Anda di halaman 1dari 144

2 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 1


WHITE BOOK
K E D O K T E R A N F I S I K D A N R E H A B I L I TA S I - E D I S I 2

Penerbit © PB PERDOSRI
Jl. Cakalang Raya no. 28 A, Jakarta Pusat
Tlp. 021-47866390
e-mail: pbperdosri@yahoo.com

Cetakan I, Oktober 2019


ISBN: 978-602-6490-21-6

TIM EDITOR DAN KONTRIBUTOR

• Prof. Dr. dr. Angela BM Tulaar, SpKFR(K) • Dr. dr. Maria Regina Rachmawati, PA(K),
• dr. Anita Ratnawati, SpKFR(K) SpKFR
• dr. AV Fanny Aliwarga, SpKFR • Dr. dr. Meisy Andriana, SpKFR(K)
• dr. Anita FS Paulus, SpKFR(K) • dr. Peni Kusumastuti, SpKFR(K)
• dr. Bayu Santoso, Sp.KFR(K) • Dr. dr. Ratna D. Haryadi, SpKFR(K)
• Dr. dr. Damayanti Tinduh, SpKFR(K) • Dr. dr. Retno Setianing, SpKFR
• dr. Ellyana Sungkar, SpKFR • dr. Rita Kumalasari, SpKFR
• dr. Fatchur Rochman, SpKFR(K) • dr. Rosiana Pradanasari Wirawan, SpKFR(K)
• dr. Ferius Soewito, SpKFR • dr. Sarifitri FH Hutagalung, SpKFR
• dr. Fitri Anastherita, SpKFR • dr. Siti Annisa Nuhonni, SpKFR(K)
• Prof. Dr. dr. Hening Laswati Putra, SpKFR(K) • dr. Siti Chandra Widjanantie, SpKFR(K)
• dr. I Putu Alit Pawana, SpKFR(K) • dr. Sudarsono, SpKFR
• dr. Irene Roma Hasudungan, SpKFR • Dr. dr. Tirza Z. Tamin, SpKFR(K)
• Dr. dr. Irma Ruslina Defi, SpKFR(K), Mes.SC • Dr. dr. Vitriana, SpKFR(K)
• dr. Kumara Bakti Hera Pratiwi, SpKFR(K) • Ketua PERDOSRI Cabang Jakarta
• dr. Luh Karunia Wahyuni, SpKFR(K) (dr. Alex Saefullah, SpKFR)

2 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 3

• Ketua PERDOSRI Cabang Jawa Barat • Ketua PERDOSRI Cabang Sulawesi II


(dr. Rachmat Z. Goesasi, SpKFR) (dr. Anshory Sahlan, SpKFR)
• Ketua PERDOSRI Cabang Jawa Timur • Ketua SIG Rehabilitasi Muskuloskeletal
(dr. Nuniek Nugraheni, SpKFR(K)) (dr. Endang Ernandini, SpKFR)
• Ketua PERDOSRI Cabang Jawa Tengah-DIY • Ketua SIG Neuromuskuloskeletal
(dr. Endang Ambarwati, SpKFR(K)) (Dr. dr. Widjaja Laksmi K., SpKFR(K))
• Ketua PERDOSRI Cabang Banten-Lampung • Ketua SIG Rehabilitasi Cedera Medula
(dr. Hamidah Fadhil, SpKFR) Spinalis (dr. Ronald E. Pakasi, SpKFR)
• Ketua PERDOSRI Cabang Bali-Nusra • Ketua SIG Rehabilitasi Pediatri
(dr. Bagus Diva Indra Dharma, SpKFR) (dr. Ellyana Sungkar, SpKFR)
• Ketua PERDOSRI Cabang Sumatera I • Ketua SIG Rehabilitasi Geriatri
(dr. Ahmad Alamsyah, SpKFR) (dr. Siti Annisa Nuhonni,SpKFR(K))
• Ketua PERDOSRI Cabang Sumatera II • Ketua SIG Rehabilitasi Cedera Olahraga
(dr. Kobal Sangaji, SpKFR) (Dr. dr. Tirza Z. Tamin,SpKFR(K))
• Ketua PERDOSRI Cabang Sumatera III • Ketua SIG Regeneratif Terapi
(Prof.Dr.dr. Fauziah N. Kurdi, SpKFR, MPH) (dr. Arief Soemarjono,SpKFR, FASCM)
• Ketua PERDOSRI Cabang Kalimantan I • Ketua SIG Rehabilitasi Kardiorespirasi
(dr. M. Naqsjabandi, SpKFR) (Dr. dr. Nury Nusdwinuringtyas H., SpKFR(K),
• Ketua PERDOSRI Cabang Kalimantan II M.Epid)
(dr. Bambang Dwiputranto, SpKFR) • Ketua SIG Rehabilitasi Nyeri
• Ketua PERDOSRI Cabang Sulawesi I (dr. Gunawan Kurniadi, SpKFR)
(Dr. dr. Joudy Gessal, SpKFR(K))

ASISTEN EDITOR

• dr. Aliefah Nur Faatin • dr. Dewi Mustikarani


• dr. Aulia Fitri Rhamadianti • dr. Zygawindi Nurhidayati
• dr. Qraxina Chaidir
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya White
Book Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) tahun 2019 sebagai kelanjutan edisi sebelumnya
tahun 2012 oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia
(PERDOSRI). Penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua kontributor
yang telah bekerja keras dengan penuh dedikasi meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya
yang sangat berharga dalam proses pembuatan buku ini.

Buku ini ditujukan bagi para dokter dan tenaga kesehatan yang peduli dengan disabilitas dan
rehabiltasi, para pembuat kebijakan di bidang layanan kesehatan di Indonesia, masyarakat
umum, serta para penyandang disabilitas dan organisasi perwakilannya. Buku ini menjelaskan
segala hal yang berkenaan dengan cabang ilmu kedokteran yaitu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi, baik dari sejarah, filosofi, prinsip dasar pelayanan, kompetensi, serta antisipasi
perkembangannya di masa depan.

Kami berharap penerbitan buku “White Book Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi” dapat
bermanfaat dalam memberi informasi dan asupan kepada para pembaca serta membantu
perkembangan ilmu dan layanan KFR di Indonesia.

