Modalitas Ontologis
Modalitas Ontologis
Ontologi. 1
yang berada. Oleh karena materi induk itu merupakan potensi murni, maka juga
mendasari perkembangan jadi juga mendasari kemungkinan dosa dan kejahatan. Sebagai
fakta lalu dia mencoba memberikan tempat kepadanya dalam kejahatan sebagai hal yang
positif. demikan lebih-lebih didalam periode berpikirnya yang kedua. Dia terutama
melawan Hegel, karena menurut pandanganya Hegel terlalu mementingkan kejelasan
realitas (gegenstandlichkeit dan stete Anwesendheit), apalagi gunanya yang terang
(vorhandenheit dan verfugbarkait).
Berada menurut Heigdengger ialah terjadinya ‘alethenia’ artinya: proses
menampakan diri dan menyebunyikan diri secara anonim. Juga aspek menyembunyikan
diri dan menutup diri itu termasuk hakekat berada. Aspek itu diungkapkan dengan istilah
yang merupakan bagian dari istilah ‘alethenia’ ialah ‘lete’ artinya : ketidakjelasan (das an
sich Halten des Seins).
2. Kebenaran dan kebaikan sebagi struktur
Setiap yang berada itu hanya berada sekedar memiliki diri dan mengakui/diakui
segalah yang berada lain didalam kesatuan dan perbedaan. Mengidentifikasikan diri
dengan diri sendiri, dalam korelasi dengan yang lain (reditio in seipsum). Didalamnya
diketemukan dua aspek.
2.1.1 Kebenaran
Yang berada itu (seperti secara proto tipis diketemukan didalam manusia) menangkap
dan memahami diri sendiri dan yang lain, mempunyai ‘insight’ dalam diri sendiri dan
yang lain dan hadir pada diri dan yang lain. Yang berada mengucapkan dan
mengekspresikan diri dan yang lain didalam idenya atau sabdanya, dan ide atau sabda itu
ialah dia sendiri dan yang lain. dengan mengucapkan diri dan yang lain maka yang
berada itu menerangkan diri dan yang lain dan sekaligus menerima penorongan itu
sebagai idenya sendiri. Dia juga meneridekan dirinya dan yang lain (dan di ide-idekan)
jadi dia menjadi pengenalan diri (dan yang lain), dan sekaligus dia memahami idenya
sendiri (dan yang lain). dia menyesuaikan idenya sendiri dengan kenyataanya, dan
mengkonfrotasikan kenyataanya pada ide (yaitu memahainya). Dan selalu lagi juga
Ontologi. 2
demikian terhadap yang lain, dan dibegitukan oleh yang lain pula, berdasarkan korelasi
mutlak.
2.1.2 Kebaikan
Yang berada itu mengingingkan diri sendiri dan yang lain, menyetujui dan
mengamini diri dan yang lain. atau juga senang dengan diri dan yang lain, bernafsu dan
berhasrat akan diri dan yang lain. memeluk, merangkul dan menikmati diri dan yang lain.
Yang berada mengekspresikan diri dan yang lain dalam cita-cita dan cita-cita itu
ialah diri sendiri dan yang lain sebagai idam-idamanya sebagai objek nikmat, sebagai
penimbul rindu, sebagai perangsang semanggat. Dan sekaligus yang berada membuat diri
(dan yang lain) perindu, dan merealisasikan cita-cita itu. yang berada menghargai dan
mengindahkan diri menurut dua arti sekaligus : menghargakan atau menginjarkan harga
didalam diri sendiri dan yang lain. dan juga menerima dan menghargai harga itu. atau
juga membuat diri dan lain pantas dicintainya. Lalu juga mencintai dan menghendaki
dengan effektif diri dan yang lain.
Adanya benar dan baik itu tidak ditambah kepada berada seakan-akan dari luar
saja. Merupakan ekspilisitasi kekayaan strukturil seperti termuat didalam berada sendiri.
