Anda di halaman 1dari 16

BAB IX

AKHLAK SAFAR (BEPERGIAN)

A. Pengertian dan Batasan Safar

Bapergian dalam pustaka hukum Islam disebut dengan safar. Sedangkan

orang yang melakukan safar disebut musafir. Secara bahasa, safar bermakna

membuka atau menyingkap. Secara istilah, para ulama mendefiniskkan safar dengan

keluar dari negeri atau daerah tempat bermukim menuju suatu tempat dengan jarak

tempuh tertentu yang membolehkan seseorang untuk meng-qasar atau men-

jama’shalatnya. Bepergian dinamai safar karena dapat menyingkap wajah dan akhlaq

asli para musafir, sehingga saat safar, sifat-sifat asli yang tersembunyi saat muqim

menjadi nampak dan terlihat (Lisanul Arab 4/368). Terkait dengan definisi safar

tersebut, Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut

safar sehingga boleh mengqashar shalat. Ada tiga pendapat dalam hal ini:

1. Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km. Inilah pendapat

dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil

mereka adalah Hadits:

‫صر ِان ويُ ْف ِطر ِان ِِف أ ْرب ع ِة بُُرٍد وْهى ِستَّة‬ ٍ َّ‫َو َكانَ ا ْبنُ ُع َم َر وابْ ُن عب‬
ُ ‫اس رضى هللا عنهم ي ْق‬
‫عشر ف ْرس ًخا‬
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas Ra mengqashar shalat dan tidak

berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).”

(HR. Bukhari). Hadits ini disanggah sebagian ulama bahwa Hadits tersebut

bukan menunjukkan batasan jarak disebut bersafar sehingga boleh

mengqashar shalat.

286
2. Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga

hari tiga malam. Inilah pendapat ulama Hanafiyah. Dalil mereka adalah

hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi Saw bersabda:

‫ال تُسافِ ِر الْم ْرأةُ ثالثة أ ََّّيٍم إِالَّ مع ِذى َْمرٍم‬


“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama

mahramnya.” (HR. Bukhari). Begitu pula ulama ini berdalil dengan Hadits

‘Ali, ia berkata:

‫ ثالثة أ ََّّيٍم وليالِي ُه َّن لِْل ُمسافِ ِر وي ْوًما ولْي لةً لِْل ُم ِقي ِم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫اَّلل‬
َّ ‫ول‬ُ ‫جعل ر ُس‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam

sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari

semalam untuk mukim.” (HR. Muslim).

3. Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka

sudah boleh mengqashar shalat. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri. Ada Hadits yang

menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah menempuh jarak kurang dari yang

tadi disebutkan. Namun ketika itu beliau sudah mengqashar shalat.

َِّ ‫ول‬ ُ ‫الصال ِة ف قال كان ر ُس‬


َّ ‫ص ِر‬ ٍِ ِ
‫اَّلل‬ ْ ‫ت أنس بْن مالك ع ْن ق‬ ُ ْ‫ع ْن َْيَي بْ ِن ي ِزيد ا ْْلُنائ ِى قال سأل‬
ِ ْ ‫صلى هللا عليه وسلم إِذا خرج م ِسرية ثالث ِة أ ْمي ٍال أ ْو ثالث ِة ف ر ِاسخ ُش ْعبةُ الشَّاك صلَّى رْكعت‬
‫ي‬

“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada

Anas bin Malik mengenai qashar shalat. Anas menyebutkan,

“Rasulullah Saw pernah menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah

ragu akan penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at

287
(qashar shalat).” (HR. Muslim). Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan.

Itulah hadits yang paling shahih yang menerangkan masalah jarak safar

untuk bisa mengqashar shalat. Itulah hadits yang paling tegas.” (Fathul

Bari, 2: 567).

Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang menyelisihi pendapat di atas,

mereka menyanggah bahwa jarak yang dimaksud dalam hadits adalah jarak saat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar, bukan jarak tujuan yang ingin

dicapai. Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah hadits dari Anas

bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

،‫ك رضى هللا عنه قال صلَّى النَِِّب صلى هللا عليه وسلم ِِبلْم ِدين ِة أ ْرب ًعا‬ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
ْ ِ ‫ع ْن أن‬
‫ي‬ ْ ‫وبِ ِذى‬
ِ ْ ‫اْلُلْي ف ِة رْكعت‬

“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah

(saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari).

Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya sekitar tiga mil.

Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Nabi Saw sendiri tidak memberikan batasan

untuk jarak safar, tidak juga memberikan batasan waktu atau pun tempat.

Berbagai pendapat yang diutarakan dalam masalah ini saling kontradiksi. Dalil

yang menyebutkan adanya batasan tidak bisa dijadikan alasan karena saling

kontradiksi. Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi

sendiri sulit untuk diukur dengan ukuran jarak tertentu dalam mayoritas safar.

Pergerakan musafir pun berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa makna

mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at. Begitu pula jika syari’at mengaitkan

288
dengan sesuatu, kita juga harus menetapkan demikian pula. Initnya, setiap musafir

boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar. Begitu pula tetap

berlaku berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan

dan mengusap khuf.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 12-13).

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga.

Selama suatu perjalanan disebut safar baik menempuh jarak dekat maupun jauh,

maka boleh mengqashar shalat. Kalau mau disebut safar, maka ia akan berkata,

“saya akan safar”, bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”. (Lihat Shahih Fiqh

Sunnah, 1: 481). Kalau sulit untuk menentukan itu safar ataukah tidak, maka

pendapat jumhur (mayoritas ulama) bisa digunakan yaitu memakai jarak 85 km.

Berarti jika telah menempuh jarak 85 km dari akhir bangunan di kotanya, maka

sudah disebut safar. (http://www.mahad-alfaruq.com/5-adab-saat-bepergian-safar-

agar-perjalanan-anda-bernilai-ibadah/). Wallahu a’lam. Kemudian para ulama

membagi safar kepada beberapa jenis berikut ini:

1. Safar yang haram, yaitu safar untuk melakukan perkara yang Allah atau

Rasul-Nya Saw haramkan. Misalnya safar untuk berdagang khamr

(minuman keras), perkara-perkara yang haram, merampok atau safarnya

seorang perempuan tanpa mahram.

2. Safar yang wajib, misalnya: safar untuk umrah yang wajib atau untuk

jihad yang wajib.

3. Safar sunnah, contohnya: safar untuk umrah yang tidak wajib, safar untuk

haji sunnah atau jihad yang sunnah.

289
4. Safar mubah, misalnya: safar untuk perdagangan yang diperbolehkan dan

setiap perkara yang diperbolehkan.

5. Safar makruh, misalnya safarnya seseorang sendirian tanpa teman kecuali

pada kepentingan yang harus sendirian. Berdasarkan sabda Nabi Saw:

“Seandainya orang-orang mengetahui apa yang ada dalam kesendirian

sebagaimana yang aku ketahui, tidak akan ada seorang pengendara pun

yang berjalan sendirian pada waktu malam hari.” (HR. Imam Bukhari)

Inilah macam-macam safar yang telah disebutkan ulama. Maka wajib bagi

setiap muslim untuk tidak melakukan safar yang haram dan hendaknya tidak

menyengaja untuk melakukan safar yang makruh, tetapi membatasi seluruh

safarnya antara safar wajib, sunnah dan yang mubah.

