Peraturan Taknis Jalan Arteri
Peraturan Taknis Jalan Arteri
JALAN
Menimbang :
a. bahwa dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan
telah ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok mengenai jalan;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a di atas, perlu ditetapkan peraturan pemerintah
tentang Jalan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran
Negara Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3186);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG JALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
Pasal 3
(1) Pembina jalan wajib mengusahakan agar jalan dapat digunakan
bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dengan
mengusahakan agar biaya operasi kendaraan menjadi serendah-
rendahnya.
(2) Pembina jalan wajib mengusahakan agar jalan dapat mendorong
ke arah terwujudnya keseimbangan antar daerah dalam hal
tingkat pertumbuhannya dengan mempertimbangkan satuan wilayah
pengembangan dan orientasi geografis pemasaran sesuai dengan
struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang dituju.
Pasal 4
Pasal 5
(1) Sistem jaringan Jalan Sekunder disusun mengikuti ketentuan
pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan
yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi
sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai
ke perumahan.
Pasal 7
(1) Jalan Arteri Primer didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 60 (enam puluh) km/jam dan dengan lebar badan
jalan tidak kurang dari 8 (delapan) meter.
(2) Jalan Arteri Primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata.
(3) Pada Jalan Arteri Primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh
terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan
kegiatan lokal.
Pasal 8
(1) Jalan Kolektor Primer didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 40 (empat puluh) km/jam dan dengan lebar badan
jalan tidak kurang dari 7 (tujuh) meter.
(2) Jalan Kolektor Primer mempunyai kapasitas yang sama atau
lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
(3) Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
masih tetap terpenuhi.
(3) Pada Jalan Arteri Sekunder lalu lintas cepat tidak boleh
terganggu oleh lalu lintas lambat.
(4) Persimpangan pada Jalan Arteri Sekunder, dengan pengaturan
tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 11
Jalan Kolektor Sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 20 (dua puluh) km/jam dan dengan lebar badan jalan
tidak kurang dari 7 (tujuh) meter.
Pasal 12
Pasar 13
Ketentuan teknik jalan bagi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Perlengkapan jalan yang berkaitan tidak langsung dengan pemakai
jalan harus memenuhi ketentuan teknik perlengkapan jalan yang
ditetapkan oleh Menteri.
BAB III
BAGIAN-BAGIAN JALAN
Bagian Pertama
Daerah Manfaat Jalan
Pasal 17
Pasal 18
(1) Badan jalan hanya diperuntukkan bagi arus lalu lintas dan
pengamanan terhadap konstruksi jalan.
(2) Lebar, tinggi, dan kedalaman ruang bebas ditetapkan lebih
lanjut oleh Pembina Jalan.
(3) Tinggi ruang bebas bagi Jalan Arteri dan Jalan Kolektor
paling rendah 5 (lima) meter dengan kedalaman lebih dari 1½
(satu setengah) meter.
(4) Dilarang menggunakan badan jalan dan ruang bebas untuk
keperluan yang dapat mengganggu peruntukan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 19
Pasal 21
(1) Bangunan utilitas yang mempunyai sifat pelayanan wilayah pada
sistem jaringan jalan primer di luar kota, harus ditempatkan
di luar Daerah Milik Jalan.
Pasal 23
Menteri menetapkan persyaratan dalam hal memasang, membangun,
memperbaiki, mengganti baru, memindahkan, dan merelokasi bangunan
utilitas yang terletak di dalam, pada, sepanjang, melintas, dan di
bawah Daerah Manfaat Jalan.
Pasal 24
(1) Menteri Perhubungan mengatur pengadaan, penempatan,
pemasangan, perbaikan, penggantian baru, pemindahan, dan
pemeliharaan rambu-rambu alumina dan tanda-tanda jalan
setelah mendengar pendapat Menteri.
Pasal 25
Pembina Jalan mengambil segala upaya agar Daerah Manfaat Jalan
dapat digunakan sesuai dengan fungsinya apabila terjadi gangguan
dan hambatan dalam penggunaan Daerah Manfaat Jalan.
Pasal 26
Bagian Kedua
Daerah Milik Jalan
Pasal 27
(1) Daerah Milik Jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang
dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh
Pembina Jalan dengan suatu hak tertentu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Daerah Milik Jalan diperuntukkan bagi Daerah Manfaat Jalan
dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur alumina di
kemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk pengaman jalan.
Pasal 28
(1) Penggunaan Daerah Milik Jalan selain dari peruntukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), harus dengan
izin Pembina Jalan serta memenuhi syarat-syarat tertentu.
(2) Apabila Daerah Milik Jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diperlukan untuk Pembinaan jalan, maka pemegang izin
yang bersangkutan wajib mengembalikan keadaan Daerah Milik
Jalan seperti keadaan semula, atas beban biaya pemegang izin
yang bersangkutan.