Karena itu juga identik dengan berada itu secara materiil atau riil. Seperti juga kebenaran
dan kebaikan satu sama lain.
Ontologi. 3
untuk yang beruntung dan yang celaka, untuk yang gelap dan yang terang. juga misalnya
manusia yang jahat itu benar dan baik dalam arti ontologis : sebab adanya begitu sesuai
dengan pemahamanya akan diri dan yang lain. dan sesuai dengan pengambilan posisi
terhadap diri dan yang lain. dan sejauh intesitasnya memahami dan memilih posisi, begitu
jauh juga dia berada. Kebenaran dan kebaikan ontologis seperti juga pengakuan diri,
direalisasikan strukturnya didalam ketidak benaran dan ketidak baikan pula.
Kebenaran dan kebaikan ontologis merupakan dasar dan norma untuk setiap
macam kebenaran-kebaikan lainya. Rumusan tradisoinil yang diberikan oleh filsafat
scholastic mengenai kebenaran ontologis dan antropolis ialah :
Dan juga yang serupa dapat dirumuskan mengenai kebaikan sebagai hubungan
antara kehendak dan realitas. Kiranya kedua-duanya terlalu berat sebelah : yang satu
terlalu mementingkan aspek subjektif belaka, yang lainya terlalu menekankan aspek
objektif saja. Kedua-duanya harus diambil bersama. Lebih tepat menggangap kebenaran-
kebaikan antropologis itu sebagai ekspilitasi dan realisasi khas manusiawi. Pada caranya
sendiri, dari kebenaran-kebaikan ontologis yang berlaku untuk masing-masing yang
berada. Lalu didalam kebenaran-kebaikan antropologis itu masi dapat dibedahkan 4 taraf,
yang masing-masing juga benar baik menurut tarafnya sendiri, tetapi akhirnya, tanpa
kehilangan kesendirianya diangkat dan diintegrasikan didalam kebenaran-kebaikan
manusiawi yang menyeluruh. Kebenaran antropologis/logis itu sendiri masih mengenal
banyak taraf, sesuai dengan metode dan objek masing-masing ilmu pengetahuan.
Ontologi. 4
BAB V
1. Modalitas ontologis.
2. Keharusan ‘berada’
Apakah semua yang berada juga harus berada? Menurut monisme memang semua
yang berada merupakan emanasi atau evolusi yang tak terelakan. Menurut gaja pluralistis
semua hanya kebetulan saja. Menurut eksistensialisme semua hanya merupakan faktisisai
belaka dan menikmati kebebasan mutlak.
Ontologi. 5
Hakekat istilah kontinggensi lalu bersifat negatif tidak hanya menurut bentuk
gramatikal tetapi justru menurut arti ontologis. Ontologi mencari sifat-sifat berada yang
memuat kategori tadi (baik keharusan maupun kontiggensi) kedua-duanya dipandang
menurut aspek positifnya yang diungkapkan dengan satu konsep yang bersifat analog.
Setiap yang berada sejauh berada tidak dapat tidak ada. Ini tidak hanya berlaku
untuk Tuhan, tetapi juga untuk yang berada lain (yang lazimnya bersifat kontinggen)
sekedar keberadaanya. Setiap yang berada (faktisitas) itu berada dengan tak terelakan
(keharusan). Mahluk tidak bisa tidak ada sejauh suda berada. Dan didalam teodise itu
mewujudkan kearah Tuhan yang juga diketemukan sebagai fakta yang terelakan, secara
memunjak. Demikian juga dapat diingatkan, bahwa setiap yang berada, sejauh berada,
juga harus (tidak bisa tidak) berada. Keharusan ini berlaku menurut suatu jenjang
partisipatif sehingga istilah harus itu bersifat analog.
Dari bab1 telah diterima fakta kebanyakan yang berada. Maka keharusan
ontologis dari semula tidak hanya dapat diartikan secara terisolir. Yang berada memiliki
arti, bahkan sungguh berarti untuk diri sendiri dan perlu untuk diri sendiri. Yang berada,
sejauh berada, itu perlu, merupakan syarat, dibutuhkan untuk diri dan untuk yang lain.
