Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK RISET BIOMEDIS


PENGGANTIAN MEDIA KULTUR SEL

RACHMADINA
2310246498

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2024

A. LANDASAN TEORI
KULTUR SEL
Kultur sel adalah memindahkan/mengeluarkan sel dari hewan atau tumbuhan dan
selanjutnya ditumbuhkan dalam lingkungan buatan yang menguntungkan bagi sel tersebut.
Sel-sel tersebut dapat dikeluarkan dari jaringan secara langsung dan dipilah dengan cara
enzimatik atau mekanis sebelum dikultur (kultur primer), atau sel-sel tersebut dapat berasal
dari cell line atau cell strain yang telah terbentuk (1).
Kultur primer mengacu pada kultur tahap permata setelah sel diisolasi dari jaringan dan
berkembang biak dalam kondisi yang sesuai hingga sel tersebut menempati seluruh substrat
yang tersedia (mencapai tingakt konfluensi tertentu). Pada tahap ini, sel harus disubkultur
(passage) dengan memindahkannya ke wadah baru dengan media pertumbuhan segar untuk
memberikan lebih banyak ruang agar terjadi pertumbuhan berkelanjutan (1).
Setelah subkultur pertama, kultur primer dikenal sebagai galur sel (cell line) atau
subklon. Cell line yang berasal dari kultur primer mempunyai masa hidup yang terbatas
(finite), dimana pada saat sel tersebut dilakukan passage, sel dengan kapasitas pertumbuhan
tertinggi mendominasi, sehingga menghasilkan tingkat keseragaman genotipe dan fenotipik
dalam populasi (1).
Cell line dibagi menjadi tiga jenis, yaitu finite cell lines, continuous cell lines
(immortalized atau indefinite cell lines), dan stem cell lines. Finite cell lines berasal dari
kultur primer dan memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat. Sel ini dapat ditumbuhkan
selama beberapa generasi sel dalam kultur sebelum akhirnya mengalami penuaan, suatu
proses yang ditandai dengan hilangnya bentuk sel yang khas dan pengayaan lipid sitoplasma.
Finite cell lines dihambat pertumbuhannya jika terjadi kontak antar sel dan dihentikan pada
fase G0, G1, atau G2 setelah membentuk lapisan tunggal (2).
Continuous cell lines biasanya diperoleh dari sel yang mengalami transformasi atau sel
kanker dan membelah dengan cepat serta mencapai kepadatan sel yang jauh lebih tinggi
dalam kultur dibandingkan finite cell lines. Dalam beberapa kasus, cell line ini menunjukkan
aneuploidi (yaitu, satu atau lebih kromosom hadir dalam jumlah lebih besar atau lebih kecil
dibandingkan yang lain) atau heteroploidi (yaitu, memiliki nomor kromosom selain kelipatan
sederhana dari nomor haploid). Cell line ini dapat tumbuh pada konsentrasi serum yang
rendah, tidak dihambat oleh kontak, dan mungkin membentuk lapisan berlapis-lapis. Stem
cell lines adalah jenis sel pluripoten yang tidak berdiferensiasi atau terdiferensiasi sebagian
yang berasal dari organisme multiseluler. Sel-sel ini dapat tumbuh menjadi banyak sel
dengan jenis yang sama atau dapat dipicu dalam kondisi yang tepat untuk menghasilkan sel
dengan fungsi khusus. Dengan demikian, sel tersebut dapat bertindak sebagai semacam
prekursor multipoten untuk berbagai jenis sel (2).
Pertumbuhan sel dari berbagai sumber memerlukan lingkungan buatan yang terkendali,
dimana kulturs sel memerlukan media, suplemen, dan faktor pertumbuhan yang sangat
spesifik untuk pertumbuhan sel yang tepat. Lingkungan buatan di mana sel dikultur selalu
terdiri dari wadah yang sesuai yang berisi substrat atau media yang memasok nutrisi penting
(asam amino, karbohidrat, vitamin, mineral), faktor pertumbuhan, hormon, dan gas (O2,
CO2), dan mengatur lingkungan fisikokimia (pH, tekanan osmotik, suhu). Suatu jenis sel
dapat tumbuh adherent (menempel pada permukaan) yang memerlukan zat pelepas saat
dilakukan passage, atau suatu sel dapat mengambang bebas dalam suspensi (1,2).
Jika kelebihan sel diperoleh dari subkultur, sel tersebut harus diperlakukan dengan bahan
pelindung yang sesuai (misalnya DMSO atau gliserol) dan disimpan pada suhu di bawah -
130°C (kriopreservasi) sampai diperlukan (1). Kriopreservasi haru dilakukan dengan
mematuhi aspek teknis tertentu, jika tidak maka akan muncul masalah, seperti recovery yang
buruk atau hilangnya seluruh kultur, dan perubahan karakteristik karena hilangnya sel yang
lebih rentan terhadap stres yang terkait dengan pengawetan. Penting untuk memastikan
bahwa setiap kultur yang akan diawetkan sesuai dengan tujuan dan secara umum sel dengan
persentase viabilitas tinggi, dan dalam fase pertumbuhan eksponensial, paling cocok untuk
kriopreservasi (3).
Eksperimen kultur sel banyak digunakan dalam penelitian biomedis, pengobatan
regeneratif, dan produksi bioteknologi. Karena pembatasan penggunaan hewan laboratorium
oleh undang-undang perlindungan hewan dan penerapan 3R (Penggantian, Pengurangan, dan
Penyempurnaan) yang ketat yang dirumuskan oleh William Russell dan Rex Burch untuk
meningkatkan kesejahteraan hewan, diharapkan penggunaan secara umum dapat dilakukan.
jumlah garis sel akan semakin meningkat selama tahun-tahun berikutnya untuk menggantikan
penelitian berbasis hewan. Namun, perlu dicatat bahwa percobaan kultur sel, jika tidak
dilakukan dengan benar, rentan terhadap kesalahan. Oleh karena itu, studi kultur sel harus
dilakukan dengan good cell culture practice (GCCP) untuk menjamin reproduktifitas
eksperimen in vitro (2).

