Problematika Kepemimpinan Satu Paket
Problematika Kepemimpinan Satu Paket
Pengantar
Berita seputar masalah kepemimpinan di negara Republik Indonesia akhir-akhir ini semakin
menarik perhatian berkaitan dengan masalah adanya anggapan rivalitas, kewenangan dalam
pengambilan keputusan dan ruang lingkup kerja, tanggung jawab antara orang pertama (baca
Presiden/kepala daerah) dengan orang kedua (baca: wakil presiden/wakil kepala daerah) serta
problematika penggantian wakil. Problematika ini muncul dari pola dan mekanisme pemilihan dalam
satu paket yang justru di dalamnya bisa terdiri dari satu unsur atau beberapa unsur (koalisi partai-
partai). Aktualitas dan signifikansi persoalan ini layak untuk dikemukakan menjelang pemilihan
kepala daerah, karena mekanisme pemilihannya masih menggunakan sistem paket yang telah
(akan ditunjukan dalam uraian beberapa kasus) akan menimbulkan problema dikemudian hari, untuk
Sekedar perbandingan, kita sejenakn kita perlu merunut dulu ke mekanisme pemilihan
kepemimpinan sebelum reformasi dan mekanisme pemilihan kepemimpinan pada era reformasi.
Seperti kita ketahui bersama pemilihan kepemimpin sebelum era reformasi dicirikan oleh
pemilihan, yang hakekatnya, adalah pimpinan secara tunggal. Maksud pernyataan ini adalah
presiden dipilih terlebih dahulu, lalu kemudian setelah presiden terpilih, maka diajukan calon wakil
presiden dengan salah satu syaratnya adalah mampu dan bersedia bekerja dengan presiden.
1 Artikel ini dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat tanggal 22 Juni 2005
1
Setelah itu ditetapkan oleh MPR. Dalam kondisi ini maka, presiden betul-betul dalam posisi yang
dominan dan penentu keputusan, sedangkan wakil presiden membantu presiden dalam batas-batas
Dalam hal pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/walikotamadya ), calon-calon wail kepala
daerah pun diajukan oleh Gubernur atau Bupati/Walikotamadya) selanjutnya melalui mekanisme
seperti ini dapat menghindarkan dualisme kepemimpinan dan perbedaan pendapat pada berbagai
kebijakan yang harus diputuskan, tidak ada rivalitas dan lain sebagainya.
Pemilihan pimpinan dalam era reformasi, khususnya dalam pemilihan kepala daerah
didasarkan pada Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Pola pemiliham kepemimpinan dalam hal ini
dilakukan dalam satu paket, kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang diajukan oleh partai atau
Beberapa pengalaman menunjukkan hampir tidak ada satu partai atau satu fraksi
mengajukan sendiri paket calon kepala daerah, seluruhnya merupakan paket koalisi, dimana kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipastikan berasal dari partai yang berbeda. Setelah paket disahkan,
2
Problematika Kepemimpinan Satu Paket
Secara formal nomenklatur kepemimpinan satu paket menyatakan adanya posisi kepala dan wakil
kepala (daerah). Demikian juga, mungkin, sebelum paket tersebut diluncurkan, sudah ada
mereka. Tetapi harus disadari bahwa kesepakatan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
karena tidak diatur atau diakomodasikan dalam undang-undang, sehingga apabila ada cedera
dengan kesepakatan tersebut atau salah satu dirugikan (terutama dalam hal ini posisi wakil kepala
daerah), tidak dapat digugat. Disinilah problematika itu muncul karena ada hal-hal selama ini
tersembunyi, namun justru merupakan energi pemicu ketidakharmonisan hubungan dan lain-lain.
