Anda di halaman 1dari 35

Bagian Kedua: Hukum Bagi Para

Pembela Thoghut
Oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz
Yang dimaksud di sini adalah para pembela pemerintah murtad yang
menjalankan hukum dengan selain hukum Alloh di berbagai negara
muslimin pada hari ini. Sedangkan yang dimaksud dengan para pembela
adalah orang-orang yang menjaga, mempertahankan dan membela mereka
dari orang-orang Islam mujahidin yang ingin menggulingkannya. Para
pembela adalah orang-orang yang membela mereka dengan perkataan dan
berperang mempertahankan mereka dengan senjata. Dan mereka itulah yang
menjadi penyebab tetap eksisnya undang-undang kafir di negri-negri
tersebut, sebagai mana yang telah kami jelaskan lalu.
Sedangkan hukum para pembela thoghut itu adalah cabang dari
hukum thoghut itu sendiri. Dan para pemerintah yang menjalankan hukum
selain hukum Alloh adalah murtad. Akan kami sebutkan dalil-dalilnya nanti
pada mabhats kedelapan insya Alloh.
Adapun hukum para pembela thoghut tersebut, yang terdiri para
ulama’ suu’, para jurnalis, tentara dan lain-lain, mereka kafir secara ta’yin
(perorangannya) pada hukum dzohirnya. Berikut ini dalil-dalilnya:
1- dalil pertama adalah ijma’ para sahabat.
Rosululloh saw., selama hidupnya tidak pernah memerangi orang-
orang murtad yang mumtani’ (mempertahankan diri dari kekuasaan Islam).
Akan tetapi para sahabat setelah wafatnya beliaulah yang mmemerangi
mereka, pada masa khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dari beliau dan para
sahabat lainnyalah perincian hukum permasalahan ini diambil. Rosululloh
saw., bersabda:
‫ َعضوا عليها‬،‫ فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين‬،‫فإنه من يعش منكم فسيرى اختالفًا كثيرًا‬
‫بالنواجذ وإياكم ومحدثات األمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة وكل ضاللة في النار‬
“Sesungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sesudahku, akan
melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku
dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu
dengan gigi geraham kalian. Dan janganlah kalian membust hal-hal yang baru,
sesungguhnya setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat
dan setiap kesesatan itu di neraka. Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dan dia
mengatakan “ Hadits ini hasan shohih.
Sedangkan para sahabat telah berijma’ atas kafirnya para pembela
pemimpin-pemimpin kemurtadan. Seperti para pembela Musailamah yang
mengaku nabi al-kadzab dan Thulaihah Al-Asadi yang mengaku nabi al-
Kadzab. Para sahabat merampas harta mereka, menawan permpuan-
perempuan mereka dan para sahabat bersaksi bahwa orang-orang mereka
yang tewas berada di neraka. Hal ini adalah sikap pengkafiran para sahabat
terhadap para pembela tersebut. dalilnya adalah sebagai berikut:
Atsar yang diriwayatkan oleh Thiriq bin Syihab, ia
mengatakan:”Datang utusan Buzakhoh dari bani Asad san Ghothofan

1
kepada Abu Bakar, mereka memohon perdamaian. Maka Abu Bakar
memberikan pilihan kepada mereka antara al-harbul mujliyah dan as-silmul
mukhziyah. Mereka mengatakan:”Al-Mujliyah ini kami sudah mengetahuinya,
lalu apa yang dimaksudkan dengan yang al-mukhziyah?” Abu Bakar
menjawab:”Kalian dilucuti dari al-halqoh (senjata) dan al-kuro’ (semua kuda),
apa yang kami dapatkan dari kalian kami jadikan sebagai ghonimah (harta
rampasan), kalian kembalikan apa yang kalian dapatkan dari kami, kalian
bayar diyat (tebusan) setiap orang kami yang kalian bunuh dan kalian
mengikuti ekor-ekor onta sampai Alloh menampakkan kepada kholifah
rosul dan orang-orang muhajirin sesuatu yang bisa mengamouni kalian.”
Lalu apa yang dikatan Abu Bakar itu dipaparkan kepada mereka, maka
berdirilah Umar dan berkata:”Aku mempunyai pendapat yang akan
kuusulkan kepadamu. Adapun perkataanmu tentang al-aharbul mujliyah
dan as-silmul mukhziyah itu sangat bagus sekali. Dan perkataanmu “Apa
yang kita dapakan dari kalain dianggap sebagai rampasan perang dan apa
yang kalian dapatkan harus dikembalikan kepada kami”, ini juga bagus
sekali. Adapun perkataanmu “kalian harus membayar diat (tebusan) setiap
orang kami yang kalian bunuh dan orang kalian yang mati di neraka” maka
yang benar adalah sesungguhnya orang-orang kami telah berperang dan
terbunnuh dalam menjalankan perintah Alloh, maka mereka mendapatkan
pahala dari Alloh dan kalian tidak harus membayar diyat.” Thoriq bin
Syihab mengatakan:”Lalu orang-orangpun mengikuti pendapat Umar.”
Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Baqoni sesuai dengan syarat Bukhori. Dari
Nailul Author tulisan Asy-Syaukani VIII/22. Riwayat ini juga disebutkan
oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari setelah itu beliau mengatakan: “ Al-
Humaidi mengataka; Al-Bukhori meringkasnya dan hanya menyebutkan
ujungnya, yaitu perkataanya: [kelian mengikuti ekor-ekor onta – sampai –
yang dapat mengampuni kalian]. Dan Al-Barqoni meriwayatkan secara
panjang dengan menggunakan sanad yang digunakan Bukhori damam
meriwayatkan atsar tersebut.” (Fathul Bari XIII/210. Dan atsar ini asalnya
dalam shohih Bukhori pada bab al-istikhlaf, kitabul ahkam no. 7221.
Sedangkan utusan Buzakhoh adalah kaumnya Thulaihah al-Asadi yang
berperang bersamanya. Ketika mereka dikalahkan oleh sahabat, mereka
mengirim utusan kepada Abu Bakar.
Ibnu Hajar menyebutkan hadits ini dalam syarahnya lalu mengatakan:
“Al-Mujliyah artinya adalah meninggalkan semua hartanya. Sedangkan al-
mukhziah artinya adalah tinggal dalam kehinaan. Sedangkan al-halqoh artinya
adalah senjata. Sedangkan al-kuro’ artinya adalah semua kuda ”. dan
manfaatnya adalah, (semua itu dilucuti dari mereka) supaya mereka tidak
mempunyai kekuatan, sehingga manusia merasa aman dari mereka.
Sedangkan perkataanya yang berbunyi “apa yang kami dapatkan dari
kalian, kami jadikan ghonimah (harta rampasan) yaitu rampasan itu tetap
menjadi ghonimah yang akan kami bagi sesuai dengan kewajiban syar’ii,
dan tidak dikembalikan kepada kalian sedikitpun. Sedangkan perkataannya
yang berbunyi “dan kalian kembalikan kepada kami semua yang kalian
dapatkan dari kami” yaitu apa saja yang kalian rampas dari pasukan Islam

2
ketika berperang. Seadangkan perkataannya “kalian membayar diyat” yaitu
kalian membawa diyat (tebusan) mereka kepada kami. Sedangkan
perkataannya yang berbuinyi “orang yang mati di antara kalian masuk
neraka” artinya; tidak ada diyat bagi mereka di dunia karena mereka mati
dalam kesyirikan mereka, mereka dibunuh dengan alasan yang benar
sehingga tidak ada diyat bagi mereka. Sedangkan perkataannya yang
berbunyi “kalian dibiarkan” dan “mengikuti ekor-ekor onta” artinya; kalian
dibiarkan menggembalakannya. Karena jika mereka dilicuti dari peralatan
perang, mereka kembali ke pedalaman dan mereka tidak mempunyai
penghidupan kecuali hasil dari onta mereka. Ibnu Bathol mengatakan:
‘Mereka murtad lalu bertaubat, lalu mereka mengirim utusan kepada Abu
Bakar untuk memohon ampun. Maka Abu Bakar menjawab bahwa ia tidak
akan mmutuskan perkara mereka kecuali setelah bermusyawarah. Maka ia
mengatakan kepada mereka ; Pulanglah kalian dan ikutilah ekor-ekor onta
kalian di padang pasir.’ Namun yang lebih kelihatan kuat adalah bahwa
tujuan dari pemberian tenggang waktu kepada mereka itu adalah supaya
kelihatan kejujuran taubat mereka dan kebaikan mereka pada baiknya islam
mereka.” (Fathul Bari XIII/210-211)
Yang menjadi dalil dari hadits ini adalah perkataam Abu Bakar kepaa
orang-orang murtad: ”orang kalian yang mati masuk neraka” dan
persetujuan Umar serta seluruh sahabat dengan sikap Abu Bakar itu.
Semacam ini adalah merupakan ijma’ mereka atas pengkafiran terhadap
para pembela dan bala tentara pemimpin kemurtadan secara ta’yin
(perorangan). Karena tidak diperselisihkan lagi bahwa orang-orang yang
terbunuh adalah orang-orang yang tertentu. Sebagaimana juga tida ada
perselisihan antara ahlus sunnah bahwa tidak boleh memberikan kesaksian
bahwa seseorang itu masuk neraka kecuali orang-orang yang sudah jelas-
jelasa kafir. Adapun orang muslim walaupun ia fasik, maka menurut aqidah
ahlus sunnah – sebagaimana yang dikatakan oleh Ath-Thohawi - :”Dan kami
berpendapat untuk sholat berjamaah baik di belakang orang yang baik
maupun orang yang fajir dari orang Islam, dan menyolatkan mereka yang
mati dan tidak menyatakan seorangpun di antara mereka masuk syurga atau
masuk neraka.” Lihat Syarhul Aqidah ath-Thohawiyah, terbitan Al-Maktab
Al-Islami 1403 H. hal. 421-426. Adapun orang yang mati dalam keadaan
kafir, maka boleh dinyatakan ia masuk neraka, sebagaimana sabda
rosululloh saw., :
‫إن أبي وأباك في النار‬
”Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.” Hadits ini
diriwayatkan Muslim. Dan sebagaimana sabda rosululloh – mengenai Abu
Tholib, pamannya - :
‫هو في َض ْح ضاح من نار‬
“Dia berada di permukaan naraka.” Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhori
(3883).
Dan rosululloh bersabda:
‫حيثما مررت بقبر كافرٍ فبِّش ره بالنار‬

3
“Setiap kali kamu melewati kuburan orang kafir maka berikan kabar
gembira kepadanya dengan api neraka.” Al-Baihaqi mengatakan: “Hadits ini
diriwayatkan Al-Bazzar dan Ath-Thobroni dalam Al-Kabir, dan rijal (sanad)
nya shohih.” (majma’uz Zawa’id I/118)
Ini adalah penukilan yang shohih dan ijma’ yang nyata dari para
sahabat atas pengkafiran para pembela dan bala tentara pemimpin-
pemimpin kemurtadan secara perindividunya, dengan tanpa tabayyun
terhadap syarat-syarat dan penghalang-penghalang vonis kafir yang
terdapat pada mereka karena mereka mumtani’un bisy syaukah
(mempertahankan diri dengan kekuatan). Jumlah mereka ribuan. Ibnu
Taimiyah menyabutkan bahwa pengikut Musailamah Al-Kadzab berjumlah
sekitar seratus ribu atau lebih. (Minhajus Sunnah VII/217) Dan telah kami
sebutkan – dalam penjelasan kaidah takfir – bahwa tabayyun terhadap
syarat dan penghalang vonis kafir itu hanya terhadap orang yang maqdur
‘alaih (dibawah kekuasaan Isalam), dam dalilnya adalah ijma’ sahabat yang
disebutkan di sini. Ibnu Taimiyah mengatakan:”Dan karena orang murtad
itu jika mumtani’ - dengan cara bergabung dengan darul harbi atau orang-
rangorangmurtad itu mempunyai kekuatan yang mereka gunakan untuk
menolak hukum Islam – sesungguhnya orang tersebut, tidak diragukan lagi,
dibunuh dengan tanpa istitabah.” (Ash-Shorimul Maslul hal. 322). Beliau jiga
mengatakan:”Bahwasanya orang yang mumtani’ itu tidak dilakukan istitabah
(tidak disuruh tobat), akan tetapi yang dilakukan istitabah itu hanyalah
orang yang maqdur ‘alaih (berada di bawah kekuasaan Islam).” (Ash-
Shorimul Maslul hal. 325-326. Dan yang lalu telah disebutkan dalam
penjelasan kaidah takfir bahwa tabayyun terhadap syarat dan penghalang
vonis kafir masuk kedalam pengertian istitabah.
Beberapa materi tambahan yang berkaitan dengan ijma’,
kedudukannya sebagai dalil dan penjelasan tentang kafirnya orang yang
menyelisihi ijma’ sahabat
A. Ijma’ adalah – sebagaimana yang dikatakan Asy-Syaukani - :
“Kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw., setelah wafatmya
beliau, pada satu masa, terhadap sebuah perkara. Dan yang dimaksud
dengan kesepakatan adalah keikutsetaan dalam keyakinan atau perkataan
atau perbuatan.” Irsyadul Fuhul hal. 68.
B. Bagaimana cara untuk mengetahui ijma’? Al-Khothib Al-
Baghdadi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya ijma’ itu dapat diketahui
dari perkataan atau perbuatan atau perkataan dan iqror (sebagian
mengatakan sesuatu dan sebagian yang lainnya membiarkannya) perbuatan
dan iqror (sebagian berbuat sesuatu dan sebagian yang lain membiarkannya).
Adapun dengan perkataan yaitu bersepatnya perkataan semua mujtahid
terhadap sebuah hukum, dengan cara mereka semuanya mengatakan bahwa
ini halal atau haram. Adapun dengan perbuatan yaitu mereka semua
megerjakan sesuatu. Adapun dengan perkataan dan iqror, yaitu sebagian
mereka berkata sesuatu kemudian perkataan itu tersebar pada sebagian yang
lainnya dan yang mendengr itu diam tidak menyelisihinya. Adapun dengan
perbuatan dan iqror, yaitu sebagian melakukan sesuatu dan yang lain

