Anda di halaman 1dari 49

EPISTEMOLOGI dan AXIOLOGI ILMU

dalam ISLAM
(METODE PRAKTRIS
MENURUT AL QURAN dan AL SUNNAH) Bag. 2
Muhammad Idris Nawawi
NIPY. 151 0101

muhammadidrisnawawi@yahoo.com
FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS

UNIVERSITAS PASUNDAN
EPISTEMOLOGI
dan AKSIOLOGI 2
ILMU
dalam ISLAM

“Metode Praktis Memperoleh Ilmu dalam al-


Qur’an dan al Sunnah”
AYAT-AYAT KAUNIYAH OBJEK KAJIAN ILMU

EXACT
(PASTI)  UNREVEALED (Tdk. Tertulis)
QS. 25: 2; 65: 3 • Tidak Melibatkan Manusia
• Respon Waktunya Pendek

IMMUTABLE
AYAT ALLAH
(TETAP)
(SUNNATULLAH)
QS. 6: 115; 17: 77

 REVELEAD (Tertulis)
OBJECTIVE • Melibatkan Manusia
(OBYEKTIF) • Respon Waktunya Lama
QS. 21: 105
Metode Praktis Memperoleh Ilmu dalam
al-Qur’an dan al Sunnah
Dalam Islam metode memperoleh ilmu ditopang oleh dua
factor yang kuat : Pertama, Penggunaan dan pemanfaatan
pengalaman orang lain baik dari generasi dahulu ataupun
kini; kedua, menggunakan akal dan pengalaman, dalam
upaya mencarai kebenaran agar kita mendapatkan petunjuk
(hidayah). Kedua factor ini berjalan secara simultan melaui
pendengaran dan akal. Perhatikan firman Allah :
﴾٣٧﴿ ‫ش ِهي ٌد‬
َ ‫س ْم َع َو ُه َو‬ ‫ال‬ ‫ى‬َ ‫ق‬ ْ
‫ل‬ ‫َأ‬ ‫و‬‫َأ‬ ‫ب‬‫ل‬ْ َ ‫ق‬ ‫ه‬َ ‫ل‬ ‫ان‬
َ ‫ك‬َ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ل‬ ٰ
‫ى‬ ‫ر‬‫ك‬ْ ‫ذ‬َ ‫ل‬ َ‫ك‬ ‫ل‬ َ

‫ذ‬ ٰ ‫َّن في‬
َّ ْ ٌ ُ َ ِ َ ِ ِ ِ ‫ِإ‬
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikan” (Q.S.
Qaf, 50 : 37 )
Maksud qalb pada ayat di atas artinya akal dan syahid artinya pembeda. Firman
Allah :

َ ‫ى اَأْل ْب‬1‫ا اَل تَ ْع َم‬1‫ا ۖ فَِإنَّ َه‬1‫ون بِ َه‬


‫ى‬1‫ا ُر َولَ ٰـ ِكن تَ ْع َم‬1‫ص‬ ْ َ‫ٌن ي‬1 ‫ا َأ ْو آ َذا‬1‫ بِ َه‬1‫ يَ ْعقِلُو َن‬1‫ب‬
َ ‫ َم ُع‬1‫س‬ ِ ‫ي اَأْل ْر‬1ِ‫ي ُروا ف‬1‫س‬
ٌ ‫ قُلُو‬1‫ لَهُ ْم‬1‫ فَتَ ُكو َن‬1‫ض‬ ِ َ‫ ي‬1‫َأ فَلَ ْم‬
ُّ ‫وب الَّتِي فِي‬
﴾٤٦﴿ 1‫الص ُدو ِر‬ ُ ُ‫ا ْلقُل‬

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, hingga mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu
mereka dapat mendengar ? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi
yang buta ialah hati yang di dalam dada” (Q.S. al-Haj, 22 : 46)

Allah mensinyalir kepada kita tentang kesaksian orang-orang kafir di hari kiamat
kelak :

‫ ِعي ِر‬1‫س‬
َّ ‫ب ال‬ ْ ‫ ْحقًا َأِّل‬1‫س‬
ِ ‫ َحا‬1‫ص‬ ُ َ‫ ف‬1‫﴾ فَا ْعت ََرفُوا بِ َذنبِ ِه ْم‬١٠﴿ ‫ ِعي ِر‬1‫س‬
َّ ‫ب ال‬ ْ ‫ي َأ‬1ِ‫ا ف‬1َّ‫ا ُكن‬1‫ َم‬1‫ َم ُع َأ ْو نَ ْعقِ ُل‬1‫س‬
ِ ‫ َحا‬1‫ص‬ ْ َ‫ا ن‬1َّ‫َوقَالُوا لَ ْو ُكن‬
﴾١١﴿

“Dan mereka berkata : sekiranya kami mendengarkan dan memahami (peringatan itu)
niscaya tidaklah kami bersama-sama dengan para penghuni neraka yang menyala-
nyala. Maka mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi para penghuni
neraka yang menyala-nyala” (al-Mulk, 67 : 10 -11)
Mereka yang sengaja menutup telinga (tidak mendengar) dan mendefungsionalkan akal
diibaratkan sejahat-jahat binatang melata.