Ditinjau dari sisi hukumnya, safar terbagi atas tiga, yakni (1) safar Ta’at, (2)

safar Maksiat, dan (3) safar Mubah. Safar Ta’at adalah perjalanan yang dilakukan

dalam rangka menunaikaan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Diantara contoh

safar ta’at adalah perjalanan haji, umrah, jihad, silaturrahim, dan menziarahi

(menjenguk) orang sakit. Sedangkan safar maksiat adalah perjalanan untuk

melakukan sesuatu yang dilarang syari’at, seperti safar ke suatu tempat dengan

maksud untuk berbuat maksiat, atau safar-nya seorang wanita tanpa disertai

mahramnya. Adapun safar mubah adalah perjalanan untuk melakukan aktivitas

duniawi yang dihalalkan secara syar’i, seperti perjalanan dagang, rekreasi yang tidak

ada maksiat di dalamnya, berburu, dan sebagainya (https://almanhaj.or.id/-jenis-

jenis-safar/.html).

290
B. Akhlak Bepergian (Safar)

Pembahasan tentang akhlak atau adab safar, para ulama membaginya

kepada tiga bagian, yaitu: (1) Adab sebelum safar; (2) Adab ketika safar; (3) Adab

setelah safar.

1. Adab Sebelum Safar:

a. Melakukan shalat Istikharah, yaitu shalat sunnah dua raka’at kemudian berdo’a

dengan do’a Istikharah. Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:

“Rasulullah Saw mengajarkan kepada kami shalat Istikharah untuk

memutuskan segala sesuatu, sebagaimana beliau mengajarkan al-Qur-an.

Beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana

untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah melakukan shalat sunnat (Istikharah)

dua raka’at kemudian membaca doa solat sunat istikharah” (HR. Al-Bukhari).

Doanya bisa dilihat di kumpulan doa solat sunat.

b. Hendaknya bertaubat kepada Allah dari segala macam kemaksiatan yang telah

diperbuatnya dan beristighfar dari setiap dosa yang dilakukannya, karena dia

tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia melakukan safar dan tidak

mengetahui pula takdir yang menimpanya. Bagi seorang yang hendak safar

hendaknya membayar hutang-hutang (jika punya), menyiapkan nafkah (uang

belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah, dan meninggalkan uang belanja

kepada keluarganya (isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan kebutuhan

pokok yang dapat mencukupinya. Hendaknya seorang yang hendak safar tidak

membawa perbekalan kecuali dari sumber yang halal lagi baik.

291
c. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang atau lebih.

Sebagaimana hadits:

‫ب‬ ِ ِ ِ َّ ‫ا َّلراكِب شيطا ٌن و‬


ٌ ‫الراكبان شْيطاَنن والثَّالثةُ رْك‬ ْ ُ
“Satu pengendara (musafir) adalah syaitan, dua pengendara (musafir) adalah

dua syaitan, dan tiga pengendara (musafir) ialah rombongan musafir.” (HR.

Imam Ahmad dan Abu Daud).

d. Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih, yaitu orang

yang dapat membantu menjaga agamanya, menegurnya apabila lupa,

membantunya jika dibutuhkan dan mengajarinya apabila ia tidak tahu.

e. Mengangkat pemimpin, yaitu hendaknya menunjuk seorang ketua rombongan

dalam safar, sebagaimana dinyatakan dalam Hadits:

.‫كم‬
ُْ ‫أحد‬ ‫إِذا كان ثالثةٌ ِ ِْف سف ٍر ف ْليُؤِم ُرْوا‬
“Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat

salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.” (HR. Abu Daud).

Kemudian yang dipilih sebagai ketua rombongan adalah orang yang

mempunyai akhlak yang paling baik, paling dekat dengan teman-temannya,

paling dapat mengutamakan kepentingan orang lain (tidak egois) dan

senantiasa mencari kesepakatan rombongan (ketika ada perbedaan pendapat),

f. Disunnahkan untuk melakukan safar (perjalanan) pada hari Kamis dan

berangkat pagi-pagi ketika akan melakukan perjalanan. Hal ini berdasarkan

hadits shahih dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu:

.‫س‬ ْ ‫ وكان َُِيب أ ْن َيُْرج ي ْوم‬،‫س ِ ِْف غ ْزوةِ ت بُ ْوك‬


ِ ‫اْل ِمْي‬ ْ ‫َِّب صلَّى هللاُ علْي ِه وسلَّم خرج ي ْوم‬
ِ ‫اْل ِمْي‬ َّ ِ‫أ َّن الن‬

