Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

1. Kebenaran Dan Kebaikan Ontologis

beberapa pendapat historis:

1.1 Para optimis ekstrim.


Spinoza tidak ada yang tidak benar atau tidak baik. Seluruh realitas tercipta
berasal, bahkan berimenasi dari Tuhan secara mutlak perlu, seperti misalnya juga suatu
segi tiga meiliki ciri-ciri tertentu dengan mutlak perlu. Sebab Tuhan itu sempurna, maka
juga dunia itu melulu benar dan baik. Sebetulnya semua dengan jelas dapat dipaham dan
dengan terbuka dapat diterima tanpa ada misteri atau kekurangan apapuun. Yang disebut
tidak benar dan tidak baik itu disebabkan oleh pengertian kurang lengkap mengenai
realitas (monistis) itu. NB hanya kurang diterangkan kemungkinan pengertian manusia
yang kurang lengkap itu.
1.2 Para pesimis ekstrim
Schopenhauer. Dunia universal itu secara essensiil tidak benar dan tidak baik.
Ada hanya satu prinsip yang mendasari dan mengadakan segala-galanya, yaitu kehendak
induk yang tak sadar (die urwille) untuk berada. Kehendak itu menjelmakan diri pada
taraf-taraf yang makin tinggi dan akhrinya didalam manusia. Tetapi karena kehendak ini
mendorong secara buta dan tanpa tujuan, maka tidak perna puas, dan selalu
menghabiskan diri dengan berapa upaya tanpa batas. Setiap hasil yang tercapai
mengecewakan pula. Karena itu berada sendiri sudah buruk dan merupakan dapat ada
yang lebih buruk dan celaka. Karena itu realitas juga tidak masuk akal, tidak dapat
diketahui bersifat nonsense dan inraisoinal.
1.3 Percobaan sintese; dualisme sprituil materiil.
Plato, Aristoteles dan Tomas merupakan satu golongan, walaupun masing-masing
menurut pandangan sendiri, dan cukup berbeda dari lain. mereka menyatakan adanya
materi induk sebagai prinsip metasis yang menyebabkan ketidak sempurnaan fisis dan
metafisis struturi, karena materi itu membatasi berada sebagai kesempurnaaan tertinggi.
Bersama dengan berada itu juga kebenaran dan kebaikan diletakan pada bidang sprituil,
entah sebagai sorga ide-ide, atau sebagai konsep essensiil yang direalisir didalam banyak
yang berada atau sebagai bentuk puncak yang riil (forma) yang termuat dimasing-masing

Ontologi. 1
yang berada. Oleh karena materi induk itu merupakan potensi murni, maka juga
mendasari perkembangan jadi juga mendasari kemungkinan dosa dan kejahatan. Sebagai
fakta lalu dia mencoba memberikan tempat kepadanya dalam kejahatan sebagai hal yang
positif. demikan lebih-lebih didalam periode berpikirnya yang kedua. Dia terutama
melawan Hegel, karena menurut pandanganya Hegel terlalu mementingkan kejelasan
realitas (gegenstandlichkeit dan stete Anwesendheit), apalagi gunanya yang terang
(vorhandenheit dan verfugbarkait).
Berada menurut Heigdengger ialah terjadinya ‘alethenia’ artinya: proses
menampakan diri dan menyebunyikan diri secara anonim. Juga aspek menyembunyikan
diri dan menutup diri itu termasuk hakekat berada. Aspek itu diungkapkan dengan istilah
yang merupakan bagian dari istilah ‘alethenia’ ialah ‘lete’ artinya : ketidakjelasan (das an
sich Halten des Seins).
2. Kebenaran dan kebaikan sebagi struktur

2.1 Arti pokok

Setiap yang berada itu hanya berada sekedar memiliki diri dan mengakui/diakui
segalah yang berada lain didalam kesatuan dan perbedaan. Mengidentifikasikan diri
dengan diri sendiri, dalam korelasi dengan yang lain (reditio in seipsum). Didalamnya
diketemukan dua aspek.

2.1.1 Kebenaran

Yang berada itu (seperti secara proto tipis diketemukan didalam manusia) menangkap
dan memahami diri sendiri dan yang lain, mempunyai ‘insight’ dalam diri sendiri dan
yang lain dan hadir pada diri dan yang lain. Yang berada mengucapkan dan
mengekspresikan diri dan yang lain didalam idenya atau sabdanya, dan ide atau sabda itu
ialah dia sendiri dan yang lain. dengan mengucapkan diri dan yang lain maka yang
berada itu menerangkan diri dan yang lain dan sekaligus menerima penorongan itu
sebagai idenya sendiri. Dia juga meneridekan dirinya dan yang lain (dan di ide-idekan)
jadi dia menjadi pengenalan diri (dan yang lain), dan sekaligus dia memahami idenya
sendiri (dan yang lain). dia menyesuaikan idenya sendiri dengan kenyataanya, dan
mengkonfrotasikan kenyataanya pada ide (yaitu memahainya). Dan selalu lagi juga

Ontologi. 2
demikian terhadap yang lain, dan dibegitukan oleh yang lain pula, berdasarkan korelasi
mutlak.