Pasal 29
Penggunaan Daerah Milik Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
yang mengakibatkan kerusakan jalan dapat dikenakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor
13 Tahun 1980.
Pasal 30
Pembina Jalan mengambil segala upaya agar Daerah Milik Jalan dapat
digunakan sesuai dengan fungsinya, apabila terjadi gangguan dan
hambatan dalam penggunaan Daerah Milik Jalan.
Pasal 31
Pasal 32
BAB IV
PELIMPAHAN DAN PENYERAHAN WEWENANG PEMBINAAN JALAN
Pasal 35
Pasal 36
(1) Wewenang penyusunan rencana umum jangka panjang, rencana
jangka menengah, dan penyusunan program pewujudan jaringan
jalan primer ada pada Menteri.
Pasal 38
Pasal 40
Pelimpahan wewenang pembinaan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) kepada Pejabat Pusat di daerah dilaksanakan
dengan syarat :
a. tanggung jawab tetap ada pada Menteri;
b. perangkat pelaksanaannya adalah perangkat pelaksanaan pusat
di daerah;
c. alat perlengkapannya adalah alat perlengkapan pusat di
daerah;
d. pembiayaannya dari Departemen yang bertanggung jawab di
bidang pembinaan jalan.
Pasal 41
Pelimpahan wewenang pemeliharaan Jalan Arteri pada jaringan jalan
primer kepada Pemerintah Daerah Tingkat I dalam rangka tugas
pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1)
dilaksanakan dengan syarat :
a. tanggung jawab tetap ada pada Menteri;
b. perangkat pelaksanaannya adalah perangkat Pemerintah Daerah
yang bersangkutan;
c. alat perlengkapannya adalah alat perlengkapan Pemerintah
Daerah Tingkat I yang bersangkutan;
d. pembiayaannya dari Departemen yang bertanggung jawab di
bidang pembinaan jalan.
Pasal 42
(1) Sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
Menteri setelah mendengar Menteri yang bersangkutan dan
Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dapat :
a. mengambil alih sementara wewenang pembinaan suatu ruas
jalan;
b. langsung menangani secara fisik suatu ruas jalan;
c. menutup sementara suatu ruas jalan.
Pasal 44
(1) Termasuk kelompok Jalan Propinsi adalah :
a. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan ibukota
propinsi dengan ibukota kabupaten/kotamadya;
b. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota
kabupaten/kotamadya;
c. Jalan selain daripada yang termasuk dalam huruf a dan
huruf b, yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan propinsi;
d. Jalan dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
Pasal 47
(1) Termasuk kelompok Jalan Desa adalah jaringan jalan sekunder
di dalam desa.
(2) Penetapan status suatu ruas jalan sebagai Jalan Desa
dilakukan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II
dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 48
(1) Termasuk kelompok Jalan Khusus adalah jalan yang dibangun dan
dipelihara oleh Instansi/Badan Hukum/Perorangan untuk
melayani kepentingan masing-masing.
Pasal 49
(5) Atas usulan ataupun saran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4) Pembina Jalan yang menerima usulan atau saran
tersebut memberikan pendapatnya kepada pejabat yang
menetapkan status semula dari ruas jalan yang bersangkutan.
(6) Penetapan status ruas jalan menurut proses peralihan
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang menetapkan status baru dari ruas jalan yang
bersangkutan, setelah mendengar pendapat pejabat yang
menetapkan status semula.
Bagian Kedua
Penentuan Sasaran
Paragaf 1
Rencana umum jangka panjang jaringan jalan
Pasal 50
Rencana umum jangka panjang jaringan jalan berisi gambaran wujud
jaringan jalan yang ingin dicapai untuk sekurang-kurangnya
mencakup tahap 10 (sepuluh) tahun mendatang.
Pasal 51
Pasal 55
Bagian Ketiga
Pengadaan
Paragraf 1
Rencana Teknik Jalan
Pasal 56
Pasal 58
(1) Rencana teknik jalan dari jaringan jalan primer harus
disetujui oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.
(2) Rencana teknik jalan dari jaringan jalan sekunder harus
disetujui oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan dengan
ketentuan :
a. untuk jaringan jalan sekunder di kabupaten/kotamadya
oleh Pemerintah Daerah Tingkat I atau Pejabat yang
ditunjuk olehnya.
b. untuk jaringan jalan sekunder di desa oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.
(3) Rencana tenik jalan untuk Jalan Khusus yang melampaui batas
wilayah administrasi tingkat tertentu harus mendapat
persetujuan dari :
a. Menteri atau Pejabat yang ditunjuk olehnya dalam hal
Jalan Khusus tersebut melalui lebih dari satu wilayah
propinsi;
b. Pemerintah Daerah Tingkat I atau Pejabat yang ditunjuk
olehnya dalam hal Jalan Khusus tersebut melalui lebih
dari satu wilayah kabupaten.