2.3 Kontinggensi
Sekarang juga jelas arti mana yang harus diberikan kepada ‘kontinggensi’.
Kontinggensi tidak berlwana secara kontradiktoris dengan keharusan. Hanya merupakan
taraf-taraf keharusan hekekat keharusan itu. kontinggensi merupakan bentuk keharusan
ontologis tertentu yang otentik juga.
2.4 Makna
Ontologi. 6
Keharusan dan keperluan ontologis ini memperkuat sekali lagi hukum bahwa
berada itu bermakna (cf.nr.137,4225). yang berada-ada itu saling mengartikan, dan
berarti satu sama lain : dan itu dengan keharusan. Mereka mau tidak mau saling
mengadakan menurut apa adanya. Arti dan makna mereka saling bergantungan. Dan
sebaliknya hanya sejauh mereka dibutuhkan oleh yang lain, dan saling membutuhkan,
maka mereka berada juga.
Ontologi hanya dapat menerima ‘berada’ sebagai fakta, dan tidak dapat
menerangkan asal-usul berada atau sebab adanya jika berada, ketcuali bahwa mahluk-
mahluk diciptakan oleh Tuhan. Tetapi dengan bertitik tolak dari faktisitas yang pasti itu,
dapat diberi ‘insight’ mengenai bertahnya berada. Pertanyaan mengenai ketetapan berada
itu paling diruncingkan dalam hal berada dan menjadi “esse et fieri’ mana kedudukan
ontologis untuk menjadi itu?
Menurut arti ini yang berada tidak dapat ditiadakan lagi,untuk dirinya sendiri
tidak untuk yang lain. juga tidak sekali barada tetap berada. Yang berada baik
Ontologi. 7
berlangsung sendiri, maupun dilangsungkan oleh orang lain, apalagi melangsungkan ysng
lain juga. Yang telah berada, tidak akan silam lagi. Peniadaan (annihilatio) itu, dipandang
secara ontologis, tidak mungkin juga Tuhan tidak dapat meniadakan yang telah berada
dan sejauh berada.
Berada untuk mahluk itu hanya bersifat fektuil, bahkan adanya Tuhan yang
diketemukan melalui mahluk-mahluk itu juga memiliki corak fektuil demikian untuk
manusia. Apakah juga dapat diselidiki kemungkinan berada untuk yang berada-ada yang
belum berada atau untuk yang berada fektuil sebelum berada? Kemungkinan berada itu
apa? Dunia menciptakan kemungkinan-kemungkinan mereka sendiri, sambil berjalan.
Setiap yang berada, sejauh berada juga mungkin berada baik secara intrinsic
(kesesuain sifat-sifat) mungkin secara okstrinsik (diakui dan diadakan oleh yang lain).
kemungkinan berada ini disebut kemungkinan objektif (potential objective). Tetapi
kecuali itu juga : setiap yang berada sejauh berada berdaya berada mempunyai potensil
untuk berada atau untuk meiliki diri (potential objective). Tidak dimaksudkan
kemungkinan pasif untuk berkembang saja, melaingkan bakat dan kemampuan ontologis.
Kemampuan ini juga berlaku untuk Tuhan.
Ontologi. 8
Biasanya disebut 4 cara berada (dan tidak berada), yaitu : mustahil berada, mungkin
berada, faktuil berada, harus berada. Ke-4 cara itu di anggap merupakan suatu jenjang :
lalu diselidi secara logis hubungan-hubungan dan kombinasi-kombinasinya. Tetapi secara
ontologis hanya hanya dapat diketemukan 3 cara berada yang selalu bersama-sama :
mungkin berada, faktuil berada, harus berada : dan dapat ditambah tetapi berada. Mereka
merupakan ‘transcendentalia’ yang berlaku untuk masing-masing yang berada, selalu
sejajar dan sama luasanya.
Ontologi. 9