﴾٢٢﴿ ‫ون‬ َ ‫الص ُّم ا ْلبُ ْك ُم الَّ ِذ‬


َ ُ‫ين اَل يَ ْعقِل‬ ُّ ِ ‫اب ِعن َد هَّللا‬
ِّ ‫ش َّر الد ََّو‬
َ َّ‫ِإن‬

“Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang


yang tuli (tidak mau mendengar) yaitu orang-orang yang tidak mau mengerti ( al-
Anfal, 8 : 22)

Bahkan mereka dikatagorikan lebih jahat dari binatang :

٤٤﴿ ‫سبِياًل‬ َ ‫ون ۚ ِإنْ ُه ْم ِإاَّل َكاَأْل ْن َع ِام ۖ بَ ْل ُه ْم َأ‬


َ ‫ض ُّل‬ َ ُ‫ون َأ ْو يَ ْعقِل‬ ْ َ‫ب َأنَّ َأ ْكثَ َر ُه ْم ي‬
َ ‫س َم ُع‬ َ ‫﴾َأ ْم ت َْح‬
ُ ‫س‬

“atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (al-Furqan, 25: 44)

Selanjutnya al-Qur’an memberikan pengarahan tentang bagaimana meletakkan


kerangka dasar berfikir ilmiah, agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan.
Faktor pertama :
Pewarisan Pengalaman
Pewarisan pengalaman, dilakukan melalui
proses pendidikan, belajar mengajar,
menyampaikan berbagai informasi tentang
ilmu pengetahuan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui karya-karya
yang monumental, kitab-kitab yang dijadikan
rujukan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan sesuai denga tuntutan zaman.
Islam memberikan pedoman sebagai
berikut :
1. Orang pandai tidak boleh boleh menyembunyi kan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena ilmu
pengetahuan itu milik Allah merupakan hidayah. ( al-
Baqarah, 2 : 159-160), al-Hadits “Barang siapa yang
mengetahui sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikannya
(tidak suka mengajarkannya), maka akan diberi kendali
oleh Allah pada hari kiamat nanti dengan kendali dari api
neraka” ( riwayat : Abu Dawud, Turmudzy dan lainnya)

2. Amanat ilmu menduduki tempat pertama untuk


ditransfer, orang harus pandai memindahkan
segala informasinya dengan jelas dan cermat. Di
dalamnya tidak ada distorsi dan penyimpangan. ( al-
Baqarah, 2 : 42 , 75 : al-Maidah, 5 : 13 )
3. Pengetahuan harus disebarluaskan kepada umat .
Para rasul diutus berfungsi sebagai guru dan pemberi
petunjuk tanpa pamrih. Dilakukan baik melalui kitab
yang diturunkan maupun melalui contoh teladan yang
baik. ( al-Maidah, 5 : 44 ; Yasin, 36 : 21 : Shad, 38 : 86 – 88 )
 
4. Menghidari perdebatan yang hanya menyia-nyakan
waktu, tidak untuk mencari kebenaran. ( al-An’am, 6 :
68 ; al-Hajj, 22 : 3, 68 ) Hadits : “Siapa yang meninggalkan
perdebatan dan dia dipihak yang menyalahkan, akan
dibangun baginya rumah di surga. Siapa yang melakukan
hal yang serupa dan dia dipihak yang membenarkan, akan
dibangunkan baginya rumah di tengah surga.” ( riwayat
Ibnu Majah, Baihaqy, dan Turmudzy )
5. Menyampaikan dan meberima kebenaran harus berdasarkan
berdasarkan dalil qath’i. ( al-An’am, 6 : 7 ; al-A’raf, 7 : 198 ; al-Ra’du,
13 : 13 ; al-Hajj, 22 : 14 – 15 : Fushshilat, 41 : 26 ; Nuh, 71 : 7 )

6. Pembicaraan harus ilmu yang bermanfaat bermanfaat, dan


meninggalkan yang sis-sia. (al-Maidah, 5 : 101 ; Ia-Mu’minun, 23 : 3 ;
al-Furqan, 25 : al-Qashash, 28 :55 ; al-Waqi’ah, 56 : 25 – 26 ; al-Naba,
78 : 35 ; al-Naziyat, 79 : 42 – 43 )

