Di Bawah Sinar Bulan
Di Bawah Sinar Bulan
By Nabil Fathurrahman
”Cinta itu terkadang bisa menjadi seperti angin. Kau tak dapat
melihatnya, tapi kau dapat merasakannya, dan juga, kau tidak akan pernah tahu
kapan ia datang dan kapan ia akan pergi layaknya angin yang bertiup,
membuatnya seketika meninggalkan dirimu,”
“Tanpa jejak.”
Tiba-tiba saja serangkaian kalimat itu muncul dari dalam benakku begitu
aku sedang melakukan pembayaran pada karyawan toko.
Begitu aku tiba di sebuah tikungan, aku kemudian berbelok untuk berjalan
melewati lorong, tanpa lampu jalan, hanya berhiaskan sinar purnama di angkasa.
Sunyi dan sepi, jendela rumah orang-orang sudah gelap, hanya beberapa kamar
yang terlihat masih menyala. Aku terus melangkah, memperhatikan setiap sisi
lorong tersebut. Syukurlah, Tidak banyak yang berubah, aku masih familiar dengan
bentuk rumah-rumah di sini karena jika tidak, bisa-bisa aku tersesat di kampung
halamanku sendiri.
Aku kembali keluar dari lorong, menapaki jalan utama. Sudah tidak ada
kendaraan yang lalu lalang, kecuali sebuah truk kontainer berukuran raksasa yang
baru saja melintas di dekatku itu, suara knalpotnya berdesing panjang dalam
keheningan, bersama sorot lampunya yang menerangi apa pun yang ada di
hadapannya . Semua aktivitas orang-orang nampaknya telah digantikan oleh tidur
yang lelap. Aspal yang biasanya hitam kini terlihat berwarna biru gelap ditimpa
cahaya bulan. Di langit di atas sana, bintang berderang, bergelantungan erat
menemani sebuah lingkaran terang yang sejak tadi mengawasiku dengan
cahayanya yang keperakan.
Sepertinya apa yang seringkali orang-orang katakan itu benar. Bahwa
sekolahmu akan lebih bagus setelah kau lulus. Aku bisa melihat perubahan
infrastruktur dari SMA-ku dulu. Penambahan lapangan olahraga, perluasan taman,
bahkan kebun atapnya dapat kulihat dari pinggir pagar.
Aku akui, aku mungkin sudah agak lupa dengan masa SMA-ku. Tapi aku
ingat satu momen dengan jelas. Momen yang tak bisa dan tak ingin kulupakan.
Masa di mana aku bertemu dengannya.
***
Suatu malam saat aku masih tinggal di sekitar sini—bersama kedua orang
tuaku, aku diam-diam menyelinap keluar dari rumahku di larut malam. Dengan
mata yang masih segar dan otak yang tidak tenang karena memikirkan kelanjutan
tulisanku. Aku berjalan-jalan sendirian, mengikuti ke mana angin membawaku.
Aku menengadah, di atasku—atap bumi—langit gelap membentang sejauh mata
memandang berhiaskan bintang yang sebanyak buih di laut. Begitu tenang sampai
suara jarum jatuh akan terdengar seperti letusan sebuah balon.
Angin menerbangkanku sampai ke depan sekolahku. Tidak ada yang spesial.
Hanya sebuah bangunan besar yang gelap. Gemboknya bergantung di salah satu
kisi-kisi pagar. Pintu berderit, aku masuk dengan santainya seperti saat jam
sekolah.
Dengan iseng, aku mendorong pintu masuk dan secara ajaib, pintunya
terbuka tanpa ada halangan sedikit pun. Jelas itu sangat aneh. Pintu utama sekolah
yang tidak terkunci di larut malam bukanlah hal umum terjadi. Aku bisa
memaklumi jika hanya pintu atau pagar yang lupa dikunci tapi untuk kedua-
duanya, rasanya ada yang tidak beres. Tidak ada satu pun lampu ruangan yang
kuperhatikan menyala tadi dan gembok juga bukan dirusak melainkan dibuka
dengan kuncinya. Apakah selama ini sekolahku memang tidak pernah mengunci
pintu depan dan pagar?
Tidak pernah disebutkan larangan untuk memasuki sekolah pada saat malam
hari. Dengan demikian, aku akan menganggap tidak ada larangan untuk itu. Tidak
ada salahnya berjalan-jalan di sekolah saat malam dan mungkin dengan itu aku
bisa mendapatkan inspirasi untuk tulisanku. Lagipula, aku tidak ada niat untuk
melakukan sesuatu yang aneh.