LABORATIRUM KULTUR SEL


Keamanan dan Tindakan Pencegahan
Tujuan mendasar dari setiap program biosafety adalah untuk mengurangi atau
menghilangkan paparan pekerja laboratorium dan lingkungan luar terhadap agen biologis
yang berpotensi membahayakan. Elemen keselamatan terpenting di laboratorium kultur sel
adalah kepatuhan ketat terhadap praktik dan teknik mikrobiologi standar. Dokumen Biosafety
in Microbiological and Biomedical Laboratories, yang dibuat oleh Centers for Disease
Control (CDC) and the National Institute of Health (NIH), dan dipublikasikan oleh U.S.
Department of Health and Human Services mendefinisikan empat tingkat pengendalian, yang
disebut sebagai Biosafety level 1 hingga 4, dan menjelaskan praktik mikrobiologi, peralatan
keselamatan, dan pengamanan fasilitas untuk tingkat risiko terkait penanganan agen tertentu
(1).
1. Biosafety Level 1 (BSL-1) adalah tingkat perlindungan dasar yang umum digunakan
pada sebagian besar laboratorium penelitian dan klinis, dan cocok untuk agen yang
tidak diketahui menyebabkan penyakit pada manusia normal dan sehat.
2. Biosafety Level 2 (BSL-2) untuk agen risiko sedang yang diketahui menyebabkan
penyakit pada manusia dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda jika tertelan atau
melalui paparan perkutan atau membran mukosa. Kebanyakan laboratorium kultur sel
harus memiliki setidaknya BSL-2, namun persyaratan pastinya bergantung pada garis
sel yang digunakan dan jenis pekerjaan yang dilakukan.
3. Biosafety Level 3 (BSL-3) untuk agen asli atau eksotik yang diketahui berpotensi
menularkan aerosol, dan untuk agen yang dapat menyebabkan infeksi serius dan
berpotensi mematikan.
4. Biosafety Level 4 (BSL-4) untuk agen eksotik yang memiliki risiko tinggi terhadap
penyakit yang mengancam jiwa akibat aerosol menular dan tidak ada pengobatan
yang tersedia. Agen-agen ini dibatasi pada laboratorium dengan tingkat penahanan
tinggi.
Bahaya utama yang terkait dengan kultur continues cell lines adalah kemungkinan kecil
terjadinya masuk nya sel yang telah mengalami perubahan secara tidak sengaja ke operator
atau infeksi sebagai akibat dari patogen dalam sel atau salah satu produk hewani. Selalu ada
kemungkinan sel tersebut terinfeksi organisme yang dapat berkembang biak dan
membahayakan pekerja di laboratorium. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui riwayat
setiap cell line yang dibawa ke laboratorium. Idealnya, sumber kultur sel manusia harus diuji
untuk mengetahui patogen serius yang ditularkan melalui darah manusia seperti HIV 1 dan 2,
HTLV I dan II serta hepatitis B dan C (3).