7. Mampu membedakan dan menyeleksi informasi untuk


kemaslahatan peradaban umat manusia. ( al-Baqarah, 2 : 102 al-
Maidah, 5 : 42 ; al-Zumar, 39 : 17 – 18 )
 
8. Dapat membedakan dan mengamati orang-orang ahli dan
kompeten dalam bidangnya dalam memperoleh ilmu
pengetahuan. ( al-Anbiya, 21 : 7 ; al-Furqan, 25 : 59 ; al-Zukhruf, 43 :
44 – 45 )
Faktor kedua : Pemikiran Logis
Ini merupakan pengalaman praktis yang didasarkan
atas pemikiran logis dan sehat :
 
1. Membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid dari
tradisi nenek moyang yang tidak sejalan dengan ruh
Islam. Berupaya berfikir secara bebas dan netral. agar
tidak mendapat keraguan kita lakukan obsevasi untuk
mendapatkan kepastian. ( al-Baqarah, 2 : 171 ; al-Zukhruf,
43 : 23 – 24) Hadits : “Janganlah kamu menjadi pembebek
yang berkata : Jika manusia baik, akaupun baik, jika
mereka jelek akupun jelek”. Hendaknya teguh pendirian,
jika manusia baik, baiklah kamu, jika mereka jelek, jauhilah
kejelekan mereka.” ( riwayat : Turmudzy )
2. Menggunakan panca indra dan akal sekaligus dalam
pengalaman, baik yang bersifat material maupun spiritual.
Indra dan akal saling menyempurnakan, keduanya
merupakan kesatuan. (al-Baqarah, 2 : 6-7 ; al-A’raf, 7 : 179
; al-Nahl, 16 : 78 ; al-Isra’, 17 : 36 ; al-Mu’minun, 23 : 78 ;
al-Ahqaf, 46 : 26 )

3. Melalui hikmah, pemberian Allah Swt. para ahli


tasawuf menyebutnya “bashirah mulhamah” filosof
modern menamakan “intuisi” . Hikmah ini tidak diketahui
oleh indra dan akal, tetapi kekuatan tersembunyi seperti
“firasat” yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya
yang melakukan taqarrub (mendekatkan diri) kepada-
Nya. (al-Baqarah, 2 : 105, 269 ; al-Anfal, 8 : 24 , 29 : Yusuf,
12 : 22, 108 ; al-Nur, 24 : 40 ; al-Qashash, 28 : 14 ; Luqman,
31 : 12 ; al-Hadid, 57 : 28 ; al-Jumu’ah, 62 : 2 )
Metode Ilmu Pengetahuan
Islam memberi motivasi kepada akal dalam berbagai ilmu
pengetahuan, membentang luas baik ilmu tanziliah maupun
ilmu kauniyah (alam semesta). Al-Qur’an mengajak dan
memerintahkan kita untuk meneliti dan merenungkan apa
yang ada di kerajaan langit dan bumi. Tidak satupun kejadian,
Allah membiarkannya dihadapan akal kita sebagai pintu
tertutup, tidak ada rahasiah yang disembunyikan, Bahkan
Allah Swt. tidak membuat tabir pemisah antara manusia
dengan-Nya. Lihat al-Baqarah, 2 : 186. ; Qaf, 50 : 16. Dalam
hadits qudsi Allah Swt. berfirman : “Barang siapa yang
mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya satu hasta.
Barang siapa yang mendekati-Ku satu hasta, Aku akan
mendekatinya satu depa. Barang siapa yang menghampiri-Ku
dengan dengan berjalan, Aku akan menghampirinya dengan
berlari.”
Ilmu Allah, memiliki cakrawala yang luas tak tak
terbatas, (Luqman, 31 : 27 ; al-Mudatstsir, 74 : 31 ; al-
Baqarah, 2 : 255 ). Oleh karena itu kita diperintahkan
untuk selalu berdu’a untuk diberi ilmu ( Thaha,20 :
114 ) karena kita tidak boleh puas dengan ilmu yang
ada (al-Isra’ , 17 : 85 ; Yusuf, 12 : 76 ). Allah menyiksa
orang-orang zhalim akibat mendustakan kebenaran
sebelum mereka mengetahui dengan sebenarnya
(Yunus, 10 : 39 ). Maka sessungguhnya manusia
diberikan kebebasan untuk mengembangkan akal
pikiran (rationalitas ) untuk mendapatkan kejelasan
tentang segala yang ada dan yang mungkin ada,
selama memiliki kemampuan, (Ali Imran, 3 : 190 –191 ;
al-Nahl, 16 : 11 – 12 ).
Bertebaran ayat al-qur’an mengajak manusia untuk
memikirkan, meneliti dan menganalisa segala sesuatu
ciptaan Allah secara optimal, kecuali memikirkan Zat
Allah, karena memikirkan hal itu tidak akan memiliki
kemampuan, Nabi saw yang mulia bersabda
1‫للــه‬11‫ىا‬111‫ـفــكـــروا ف‬11‫ و ال ت‬1‫للـــه‬11‫الءا‬11‫ىآ‬111‫ـفـكـــــروا ف‬11‫ت‬ (Pikirkanlah
olehmu tanda-tanda kebesaran Allah, dan janganlah
sekali-kali memikirkan tentan Zat Allah). Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan ( al-An’am, 6 : 103 ) dan Allah
tidak dapat dibandingkan dan diserupa dengan apapun
baik zat-Nya maupun sifat-Nya ( al-Ikhlash, 112 : 1 – 4 ; al-
Syura, 42 : 11 ) . Setiap kegiatan yang dicurahkan manusia
tentang zat Allah Swt, itu merupakan usaha yang sia-sia,
menyesatkan pikiran dan menghancurkan iman.
Kriteria Ilmu Yang Berguna
Upaya penggalian dan pengembangan ilmu
pengetahuan (science), harus berorientasi pada
peningkatan iman kepada Allah, karena segala urusan
akan kembali kepada-Nya (al-Syura, 42 : 53 ) juga
diarahkan pada kesempurnaan fungsi manusia
sebagai hamba allah (‘abdullah ), perhatikan firman
Allah (al-dzariat, 51 : 56 ; Yasin, 36 : 61 ; al-bayyinah,
98 :5 ) dan mempermudah fungsi ke-khalifah-an di
muka bumi (al-Baqarah, 2 : 30 ; al-An’am, 6 :165 ). Ada
beberapa kriteria yang dapat ditangkap dari isyarat-
isyarat Ilahiyah tentang ilmu al-tanziliyah dan ilmu al-
kauniyah yang kemudian disebut ilmu tauhidullah.
sebagai berikut :
1. Dapat meningkatkan pengetahuan akan Allah
(ma’rifatullah ). Nabi saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah ditaati dan disembah dengan
ilmu. Begitu juga kebaikan dunia dan akhirat
bersama ilmu, sebagaimana kejahatan dunia dan
akhirat karena kebodohan”
 