Aku kembali menaiki tangga hingga ke lantai ketiga, lantai terakhir tapi
bukan yang paling atas. Semuanya juga terkunci. Aku sampai ke salah satu sudut
bangunan melihat keluar jendela, orang-orang tidak perlu turun untuk menonton
pertandingan olahraga. Mereka bisa menontonnya dengan jelas dari lantai tiga.
Aku mempercepat langkahku, menaiki anak tangga. Ada satu hal yang tidak
kuketahui saat itu, yakni bahwa suara tersebut yang akan menjadi kunci utama bagi
kisah-kisah selanjutku.
Pintu berderit dan nyanyian itu seketika terhenti. Dari ambang pintu,
tatapanku bertemu dengan tatapan seorang gadis di pinggir pagar atap. Angin tiba-
tiba bertiup membelai rambut panjangnya. Sangat jelas bahwa itu adalah manusia
dan bukan hantu atau sejenisnya. Selama beberapa saat, kami berdua seperti patung
yang saling menatap dalam ketidaktahuan.
Begitu aku melihat dirinya sedikit lebih lama, aku dapat dengan cepat
mengenal dirinya.
Dia adalah seorang gadis dengan tubuh kurus dan mungil, dan tidak terlalu
tinggi—sejengkal lebih pendek daripada aku. Kulitnya putih terang di bawah
siraman cahaya bulan yang juga menyinari rambut hitamnya yang tergerai, juga
kedua bola matanya yang berwarna cokelat, tampak berkilau memantulkan sinar
bulan. Ia mengenakan sebuah jaket hoodie yang membungkus dirinya, juga
mengenakan sebuah celana panjang lebar berwarna gelap kebiruan, dan dapat
kulihat ia memakai sepasang headphone yang melingkar di bagian atas kepalanya
dan menutupi kedua telinganya sementara sebelah tangannya menggenggam
sebuah handphone yang masih menyala terang.
Gadis yang menyanyikan lagu yang kudengar tadi lalu tertawa. “Maaf, maaf,
aku tidak mengira suaraku bisa semenakutkan itu. Kalau kau tidak keberatan, kau
boleh bergabung denganku melihat langit malam. Langit itu tidak terbatas, ada
kemungkinan kau bisa mendapatkan sesuatu darinya.”
Aku akan lakukan apa pun demi tulisanku meski harus melintasi lembah
tandus sekalipun! Lagi pula, rasa penasaranku belum terjawab semua. Aku
menutup pintu lalu duduk salah satu bangku taman atap.
“Kau menjawabnya dengan kalimat yang sangat dramatis. Tapi, bukan itu
maksudku. Kenapa kau bisa sampai ke atap?” tanyaku.
“Klub astronomi punya izin khusus memasuki sekolah saat malam. Ah, soal
kau, tidak perlu khawatir. Para guru tidak perlu tahu keberadaanmu malam ini.
Lagipula aku sendiri yang ceroboh karena tidak mengunci kembali pintu depan.”
Aku mengangguk.
“Manusia bukan takut akan kegelapan. Mereka takut jika mereka tidak
sendirian di dalam kegelapan itu. Begitulah yang kutahu.” Ia melanjutkan sambil
angkat bahu dan kembali memutar badannya untuk memandangi langit dengan
kedua tangan bertumpu pada pagar atap, sementara membiarkan rambutnya
berkibar bebas karena embusan angin yang seketika bertiup lebih kencang dari
sebelumnya.
Memang benar, langit terlihat berbeda malam itu, rasanya begitu tenang,
pikirku. Atau apa mungkin yang aku rasakan adalah aura kebahagiaan Yamamoto-
san? Sejauh yang kupelajari, manusia bisa menularkan auranya ke manusia lain.
Seperti dalam suasana sedih yang kuat, seseorang yang instingnya tajam bisa
memunculkan rasa iba dalam hatinya.
“Yamamoto-san, aku penasaran akan satu hal,” aku menunjuk salah satu
titik kecil di angkasa.
Ia memicingkan mata. “Oh, itu? Itu bukan bintang, mungkin yang kau lihat
itu Pluto.”
“Kalau itu Nunki, maka yang di sebelahnya itu Ascella. Berarti sejak tadi
aku memandang Sagitarius. Konstelasi kecil di sampingnya adalah Corona
Australis. Dan awan tipis di dekatnya bukan awan, melainkan sedikit dari Milky
Way. Luar biasa…” Itu Pertama kalinya dalam hidupku bisa melihat sedikit dari
galaksi yang membentang di atasku setiap malam.
