam’ itu? Dan
bagaimana mungkin kau bisa memanggil nama depan dari Yamamoto Luna-san,
seorang ketua OSIS sekaligus cewek idola di sekolah ini, heh?” Tanyanya.

“Mencurigakan,” ucap Shoto.

“Tidak mungkin. Padahal, kukira aku bisa mempercayaimu seperti


saudaraku sendiri… Sungguh, sungguh kejam kau, Kazuto—ah, rasanya aku mau
mati saja…” Kimura memulai akting bodohnya sambil menopangkan sebelah
tangan ke tembok sementara tangan satunya lagi digerakkan seolah-olah ia sedang
mengusap air mata.
Aku menghela nafas panjang menatap teman-teman sialanku ini. “Aku
mengerti, aku mengerti. Akan kuceritakan.” Aku menuruti keinginan mereka,
menceritakan secara garis besar apa yang terjadi.

Tiba-tiba ponselku berdering, sebuah pesan masuk. Pesan itu berbunyi,


“Kalau kau mau, mampirlah sekali lagi. Aku menantikannya!” Dari Luna.

“Cih!” Tuduh mereka bertiga menatapku sinis.

“Tolong jangan mulai,” kataku.

Entah kenapa, aku benar-benar kembali pada malamnya tapi dengan


membawa buku catatanku, mempersiapkan segala kemungkinan jika ide itu kabur
dari kepalaku. Sekali lagi kami menghabiskan malam bersama di bawah langit,
bercerita hal-hal acak yang menyenangkan. Begitu pun malam selanjutnya dan
terus berlanjut. Tidak hanya di atap sekolah. Kami pergi ke mana pun selama
masih ada atap gelap di atas kami. Kami jadi semakin sering duduk bersama, kian
dekat, ikatan kami juga semakin kuat. Sampai suatu waktu aku memutuskan pergi
ke luar kota untuk melanjutkan pendidikanku.

Aku mencoba mengajaknya tapi memilih tetap tinggal di desa. Ia


menghargai keputusanku dengan tidak menghalangiku. Meski begitu, rasanya
cukup menyedihkan.

“Kita tidak benar-benar berpisah, masih ada langit yang sama menaungi
kita.” Dengan ucapan seperti itu kami berpisah selama kurang lebih tujuh tahun
lamanya. Hanya saling terhubung lewat telepon seluler.

Tapi kini aku kembali. Kembali sebagai seorang lelaki dan berada di atas
tanah yang sama.

Di bawah langit yang benar-benar sama.

***

“Tsuka no mani, yomigaeri… mitsume au…”

Sial! Aku masih belum mengetahui arah suaranya. Akan keren kalau suara
itu berasal dari langit. Tapi itu mustahil! Itu hanya ada dalam cerita fiksi! Aku
telah bersumpah, tidak akan pulang sebelum menemukan suara itu. Aku masuk ke
taman, melihat sekeliling.

Di bawah sebuah pohon, seorang gadis dewasa, dalam kegelapan bayangan


menatap ke arah luasnya langit, duduk membelakangiku sendirian di ayunan yang
terikat pada dahan pohon tersebut. Di lihat dari lebar bahunya nampaknya ia
seumuran denganku. Tidak salah lagi, dialah hantu yang bernyanyi sejak tadi!

“Doo shiteru… ima wa…” Aku bersiul, mengikuti nada lagu yang
dinyanyikannya. Ia agak tersentak tapi tetap mengacuhkan siulanku.

Aku menarik nafas, kemudian menyambung lagunya. “Arekara kimi wa…”


Gadis itu berdiri dengan tergesa-gesa. Ia perlahan keluar dari bayangan pohon. Air
mukanya seperti baru saja bertemu penulis favoritnya di sebuah supermarket. Tapi,
ia tetap seperti dulu.

Mulutnya bergetar, ia berjalan semakin cepat, untuk kemudian berlari ke


arahku.

“K—K—Kazuto?”

“Selamat malam, Luna—Ugh.” Ia menabrakku hingga telentang di tanah.


Kedua kakinya mengunci tubuhku sementara kepalaku dijitak dengan keras. Aku
merintih kesakitan.

“Adudududuh. Hei, itu sakit, tahu!” Kuncinya semakin kuat ketika aku
mencoba untuk memberontak.

“Ah? Begitu? Sekarang jelaskan alasanmu mengagetkan orang di taman


malam-malam begini!” Ia semakin semangat menjitak.

“Inikah sambutan yang pantas untukku? Pertama keluargaku yang


menghantamku—walaupun memang aku yang salah, sih, dan aku tidak inign
menceritakannya lebih lanjut, tapi, sekarang kau. Lagi pula salahmu sendiri kenapa
melamun di sana!” bantahku sambil tetap mencoba untuk melepaskan diri dari
gadis yang tingginya sekarang hanya sebatas pundakku ini.