2. Efektif, dapat membantu mengembangkan
masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-
tujuannya. Firman Allah : “Dan Kalimah Allah-lah
yang tertinggi” ( al-Taubah, 9 : 40 ) sabda Nabi
yang mulia : “Barang siapa yang mati ketika sedang
mencari ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di
surga ia sederajat dibawah Nabi.”
 
3. Dapat membimbing orang lain, sebagaimana
dilakukan oleh Rasulullah saw. Sabdanya : “Allah
akan menyayangi penerus-penerusku . Beliau
ditanya :” Siapakah penerus itu ? “ . Beliau menjawab
: “Mereka yang menghidupkan sunnah-sunnahku
dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah.”

4. Dapat memecahkan berbagai problem masyara-


kat. Nabi saw bersabda : “Setiap manusia itu
keluarga Allah, dan manusia yang paling dicintai-
Nya adalah yang paling bermanfaat bagi keluarga-
Nya”.
Ilmu yang digunakan dalam cara-cara di atas
dipandang bermanfaat ; jika tidak, ia tidak akan
memiliki nilai yang nyata, firman Allah : “ Demikian
itu karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak, dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari
Allah itu bathil….” ( Luqman, 31 : 30 ) Nabi saw,
bersabda : “barang siapa bertambah ilmunya, tetapi
tidak bertambah hidayahnya, maka ia semakin jauh
dari-Nya.” Dan sesungguhnya Allah mengigatkan
berkali-kali bahwa saling mengingatkan ilmu di antara
hamba-hamba-Nya itu dapat menghidupkan hati
mereka yang mati, jika mereka mengarahkannya
kepada perintah-perintah-Nya
ALLAH SWT PROPORSI
KATEGORI
AYAT-AYAT ALLAH KEILMUAN

AL QURAN AL SUNNAH
SYARI’AH
Ilmu tentang
Kebijaksanaan dan MANUSIA
Spiritual (Hikmah,
Ilmu Ladunni –
Pengetahuan yang
Makrifat)
menjadi prasyarat
untuk mengkaji al-
Quran, al-Sunnah,
Prinsip-prinsip
UNIVERSITAS Iman, Islam Ihsan,
Pengetahuan Alam, kecakapan menga
Fisika, Ilmu Tera- malkan fardlu ‘ain
pan, Humaniora,
dan seni
dinisbatkan kpd.
Fardlu Kifayah
SPESIALIS
PROPORSI KATEGORI KEILMUAN

