Anda di halaman 1dari 2

Konsep Pendidikan Islam Ideal

Oleh : Danaswara (23060016)

Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang menghasilkan manusia dengan kualitas baik yang
Universal. Pandangan idealisme pendidikan dalam Islam sebenarnya sudah sangat selaras
dengan tujuan pendidikan negara kita, Salah satu indikator dalam mengukur kualitas sumber
daya manusia yang dimiliki suatu bangsa adalah dengan melihat bagaimana pendidikan bangsa
itu sendiri. di Indonesia, pendidikan bertujuan untuk mewujudkan generasi yang unggul,
berkompeten, berdaya saing dan memiliki keperibadian yang berkarakter atau akhalak mulia.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan berperadaban diperlukan sistem
pendidikan yang ideal yang mendorong terciptanya generasi penerus bangsa yang berkualitas
dan berdaya saing global, yang mengharapkan lulusan dari sistem pendidikan nasional adalah
insan yang cerdas juga berakhlak mulia dalam artian bukan hanya berilmu tapi juga memiliki
akhlak yang baik (kesopanan, santun, kasih sayang dan lain-lain) yang berlandaskan keimanan,
sesuai dengan sila pertama yakni Ketuhanan yang maha Esa. Namun sayang, ketika sudah masuk
dalam tataran teknis pendidikan, banyak hal yang kemudian mulai mengaburkan tujuan utama
pendidikan sehingga tidak terrealisasinya tujuan pendidikan tersebut.

Sebenarnya masalah distorsi pendidikan ini harus menjadi tanggung jawab kolektif bukan
diserahkan kepada lembaga yang bernama sekolah saja, seharusnya antara orangtua, sekolah,
masyarakat atau lingkungan sosial serta pembuat kebijakan pendidikan, semua elemen dalam
lingkaran pendidikan ini harus bersama-sama memberikan peran aktif sesuai dengan ranah
masing-masing. Maka sudah sepatutnya sekolah untuk bisa meramu model pendidikan yang
menjadikan budaya atau tradisi ilmu bisa tercermin dalam setiap kegiatan dan kurikulum yang
disusun maka pentingnya kita membuat kurikulum yang berasaskan kepada Islam, seperti
kurikulum agama lebih di perbanyak lagi jam atau porsinya karena menurut hemat saya di
Indonesia ini kekurangan jam untuk porsi agama, karena bagaimana mungkin anak akan paham
dengan Ilmu agama sedangkan pembelajaran agama hanya 3 jam dalam satu pekan, maka
tentulah ini akan menjadi bias dengan cita-cita nasional.

Sebab itu Institusi sekolah jangan terjebak dalam paham 'sekolahisme' yang menganggap bahwa
belajar hanya terjadi saat anak-anak berada di lingkungan sekolah saja dan ketika mereka sudah
berada di luar sekolah, maka berhenti pula proses 'belajar' nya. Seharusnya bahwa proses belajar
anak tidak boleh dibatasi ruang dan waktu yang disebut dengan institusi sekolah. Belajar adalah
proses sepanjang hayat yang harus dan terus dilakukan dengan atau bahkan tanpa adanya
lembaga yang kemudian disebut sekolah maka mungkin ketika penulis kecil pun merasakan
ketika belajar ngaji disalah satu masjid atau belajar kepada beberapa guru baik dirumah dan lain
sebagainya dalam artian belajar bukan hanya disekolah saja tapi kapan dan dimanapun esensi
belajar harus tetap ada, sesuai dengan ketentuan Allah yang nabi sabdakan bahwa menuntut ilmu
itu adalah kewajiban tanpa terbatasi ruang dan waktu.

Kurikulum harus belandaskan nafas Islamy, alangkah baiknya kurikulum jika yang buat adalah
lembaga sekolah saja maka ke idealan itu akan tercipta seperti contoh jika kita ingin membuat
anak perempuan sholih maka kurikulum sekolah atau pesantren harus melihat bagaiman
pendidikannya Mariam binti Imran, bagaimana asiah menjaga imannya bahkan menjadi istri
yang dilakna Allah sekalipun, atau bagaimana pendidikan khodijah sebagai istri kekasih Allah
atau juga pendidikan fathimah yang didik langsung oleh sang pemuka para nabi. Maka sudah
barang tentu ini kurikulum sangat ideal.