4
mendengarnya namun mereka diam tidak mengingkarinya.” Al-Faqih Wal
Mutafaqqih, tulisan Al-Baghdadi, terbitan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah 1400H.,
I/170. dari sini dapat diketahui bahwa ijma’ para sahabat dalam
permasalahan kita ini – hukum para pembela thoghut – adalah ijma’ shohih
– karena semuanya mereka bersepakat. Dan bahwasanya ijma’ ini telah
terjadi dengan perkataan, perbuatan dan iqror. Adapun perkataan adalah
perkataan Abu Bakar “Dan orang kalian yang mati masuk neraka”, hal ini
disepakati oleh Umar dan diikuti lalu para sahabat yang lain mengikuti
perkataan Umar, sebagaimana dalam hadits Thoriq bin Shihab. Adapun
perbuatan adalah bahwa sahabat semuanya memerangi mereka semuanya
dengan satu cara yaitu perang melawan oarang murtad – sebagaimana
keterangan yang telah lalu dalam lebih dari satu tempat – dan mereka tidak
membedakan antara yang diikuti (pemimpin) dan yang mengikuti (yang
dipimpin). Dan adapun iqror, tidak diketahui adanya sahabat yang
menyelisihi dan mengingkari pada hadits yang kami sebutkan tadi.
Kesimpulannya: sesungguhnya ijma’ sahabat dalam masalah ini
termasuk ijma’ yang paling kuat dari segi kabsahan dan penetapannya.
C. Kedudukan ijma’ sebagai dalil. Ijma’ adalah dalil ketiga dalam
dalil-dalil syar’ii – setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah – dan dalil-dalil bahwa
ijma’ itu sebagai dalil banyak di antaranya:
- firman Alloh:
‫ياأيها الذين آمنــوا أطيعــوا هللا وأطيعــوا الرســول وأولي األمـر منكـم‬
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan
ulil amri di antara kamu. (QS. 4:59)
Ayat ini menyatakan tiga dalil pertama dari dalil-dalil hukun yaitu Al-
Kitab (ta'atilah Allah), AS-Sunnah (ta’atlah Rosul dan ijma’ ulama’ (dan ulil amri
diantara kalian). Penjelasan penunjukkan atas hal ini telah berlalu dalam lebih dari
satu tempat dalam kitab ini (Al-Jami’).
- firman Alloh:
‫ومن يشاقـق الرسـول من بعد ماتبّين له الهــدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوِّله ما تولى وُنْص ِله جهنم‬
‫وساءت مصيرًا‬
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. 4:115)
Sedangkan ijma’ ulama’ adalah termasuk sbilul mu’minin (jalan orang-
orang yang beriman), dan hal ini sudah pasti. Dan telah disebutkan ancaman
bagi orang yang menyelisihinya, hal ini meninjukkan kewajiban
mengikutinya. Dengan ayat inilah Asy-Syafi’ii dan ulama’ lainnya berdalil
bahwa ijma’ itu merupakan dalil. Lihat Al-Mushtashfa, tulisan Al-Ghozali,
terbitan Al-Amiriyah I/175 dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XIX/178 dan
192.
- Asy Syafi’ii juga berdalil bahwa ijma’ itu merupakan dalil dengan
hadits marfu’ dari Umar:
‫ فإن الشيطان مع الفذ وهو من االثنين أبعد‬،‫أال فمن َس َّره َبْح َبحة الجنة فليلزم الجماعة‬

5
“Barang siapa senang masuk ke tengah-tengah syurga, hendaknya dia
mengikuti jama’ah. Karena sesungguhnya syetan itu bersama orang yang sendirian
dan ia lebih jauh dari dua orang.” Hadits ini diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi
dan Al-Hakim, dan beliau menshohihkannya, dan hal itu disetujui oleh Adz-
Dzahabi . Lihat Kasyful Khof’ tulisan Al-‘Ajluni no. 1265.
As-Syafi’ii mengatakan sesungguhnya yang dimaksud dengan
mengikuti jama’atul muslimin adalah mengikuti apa yang kerjakan seperti
penghalalan, pengharaman dan taat untuk menjalankan keduanya, karena
tidak mungkin mengikuti mereka sedangkan mereka berpencar-pencar di
berbagai negeri. Beliau mengatakan: “Barang siapa yang mengatakan
sebagaimana yang dikatakan oleh jama’atul muslimin, maka ia telah
mengikuti jama’ah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi apa yang
dikatakan oleh jama’atul muslimin maka ia telah menyelisihi jama’ah
mereka, yang telah diperintahkan untuk mengikutinya.” Ar-Risalah, tulisan
Asy-Syaei’ii, tahqiq Ahmad Syakir, hal. 173-176
Ibnu Taimiyah berkata: “Ijma’ pengertiannya adalah bersepakatnya
ulama’ muslimin terhadap sebuah hukum. Jika telah terjadi ijma’ terhadap
sebuah hukum, maka tidak boleh seorangpun keluar dari ijma’ mereka.
Karena umat ini tidak akan bersepakat atas kesesatan.” Majmu’ Fatawa
XX/10, masalah ini juga bisa dikaji dalam Majmu’ Fatawa I/16 dan 17,
III/368, XIX/91, 92, 276 dan 177, XXVIII/125.
D. Ijma' sahabat adalah dalil qoth'i, orang yang menyelisihinya dia
kafir.
Kedudukan ijma' sahabat sebagai dalil tidak diperselisihkan oleh para
ulama'. Sampai ulama' yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijma'
setelah masa sahabat, karena berpencarnya mereka di berbagai negeri,
mereka yang mengingkari kemungkinan terjadinya, seperti Ibnu Hazm, ia
dalam hal ini sependapat dengan seluruh ulama' lainnya atas syahnya ijma'
sahabat dan bahwasanya ia adalah merupakan dalil. (Lihat Al-Muhalla
tulisan Ibnu Hazm I/54)
Maka jika ijma' sahabat telah terjadi, maka ijma' tersebut merupakan
dalil qoth'i sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam
Minhajus Sunnah I/220. Sedangkan ijma' itu qoth'iyud dalalah (jelas
penunjukkannya), yang tidak ada perselisihan lagi padanya, sebagaimana
ijma' sahabat pada permasalahan kita sekarangan – hukum para pembela
thoghut – tidak seorangpun dari kalangan sahabat yang menyelisihinya.
Ibnu Taimiyah mengatakan: "Ijma' itu qoth'iyud dalalah atau dzonniyyud
dalalah? Sebagaian orang ada yang berpendapat qoth'iyud dalalah secara
mutlak dan sebagian lagi mengatakan dzoniyud dalalah secara mutlak. Dan
sebagian lagi tidak mengakui kedua-duanya. Yang benar adalah diperinci,
sesungguhnya ada ijma' yang qoth'iyud dalalah yang diketahui secara yakin
bahwa tidak ada seorang mukminpun yang menyelisihinya. Ijma' yang
semacam ini harus diakui kepastiannya kebenarannya. Dan ijma' semacam
ini harus termasuk bagian yang dijelaskan oleh nabi yang membawa
petunjuk." (Majmu' Fatawa VII/39)

6
Ijma’ semacam ini adalah qoth’iyyud dalalah (jelas maksudnya), orang
yang menyelisihinya kafir. Maka tidak boleh seseorang keluar atau berfatwa
dengan fatwa yang menyelisihi ijma’ tersebut. Ibnu Taimiyah berkata:
“Begitu pula firman Alloh:
‫ومن يشاقـق الرسـول من بعد ماتبّين له الهــدى ويتبع غير سبيل المؤمنين‬
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min. (QS. 4:115)
Kedua hal tersebut adalah saling beriringan. Setiap orang yang
menentang Rosul setelah jelas petunjuk baginya maka dia telah mengikuti
jalan selain orang-orang beriman. Dan setiap orang yang mengikuti jalan
selain orang-orang yang beriman ia telah menentang Rosulsetelah jelas
petunjuk baginya. Jika dia menyangka bahwa dia mengikuti jalannya orang-
orang beriman padahal dia salah maka dia kedudukannya seperti orang
yang menyangka mengikuti rosul padahal dia salah. Dan ayat ini
menunjukkan bahwasanya ijma’nya orang-orang beriman itu merupakan
hujjah ditinjau dari segi bahwa menyelisihinya berarti menyelisihi Rosul.
Dan bahwa semua apa yang mereka sepakati pasti ada nasnya dari Rosul.
Maka setiap permasalahan yang mereka sepakati dan tidak ada orang
beriman yang menyelisihinya merupakan petunjuk yang dijelaskan oleh
Alloh. Dan orang yang menyelisihi ijma’ ini kafir sebagamana kafirnya orang
yang menyelisihi nas yang jelas. Adapun apa yang disangka ijma’ tapi tidak
pasti, maka hal ini jiga tidak dipastikan bahwa permasalahan tersebut
merupakan petunjuk yang jelas dari Rosul. Dan orang yang menyelisihinya
tidak kafir. Bahkan perkiraan ijma’ itu kadang salah dan yang benar adalah
sebaliknya. Inilah penyelesaian masalah tentang kapan seseorang yang
menyewlisihi ijma’ itu kafir dan kapan tidak kafir.” (Majmu’ Fatawa VII/38-
39) Dan beliau juga mengatakan yang semacam itu dalam (Majmu’ Fatawa
XIX/269-270) Al-Qolii ‘Iyadl berkata: “Kebanyakan mutakallimin dari
kalangan fuqoha’ dan pemikir dalam masalah ini berpendapat kafir orang
yang menyelisihi ijma’ yang shohih yang memenuhi syarat-syarat ijma’ yang
disepakati secara umum. Mereka berhujjah dengan firman Alloh:
‫ومن يشاقـق الرسـول من بعد ماتبّين له الهــدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ماتولى ونصلــه جهنم‬
‫وساءت مصيرًا‬
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. 4:115)
Dan sabda Rosul saw., :
‫من خالف الجماعة قيد ِش بر فقد خلع ربقة اإلسالم من عنقه‬
Barangsiapa yang menyelisihi jama’ah sejengkal saja, ia telah melepaskan
ikatan Islam dari lehernya.
Dan para ulama’ menukil ijma’ atas kafirnya orang yang menyelisihi
ijma’.” (Asy-Syifa II/1079, cet. Al-Halabi, pentahqiq Al-Bajawi).
Kesimpulannya: sesungguhnya menghukumi kafir terhadap para
pembela thoghut yang mempertahankan diri secara perorangannya, telah
ditetapkan dengan ijma’ qoth’ii dari para sahabat yang tidak ada

7
perselisihan. Ijma’ semacam ini orang yang menyelisihinya kafir. Maka
barangsiapa yang menyelisihi hukum ini ia telah mengikuti bukan jalannya
orang-orang beriman dan ia telah keluar dari jama’ah mereka.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan: "Rosululloh dan para pemimpin
setelah beliau telah menetapkan sunnah yang mana mengikuti sunnah
tersebut merupakan bentuk pembenaran terhadap kitab Alloh, ketaatan
kepada Alloh dan membela agama Alloh. Tidak ada seorangpun yang
berhak untuk merubahnya dan melihat kepada pendapat yang
menyelisihinya. Maka barangsiapa yang menyelisihinya dan mengikuti
selain jalan orang-orang beriman Alloh akan ikutkan dia dengan apa yang ia
ikuti dan Alloh masukkan kedalam nerakan jahannam, dan jahannam itu
adalah sejelek-jelek tempat kembali.” Perkataan ini diriwayatkan oleh Al-
Lalika’I dengan sanad darinya dalam kitab Syar-hu I’tiqodi Ahlis Sunnah,
cet. Daruth Thoyyibah I/94 dan diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam kitab
Asy-Syari’ah, cet. An-shorus Sunnah, hal. 48.
Materi tambahan;
Ijma’ adalah hujjah meskipun belum diketahui dalil dari al-qur’an atau
as-sunnah yang dijadikan landasan para ulama’ yang berijma’. Ijma’ mereka
terhadap sebuah hokum itu sendiri merupakan hujjah, maka jika diketahui
ada nas lainnya maka nas itu merupakan dalil yang lain, sebagaimana kata
Ibnu Taimiyah: “Dan dengan demikian maka adanya ijma’ bersama dengan
nas adalah dua dalil sebagaimana Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Majmu’
Fatawa XIX/270). Jika nasnya tidak diketahui maka tidak wajib mencarinya,
karena ijma’ yang shohih itu merupakan hujjah tersendiri. Asy-Syaukani
berkata: “Ustadz Abu Ishaq berkata; Seorang mujtahid tidak wajib mencari
dalil terhadap masalah yang sudah disepakati (ijma’). Namun jika ada dalil
yang disebutkan kepadanya, maka dalil itu merupakan salah satu dalil
permasalahan tersebut. Abul Hasan As-Suhaili berkata; Apabila para ulama’
telah ber ijma’ terhadap sebuah hokum yang belum diketahui dalilnya dari
ayat atau qiyas atau yang lainnya, maka wajib mengikuti ijma’ tersebut
karena mereka tidak akan berijma’ kecuali ada dalil yang harus diketahui.”
(Irsyadul Fuhul, hal. 76)
Selain itu sesungguhnya jika ijma’ terhadap suatu hokum itu benar-
benar terjadi, maka ada dalilnya dari al-qur’an dan as-sunnah, sebagaimana
kata Ibnu Taimiyah: “Tidaklah sebuah hukumpun yang disepakati oleh
ummat kecuali ada dalil nasnya. Maka ijma’ merupakan dalil atas adanya
nas yang digunakan oleh para imam, bukan sesuatu yang samar ilmunya.”
(Minhajus Sunnah VII/38-39). Pada perkataannya ini Ibnu Taimiyah berdalil
dengan firman Alloh:
‫ومن يشاقق الرسول‬....
Sebagaimana yang kami nukil dari beliau di atas dari Majmu’ Fatawa
VII/38-39. Dan untuk menunjukkan kebenaran perkataan Ibnu Taimiyah ini,
berikut ini kamu sebutkan dalil-dalil yang berupa nas dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah terhadap hokum yang sama dengan hokum yang telah kami
sebutkan pada ijma’ sahabat. Urutan semacam ini sesuai dengan tata cara
ijtihad yang kami nukil sebelumnya dari Abu Hamid Al-Ghozali ra.