Paragraf 2
Pembangunan
Pasal 59
Pembangunan jalan merupakan kegiatan untuk mewujudkan ruas jalan
baru.
Pasal 60
(1) Setiap jalan yang dibangun oleh Pembina Jalan selain Pembina
Jalan Nasional yang melampaui batas wilayahnya harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari Pembina Jalan setingkat
lebih tinggi.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai
persyaratan administratif dan persyaratan teknik.
Pasal 61
Pasal 62
(1) Dalam hal pelaksanaan pembangunan jalan akan mengganggu jalur
lalu-lintas yang telah ada, Pembina Jalan harus mengusahakan
agar lalu-lintas pada jalur tersebut tetap berlangsung dengan
aman dan lancar.
Pasal 63
Dalam hal pelaksanaan pembangunan jalan akan mengganggu bangunan
utilitas, Pembina Jalan harus mengusahakan agar bangunan utilitas
tersebut dapat tetap berfungsi dan tidak merugikan masyarakat
pemakaianya.
Pasal 64
Dalam hal rencana pembangunan suatu Jalan Khusus dipandang dapat
memenuhi kebutuhan perkembangan jaringan jalan umum, sepanjang
tidak merugikan kepentingan Jalan Khusus maka Pembina Jalan
Nasional/Propinsi/ Kabupaten/Kotamadya, dapat menetapkan Jalan
Khusus yang akan dibuat oleh Pembina Jalan Khusus dibangun sesuai
dengan persyaratan jalan umum.
Paragraf 3
Penyerahan, Penerimaan, dan Pengambilalihan
Pasal 65
Pemerintah dapat menerima Jalan Khusus untuk dinyatakan sebagai
jalan umum dari Pejabat Instansi Pemerintah atau Badan Hukum atau
Perorangan apabila hal tersebut sesuai dengan program pengembangan
jaringan jalan dan pewujudan sasaran.
Pasal 66
(1) Pemerintah dapat mengambil alih suatu ruas Jalan Khusus
tertentu untuk dijadikan jalan umum dengan pertimbangan :
a. untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Negara;
b. untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional dan
perkembangan suatu daerah;
c. untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 67
Paragraf 1
Umum
Pasal 68
Pembina Jalan wajib memelihara jalan yang ada di bawah wewenang
dan tanggung jawabnya.
Pasal 69
Pasal 70
(1) Pemeliharaan jalan dilaksanakan menurut rencana teknik
pemeliharaan jalan yang sekurang-kurangnya terdiri dari
gambar rencana serta syarat-syarat dan spesifikasi pekerjaan.
(2) Pelaksanaan pemeliharaan jalan diusahakan agar tidak
menimbulkan gangguan terhadap masyarakat sekitarnya,
kelestarian alam dan lingkungan hidup, serta tidak merugikan
pemakai jalan.
Pasal 71
(1) Pelaksanaan pemeliharaan jalan di Daerah Manfaat Jalan harus
dilakukan tanpa menimbulkan gangguan terhadap kelancaran,
keamanan, dan ketertiban lalu-lintas.
Pasal 72
Pasal 74
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan Pasal
73, berlaku pula terhadap setiap kegiatan pemeliharaan bangunan
utilitas yang menggunakan atau mengganggu Daerah Manfaat Jalan,
Daerah Milik Jalan, dan Daerah Pengawasan Jalan.
Bagian Kelima
Penilikan
Pasal 75
Pembina Jalan berwenang mengadakan penilikan yang berhubungan
dengan jalan yang bersangkutan.
Pasal 76
Pasal 78
Penilik Jalan bertugas :
a. mengawasi segala kejadian di Daerah Manfaat Jalan, Daerah
Milik Jalan, dan Daerah Pengawasan Jalan yang dapat
mengganggu peranan jalan;
b. menyampaikan usul tindakan turun tangan kepada Pembina Jalan
atau Instansi yang berwenang;
c. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Pembina Jalan.
BAB VI
DOKUMEN JALAN
Pasal 79
Pasal 81
(1) Suatu Leger sekurang-kurangnya memuat data sebagai berikut :
a. nomor ruas jalan;
b. nama pengenal jalan;
c. titik-titik pangkal dan ujung serta jurusan lain;
d. peranan jalan;
e. sistem jaringan jalan;
f. status jalan menurut wewenang pembinaan;
g. lebar daerah milik jalan dan data perolehannya;
h. lebar daerah pengawasan jalan;
i. lebar daerah manfaat jalan;
j. jenis perkerasan disertai lebar, tebal, dan panjang
berikut sejarah tekniknya;
k. jenis dan jumlah bangunan pelengkap jalan serta
bangunan-bangunan lain yang berada dalam ruas jalan
tersebut dengan disertai ukuran-ukuran pokok susunannya;
l. perlengkapan jalan;
m. pembina jalan yang bertanggung jawab atas ruas jalan
termasuk bangunan pelengkapnya;
n. tanggal diwujudkannya, dibuka, dan ditutupnya ruas
jalan;
o. nilai jalan yang terdiri dari biaya desain, biaya
pembangunan, dan biaya pemeliharaan yang bisa
dikapitalisir.