Prof. Dr. dr Angela B. M Tulaar, SpKFR (K) dr. Sudarsono, SpKFR


Ketua KoIegium Ilmu Kedokteran Fisik & Ketua PB PERDOSRI
Rehabilitasi Indonesia

4 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 5

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 4

Daftar Isi 5

BAB 1 Latar Belakang Sejarah 7

BAB 2 Batasan dan Ruang Lingkup 15

BAB 3 Filosofi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi 31

BAB 4 Diagnosis Dalam Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi 51

BAB 5 Penatalaksanaan dan Intervensi Kedokteran Fisik


59
dan Rehabilitasi

BAB 6 Pedoman Layanan Rehabilitasi Medik 87

BAB 7 Pendidikan dan Sertifikasi 97

BAB 8 Organisasi Profesi 107

BAB 9 Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Dalam Sistem


117
Kesehatan Nasional

BAB 10 Penelitian dan Pengembangan 125

BAB 11 Tantangan KFR di Masa Depan 133


6 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 7

Latar Belakang
Sejarah
Konsep Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) sudah dikenal dan
dipraktikkan sejak zaman dahulu dalam sejarah peradaban umat
manusia, tetapi baru berkembang menjadi sebuah profesi dan
spesialisasi di abad ke-20.1,2 Selama ribuan tahun, gangguan fungsi
diterapi dengan berbagai cara, misalnya dengan terapi cahaya,
terapi panas dan dingin (pada zaman Babilonia, abad ke-10 sebelum
Masehi), terapi air atau spa (pada zaman Yunani dan Romawi kuno,
abad ke-5 sebelum Masehi), dan olahraga (catatan tertua tentang
olahraga sebagai alat promosi kesehatan atau rehabilitasi berasal
dari Cina sekitar 2500 tahun sebelum Masehi).3,4

Sebuah jari kaki palsu ditemukan pada mumi di Mesir yang memberi kesan suatu upaya
rehabilitasi sebagai bekal di kehidupan selanjutnya.5 Di bawah ini diuraikan tentang
perkembangan KFR sebagai suatu cabang ilmu kedokteran di dunia dan bagaimana awal
.mula spesialisasi KFR ada di Indonesia

Sejarah Kedokteran Fisik dan


Rehabilitasi di Dunia
Layanan terapi fisik dan rehabilitasi secara formal dimulai tahun 1899 di Inggris dan tahun
1921 di Amerika Serikat.6,7 Di Amerika Serikat, spesialis ortopedi merupakan kelompok
dokter pertama yang mengenali kebutuhan baru dalam penatalaksanaan gangguan fungsi,
mulai dari fraktur dan dislokasi hingga artritis dan paralisis. Banyaknya jumlah tentara muda
dengan gangguan fungsi setelah Perang Dunia I langsung mendapatkan perhatian karena
bukan hanya menimbulkan masalah kesehatan, tetapi juga masalah sosial. Dr. Howard A.
Rusk menunjukkan bahwa program rehabilitasi merupakan aspek penting dalam peningkatan
kualitas hidup tentara, yaitu untuk memulihkan fungsi dan mencapai kebugaran agar dapat
kembali bertugas, bukan hanya sekadar upaya penyembuhan. Setelah Perang Dunia I, para
ahli ortopedi Amerika Serikat melakukan evaluasi tindakan rehabilitasi dan tindakan bedah

8 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 9

dengan harapan dapat berperan lebih jauh dan terlibat dalam meningkatkan kesehatan
secara umum, melalui upaya penyuluhan dan rehabilitasi vokasional dibandingkan dengan
hanya melakukan tindakan bedah.6

Pada tahun 1937, dokter yang melakukan terapi fisik mulai diakui sebagai salah satu spesialis di
bidang kedokteran dan berada di bawah naungan Departemen Kedokteran Fisik (Department
of Physical Medicine). Istilah spesialis fisiatri (physiatrists) dicetuskan pertama kali oleh Dr.
Frank H. Krusen pada tahun 1938.8 Istilah fisiatris digunakan untuk membedakannya dengan
tenaga keterapian fisik, yang disebut terapis fisik (physical therapist).

Istilah spesialis fisiatri baru diterima oleh American Medical Association (AMA) di tahun 1946.
Spesialis fisiatri atau Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) diterima secara formal sebagai
suatu spesialisasi kedokteran pada tahun 1947 dengan didirikannya The American Board of
Physical Medicine and Rehabilitation (ABPMR). Saat ini, Dokter spesialis KFR telah diterima
sebagai bagian penting dan terintegrasi dalam penatalaksanaan penyakit dan gangguan fungsi.
Spesialisasi KFR berperan dalam ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi. Ilmu kedokteran fisik
adalah ilmu yang mempelajari penggunaan modalitas fisik seperti cahaya, panas, dingin, air,
listrik, pijat, manipulasi, latihan, dan alat-alat mekanik untuk tujuan diagnostik dan terapeutik.
Program yang dilakukan, yaitu terapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara, dan penggunaan
alat bantu. Sementara itu, ilmu rehabilitasi merupakan penerapan ilmu kedokteran fisik dan
teknik untuk membantu pasien mencapai fungsi maksimal dan penyesuaian dirinya secara
fisik, mental, sosial, dan vokasional sehingga tercapai kehidupan yang lengkap sesuai dengan
kemampuan dan fungsinya.8

Sejarah KFR di Indonesia


Kota Solo (Surakarta) adalah kota yang sangat penting dan bersejarah untuk perkembangan
pelayanan rehabilitasi untuk penderita gangguan fungsi. Salah seorang putra terbaik
Indonesia, yaitu Prof. Dr. Raden Soeharso (1921 – 1971), menaruh perhatian mendalam pada
penyandang disabilitas akibat perang.

Minimnya layanan kesehatan untuk penyandang disabilitas akibat korban perang, mendorong
Prof. Dr. R. Soeharso mendirikan Pusat Rehabilitasi (Rehabilitasi Sentral) pada tahun 1947,
bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia di Kota Solo. Pelayanan
kesehatan tersebut ditujukan untuk tentara dan anggota masyarakat lain yang berupa
pembuatan kaki palsu untuk penderita amputasi tungkai. Kegiatan pelayanan kesehatan
didahului dengan pendirian bengkel pembuat kaki palsu di bekas garasi kecil yang tidak
terpakai. Material yang dipakai untuk membuat kaki palsu saat itu sangat sederhana, murah,
dan mudah didapat, seperti bambu yang begitu banyak tersedia di negeri ini. Prinsip yang
dianut saat itu adalah bukan bentuk prostesis, melainkan fungsinya. Hal ini sudah sesuai
dengan filosofi dasar ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi modern.