292
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk

pada hari Kamis dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk keluar (bepergian)

pada hari Kamis.” (HR. Bukhari dan Abu Daud). Di dalam riwayat yang lain

disebutkan:

.‫سفَ ٍر إالَّ يَ ْو َم ْالخ َِمي ِْس‬


َ ‫سلَّ َم يَ ْخ ُر ُج ِإذَا خ ََر َج فِ ْي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫لَقَلَّ َما َكانَ َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬

“Rasulullah Saw apabila bepergian senantiasa melakukannya pada hari

Kamis.” (HR. Al-Bukhari). Sedangkan dalil tentang disunnahkannya untuk

berangkat pagi-pagi ketika hendak melakukan perjalanan adalah:

‫اللَّ ُه َّم ِب ِرْك ِل َّم ِ ِْت ِ ِْف بُ ُك ْوِرها‬


“Ya Allah, berkahilah ummatku pada pagi harinya.” (HR. Abu Dawud dan al-

Tirmidzi) Dan sangat disukai juga untuk memulai bepergian pada waktu al-

Dulajah, yaitu awal malam atau sepanjang malam, sebagaimana Hadits dari

Anas bin Malik Ra, Rasulullah Saw bersabda:

.‫علْي ُك ْم ِِبلد ْْل ِة فِإ َّن ال ْرض تُطْوى ِِبللَّْي ِل‬

“Hendaklah kalian bepergian pada waktu malam, karena seolah-olah bumi itu

terlipat pada waktu malam.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim)

g. Berpamitan kepada keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan. Rasulullah

Saw senantiasa berpamitan kepada para sahabatnya ketika akan safar

(bepergian), beliau Saw mengucapkan doa kepada salah seorang di antara

mereka, dengan doa:

.‫أ ْست ْوِدعُ هللا ِديْنك وأمان تك وخواتِْيم عملِك‬

293
“Aku menitipkan agamamu, amanahmu dan perbuatanmu yang terakhir kepada

Allah.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

2. Adab Ketika Safar

a. Menaiki kendaraan dan mengucapkan doa safar (bepergian). Apabila Rasulullah

Saw menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali,

kemudian berdoa:

‫ اللَّ ُه َّم إِ ََّن ن ْسألُك ِِف‬،‫ وإِ ََّن إَِل ربِنا ل ُمْن قلِبُ ْون‬،‫ُسْبحان الَّ ِذ ْي س َّخر لنا هذا وما ُكنَّا لهُ ُم ْق ِرنِْي‬
،ُ‫ اللَّ ُه َّم ه ِو ْن علْي نا سفرَن هذا واطْ ِو عنَّا بُ ْعده‬،‫ وِمن الْعم ِل ما ت ْرضى‬،‫سف ِرَن هذا الِْ َِّب والتَّ ْقوى‬
‫لسف ِر وكآب ِة‬َّ ‫ِن أعُ ْوذُبِك ِم ْن و ْعث ِاء ا‬ ِِ َّ ِ ِ ْ ‫السف ِر و‬
ْ ‫ الل ُه َّم إ‬،‫اْللْي فةُ ِْف اْل ْه ِل‬ َّ ‫ب ِِف‬ ِ َّ ‫اللَّه َّم أنْت‬
ُ ‫الصاح‬ ُ
ِ ‫الْمْنظ ِر و ُس ْوِء الْمْن قل‬
.‫ب ِِف الْم ِال واْل ْه ِل‬ ُ
“Mahasuci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan

sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada

Rabb kami (di hari Kiamat). Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan

dan taqwa dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang membuat-Mu

ridha. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya

bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan yang mengurus

keluarga(ku). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari

kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan

yang jelek dalam harta dan keluarga.” (HR. Muslim). Dalam Hadits yang lain

disebutkan:

‫اْل ْوِر‬
ْ‫بو‬ ُ َّ ‫هللا صلَّى هللاُ علْي ِه وسلَّم إِذا ساف ر ي ت ع َّوذُ ِم ْن و ْعث ِاء‬
ِ ‫السف ِر وكآب ِة الْمْن قل‬ ِ ‫كان رسو ُل‬
ُْ
.‫ال‬ ِ ِ ِ
ِ ‫ وسوء الْمْنظ ِر ِِف اْل ْه ِل والْم‬،‫ ود ْعوة الْمظْلُوم‬،‫ب عد الْكوِر‬
ُْ ْ ْ ْ

294
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan jauh,

beliau berlindung kepada Allah dari kelelahan perjalanan, perubahan yang

menyedihkan, kekurangan setelah kelebihan, do’a orang-orang yang teraniaya

serta pemandangan yang buruk dalam keluarga dan hartanya.” (HR. Muslim)

b. Bertakbir, mengucapkan “Allahu Akbar” ketika sedang jalan mendaki dan

bertasbih (mengucapakan Subhanallaah) ketika jalan menurun. Sebagaimana

Hadits Jabir bin ‘Abdillah Ra, ia berkata:

.‫حنا‬
ْ َّ‫سب‬ ‫ُكناَّ إِذا صعِ ْدَن كبَّ ْرَن و إِذا ن زلْنا‬
“Kami apabila berjalan menanjak mengucapkan takbir (Allahu Akbar) dan

apabila jalan menurun membaca tasbih (Subhanallaah).” (HR. Al-Bukhari,

Ahmad, al-Da-rimi, dan al-Nasai)

c. Memperbanyak mengucapkan do’a, berdasarkan Hadits:

ٍ ِ
‫ك‬
َّ ‫ت ال ش‬ ُ ‫ ثال‬:‫ قال ر ُس ْو ُل هللا صلَّى هللاُ علْي ِه وسلَّم‬:‫ع ْن أِ ِْب ُهريْرة قال‬
ٌ ‫ث دعوات ُم ْستجاِب‬
.ِ‫ ود ْعوةُ الْوالِ ِد على ول ِده‬،‫ ود ْعوةُ الْ ُمسافِ ِر‬،‫فِْي ِه َّن د ْعوةُ الْمظْلُ ْوِم‬

Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga do’a yang pasti dikabulkan (mustajab) dan

tidak ada keraguan lagi tentang-nya, do’anya seorang yang dizhalimi, do’anya

musafir (orang yang melakukan perjalanan), do’a buruk orang tua terhadap

anaknya.’” (HR. Ah-mad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

d. Beristirahat ketika sedang melakukan perjalanan. Hal tersebut merupakan belas

kasih kita kepada hewan tunggangan, di samping memanfaatkannya untuk tidur

dan beristirahat. Namun demikian, perlu memperhatikan keadaan tempat

pemberhentian dan sebaiknya menjauhkan diri dari jalanan, terutama pada

295
waktu malam hari, karena banyak serangga-serangga dan hewan melata yang

berbisa, juga binatang buas yang berkeliaran pada malam hari. Apabila

seseorang membuat tenda, maka sudah seharusnya ia menjauhkan diri dari

jalanan (terutama di saat malam hari).

3. Adab Setelah Safar (Bepergian)

a. Mengucapkan do’a Safar (bepergian), sebagaimana telah disebutkan di bagian

atas, kemudian menambahkannya dengan doa:

.‫آيِبُ ْون َتئِبُ ْون عابِ ُد ْون لِربِنا ح ِام ُد ْون‬

“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada

Rabb kami.” (HR. Muslim, Ahmad, dan al-Nasa-i). Apabila kembali dari

bepergian dan melalui bukit atau melalui tempat yang luas lagi tinggi,

bertakbir tiga kali kemudian berdo’a:

،‫ َتئِبُ ْون‬،‫اْل ْم ُد وُهو على ُك ِل ش ْي ٍء ق ِديٌْر آيِبُ ْون‬ ُ ‫ لهُ الْ ُم ْل‬،ُ‫ال إِله إِالَّ هللاُ و ْحدهُ ال ش ِريْك له‬
ْ ُ‫ك وله‬
.ُ‫ صدق هللاُ و ْعدهُ ونصر عْبدهُ وهزم ال ْحزاب و ْحده‬،‫ لِربِنا ح ِام ُد ْون‬،‫اج ُد ْون‬ ِ ‫ س‬،‫عابِدون‬
ُْ
“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah Yang Mahaesa tiada

sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah Yang

Mahakuasa atas segala sesuatu, kami kembali dengan bertaubat, tetap

beribadah dan bersujud, serta selalu memuji Rabb kami. Dialah Yang

membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan segala

musuh dengan ke-Maha-esaan-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan

sangat disukai (dianjurkan) untuk mengulang do’a tersebut:

ِ‫ح‬
.‫ام ُد ْون‬ ‫آيِبُ ْون َتئِبُ ْون عابِ ُد ْون لِربِنا‬

296
“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada

Rabb kami.” (HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasa-i). Hal ini berdasarkan

perkataan Anas Ra bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus

mengucapkan hal tersebut hingga kami tiba di Madinah (HR. Muslim)

b. Memberitahukan terlebih dahulu kedatangannya kepada keluarganya dan tidak

disukai untuk datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa

memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarganya. Rasulullah Saw telah

melarang seseorang mengetuk pintu rumah keluarganya di waktu malam. Hal

ini berdasarkan Hadits berikut:

.ً‫أ ْهلهُ لْيال‬ ‫ن هى النَِِّب صلَّى هللاُ علْي ِه وسلَّم أ ْن يطُْرق‬

“Rasulullah Saw telah melarang seseorang untuk mengetuk (pintu rumah)

keluarganya pada waktu malam hari.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan di

dalam Hadits lainnya disebutkan:

ِ‫ع‬
.ً‫شيَّة‬ ‫ كان الي ْد ُخ ُل إِالَّ ُغ ْدوًة أ ْو‬،ُ‫كان النَِِّب صلَّى هللاُ علْي ِه وسلَّم اليطُْر ُق أ ْهله‬

“Rasulullah Saw tidak pernah mengetuk pintu (rumah keluarganya), tidak pula

masuk (ke rumah, setelah pulang dari bepergian) kecuali pada pagi hari atau

sore hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

c. Shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar (perjalanan), sebagaimana

Hadits berikut:

ِ ْ ‫ض ًحى دخل الْمس ِجد فصلَّى رْكعت‬


‫ي ق ْبل أ ْن‬ ِ ِ ِ
ُ ‫َِّب صلَّى هللاُ علْيه وسلَّم كان إِذا قدم م ْن سف ٍر‬
َّ ِ‫إ َّن الن‬
ْ
.‫َْيلِس‬

297
“Sesungguhnya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tiba dari

bepergian pada saat Dhuha, beliau masuk ke dalam masjid dan kemudian shalat

dua raka’at sebelum duduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Sedangkan dalam

Hadits Jabir bin ‘Abdillah Ra, ia berkata: “Aku pernah bepergian bersama

Rasulullah Saw. Ketika kami telah tiba di kota Madinah, beliau berkata

kepadaku:

ِ ْ ‫رْكعت‬
.‫ي‬ ‫اُْد ُخ ِل الْم ْس ِجد فص ِل‬

“Masuklah masjid dan shalatlah dua raka’at.” (HR. Al-Bukhari).

Tulisan ini disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid

bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian

Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir

Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006 M. dan juga dinukil dari kitab

“Minhajul Muslim”. Karangan Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri. Judul dalam Bahasa

Indonesia “Pedoman Hidup Muslim”. Penerjemah Drs. Hasanudin dan Didin

Hafidhuddin. Diterbitkan oleh PT. Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor, Cetakan

Ketiga 2008. Hal. 205-209.