Peralatan Kultur Sel


Persyaratan khusus laboratorium kultur sel terutama bergantung pada jenis penelitian
yang dilakukan; misalnya, kebutuhan laboratorium kultur sel mamalia yang mengkhususkan
diri pada penelitian kanker sangat berbeda dengan kebutuhan laboratorium kultur sel
serangga yang berfokus pada ekspresi protein. Namun, semua laboratorium kultur sel
memiliki persyaratan umum yaitu bebas dari mikroorganisme patogen (asepsis), dan berbagi
beberapa peralatan dasar yang sama yang penting untuk kultur sel (1).
Peralatan dasar :
 Cell culture hood (laminar-flow hood atau biosafety cabinet)
 Incubator (direkomendasikan humid CO2 incubator)
 Water bath
 Centrifuge
 Refrigerator dan freezer (–20°C)
 Cell counter (Countess® Automated Cell Counter or hemacytometer)
 Inverted microscope
 Liquid nitrogen (N2) freezer atau cryostorage container
 Sterilizer (autoclave)
Peralatan tambahan
 Aspiration pump (peristaltic atau vacuum)
 pH meter
 Confocal microscope
 Flow cytometer
Bahan Habis Pakai :
 Cell culture vessels (flasks, Petri dishes, roller bottles, atau multi-well plates)
 Pipettes dan pipettors
 Syringes dan needles
 Waste containers
 Media, sera, dan reagents
 Cells

Area Kerja Aseptik


Persyaratan utama laboratorium kultur sel adalah harus dipertahankan area kerja aseptik
yang terbatas. Meskipun ruang kultur jaringan terpisah lebih disukai, area kultur sel yang
ditentukan dalam laboratorium yang lebih besar masih dapat digunakan untuk penanganan
steril, inkubasi, dan penyimpanan kultur sel, reagen, dan media. Cara paling sederhana dan
ekonomis untuk menyediakan kondisi aseptik adalah untuk menggunakan cell culture hood
(biosafety cabinet) (1).

Cell Culture Hood


1. Biosafety cabinet (BSC) kelas I, memberikan tingkat perlindungan yang signifikan
terhadap personel laboratorium dan lingkungan, namun tidak memberikan
perlindungan kultur dari kontaminasi.
2. Biosafety cabinet (BSC) kelas II, untuk pekerjaan yang melibatkan bahan BSL-1, 2,
dan 3, dan juga menyediakan lingkungan aseptik yang diperlukan untuk eksperimen
kultur sel.
3. Biosafety cabinet (BSC) kelas III, memberikan tingkat perlindungan tertinggi bagi
personel dan lingkungan. BSC Kelas III diperlukan untuk pekerjaan yang melibatkan
patogen manusia yang diketahui dan bahan BSL-4 lainnya.

Inkubator
Tujuan dari inkubator adalah untuk menyediakan lingkungan yang sesuai untuk
pertumbuhan sel. Inkubator harus cukup besar untuk kebutuhan laboratorium, memiliki
sirkulasi udara paksa, dan harus memiliki pengatur suhu hingga ±0,2°C. Ada dua tipe dasar
inkubator, inkubator kering dan inkubator CO2 lembab. Inkubator kering lebih ekonomis,
namun memerlukan kultur sel diinkubasi dalam labu tertutup untuk mencegah penguapan.
Menempatkan wadah air dalam inkubator kering dapat memberikan kelembapan tertentu,
namun tidak memberikan kontrol yang tepat terhadap kondisi atmosfer di dalam inkubator.
Inkubator CO2 lembab lebih mahal, namun memungkinkan kontrol kondisi kultur yang lebih
baik.