Sasaran pelayanan kesehatan juga ditujukan untuk anak-anak yang mengalami gangguan
fungsi akibat penyakit poliomielitis yang prevalensinya begitu tinggi saat itu. Adanya dukungan
yang diberikan oleh istri tercinta, Ibu Soeharso, Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC) didirikan
di Kota Solo. Yayasan ini bertujuan menangani anak yang mengalami gangguan fungsi akibat
poliomielitis.

Atas jasa Prof. Dr. R. Soeharso yang sangat besar, beliau dianugerahi bintang jasa di tingkat
nasional dan internasional. Penghargaan yang diterima beliau meliputi Bintang Mahaputera
Kelas III (1968) di tingkat Nasional, Doctor Honoris Causa dari almamater beliau Nederland-
Indische Artsen School (NIAS) yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya (1969), dan anugerah gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI (1974),
serta penghargaan Lasker Award di tingkat internasional.

Kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan yang terbentang luas dari Sabang sampai
Merauke menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan pelayanan rehabilitasi medik sehingga
diperlukan pendirian beberapa pusat rehabilitasi di kota lain. Pada tahun 1973, Departemen
Kesehatan RI mendirikan Layanan Rehabilitasi Medik di RSUP dr. Kariadi Semarang sebagai
pilot project yang dinamai dengan Preventive Rehabilitation Unit (PRU). Layanan PRU berperan
menangani penderita gangguan fungsi akibat berbagai macam penyakit dan telah terbukti
berhasil mempersingkat masa perawatan di rumah sakit. Berdasarkan kondisi tersebut, pada
masa PELITA II diterbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No. 134/Yan.Kes/SK/
IV/1978 yang menyatakan bahwa semua rumah sakit kelas A, B, dan C harus mengembangkan
PRU.

Para tokoh yang berjasa pada keberlangsungan proyek ini di tingkat Departemen Kesehatan
RI dan di RSUP dr. Kariadi, antara lain Prof. Dr. Drajat D. Prawiranegara, Dr. IGN Brata Ranuh,
Dr. Soehasim, Dr. M. Isa, Dr. Bambang Soebroto, Dr. Surarjo Darsono, Prof. Dr. Moelyono S.

10 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 11

Trastotenoyo, Dr. R. Saleh Mangunsudirdjo, Dr. Herman Sukarman, Dr. Surya Wijaya, dan
Dr. Handoyo Chandra Kusuma. Sejak saat itu, mulai dikembangkan PRU di beberapa kota
lain seperti di Surabaya yang dipelopori oleh sejumlah tokoh penting, antara lain Prof. Dr.
H.R.M. Soejoenoes, Dr. Raden Oemijono Moestari, Dr. Abdoel Moerad Hoesin, Dr. Troeboes
Poerwadi,danDr. Bayu Santoso. Pendirian PRU di Jakarta dipelopori oleh para tokoh penting,
antara lain Prof. Dr. H. R. Soelarto Reksoprodjo, Prof. Dr. A.R. Nasution, Dr. Suyawan dan Dr.
Angela Tulaar. Di Bandung, pendirian PRU dipelopori oleh Prof. Dr. Nagar Rasjid dan dibantu
oleh Dr. Ahmad Tohamuslim. Pendirian PRU di Manado dipelopori oleh Dr. Susilo Hadi Wijaya.
Istilah PRU kemudian berubah menjadi Unit Rehabilitasi Medik (URM). Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan, menaruh perhatian untuk
memajukan layanan kedokteran rehabilitasi. Oleh karena itu, diperlukan seorang dokter yang
memiliki ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi (spesialis rehabilitasi medik) untuk memimpin
suatu Unit Rehabilitasi Medik (URM).

Sebagai upaya peningkatan pelayanan rehabilitasi medik di Indonesia, Menteri Kesehatan


Republik Indonesia menugaskan dua belas dokter umum untuk mengikuti pendidikan
spesialisasi rehabilitasi medik atau Physical Medicine and Rehabilitation di Department of
Physical Medicine and Rehabilitation, Universitas Santo Tomas di Manila, Filipina. Di samping
itu, beberapa dokter umum juga ditugaskan untuk mengikuti pendidikan di Yugoslavia dan
Belanda. Setelah menempuh pendidikan, para dokter tersebut menyandang gelar Dokter
Spesialis Rehabilitasi Medik. Dengan dukungan dari beberapa spesialis lain, disepakati
pembentukan Ikatan Dokter Ahli Rehabilitasi Medik Indonesia (IDARI) pada tahun 1982.
Organisasi IDARI mendapat pengakuan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dibuktikan
dengan dimasukkannya IDARI menjadi anggota IDI pada Muktamar di Yogyakarta melalui
Ketetapan Muktamar XXI IDI No.9/Mukt.IDI XXI/1991. Nama IDARI selanjutnya mengalami
perubahan menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia (PERDOSRI),
pada tahun 1991. 9

Dalam sejarahnya, IDARI dan PERDOSRI pernah dipimpin oleh Ketua Umum, antara lain Prof.
Dr. A.R. Nasution, Prof. Dr. H. R. Soelarto Reksoprodjo, SpOT(K), Dr. Bayu Santoso, SpKFR(K),
Dr. Thamrinsyam Hamid, SpKFR(K), Dr. Siti Annisa Nuhonni, SpKFR(K), Dr. Peni Kusumastuti,
SpKFR(K), dr.Luh K. Wahyuni, SpKFR(K), dan saat ini dipimpin oleh Kol. Dr. Sudarsono, SpKFR.
Untuk meningkatkan eksistensi dan pendidikan keahlian/spesialisasi Dokter Spesialis
Rehabilitasi Medik di Indonesia, pada tahun 1987 Program Pendidikan Dokter Spesialis
Rehabilitasi Medik di Indonesia secara resmi dimulai. Melalui Surat Keputusan Dirjen
DIKTI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 16/DIKTI/
Kep/1987, ditunjuk tiga pusat pendidikan, yaitu: Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas
Airlangga (Surabaya), dan Universitas Diponegoro (Semarang) sebagai penyelenggara
pendidikan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik. Semakin meningkatnya kebutuhan akan
tenaga Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik di Indonesia, pusat pendidikan Dokter Spesialis
Rehabilitasi Medik ditambah dengan pendirian program studi Rehabilitasi Medik di Universitas
Sam Ratulangi (Manado) pada tahun 2002, Universitas Padjadjaran (Bandung) pada tahun
2008, dan Universitas Brawijaya (Malang) pada tahun 2018. Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik
dan Rehabilitasi melalui ujian nasional yang diadakan dua kali dalam setahun sampai saat ini
telah menghasilkan sekitar 700 lulusan spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi.9

