Anda di halaman 1dari 3

Dominasi Umat Muslim Terhadap Dinamika Masyarakat di Indonesia

Oleh: Ahmada Dwi Hertino

Indonesia sendiri merupakan negara dengan berbagai macam budaya, agama, suku
dan ras. Karena hal ini juga Masyarakat di Indonesia perlu belajar toleransi sejak dini, dalam
hal agama sendiri sangat penting bagi umat beragama untuk memahami dan menerapkan
toleransi dalam kehidupan beragama, yang tentunya merupakan perubahan besar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Toleransi tidak mengenal batas waktu, tempat, atau
dengan siapa kita melakukannya; itu berlaku untuk semua orang. Etika yang menghormati
ras, agama, budaya, suku, dan kelompok lain bukan satu-satunya cara untuk melakukan
toleransi. Menghormati pendapat orang lain juga termasuk dalam toleransi. Toleransi
beragama berarti saling menghargai antar umat beragama, apapun agama mereka. Masyarakat
harus saling menghargai satu sama lain.
Namun hal ini masih belum terlaksana dengan baik, masih banyak Masyarakat di
indonesia yang sebenarnya sudah mengerti tentang toleransi tetapi tidak menerapkan pada
kehidupan mereka. Dikarenakan agama islam merupakan agama yang paling dominan yaitu
mencapai 87% maka otomatis akan menjadi superior. Bahakan presiden yang beragama islam
lebih memiliki peluang besar memenangkan pemilu, itu dapat dilihat dari fakta bahwa semua
presiden indonesia beragama islam. Bahkan muncul pemikiran ”jangan mau dipimpin oleh
orang kafir” paham paham seperti ini ditambah dengan pemikiran yang dangkal sangat
mudah dimanfaatkan oleh oknum oknum tertentu untuk mencapai kepentingan pribadi
mereka, contoh dari ini adalah peristiwa 212 diamana sekitar 200 ribu hingga jutaan umat
islam datang ke jakarrta untuk penuntutan kedua terhadap Ahok pada tahun 2016 setelah
unjuk rasa sebelumnya terjadi pada 4 November. Jika dilihat secera seksama Ahok sendiri
tidak bermaksud untuk menistakan agama islam, tapi karena ptongan video kampanyenya
sudah meluas ditambah dengan ujaran ujaran kebencian menyulut amarah banyak umat islam.
Peristiwa ini berakhir dengan ditegtapkannya Ahok sebagai tersangka dalam kasus ini.
Pada kesempatan lain terdapat guru di jakarta utara yang meminta agar ketua OSIS
sekolahnya tidak boleh beragama nonmuslim, status guru saat ini setelah dimintai keterangan
oleh Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara bahwa guru tersebut tidak lagi mengajar. Namun
demikian, ia mengatakan bahwa saat ini tim tengahnya sedang menyelesaikan sanksi lanjutan
yang akan diberikan kepada E. Dia berjanji bahwa sanksi tersebut akan diumumkan dalam
waktu dekat. Sementara itu, selama proses pengangkatan siswa sebagai tenaga pengajar,
kegiatan pembelajaran mereka dialihkan ke guru lain. pemberian sanksi akan mengacu pada
PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan UU Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara menyatakan, telah
mengacu ke sana, konsultasi dan bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Daerah dan
Inspektorat. Hal ini membuktikan bahwa oknum guru sekalipun tidak luput dari intoleransi
beragama, miris sekali jika dilihat dimana guru yang seharusnya mengajarkan toleransi malah
melakukan hal yang intoleran.
Ulama ulama di indonesia juga tidak luput dari hal yang kurang baik, meskipun bukan
dalam hal intoleran tetapi mereka sering digunakan untuk menggait suara dalam pemilu,
banyak para tokoh politik yang mendekatkan diri mereka pada ulama tertentu dengan harapan
mereka dapat megambil hak suara dari para pengikutnya. Hal seperti ini merupakan praktek
yang wajar dilakukan jelang pemilu, umat Islam di Indonesia seperti gadis cantik yang
suaranya selalu dicari dalam setiap pagelaran pemilu atau pesta demokrasi. Selain
kemenangan numerik umat islam, kekuatan kyai dan seluruh kekuasaan agama mereka tidak
boleh diabaikan. Kita sendiri tidak dapat memungkiri bahwa orang islam umumnya lebih
mengutamakan kekuasaan agama daripada kekuasaan politik. Otoritas agama akan selalu
diwakili oleh para kyai dalam urusan apa pun, termasuk politik. Bukan karena