Penyimpanan
1. Kulkas (lemari es), untuk laboratorium kultur sel kecil, lemari es (sebaiknya yang
tidak memiliki freezer autodefrost) merupakan peralatan yang memadai dan murah
untuk menyimpan reagen dan media pada suhu 2–8°C. Untuk laboratorium yang lebih
besar, ruangan khusus dengan suhu dingin yang hanya digunakan untuk kultur sel
lebih tepat.
2. Freezer, reagen kultur sel dapat disimpan pada suhu –5°C hingga –20°C; oleh karena
itu freezer ultradeep (yaitu freezer –80°C) merupakan pilihan untuk menyimpan
sebagian besar reagen. Freezer rumah tangga adalah alternatif yang lebih murah
dibandingkan freezer laboratorium. Meskipun sebagian besar reagen dapat menahan
fluktuasi suhu dalam freezer autodefrost (pencairan otomatis), beberapa reagen seperti
antibiotik dan enzim harus disimpan dalam freezer yang tidak melakukan autodefrost.

Media Kultur
Media kultur sel yang tepat sangat penting dalam pemeliharaan dan pertumbuhan kultur
sel dan memungkinkan reproduktifitas hasil eksperimen. Beberapa sel juga memerlukan asam
amino non esensial (alanin, asparagin, asam aspartat, asam glutamat, glisin, prolin, dan serin)
untuk pertumbuhan yang efektif dan pengurangan beban metabolisme sel. Media standar
yang paling umum digunakan untuk mengawetkan dan mempertahankan pertumbuhan
spektrum luas tipe sel mamalia adalah, misalnya, Dulbecco’s modified Eagle medium
(DMEM) dan media Roswell Park Memorial Institute (RPMI). Biasanya, media ini
mengandung karbohidrat, asam amino, vitamin, garam, dan sistem buffer pH (2).
Tiga kelas dasar media adalah media basal, media serum tereduksi, dan media bebas
serum, yang berbeda dalam kebutuhan suplementasi serum. Serum merupakan sumber faktor
pertumbuhan dan adhesi, hormon, lipid dan mineral untuk kultur sel pada media basal. Selain
itu, serum juga mengatur permeabilitas membran sel dan berfungsi sebagai pembawa lipid,
enzim, mikronutrien, dan trace elemen ke dalam sel. Namun penggunaan serum dalam media
mempunyai sejumlah kelemahan antara lain biaya tinggi, masalah standarisasi, spesifisitas,
variabilitas, dan efek yang tidak diinginkan seperti stimulasi atau penghambatan
pertumbuhan dan/atau fungsi seluler pada kultur sel tertentu. Kemungkinan adanya
kontaminasi dalam serum juga dapat menimbulkan ancaman serius terhadap keberhasilan
penelitian kultur sel. Untuk mengatasi ancaman ini, semua produk Invitrogen dan GIBCO®,
termasuk serum, diuji kontaminasinya dan dijamin kualitas, keamanan, konsistensi, dan
kepatuhannya terhadap peraturan (1).
Mayoritas garis sel tumbuh dengan baik pada media basal, yang mengandung asam
amino, vitamin, garam anorganik, dan sumber karbon seperti glukosa. Media basal tidak
mengandung protein, lipid, hormon, atau faktor pertumbuhan. Oleh karena itu, media tersebut
memerlukan suplementasi serum bisa dengan Fetal Bovine Serum (FBS) atau yang sering
disebut dengan Fetal Calf Serum (FCS), umumnya dengan konsentrasi 5–20% (v/v) (1,2).
Strategi lain untuk mengurangi efek serum yang tidak diinginkan dalam percobaan kultur
sel adalah dengan menggunakan media serum tereduksi. Media serum tereduksi adalah
formulasi media basal yang diperkaya dengan nutrisi dan faktor-faktor yang berasal dari
hewan, yang mengurangi jumlah serum yang dibutuhkan (1).
Serum Free Media (SFM) dapat mengatasi masalah pada penggunaan serum hewan yaitu
dengan cara mengganti serum menjadi formulasi nutrisi dan hormonal yang sesuai. Salah satu
keuntungan utama menggunakan media bebas serum adalah kemampuan untuk membuat
media selektif untuk jenis sel tertentu dengan memilih kombinasi faktor pertumbuhan yang
tepat (1). SFM dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu (i) SFM umum, (ii) media bebas
xeno yang berasal dari manusia tetapi tidak mengandung komponen hewani, (iii) media bebas
hewani, (iv) media bebas protein, dan (v) medium yang mempunyai komposisi kimiawi yang
sudah ditentukan (2).
Kontaminasi biologis yang timbul dari bakteri, ragi, jamur, dan mikoplasma dapat
dicegah dengan lebih baik dengan penambahan antibiotik dan antimikotik pada media kultur
sel. Kebanyakan dari obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel (misalnya
penisilin), mengganggu permeabilitas membran (misalnya amfoterisin B), atau dengan
menghambat sintesis protein dengan mencegah perakitan kompleks inisiasi bakteri antara
mRNA dan ribosom bakteri (misalnya, streptomisin). Namun, penggunaan antibiotik secara
rutin dapat menyebabkan pertumbuhan kontaminan bakteri persisten/resisten yang lambat
dan dapat menyebabkan perubahan halus pada diferensiasi dan perilaku sel. Selain itu,
antibiotik seperti penisilin, streptomisin, dan gentamisin dapat secara signifikan mengubah
ekspresi dan regulasi gen serta dapat mengubah hasil penelitian yang berfokus pada respon
obat, regulasi sel, dan diferensiasi. Oleh karena itu, peneliti harus menghindari penggunaan
antibiotik secara permanen dalam kultur sel dan sebaiknya menerapkan kondisi kerja aseptik
yang ketat untuk mencegah kontaminan bakteri dalam kultur sel (2).