Untuk menjalankan proses organisasi dan melakukan pengembangan ilmu pengetahuan


bagi seluruh anggotanya dengan baik, PERDOSRI secara rutin melakukan Pertemuan Ilmiah
Nasional sejak organisasi ini diresmikan. Pertemuan Ilmiah Nasional dilakukan secara
berkelanjutan setiap tahun sejak tahun 2001 hingga saat ini. Acara ilmiah selalu digabung
dengan rapat rutin nasional berkala, seperti Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) dan
Kongres Nasional setiap 3 tahun.9

Kongres Nasional (KONAS) PERDOSRI ke IV yang diadakan pada tahun 1998 di Jakarta dengan
Ketua PERDOSRI terpilih, (alm) Dr. Thamrinsyam, SpKFR(K) membentuk Kolegium Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi sesuai instruksi dari IDI dengan tugas mengawal atau mengampu
kurikulum Pendidikan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik.9

Perkembangan yang terjadi di bidang rehabilitasi medik mengubah gelar Spesialis Rehabilitasi
Medik (SpRM) menjadi Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (SpKFR) berdasarkan Surat
No. 006/Kol.IKFRI/12/V/2009. Perubahan gelar ini disetujui oleh IDI sesuai dengan hasil
Muktamar IDI XXVIII tahun 2009 di Palembang serta tertuang dalam Surat Nomor 1177/
PB/B/09/2010 tanggal 2 September 2010 tentang Perubahan Gelar SpRM menjadi SpKFR.9

12 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 13

Kepustakaan
1. Kousolis AA, Marineli F. Academic Deparatments: The history and future of physical
medicine and rehabilitation. PM R 2012;4:157-8.
2. Routh HB, Bhowmik KR, Parish LC, Witkowski JA. Balneology, mineral water, and spas in
historical perspective. Clin Dermatol 1996;w14:551-4.
3. Ackroyd R, Kelty C, Brown N, Reed M. The history of photodetection and photodynamic
therapy. Photochem Photobiol 2001;74:656-69.
4. Risse GB. The history of therapeutics. In: Bynum WF, Nutton V, eds. Essays in the History of
Therapeutics. Atlanta: Rodopi; 1991.pp3-11.
5. Nerlich AG, Zink A, Szeimies U, Hagedorn HG. Ancient Egyptian prosthesis of the big toe.
Lancet 2000;356:2176-9.
6. Paris SV. A history of manipulative therapy through the ages and up to the current
controversy in the United States. J Man Manipulative Ther 2000;8:66-77.
7. Chikly BJ. Manual techniques addressing the lymphatic system: origins and development.
J Am Osteopath Assoc 2005;105:457-64.
8. Krusen FH. The scope and future of physical medicine and rehabilitation. JAMA
1950:144:727-30.
9. PERDOSRI PB. Sejarah PERDOSRI. 1st ed. Jakarta; 2012.
14 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 15

BATASAN DAN
RUANG LINGKUP
A. Batasan
1. Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR)

Definisi KFR telah berkembang sejak istilah physical medicine dan fisiatris diperkenalkan
oleh Dr. Frank H. Krusen pada tahun 1941. Kedokteran fisik diartikan sebagai penggunaan
modalitas fisik dan modalitas lain yang efektif untuk kepentingan diagnostik dan terapeutik,
seperti modalitas cahaya, panas, dingin, air, listrik, pijat, manipulasi, olahraga, dan alat-alat
mekanis.1

Berdasarkan definisi dari European Journal of Physical and Rehabilitation Medicine (2018),
KFR didefinisikan sebagai suatu spesialisasi di bidang kedokteran yang bertanggung
jawab terutama untuk melakukan pencegahan, penegakan diagnosis, terapi, dan tata
laksana rehabilitasi pada seluruh pasien segala usia dengan kondisi kesehatan dan
komorbiditasnya yang menyebabkan gangguan fungsi. Hal ini khususnya mengacu
pada impairment dan keterbatasan aktivitas untuk memfasilitasi fungsi fisik dan kognisi
(termasuk perilaku), partisipasi (termasuk kualitas hidup), dan modifikasi faktor personal
dan lingkungan.2,3 Tugas utama dokter spesialis KFR adalah memperbaiki gangguan
fungsi akibat berbagai penyakit dengan tujuan penyandang disabilitas mampu mencapai
dan mempertahankan fungsi yang optimal dalam berinteraksi dengan lingkungannya.2,3

Dokter spesialis KFR, disebut juga sebagai fisiatris, menurut American Board of Physical
Medicine and Rehabilitation adalah dokter spesialis yang mengevaluasi dan melakukan
terapi pada pasien dengan keterbatasan fisik dan/atau kognisi serta disabilitas yang
disebabkan oleh kelainan muskuloskeletal (seperti osteoartritis, cedera olahraga, atau
kecelakaan kerja), kelainan neurologis (seperti strok, cedera otak, atau cedera medula
spinalis), kelainan sistem kardiorespirasi (misalnya akibat penyakit jantung bawaan,
penyakit jantung koroner, setelah tindakan operasi jantung, dan penyakit paru obstruktif
menahun), dan kondisi medis lainnya. Fisiatris mempunyai keahlian dalam menegakkan
diagnosis (dengan atau tanpa menggunakan elektrodiagnosis) dan merancang
tata laksana rehabilitasi dengan menggunakan terapi latihan (therapeutic exercise),
medikamentosa, injeksi, prostesis (alat gerak artifisial), ortosis (penyangga), dan peralatan
lain untuk membantu aktivitas sehari-hari pasien. Dokter spesialis KFR juga berperan dalam
mengombinasikan berbagai jenis terapi tersebut untuk membantu pasien memperbaiki
fungsi fisik, psikologis, sosial, dan vokasional.4

16 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 17

Karakteristik Spesialisasi KFR


Berikut beberapa karakteristik unik yang menggambarkan bidang fisiatri:

• Patient-centered care
Karakteristik utama fisiatris adalah pelayanan kesehatan yang berbentuk kolaborasi
interdisipliner (melibatkan multidisiplin dan multiprofesional) dan disertai
pendekatan multi modalitas yang dapat menjawab pertanyaan dan masalah pasien
menggunakan terminologi yang mudah dipahami.5 Prinsip ini menurut Institute of
Medicine (IOM) menggambarkan pelayanan kesehatan berupa perawatan kesehatan
yang merupakan hasil kerja sama antara tenaga medis, pasien, dan keluarga untuk
memastikan bahwa segala keputusan medis mengacu pada harapan, kebutuhan,
dan preferensi pasien. Pasien memperoleh edukasi dan dukungan yang dibutuhkan
sehingga dapat membuat suatu keputusan dan berpartisipasi dalam perawatan
kesehatan diri.6 Hal ini membuat KFR berbeda dengan spesialisasi lain yang berorientasi
pada organ/penyakit.7