2.1.2 Kebaikan

Yang berada itu mengingingkan diri sendiri dan yang lain, menyetujui dan
mengamini diri dan yang lain. atau juga senang dengan diri dan yang lain, bernafsu dan
berhasrat akan diri dan yang lain. memeluk, merangkul dan menikmati diri dan yang lain.

Yang berada mengekspresikan diri dan yang lain dalam cita-cita dan cita-cita itu
ialah diri sendiri dan yang lain sebagai idam-idamanya sebagai objek nikmat, sebagai
penimbul rindu, sebagai perangsang semanggat. Dan sekaligus yang berada membuat diri
(dan yang lain) perindu, dan merealisasikan cita-cita itu. yang berada menghargai dan
mengindahkan diri menurut dua arti sekaligus : menghargakan atau menginjarkan harga
didalam diri sendiri dan yang lain. dan juga menerima dan menghargai harga itu. atau
juga membuat diri dan lain pantas dicintainya. Lalu juga mencintai dan menghendaki
dengan effektif diri dan yang lain.

3. Kedudukan kebenaran dan kebaikan

3.1 Sifat berada.

Adanya benar dan baik itu tidak ditambah kepada berada seakan-akan dari luar
saja. Merupakan ekspilisitasi kekayaan strukturil seperti termuat didalam berada sendiri.
Karena itu juga identik dengan berada itu secara materiil atau riil. Seperti juga kebenaran
dan kebaikan satu sama lain.

4. Kebenaran dan kebaikan sebagai ketegangan positif

4.1 Struktur dan isi.

Nr. 42 membicarakan kebenaran dan kebaikan ontologis sebagai struktur. Struktur


itu berlaku untuk semua yang berada menurut tarafnya dan keunikanya, tanpa
menghiraukan mana persis isi konkrit, positif atau negative. Hanya dipentingkan tingkat
intense atau kepadatan. Benar dan baik, memahami dan mencintai dipakai menurut arti
melalui strukturil –ontologis, dan berlaku untuk yang berada yang moril baik dan jahat

Ontologi. 3
untuk yang beruntung dan yang celaka, untuk yang gelap dan yang terang. juga misalnya
manusia yang jahat itu benar dan baik dalam arti ontologis : sebab adanya begitu sesuai
dengan pemahamanya akan diri dan yang lain. dan sesuai dengan pengambilan posisi
terhadap diri dan yang lain. dan sejauh intesitasnya memahami dan memilih posisi, begitu
jauh juga dia berada. Kebenaran dan kebaikan ontologis seperti juga pengakuan diri,
direalisasikan strukturnya didalam ketidak benaran dan ketidak baikan pula.

5. Hubungan kebenaran kebaikan ontologis dan antropologis

Kebenaran dan kebaikan ontologis merupakan dasar dan norma untuk setiap
macam kebenaran-kebaikan lainya. Rumusan tradisoinil yang diberikan oleh filsafat
scholastic mengenai kebenaran ontologis dan antropolis ialah :

 Kebenaran ontologis ialah kesesuaian realitas dengan fikiran .


 Kebenaran logis ialah kesesuaian fikiran denga realitas.

Dan juga yang serupa dapat dirumuskan mengenai kebaikan sebagai hubungan
antara kehendak dan realitas. Kiranya kedua-duanya terlalu berat sebelah : yang satu
terlalu mementingkan aspek subjektif belaka, yang lainya terlalu menekankan aspek
objektif saja. Kedua-duanya harus diambil bersama. Lebih tepat menggangap kebenaran-
kebaikan antropologis itu sebagai ekspilitasi dan realisasi khas manusiawi. Pada caranya
sendiri, dari kebenaran-kebaikan ontologis yang berlaku untuk masing-masing yang
berada. Lalu didalam kebenaran-kebaikan antropologis itu masi dapat dibedahkan 4 taraf,
yang masing-masing juga benar baik menurut tarafnya sendiri, tetapi akhirnya, tanpa
kehilangan kesendirianya diangkat dan diintegrasikan didalam kebenaran-kebaikan
manusiawi yang menyeluruh. Kebenaran antropologis/logis itu sendiri masih mengenal
banyak taraf, sesuai dengan metode dan objek masing-masing ilmu pengetahuan.