intelektualisme, tetapi karena pengaruhnya di bidang agama dan beberapa fatwa yang
dianggap sebagai suara islam oleh masyarakat umum. Akibatnya, tidak hanya suara umat
islam yang diperebutkan, tetapi agama itu sendiri digunakan sebagai alat untuk memperoleh
kekuasaan politik dan kepentingan golongan tertentu. Fenomena seperti ini pasti sangat
berbahaya, di antaranya, karena umat islam tidak memahami demokrasi karena mereka hanya
mengandalkan pendapat kyai dan logika ikut-ikutan. Selain itu, para intelektual tampak
lemah dan tidak berpengaruh di hadapan umat Islam. Padahal, mereka seharusnya menjadi
rujukan utama dan bukan hanya mengedepankan otoritas kyai, yang mungkin tidak kredibel
dalam hal masalah politik. Agama dapat dengan mudah digunakan sebagai alat politik untuk
kepentingan golongan tertentu, seperti yang telah kita lihat sendiri. Pada akhirnya, metode
politik kita menjadi tidak efektif dan tidak efektif.
Tidak hanya dalam bidang politik dan pendidikan saja dominasi islam telah sampai
dalam hal pembangunan rumah ibadah dari agama lain, mendirikan rumah ibadah bagi
minoritas agama di beberapa wilayah Indonesia menimbulkan kesulitan. Sebenarnya aturan
pembangunan rumah ibadah di indonesia telah diatur dalam peraturan menteri, meskipun
diatur dalam Peraturan Bersama Menteri, masih terdapat celah lahirnya intoleransi dari
ketentuan Peraturan Bersama Menteri yang melarang pembuatan tempat ibadah bagi
organisasi keagamaan minoritas. Peraturan Bersama Menteri mengatur penyelesaian konflik
antar umat beragama melalui FKUB, namun karena kelompok agama mayoritas menguasai
mayoritas anggota perwakilan FKUB, penyelesaian masalah berpengaruh kuat terhadap
kehendak kelompok agama mayoritas. Tugas kepala daerah sebagai "peran kunci" dalam
pembangunan tempat ibadah dapat dilakukan dengan mengembangkan regulasi toleransi
daerah dan menyikapi isu-isu terkait toleransi pembangunan rumah ibadah di wilayahnya
secara proporsional dan tidak memihak. Perlunya edukasi terhadap masyarakat luas tentang
bagaimana toleransi dan keadilan terhadap agama minoritas supaya terjamin keharmonisan
dalam umat beragama.
Karena keragaman budaya, agama, suku, dan ras Indonesia, pembelajaran toleransi
diperlukan sejak dini. Toleransi, terutama dalam hal kehidupan beragama, sangat penting
untuk membangun negara yang inklusif dan harmonis. Toleransi agama berarti menghormati
dan menghargai keyakinan dan praktik keagamaan satu sama lain dan kelompok. Toleransi
agama masih belum optimal di Indonesia. Ketidakmampuan untuk menerapkan nilai-nilai
toleransi seringkali disebabkan oleh budaya superioritas agama, terutama agama Islam yang
dominan. Fakta bahwa semua presiden Indonesia beragama Islam menunjukkan betapa
pentingnya agama untuk perubahan politik dan sosial di Indonesia. Peristiwa seperti
demonstrasi 212 dan kasus intoleransi agama di pendidikan menunjukkan bahwa toleransi
masih menjadi tantangan besar. Bahkan orang-orang yang bertanggung jawab di institusi
pendidikan dan ulama terlibat dalam perilaku tidak toleran. Agama tidak boleh digunakan
sebagai alat politik untuk kepentingan golongan tertentu. Hal ini dapat menyebabkan
polarisasi politik dan sosial, yang berbahaya bagi demokrasi dan keharmonisan masyarakat.
Baik penyelesaian konflik antar umat beragama maupun pembangunan rumah ibadah bagi
minoritas agama harus dilakukan dengan mempertimbangkan toleransi dan keadilan bagi
semua pihak. Oleh karena itu, pendidikan yang lebih luas tentang prinsip toleransi dan
keadilan terhadap agama minoritas diperlukan untuk menjaga keharmonisan masyarakat.
Untuk membangun kesadaran akan pentingnya toleransi dalam kehidupan beragama dan
bernegara di Indonesia, diperlukan kerja sama dari semua pihak, termasuk pemerintah,
institusi pendidikan, lembaga agama, dan masyarakat sipil. Indonesia dapat menjadi negara
yang inklusif dan harmonis bagi semua warganya, tanpa memandang suku, agama, atau ras,
hanya dengan kerja sama dan kesadaran bersama.

Anda mungkin juga menyukai