• Toleransi terhadap hal yang tidak pasti


Masalah yang paling banyak dihadapi adalah penyakit kronis yang diasosiasikan
dengan diagnosis atau prognosis yang tidak pasti. Pada kondisi demikian, biasanya
pasien merasa cemas. Oleh karena itu, seorang fisiatris harus berusaha mengatasi
kecemasan tersebut.6

• Melakukan tata laksana pada pasien dengan gangguan fungsi dan menegakkan
diagnosis fungsional
Fokus pelayanan fisiatris terletak pada gangguan fungsi yang terjadi sebagai akibat
dari suatu penyakit dan cedera. Tanggung jawab medis fisiatris sama seperti dokter
spesialis lainnya, tetapi ditambah dengan kemampuan melakukan penilaian fungsi
(functional assessment).8

Tujuan utama pelayanan fisiatris adalah mencegah terjadinya gangguan fungsi yang
menyebabkan disabilitas, yang dilakukan melalui dua tahapan. Tahap pertama adalah
pencegahan penyakit atau cedera (pencegahan primer) dan tahap kedua adalah
pencegahan impairment (pencegahan sekunder dan tersier).8

• Melakukan perbaikan fungsi sedini mungkin secara holistik


Berkembangnya pengetahuan dan teknologi pada ilmu kedokteran meningkatkan
keberhasilan penanganan masalah kesehatan dan usia harapan hidup pasien. Namun,
kondisi ini juga diiringi dengan meningkatnya jumlah pasien yang mengalami gangguan
fungsi. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan pelayanan
rehabilitasi medik yang dimulai sejak fase akut. Identifikasi adanya gangguan fungsi
dan pelayanan rehabilitasi medik secara dini akan mengurangi biaya kesehatan secara
keseluruhan dan membantu pasien untuk mencapai kemandirian lebih dini.9

Pelayanan rehabilitasi medik dilakukan menggunakan pendekatan holistik yang


bertujuan memenuhi kebutuhan fisik, mental, emosi, dan spiritual pasien. Pendekatan
secara holistik menempatkan pasien secara keseluruhan dalam konteks sosial dan
budaya, serta mempertimbangkan latar belakang keluarga, kepercayaan, orientasi
seksual, dan adat istiadat pasien.10

• Mandiri dan terintegrasi


Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, dokter spesialis KFR kerap memiliki
kesamaan dengan dokter spesialisasi ilmu kedokteran lainnya. Dokter spesialis KFR
menguasai ilmu yang menjelaskan mekanisme terjadinya gangguan fungsi dan
memiliki keterampilan untuk menangani gangguan fungsi pada pasien. Dengan
demikian, pelayanan di bidang rehabilitasi medik bersifat mandiri dalam hal keilmuan
dan terintegrasi dengan pelayanan kesehatan pasien. 7

2. Rehabilitasi Medik

Batasan Umum
Rehabilitasi medik didefinisikan sebagai upaya mengurangi dampak kondisi disabilitas
dan memungkinkan kelompok difabel (individu dengan kebutuhan khusus) untuk
mencapai fungsi dan integrasi sosial yang optimal. Proses rehabilitasi penyandang
disabilitas bertujuan meningkatkan kemampuan dalam mencapai dan memelihara tingkat
fungsional dari segi fisik, sensorik, intelektual, psikologi, dan sosial.11

Batasan Hukum:
Rehabilitasi Medik
• Proses pengembalian fungsi dan pengembangan untuk memungkinkan
penyandangdisabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini meliputi rehabilitasi fungsi fisik, mental, dan

18 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 19

sosial melalui pendidikan, pelatihan, dan interaksi sosial.12,13,14


• Bertujuan mengembangkan kemampuan fungsional dan psikologis individu dan mekanisme
kompensasinya sehingga tercapai kemandirian dan kemampuan menjalani hidup secara
aktif. Pelayanan kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui tindakan
rehabilitasi medik untuk mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.12,13,14

Rehabilitasi Sosial
Bertujuan mengembalikan fungsi sosial pada penyandang disabilitas agar dapat kembali
ke masyarakat sebagai manusiayang produktif dan berguna. Program yang dilakukan
berupa pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik,mental, dan
sosial agar penyandang disabilitas dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal
dalam hidup bermasyarakat.12,13,14

Rehabilitasi Vokasional
Bertujuan agar penyandang disabilitas dapat bekerja dan berguna secaraproduktif,
diperlakukan secara adil dalam pekerjaan, dan memperoleh pendapatan sesuai dengan
standar atau ketentuan yang telah disepakati. Program yang dilakukan berupa pelatihan
secara utuh dan terpadu agarpenyandang disabilitas dapat memiliki keterampilan kerja
sesuai dengan bakat dan kemampuannya. 12,13,14

Rehabilitasi Pendidikan
Bertujuan agar penyandang disabilitas mencapai potensinya seoptimal mungkin yang
merupakan proses pendahuluan resosialisasi. Program pendidikan dilakukan secara
optimal sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya. 12,13,14

3. Layanan Rehabilitasi Medik

Layanan Rehabilitasi Medik dilaksanakan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan lain
yang memiliki kualifikasi dalam bidang rehabilitasi medik, antara lain dokter spesialis
kedokteran fisik dan rehabilitasi, dokter umum terlatih, fisioterapis, terapis wicara, terapis
okupasi, ortotis-prostetis, perawat, pekerja sosial medik, psikolog, dan rohaniawan.
Layanan ini diselenggarakan di sarana kesehatan yang meliputi upaya pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang mencakup kegiatan layanan kesehatan secara utuh
dan terpadu melalui pendekatan medis, psikososial, edukasional, dan vokasional untuk
mencapai fungsi seoptimal mungkin.8
Dalam Layanan Rehabilitasi Medik terdapat berbagai komponen layanan yang terkait :

• Layanan Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi: Bentuk pelayanan kesehatan


yang mencakup seluruh usia. Selain itu, layanan ini berfokus pada gangguan fungsi,
cara mendiagnosis, dan melakukan terapi gangguan fungsi (termasuk nyeri) sebagai
akibat dari cedera atau penyakit. Bukan hanya menentukan rencana pencegahan
dan terapi serta memimpin tim profesi medis lain untuk mengoptimalkan perawatan
pasien, layanan ini juga bekerja sama dengan dokter umum layanan primer dan dokter
spesialisasi di bidang lain. 15,16