B. ALAT DAN BAHAN


ALAT
1. Inkubator CO2
2. BSC level 2
3. Mikroskop inverted
4. Waterbath
5. Pipette controller
BAHAN
1. Culture disk 100 mm
2. Pipet serologis 10ml dan 50ml
3. Media MSC komplit (DMEM, 10% FBS, 1% Penstrep)
4. Etanol 70%

C. PROSEDUR KERJA
1. Higienitas personel laboratorium:
a. Cuci tangan sebelum dan setelah melakukan kegiatan di laboratorium.
b. Menggunakan Personel Protecting Equipment (PPE) yang sesuai seperti jas
laboratorium, sarung tangan, dan masker
2. Sterilitas area kerja:
a. Seluruh proses kultur sel harus dilakukan di dalam BSC Class II termasuk persiapan
reagen/media, penggantian medium, dan subkultur sel.
b. Proses desinfeksi area kerja dilakukan sebelum, setelah proses kultur sel dan jika
terjadi tumpahan reagen/medium menggunakan desinfektan yang sesuai seperti
Etanol 70%.
c. Proses sterilisasi BSC Class II juga dapat menggunakan sinar UV sebelum dan
setelah penggunaan.
3. Sterilitas bahan habis pakai, reagen dan media:
a. Gunakan filter tips, pipet, cakram kultur yang steril
b. Reagen, media dan cairan lainnya harus disterilisasi menggunakan autoklaf atau
filter.
4. Praktek kerja yang steril:
a. Pastikan untuk melakukan desinfeksi tangan dan area kerja dengan etanol 70%
b. Spray botol, cakram kultur, pipetors dan seluruh peralatan yang digunakan untuk
kultur sel menggunakan etanol 70%
c. Gunakan peralatan yang steril atau disposable untuk proses yang melibatkan cairan.
d. Mikropipet, pipettor, vortex yang digunakan untuk kultur sel tidak boleh dipindahkan
dan digunakan untuk kegiatan laboratorium lainnya
e. Selalu pastikan botol medium/reagen tertutup. Tutup botol medium/reagen harus
diletakkan dengan posisi menghadap ke atas.
f. Cakram kultur hanya boleh dibuka di dalam BSC Class II.
g. Tidak boleh berbicara, menyanyi atau bersiul selama proses kultur sel.
h. Lakukan proses kultur sel secepat mungkin untuk mengurangi risiko kontaminasi
5. Hangatkan terlebih dahulu media MSC komplit dalam waterbath pada suhu 37C.
6. Sterilkan BSC menggunakan sinar UV selama minimal 15 menit.
7. BSC disterilkan dengan cara menyemprotkan Etanol 70% ke seluruh area kerja dan
dikeringkan menggunakan tissue. Pastikan semua alat dan bahan yang masuk ke dalam
BSC dalam keadaan steril dengan cara menyemprotkan Etanol 70% ke seluruh
permukaan alat dan bahan.
8. Amati sel menggunakan mikroskop inverted untuk menentukan tingkat konfluensi serta
memastikan tidak ada tanda-tanda kontaminasi bakteri/jamur
9. Pipet sebagian media lama dan sisakan sekitar 1 mL media lama di dalam disk.
10. Kemudian tambahkan ~9 ml media baru ke dalam culture disk 100mm.
11. Spray culture disk dengan etanol 70% dan simpan culture disk di dalam incubator CO2