8
2- Dalil kedua dsri kitsbulloh, yaitu firman Alloh:
‫ فقاتلوا أولياء الشيطان إن كيد‬،‫ والذين كفروا يقاتلون في سبيل الطاغوت‬،‫الذين آمنوا يقاتلون في سبيل هللا‬
‫الشيطان كان ضعيفا‬
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang
kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu,
karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (QS. 4:76)
Tentang thoghut telah berlalu penjelasan artinya dalam muqodimah,
yang masuk dalam nas ini adalah setiap orang yang dimintai untuk
memutuskan hukum selain Alloh seperti hakim yang memutuskan perkara
dengan selain apa yang diturunkan Alloh, atau dengan menggunakan
undang-undang kafir. Alloh berfirman:
‫ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وماأنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت‬
‫وقد أِم روا أن يكفروا به‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu. (QS. 4:60)
Oleh karena itu orang yang dimintai untuk memutuskan hukum selain
Alloh adalah thoghut. Ath-Thobari menerangkan maksud sabiiluth thoghut
(jalan thoghut) artinya adalah “Ketaatan, jalan dan manhaj syetan yang ia
syare’atkan untuk orang-orang yang kufur kepada Alloh yang menjadi
pengikutnya.” (Tafsir Ath-Thobari V/169)
Maka siapa saja yang berperang dalam rangka mempertahankan
pemerintah yang kafir atau undang-undang kafir – sebagaimana yang
dilakukan oleh para pembela pemerintah murtad – dan setiap orang yang
berperang di jalan thoghut ia kafir. Alloh berfirman :”dan orang-orang kafir
berperang di jalan thoghut.” Dan berperang disini mencakup berperang
dengan perkataan atau perbuatan sebagaimana yang kami nukil dari Ibnu
Taimiyah dalam muqodimah.
Dan perhatikanlah firman Alloh : “maka perangilah kawan-kawan
syetan”, ayat ini menjelaskan kepada anda bahwa thoghut itu pada
hakekatnya adalah syetan yang mengajak untuk segala kekafiran. Dan
sesungguhnya setiap orang yang berperang di jalan thoghut sebenarnya dia
berperang di jalan syetan. Ini merupakan penguat atas kekafiran mereka,
karena sesungguhnya kawan-kawan syetan itu adalah kafir, sebagai mana
firman Alloh:
‫والذين كفروا أولياؤهم الطاغوت‬
Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thoghut,. (QS.
2:257)
Dan firman Alloh:
‫إنا جعلنا الشياطين أولياء للذين اليؤمنون‬
Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-
pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. 7:27)
Ini adalah di antara dalil yang paling jelas atas kafirnya pembela-
pembela pemerintah nurtad dengan perkataan, seperti sebagian ulama’ suu’
dan jurnalis, dan dengan perbuatan seperti tentara dengan segala

9
macamnya. Sesungguhnya mereka berperang di jalan thoghut, dan
barangsiapa yang berperang di jalan thoghut maka ia kafir. Dan untuk
mengkafirkan mereka tidak harus mereka memrangi secara langsung atau
dia terlibat langsung dalam peperangan, akan tetapi setiap orang yang
dipersiapkan untuk berperang mempertahankan pemerintah kafir – yang
merupakan sabiilut thoghut – maka ia kafir. Dan jika orang yang berhukum
kepada thoghut saja Alloh hukumi kafir, lalu bagaimana dengan orang yang
berperang di belakannya dan di jalannya.
3- Dalil yang ketiga dari kitabulloh, yaitu firman Alloh:
‫من كان عدّو ًا هلل ومالئكته وُرُسله وجبريل وميكال فإن هللا عدو للكافرين‬
Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-
Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang yang
kafir. (QS. 2:98)
Tentang sebab turunnya ayat ini para ahli tanfsir mengatakan:
Sesungguhnya orang-orang yahudu ketika mereka mengetahui bahwa yang
menurunkan wahyu kepada nabi saw., itu adalah Jibril, mereka mengatakan;
sesungguhnya Jibril itu turun membawa adzab dan bencara, oleh karena itu
maka Jibril adalah musuk kami. Maka Alloh menurunkan ayat ini dan ayat
sebelumnya yang menjelaskan bahwa barangsiapa yang memusuhi seorang
dari rosul Alloh maka ia telah memusuhi semua rosul (utusan) Alloh dari
malaikat dan manusia. Sebagaimana firman Alloh:
‫هللا يصطفي من المالئكة ُرُس ًال ومن الناس‬
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia:
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 22:75)
Dan barangsiapa yang memusuhi para rosul Alloh maka ia telah
memusuhi Alloh dan dia termasuk orang-orang kafir.
‫فإن هللا عدو للكافرين‬
“Sesungguhnya Alloh itu musuh bagi orang-orang kafir.” (Lihat tafsir Ibnu
Katsir I/131-133)
Permusuhan terhadap Alloh, RosulNya dan agamaNya manakah yang
lebih besar daripada perbuatan menyingkirkan hokum-hukum syari’at Alloh
dan menggantinya dengan undang-undang kafir? Permusuhan terhadap
Alloh, RosulNya dan agamaNya manakah yang lebih besar daripada
mengejek syi’ar-syi’ar agama seperti jenggot atau hijab atau yang lainnya
yang disiarkan dalam media massa para thoghut itu? Permusuhan terhadap
Alloh, RosulNya dan agamaNya manakah yang lebih besar daripada
membantu system pemerintahan sekuler yafir dengan perkataan atau
perbuatan, berperang untuk membelanya dan mempertahankan
keberadaannya dan berperang dalam rangka mempertahankan a’immatul
kufri (para pemimpin kafir) yang menjalankan dengan sitem ini? Bakankah
ini yang dilakukan oleh para penguasa murtad, para pembela-pembelanya
dan para tentara-tentaranya? Bukankan perbuatan mereka ini jelas-jelas
permusuhan terhadap Alloh, RosulNya dan agamaNya? Dan barangsiap
yang memusuhi Alloh, RosulNya dan AgamaNya maka dia kafir.
‫فإن هللا عدٌُو للكافرين‬
Sesungguhnya Alloh adah musuh bagi orang-orang kafir.

10
Al-Khofaji dalam kitab Nasimur Riyadl Syarhusy Syifa Lil Qodli ‘Iyadl,
IV/395): “Telah terjadi di Tunis ada orang yang mengatakan kepada orang
lain; Saya musuh kamu dan musuh nabimu. Maka diadakanlah sebuah
majlis untuk orang tersebut. Lalu sebagian imam dari madz-hab maliki
memberikan fatwa bahwa dia murtad harus disuruh taubat. Dan
kekafirannya itu disimpulkan darifirman Alloh:
‫من كان عدوًا هلل ومالئكته ورسله وجبريل وميكال فإن هللا عدو للكافرين‬
Barangsiap yang menjadi musuh Alloh, Makaikat-malaikat dan Rosul-
rosulNya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Alloh adalah musuh bagi orang-
orang kafir.
Dan sebagian lainnya memberikan fatwa bahwa kekafirannya itu
berupa penghinaan, maka tidak perlu disuruh taubat (langsung dibunuh-
pent.)
Dinukil dari Asy-Syifa karangan Al-Qodli ‘Iyadl, cet. Al-Halabi yang
ditahqiq oleh Al-Bajawi dalam catatan kaki II/951. Saya katakan; Jika para
ulama’ saja mengkafirkan orang yang mengucapkan perkataan semacam ini,
lalu bagaimana dengan orang yang mengganti syari’at nabi saw., secara
keseluruhan dan menghina agamanya serta mengejek penganutnya? Dan
bagaimana dengan orang yang membantunya untuk melakukan perbuatan
itu dan menolongnya serta membelanya?
Alloh berfirman:
‫إنمــا جــزاء الذين يحــاربون اللــه ورســوله ويسَع ْو ن في األرض فسادًا أن ُيقتلوا‬
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya danmembuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh (QS.
5:33)
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang murtad – pada peristiwa
al-‘uroniyyin – dan mayoritas ulama’ menafsirkan al-muharobah dalam ayat
ini dengan orang yang membegal di tengan perjalanan, baik orang Islam
maupun orang kafir. Lihat Fat-hul Bari VIII/274. Apabila orang yang
mencegat dijalan terhadap orang Islam karena hendak mencuri atau yang
lainnya, ia disebut sebagai orang yang memerangi Alloh dan rosulNya, lalu
bagaimana dengan orang yang mencegat di jalan terhadap agama Alloh dan
rosulNya dengan mematikan hokum-hukum syari’atNya? Dan bagaimana
dengan orang yang berusaha untuk menjayakan syari’at-syari’at kafir di
muka bumi dan menjalankan hukumnya terhadap darah, kehormatan dan
harata kaum muslimin? Dan abagaimana dengan orang yang membanti
perbuatan tersebut? Permusuhan terhadap Alloh, rosulNya dan agamaNya
apa yang lebih besar dari pada perbuatan ini? Akan tetapi permasalahannya
adalah sebagaimana firman Alloh ta’ala:
‫فإنها لاتعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور‬
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah
hati yang di dalam dada. (QS. 22:46)
Barangsiapa yang memusuhi Alloh, rosulNya dan agamaNya
sebagaimana para penguasa dan tentara mereka tersebut, maka dia kafir.
4- Dalil keempat dari Al-Qur’an, Alloh berfirman:

11
‫ ومن يتولهم‬،‫ بعضهم أولياء بعض‬،‫ياأيهـا الـذين آمنــوا التتخذوا اليهود والنصارى أولياء‬
‫ إن اهلل اليه دي الق وم الظ المين * ف ترى ال ذين في قل وبهم م رٌُض يس ارعون فيهم‬،‫منكم فإن ه منهم‬
‫ فعس ى اُهلل أن ي أتي ب الفتح أو أم ر ٍ من عن ده فيص بحوا على‬،‫يقول ون نخش ى أن تص يبنا دائ رة‬
‫ماأس ّر وا في أنفس هم ن ادمين * ويق ول ال ذين آمن وا أه ؤالء ال ذين أقس موا باهلل جه د أيم انهم إنهم‬
‫ حبطت أعم الهم فأص بحوا خاس رين * ياأيه ا ال ذين آمن وا من يرت د منكم عن دين ه فس وف‬،‫لمعكم‬
‫ يجاهدون في سبيل اهلل‬،‫ أذلة على المؤمنين أعزة ٍ على الكافرين‬،‫يأتي اهلل بقوم ٍ يحبهم ويحبونه‬
‫ واهلل واسع عليم‬،‫ ذلك فضل اهلل يؤتيه من يشاء‬،‫وال يخافون لومة الئم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan
Nasrani sebagai wali sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zhalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-
oang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani), seraya berkata:"Kami
takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan
(kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka
menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan orang-
orang yang beriman akan mengatakan:"Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-
sungguh dengan nama Allah, bahwasannya mereka benar-benar beserta kamu" Rusak
binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. Hai orang-
orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap
keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang
dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 5:51-
54)
Ayat-ayat ini berkenaan dengan haramnya orang muslim berwala’ kepada
orang kafir dan hukum orang yang berwala’ kepada mereka. Dan sebelum
berbicara tentang tafsirnya dan hukum-hukum yang disimpulkan darinya, kami
terlebih dahulu menjelaskan tentang pengertian al-muwalah.
Pendahuluan tentang penjelasan pengertian al-muwalah ditinjau dari bahasa
dan syari’at.
A. Secara bahasa: al-muwalah asalnya adalah al-walyu yang artinya al-
qurbu dan ad-dunuu (dekat), sebagaimana sabda Rosululloh saw, kepada seorang
anak;
‫كُـْل مما يليك‬
“Makanlah dari yang dekat denganmu.”
Sedang;
‫والى بين شيئين‬
Artinya keduanya saling mengikuti (berurutan) tanpa ada jeda antara
keduanya. Sebagaimana al-muwalah dalam berwudlu artinya adalah berurutan
tanpa ada jeda. Maka al-muwalah pada asalnya berarti al-qurbu (dekat) dan al-

12
mutaba’ah (mengikuti). Dan kebalikan dari al-muwalah adalah al-mu’adah yaitu al-
muba’adah (jauh) dan al-mukholafah (menyelisihi).
Dan al-wali adalah kebalikan dari al-‘aduw (musuh). Al-Wali artinya adalah
An-Nashir (penolong), Al-Mu’in (pembantu), Al-Halif (sekutu), Al-Muhibb (yang
mencintai), Ash-Shodiq (teman dekat), al-Qorib (kerabat), An-Nasab (keturunan
nasab), al-mu’tiq (yang memerdekakan budak), al-Mu’taq (budak yang
dimerdekakan), al-‘abdu (budak, hamba) dan semua orang yang memegang
urusan orang lain disebut sebagai walinya. Seperti waliyul amri (yang memegang
kekuasaan/pemerintah), wali perempuan dalam menikah, wali anak yatim dan
yang semacam dengannya.
Al-Farro’ mengatakan: “Al-Wali dan Al-Maula dalam bahasa Arab sama.”
(Lisanul ‘Arob XV/408) dan keduanya digunakan sebagai faa’il (subyek) – yaitu al-
muwali – dan digunakan sebagai maf’uul (obyek) – yaitu al-muwalaa – . (lihat buku
karangan Ar-Roghib al-Ash-fahani hal. 533).
Seseorang berwala’ kepada seseorang artinya ia mengikutinya, mentaatinya,
dekat dengannya dan menolongnya.
Sedangkan;
‫توّلى عنه‬
Artinya adalah berpaling dan pergi darinya. Artinya berkebalikan dengan
tawallii yang berarti dekat, diantaranya adalah firman Alloh:
‫فأعرض عن من تولى عن ذكرنا‬
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami,
(QS. 53:29)
Dan firman Alloh:
‫فتوّل عنهم‬
“Dan berpalinglah dari mereka.”
Jika kata tawalli itu berarti berpaling dan pergi, sebagaimana dalam firman
Alloh;
‫اليصالها إال األشقى الذي كّذ ب وتولى‬
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang
mendustakan (kebenaran) dan berpaling. (QS. 92:15-16)
Maka ada kata yang dihapus (mah-dzuf) setelah kata tawalli yaitu kata ‘an
(dari).
Lihat: Lisanul ‘Arob karangan Ibnu Man-dzur, cet. Daru Shodir XV/406-415,
An-Nihayah karangan Ibnul Atsir V/227-230, Al-Mufrodat karangan Ar-Roghib al-
Ash-fahani 533-535, Mukh-tarush shuh-hah karangan Ar-Rozi hal. 736, Al-Mu’jam
Al-Washith karangan Lembaga Bahasa Arab Mesir II/1057-1058 dan Majmu’
Matawa tulisan Ibnu Taimiyah XX/499.
B. Adapun dari sisi syar’ii, maka al-muwalah itu mencakup beberapa
arti, yang maksudnya bisa dimengerti sesuai dengan bentuk kalimatnya. Dan
semuar srti muwalah secara syar’ii kembali kepada arti asalnya secara bahasa, yaitu
al-qurbu dan ad-dunuu. Adapun artinya secara syar’ii adalah sebagai berikut:
1) Wala' yang berupa An-Nush-roh (pertolongan), dan ini adalah arti yang
paling menonjol dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sampai-sampai arti wala' yang
lain – seperti wala' yang berarti memerdekakan budak dan wala' nasab – semuanya
kembali kepada arti An-Nush-roh (pertolongan) ini. Sebagaimana firman Alloh:

13
‫وماكان لهم من أولياء ينصرونهم من دون اهلل‬
"Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai wali-wali (pelindung-pelindung) yang
dapat menolong mereka selain Allah." (Asy-Syuro: 46)
Ayat ini menunjukkan bahwa al-wali adalah an-nashir (penolong) dan bahwa
bantuan itu tidak diragukan lagi termasuk dari muwalah. Dan Allo berfirman
‫بل اهلل موالكم وهو خير الناصرين‬
Tetapi (ikutilah Allah), Allah-lah Wali (Pelindung) mu, dan Dia-lah sebaik-baik
Penolong. (QS. 3:150)
Artinya Allohlah penolongmu dan dialah sebaik-baik penolong. Dan Alloh
berfirman:
‫أنت موالنا فانصرنا على القوم الكافرين‬
“Engkaulah Maula kami maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. 2:
286)
Artinya “Engkaulah penolong kami. Dan Alloh berfirman:
‫واعتصموا باهلل هو موالكم فنعم المولى ونعم النصير‬
dan berpeganglah kamu pada Allah. Dia adalah Maula (Pelindung) mu, maka Dialah
sebaik-baik Maula (Pelindung) dan sebaik-baik Penolong. (QS. 22:78)
Dan di antaranya adalah firman Alloh:
‫والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض‬
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi wali (penolong) sebagian yang lain.. (QS. 9:71)
Artinya sebagai penolong bagi yang lainnya. Dan Alloh berfirman:
‫والذين كفروا بعضهم أولياء بعض‬
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka wali (penolong) bagi sebagian
yang lain. (QS. 8:73)
Artinya sebagi penolong sebagian yang lain dan mereka saling tolong-
menolong. Dan Alloh berfirman:
‫ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬
Dan barangsiapa di antara kamu yang berwala’ kepada mereka, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. (QS. 5:51)
Artinya mengikuti dan menolong mereka. Ibnus Sikkiit berkata: ”Kalau
dikatakan mereka itu saling ber wala’ artinya adalah mereka berkumpul untuk
saling menolong.” (Lisanul ‘Arob XV/407) Dan pengertian-pengertian yang
disebutkan di sini dinikil dari berbagai macam tafsir dan dari mu’jam-mu’jam yang
tersebut di atas. Dan ayat-ayat yang menerangkan wala’ pertolongan banyak sekali.
2) Wala' yang berupa At-To’ah (ketaatan) dan al-Mutaba’ah (pengikutan). Di
antaranya adalah firman Alloh:
‫ومن يشاقـق الرسـول من بعد ماتبـين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوّله ماتوّلى‬
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia mengikuti apa yag
ia ikuti." An-Nisa': 115
Alloh menjelaskan bahwa mengikuti jalan selain jalannya orang yang beiman
itu termasuk bagian "tawalli" (‫ماتوّلى‬ ‫)نوّله‬. Dan juga firman Alloh:

14
‫اتبعوا ماأنزل إليكم من ربكم والتتبعوا من دونه أولياء‬
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti wali-wali (pemimpin-pemimpin) selain-Nya. (Al-A'rof: 3)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti seseorang berarti dia
telah menjadikannya sebagai wali. Masuk dalam pengertian ini pula ibadah kepada
selain Alloh. Sebagaimana yang dikatakan Tsa'lab: "Setiap orang yang beribadah
kepada selain Alloh, berarti dia telah menjadikannya sebagai wali." (Lisanul 'Arob
XV/411). Yang menunjukkan hal ini adalah firman Alloh:
‫والذين اتخذوا من دونه أولياء مانعبدهم إال ليقربونا إلى اهلل زلفى‬
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya". (Az-Zumar: 3)
Dan juga yang menunjukkan bahwa al-muwalah dan at-tawalli itu berarti
pengikutan adalah firman Alloh:
‫ كتب عليه أنه من توّاله‬،‫ومن الناس من يجادل في اهلل بغير علم ٍ ويتبع كل شيطان مريد‬
‫فأنه يضله‬
Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang sangat jahat yang telah ditetapkan
terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berwala' dengan dia, tentu dia akan
menyesatkannya, (Al-Hajj: 3-4)
Berwala' kepada setan disini artinya adalah mengikuti, sebagaimana
ditafsirkan oleh ayat sebelumnya: "dan mengikuti setiap syetan". Begitu pula surat
al-an'am:121 dan An-Nahl: 100.
3) Wala’ yang berupa Al-Mawaddah (Kasihsayang) dan Al-Mahabbah (cinta).
Sebagaimana Firman Alloh:
‫ياأيها الذين آمنـوا التتخـذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi wali yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),
karena rasa kasih sayang; (QS. 60:1)
Dalam ayat ini Alloh menjadikan mawaddah termasuk muwalah. Adapun
wala’ yang berupa mahabbah adalah sebagaimana dalam firman Alloh:
‫ ومن‬،‫ياأيه ا ال ذين آمن وا التتخ ذوا آب اءكم وإ خ وانكم أولي اء إن اس تحبوا الكف ر على اإليم ان‬
‫ قل إن كان آباؤكم وأبناؤكم وإ خوانكم ــ إلى قوله تعالى ــ أحب‬،‫يتولهم منكم فأولئك هم الظالمون‬
‫إليكم من اهلل ورسوله‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-
saudaramu sebagai wali ,jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa
yang di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-
orang yang zhalim. Katakanlah:"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri,
kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai
lebih daripada Allah dan Rasul-Nya. (QS. 9:23-24)
Dalam ayat ini Alloh menjelaskan bahwa cinta kepada orang-orang kafir itu
sebagai bentuk wala’ kepada mereka. Dengan demikian maka al-mawaddah dan al-
mahabbah termasuk muwalah.

15
4) Wala’ yang berupa at-tahaaluf (persekutuan, perjanjian) dan Al-Mu’akhoh
(persaudaraan), yang atas dasar ini orang-orang muhajirin dan an-shor salin
mewariskan sebelum dinasahk (hukumnya dihapus) dengan wala’ yang berupa
nasab (keturunan). Wala’ inilah yang disebutkan dalam firman Alloh:
‫إن ال ذين آمن وا وه اجروا وجاه دوا ب أموالهم وأنفس هم في س بيل اهلل وال ذين آَو ْو ا ونص روا‬
‫ وال ذين آمن وا ولم يه اجروا م ا لكم من واليتهم من ش يء ح تى‬،‫أولئ ك بعض هم أولي اء بعض‬
‫ وإ ن استنصروكم في الدين فعليكم النصُر إال على قوم بينكم وبينهم ميثاق‬،‫يهاجروا‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta
dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain menjadi wali. Dan
(terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada wala’ atasmu
bagi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. (QS. 8:72)
Mereka sebagai wali bagi sebagian yang lain artinya adalah mereka saling
mewarisi berdasarkan perjanjian. Sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh
‫والذين عقدت أيمانكم فآتوهم نصيبهم‬
Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bahagiannnya. (QS. 4:33)
Adapun yang dimaksud dengan
‫مالكم من واليتهم من شيء حتى يهاجروا‬
“Tidak ada perwalian bagi kalian atas mereka mereka” artinya adalah tidak
ada saling mewarisi antara orang yang berhijroh dan orang yang belum berhijroh,
meskipun mereka itu keluarga. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Farro’ : “Yang
dimaksud dengan ‘tidak ada perwalian bagi kalian atas mereka mereka’ kalian
tidak ada warisan terhadap mereka sedikitpun. (Lisanul ‘Arob XV/407)
Kemudian Alloh berfirman:
‫وإ ن استنصـروكم‬...
….dan jika mereka meminta pertolongan kepada kalian…” Alloh meniadakan
wala’ yang berupa warisan dan menetapkan wala’ yang berupa pertolongan.
Kemudian wala’ yang berupa saling mewarisi ini di hapus dengan firman Alloh:
‫وأولوا األرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب اهلل‬
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. (QS. 8:75)
Lalu tinggallah pemberian bagian kepada para wali atas dasar perjanjian
secara anjuran (bukan kewajiban- pent.) sebagaimana firman Alloh:
‫وأول وا األرح ام بعض هم أولى ببعض في كت اب اهلل من المؤم نين والمه اجرين إال أن‬
‫تفعلوا إلى أوليائكم معروفا‬
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang
Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada wali-walimu. (QS. 33:6)
Maka warisan itu hanya bagi keluarga dan bagi para wali adalah berhak
mendapatkan perbuatan baik.

16
5) Wala’un Nasab (keturunan) mereka adalah ‘ashobah dari kalangan kerabat.
Dan atas dasar inilah ditetapkan hukum warisan, sebagaimana yang disebutkan
dalam ayat di atas (al-Anfal: 75 dan Al-Ahzab: 6) dan sebagaimana dalam sabda
Nabi saw., :
‫ فما بقي فهو َألْو َلي رجلٌُ ذكر‬،‫ألحقوا الفرائض بأهلها‬
“Berikanlah warisan itu yang berhak, jika ada kelebihan maka maka berikanlan kepada
laki-laki yang paling dekat nasabnya kepada orang yang mewariskan.” Hadits ini muttafaq
‘alaih.
Wala’un nasab ini juga menjadi wali darah (nyawa) bagi orang yang dibunuh
dengan tanpa alasan yang benar. Sebagaimana firman Alloh:
‫ومن ُقِتل مظلومًا فقد جعلنا لولّيه سلطانا‬
“Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada walinya, ". (QS. 17:33)
wala’un nasab juga menjadi wali dalam pernikahan, sebagaimana sabda nabi
saw.,:
‫أيما امرأة نكحت بغير إذن ولّيها فنكاحها باطل‬
“Wanita manapun yang menikah tanpa seijin walinya, maka nikahnya batal.” Hadits
ini diriwayatkan oleh al-arba’ah (imam yang empat) kecuali An-Nasa’ii dan dishohihkan
oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim.
6) Wala’ul ‘itqi (pembebasan budak). Orang yang memerdekakan dan budak
yang dimerdekakan disebut sebagai “maulaa”. Atas dasar ini terjadilah saling
mewarisi dengan syarat-syarat tertentu. Maka barang siapa memerdekakan seorang
budak, ia mewarisi hartanya jika ia mati, sedangkan dia tidak mempunya ahli
waris. Dan hal ini disebutkan dalam hadits nabi saw., :
‫إنما الوالء لمن أعتق‬
“Sesungguhnya wala’ itu bagi orang yang memerdekakan.” Hadits ini muttafaq
‘alaih.
7) Wala’ul Islam, orang yang masuk Islam lantaran seseorang, maka ia
disebut sebagai maula orang yang masuk Islam tersebut. Dan pendapat yang kuat
bahwa wala’ semacam ini tidak ada konsekuensi hukum apapun.
Ibnul Atsir mengatakan: “Dalam hadits disebutkan berulang kali kata “Al-
Maula” dan kata ini mencakup banyak pengertian. Ia mencakup Ar-Robb
(penguasa), Al-Malik (raja), As-Sayyid (tuan), Al-Mun’im (yang memberi
kenikmatan), Al-Mu’tiq (orang yang memerdekakan budak), An-Nashir (penolong),
Al-Muhibb (yang mencintai), At-Tabi’ (yang mengikuti), Al-Jaar (tetangga), Ibnul
‘Amm (anak paman dari ayah), Al-Halif (sekutu yang terikat perjanjian), Al-‘Aqid
(orang yang terikat janji), Ash-Shohr (besan), Al-‘Abdu (hamba, budak), Al-Mu’taq
(budak yang dimerdekakan dan Al-Mun’am ‘Alaihi (orang yang diberi
kenikmatan). Kebanyakannya disebutkan dalam hadits, maka wali diartikan sesuai
dengan kontek pembicaraan hadits, maka setiap orang yang mengurusi perkara
atau melaksanakan maka ia disebut sebagai walinya.” (An-Nihayah V/228)
Dari penjelasan di atas maka jelaslah bahwasanya muwalah itu mencakup al-
munashoroh (pertolongan), al-Muwafaqoh (persetujuan), Al-Mutaba’ah
(mengikuti), Ath-Tho’ah (ketaatan), al-Mawaddah (kasihsayang) dan al-mahabbah
(cinta). Semua ini masuk dalam pengertian muwalah.

17
Al-muwalah yang diharamkan secara syar’ii adalah seorang muslim yang
memberikan bentuk-bentuk muwalah tersebut kepada orang-orang kafir,
sebagaimana firman Alloh:
‫ياأيها الذين آمنوا التتخذوا عدوي وعدوكم أولياء‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi wali-wali (QS. 60:1)
Dan juga firman Alloh:
‫ومن يتول اهلل ورسوله والذين آمنوا فإن حزب اهلل هم الغالبون‬
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
menjadi wali (penolong)nya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang. (QS. 5:56)
Sesungguhnya Alloh telah mewajibkan kepada orang-orang yang beriman
untuk memusuhi, membenci dan memerangi orang-orang kafir semampu mereka.
Sebagaimana firman Alloh:
‫ إذ ق الوا لق ومهم إن ا ب رءاؤا منكم ومم ا‬،‫ق د ك انت لكم أس وةٌُ حس نة في إب راهيم وال ذين مع ه‬
‫ وبدا بيننا وبينكم العداوة والبغضاء أبدًا حتى تؤمنوا باهلل وحده‬،‫ كفرنا بكم‬،‫تعبدون من دون اهلل‬
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-
orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada
bapaknya:"Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat
menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata):"Ya Rabb kami, hanya
kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya
kepada Engkaulah kami kembali, (QS. 60:4)
Dan Alloh berfirman:
‫ياأيها النبي جاهد الكفار والمنافقين واغلظ عليهم ومأواهم جهنم وبئس المصير‬
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah naar Jahannam. Dan itulah
tempat kembali yang seburuk-buruknya. (QS. 9:73) Dan At-Tahrim: 9
Maka barang siapa yang melakukan hal yang sebaliknya, ia mentaati orang-
orang kafir atau mencintai mereka atau membantu mereka, maka ia telah
bermuwalah kepada mereka dan barang siapa yang bermuwalah kepada mereka ia
telah kafir, berdasarkan firman Alloh – dalam ayat-ayat yang menjadi dalil dalam
masalah ini - :
‫ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬
“Barang siapa yang berwala’ kepada mereka maka ia termasuk mereka.” (Al-Maidah:
51)
Dan kekafirannya lebih kuat lagi apabila ia mentaati mereka pada masalah
yang membahayakan Islam dan Muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh para
pembela penguasa yang murtad karena hal ini adalah ikut serta dengan mereka
dalam kekafiran dan membantu kekafiran untuk memenangkan atas Islam. Dan
penjelasan masalah ini akan dibahasa setelah ini dengan perkataan para ulama’.
Insya Alloh.
Setelah pendahuluan yang menjelaskan tentang arti Al-Muwalah, kita kembali
kepada ayat-ayat yang dijadikan landasan dalil. Maka kami katakan;