• Layanan Fisioterapi: bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu


dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan
fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara
manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapi, dan mekanis), pelatihan
fungsi, dan komunikasi.15,16

• Layanan Terapi Wicara: adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan/atau kelompok untuk memulihkan dan mengupayakan kompensasi/
adaptasi fungsi komunikasi, bicara, dan menelan melalui pelatihan remediasi, stimulasi,
dan pemberian fasilitas (fisik, elektroterapi, dan mekanik).15,16

• Layanan Terapi Okupasi: adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, memulihkan
fungsi, dan/atau mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk aktivitas sehari-hari,
produktivitas, dan waktu luang melalui pelatihan remediasi, stimulasi, dan pemberian
fasilitas.16,17

• Layanan Ortotis-Prostetis: adalah salah satu bentuk pelayanan keteknisian medik


yang ditujukan kepada individu untuk merancang, membuat, dan memasang alat
bantu guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi atau pengganti anggota gerak.17

• Layanan Perawat Rehabilitasi Medik: adalah salah satu bentuk pelayanan perawat
di bidang rehabilitasi medik yang berperan dalam penilaian keperawatan, koordinasi,
dan komunikasi dengan tujuan merawat fisik, menatalaksana secara terintegrasi,
mendukung secara emosional, dan mendorong keterlibatan keluarga dalam rangka
menciptakan lingkungan yang ideal untuk tata laksana rehabilitasi.15

20 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 21

• Layanan Pekerja Sosial Medik: adalah salah satu bentuk pelayanan pekerja sosial
medis di bidang rehabilitasi medik yang bertujuan bekerja sama (berkolaborasi)
dengan pasien dan keluarganya dalam memaksimalkan kualitas hidup. Pekerja sosial
medik mempunyai peran dalam penilaian psikososial yang mengidentifikasi aspek
sosial, emosional, dan lingkungan pasien. Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi
dan menyokong kebutuhan pasien serta merencanakan persiapan keluarga terkait
perawatan pascarawat termasuk kontinuitas perawatan rehabilitasi rawat jalan.16,17

• Layanan Psikologi: Psikologi rehabilitasi adalah spesialisasi yang berfokus pada


pelayanan seseorang dengan impairment kognisi melalui implementasi penilaian
dan prosedur intervensi yang bersifat person-centered dan berfokus pada promosi
kesehatan, kualitas hidup, kemandirian, pilihan pribadi, fungsi sehari-hari, dan
partisipasi dalam peran sosial. Psikologi rehabilitasi bertujuan mengoptimalkan adaptasi
psikologi dan meningkatkan fungsi fisik, emosional, kognisi, dan meminimalkan risiko
komplikasi sekunder yang berasosiasi dengan penyakit kronis.18

4. Impairment, Disabilitas, dan Kecacatan

Batasan istilah impairment, disabilitas, dan kecacatan dibuat pertama kali tahun 1980 oleh
World Health Organisation (WHO) dan diterjemahkan sebagai berikut:19,20
• Impairment: kehilangan atau kondisi abnormal psikologis, fisiologis, atau anatomis.
• Disabilitas (disability): segala keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk
melakukan aktivitas dalam lingkup wajar bagi manusia yang diakibatkan oleh
impairment.
• Kecacatan (handicap): hambatan dalam individu yang diakibatkan oleh impairment
dan disabilitas yang membatasi seseorang dalam lingkungannya sesuai dengan faktor
umur, jenis kelamin, sosial, dan budaya.

Batasan baru yang diberikan oleh WHO tahun 1997 adalah sebagai berikut:21
• Impairment: Kehilangan atau abnormalitas struktur tubuh atau fungsi fisiologis atau
psikologis (maknanya sama dengan batasan tahun 1980);
• Aktivitas (activity): sifat dan rentang fungsi pada tingkat individu;
• Partisipasi (participation): sifat dan seberapa jauh keterlibatan seseorang dalam
hidup sehubungan dengan impairment, aktivitas, kondisi kesehatan, dan faktor-faktor
kontekstual.
• Impairment menggambarkan masalah pada tingkat jaringan dan organ, disabilitas
mencerminkan masalah pada tingkat manusia, dan kecacatan mewakili masalah di
tingkat lingkungan dan masyarakat (gambar II-1).22

DEFINISI WHO TINGKAT

KECACATAN MASYARAKAT

DISABILITAS INDIVIDU

ORGAN ATAU
HENDAYA
JARINGAN

Gambar II-1. Impairment, disabilitas, dan kecacatan merupakan manifestasi masalah


di tingkat jaringan atau organ, individu secara keseluruhan, dan masyarakat atau
lingkungan. 22

5. Penyandang Disabilitas
WHO mendefinisikan disabilitas sebagai suatu terminologi yang mencakup istilah
impairment, keterbatasan aktivitas, dan restriksi dalam partisipasi. Disabilitas tidak
sekadar masalah kesehatan, tetapi merupakan fenomena kompleks yang merefleksikan
interaksi antara tubuh seseorang dan lingkungan tempat seseorang hidup. Kesulitan yang
dihadapi oleh penyandang disabilitas perlu diatasi dengan suatu intervensi dalam rangka
menghilangkan hambatan sosial dan lingkungan yang ada.21

22 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 23

B.Ruang Lingkup berdasarkan


Terminologi International
Classification of Functioning,
Disability, and Health (ICF)
Pada tahun 2001, WHO mengeluarkan klasifikasi yang merupakan model komprehensif
untuk fungsi dan disabilitas, yaitu International Classification of Functioning, Disability, and
Health (Q) (ICF).23,24 Model ICF memandang manusia dari berbagai dimensi fungsional
dan faktor-faktor lain di tempat manusia tersebut berada yang merupakan inti dari KFR.
Batasan dan istilah yang dipakai dalam ICF tercantum dalam tabel II-1.16,17,18

Tabel II-1 Terminologi yang dipakai dalam ICF.