Harus disadari bahwa dalam pemilihan kepemimpinan sistem paket, suara yang diperoleh
bukan suara yang bersifat diskrit. Penjelasannya, bahwa suara yang diperoleh adalah karena paket
yang bersifat integral. Sebagai ilustrasi, A (dari partai A) terpilih menjadi kepala daerah, karena
berpasangan dengan B (dari partai B). Demikian juga B menjadi wakil kepala daerah karena
bersama (kolektif). Salah satu tidak bisa mengklaim sebagai prestasi dirinya terpisah dari prestasi
pasangannya. Dalam keadaan demikian, kedua-duanya mempunyai kedudukan yang setara, karena
Dalam perjalanan pengelolaan pemerintahan, terlihat bahwa kepala daerah lebih dominan
3
daerah, disamping karena Undang-Undang memungkinkan demiian, juga karena posisi wakil yang
tidak jelas. Hal inilah yang kemudian menjadi problematika seperti rivalitas dan perbedaan
Pola pemilihan kepemimpinan dalam satu paket tetapi berasal dari unsur terbukti
menimbulkan rivalitas. Isu yang paling hangat dan menjadi sorotan banyak pihak adalah rivalita
antara Presiden dan Wakil Presiden yang dikatakan sementara pihak terjadi salib-menyalip, kendati
Di tingkat daerah rivalitas, kendati banyak dibantah, lebih “semarak” lagi, Tak dapat
dipungkiri bahwa banyak hubungan kepala daerah dan wakilnya tidak harmonis. Bahkan ada salah
seorang wakil kepala daerah di Jawa Barat tidak mau masuk kantor, karena tidak setuju dengan
kebijakan bupati terkait dengan izin penggunaan genset oleh sebuah industri tekstil. Demikian juga
dalam penentuan atau pengisian personalia perangkat daerah, terutama jabatan eselon II, sering
muncul perebutan untuk menempatkan “orang-orangnya” dalam jabatan yang dipandang strategis.
Rivalitas ini terjadi karena, meskipun secara formal, wakil kepala daerah adalah “wakil”
kepala daerah tersebut, namun secara riil wakil kepala daerah adalah wakil partai yang “dikawinkan”
dengan kepala daerah yang berasal dari partai yang berbeda, bukan atas dasar usulan atau pilihan
kepala daerah terpilih atau kepala daerah incumbent. Dengan adanya rivalitas, fungsi dan tugas
wakil kepala daerah yaitu membantu kepala daerah dalam menjalankan berbagai kebijakan bisa
terbengkalai, karena alih-alih membantu, malah sibuk “mengintip” berbagai momen kelemahan dan
kelengahan kepala daerah atau sengaja membiarkan kepala daerah menggali lubang sendiri terjerat
4
hukum atau mendapatkan hukuman, yang mengharuskan dirinya diberhentikan. Dalam kondisi
demikian, wakil kepala daerah dengan “lenggang kangkung” otomatis menjadi kepala daerah.
Disamping masalah rivalitas, antara kepala daerah dan wakilnya juga bisa saja memiliki
preferensi yang berbeda untuk suatu kebijakan atau pilihan tertentu baik yang didasarkan atas
kepentingan atau pertimbangan subyektifnya. Perbedaan ini akan menjadi masalah manakala
b. Problematika Kewenangan
Sebelum era reformasi, kewenangan dan tanggung jawab wakil pimpinan digariskan oleh
pimpinan. Hal ini karena, posisi wakil betul-betul dalam sebagai pembantu pimpinan, dan tentu saja
sebelum diusulkan dan diangkat telah memenuhi syarat dan mampu bekerja sama dengan pimpinan
terpilih. Rambu-rambu tugas jelas dan biasanya dalam wilayah tugas-tugas teknis, bukan kebijakan
Dalam pola kepemimpinan paket di era reformasi, tugas kepala daerah sebagaimana
digariskan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 adalah membantu kepala daerah, memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah
dan melaksanakan tugas dan kewenangan kepala daerah apabila berhalangan. Pembagian tugas
secara terperinci dilakukan atas kesepakatan kedua pihak yang dirumuskan dan diputuskan dalam
ketentuan tersendiri.
Garis tugas yang sangat umum dalam undang-undang dan pembagian kerja secara rinci
yang diserahkan kepada kesepakatan kedua pihak bisa menimbulkan suasana tawar-menawar
(bargaining position) antara kedua belah pihak, yang hasilnya bisa saja memuaskan atau tidak
memuaskan salah satu pihak, atau keduanya sama-sama tidak puas karena sebagian
5
Problem selanjutnya, jika pun ada pembagian tugas dan kewenangan yang telah dibagi
tersebut, apa bentuk kewenangan wakil kepala daerah tersebut. Dapatkah wakil kepala daerah
mengeluarkan suatu kebijakan? Jika ya, dalam bentuk apa kebijakan tersebut? Jika staf menuntut
suatu kebijakan harus tertulis (sebagai bukti jika ada masalah hukum di kemudian hari), dapatkah
wakil kepala daerah menandatangani surat keputusan atau surat penunjukkan ? Jika tidak, apa
Problema inipun tidak hanya terjadi di tingkat pemerintahan daerah, tetapi juga di tingkat
pusat. Masih segar dalam ingatan kita ketika Wakil Presiden mengeluarkan SK tentang Badan
Koordinasi Nasional Penganggulangan Bencana Aceh dan Sumatera Utara? Problema tersebut
menjadi polemik hukum dan administratif, dan bahkan telah melebar ke wilayah politik.