Pasal 84
Pasal 85
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 2
(dua) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus
ribu rupiah).
Pasal 86
Barang siapa melanggar larangan atau perintah yang dikeluarkan
secara tertulis berdasarkan ketentuan sebagaixnana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya
1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-
(seratus ribu rupiah).
Pasal 87
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, dan Pasal
86 adalah pelanggaran.
BAB VIII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 88
Pasal 89
Pasal 90
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 1985
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 1985
TENTANG
JALAN
I. UMUM
1. Sebagai salah satu prasarana perhubungan dalam kehidupan
bangsa, kedudukan dan peranan jaringan jalan pada
hakikatnya menyangkut hajat hidup orang banyak serta
mengendalikan struktur pengembangan wilayah pada tingkat
nasional, terutama yang menyangkut pewujudan/
perkembangan antar daerah yang seimbang dan pemerataan
hasil-hasil pembangunan, serta peningkatan pertahanan
dan keamanan negara, dalam rangka mewujudkan
sasaran-sasaran pembangunan nasional menuju masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2. Dalam kedudukan dan peranan jalan seperti itu, sudah
selayaknya apabila negara menguasai jaringan jalan.
Dengan hak penguasaan jalan ada pada negara, pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara,
mempunyak hak membina jalan. Pembinaan jalan yang
menjamin terselenggaranya peranan jalan harus
berdasarkan landasan pembinaan jalan yang konsepsional
dan menyeluruh.
3. Pembinaan jalan sebagai salah satu bagian dari pembinaan
prasarana perhubungan melibatkan unsur rakyat dan
pemerintah, sehingga pelaksanaan pengaturannya ditujukan
baik kepada rakyat maupun pemerintah. Dalam hubungan itu
setiap usaha pembinaan jalan memerlukan kesepakatan atas
pengenalan masalah sasaran pokok yang harus dilandasi
oleh jiwa pengabdian kepada dan tanggung jawab terhadap
bangsa dan negara.
4. Pengenalan masalah pokok jalan memberi petunjuk bahwa
pembinaan jalan yang konsepsional dan menyeluruh perlu
melihat jalan sebagai suatu kesatuan sistem jaringan
jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat
pertumbuhan yaitu kota-kota.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Biaya operasi kendaraan meliputi antara lain bahan
bakar, pelumas, keausan, dan nilai waktu.
Ayat (2)
Keseimbangan antar daerah dalam tingkat pertumbuhannya,
bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Yang
dihadapi sehari-hari justru adanya sistem sosial yang
cenderung untuk mengarah kepada meningkatnya ketidak
seimbangan antar daerah dalam hal tingkat
perkembangannya. Daerah dengan tingkat kemudahan yang
tinggi akan lebih cepat pula berkembang dan keadaan akan
menjadi lebih menarik lagi bagi manusia untuk datang dan
melakukan kegiatan usaha.
Pasal 5
Ayat (1)
Kawasan adalah wilayah yang dibatasi oleh lingkup
pengamatan fungsi tertentu Kawasan primer adalah kawasan
kota yang mempunyai fungsi primer. Kawasan sekunder
adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi sekunder.
Fungsi primer suatu kota adalah sebagai titik simpul
jasa distribusi bagi daerah jangkauan peranannya.
Sedangkan fungsi sekunder sebuah kota dihubungkan dengan
pelayanan terhadap warga kota itu sendiri yang lebih
berorientasi ke dalam dan jangkauan lokal. Kedua fungsi
tersebut harus berjalan teratur dan tidak terbaurkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jalan Lokal Sekunder yang menghubungkan kawasan kota
yang mempunyai fungsi sekunder kesatu dengan perumahan
pada umumnya terdapat di pusat kota.
Pasal 6
Penetapan ruas-ruas jalan diselenggarakan secara berkala
disesuaikan dengan kebutuhan atas usul Pembina Jalan yang
bersangkutan. Dibutuhkan penetapan baru apabila terjadi
perubahan yang mendasar terhadap Struktur Wilayah
Pengembangan. Perubahan Struktur Wilayah Pengembangan ini
dimungkinkan terjadi terutama oleh faktor pertumbuhan
ekonomi.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kecepatan rencana ("design speed")
adalah kecepatan kendaraan yang dapat dicapai bila
berjalan tanpa gangguan dan aman. Jalan dengan kecepatan
rencana paling rendah 60 (enam puluh) km/jam adalah
jalan yang didesain dengan persyaratan- persyaratan
geometric yang diperhitungkan terhadap kecepatan minimum
60 (enam puluh) km/jam, sehingga pada volume jam
perencanaan ("design hourly volume") kendaraan bermotor
dapat menggunakan kecepatan 60 (enam puluh) km/jam
dengan aman.