Terminologi Terminologi yang


Contoh
Positif/Netral Berhubungan

Fungsi tubuh: fungsi Impairment: gangguan pada fungsi Impairment: kelemahan


fisiologis sistem tubuh atau struktur tubuh, seperti deviasi otot (paralisis), gangguan
(termasuk fungsi mental, yang bermakna atau hilangnya fungsi fungsi sensorik, tonus otot
kognitif, dan psikologis) atau struktur. yang abnormal, keterbatasan
Struktur tubuh: bagian rentang gerak (kontraktur
anatomi tubuh, seperti sendi), nyeri, depresi, dekondisi
organ, anggota gerak, kardiopulmonal, kelainan bentuk
beserta komponennya sendi, dan kelelahan

Aktivitas: pelaksanaan Keterbatasan aktivitas: kesulitan Keterbatasan aktivitas:


tugas atau tindakan yang dihadapi seseorang dalam keterbatasan dalam pelaksanaan
oleh seseorang. melakukan suatu tindakan. suatu tindakan, seperti berjalan,
Mencerminkan perspektif individual menaiki tangga, meraih sesuatu,
atas kemampuannya untuk membawa benda, berpindah
”berfungsi” tempat, atau melakukan pekerjaan
fisik lainnya seperti menggunakan
Penentu kualifikasi: transportasi umum.
Kapasitas:kemampuan seseorang
dalam melakukan suatu tindakan. Kapasitas: kemampuan dan
(Pelaksanaan yang optimal tingkat kesulitan saat berguling
merupakan suatu keadaan yang dari posisi telentang ke posisi
netral tanpa bantuan orang lain miring di atas tempat tidur standar
maupun penggunaan alat apa pun). tanpa bantuan alat dan/atau
orang lain atau berjalan di atas
Pelaksanaan: yang dilakukan lantai tanpa ortosis, alat bantu,
oleh seseorang pada saat itu. atau bantuan dari orang lain.
(Pelaksanaan aktual dalam konteks
keseluruhan masyarakat, termasuk Pelaksanaan: kemampuan dan
bantuan dan peralatan yang tersedia) tingkat kesulitan saat berguling
dari posisi telentang ke miring
di atas tempat tidur dengan
pegangan atau berjalan dengan
bantuan ortosis kaki dan tongkat.
Terminologi Terminologi yang
Contoh
Positif/Netral Berhubungan

Partisipasi: Keterbatasan Partisipasi: Keterbatasan Partisipasi:


keikutsertaan dalam masalah yang dihadapi oleh keterbatasan dalam kemampuan
suatu situasi kehidupan seseorang dalam keikutsertaannya untuk dapat kembali bekerja,
dalam suatu situasi kehidupan. berpartisipasi dalam aktivitas
Merupakan keterlibatan sosial (bermasyarakat),
individu dalam situasi nyata dan menjalankan fungsi sebagai
mencerminkan perspektif sosial atas orang tua atau pasangan,
fungsi. berekreasi, dan berolahraga.

Penentu Kualifikasi:
Kapasitas dan Pelaksanaan:
Kemampuan seseorang terlibat di
dalam situasi kehidupan

Faktor Lingkungan: Fasilitator: faktor yang Fasilitator: gedung atau


mencerminkan latar meningkatkan fungsi dan transportasi yang mudah
belakang seseorang mengurangi disabilitas. diakses; teknologi bantu yang
dalam situasi kehidupan tersedia; sikap sosial yang
nyata. Di dalam Limitasi: faktor yang membatasi positif; layanan, sistem, dan
faktor kontekstual, fungsi dan mengakibatkan disabilitas hukum yang mendukung
faktor lingkungan keikutsertaan.
meliputi lingkungan
fisik, sosial, dan sikap Limitasi: gedung atau
(perilaku) dalam hal transportasi umum yang sulit
bagaimana orang diakses; ketersediaan teknologi
hidup dan menjalankan bantu yang sedikit; layanan,
kehidupannya sistem, dan hukum yang
(aktivitasnya). menghambat keikutsertaan
Faktor-faktor ini bersifat
eksternal (di luar
individu) dan dapat
berpengaruh positif
(membantu) atau
negatif (menghambat).

Faktor Personal: Usia, pola tingkah laku,


atribut dari individu gaya adaptasi, pendidikan,
yang merupakan latar jenis kelamin, gaya hidup,
belakang spesifik pengalaman terdahulu, ras, dan
seseorang dalam latar belakang sosial.
situasi kehidupannya
meliputi berbagai
hal di luar kondisi
kesehatan, seperti
jenis kelamin, usia,
ras, kebugaran, gaya
hidup, kebiasaan, dan
latar belakang sosial
yang mempengaruhi
bagaimana individu
tersebut menghadapi
disabilitasnya.

24 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 25

Pengadopsian dari ICF telah memberikan suatu kerangka baru pada peran Rehabilitasi
Medik sebagai suatu strategi kesehatan dan menempatkan rehabilitasi pada suatu konsep
yang lebih tegas. Mengacu pada hal tersebut, deskripsi konseptual KFR menjadi sebagai
berikut:23,25
• Merupakan ilmu kedokteran yang mempunyai inti strategi kesehatan berdasarkan
model integratif menurut WHO yang mengintegrasikan aspek fungsional, disabilitas,
kesehatan, dan rehabilitasi dengan menerapkan dan meresepkan intervensi biomedis
dan teknologi untuk tata laksana kondisi kesehatan.23,25

• Melakukan penilaian atau analisis fungsi manusia dalam kaitannya dengan kondisi
kesehatan, faktor-faktor personal, dan lingkungan, termasuk menetapkan prognosis
fungsional, menggali potensi untuk mencapai prognosis fungsional tersebut,
mengidentifikasi tujuan tata laksana, menetapkan tujuan program intervensi,
menetapkan tujuan siklus rehabilitasi dan target intervensi, dan mengevaluasi
disabilitas.23,25

• Dokter spesialis KFR memimpin dan mengoordinasi program intervensi untuk


mengoptimalkan aktivitas dan partisipasi pasien:23,25
3 Dalam tata laksana rehabilitasi medik yang menekankan proses patient-centered
problem-solving (sesuai dengan preferensi dan mendorong peran aktif pasien).
3 Dalam kerja sama antara penyedia layanan kesehatan, pasien (penyandang
disabilitas), dan tenaga medis lain dengan mengapresiasi persepsi pasien.
3 Dalam menerapkan dan menggabungkan intervensi biomedis dan teknologi;
intervensi psikologis dan perilaku; penyuluhan dan konseling; tindakan okupasional
dan vokasional; sosial dan suportif; dan adaptasi (modifikasi) lingkungan fisik.