18
Sebab turunnya ayat-ayat tersebut bermacam-macam namun tidak ada yang
shohih yang bisa dijadikan landasan sebagai dalil sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Jarir Ath-Thobari, beliau mengatakan: “Jika keadaannya seperti itu (sebab
turunnnya ayat tidak ada yang shohih-pent.) maka yang benar adalah hukum yang
diambil adalah sesuai dengan dzohirnya ayat secara umum, karena ayat tersebut
menyatakan secara umum – sampai beliau mengatakan – namun tidak diragukan
lagi bahwasanya ayat tersebut turun berkenaan dengan orang munafiq yang
berwala’ kepada orang-orang yahudi atau nasrani karena tekut dirinya tertimpa
musibah jaman. Karena ayat setelah itu menunjukkan hal tersebut. Yaitu pada
firman Alloh:
...‫فترى الذين في قلوبهم مرض يسارعون فيهم يقولون نخشى أن تصيبنا دائرة‬
Ibnu Jarir menjelaskan ayat itu menunjukkan secara umum dalam
perkataannya; dan pendapat yang benar menurut kami adalah sesungguhnya Alloh
melarang orang-orang beriman semuanya agar tidak sebagai an-shor (pembela,
penolong) dan sekutu-sekutu dalam memusuhi orang-orang yang beriman
terhadap Alloh dan rosulNya. Dan Alloh mengkabarkan bahwa barang siapa yang
menjadikan mereka sebagai penolong, sekutu dan wali selain Alloh, rosulNya dan
orang-orang beriman, maka ia termasuk golongan mereka dalam berkelompok
melawan Alloh, rosulNya dan orang-orang beriman. Dan juga Alloh serta rosulNya
baro’ (berlepas diri) darinya – sampai beliau mengatakan – yaitu berdasarkan
firman Alloh:
‫ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬
Maka barangsiapa yang berwala’ kepada orang-orang yahudi dan nasrani
selain orang-orang beriman, maka ia termasuk golongan mereka. Alloh
mengatakan; Sesungguhnya barangsiapa bermuwalah dan membantu mereka
dalam memusuhi orang-orang beriman maka ia termasuk penganut agama
mereka. Karena sesungguhnya tidak seorangpun yang berwala’ kepada seseorang
kecuali dia bersamanya dan dalam agamanya serta dia telah ridlo dengan apa yang
dilakukan oleh orang yang ia berwala’ kepadanya. Dan jika dia telah ridlo
kepadanya dan ridlo kepada agamanya maka ia telah memusuhi apa yang
bertentangan dan benci kepadanya, maka ia hukumnya sama dengan hukum orang
yang dia berwala’ kepadanya.” (Tafsir Ath-Thobari VI/276-277)
Dan Al-Qurthubi mengatakan: “Firman Alloh yang berbunyi:
‫ومن يتولهم منكم‬
Artinya adalah (barangsiapa) yang memperkokoh mereka dalam memusuhi
kaum muslimin.
‫فإنه منهم‬
“Maka dia termasuk golongan mereka” Alloh menerangkan bahwasanya
hukumnya sama dengan hukum mereka. Dan inilah yang menghalangi orang Islam
untuk mendapatkan warisan dari orang murtad. Dahulu yang berwala’ kepada
mereka adalah Ibnu Ubay, kemudian hukum ini terus berlaku sampai hari qiyamat.
Dan Alloh telah berfirman:
‫والتركنوا إلى الذين ظلموا فتمسكم النار‬
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang dzolim sehingga kamu akan
disentuh api neraka.”
Dan Alloh berfirman dalam surat Ali Imron:

19
‫اليتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين‬
“Janganlah orang-orang beriman itu menjadikan orangorang kafir sebagai wali selain
orang-orang beriman.”
Dan Alloh berfirman:
‫التتخذوا بطانة من دونكم‬
“Janganlah kalian menjadikan orang selain dari golongan kalian menjadi teman
dekat.”
Dan telah berlalu pembahsana ayat ini. Dan ada yang mengatakan bahwa arti
ayat:
‫بعضهم أولياء بعض‬
“Sebagian mereka wali bagi sebagian yang lainnya.” Maksudnya adalah (wali)
dalam hal An-Nush-roh (pertolongan).
‫ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka maka dia termasuk golongan
merka.” Ini (adalah kalimat yang terdiri dari) syarat dan jawabanya. Maksudnya,
karena dia telah menyelisihi Alloh dan rosulNya sebagaimana mereka (yahudi dan
nasrani-pent.) menyelisihi Alloh dan rosulNya, maka wajib memusuhi dia
sebagaimana wajib juga memusuhi mereka (yahudi dan nasrani-pent.). Dan dia
wajib masuk neraka sebagaimana mereka juga wajib masuk neraka, maka dia
menjadi bagian dari mereka, maksudnya menjadi sahabat-sahabat mereka.” (Tafsir
Al-Qurthubi VI/217)
Asy-Syaukani berkata: “Firman Alloh:
‫ومـن يتـولهـم منكــم فإنــه منهـم‬
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka maka dia termasuk golongan
merka.” Maksudnya, sesungguhnya dia dihitung sebagai golongan mereka, dan ini
adalah ancaman yang sangat keras, karena sesungguhnya kemaksiatan yang sampai
batas kekafiran adalah kemaksiyatan yang paling tertinggi yang tidak ada lagi di
atasnya. – sapai beliau mengatakan tenyang firman Alloh:
‫ياأيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه‬
“Wahai orang-orang beriman, barangsiapa yang murtad di antara kalian dari
agamanya.” Ini adalah permulaan dalam menerangkan hukum-hukum yang
berkaitan dengan orang-orang murtad setelah menerangkan bahwa muwalah orang
Islam kepada orang-orang kafir merupakan perbuatan kafir, dan itu adalah
bagian dari macam-macam riddah (perbuatan murtad).” (Fat-hul Qodir karangan
Asy-Syaukani II/50-51)
Ibnu Taimiyah berkata: “Yang semacam itu juga disebutkan Alloh swt., dalam
ayat yang lain:
‫تــرى كثيــرًا منهم يتولــون الــذين كفروا لبئس ماقدمت لهم أنفسهم أن سخط اهلل عليهم وفي‬
‫ ول و ك انوا يؤمن ون باهلل والن بي وم اأنزل إلي ه مااتخ ذوهم أولي اء ولكن كث يرًا‬.‫الع ذاب هم خال دون‬
‫منهم فاسقون‬
Kamu melihat kebanyakan mereka berwala’ kepada orang-orang kafir. Sungguh
jelek apa yang telah mereka lakukan untuk diri mereka, Alloh murka kepada mereka
dan mereka kekal dalam siksaan. Dan seandainya mereka itu beriman kepada Alloh,

20
kepada nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, pasti mereka tidak
menjadikan mereka sebagai wali. Akan tetapi kebanyakan mereka orang-orang fasiq.
Alloh menyebutkan jumlah syar-thiyah (kalimat yang berbentuk syarat) yang
menunjukkan bahwa jika terdapat syaratnya maka terdapatlan yang disyaratkan
dengan menggunakan kata “LAU” (seandainya) yang menunjukkan bahwa jika
syarat tidak ada maka yang disyaratkan juga tidak ada. Alloh berfirman:
‫ولو كانوا يؤمنون باهلل والنبي وماأنزل إليه مااتخذوهم أولياء‬
Dan seandainya mereka itu beriman kepada Alloh, kepada nabi dan kepada apa
yang diturunkan kepadanya, pasti mereka tidak menjadikan mereka sebagai wali.
Ayat ini menunjukkan bahwa iman yang tersebut dalam ayat itu bertolak
belakang dengan sikap menjadikan mereka sebagai wali. Dan iman tidak akan
berkumpul dalam satu hati dengan sikap menjadikan mereka sebagai wali. Hal itu
menunjukkan bahwa orang yang menjadikan mereka sebagai wali, berarti ia tidak
melaksanakan iman yang wajib yang berupa iman kepada Alloh dan kepada Nabi
dan kepada apa yang diturunkan kepadanya.
Yang semacam itu juga disebutkan Alloh dalam firmanNya:
‫ بعضهم أولياء بعض ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬،‫التتخــذوا اليهــود والنصــارى أوليـاء‬
Janganlah kalian jadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai wali,
sebagian mereka merupakan wali bagi sebagaian yang lainnya, dan barang siapa
yang berwala’ kepada mereka maka ia termasuk golongan mereka.
Alloh mengkabarkan dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang yang
bermuwalah kepada mereka bukanlah orang beriman. Dan Alloh mengkabarkan di
sini bahwa orang yang ber muwalah kepada mereka termasuk dari golongan
mereka. Dengan demikian maka Al-Qur’an itu sebagiannya menguatkan sebagian
yang lainnya.” (Majmu’ Fatawa VII/17-18)
Ibnu Taimiyah juga berkata: “Yang memperjelas hal itu adalah bahwa Alloh
menyebutkan permasalahan ini dalam bentuk kalimat larangan agar tidak ber
muwalah kepada orang-orang kafir. Alloh berfirman:
‫ ومن يتولهم‬،‫ بعضهم أولياء بعض‬،‫يا أيها الذين آمنوا التتخــذوا اليهــود والنصــارى أوليـاء‬
‫ ف ترى ال ذين في قل وبهم م رض يس ارعون فيهم‬.‫ إن اهلل ال يه دي الق وم الظ المين‬،‫منكم فإنـه منهم‬
‫ فعس ى اهلل أن ي أتي ب الفتح أو أم ر ٍ من عن ده فيص بحوا على‬،‫يقول ون نخش ى أن تص يبنا دائ رة‬
‫ماأسروا في أنفسهم نادمين ـ إلى قوله ـ ياأيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي اهلل‬
‫بقوم يحبهم ويحبونه‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan
Nasrani sebagai wali; sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang zhalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya
(orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani), seraya
berkata:"Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan
kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu,
mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan
orang-orang yang beriman akan mengatakan:"Inikah orang-orang yang bersumpah
sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasannya mereka benar-benar beserta kamu"
Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. Hai

21
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, (QS. 5:51-54)
Orang-orang yang dilarang agar tidak bermuwalah kepada orang-orang
yahudi dan nasrani adalah orang-orang yang disebutkan dalam ayatur riddah (ayat
mengenai orang-orang murtad-pent.) Dan hal ini juga sudah maklum akan berlaku
sepanjang jaman.
Yaitu ketika Alloh melarang untuk ber muwalah kepada orang-orang kafir
dan menerangkan bahwa orang yang bermuwalah kepada mereka termasuk
golongan mereka, Alloh menerangkan bahwa orang yang ber muwalah kepada
mereka dan murtad dari Islam tidak akan membahayakan sedikitpun pada Islam.”
(Majmu’ Fatawa XVIII/300) Yang semacam ini juga beliau sebutkan dalam
XXVIII/193.
Dan Ibnu Taimiyah juga mengatakan: “Alloh berfirman :
‫ ومن يتولهم‬،‫ بعضهم أولياء بعض‬،‫ياأيـها الـذين آمــنوا التتخــذوا اليهـود والنصـارى أوليـاء‬
‫منكم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
yahudi dan Nasrani menjadi wali sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, (QS. 5:51-
54)
Ia setuju dan menolong mereka,
‫فإنه منهم‬
sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. (Majmu’ Fatawa XXV/326)
Kemudian setelah itu;
Kami telas sebutkan perkataan para ulama’ mengenai ayat-ayat yang terdapat
dalam surat Al-Maidah (51-54) adalah ayat yang dijadikan landasan dalil. Namun
ada beberapa permasalahan yang harus diperhatikan berkaitan dengan ber
muwalahnya seorang muslim kepada orang kafir, yaitu;
A. Bahwa ayat-ayat yang melarang agar tidak bermuwalah kepada orang-
orang kafir ini bersifat umum. Bukan hanya sekedar bermuwalah kepada orang-
orang yahudi dan nasrani saja, tanpa orang-orang kafir lainnya. Hal itu karena kata
“yahudi dan nasrani” merupakan laqob (nama sebutan/julukan-pent.). Padahal
mafhum mukholafah dalam laqob tidak dapat dijadikan hujjah menurut jumhur
ulama’. (Lihat Irsyadul Fuhul karangan Asy-Syaukani hal. 166 dan 169) Dengan
demikian maka larangan untuk tidak bermuwalah mencakup kepada orang yahudi,
nasrani dan orang-orang kafir lainnya, sebagaimana yang detunjukkan dalam ayat-
ayat lain seperti firman Alloh:
‫اليتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين‬
Janganlah orang-orang beriman itu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali selain
orang-orang beriman. (Ali Imron: 28)
Dan firman Alloh:
‫التتخذوا عدوي وعدوكم أولياء‬
Janganlah kalian merjadikan musuhku dan musuh kalian sebagai wali. (Al-
Mumtahanah: 1)
Oleh karena itu Abu Bakar Ibnul ‘Arobi mengatakan ketikan menafsirkan ayat
surat Al-Maidah ini: “Sesungguhnya ayat ini menunjukkan larangan untuk

22
menjadikan seluruh orang kafir itu sebagai wali.” (Ahkamul Qur’an karangan
Ibnul ‘Arobi II/630) Maka masuk dalam pengertian ini pula larangan agar orang
muslim tidak bermuwalah kepada orang-orang murtad karena mereka adalah
termasuk golongan orang-orang kafir. Sesunggunya penamaan murtad itu tidak
menghalanginya untuk disebut sebagai orang kafir, sebagaimana firman Alloh:
‫ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر‬
Barangsiapa yang murtada dari agamanya lalu ia mati dalam keadaan kafir. (Al-
Baqoroh: 217)
Dan Alloh berfirman:
‫كيف يهدي اهلل قومًا كفروا بعد إيمانهم‬
Bagaimana Alloh memberi petunjuk kepada kaum yang kafir satelah beriman. (Ali
Imron: 86)
Dan ayat-ayat yang semacam dengan itu. Bahkan Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Dan kekafiran orang murtad itu lebih besar dari pada kafir asli berdasarkan ijma’.”
(Majmu’ Fatawa XXVIII/478 dan yang semacam itu juga terdapat
B. Ayat-ayat dalam surat Al-Maidah tersebut menunjukkan telah kafirnya
orang yang bermuwalah kepada orang-orang kafir. Dan kekafirannya itu menjadi
semakin diperkuat dengan hal-hal yang disebutkan dalam ayat yang sama dan
ayat-ayat lainnya. Diantaranya adalah sebagai berikut;
 Firman Alloh:
‫ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬
Dan barang siapa yang berwala’ kepada mereka, maka ia termasuk golongan mereka.
(Al-Maidah: 51)
Alloh memperkuat kekafiran mereka dengan menggunakan kata penguat
yaitu “Inna” (sesunnguhnya).
 Dan firman Alloh:
‫حبطـت أعمالهـم فأصبحوا خاسرين‬
Amalan mereka terhapus maka mereka menjadi orang-orang yang merugi. (Al-
Maidah: 53)
Hapusnya amalan dan kerugian yang disebabkan kekafiran.
 Dan firman Alloh:
‫من يرتـد منكـم عن دينه‬
Barang siapa yang murtad dari agamanya. (Al-Maidah: 54)
Ini adalah khithob yang sama kepada orang-orang yang dilarang agar tidak
bermuwalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dan Asy-Syaukani
yang telah saya nukil tadi di atas bahwasanya muwalah itu adalah bentuk dari
kemurtadan.
 Dan firman Alloh:
‫اليتخــذ المؤمنــون الكافرين أولياء من دون المؤمنين ومن يفعل ذلك فليس من اهلل في شيء‬
Janganlah orang-orang beriman itu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali
selain orang beriman. Dan barang siapa yang melakukannya meka Alloh berlepadiri
darinya. (Ali Imron: 28)
Ibnu Jarir Ath-Thobari ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Wahai orang-
orang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang kafir sebagai penolong dan
pembela, kalian berikan wala’ kalian kepada mereka atas dasar agama mereka dan