ILMU-ILMU TANZILIYAH ILMU-ILMU KAUNIYAH


(dinisbatkan kpd kategori (dinisbatkan kpd. Kategori
Fardlu “Ain ) Fardlu Kifayah

SPESIALISASI
3
Pohon Ilmu
TAUHIDULLA
H
POHON SAINS TAUHIDULLAH
SATU POHON ILMU YANG BERCABANG
1. OBYEKTIFITAS dan
SUBYEKTIFITAS ILMU

SAINS TAUHIDULLAH
2. ILMU TAUHID
3. “SCIENCTIFIC IDEAS”
4. WAHYU dan AKAL

CABANG ILMU AGAMA CABANG ILMU EMPIRIK


ILMU FORMAL
( LOGIKA ,
5.POKOK dan CABANG MATEMATIKA,
6.KEADILAN STATISTIKA )
7.KEBENARAN
8.FITRAH
9.IBADAH ILMU ILMU
(ILMU HUMANIORA) SOSIAL KEALAMAN
PARADIGMA TAUHIDULLAH
 Epistemologi Tauhidullah; dua sifat ilmu Obyektif dan Subyektif
 Ilmu Tauhid (Theology)
 Al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah; al-Qur’an dan penjelasannya
melalui Sunnah adalah dalilyang melahirkan ide-ide keilmuan
(Scientific Ideas)
 Persesuaian Antara Akal dengan Wahyu (Muwafaqat al-Shahih al-
Manqul Li Sharih al-Ma’qul)
 Poko-Pokok Agama dan cabang-cabangnya Telah Dijelaskan
Rasulullah SAW. (Inna Ushul al-Din Wa Furu’aha Qad Bayyanaha
Rasul)
 Keadilan (al-’Adl Wa al-Mizan Wa al-Qisthi)
 Kebenaran itu ada dalam Kenyataan bukan dalam Pikiran (al-
Haqiqah Fi al-A’yan la Fi al-Azhan)
 Teori Fitrah (Nadhariyat al-Fithrah) : Filsafat tentang Manusia.
 Ilmu-Ilmu Islam dan Misi Manusia (al-Istikhlaf Wa Isti’mar al-
Ardl al-Ibadah)
TEORI TENTANG SIFAT ILMU
Subjektivitas dan Objektivitas
Teori ini dirumuskan dari kaidah “azhimah mutsya’ibah”
yang dapat diterjemahkan secara bebas “Teori Besar yang
bercabang banyak Teori ini menyatakan bahwa setiap ilmu
memiliki dua sifat. Pertama, sifat tabi’ yang dapat diartikan
“sifat objektif”; kedua, sifat matbu’ yang dapat diartikan
“sifatsubjektif.”
Ilmu Objektif adalah ilmu yang keberadaan objeknya
tidak bergantung kepada ada atau tidaknya pengetahuan
si subjek (manusia) mengenai objek tersebut. Objek ilmu
itu ada, tetapi tidak bergantung pada apakah ia telah
diketahui atau belum oleh si subjek ilmu, yakni manusia.
Keberadaan objek ilmu agama, misalnya
tentang Allah dan Rasul-Nya, tidak bergantung
kepada ada dan tidaknya pengetahuan manusia
tentang adanya Tuhan dan Rasul. Allah tetap
ada, baik manusia mengetahui keberadaan-
Nya maupun tidak. Ada atau tidaknya
pengetahuan manusia tentang keberadaan
Allah tidak menyebabkan ada atau tidaknya
Allah. Allah telah ada dengan sendiri-Nya.
Allah tetap ada, baik manusia mengimani-Nya
maupun mengingkari-Nya. Keimanan dan
kekufuran manusia kepada Allah tidak ber­
pengaruh terhadap keberadaan-Nya.
Ilmu Subjektif adalah ilmu yang objeknya bergantung
kepada ada atau tidaknya pengetahuan si subjek
(manusia). Jlmu ada jika manusia mengetahui keberadaan
ilmu itu. Demikian pula sebaliknya, ilmu itu tidak ada jika
manusia tidak mengetahui keberadaannya Jika Ilmu
Subjektif ini diterapkan kepada Allah sebagai objek” ilmu,
maka Allah adalab Zat yang ada dengan sendiri­Nya. Selain
diri-Nya adalah makhluk-makhlukNya yang berwujud
karena iradah atau kehendak-Nya. Sebagaimana halnya
perbuatan manusia, seperti duduk, berdiri, makan,
bepergian, dan sebagainya yang hanya dapat berwujud
atas dasar kehendak manusia, selaku subjek ilmu, maka