“Wow! Luar biasa, aku tidak pernah tahu kau paham soal astronomi,
Fujimura-san. Kenapa kau bisa tahu sejauh itu?” tanyanya kegirangan sambil
kedua bola matanya menatap diriku antusias dan berbinar-binar seolah terdapat
jutaan bintang di dalamnya.
“Aku tidak bisa mengakui bahwa aku pandai dalam astronomi. Semua
pengetahuan acakku adalah hasil dari hobi menulisku. Tulisan yang bagus harus
mempunyai dasar logika yang kuat. Makanya aku harus tahu soal langit jika ingin
menulis tentang langit.”
“Ini…”
“Sagitarius,” potongnya.
“Tidak, tidak. Tolong jangan menulis sesuatu yang seram tentang langit.
Langit itu indah. Tidak ada hal yang menyeramkan di luar sana. “ Ia langsung
menyanggahku sembari menatapku lurus-lurus dan menggelembungkan pipinya,
terlihat sedikit kesal.
“Kau benar, langit itu indah dan memiliki kisah-kisah indah di dalamnya.
Starry Night karya Vincent Van Gogh, kisah Kaguya-hime, Tsuki no Usagi—
Kelinci Bulan, Milky Way—Bimasakti, cincin Saturnus, lagu Twinkle Twinkle
Little Star, kau benar, langit begitu indah.” Ribuan ide memasuki otakku. Aneh
sekali, padahal setiap malam aku melihat langit tapi baru kali ini langit memberiku
inspirasi. Tidak, aku salah, bukan langit, melainkan Yamamoto-san lah yang
memberitahuku semua ini.
Aku menoleh padanya, dan membalas senyum gadis itu yang terlihat persis
bagaikan langit malam yang cerah, bertaburkan bintang-gemintang yang
gemerlapan menemani sang purnama di antara mereka. Aku tertawa kecil, namun,
itu hanyalah tawa canggung yang kulakukan untuk meredakan detak jantungku
yang kian semakin kencang—aku tidak tahu mengapa.
“Luna.”
Aku pamit pulang dan langsung kembali duduk di balik meja belajarku,
membuka layar laptop yang tadinya kututup sembari meletakkan sebungkus
keripik kentang berukuran besar di sisinya. Namun, tak sampai lima menit, aku
telah tertidur pulas.
***
Paginya, seluruh tubuh serasa tertimpa seekor kerbau, sangat berat—dan aku
masih harus mengerahkan seluruh kemampuanku untuk tiba di sekolah. Aku yakin
sekali bahwa mataku sekarang pasti tampak lebih gelap dari mata milik seekor
panda. Dan begitu aku telah tiba di kelas, aku langsung merebahkan punggungku
di sandaran bangku.
Aku memaksa mataku terbuka. Tepat di depan mataku Shoto dan Kimura
mencoba membangunkanku dengan mengguncang bahuku. “Kantin, kuy!”
“Tidak biasanya kau tidur di kelas. Sebaiknya kita ke kantin dan mencari
sebotol kopi untukmu.”
“Yosh, aku akan melakukan apa pun demi temanku! Mari kita cari dua botol
kopi segar hingga kalian berdua akan merasa seperti baru bangun di langit! Shoto,
beri tumpangan!” Kagima berseru sembari berusaha untuk bangkit seperti orang
yang sangat lemah.
“Aku tidak mendengar ada ‘kita’ di awal kalimatmu. Dan analogimu aneh,”
keluh Shoto meski ia tetap membantu Kimura mengangkat Kagima yang berdiri
terkulai itu di punggungnya seperti sedang menggendong seorang yang baru
bangun dari pingsan. Andai masih ada tempat, aku ingin dibawa dengan cara
seperti itu dalam keadaan tidur juga.
“Kau tampaknya masih kurang tidur, Kazuto? Ah, untuk yang tadi malam,
itu sangat menyenangkan, terima kasih, ‘ya!” Ia berlari tanpa memedulikanku.
Aku berteriak. “Tidak perlu dipikirkan, harusnya aku yang berterima kasih.
Dan juga, jangan berlari di lorong!”
Kagima yang tiba-tiba telah kembali segar ikut bergabung bersama mereka.
“Apa maksud semua ini, Tuan Ka-Zu-To?”
“Tunggu, aku yang tidak mengerti. Dan sebenarnya, kau sudah bangun sejak
tadi?!”
“Jangan membelokkan pembicaraan, apa arti dari ‘tadi malam’ itu? Dan
bagaimana mungkin kau bisa memanggil nama depan dari Yamamoto Luna-san,
seorang ketua OSIS sekaligus cewek idola di sekolah ini, heh?” Tanyanya.