23
kalian Bantu mereka dalam memusuhi orang-orang Islam, dan kalian tunjukkan
rahasia kaum muslimin kepada mereka. Sesungguhnya orang yang melakukan hal
itu Alloh berlepas diri darinya dan dia berlepas diri dari Alloh, lantara ia telah
murtad dari agamanya dan masuk agama kafir.” (Tafsir Ath-Thobari VI/313)
Materi tambahan
Wajib mengembalikan ayat yang mutasyabih kepada ayat
yang muhkam.
Alloh berfirman:
‫ فأما‬،‫ وُأَخ ر متشـابهات‬،‫هو الـذي أنـزل إلـيك الكتـاب منـه آيـات محكمـات ُهّن أم الكتـاب‬
‫الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ماتشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله‬
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan
untuk mencari-cari ta'wilnya, (QS. 3:7)
Dalam menafsirkannya Ibnu Katsir brtkata: “Alloh mengkabarkan bahwa
dalam Al-Qur’an itu terdapat ayat-ayat yang muhkam, itulah ummul kitab,
maksudnya adalah ayat-ayat yang jelas dan terang maksudnya tidak ada kerancuan
sama sekali bagi siapapun. Dan ada ayat-ayat lain yang ada kesamaran maksudnya
bagi banyak orang atau bagi sebagian orang. Maka barang siapa yang
mengembalikan ayat-ayat yang samar kepada ayat-ayat yang jelas kemudian
menjadikan yang muhkam itu sebagai penjelas bagi yang mutasyabih baginya maka
ia telah mendapat petunjuk, dan jika sebaliknya maka hasilnyapun sebaliknya.”
(Tafsir Ibnu Katsir I/344) Ayat yang Muhkam yaitu yang jelas maksudnya dalam
masalah hokum orang yang berwala’ kepada orang-orang kafir adalah ayat:
‫ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬
“Barangsiapa diantara kalian yang berwala’ kepada mereka maka dia termasuk
golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)
Ayat ini adalah nas yang jelas atas kekafirannya. Maka dalam masalah ini, hal-
hal yang mutasyabih harus dikembalikan kepada nas yang muhkam. Adapun ayat
yang Mutasyabih yaitu yang maksudnya tersembunyi dallam permasalahan ini
adalah nas-nas yang menunjukkan peniadaan iman orang yang berwala’ kepada
orang-orang kafir. Sesungguhnya peniadaan iman mengandung kemungkinan
orang yang melakukannya kafir dan mengandung kemungkinan peniadaan
kesempurnaan kewajiban iman sehingga pelakunya adalah fasiq. Sebelumnya telah
saya nukil masalah ini dari Ibnu Taimiyah, lihat Majmu’ Fatawa VII/14-15, 37-42
dan 337. Untuk menetukan maksud dari peniadaan iman tersebut dengan melihat
qorinah-qorinahnya dan diantaranya dengan mengembalikan yang mutasyabih
kepada yang muhkam pada permasalahannya. Atas dasar ini maka setiap nas yang
menyebutkan peniadaan iman bagi orang yang berwala’ kepada orang-orang kafir
maksudnya adalah peniadaan pokok iman, berarti dia kafir berdasarkan penjelasan
nas yanhg muhkam dalam masalah yang sama.
‫فإنه منهم‬
“Seseungguhnya dia termasuk golongan mereka.”
Dan diantara nas yang menyebutkan peniadaan iman pada masalah muwalah
adalah firman Alloh:

24
‫ترى كثيرًا منهم يتولون الذين كفروا ــ إلى قوله ــ ولو كانوا يؤمنون باهلل والنبي وماأنزل‬
‫إليه مااتخذوهم أولياء‬
Kamu melihat kebanyakan dari mereka bermuwalah dengan orang-orang yang kafir
(musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka,
yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya
mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya
(Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi wali. (QS.
5:80-81)
Dan juga firman Alloh:
‫التجد قومًا يؤمنون باهلل واليوم اآلخر يواّد ون من حاّد اهلل ورسوله‬
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
(QS. 58:22)
Dan ayat-ayat lain yang semacam ini.
C. Ayat-ayat dalam surat Al-Maidah ini merupakan dalil bahwasanya
hokum kafir ini berlaku secara umum dan berlaku bagi setiap orang muslim yang
berwala’ kepada orang kafir. Hal itu karena ayat yang menyebutkan hokum ini
menggunakan kalimat umum. Karena kalimatnya dimulai dengan “man” (siapa)
syar-thiyah. Alloh berfirman:
‫ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬
Barangsipa berwala’ kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka.
Ibnu Taimiyah berkata: “Kata ‘siapa’ merupakan bentuk kalimat yang paling
umum. Lebih-lebih jika kata itu sebagai syarat atau kata tanya.” (Majmu’ Fatawa
XV/82 dan semacam itu juga beliau sebutkan dalam XXIV/346)
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hokum ini berlaku bagi para
pembela penguasa murtad. Yaitu orang-orang yang membantunya dengan
perkataan dan perbuatan, perbuatan ini tidak diragukan lagi merupakan bentuk
muwalah kepada orang-orang kafir. Sesungguhnya mereka masuk dlam
keumuman nas ini, mereka adalah orang-rang kafir dengan tidak diragukan lagi.
Syubhat
Kenapa nabi tidak memberlakukan hokum yang berlaku bagi orang-orang
murtad kepada orang-orang yang menjadi penyebab turunnya ayat ini yang mereka
itu telah dinyatakan kafir.
‫وَم ْن يتولهم منكم فإنه منهم‬
“Barang siapa yang berwala’ kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka.”
Kenapa?
Jawab: Sebabnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath-
Thobari tidak ada riwayat yang shohih tentang sebab turunnya ayat ini. Maka tidak
benar kalau ayat ini turun tentang orang-orang tertentu. Namun demikian para
mufassir telah sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang
munafiq, berdasarkan firman Alloh;
‫فترى الذين في قلوبهم مرض‬
“Maka kamu lihat orang-orang yang hati mereka ada penyakit…”
Dan telah berlalu dalam penjelasan kaidah takfir – ketika membahas
penetapan kemurtadan – bahwasanya orang-orang munafiq pada masa nabi saw.,
mereka merahasiakan kekafiran mereka dan tidak menampakkannya kecuali

25
kepada orang-orang khusus mereka. Atau orang yang menyampaikan kekafiran
mereka secara dzohir hanya berlandaskan kesaksian satu orang atau anak-anak
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan syar’ii, di sisi lain mereka
bersumpah bahwa mereka tidak melakukannya. Di sana saya nukil perkataan Ibnu
Taimiyah dan Al-Qodli ‘Iyadl, bahwa nabi tidak menyuruh mereka bertaubat secara
perorangan, karena dzohir kekafiran mereka tidak ditetapkan dengan bukti yang
syar’ii. Dan inilah keadaan orang-orang munafiq yang menjadi pembahasan ayat-
ayat muwalah dalam surat Al-Maidah. Mereka tidak menampakkan muwalah
kepada orang-orang kafir dengan cara membantu dan menolong mereka serta
berperang bersama mereka, namun mereka sembunyikan dalam hati mereka
keinginan untuk melakukannya. Hal ini ditunjukkan firman Alloh:
‫فعسى اهلل أن يأتي بالفتح أو أمر ٍ من عنده فيصبحوا على ماأسّر وا في أنفسهم نادمين‬
Maka mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya),
atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap
apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS. 5:52)
Sungguh mereka mereka menyembunyikan muwalah mereka, seandainya
mereka menampakkannya pasti mereka divonis murtad secara dzohir. Namun
Alloh telah memvonis mereka kafir sebagaimana orang-orang munafiq lainnya.
Maka apabila Alloh telah memvonis kafir orang-orang munafiq, padahal
mereka menyembunyikan muwalah mereka terhadapap orang-orang kafir, dan
mereka berjihad bersama nabi saw., maka bagaimana dengan para pembela thoghut
yang menampakkan wala’ mereka kepada para penguasa murtad dan mereka
bersama para penguasa tersebut dan berada di barisan mereka dalam mernghadapi
Islam dan kaum muslimin?

5- dalil yang kelima: dari As-Sunnah, yaitu Nabi saw., memberlakukan hokum
terhadap orang-orang kafir – dalam mengambil tebusan dari tawanan – terhadap
pamannya Al-Abbas bin Abdul Mutholib, ketika ia keluar bersama orang-orang
kafir pada perang Badar.
Hadits ini asalnya terdapat dalam Shohih Al-Bukhori. Dalam hadits tersebut
disebutkan riwayat dari Anas ra., bahwasanya orang-orang an-shor meminta ijin
kepada nabi saw., mereka mengatakan:
‫ائذن لنا فلنترك البن اختنا عباس فداَء ه‬
“Ijinkanlah kami membiarkan tebusan bagi anak saudara perempuan kami yaitu Al-
Abbas.” Maka beliau mengatakan:
‫وهللا ال تذرون منه درهمًا‬
“Demi Alloh jangan kalian biarkan tebusannya meskipun satu dirham.” Hadits 4018
dalam kitab Al-Maghozi. Orang-orang an-shor mengatakan “anak saudara
perempuan kami” karena neneknya, ibunya Abdul Mutholib adalah orang Yats-rib.
Ibnu Hajar mengatakan dalam syarahnya; “Perkataannya yang berbunyi
‘sesungguhnya orang-orang an-shor’ maksudnya adalah yang ikut perang Badar.
Karena Al-Abbas tertawan pada waktu perang Badar, sebagaimana yang akan
disebutkan nanti. Orang-orang musy-rik memaksanya keluar mengikuti perang
Badar. Ibnu Is-haq meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi saw.,
bersabda kepada para sahabatnya pada perang Badar:
‫ فمن لقي أحــدًا منهم فال‬،‫قد عرفت أن رجاًال من بني هاشــم قــد ُأخِر جــوا كرهـًا‬
‫يقتله‬

26
“Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim yang dipaksa keluar. Maka barang
siapa yang menjumpai mereka jangan membunuhnya.”
- sampai Ibnu Hajar mengatakan – Dan Ibnu Is-haq meriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwasanya Nabi saw., bersabda:
‫ياعباس ِاْفِد نفسك وابن أخويك عقيل بن أبي طالب ونوفل بن الحـارث وحليفــك‬
‫عتبة بن عمرو فإنك ذو مال‬
“Wahai Abbas, tebuslah dirimu dan anak kedua saudaramu yaitu Uqoil bin Abi Tholib
dan Naufal bin Al-Harits dan sekutumu yaitu Utbah bin Amr karena kamu adalah orang
kaya.” Abbas mengatakan:
‫إني كنت ُم سلمًا ولكن القوم استكرهوني‬
“Aku ini telah masuk Islam akan tetapi mereka memaksaku.”
Rosul saw., bersabda:
‫ ولكن ظــاهر أمــرك أنــك‬،‫هللا أعلم بما تقول إن كنت ماتقول حقًا إن هللا يجزيــك‬
‫كنت علينا‬
“Alloh lebih tahu dengan perkataanmu. Jika kamu mengatakannya dengan
jujur Alloh akan memberimu balasan. Akan tetapi secara dzohir kamu memerangi
kami.” (Fat-hul Bari VII/322) sedangkan hadits pertama yang disebutkan oleh Ibnu
Hajar asalnya adalah dalam musnad Ahmad dari hadits Ali bin Abi Tholib (Al-
Musnad I/89) Dan hadits yang lain diriwayatkan oleh Ahmad jalan Ibnu Ishaq
I/353 cet. Al-Maktab Al-Islami 1398 H.
Hadits ini menunjukkan bahwasanya nabi saw., telah memberlakukan
penarikan tebusan yang berlaku bagi para tawanan berlaku juga terhadap Al-Abbas
dan beliau mengnggapnya sebagai orang kafir dalah hukumnya secara dzohir
ketika dia berada dalam barisan orang-orang kafir yang memerangi kaum
muslimin. Dan beliau tidak menganggap pengakuan dia karena terpaksa sebagai
penghalang untuk memberlakukan hokum yang berlaku bagi orang-orang kafir.
Hadits ini dan keterangan yang berada di dalamnya merupakan nas yang
memutuskan perselisihan. Dan juga merupakan landasan pendapat kami bahwa
para pembela pemerintah murtad itu kafir secara ta’yin dalam hokumnya secara
dzohir. Dan telah kami nukil ijma’ sahabat tentang hokum ini pada dalil pertama.
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berdalil dengan hadits Ibnu Abbas ini atas
kafirnya semua orang yang pergi berperang bersama orang-orang kafir meskipun
sebenarnya dia orang yang beriman yang mukroh (dipaksa). Beliau mengatakan:
“Kadang mereka berperang sedangkan di antara mereka ada orang beriman yang
menyembunyikan imannya. Ia ikut berperang bersama mereka karena ia tidak
memungkinkan untuk berhijroh, sedangkan dia mukroh (dipaksa) untuk
berperang. Dia dibangkitkan pada hari qiyamat sesuai dengan niatnya.
Sebagaimana dalam hadits shohih dari nabi saw., bahwasanya beliau bersabda:
:‫ فقيــل‬،‫ فبينمــا هم ببيــداء من األرض إذ ُخ ِس َف بهم‬،‫يغــزو جيٌُش هــذا الــبيت‬
‫ يبعثون على نياتهم‬:‫ قال‬،‫ وفيهم المكره‬،‫يارسول هللا‬
“Ada sebuah pasukan yang menyerang ka’bah ini. Ketika mereka berada di Baida’
mereka ditenggelamkan kedalam bumi.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rosululloh, di
antara mereka ada orang yang mukroh (dipaksa)?” Beliau menjawab; “Mereka dibangkitkan
sesuai dengan niat mereka.”
Ini adalah pada dzohir permasalahan, meskipun dia terbunuh dan
diberlakukan hokum yang berlaku pada orang-orang kafir, Alloh akan
membangkitkannya sesuai dengan niatnya. Sebagaimana orang munafik di antara