Pendidikan Islam ideal merupakan pendekatan yang mencakup berbagai aspek untuk
memastikan pengembangan holistik individu dalam konteks ajaran agama Islam. Beberapa
elemen penting dari pendidikan Islam ideal meliputi:

1. Pembelajaran Berbasis Nilai-Nilai Islam:


Ajaran Etika dan Moral: Memperkenalkan dan mengajarkan nilai-nilai Islam seperti kejujuran,
kasih sayang, keadilan, dan tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman tentang Toleransi: Mengajarkan toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan
dalam pandangan dan kepercayaan.
2. Pembelajaran Pengetahuan Agama:
Al-Qur'an dan Hadis: Pemahaman yang mendalam tentang Al-Qur'an dan Hadis, serta aplikasi
praktisnya dalam kehidupan sehari-hari.
Ajaran Etika dalam Islam: Memahami ajaran-ajaran etika Islam seperti akhlak, adab, dan
perilaku yang baik.
3. Pengembangan Akademik:
Ilmu Pengetahuan Umum: Integrasi antara ilmu pengetahuan umum dengan nilai-nilai Islam,
sehingga siswa mendapatkan pemahaman komprehensif tentang ilmu pengetahuan dan agama.
Pengembangan Keterampilan: Pembelajaran keterampilan praktis yang relevan dengan
kehidupan sehari-hari, seperti keterampilan komunikasi, kepemimpinan, dan pemecahan
masalah.
4. Pengembangan Spiritual dan Emosional:
Koneksi dengan Spiritualitas: Membangun kesadaran spiritual dan memperkuat hubungan
dengan Allah SWT melalui ibadah, dzikir, dan refleksi spiritual.
Pengembangan Emosional: Memperhatikan pengembangan emosi positif, self-awareness, dan
self-regulation untuk menghadapi tantangan hidup dengan bijaksana.
5. Pengembangan Sosial:
Etika Sosial dan Kepedulian: Mengajarkan nilai-nilai solidaritas, kepedulian sosial, serta
mengembangkan kemampuan untuk hidup berdampingan dengan harmonis dan damai dalam
masyarakat.
6. Pendekatan Didaktik yang Holistik:
Pendekatan Interaktif: Pembelajaran yang aktif, melibatkan diskusi, kolaborasi, serta mendorong
pemikiran kritis dan kreativitas.

Dengan model pembelajaran yang sesuai dengan prinsip pendidikan Islam yang ideal maka
budaya dan tradisi ilmu dalam sekolah bisa diciptakan. Sebaliknya, jika sekolah terlarut dalam
pragmatisme belajar yang mempress latihan mengerjakan soal untuk persiapan untuk hanya
masuk perguruan tinggi, atau hanya pekerjaan belaka, maka siswa akan cenderung memiliki
pemikiran yang simple dan pragmatis pula. Mereka akan terjebak dengan pemikiran linier
Sekolah - Nilai Baik - Kerja Bagus - Banyak Uang. Sebuah pemikiran yang tidak sepenuhnya
keliru namun kering akan nilai pendidikan yang ideal. Praktek pembelajaran yang kering ini akan
semakin menjauhkan manusia dari rasa cinta dengan ilmu dan belajar. Bisa jadi karena
disorientasi tujuan ilmu yang dikesankan oleh praktek pendidikan yang tidak ideal ini, ketika
mereka sudah meraih pekerjaan yang diidamkan, mereka merasa sudah tidak perlu lagi belajar
dan bahkan merasa puran dengan pengetahua yang dimiliki. Inilah pemikiran yang seharusnya
bisa dihindari. Bukankah bagi umat Islam menuntut ilmu itu wajib dilakukan dari lahir sampai
dengan akhir hayat.

Anda mungkin juga menyukai