Problematika selanjutnya adalah seberapa jauh seorang wakil kepala daerah bertanggung
jawab terhadap suatu kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah daerah yang dipimpinnya,
terlebih apabila kebijakan tersebut menimbulkan masalah dan tuntutan hukum baik pidana maupun
perdata. Logikanya, sesuai dengan kepemimpinan satu paket, maka baik kepala daerah maupun
kepala daerah sama-sama memikul tanggung jawab hukum termasuk harus diperiksa aparat hukum
dan tuntutan di pengadilan, karena kebijakan tersebut prosesnya dan diputuskan dalam mekanisme
dimana wakil kepala daerah pun terlibat dalam perumusan dalam bentuk masukan, saran dan
Namun menilik beberapa kasus dana perumahan anggota DPRD di beberapa propinsi,
Kepala Daerah dijadikan tersangka dalam kasus tersebut, tetapi wakilnya tidak. Salah satu alasan
hukum yang mengemuka adalah karena Kepala Daerah tersebut menandatangani Keputusan
penetapan APBD yang di dalamnya termuat antara lain dana perumahan bagi anggota DPRD daerah
6
tersebut, sementara wakil kepala daerah sendiri tidak membubuhkan tanda tangan pada Surat
Keputusan tersebut
berhalangan tetap, maka digantikan oleh wakil kepala daerah sampai habis masa jabatannya.
Sedangkan apabila wakil kepala daerah berhalangan tetap, tidak diisi atau tidak ada penggantian.
Beberapa daerah, termasuk Kota Bandung yang pemilihannya masih menggunakan payung hukum
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sejak Wakil Walikota meninggal sampai saat ini posisi
tersebut masih dibiarkan kosong. Pernyatan undang-undang ini mengesankan wakil kepala daerah
sebagai “ban serep” atau tidak perlukan karena toh, karena jika berhalangan tetap tidak perlu diisi.
undang tersebut tidak dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.
Problematika yang muncul pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 adalah pada mekanisme
penggantian wakil kepala daerah seperti pada pasal 35 dimana kepala daerah mengusulkan 2 (dua)
orang calon kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD. Siapa yang akan diusulkan
oleh kepala daerah tersebut? Memang secara tersamar 2 (dua) orang calon tersebut diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala
daerah. Pernyataan ini masih mengandung problematika, yaitu apabila penggantian wakil kepala
daerah itu terjadi setelah adanya Pemilihan Umum. Mengapa? Ada kemungkinan terjadi perubahan
kontstelasi politik, dimana partai pengusung pasangan (paket) kepala daerah/wakil kepala daerah
pada saat pemilihan merupakan mayoritas, tetapi setelah diselingi pemilihan umum, menjadi
minoritas. Bagaimana reasoning nya jika dikaitkan dengan prinsip keterwakilan? Apa solusinya jika
7
mayoritas anggota DPRD (karena perbedaan partai dan peta konstelasi politik sudah berubah)
menolak usulan 2 (dua) orang wakil kepala daerah tersebut? Solusi jalan buntu, misalnya dengan
mengocok koalisi ulang tanpa memperhatikan ketentuan pasal 35 tersebut, pasal tersebut menjadi
Penutup
untuk didiskusikan dan perlu dicarikan jalan keluarnya agar pola tersebut kepemimpinan satu
menjadi efektif dan bermanfaat, tidak memunculkan rivalitas yang selama ini terjadi. Perlu ada ada
aturan kejelasan kewenangan hak yang diimbangi dengan tanggung jawab, termasuk tanggung
jawab hukum khusunya bagi wakil kepala daerah. Demikian juga dengan mekanisme penggantian