D. HASIL
JENIS CELL CULTURE VESSEL
Terdapat beberapa jenis cell culture vessel yang terdapat di Laboratorium Lontar FK
UNRI, antara lain adalah :
1. Flasks dengan ukuran T-25 (luas permukaan 25cm2) dan T-75 (luas permukaan
75cm2)
2. Petri dishes dengan ukuran 100 mm (luas permukaan 56,7 cm2)
3. Multi-well plates:
a. 6 well: luas permukaan 9,6 cm2
b. 12 well: luas permukaan 3,5 cm2
c. 96 well: luas permukaan 0,32 cm2

(a) (b)
(c)
Gambar 1. Berbagai Jenis Cell Culture Vessels. a. Flasks, b. Petri dishes, c. Multi-well plates

HASIL KULTUR SEL


Sebelum dilakukan penggantian media, kultur sel diperiksa terlebih dahulu di bawah
inverted microscope.

Gambar 2. Hasil Kultur Sel dilihat dengan Inverted Microscope


Dari gambar terlihat tingkat konfluensi kultur sel adalah 50%, yang berarti pertumbuhan
sel yang cukup baik. Dari hasil kultur juga tidak terlihat tanda kontaminasi. Morfologi sel
yang dikultur pada praktikum ini adalah fibroblast dimana sel membentuk memanjang yang
melekat ke dasar cakram.