Persyaratan kecepatan rencana diambil angka paling
rendah dengan maksud untuk memberikan kebebasan bagi
perencana jalan dalam menetapkan kecepatan rencana yang
paling tepat, disesuaikan dengan kondisi lingkungannya,
sama atau lebih besar dari persyaratan tersebut, agar
dicapai kapasitas jalan yang paling tinggi.
Meskipun batas paling tinggi tidak disebutkan, namun
penetapan rencana yang tinggi tidak dianjurkan terutama
bila akan mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan
jalan secara berlebihan.
Ayat (2)
a. Volume lalu-lintas adalah jumlah kendaraan yang
melewati suatu penampang tertentu pada suatu ruas
jalan tertentu dalam satuan waktu tertentu. Volume
lalu-lintas rata-rata adalah jumlah kendaraan
rata-rata dihitung menurut satu satuan waktu
tertentu.
Ayat (3)
a. Lalu-lintas ulang alik adalah lalu-lintas yang
ditimbulkan pemakai jalan yang berdomisili di
pinggiran kota dan pusat-pusat pemukiman di luar
kota yang mempunyai ketergantungan kehidupan
sehari-hari di kota.
b. Lalu-lintas lokal adalah lalu-lintas yang
ditimbulkan oleh pemakai jalan yang mempunyai asal
dan tujuan lokal (setempat).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Maksud dari ayat ini ialah untuk menjaga agar
kepentingan lintas ekonomi tingkat nasional tidak
dirugikan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kondisi volume lalu-lintas sama dengan kapasitas adalah
kondisi arus lalu lintas dengan ciri sebagai berikut :
a. Kebebasan gerakan, mendahului, memilih jalur,
memilih kecepatan, kenyamanan, dan pengeluaran
biaya operasi kendaraan bagi pengemudi berada pada
titik yang mulai tidak menguntungkan;
b. Arus lalu-lintas tidak stabil dan/atau tertekan,
sehingga terjadi kongesti (kendaraan berjalan
perlahan tetapi tidak sampai berhenti) maupun
sampai dengan kemacetan (kendaraan terpaksa
berhenti dan menunggu di luar keinginan pengemudi).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 7 ayat (6).
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.`
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 7 ayat (6).
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemecahan keadaan sebagaimana tercantum pada ayat (3)
ini, secara prinsip sama dengan pemecahan yang tercantum
pada Pasal 7 ayat (3). Namun kadar pemecahan terikat
pada ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini.
Disamping itu, karena sifat arus lalu lintas dan
prasarana berbeda maka pemecahan yang tercantum pada
Pasal 7 ayat (3) perlu ditambah atau diikuti oleh
manajemen lalu-lintas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan persimpangan adalah pertemuan
sebidang. Pada persimpangan, pengaturan dapat berupa
pengaturan dengan petugas, marka, rambu lalu-lintas
termasuk di dalamnya lampu lalu-lintas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal kondisi setempat tidak memungkinkan
persyaratan tersebut Pasal 12 ayat (1), penurunan
persyaratan harus masih memenuhi persyaratan bagi
kendaraan bermotor maupun tidak bermotor yang beroda
dua.
Ayat (3)
Kebutuhan lebar badan jalan minimum 3 1/2 (tiga
setengah) meter ini dikandung maksud agar lebar jalur
lalu-lintas dapat mencapai 3 (tiga) meter dengan
demikian pada keadaan darurat, dapat dilewati mobil
ambulance, pemadam kebakaran, dan kendaraan khusus
lainnya.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud sesuai dengan peranan jalan yang bersangkutan
adalah agar jalan dapat melayani lalu-lintas dan kecepatan
sesuai dengan peranan jalan sehingga keadaannya selalu
dipertahankan untuk maksud tersebut misalnya :
- permukaan jalan selalu dalam keadaan utuh dan rata.
- mengurangi sebanyak mungkin faktor-faktor kecelakaan
lalu-lintas yang diakibatkan oleh kondisi jalan (licin,
pandangan pengemudi terganggu, debu, dan sebagainya).
- tanda-tanda lalu lintas dapat dibaca, selalu dalam
keadaan utuh dan bersih.
- bangunan pelengkap jalan antara lain : jembatan, ponton,
lintas atas, lintas bawah, tempat parkir, gorong-gorong,
tembok penahan, dan saluran tepi jalan dibangun sesuai
dengan persyaratan teknik.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan perlengkapan jalan dalam pasal ini ialah
rambu-rambu lalu-lintas dan marka jalan yang mempunyai fungsi
sebagai sarana untuk mengatur kelancaran, keamanan, dan
ketertiban lalu-lintas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan perlengkapan jalan dalam pasal ini ialah
patok kilometer, batas seksi, dan pagar pengaman jalan
("guard rail"), yang mempunyai fungsi sebagai sarana untuk
keperluan memberikan perlengkapan dan pengaman jalan.
