Anda di halaman 1dari 2

Kelompok II

Nadila Putri 12130424182

Suci Afriza 12130422364

Sulistiyani 12130402929

RESUME FILSAFAT ILMU

Epistemologi dalam Islam

Permasalahan epistemologi dalam filsafat Islam tidak dibahas secara


tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas
dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian
tentang jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak
dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud
pikiran, dan tolak ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. Dalam
perkembangan filsafat Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin baru
ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai
dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.

Dinamika epistemologi dalam pemikiran keagamaan di dunia Islam telah


berlangsung sejak periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800)
dan periode modern (1800-sekarang). Periode perkembangan pemikiran modern
sebagai periode ketiga dipandang sebagai periode kebangkitan kembali umat
Islam setelah tenggelam selama abad pertengahan. Namun demikian, kehadiran
modernisme telah menyebabkan respons yang beragam dan memunculkan
ketegangan di kalangan umat islam. Dengan adanya modernisasi di segala bidang
di beberapa Negara, seperti Mesir memasuki masa liberal (liberal age). Paham
liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan
tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik. Dengan
berkembangnya pemahaman liberatif di Mesir, lahirlah apa yang disebut an-
nahdah (renaissance), yang kemudian melahirkan beberapa trend pemikiran

(1) Trend pemikiran ke arah tradisionalisme ini disebut The Islamic Trend
(kecenderungan pada Islam). Pandangan ini dimulai sejak pengajaran-pengajaran
Ibn Hanbal yang mengalami keberhasilan puncak melalui Muhammad ibn Abd al-
Wahhâb (1703-1992).

(2) Kelompok The Syntetic and The Rational scientific and Liberal Trend (sintesa
secara rasional ilmiah dan pemikiran bebas), kelompok yang berusaha

1
memadukan antara Islam dan kebudayaan Barat. Kelompok ini diwakili oleh
Qâsim Amîn (1865-1908), dan ‘Ali ‘Abd. ar-Râziq (1888-1966), Tâha Husein
(1883-1973), Lutfî as-Sayyid (1872-1972), Zakî Najîb Mahmûd (1905-1993),
Salamah Mûsa, Farag Fawdah, Fu’ad Zakariya, Hassan Hanafî (1935),
Mohammed Arkoun, Muhammad Syahrur, Seyyed Hosein Nasr dan Nasr Hâmid
Abû Zaid.

Dalam perspektif epistemologi Islam, tidak dikenal adanya dikhotomi


antara ilmu agama dengan ilmu non-agama (umum). Ilmu adalah ilmu, Ia berasal
dari sumber yang sama, kemudian berkembang sesuai dengan wilayah obyeknya
masing-masing, baik menyangkut obyek material maupun obyek forma. Ia terus
bersentuhan dengan fenomena alam, manusia dan apapun yang berada di luar
keduanya. Melalui persentuhan itulah ilmu pengatahuan terus berkembang
memasuki ruang sejarah dari waktu ke waktu.

Jika sains dan teknologi ini ditelusuri kembali ke masa-masa


pertumbuhannya, hal itu tidak lepas dari sumbangsih para ilmuwan muslim. Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa asal-usul sains modern atau revolusi ilmiah
berasal dari peradaban Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam adalah pionir
sains modern. Jikalau mereka tidak berperang di antara sesama mereka, dan jika
tentara kristen tidak mengusirnya dari Spanyol, dan jika orang-orang Mongol
tidak menyerang dan merusak bagian-bagian dari negeri-negeri Islam pada abad
ke-13, tentulah mereka akan juga mampu melahirkan seorang Descartes, seorang
Gassendi, seorang Hume, seorang Copernicus, dan seorang Tycho Brahe, karena
kita telah menemukan bibit-bibit filsafat mekanika, emperisisme, elemen-elemen
utama dalam heliosentrisme dan instrumen-instrumen Tycho Brahe dalam karya-
karya al-Ghazali, Ibn al-Shatir, para astronom pada observatorium margha dan
karya-karya Takiyudin.

Anda mungkin juga menyukai