E. PEMBAHASAN
Praktikum atau penelitian kultur sel dilakukan pada rungan di dalam laboratorium
dengan kategori BSL-2. BSL-2 ini selain digunakan untuk kultur sel juga dapat digunakan
dalam proses penanganan sampel lainnya yang termasuk dalam agen risiko sedang jika
tertelan atau melalui paparan perkutan atau membran mukosa misalnya seperti bakteri
salmonella. Sementara pada BSL-1 menangani agen yang tidak diketahui menyebabkan
penyakit pada manusia normal dan sehat seperti bakteri e.coli non pathogen. BSL-3 untuk
agen asli atau eksotik yang diketahui berpotensi menularkan aerosol, dan untuk agen yang
dapat menyebabkan infeksi serius dan berpotensi mematikan seperti HIV, H1N1,
Tuberculosis, dan SARS. Biosafety Level 4 (BSL-4) untuk agen eksotik yang memiliki risiko
tinggi terhadap penyakit yang mengancam jiwa akibat aerosol menular dan tidak ada
pengobatan yang tersedia seperti ebola (4).
Sebelum bekerja dengan kultur sel, pada praktikum ini diterapkan terlebih dahulu
prosedur aseptik yang teliti dan sesuai prosedur yaitu dengan menjaga hygiene pekerja
laboratorium, sterilisasi area kerja, sterilisasi bahan habis pakai, reagen dan media serta
menerapkan praktek kerja yang steril. Seluruh prosedur ini dilakukan untuk menghindari
kontaminasi yang mungkin terjadi pada kultur sel. Jenis kontaminasi pada kultur sel ada dua
yaitu kontaminasi biologis dan kimia. Kontaminasi dalam kultur sel dapat berakibat
pertumbuhan sel yang lambat, perubahan morfologi, perubahan pH media yang cepat, dan
peningkatan jumlah sel yang mati atau mengambang dalam kultur. Kontaminasi biologis
yang sering muncul adalah kontaminasi oleh bakteri, ragi, jamur, mycoplasma, dan virus.
Kontaminasi oleh mikoplasma adalah yang paling sulit dideteksi, karena mycoplasma dapat
tumbuh lambat dalam kultur tanpa menyebabkan kematian sel tetapi dapat menyebabkan
perubahan metabolisme sel (1,2).
Pada praktikum ini dilakukan penggantian media pada kultur sel adherent. Adherent
adalah jenis pertumbuhan kultur sel dimana sel tumbuh melekat pada permukaan wadah
kultur sel. Sel adherent dapat dibagi lagi menjadi sel berbentuk fibroblas yang mempunyai
bentuk memanjang dan sel berbentuk epitel yang bercirikan bentuk polygonal. Morfologi sel
pada praktikum ini adalah berbentuk fibroblast. Jika dibandingkan dengan kultur suspensi,
kultur adherent ini sedikit lebih sulit untuk ditangani. Sebagai contoh, ketika sel adherent
harus dianalisis dengan cytometry atau fluorescence-activated cell sorting (FACS), sel-sel
tersebut harus terlebih dahulu dilepaskan dari substratnya. Namun, penggunaan molekul
enzimatik atau penggunaan buffer disosiasi sel non-enzimatik dapat mengakibatkan degradasi
protein permukaan, yang mungkin akan mengganggu proses identifikasi dan pemisahan sel
selanjutnya dalam masing-masing protokol. Hal ini menimbulkan tantangan dalam
menggunakan flow cytometry untuk melihat fenotip dan karakterisasi sel adherent (2).
Setelah dilakukan pemeriksaan pada inverted microscope lalu dilakukan penggantian
media kultur. Penggantian media dilakukan karena dalam kultur sel, nutrisi pada media akan
habis dan sel akan menghasilkan produk metabolisme yang akan meningkat konsentrasinya.
Seberapa sering media perlu diubah tergantung pada cell line dan jenis media. Garis sel yang
ditumbuhkan pada media dengan faktor pertumbuhan esensial yang dapat cepat habis
(misalnya, beberapa media bebas serum dan stem cell) mungkin memerlukan media segar
setiap 1–2 hari. Untuk sebagian besar cotinous cell line dalam media konvensional, dua kali
penggantian media dalam seminggu akan mempertahankan pertumbuhan sel secara
eksponensial. Sel dengan cepat memanfaatkan nutrisi dan melepaskan metabolit ke dalam
medium, sehingga menurunkan pH yang ditunjukkan dengan dengan warna kuning pada
medium yang mengandung indikator pH (3).
Media yang digunakan pada praktikum ini adalah MSC komplit yang terdiri dari
DMEM, 10% FBS, 1% Penstrep. Media DMEM dengan campuran serum dan antibiotic
cocok digunakan untuk melakukan stem cell culture. Media DMEM mengandung karbohidrat
yang berfungsi sebagai sumber energi utama, asam amino sebagai bahan untuk sintesis
protein di dalam sel, vitamin yang berguna untuk sintesis protein dan energi (sebagai
koenzim), garam untuk menjaga keseimbangan osmotic di dalam media, serta adanya larutan
phenol red sebagai pH indikator. Selain itu ditambahan FBS dengan konsentrasi 10% yang
berfungsi sebagai penyedia serum yang berisi berbagai faktor pertumbuhan. 1% penstrep
terdiri dari 1gr penisilin ditambah 1 gr streptmicin di dalam 100ml larutan, fungsi dari
penstrep ini adalah sebagai antibiotic untuk mengurangi resiko kontaminasi bakteri pada
kultur sel (2).
F. DAFTAR PUSTAKA
1. Segeritz CP, Vallier L. Cell Culture: Growing Cells as Model Systems In Vitro. Basic
Science Methods for Clinical Researchers [Internet]. 2017;151–72. Available from:
www.invitrogen.com/cellculturebasics
2. Weiskirchen S, Schröder SK, Buhl EM, Weiskirchen R. A Beginner’s Guide to Cell Culture:
Practical Advice for Preventing Needless Problems. Vol. 12, Cells. MDPI; 2023.
3. Masters JR, Stacey GN. Changing medium and passaging cell lines. Nat Protoc. 2007
Sep;2(9):2276–84.
4. Susanti I, Subangkit, Hariastuti NI, Ikawati H, Setiawaty V, Heriyanto B. Pedoman
BIORISIKO LABORATORIUM INSTITUSI. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan (LPB); 2019.

Anda mungkin juga menyukai