Pasal 17
Ayat (1)
Daerah Manfaat Jalan dalam pengertian bidang datar
adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 5
ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang
Jalan. Daerah Manfaat Jalan dalam pengertian ruang
adalah dibatasi dengan lebar, tinggi, dan kedalaman
tertentu sesuai dengan ketentuan teknik yang akan
ditetapkan oleh Menteri sebagai pedoman.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan trotoar adalah jalur pejalan kaki
yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi dari
permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keamanan
pejalan kaki yang bersangkutan.
Pasal 18
Ayat (1)
Badan jalan meliputi : jalur lalu-lintas, dengan atau
tanpa jalur pemisah, dan bahu jalan. Pengertian
peruntukan bagi arus lalu-lintas adalah penggunaan badan
jalan yang dimaksud untuk mempertahankan kecepatan
lalu-lintas sesuai dengan yang direncanakan, termasuk
antara lain penggunaan bahu jalan untuk berhenti bagi
kendaraan dalam keadaan darurat agar tidak mengganggu
arus lalu lintas yang lewat perkerasan jalan.
Ayat (2)
Tinggi dan kedalam ruang bebas diukur dari permukaan
jalur lalu lintas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Saluran tepi jalan dimaksudkan terutama untuk menampung
dan menyalurkan air hujan yang jatuh di Daerah Manfaat
Jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal tertentu misalnya di dalam daerah perkotaan,
penyediaan ruang untuk pengadaan saluran lingkungan
terbatas dan untuk efisiensi pengadaan saluran
lingkungan tersebut, maka dengan syarat-syarat teknik
tertentu saluran tepi jalan dapat berfungsi juga sebagai
saluran lingkungan. Syarat-syarat tertentu yang akan
ditetapkan oleh Menteri antara lain meliputi perizinan,
ketentuan teknik dan pembebanan biaya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Penambahan jalur perkerasan jalan dilakukan pada Daerah
Milik Jalan. Oleh karena itu penempatan bangunan
utilitas harus dilakukan di luar Daerah Manfaat Jalan.
Ayat (2)
Hal tersebut pada ayat (1) dimungkinkan dan dipermudah,
khususnya pada sistem jaringan jalan primer di luar kota
mengingat biaya pembebasan tanah di luar kota relatif
murah, dibandingkan dengan di dalam kota. Untuk wilayah
kota mengingat terbatasnya penempatan bangunan utilitas
pada sistem jaringan jalan primer dapat dilakukan pada
batas Daerah Milik Jalan apa-bila tidak ada cara lain
yang lebih baik. Pengadaan dan pemasangan bangunan
utilitas memerlukan biaya yang sangat besar. Untuk
menghindari pembongkaran bangunan utilitas yang
ditempatkan pada Daerah Milik Jalan, sebagai akibat
digunakannya Daerah Milik Jalan untuk penambahan jalur
perkerasan jalan, bangunan utilitas harus ditempatkan di
luar Daerah Milik Jalan, atau dapat ditempatkan pada
batas Daerah Milik Jalan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 22
Dalam hal penanaman pohon, masih dapat dilakukan pada Daerah
Milik Jalan, oleh karena apabila saatnya tiba untuk
menggunakan Daerah Milik Jalan bagi penambahan jalur
perkerasan jalan, biaya penebangan pohon jauh lebih murah dan
mudah dibandingkan dengan pembongkaran dan pemasangan kembali
bangunan utilitas yang ditempatkan pada Daerah Milik Jalan.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Pelaksanaan penempatan, pemasangan, dan pemindahan
perlengkapan jalan, rambu-rambu lalu-lintas, dan tanda-tanda
jalan dilakukan dengan mendengar pendapat/saran dari
Kepolisian, Perhubungan atau Pembina Jalan.
Pasal 25
Segala upaya sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah
suatu penanganan berupa antara lain tindakan secara langsung
untuk meniadakan gangguan atau hambatan terhadap penggunaan
Daerah Manfaat Jalan.