jika tidak ada manusia, perbuatan semacam itu juga tidak
akan ada. Teori sifat ilmu ini menjadi dasar bagi ilmu
kalam atau ilmu tauhid
Ilmu Tauhid
Tauhidullah adalah konsekuensi logis dari
teori sifat ilmu. Sejarah ilmu-ilmu Islam
mengenal al -Fiqh al-Akbar yang ber­
konotasi ilmu tauhid dan al- ilm al-Ashgar
yang berkonotasi ilmu Ushul Fiqh. Oleh
karena itu, secara garis besar ilmu dibagi
dua. Pertama, ilmu agama atau al-’ilm bi
al-din. Kedua, ilmu-ilmu kealaman atau al-
ilm hi al-ka’inat.
Dalil yang Mahirkan Ide-Ide Keilmuan
(Scientific Ideas)
Al-Quran dan Sunnah adalah rujukan
ilmu-ilmu Islam. Al Quran adalah himpunan
wahyu yang merupakan “dalil’ ilmu-ilmu.
“Dalil” di sini mengandung arti petunjuk
adanya ilmu-ilmu, bukan ilmu itu sendiri.
Oleh karena itu, sejarah menunjukkan
adanya fakta bahwa Al-Quran mendorong
umatnya untuk menciptakan ide-ide sains
yang menjadi dasar bagi perkembangan
ilmu-ilmu di kemudian hari.
Ilmu-ilmu Islam dibangun atas dasar
kebenaran­kebenaran yang bersifat autoritatif
(al-naqliyydt wa al­mutawathirat) yakni para
pemegang autoritas di bidangnya melalui
data-data yang ditransmisikan secara
berkesinambungan; data-data empirik (al -
tazribat al-hissiyyah) yang meliputi al-
hadasiyat wa al-mujarrabat. Ibnu Sina
(Aviccena) membedakan antara pengalaman
empirik yang disebut al-hadasiyyat dengan
pengalaman empirik yang disebut al-
mujarrabat.
AI-hadasiyyat adalah data empirik yang terjadi di
luar kemampuan manusia untuk menciptakannya
seperti gerhana, gempa bumi dan sebagainya.
Adapun pengalaman empinik (al-mujarrabat)
adalah pengalaman yang diciptakan manusia atau
dijadikan bahan eksperimentasi.
IImu-ilmu Islam-pun dibangun atas dasar
kebenaran­kebenaran rasional (‘aqliyyah) yang
melahirkan ilmu murni;7 dan dibangun pula atas
dasar pengetahuan intuitif (al-kasyfiyyah).
Pengetahuan terakhir ini memungkinkan lahirnya
ilmu tasawuf praktis, di samping tasawuf falsafi
dan tasawuf ilmiah.
Persesuaian antara Akal dengan Wahyu
Kebenaran wahyu adalah absolut. Argumen akal
tentang kebenaran wahyu tidak memberikan
pengaruh apapun ter­hadap kebenaran itu.
Demikian sebaliknya, argumen akal yang
menyatakan ketidakbenaran wahyu tidak lantas
membuat wahyu itu menjadi tidak benar. Akan
tetapi, apabila akal melakukan penalaran yang
valid, maka ia akan sesuai dengan kebenaran
wahyu. Kesahihan proses transmisi data autoritatif
melahirkan ilmu tafsir dan ilmu hadis yang
kemudian berkembang menjadi landasan ilmu-
ilmu lainnya termasuk filsafat Islam.
Pokok-Pokok Agama dan Cabang-cabangnya telah
dijelaskan oleh Rasul. Berakhirnya risalah Nabi
Muhammad SAW mengandung arti bahwa pokok-
pokok agama dan cabang-cabangnya telah diterangkan
oleh Nabi Muhammad saw. Argumentasi ini didukung
pula oleh turunya ayat terakhir (QS. Al-Maidah, 5: 3)
yang menyatakan kesempurnaan Islam. Oleh karena
itu, lahirlah dua kaidah utama ilmu hukum yang
meliputi ibadat dan muamalat:
Pertama, kaidah hukum ibadat berlandaskan pada
kaidah hukum dasar dalam ibadah yaitu tidak
melakukannya dan hanya mengikuti perintah Allah
dan rasul-Nya. Al-Ashlu fi al-ibadah al-tawqif wa al-
ittiba’
 
