Penyalahgunaan Keuasaan Dan Wewenang Pejabat Publik
Penyalahgunaan Keuasaan Dan Wewenang Pejabat Publik
Disusun Oleh :
Dosen :
Pejabat publik adalah orang-orang yang dipilih dan ditugaskan untuk menduduki
posisi atau jabatan tertentu di badan publik. Karena mereka dianggap sebagai bagian dari
demokrasi, pejabat publik diberi kekuatan dan kepercayaan. Tidak ada pemerintahan yang
demokratis tanpa tanggung jawab rakyat. tidak dianggap sebagai sesuatu yang sakral atau
suci. Kekuasaan sebagai aktivitas politik harus dipahami sebagai kegiatan manusiawi yang
diperoleh, dipertahankan, dan direplikasi (Siahaan, 2013).
Seorang pejabat menyalahgunakan wewenang mereka untuk kepentingan tertentu,
apakah itu untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Ini dikenal sebagai
abuse of power. Ketika sesuatu dilakukan yang dapat membahayakan keuangan atau
perekonomian negara, itu dianggap korupsi. Adagium mengatakan kekuasaan dekat dengan
korupsi. Kekuasaan yang tidak terkontrol akan meningkat, menyebabkan banyak
penyimpangan. Kemungkinan korupsi meningkat seiring dengan tingkat kekuasaan.
Kekuasaan pribadi terdiri dari wewenang yang diberikan untuk melaksanakan tugas. karena
itu dapat digunakan untuk tujuan pribadi. Akibatnya, orang-orang yang memegang jabatan
penting di lembaga negara percaya bahwa mereka dapat menggunakan wewenang yang
diberikan kepada mereka sesuka mereka. Kekuasaan yang dimilikinya meningkat seiring
dengan ketinggian posisinya.
Hukum Indonesia terus menunjukkan ketimpangan keadilan. Ini ditunjukkan oleh
fakta bahwa Indonesia memiliki tingkat penyalahgunaan wewenang tertinggi di Asia,
khususnya korupsi. Dalam laporan "Barometer Korupsi Global-Asia" yang dirilis oleh
Transparency International, Indonesia diposisikan sebagai negara nomor tiga paling korup di
Asia. India berada di peringkat pertama, dan Kamboja berada di peringkat kedua. Menurut
Jerry Massie, seorang peneliti Studi Politik dan Politik Publik, hukuman yang lemah di
Indonesia adalah penyebabnya. Selain itu, dia menyatakan bahwa partai politik menjalankan
sistem "mahar politik" dan undang-undang yang berkaitan dengan korupsi sering berubah-
ubah (Merdeka, 2020).
1.3 Tujuan
Beberapa waktu terakhir, istilah "abuse of power" menjadi topik hangat di media
sosial. Terminologi ini digunakan untuk menyebut tindakan orang-orang tertentu yang
menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan mereka. Menurut buku Muhtar Haboddin
"Memahami Kekuasaan Politik", Miriam Budiardjo (2008) mendefinisikan kekuasaan
sebagai kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk memengaruhi tingkah laku
orang lain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dan tujuan orang yang
memegang kekuasaan. Kekuasaan dan jabatan adalah satu sama lain. Kekuasaan diberikan
secara otomatis kepada individu yang memegang posisi tertentu.
Dalam buku Sendi-Sendi Hukum Konstitusional oleh Dr. Hotma P. Sibuea dan Dr.
Hj. Asmak ul Hasnah, Yopie Moria menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan atau
wewenang untuk mencapai tujuan tertentu yang berpotensi merugikan orang lain.
Penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya terbatas pada pejabat pemerintah atau aparat yang
berwenang, tetapi juga setiap orang yang bertindak sewenang-wenang. Orang yang
melakukan penyalahgunaan kekuasaan menggunakan kekuatan atau wewenang mereka untuk
menindas orang lain yang berada di posisi yang lebih rendah. Penyalahgunaan kekuasaan ini
termasuk perbuatan ilegal. Penyuapan, korupsi, pengancaman atau penghinaan kepada
karyawan, dan lain-lain adalah beberapa contoh abuse of power yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Di indonesia sendiri masih memiliki banyak kasus abouse of power yang terjadi,
menurut sosiologi hukum (Rianto, 2012) hal tersebut marak terjadi dikarenakan:
1. Kekuasaan yang tidak dapat dikendalikan
Banyak pejabat public yang tidak dapat menahan keinginan untuk
memiliki segalanya termasuk kekuasaan sehingga banyak yang
menyalahgunakan wewenang.