“Kita tidak benar-benar berpisah, masih ada langit yang sama menaungi
kita.” Dengan ucapan seperti itu kami berpisah selama kurang lebih tujuh tahun
lamanya. Hanya saling terhubung lewat telepon seluler.
Tapi kini aku kembali. Kembali sebagai seorang lelaki dan berada di atas
tanah yang sama.
***
Sial! Aku masih belum mengetahui arah suaranya. Akan keren kalau suara
itu berasal dari langit. Tapi itu mustahil! Itu hanya ada dalam cerita fiksi! Aku
telah bersumpah, tidak akan pulang sebelum menemukan suara itu. Aku masuk ke
taman, melihat sekeliling.
“Doo shiteru… ima wa…” Aku bersiul, mengikuti nada lagu yang
dinyanyikannya. Ia agak tersentak tapi tetap mengacuhkan siulanku.
“K—K—Kazuto?”
“Adudududuh. Hei, itu sakit, tahu!” Kuncinya semakin kuat ketika aku
mencoba untuk memberontak.
“Ini kau! Benar-benar kau! Kalau ingin datang setidaknya kirim pesan.”
ucapnya lirih “aku hampir mengira kau mati di sana dan yang berdiri tadi adalah
hantu dirimu yang datang untuk mengucapkan selamat tinggal.”
“Tidak mau,” Ucapnya serius. “Kalau kulepas, prajurit bulan akan datang
lalu membawamu pergi selamanya dan melupakanku di bumi.” Lanjutnya tegas.
“Kau tahu kalau Kaguya itu perempuan, bukan? Bicara soal itu, apakah sang
ratu meminum ramuan keabadian yang diberikan oleh pangeran Kaguya? Karena
aku terkejut kau masih muda. Kukira kau sudah menjadi nenek-nenek selama aku
pergi—aduh, baiklah! Aku minta maaf!” Ia menjitakku lebih keras.
“Buku yang terakhir kau kirimkan itu jeleknya tidak main-main. Aku tidak
suka kau seenaknya memakai namaku untuk tokohmu tapi ia tidak berakhir
bersama sang kekasihnya. Aku tidak suka itu,” keluhnya, meski dapat kulihat
kedua bola matanya yang menyiratkan kekaguman, membuatku seketika dengan
jelas mengetahui bahwa sebenarnya ia sangat menyukai buku itu—setidaknya alur
ceritanya.
“Kesampingkan hal itu, apakah kau masih sering menatap langit malam?”
Tanyaku begitu aku berhenti tertawa.
“Sudah kubilang, ‘kan? Aku terikat dengan langit dan malam. Maka selama
kau melihat langit, maka aku akan ada di sisi lain menatap langit malam yang
sama. Tapi akhir-akhir ini rasa sepi menumpuk sampai aku merasa sedih ketika
menatap ke atas.” Ujarnya.
Aku tersenyum jahil menatap dia, dan membuat gadis itu kebingungan.
“Dengan kata lain, kau rindu aku, ‘kan” Aku bertanya sambil menatap
dirinya lurus-lurus, membuat gadis itu seketika melempar pandangannya ke arah
lain, sementara dapat kulihat wajahnya bersemu merah.
“Bulan… tampak sangat indah malam ini ‘kan?” Ia berkata lirih, suaranya
terdengar begitu halus dan seolah seperti suara dari sebuah bisikan lirih di
telingaku.
“Aku tahu. Memang itu maksudku.” Luna melepas lilitan tangannya, dan
kami kemudian beranjak berdiri bersamaan.
“Memang benar, bulan tampak sangat indah malam ini. Tapi, begitu aku
menatap dirimu, aku baru saja menyadari bahwa ada yang lebih indah dari itu,”
Ujarku dengan suara yang dingin dan datar, kemudian aku menolehkan wajahku
pada gadis itu, menatap dirinya lurus-lurus sembari aku melemparkan seulas
senyum padanya.
“Luna.”
Dan ia terpejam.
“Kau juga, Kazuto. Wajahmu tampak lebih menawan daripada langit malam
saat ini…”
***
*Catatan:
Lagu yang Kazuto dengar di sekolah dan dinyanyikan oleh Luna itu adalah ”
Kokoro No Tomo”. Sementara lagu yang Luna nyanyikan ketika bertemu Kazuto
lagi adalah “Amayadori” yang keduanya dinyanyikan oleh Matsumi Itsuwa.
***