Kedua, kaidah hukum muamalat
berlandaskan pada kaidah yang menyatakan
bahwa hukum dasar dalam muamalah adalah
ibadah (pembolehan) sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya. Al-Ashlu fi al-
mu’dmalah al-ibadah hatta yadullu al-dalil ‘aid
tahrimih.
Ketiga, kaidah hukum ini memungkinkan
pengembangan muamalat menjadi sangat
elastis dan fleksibel. Sementara kaedah dalam
bidang ibadah dianggap sudab final, kecuali
pada tingkatan praktisnya.
Keadilan
Keadilan adalah moderasi dan keseimbangan. Makna kata
al- ‘adl dan al-mizan berhubungan erat dengan makna al­
shirath al-mustaqim, jalan lurus seperti yang dimaksudkan
oleh ayat terakhir surat AI-Fatihah. Maksudnya adalah jalan
yang dilalui oleh orang-orang yang beroleh nikmat Tuhan,
yakni para Nabi dan Rasul Allah. Sementara itu, al-mizan dan
al-qisth” mengandung makna aplikasi keadilan dalam
kehidupan nyata. Keadilan dalam pengertian al-qisth menca­
kup beberapa persesuaian, atau harmoni, yaitu:
1) Persesuajan antara ucapan dan perbuatan;
2) Persesuajan antara iman, ilmu dengan amal;
3)Persesuajan antara keharusan dengan kenyataan atau
antara das sein dengan das sollen;
4)Persesualan antara kemampuan manusia dengan
pemenuhan hak dan kewajibannya.
Implementasi ilmu sesuai dengan apa yang
seharus nya terhadap apa yang senyatanya dalam
perspektif keadilan, mencakup:
1) Ilmu adalah seni;
2) Ketika ilmu dilaksanakan dalam kenyataan,
maka ilmu menjadi seni memilih;
3) Ketika harus memilih, maka yang harus dipilih
adalah yang terbaik;
4) Ketika harus melaksanakan pilihan, tidak
selamanya yang dipilih merupakan pilihan
yang terbaik melainkan terkadang harus
memilih yang paling mungkin.
 
Kebenaran itu ada dalam Kenyataan
bukan dalam Pikiran
Prinsip filosofis ini adalah kelanjutan dan pninsip sebe -
lumnya, keadilan. Kebenaran dalam kenyataan ini sangat
mendorong perkembangan ilmu-ilmu empirik. Di samping
itu, ja mendorong pelaksanaan Islam dan pembangunan
masyarakat Islam yang selaras dengan kenyataan-kenyata
an sosial. Oleh karena itu, sangat perlu (necessary)
mengembangkan sociology of religion dan religious
sociology dalam kerangka pengembangan masyarakat
Islam. Religious sociology mengandung pengertian bahwa
sosiologi dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan
pranata keagamaan. Sedangkan sociology of religion adalab
kajian sosiologis terhadap fenomena agama.
Teori Fitrah
Teori fitrah yang dirumuskan dan AI-Quran (QS.
al­Rum, 30: 30) menyatakan bahwa manusia
terlahir dengan ide bawaan yang disebut Fitrah.
Fitrah terdiri dari tiga daya utama, yaitu:
1) Akal (quwwah al-’aql) berfungsi untuk
mengenal, meng­esakan dan mencintai Tuhan
2) Syahwat (quwwah al-syahwah) berfungsi
untuk menginduksi segala yang
menyenangkan.
3) Ghadab (quwwah al-ghadlab) berfungsi untuk
mem­pertahankan diri.
Untuk mengfungsikan ide-ide bawaan yang
inheren pada diri manusia itu dipenlukan bantuan
yang bersifat eksternal. Akan tetapi, faktor eksternal
yang dapat mernbantu memfungsikan ide-ide
bawaan itu harus sesuai dengan potensi yang secara
inheren ada di dalam diri manusia. Faktor eksternal
itu tak lain adalah al-Fitrah al-mumazzalah (wahyu)
Penisbatan ide bawaan atau fitrah kepada fitrah al-
mumazzalah serupa dengan penisbatan mata
kepada cahaya.
Sementara itu, alat untuk mengawali perolehan
ilmu di dalam diri manusia adalah qalb atau kalbu.
Kalbu adalab awal (pusat) kegiatan akal (‘aql) dan
intelektualisasi yang berakhir di otak.
Ilmu-Ilmu Islam dan Misi Manusia
Bagian akhir ini merupakan aksiologi filsafat ilmu-ilmu
Islam. Berdasarkan aspek ontologi dan epistemologi ilmu
dapat diketahui bahwa manusia mempunyai tugas
kekhalifahan (vicegerent) yang “mewakili” Tuhan di muka
bumi. Manusia dengan segala dayanya yang inheren maupun
ekstern mengemban dua macam tugas:
1) Menguasai dan mengontrol bumi ini dengan cara mem­
budidayakannya sebagai sarana pengabdian.
2) Menguasai dan menciptakan peradaban dalam rangka
mengabdi kepada Allah dengan melaksanakan amar
ma’ruf nahyi munkar (aktivitas yang positif dan men­jauhi
yang negatif).
Tugas dan fungsi manusia itu tidak akan terwujud kecuali
dengan penguasaan ilmu dan teknologi.
EPILOG
Menemukan kembali sifat dan gaya sains Islam di
zaman sekarang merupakan salah satu tantangan
paling menarik dan penting, karena kemunculan
peradaban muslim yang mandiri di masa akan
datang tergantung pada cara masyarakat muslim
masa kini menangani hal ini.
Dalam seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai-
Nilai” di Stocholm, 1981, dengan bantuan
International Federation of Institutes of Advance
Study (IFIAS), dikemukakan 10 konsep Islam yang
diharapkan dapat dipakai dalam meneliti sains
modern dalam rangka membentuk cita-cita Muslim.
SEPULUH KONSEP
1. TAUHID