Pasal 26
Pengertian bangunan utilitas dalam pasal ini, meliputi daerah
manfaat bangunan utilitas tersebut.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Penggunaan Daerah Milik Jalan selain daripada peruntukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) adalah
misalnya :
a. pemasangan papan iklan, hiasan, gapura, dan
benda-benda sejenis yang bersifat sementara;
b. pembuatan bangunan-bangunan sementara atau semi
permanen untuk kepentingan umum yang mudah
dibongkar setelah fungsinya selesai misalnya :
gardu jaga, direksi kit, dan sebagainya;
c. penanaman pohon-pohon dalam rangka penghijauan,
keindahan ataupun keteduhan lingkungan yang
berkaitan dengan kepentingan umum;
d. penempatan bangunan utilitas misalnya : tiang
telepon, tiang listrik, air minum, pipa gas dan
lainnya yang bersifat melayani kepentingan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pandangan bebas pengemudi adalah istilah yang digunakan
dalam kaitan dengan hambatan terhadap keamanan pengemudi
kendaraan misalnya : pada sisi dalam dari tikungan tajam
pandangan bebas terganggu karena tertutup bangunan,
sehingga jarak untuk melihat kesamping tidak cukup bebas
atau asap yang menutup pandangan atau permukaan yang
menyilaukan. Pengamanan terhadap konstruksi jalan adalah
pembatasan penggunaan lahan sedemikian untuk tidak
membahayakan konstruksi jalan misalnya air yang dapat
meresap masuk ke bawah jalan atau keseimbangan berat di
lereng galian/timbunan atau erosi yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia.
Ayat (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini tidak
berlaku bagi Jalan Khusus. Perbuatan tertentu misalnya :
membongkar, menghentikan, dan menghilangkan benda-benda.
Pasal 34
Batas luar Daerah Pengawasan Jalan sebagaimana dimaksud dalam
pasal ini diukur dengan jarak ke setiap sisi dari as jalan
sesuai dengan persyaratan klasifikasi fungsional jalan yang
bersangkutan. Dalam hal jembatan, lebar Daerah Pengawasan
Jalan diukur dari tepi luar pangkal jembatan.
Pasal 35
Wewenang pembinaan jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal
ini, dapat diserahkan atau dilimpahkan namun tanggung jawab
tetap ada pada Menteri.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Pelaksanaan penutupan sementara suatu ruas jalan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
lalu-lintas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih Jalan kolektor
Primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi
maka pada dasarnya hanya satu yang ditetapkan
statusnya sebagai Jalan Nasional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan jalan dalam ayat (1) huruf c
ialah jalan yang tidak dominan terhadap
pengembangan ekonomi, tetapi mempunyai peranan
menjamin kesatuan dan keutuhan nasional, melayani
daerah-daerah yang rawan, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih Jalan Kolektor
Primer yang menghubungkan ibukota propinsi dengan
ibukota kabupaten/kotamadya maka pada dasarnya
hanya 1 (satu) yang ditetapkan statusnya sebagai
Jalan Propinsi.
Huruf b
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih Jalan Kolektor
Primer yang menghubungkan antar ibukota
kabupaten/kotamadya maka pada dasarnya hanya 1
(satu) yang ditetapkan statusnya sebagai Jalan
Propinsi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan jalan dalam ayat (1) huruf c
ialah jalan yang tidak dominan terhadap
pengembangan ekonomi, tetapi mempunyai peranan
tertentu dalam menjamin terselenggaranya
pemerintahan yang baik dalam Pemerintah Daerah
Tingkat I dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jalan dalam ayat (1) huruf d ialah
jalan yang tidak dominan terhadap pengembangan ekonomi,
tetapi mempunyai peranan tertentu dalam menjamin
terselenggaranya pemerintahan dalam Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah jalan
hasil swadaya masyarakat baik yang ada di Desa maupun di
Kelurahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Dengan pengalihan status ruas jalan tersebut ke tingkat
yang lebih tinggi dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
mutu pembinaannya agar lebih mampu melayani kebutuhan
lalu-lintas umum.
Ayat (2)
Dengan pengalihan status ruas jalan tersebut ke tingkat
yang lebih rendah tidak berarti menurunkan mutu
pembinaan jalan, bahkan diharapkan dapat semakin
ditingkatkan karena lebih dekat dengan kepentingan pihak
yang membutuhkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 50
Perkembangan jaringan dipengaruhi faktor-faktor yang tidak
pasti, sehingga perencanaan umum jangka panjang dijangkaunya
terlalu jauh tidak akan sesuai dengan perkembangan lalu
lintas yang sebenarnya. Oleh karena itu untuk jaringan jalan,
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dianggap wajar guna mencakup
tahapan jangka panjang, kecuali ada data yang lebih pasti
untuk jangkauan yang lebih jauh.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Yang dimaksud dengan kumpulan rencana individu adalah
struktur program pembinaan jalan yang memberikan petunjuk
tingkat penanganan masing-masing ruas jalan sesuai dengan
saran fungsional yang ingin dicapai, meliputi baik tingkat
pelayanan struktural jalan maupun tingkat pelayanan geometrik
jalan.
Pasal 53
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksud menjamin sasaran fisik maupun
fungsional yang telah ditetapkan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55.