27
kita secara dzohir dihukumi sebagai orang Islam dan mereka kelak dibangkitkan
sesuai dengan niatnya. Sedangkan balasan pada hari kiyamat adalah sesuai dengan
apa yang berada dalam hati buka sesuai yang nampak pada dzohirnya. Oleh karena
itu diriwayatkan bahwasanya Al-Abbas berkata: Wahai Rosululloh, aku ini mukroh
(dipaksa), maka beliau menjawab: Adapun secara dzohir kamu memerangi kami
dan hatimu diserahkan kepada Alloh.” (Majmu’ Fatawa XIX/ 224-225, dan perkatau
beliau yang semacam itu juga terdapat dalam Mihajus Sunnah V/121-122, tahqiq
Dr. Rosyad Salim.
Sebagai catatan atas perkataan Ibnu Taimiyah yang berbunyi “Dan dia
mukroh (dipaksa) untuk berperang” harus diperhatikan bahwa ikroh itu –
meskipun mungkin terjadi – namun tidak bisa dibenarkan untuk dijadikan alasan
untuk membunuh kaum muslimin atau memerangi mereka. Ibnu Taimiyah
mengatakan – tentang orang yang dipaksa untuk berperang di barisan musuh - :
“Tidak diragukan lagi bahwasanya jika ia dipaksa untuk ikut berperang ia wajib
untuk tidak berperang meskipun dia dibunuh orang-orang Islam. Sebagaimana jika
orang-orang kafir memaksanya untuk ikut berangkat dalam barisan mereka
memerangi kaum muslimin. Sebagaimana seandainya seseorang memaksa orang
lain untuk membunuh seorang muslim yang terjaga darahnya. Sesungguhnya dia
tidak boleh membunuhnya berdasarkan kesepakatan para ulama’ meskipun ia
diancam bunuh. Karena sesungguhnya mempertahankan nyawanya dengan
membunuh orang muslim lai tidak lebih utama dari pada terbunuhnya dirinya
dengan menyelamatkan orang lain.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/539) Dan Al-Qur-
thubi berkata: “Para ulama’ telah berijma’ bahwa orang yang dipaksa untuk
membunuh orang lain ia tidak boleh melaksanakannya dan juga tidak boleh
merampas kehormatannya supaya menghidarkan diri dari ancaman cambukan atau
yang lainnya padahal dia mampu bersabar untuk menanggung siksaan yang akan
ditimpakan kepadanya. Dan dia tidak boleh menebus nyawanya dengan nyawa
orang lain. Dan hendaknya dia memohon kesejahteraan kepada Alloh di dunia dan
di akherat.” (Tafsir Al-Qur-thubi X/183)
Ringkasnya:
Semua orang yang berperang dalam barisan orang-orang kafir atau membantu
mereka dengan perkataan atau perbuatan – karena bantuan semacam ini secara
hokum adalah sama dengan ikut berperang – maka ia divonis kafir secara ta’yin.
Dan inilah hokum para pembela penguasa murtad.
Ibnu Hazm mengatakan : “Seandainya ada seorang yang nyata-nyata kafir
berkuasa atas sebuah negeri Islam, dan dia membiarkan kaum muslimin namun dia
satu-satunya penguasa yang padanya, sedangkan dia menampakkan agama selain
Islam maka kafirlah setiap orang yang membantunya dan tinggal bersamanya di
negeri tersebut meskipun dia mengaku seorang muslim.” (Al-Muhallaa XI/200)
6- Dalil yang keenam; yaitu kaidah fikih yang menyatakan bahwa seseorang
yang berada dalam kelompok yang mumtani'ah 'anil qudroh (yang berada diluar
kekuasaan Islam) ia dihukumi sama dengan pemimpin-pemimpin kelompok tersebut.
Dan telah berlalu penjelasannya dalam penjelasan kaidah takfir bahwa imtina'
itu dalam syari'at mempunyai dua arti:
Pertama; tidak melaksanakan bagian dari syari'at Islam, seperti meninggalkan
sholat, zakat dan lainnya. imtina' semacam ini yang berulangkali disebutkan dalam
perkataan Ibnu Taimiyah, dalam perkataannya:
‫أيما طائفة امتنعت عن شريعة من شرائع اإلسالم‬...
"Kelompok manapun yang tidak mau melaksanakan bagian dari syari'at
Islam..."

28
Orang yang tidak melaksanakan syri'at Islam kadang kafir dan kadang fasiq
sesuai dengan syari'at yang dia tinggalkan.
Kedua; mempertahankan diri dari kekuasaan. Ibnu Taimiyah berkata: "Dan arti
al-qudroh 'alaihim adalah memungkinkan untuk melaksanakan hukum hadd kepada
mereka jika tetah terbukti atau dengan pengakuan dan mereka berada di dalam
kekuasaan kaum muslimin." (Ash-Shorimul Maslul, hal. 508) Dan beliau juga
mengatakan: "Ini semua jika mereka berada dalam kekuasaan Islam, namun jika
pemerintah atau wakilnya memerintahkan untuk melaksanakan hukum hadd tanpa
permusuhan, lalu mereka mempertahankan diri, maka wajib bagi kaum muslimin
untuk memerangi mereka berdasarkan kesepakatan ulama' sampai mereka dapat
dikuasai." (Majmu' FAtawa XXVIII/317)Dan beliau juga mengatakan: "Hukuman
yang dibawa oleh syari'at bagi orang yang bermaksiyat kepada Alloh dan rosulNya
ada dua, yang pertama hukuman bagi orang yang berada dibawah kekuasaan baik itu
perorangan maupun sejumlah orang (kelompok) sebagaimana pembahasan yang lalu.
yang kedua hukuman bagi kelompok yang mempertahankan diri dari kekuasaan,
seperti orang yang tidak dapat dikuasai kecuali dengan peperangan." (Majmu'
Fatawa XXVIII/349) Mempertahankan diri dari kekuasaan ini ada dua bentuk;
dengan bergabung dengan darul harbi (negara musuh) sehingga lepas dari kekuasaan
kaum muslimin atau dengan cara mempertahankan diri dengan kekuatan yaitu
dengan pembela dan senjata. Ibnu Taimiyah menjelaskan bentuk-bentuk
mempertahankan diri ini dalam perkataannya: "Dan karena orang murtad itu jika
mempertahankan diri - dengan cara bergabung dengan darul harbi atau orang-orang
murtad itu mempunyai kekuatan yang digunakan untuk mempertahankan diri dari
hukum Islam - sesungguhnya orang semacam ini dibunuh tenpa disuruh taubat
sebelumnya dengan tanpa ragu-ragu." (Ash-Shori,mul Maslul, hal. 322)
Dan di sini saya ingatkan kepada beberapa permasalahan:
- Orang yang mumtani' 'anisy syari'ah itu kadang perorangan seperti orang yang
meninggalkan sholat, atau perkelompok seperti orang-orang yang tidak
mengeluarkan zakat.
-Dan orang yang mumtani' 'Anil Qudroh itu kadang perorangan seperti
Abdulloh bin Sa'ad bin Abi As-Saroh yang murtad pada masa nabi saw., dan
mempertahankan diri dengan cara bergabung ke mekah sebelum mekah ditaklukkan
dan ketika itu mekah darul harbi, dan kadang mumtani' 'anil qudroh ini sebuah
kelompok seperti al-muharibin yang merampok dijalanan dan seperti orang-orang
murtad yang mempertahankan diri.
-Bahwasanya antara imtina' 'anisy syar'i dan imtina' 'anil qudroh ini tidak ada
saling keterkaitan. Sehingga tidak semua orang yang mumtani' 'anisy syar'i itu
mumtani' 'anil qudroh, seperti seorang yang meninggalkan sholat yang dia maqdur
'alaih. Dan seperti sekelompok orang yang maqdur 'alaih semacam Bani Hanifah
yang disuruh bertaubat oleh Abdulloh bin Mas'ud dari kemurtadan mereka yang
berada di Kufah. Dan saya telah sebutkan kisah mereka dalam peringatan penting
yang terdapat dalam catatanku terhadap Aqidah Thohawiyah. Asal kisah tersebut
terdapat dalam Shohih Bukhori dalam awal kitab Al-Wakalah. Dan orang-orang yang
disuruh taubat oleh Ibnu Mas'ud ini berjumlah 170 orang, sebagaimana yang dinukil
oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Abi Syaibah. (FAt-hul BAri IV/470).
-Adapun orang yang mumtani' 'anil qudroh ia pasti mumtani' 'anisy syar'i.
Karena dia tidak dikatakan telah melakukan imtina' 'anil qudroh kecuali ia
mempunyai tanggungan hak Alloh atau hak manusia lalu di disuruh menunaikannya

29
tapi dia malah mempertahankan diri dari kekuasaan. Atau dia mempertahankan diri
dari kekuasaan sebulum diperintahkan untuk menunaikannya namun setelah ia
mempunyai tanggungan itu supaya dia tidak dihukum.
Setelah menerangkan macam-macam imtina' dalam syari'at, kami katakan
bahwa seseorang yang berada dalam sebuah kelompok yang mumtani' 'anil qudroh
dan mereka sudah tentu mumtani' 'anisy syari'ah juga, hukumnya sama dengan
kelompok tersebut. Dan sebuah kelompok itu status hukumnya sama dengan status
hukum pemimpin-pemimpinnya. Atas dasar ini, jika pemimpin kelompok itu murtad
seperti Musailamah dan Thulaihah, maka kelompoknya dinamakan kelompok murtad
dan setiap anggotanya dihukumi murtad. Jika pemimpin kelompok itu seorang baghi
(berbuat aniaya/memberontak ke Negara Islam) maka kelompok tersebut dinamakan
kelompok bughot. Sebagaimana firman Alloh:
9 ‫فإن بغت إحداهما على األخرى) الحجرات‬،
Maka jika salah satu dari keduanya berbuat dzolim kepada yang lain… (Al-
Hujurot: 9)
Dan Rosululloh bersabda:
‫تقتل عمارًا الفئة الباغية‬
Ammar akan dibunuh oleh kelompok bughot.
Dan semua anggota kelompok tersebut disebut sebagai orang baghi
(aniaya/pemberontak ke negaara Islam) Hadits Ammar tersebut muttafaq 'alaih,
sedangkan lfadz di atas menggunakan lafadz Muslim. Al-Bukhori meriwayakannya
dengan lafadz yang mirip (hadits 447) Dan begitu pula mumtani'-mumtani' yang
lainnya seperti khowarij dan al-muharibin yang merampok di tengah jalan semua
anggotanya disebut sebagai seorang khoriji atau muharib secara urut.
Hukum yang kami sebutkan ini, yaitu hukum personal itu sama dengan
hukum kelompoknya ketika mereka itu mumtani'in 'anil qurdorh
(mempertahankan diri dari kekuasaan/hukum Islam), hukum semacam ini
berdasarkan al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma'.
A. Adapun dalil dari Al-Qur'an adalah firman Alloh:
‫إن فرعــون وهامــان وجنــودهما كـانوا خاطئـين‬
Sesungguhnya Fir`aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang
yang bersalah. (Al-Qoshosh: 8)
Dan juga firman Alloh:
‫وُنِر َي فرعــون وهـامــان وجنودهــما منهــم ماكــانوا يحـذرون‬
Dan akan Kami perlihatkan kepada Fir`aun dan Haman beserta tentaranya
apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu. (Al-Qoshosh: 6)
dan firman Alloh:
‫ فانظــر كيــف كان عاقـبــة الظــالمين‬، ‫فأخــذناه وجنــوده فنبــذناهم في اليَم‬
Maka Kami hukumlah Fir`aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan
mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. (Al-
Qoshosh: 40)
Dan juga firman Alloh:
‫وجعلناهـم أئمــة يدعـون إلى النــار ويــوم القيامــة ال ُينصــرون‬
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke
neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.(Al-Qoshoh: 41)
Ayat-ayat inimenjelaskan bahwa orang-orang yang menjadi pengikut
(sebagaimana dalam firman Alloh yang artinya "beserta tentaranya") mereka

30
hukumnya sama dengan yang mereka ikuti (sebagaimana firman Alloh yang
artinya"Fir'aun dan Haman"). Alloh menyamakan mereka semua dalam
menerima dosa (yaitu dalam firman Alloh yang artinya"mereka bersalah"),
begitu pula dalam ancaman (sebagaimana firman Alloh yang artinya " apa
yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu"), juga dalam hukuman di
dunia (sebagaimana firman Alloh yang artinya " lalu Kami lemparkan
mereka ke dalam laut"). dan juga hukuman di akherat (sebagaimana firman
Alloh yang artinya " dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong"). Dan
Alloh menyebut mereka semua, bahwa mereka itu (pemimpin-pemimpin
yang menyeru ke neraka) dan Alloh tidak membedakan antara yang
mengikuti dan yang diikuti. Alloh tidak menyebut para pengikut itu kecuali
dengan dengan sebutan bahwa mereka itu bala tentara yang diikuti itu. akan
tetapi mereka itu berhak mendapatkan hukum orang yang diikutinya karena
mereka ikut serta dalam kejahatan dan pengrusakannya. Karena orang yang
diikuti itu tidak akan bisa melaksanakan kejahatannya kecuali dengan
balatentaranya yang mentaati dan melaksanakan keinginannya. Dan
beginilah keadaan semua thoghut di setiap waktu dan tempat.
Jika ada yang mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak bisa
dijadiakan hujjah untuk mengkafirkan tentara-tentara penguasa yang
murtad – sedangkan di antara mereka ada yang menampakkan keislaman –
karena tentara fir’aun mereka dulu adalah orang-orang kafir asli. Jawabnya
adalah; Bahwasanya nas yang menunjukkan kafirnya tentara-tentara
penguasa murtad itu diambil dari dalil-dalil terdahulu dari al-qur’an, as-
sunnah dan ijma’. Hokum ini tidak terpengaruh oleh keislaman yang
ditampakkan oleh sebagian mereka. Karena – sebagaimana yang telah
berlalu dalam pembahasan hokum orang yang masturul hal – seseorang
tidak dianggap sebagai orang Islam berdasarkan tanda-tanda keislaman
pada dzohirnya kecuali jika tidak dibarengi dengan menampakkan suatu
pembatal dari pembatal-pembatal Islam. Dan pada permasalahan ini
sebagian mereka yang menampakkan tanda-tanda keislaman itu juga
menampakkan pembatal keislaman yaitu membatu orang-orang kafir dalam
melaksanakan kekafirannya dan dalam memusuhi kaum muslimin. Adapun
ayat-ayat yang disebutkan disini, sisi pengambilan dalil atas kafirnya
tentara-tentara pemerintah murtad adalah ayat ini menunjukkan kesamaan
antara pengikut dan yang diikuti dari berbagai sisi. Dan Alloh tidak
menjadikan penyebab samanya itu adalah samanya keyakinan yang diikuti
dan keyakinan yang mengikuti, bahkan ayat tersebut tidak menunjukkan
isyarat sedikitpun kepada keyakinan para pengikut. Akan tetapi Alloh
menjadikan penyebab kesamaan itu adalah keikutsertaan dalam perbuatan
bukan kesamaan keyakinan. Dan Alloh dalam semua ayat tersebut tidak
menyebutkan cirri mereka kecuali mereka itu adalah tentar –tentara fir’aun.
Sedangkan membatasi kekafiran itu hanya pada kafirnya keyakinan adalah
madzhab murji’ah sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam kesalahan-
kesalahan dalam mengkafirkan. Dan yang benar adalah kekafiran itu bisa
terjadi karena pekataan, perbuatan dan keyakinan. Sedangkan tentara-
tentara para penguasa murtad yang mereka dengan perkataan dan