“Kau memang pantas mendapatkannya! Kenapa kau masih menyimpan


kemampuan menyelinapmu!” Ia berseru lantang.
Yamamoto—atau sekarang dapat kupanggil sebagai Luna, berhenti
menjitakku, kunciannya melemah, dan kini kedua lengannya memutari kepalaku.
Ia menghela nafas meski tubuhnya tetap berada di atas diriku yang terbaring
terlentang di atas rerumputan.

“Ini kau! Benar-benar kau! Kalau ingin datang setidaknya kirim pesan.”
ucapnya lirih “aku hampir mengira kau mati di sana dan yang berdiri tadi adalah
hantu dirimu yang datang untuk mengucapkan selamat tinggal.”

Aku tertawa mendengar ucapannya yang agak liar itu.

“Maaf soal itu, ngomong-ngomong, tolong lepaskan tangan dan kakimu.


Rasanya seperti kau akan memisahkan kepala dan tubuhku.” Aku berkata.

“Tidak mau,” Ucapnya serius. “Kalau kulepas, prajurit bulan akan datang
lalu membawamu pergi selamanya dan melupakanku di bumi.” Lanjutnya tegas.

Aku kembali tertawa.

“Kau tahu kalau Kaguya itu perempuan, bukan? Bicara soal itu, apakah sang
ratu meminum ramuan keabadian yang diberikan oleh pangeran Kaguya? Karena
aku terkejut kau masih muda. Kukira kau sudah menjadi nenek-nenek selama aku
pergi—aduh, baiklah! Aku minta maaf!” Ia menjitakku lebih keras.

“Buku yang terakhir kau kirimkan itu jeleknya tidak main-main. Aku tidak
suka kau seenaknya memakai namaku untuk tokohmu tapi ia tidak berakhir
bersama sang kekasihnya. Aku tidak suka itu,” keluhnya, meski dapat kulihat
kedua bola matanya yang menyiratkan kekaguman, membuatku seketika dengan
jelas mengetahui bahwa sebenarnya ia sangat menyukai buku itu—setidaknya alur
ceritanya.

“Kesampingkan hal itu, apakah kau masih sering menatap langit malam?”
Tanyaku begitu aku berhenti tertawa.

“Sudah kubilang, ‘kan? Aku terikat dengan langit dan malam. Maka selama
kau melihat langit, maka aku akan ada di sisi lain menatap langit malam yang
sama. Tapi akhir-akhir ini rasa sepi menumpuk sampai aku merasa sedih ketika
menatap ke atas.” Ujarnya.

Aku tersenyum jahil menatap dia, dan membuat gadis itu kebingungan.
“Dengan kata lain, kau rindu aku, ‘kan” Aku bertanya sambil menatap
dirinya lurus-lurus, membuat gadis itu seketika melempar pandangannya ke arah
lain, sementara dapat kulihat wajahnya bersemu merah.

Kami berdua menengadah ke langit, menatap bulan. Sementara bulan pun


membalas menatap dua sejoli yang seperti dimabuk asmara.

“Bulan… tampak sangat indah malam ini ‘kan?” Ia berkata lirih, suaranya
terdengar begitu halus dan seolah seperti suara dari sebuah bisikan lirih di
telingaku.

“Kau tahu, salah satu sastrawan jepang? Natsume Soseki mengartikan


kalimat ‘aku mencintaimu’ menjadi “bulan sangat indah malam ini’.”

“Aku tahu. Memang itu maksudku.” Luna melepas lilitan tangannya, dan
kami kemudian beranjak berdiri bersamaan.

“Memang benar, bulan tampak sangat indah malam ini. Tapi, begitu aku
menatap dirimu, aku baru saja menyadari bahwa ada yang lebih indah dari itu,”
Ujarku dengan suara yang dingin dan datar, kemudian aku menolehkan wajahku
pada gadis itu, menatap dirinya lurus-lurus sembari aku melemparkan seulas
senyum padanya.

“Dan itu adalah kau,”

“Luna.”

Wajahnya semakin memerah dalam balutan sinar bulan, ia


menggelembungkan pipi dengan sedikit kesal, tapi, aku dapat merasakan kedua
lengannya melingkar pada tubuhku.

Aku menghela nafas panjang, baiklah.

Kemudian aku balas memeluk dirinya dengan lembut, membuat kepalanya


harus menempel pada pundakku, dan kedua telapak tangannya menapak pada
dadaku.

Dan ia terpejam.

“Kau juga, Kazuto. Wajahmu tampak lebih menawan daripada langit malam
saat ini…”
***

*Catatan:

Lagu yang Kazuto dengar di sekolah dan dinyanyikan oleh Luna itu adalah ”
Kokoro No Tomo”. Sementara lagu yang Luna nyanyikan ketika bertemu Kazuto
lagi adalah “Amayadori” yang keduanya dinyanyikan oleh Matsumi Itsuwa.

Sementara kalimat Soseki yang dimaksud—dalam bahasa Jepang, berbunyi


“Tsuki ga Kirei desu ne”.

***

Anda mungkin juga menyukai