C. Beberapa Masalah Fiqhiyah Penting Diperhatikan Ketika Safar

1. Bagi orang yang dalam perjalanan disyari’atkan untuk mengqashar

shalatnya semenjak ia keluar dari daerahnya, maka boleh salatnya

diqashar. Jika dalam perjalanan ia teringat shalat yang mestinya ia

lakukan di saat mukim, maka ia shalat secara sempurna, dan jika ingat di

saat mukim, shalat yang semestinya ia lakukan dalam safar, maka

298
hendaknya ia mengqashar shalatnya. Jika seorang musafir shalat di

belakang orang yang mukim, maka ia shalat empat rakaat secara mutlak

meski tidak ia dapatkan kecuali tasyahud. Shalatnya seperti halnya orang

yang mukim, empat raka'at.

2. Sunnah-sunnah Rawatib yang tidak dilakukan dalam perjalanan adalah

shalat sunnah qabliyah dan ba'diyah Dzuhur, ba'diyah maghrib dan

ba'diyah isya'. Adapun shalat sunnah qabliyah fajar dan shalat witir, maka

tetap dilakukan. Orang yang musafir juga bisa melakukan Shalat Dhuha,

shalat sunnah wudhu dan shalat tahiyatul masjid. Disunnahkan dalam

perjalanan adalah meringankan bacaan surat (dalam shalat).

3. Jika orang yang musafir menjamak shalat, maka hendaknya

dikumandangkan adzan satu kali dan dua kali iqamat. Satu shalat satu

iqamat. Ia boleh menjamak di awal waktu, pertengahannya atau akhirnya.

Pada waktu-waktu tersebut adalah saat untuk menjamak dua

shalat. Menjamak antara dua shalat dalam perjalanan adalah sunnah ketika

dibutuhkan.

4. Mereka yang tidak diwajibkan menghadiri shalat jum'at seperti musafir

dan orang yang sedang sakit, maka boleh bagi mereka untuk menunaikan

Shalat Dzuhur setelah tergelincirnya matahari, walaupun imam belum

memulai shalat jum'at.

5. Setiap orang yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, maka boleh pula

baginya untuk berbuka (tidak berpuasa), dan tidak sebaliknya.

299
6. Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama muhrimnya yaitu

suami atau setiap laki-laki yang sudah baligh, berakal yang haram atasnya

wanita tersebut selamanya untuk dinikahi, karena nasab maupun sebab

yang dibolehkan.

7. Jika musafir menjama' antara Shalat Maghrib dan Isya' (jama' taqdim),

maka baginya telah masuk waktu Shalat Witir. Inilah pendapat yang kuat

dari para ulama, dan tidak perlu menunggu sampai datangnya waktu shalat

Isya.

8. Jika seorang musafir menjadi makmum dan ia ragu apakah imam orang

yang mukim atau juga musafir, maka pada asalnya seorang makmum

diharuskan untuk menyempurnakan. Tetapi jika si makmum berniat jika

imam menyempurnakan shalat, maka makmum juga harus

menyempurnakan dan jika imam mengqashar makmum juga akan

mengqashar, maka hal itu adalah dibolehkan. Ini adalah bab

menggantungkan niat dan bukan karena keraguan.

9. Shalat Jum'at tidak diharuskan atas orang musafir yang sedang tinggal di

sebuah negeri selama ia masih berstatus musafir. Jika orang yang musafir

mendapatkan Shalat Jum'at, maka hal itu mencukupinya dari Shalat

Dzuhur (maksudnya ia tidak perlu Shalat Dzuhur lagi), baik ia

mendapatkan dua raka'at atau satu raka'at (bersama imam), lalu ia

sempurnakan. Tetapi jika kurang dari satu raka'at, maka boleh

mengqasharnya. (https://eshaardhie.blogspot.com/2016/06/ringkasan-

adab-adab-safar-bepergian.html).

300
301

Anda mungkin juga menyukai