Ontologi. 4
BAB V

1. Modalitas ontologis.

Didalam realita diketemukan beberapa ‘cara-berada’ yang fundamental yaitu :


keharusan (necessitas), kemustahilan (imposibilitas),kemungkinan (posibilitas),dan hal
kebetulan , atau keterjadian, atau rektesitas ,atau kontinggensi (contingent). Lalu juga
perlangsungan (duration) dapat dihubungan dengan cara berada tersebut. Pertanyaan yang
muncul ialah, bagaimana kedudukan ontologis untuk cara berada ini? Apakah mereka
merupakan sifat berada yang “converbilis” dengan berada hanya dapat memiliki yang
satu atau yang lain, tetapi semua cara bersama-sama?

2. Keharusan ‘berada’

Apakah semua yang berada juga harus berada? Menurut monisme memang semua
yang berada merupakan emanasi atau evolusi yang tak terelakan. Menurut gaja pluralistis
semua hanya kebetulan saja. Menurut eksistensialisme semua hanya merupakan faktisisai
belaka dan menikmati kebebasan mutlak.

2.1 Istilah keharusan dan kontinggensi (scholastic)


Biasanya keharusan dan kontinggensi dilawankan setara dan kontradiktoris.
Tuhan harus berada , dan tidak dapat tidak berada ; dan inilah contoh satu-satunya
mengenai keharusan A ontologis yang sungguh-sungguh mahluk itu bersifat kontiggen ,
artinya : tidak harus ada , biasa ada dan tidak ada, kebetulan saja berada dengan aktuil,
hanya rill setara faktuil saja. (“continggere” mempunyai arti intrasitif ,terjadi di peroleh).

Kerap ‘keharusan’diartikan mutlak tetapi sebaiknya mutlak hanya dipakai untuk


absolut, sejauh dihubungkan dengan relatif. Istilah absolute ini sudah dibicarakan
didalam bab1, artinya : berdikari secara otonom, tidak bersyarat dan unik. Tetapi
keharusan itu mewujudkan aspek lain. begitu juga kontiggensi itu kerap diartikan tidak
mutlak, bersyarat terbatas, bisa berubah, dapat gagal, dapat musna. Sebaiknya kontiggen
juga hanya diambil menurut arti tertentu, yaitu : dapat ada dan tidak ada melalui faktuil
dan kebetulan.

Ontologi. 5
Hakekat istilah kontinggensi lalu bersifat negatif tidak hanya menurut bentuk
gramatikal tetapi justru menurut arti ontologis. Ontologi mencari sifat-sifat berada yang
memuat kategori tadi (baik keharusan maupun kontiggensi) kedua-duanya dipandang
menurut aspek positifnya yang diungkapkan dengan satu konsep yang bersifat analog.

2.2 Arti keharusan berada


2.2.1 Arti lebih konsotuil

Setiap yang berada sejauh berada tidak dapat tidak ada. Ini tidak hanya berlaku
untuk Tuhan, tetapi juga untuk yang berada lain (yang lazimnya bersifat kontinggen)
sekedar keberadaanya. Setiap yang berada (faktisitas) itu berada dengan tak terelakan
(keharusan). Mahluk tidak bisa tidak ada sejauh suda berada. Dan didalam teodise itu
mewujudkan kearah Tuhan yang juga diketemukan sebagai fakta yang terelakan, secara
memunjak. Demikian juga dapat diingatkan, bahwa setiap yang berada, sejauh berada,
juga harus (tidak bisa tidak) berada. Keharusan ini berlaku menurut suatu jenjang
partisipatif sehingga istilah harus itu bersifat analog.

2.2.2 Arti eksitensiil ontologis

Dari bab1 telah diterima fakta kebanyakan yang berada. Maka keharusan
ontologis dari semula tidak hanya dapat diartikan secara terisolir. Yang berada memiliki
arti, bahkan sungguh berarti untuk diri sendiri dan perlu untuk diri sendiri. Yang berada,
sejauh berada, itu perlu, merupakan syarat, dibutuhkan untuk diri dan untuk yang lain.

2.3 Kontinggensi

Sekarang juga jelas arti mana yang harus diberikan kepada ‘kontinggensi’.
Kontinggensi tidak berlwana secara kontradiktoris dengan keharusan. Hanya merupakan
taraf-taraf keharusan hekekat keharusan itu. kontinggensi merupakan bentuk keharusan
ontologis tertentu yang otentik juga.

2.4 Makna

Ontologi. 6
Keharusan dan keperluan ontologis ini memperkuat sekali lagi hukum bahwa
berada itu bermakna (cf.nr.137,4225). yang berada-ada itu saling mengartikan, dan
berarti satu sama lain : dan itu dengan keharusan. Mereka mau tidak mau saling
mengadakan menurut apa adanya. Arti dan makna mereka saling bergantungan. Dan
sebaliknya hanya sejauh mereka dibutuhkan oleh yang lain, dan saling membutuhkan,
maka mereka berada juga.