2. Memiliki pandangan bahwa “orang yang memiliki wewenang dapat bertindak
bebas”
Pejabat publik atau pemimpin beranggapan bahwa seorang pejabat publik
atau pemimpin memiliki jabatan tinggi akan bebas bertindak sesuka hati
atau memiliki wewenang tidak terbatas atau bebas.
3. Lemahnya penegakan hukum terhadap perilaku penyalahgunaan wewenang
Banyaknya fenomena bahwa rakyat biasa jika melakukan kesalahan kecil
hukumannya berat dan lama, akan tetapi jika pejabat publik atau pemimpin
meskipun kesalahannya fatal hukumannya ringan. Hukum di Indonesia
cenderung tajam ke bawah tumpul ke atas.
4. Moral dan mental yang lemah
Seseorang yang diberikan wewenang atau jabatan tinggi namun memiliki
moral yang buruk misalnya korupsi, penyalahagunaan wewenang atau
jabatan tidak akan dapat mengemban amanah dan menjalankan tugas
sesuai wewenangnya.
5. Tuntutan ekonomi
Semakin tinggi jabatan, biasanya kebutuhan hidup juga makin tinggi.
Pengeluaran yang besar pasak daripada tiang mengakibatkan seorang
pejabat dapat menyalahgunakan wewenangnya untuk meraup keuntungan
materi bagi diri sendiri.
6. Pengawasan yang lemah
Kurangnya pengawasan dari atas dan pihak-pihak yang terkait, misalnya
dalam pengawasan anggaran.
Menteri BUMN Erick Thohir memecat I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, direktur
utama PT Garuda Indonesia, karena kasus penyelundupan onderdil Harley Davidson dan dua
sepeda Brompton mewah. Barang-barang ini diselundupkan ke dalam pesawat Airbus
A3330-900 NEO yang terbang dari Perancis ke Indonesia pada penerbangan pertama. Selama
pimpinan Ari Askhara sebagai direktur utama Garuda Indonesia, banyak kasus terjadi dalam
satu tahun:
A. Masalah Garuda Indonesia, Duopoli Garuda Indonesia dengan Lion Air: Indikasi
praktik kartel atau duopoli yang dilakukan Garuda Indonesia sedang diselidiki oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ini karena tarif pesawat dan biaya kargo
naik. KPPU membuat keputusan untuk meningkatkan penyelidikan tentang kasus
kartel tiket pesawat ke tingkat pemberkasan.
B. Praktik Monopoli dan Rangkap Jabatan Ari Askhara: Setelah Sriwijaya Air bergabung
dengan Garuda Indonesia, Ari Askhara bergabung dengan Direktur Niaga Garuda
Indonesia, Pikri Ilham Kurniansyah, dan Direktur Utama Citilink Indonesia, Juliandra
Nurtjahjo. Ini dianggap melanggar Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Menurut UU, tidak mungkin untuk menjadi komisaris atau direksi sekaligus di pasar
yang sama.
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan saat memahami dan mengatasi fenomena
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan konsekuensi dari korupsi yang melibatkan
pejabat publik. Pertama, menurut definisi Miriam Budiardjo dan Yopie Moria,
penyalahgunaan wewenang dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat dan tidak hanya di
pejabat pemerintah. Ini menunjukkan seberapa kompleks masalah ini dalam konteks sosial.
Kedua, tindakan yang dapat merusak tatanan sosial dapat diidentifikasi sebagai abuse of
power, seperti menyimpang dari tujuan pemberian kewenangan, melanggar hukum, dan
merugikan pihak lain. Dalam situasi ini, sangat penting untuk memahami bahwa
penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya terjadi pada individu tetapi juga pada sistem secara
keseluruhan, dan memerlukan penanganan yang dilakukan secara keseluruhan.
Selain itu, kasus seperti penyelundupan barang mewah oleh direktur utama PT Garuda
Indonesia menunjukkan hubungan erat antara penggunaan kekuasaan dan korupsi. Untuk
memberikan gambaran tentang kompleksitas akar masalah ini, seseorang dapat menjelaskan
beberapa faktor penyebab, termasuk kesulitan untuk mengontrol kekuasaan, perspektif bebas
bertindak dari mereka yang memegang kekuasaan, dan kurangnya penegakan hukum.
Meskipun ada upaya untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan penggunaan
kekuasaan, ada ketidaksetaraan dalam penegakan hukum, seperti yang terlihat dalam
beberapa kasus. Hal ini menimbulkan tantangan besar untuk menjaga keadilan dan kebenaran
di seluruh negeri. Oleh karena itu, untuk memungkinkan pejabat publik untuk menggunakan
kekuasaan mereka dengan penuh tanggung jawab dan integritas, perbaikan sistem
pengawasan dan penegakan hukum harus menjadi fokus perhatian bersama.
DAFTAR PUSTAKA