2. KHILAFAH
PARADIGMA DASAR
3. IBADAH

SEPULUH KONSEP
NILAI NILAI ISLAM
4. ILMU SARANA DALAM
MENGEMBANGKAN
SAINS
5. HALAL

6. ‘ADL PENUNTUN

7. ISTISHLAH

8. HARAM

9. ZHULM PEMBATAS

10. DZIYA’
 Paradigma Dasar:
(1) tauhid — meyakini hanya ada 1 Tuhan,
dan kebenaran itu dari-Nya.
(2) khilafah — kami berada di bumi sebagai
wakil Allah — segalanya sesuai keinginan-
Nya.
(3)`ibadah (pengabdian) — keseluruhan
hidup manusia harus selaras dengan ridha
Allah, tidak serupa kaum Syu’aib yang
memelopori akar sekularisme: “Apa
hubungan sholat dan berat timbangan
(dalam dagang)”.
 Sarana:
(4) `ilm — tidak menghentikan pencarian ilmu
untuk hal-hal yang bersifat material, tapi juga
metafisme,
 Penuntun:
(5) halal (diizinkan).
(6)`adl (keadilan) — semua sains bisa berpijak
pada nilai ini: janganlah kebencian kamu
terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak
adil. (QS. al-Maidah, 5: 8). Keadilan yang
menebarkan rahmatan lil alamin, termasuk
kepada hewan, misalnya: menajamkan pisau
sembelihan.
(7) istishlah (kepentingan umum).
 Pembatas:
(8) haram (dilarang).
(9) zhulm (melampaui batas).
(10) dziya’ (pemborosan) — “Janganlah boros,
meskipun berwudhu dengan air laut”.
PERBANDINGAN SAINS BARAT DAN SAINS ISLAM
(Nasim Butt (2001: 75-76)

SAINS BARAT SAINS ISLAM


1 Percaya pada rasionalitas 1 Percaya pada wahyu
2 Sains untuk sains 2 Sains sebagai sarana untuk
mencari ridha Allah
3 Satu-satunya untuk 3 Banyak metode berlandaskan
mengetahui realitas akal dan wahyu
4 Netralitas emosional sebagai 4 Komitmen emosional sangat
prasyarat kunci menggapai penting
rasionalitas
5 Tidak memihak 5 Pemihakan pada kebenaran
6 Tidak adanya bias 6 Adanya subyektivitas
7 Penggantungan pendapat 7 Menguji pendapat
8 Reduksionisme 8 Sintesis
PERBANDINGAN SAINS BARAT DAN SAINS ISLAM
(Nasim Butt (2001: 75-76)
SAINS BARAT SAINS ISLAM

9 Fragmentasi 9 Holistik

10 Universalisme 10 Universalisme

11 Individualisme 11 Orientasi masyarakat

12 Netralitas 12 Orientasi nilai

13 Loyalitas kelompok 13 Loyalitas pada Allah dan


makhluk-Nya
14 Kebebasan absolut 14 Manajemen sains merupakan
sumber tak terhingga
nilainya
15 Tujuan membenarkan sarana 15 Tujuan tidak membenarkan
sarana
REKOMENDASI

Dalam membangun dan mengejar


perbaikan iptek dunia Islam, Ziauddin
Sardar mengajukan 2 pemikiran dasar:
1. Menganalisa kebutuhan sosial masya-
rakat muslim sendiri, dan dari sinilah
dirancang teknologi yang sesuai.
2. Teknologi ini dikembangkan dalam
kerangka pandangan-dunia muslim.
‫الحمـــــد هلل رب العــالمـــين‬
‫‪Terimakasih...‬‬

Anda mungkin juga menyukai