Ayat (2)
Lihat penjelasan ayat (1)
Ayat (3)
Pedoman dari Menteri selalu diperlukan dengan maksud
untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya/
fisiensi dalam kerangka satu kesatuan sistem jaringan
jalan.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ketentuan ini dimaksudkan agar terjadi keseimbangan prasarana
transportasi dari satu propinsi ke propinsi lain, dari satu
kabupaten ke kabupaten lain, dari satu wilayah desa ke
wilayah desa lain sehingga memberikan manfaat yang paling
optimal.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Pengambilalihan suatu ruas Jalan Khusus menjadi Jalan
Sekunder dilakukan oleh Pemerintah Daerah, sedangkan
untuk Jalan Primer oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Perawatan jalan merupakan kegiatan merawat serta memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ruas-ruas jalan dengan
kondisi pelayanan mantap. Jalan dengan kondisi pelayanan
mantap adalah ruas-ruas jalan dengan umur rencana ("design
life") yang dapat diperhitungkan serta mengikuti suatu
standar tertentu. Rehabilitasi jalan merupakan kegiatan
penanganan terhadap setiap kerusakan yang tidak
diperhitungkan dalam desain, yang berakibat menurunnya
kondisi kemantapan pada bagian/tempat tertentu dari suatu
ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap, agar penurunan
kondisi kemantapan tersebut dapat dikembalikan pada kondisi
kemantapan sesuai dengan rencana. Penunjangan jalan merupakan
kegiatan penanganan untuk dapat meningkatkan kemampuan
pelayanan ruas-ruas jalan dengan kondisi kemampuan pelayanan
tidak mantap atau kritis, agar ruas-ruas jalan tersebut tetap
dapat berfungsi melayani lalu-lintas dan agar kondisi jalan
pada setiap saat tidak semakin menurun.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Yang dimaksud dengan penilikan jalan ialah kegiatan
pengamatan jalan dari segi pemanfaatan jalan oleh pemanfaat
jalan ("road beneficiaries"). Dalam hubungan ini pemanfaatan
jalan dapat berupa pemakai jalan ("road user") yaitu
pihak-pihak yang nyata-nyata menggunakan jalan misalnya
kendaraan dan pejalan kaki, dan bukan pemakai jalan ("non
road user") yaitu pihak-pihak yang tidak nyata-nyata
menggunakan jalan seperti toko dan pedagang di jalan.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Jumlah penilik jalan ditentukan berdasarkan atas panjang ruas
jalan yang bersangkutan.
Pasal 78
Adanya penilik jalan tidak mengurangi wewenang penegak hukum
untuk mengawasi setiap kegiatan di jalan.
Pasal 79
Leger jalan dimaksud untuk tempat mencatat segala sesuatu
mengenai jalan yang akan dapat dipakai bilamana ada hal-hal
yang akan timbul selama jalan tersebut berfungsi. Dengan
sendirinya leger senantiasa berada dalam keadaan mutakhir
untuk dapat dipakai sebagaimana diharapkan.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Data sebagaimana dimaksud dalam ayat ini merupakan
hal-hal yang sekurang-kurangnya harus tercantum dalam
leger, agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Disamping itu dapat ditambahkan keterangan-keterangan
yang dapat menjelaskan hal-hal dalam masing-masing
perincian bilamana diperlukan, misalnya untuk nama
pengenal jalan pada huruf b untuk satu ruas tertentu
dapat dikenal lebih dari satu nama. Pada huruf g tentang
data perolehan lahan Daerah Milik Jalan dapat ditambah
keterangan bahwa surat-surat tanah aslinya berada pada
Pembina Jalan yang bersangkutan.
Yang dimaksud sejarah teknik perkerasan pada huruf j
misalnya dalam hal perkerasan jalan tersebut rusak
terkena bencana alam, lalu diperbaiki untuk dikembalikan
kepada keadaan semula. Yang termasuk dalam perlengkapan
jalan pada huruf 1, umpamanya : patok-patok, pagar
pelindung ("guard rail").
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 82
Dari pasal ini jelas bahwa leger jalan mencakup juga jembatan
dan bangunan pelengkap lainnya pada ruas jalan yang
bersangkutan. Kartu jalan, kartu jembatan, dan kartu bangunan
pelengkap lainnya berisi hal-hal teknik dan digunakan oleh
Pembina Jalan yang bersangkutan untuk keperluan pembuatan
rencana dan program.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal Bab ini
dimaksud untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya atas
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini sehingga
dapat tercapai peranan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan.
Pasal 85
Lihat penjelasan Pasal 84.
Pasal 86
Lihat penjelasan Pasal 84.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Contoh : Jalan PERTAMINA, jalan-jalan yang digunakan
untuk bahan-bahan bangunan ("quarry").
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1985
YANG TELAH DICETAK ULANG
Sumber: LN 1985/37; TLN NO. 3293