3. Perlangsungan dan ketetapan yang berada “duration” berada dan menjadi

Ontologi hanya dapat menerima ‘berada’ sebagai fakta, dan tidak dapat
menerangkan asal-usul berada atau sebab adanya jika berada, ketcuali bahwa mahluk-
mahluk diciptakan oleh Tuhan. Tetapi dengan bertitik tolak dari faktisitas yang pasti itu,
dapat diberi ‘insight’ mengenai bertahnya berada. Pertanyaan mengenai ketetapan berada
itu paling diruncingkan dalam hal berada dan menjadi “esse et fieri’ mana kedudukan
ontologis untuk menjadi itu?

3.1 Perlangsungan menerut arti tertutup

Yang berada sejauh berada itu memiliki konsistensi berada dengan


mempertahankan dirinya sendiri. Yang berada sekedar keberadanya itu berlangsung
terus. Tidak berubah dengan begitu saja, lalu menjadi yang lain. tidak dapat berhenti
berada dengan sendirinya. Tidak bisa berusaha menjadi yang lain. yang berada sejauh
berada itu berketengangan untuk memiliki diri.

3.2 Arti lebih faktuil

Sekali dilemparkan kedalam berada, maka yang berada untuk selama-lamanya


tidak lagi dapat dihayalkan tidak berada. Baik untuk diri sendiri, maupun untuk yang lain.
sejak berada maka telah ikut menentukan segala yang berada yang lain dan seluruh realita
dalam korelasi; telah meberikan capnya sendiri yang unik kepada realita.

Menurut arti ini yang berada tidak dapat ditiadakan lagi,untuk dirinya sendiri
tidak untuk yang lain. juga tidak sekali barada tetap berada. Yang berada baik

Ontologi. 7
berlangsung sendiri, maupun dilangsungkan oleh orang lain, apalagi melangsungkan ysng
lain juga. Yang telah berada, tidak akan silam lagi. Peniadaan (annihilatio) itu, dipandang
secara ontologis, tidak mungkin juga Tuhan tidak dapat meniadakan yang telah berada
dan sejauh berada.

4. Kemungkinan dan kemampuan berada

Berada untuk mahluk itu hanya bersifat fektuil, bahkan adanya Tuhan yang
diketemukan melalui mahluk-mahluk itu juga memiliki corak fektuil demikian untuk
manusia. Apakah juga dapat diselidiki kemungkinan berada untuk yang berada-ada yang
belum berada atau untuk yang berada fektuil sebelum berada? Kemungkinan berada itu
apa? Dunia menciptakan kemungkinan-kemungkinan mereka sendiri, sambil berjalan.

4.1 Kemungkinan yang bersifat ontologis

Setiap yang berada, sejauh berada juga mungkin berada baik secara intrinsic
(kesesuain sifat-sifat) mungkin secara okstrinsik (diakui dan diadakan oleh yang lain).
kemungkinan berada ini disebut kemungkinan objektif (potential objective). Tetapi
kecuali itu juga : setiap yang berada sejauh berada berdaya berada mempunyai potensil
untuk berada atau untuk meiliki diri (potential objective). Tidak dimaksudkan
kemungkinan pasif untuk berkembang saja, melaingkan bakat dan kemampuan ontologis.
Kemampuan ini juga berlaku untuk Tuhan.

Kedua kemungkinan ini tidak terpisah, melaingkan saling memuat dan


melengkapi. Untuk setiap yang berada kemungkinan/kemampuan ini kedua-duanya
identik dengan aktualitasnya. Kedua-duanya hanya dapat dinyatakan berdasarkan
aktualitas. Kemungkinan-kemungkinan lain hanya bersifat abstraksi dan dinyatakan
dengan gratis belaka. Didalam Tuhan kemungkinan/kemampuan itu mencapai puncak
mutlak. Didalam mahluk kedua-duanya berkembang bersama dengan aktualitasnya, dan
terkandung didalam proyek atau ramalan untuk masa depanya.

5. Cara-cara berada ; kesimpulan

Ontologi. 8
Biasanya disebut 4 cara berada (dan tidak berada), yaitu : mustahil berada, mungkin
berada, faktuil berada, harus berada. Ke-4 cara itu di anggap merupakan suatu jenjang :
lalu diselidi secara logis hubungan-hubungan dan kombinasi-kombinasinya. Tetapi secara
ontologis hanya hanya dapat diketemukan 3 cara berada yang selalu bersama-sama :
mungkin berada, faktuil berada, harus berada : dan dapat ditambah tetapi berada. Mereka
merupakan ‘transcendentalia’ yang berlaku untuk masing-masing yang berada, selalu
sejajar dan sama luasanya.

Ontologi. 9

Anda mungkin juga menyukai