31
perbuatan itu mereka itu kafir dengan perkataan dan perbuatan dengan
tanpa melihat kepada keyakinan mereka.
Ketika para sahabat ra., menyebut para pengikut pemimpin-pemimpin
kemurtadan dengan orang-orang murtad dan mereka divonis kafir,
sebabnya hanyalah karena mereka mengikuti pemimpin-pemimpin murtad
dan membantu mereka dengan perkataan dan perbuatan serta berperang
bersama mereka. Bukan karena para sahabat itu telah mengetes keyakinan
mereka. Sesungguhnya semacam ini tidak pernah terjadi dan tidak ada
riwayatnya. Dan telah saya sebutkan perkataan Ibnu Taimiyah bahwa
pengikut-pengikut Musailamah Al-Kadzab itu berjumlah sekitar seratus ribu
atau lebih. (Minhajus Sunnah VII/217). Bagaimana mungkin tabayyun bisa
dilakukan terhadap keyakinan orang sebanyak itu sedangkan mereka itu
mumtani’ ‘anil qudroh? Lebih-lebih orang-orang selain mereka seperti
pengikut-pengikut Thulaihah, Sajjaah, Al-‘Unsi dan yang lainnya. Jika vonis
hokum itu dilakukan setelah melakukan tabayyun terhadap keyakinan
mereka hal ini akan mengakibatkan rusaknya jihad. Dengan demikian maka
dapat diketahui bahwa kekafiran para pembela orang-orang murtad itu dari
sisi perkataan dan perbuatan dan bukan dari sisi keyakinan. Bahkan Ibnu
Jarir Ath-Thobari menyebutkan perkataan yang menjelaskan bahwa
sebagian pengikut-pengikut Musailamah menyatakan kedustaannya. Dia
mengatakan:
As-Sari menulis surat kepadaku, ia mengatakan dalam surat tersebut;
Syu’aib bercerita kepada kami, dia dari Saif, Saif dari Khulaidbin Dzafroh
An-Namri, dia dari Umar bin Tholhah An-Namri, dia dari bapaknya,
bahwasanya dia datang ke Yamamah dan mengatakan: “Mana
Musailamah?” Orang-orang mengatakan: “Wah, Rosululloh?.” Ia menjawab:
“Bukan, hingga aku melihatnya.” Ketika ia menemuinya ia mengatakan:
“Kamu Musailamah?” Musailamah menjawab: “Ya.” Dia bertanya: “Siapa
yang datang kepadamu.?” Musailamah menjawab: “Rohman (Alloh-pent.)”
Dia bertanya: “Dalam cahaya atau dalam kegelapan?” Musailamah
menjawab: “Dalam kegelapan.” Maka dia mengatakan: “Saya bersaksi
bahwa kamu adalah pendusta dan bahwa Muhammad adalah benar, akan
tetapi pendusta dari Bani Robi’ah lebih kami sukai daripada orang jujur dari
Bani Mudlor.” Lalu dia terbunuh pada perang ‘Aqroba’.” Dan dalam riwayat
lain disebutkan: “Dia berkata; Pendusta dari Bani Robi’ah lebih saya senangi
dari pada orang jujur dari Bani Mudlor.” (Tarikh Ath-Thobari II/277, cet.
Darul Kutub Al-‘Ilmiyah 1408)
Kesimpulannya: sesungguhnya para sahabat tidak melakukan
tabayyun terhadap keyakinan para pembela pemimpin kemurtadan tersebut,
dan hal inipun juga tidak mungkin dilakukan karena mereka mempunyai
kekuatan untuk mempertahankan diri. Akan tetapi mereka divonis murtad
karena mereka menolong dan membantu, dan inilah yang menyebabkan
mereka dihukumi sama dengan para pemimpin mereka dalam hukum
sebagaimana Alloh menyamakannya dalam hukum.
B. Adapun dalil dari Sunnah, yang menunjukkan bahwa personal itu
hukumnya sama dengan hukum kelompoknya jika mereka itu mumtani'iin,

32
adalah diberlakukannya oleh nabi hukum yang diberlakukan kepada orang-
orang kafir kepada pamannya Abbas. Ketika ia keluar bersama tentara
orang-orang musyrik untuk berperang pada perang Badar. Meskipun dia
mengaku Islam dan dipaksa. Hal itu mengakibatkan ia harus dihukumi
hanya lantaran perbuatannya itu tanpa melihat kepada keyakinannya. Maka
hal ini menunjukkan bahwa personal itu hukumnya sama dengan
kelompoknya. Kami telah sebutkan hadits yang menceritakan hal ini dan
juga kami sebutkan kesimpulan Ibnu Taimiyah dari hadits tersebut.
C.Adapun dalil dari Ijma’ adalah ijma’ sahabat – yang tercantum pada
dalil yang pertama – yang mengkafirkan para pembela pemimpin-pemimpin
kemurtadan pada masa Abu Bakar ra., dan mereka tidak membedakan
antara pengikut dan yang diikuti.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada sebuah kelompok
mumtani’in, seorang anggota kelompok hukumnya sama dengan pemimpin-
pemimpin mereka. Sebagaimana Alloh berfirman:
‫يوم ندعو كل أناس بإمامهم‬
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya. (QS. 17:71)
Maka pembela-pembela para penguasa murtad yang memerintah
dengan selain syari’at Islam pada jaman kita ini adalah murtad, hokum
mereka sama dengan hokum pemimpin mereka. Dan hokum ini berlaku bagi
para pembelanya secara ta’yiin (perseorangannya), artinya mereka semua
adalah kafir. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka itu kafir secara
ta’yiin adalah Nabi saw., yang menghukumi pamannya yaitu Al-Abbas
secara ta’yiin, dan juga ijma’ sahabat yang mengkafirkan para pembela
orang-orang murtad dalam perkataannya:
‫وقتالكم في النار‬
“Mayat kalian di neraka.”
Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang terbunuh itu adalah orang-
orang yang tertentu.
Berikut ini beberapa perkataan ulama' yang menetapkan kaidah ini:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Sebuah kelompok jika
saling tolong-menolong sehingga mereka menjadi kelompok yang
mumtani'iin (menjadi sebuah kekuatan), maka mereka sama-sama
mendapatkan pahala dan dosa. – sampai beliau mengatakan – maka para
pembantu dan pembela sebuah kelompok yang berkekuatan, mereka
mendapatkan hak dan tanggungan yang sama. – sampai beliau mengatakan
– karena sesungguhnya sebuah kelompok satu dengan yang lainnya itu
ibarat satu orang." (Majmu' Fatawa XXVIII/311-312).
Syaikhul Islam juga mengatakan – tentang Tartar - : " Kadang ketika
berperang di antara mereka ada yang beriman dan menyembunyikan
keimanannya, ia berperang bersama mereka karena mereka tida
memungkinkan untuk hijroh. Dia dipaksa untuk berperang – dan dia pada
hari qiyamat dibangkitkan sesuai dengan niatnya – dan beliau menyebutkan
tentara yang ditenggelamkan kebumi, kemudian beliau berkata – ini dilihat
dari dzohirnya meskipun dia dibunuh dan dihukumi sebagaimana hukum

33
orang-orang kafir, akan tetapi Alloh membangkitkannya sesuai dengan
niatnya." (Majmu' Fatawa XIX/224-225) Perkataan beliau ini telah kunukil
secara lengkap sebelumnya, setelah menyebutkan hadits Al-Abbas ra.
Dan dari fatwa ulama' mu'ashirin (kontemporer) yang menerangkan
bahwa seorang personal itu mendapatkan hukum sebagaimana
kelompoknya, adalah yang terdapat dalam fatwa no. 9247 dari fatwa panitia
tetap untuk kajian ilmiyah di saudi. Pertanyaannya adalah: "Apa hukum
para pembantu Rofidloh Imamiyah Itsna 'Asyariyah? Dan apakah ada
perbedaan atara ulama' sebuah kelompok yang keluar dari Islam dan antara
pengikutnya dalam memvonis kafir dan fasiq?" Lalu dijawab:"Segala puji
bagi Alloh, Sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada rosul, kepada
keluarga dan para sahabatnya.. waba’du: Orang-orang awam yang
bergabung dengan seorang pemimpin dari pemimpin-pemimpin kekafiran
dan kesesatan, dan membela pemimpin dan pembesar mereka berdasarkan
permusuhan dan kedzoliman, ia dihukumi kafir dan fasiq sama dengan
pemimpinya. Alloh berfirman:
‫ (وقالوا ربنا إنا أطعنا سادتنا وكبراءنا فأضلونا السبيال ربنا آتهم‬:‫ إلى أن قال‬..)‫يسألك الناس عن الساعة‬
‫ضعفين من العذاب والعنهم لعنًا كبيرًا‬
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari qiyamat … - sampai - … Dan
mereka mengatakan: Wahai Robb kami, sesungguhnya kami hanyalah mengikuti
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan jalan
kami. Wahai Robb kami berilah mereka siksaan dua kali lipat dan laknatlah mereka
dengan laknat yang besar.”
Dan baca juga Surat Al-Baqoroh ayat 165, 166 dan 167, surat Al-A’rof
ayat 37,38dan 39, surat Ibrohim ayat 21 dan 22, Al-Furqon ayat 28 dan 29, Al-
Qoshosh ayat 62,63 dan 64, Saba’ ayat 31, 32 dan 33, Ash-Shofat ayat 20 – 36,
Ghofir ayat 47 – 50 dan banyak lagi lainnya dalam al-qur’an dan as-sunnah.
Hal ini juga berdasarkan nabi memerangi para pemimpin musyrik beserta
pengikut-pengikutnya dan begitu pula yang dilakukan oleh para
sahabatnya, mereka tidak membedakan antara pemimpin dan pengikut.
Ptunjuk hidayah dan taufiq itu hanya dengan Alloh dan sholawat serta
salam semoga terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad, kepada
keluarganya dan sahabatnya. “ Yang menandatangani adalah Abdulloh bin
Qu’ud, Abdulloh bin Ghodyan, Abdur Rozzaq ‘Afifi dan Abdu Aziz bin
Bazz. (Diambil dari Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Bihuts Al-‘Ilmiyah
Wal Ifta’ II/267-268 yang dikumpulkan oleh Ahmad bin Abdur Rozzaq Ad-
Duwaisy, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadl 1411 H.)
Inilah perkataan beberapa ulama' yang menetapkan kaidah berdasarkan al-
Qu'an dan As-Sunnah serta ijma', yaitu bahwa hukum personal itu sama dengan
hukum tho'ifah (kelompok) nya.
Wa ba'du;
Telah saya sebutkan di atas enam dalil atas kafirnya para pembela
pemerintah yang murtad, dan saya paparkan sesuai dengan tatacara
berijtihad sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Hamid Al-Ghozali. Maka
saya mulai dari pemaparan ijma' sahabat mengenai permasalahan yang kita
bahas, lalu saya sebutkan dalil dari kitabulloh, kemudian saya sebutkan dalil

34
dari sunnah, kemudian kaidah fikih mengenai permasalahan ini, sehingga
tidak meninggalkan sedikitpun keraguan bagi setiap muslim tentang hukum
para pembela thoghut, yang mana mereka itu adalah faktor utama eksisnya
kekafira. Dan ijma' sahabat dan sunnah telah menunjukkan bahwa mereka
itu kafir secara ta'yin (perorangan), dan ini adalah hukum secara dzohir.
Dari dalil-dalil di atas terdapat beberapa sebab kafirnya para pembela
thoghut. Setiap satu sebabnya adalah sebuah kekafiran yang tersendiri,
yaitu:
1- Mereka berwala' kepada pemerintah yang kafir, yaitu dengan
membantu mereka dalam memerangi Islam dan muslimin. Ini adalah
penyebab kekafiran berdasarkan firman Alloh;
‫ومن يتولهم منكم فإنه منهم‬
"Dan barang siapa yang berwala' kepada mereka maka dia termasuk golongan
mereka." (Al-Maidah: 51)
dan berdasarkan hukum yang diberlakukan oleh Nabi Saw., terhadap
Al-Abbas. Dan juga berdasarkan ijma' sahabat yang memvonis kafir para
pembela pemimpin kemurtadan. Juga berdasarkan kaidah fikih tentang
hukum orang-orang mumtani' (mempertahankan diri dari kekuasaan Islam)
2- Mereka berperang di jalan thoghut. Yaitu thoghut dalam
menjalankan hukum dan tempat berhukum selain Alloh. Dalam hal ini
adalah undang-undang positif dan para penguasa kafir. Ini juga penyebab
kekafiran berdasarkan firman Alloh:
‫والذين كفروا يقاتلون في سبيل الطاغوت‬
"Dan orang-orang kafir mereka berperang ji jalan thoghut." (An-Nisa': 76)
3- Mereka memusuhi Alloh, rosul dan agamaNya. Karena mereka
memerangi Islam dan muslimin dan mereka mematikan syari'at Islam serta
menjunjung tinggi syari'at kafir dan undang-undangnya. Ini juga penyebab
kekafiran berdasarkan firman Alloh:
‫من كان عدوا هلل ومالئكته ورسله وجبريل وميكال فإن هللا عدو للكافرين‬
"Barang siapa memusuhi Alloh, Makaikat-MalaikatNya, Rosul-RosulNya,
Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Alloh adalah musuh bagi orang-orang kafir."
(Al-Baqoroh: 98)
jika mereka selamat dari satu penyebab kekafiran, mereka terjerumus
pada penyebab kedua. Dan jika mereka selamat dari penyebab kedua,
mereka terjerumus ke dalam penyebab ketiga. Namum bagaimana halnya
sedangkan mereka terjerumus dalam tiga-tiganya. Maka merekalah orang-
orang yang melakukan kejahatan dan diliputi dengan dosa-dosa mereka.

35

Anda mungkin juga menyukai