• Dokter spesialis KFR melakukan atau menerapkan intervensi biomedis dan teknologi
untuk mengoptimalkan aktivitas dan partisipasi pasien dengan tujuan: 23,25
3 Menstabilkan, memperbaiki, atau memulihkan impairment fungsi dan struktur
tubuh.
3 Mencegah impairment.
3 Melakukan kompensasi atas tidak adanya atau hilangnya fungsi dan struktur
tubuh.
Ruang lingkup terkait hal ini mencakup: 23,25
(1) Penegakan diagnosis dan prognosis fungsional dengan melakukan berbagai metode
seperti melakukan uji elektro-neurofisiologis dan menilai ketahanan (endurance),
kekuatan (force/power), dan koordinasi;
(2) Pemberian tata laksana rehabilitasi yang meliputi pemberian modalitas fisik seperti
mekano-terapi (panas, dingin, air, balneologi, cahaya, cuaca, dan arus listrik), melatih
fisik dengan atau tanpa alat bantu (contoh teknologi robotik atau virtual), meresepkan
dan menerapkan alat bantu seperti prostesis, ortosis, dan berbagai alat bantu,
melakukan manipulasi dan mengintervensi nyeri (seperti blokade radiks saraf, infiltrasi
lokal, injeksi anti kekakuan), dan memberikan intervensi nutrisi dan farmakologi.

• Dokter spesialis KFR memberikan edukasi kepada pasien (penyandang disabiltas) dan
orang-orang yang berhubungan langsung di dalam lingkungan sosial, penyedia jasa,
dan penyandang dana. Aktivitas ini dilakukan dalam proses layanan rehabilitasi yang
berkesinambungan, terkoordinasi, dan terintegrasi mulai dari perawatan rehabilitasi
dini di fasilitas penyedia layanan rehabilitasi hingga di komunitas secara lintas sektoral.

• Dokter spesialis KFR mengatur layanan rehabilitasi di seluruh area pelayanan kesehatan.

• Dokter spesialis KFR memberikan informasi dan saran kepada publik serta pembuat
kebijakan tentang kebijakan dan program yang sesuai di sektor kesehatan dan sektor
lain agar mendukung dan berkomitmen agar: 23,25
3 Terbentuk lingkungan sosial dan fisik yang lebih memfasilitasi penyandang
disabilitas.
3 Akses ke layanan rehabilitasi sebagai manifestasi hak asasi manusia terjamin untuk
seluruh orang.

Secara ringkas, KFR adalah spesialisasi kedokteran yang melakukan layanan kesehatan
berdasarkan pengkajian fungsi untuk menegakkan diagnosis dan prognosis
fungsional dan melakukan tata laksana secara holistik dan komprehensif sejak
dini dengan menerapkan kerja sama lintas sektoral, intra dan interdisipliner, dan
kepemimpinan layanan tim rehabilitasi medik agar layanan rehabilitasi medik berjalan
secara terkoordinasi, efektif, dan efisien dalam melakukan intervensi teknologi, biomedis,
dan lainnya yang bertujuan mengoptimalkan penyandang atau individu berisiko disabilitas
dengan prinsip pendekatan patient-centered care.

26 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 27

Kepustakaan

1. Opitz Jl, Folz TJ, Gelfman R, Peters DJ. The history of physical medicine and rehabilitation
as recorded in the diary of Dr. Frank Krusen: part 1. Gathering momentum (the years
before 1942). ArchPhys Med Rehabil. 1997; 78: 442-445.

2. Gutenbrunner C, Meyer T, Melvin J, Stucki G. Towards a conceptual description of physical


and rehabilitation medicine. J Rehabil Med 2011; 43: 760-4.

3. European Physical and Rehabilitation Medicine Bodies Alliance. White Book on Physical
and Rehabilitation Medicine in Europe. Chapter 8. The PRM specialty in the healthcare
system and society. Eur J Phys Rehabil Med 2018; 54.

4. American Board Physical Medicine and Rehabilitation. Dikutip dari www.abpmr.org.

5. Lee PKW. Defining Physiatry and Future Scope of Rehabilitation Medicine. Ann Rehabil
Med. 2011; 35: 445-449.

6. Institute of Medicine, Envisioning the National Health Care Quality Report (Washington,
D.C.: National Academies Press, 2001)

7. European Physical and Rehabilitation Medicine Bodies Alliance. White Book on Physical
and Rehabilitation Medicine in Europe. Chapter 3. A primary medical specialty: the
fundamentals of PRM. Eur J Phys Rehabil Med 2018; 54: 177-85.

8. WHO. Disability prevention and rehabilitation. Eight-ninth session. 9 December 1991.


Diunduh dari: apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/170433/EB89_15_eng.pdf

9. Leistner K, Stier-Jarmer M, Berleth B, Braun J, Koenig E, Liman W et al. Early rehabilitation


care in the hospital--definition and indication. Results of the expert group “Early
Rehabilitation Care in the Hospital”. 2005; 44: 165-175.

10. Jasemi M, Valizadeh L, Zamanzadeh V, Keogh B. A concept Analysis of holistic care by


Hybrid Model. Indian J Palliat Care. 2017 Jan-Maret; 23: 71-80.

11. World Health Organisation. Rehabilitation. Diunduh dari: http://www.who.int/topics/


rehabilitation/en/

12. Naskah Lengkap dan Hasil Lokakarya Rehabilitasi Medik Indonesia I. 30-31 Mei 1980.
13. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat.

14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.

15. Long AF, Kneafsey R, Ryan J, Berry J. The Role of the nurse within the multi-professional
rehabilitation team. Adv Nurs.2002 Jan; 37: 70-78.

16. The Medical Social Work Role in Rehabilitation. Diunduh dari https://www.iasw.ie/
download/357/SIGA_MSW_role.pdf

17. Fugl-Meyer KS. A Medical Social Work Perspective on Rehabilitation. J. Rehabil Med 2016;
48: 758:763

18. Wegener ST, Bentley JA, Rehabilitation Psychology. Diunduh dari https://doi.
org/10.1002/9781118625392.wbecp500

19. World Health Organisation (WHO). International Classification of Impairments, Disabilities


and Handicaps: a manual of classification relating to the consequences of diseases.
Gevena, Switzerland: World Health Organisation, 1980.

20. Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Kelas, A, B, C dan D. Edisi ketiga.
Jakarta: Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2007.

21. World Health Organisation. International Classification of Impairments, Activities and


Participation. Geneva, Switzerland: World Health Organisation, 1997.

22. Kirby RL. Impairment, disability and handicap. In: DeLisa JA, Gans BM. Rehabilitation
Medicine:Principles and Practice, 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1998. 55-60.

23. Gutenbrunner C, Lemoine F, Yelnik A, Joseph PA, de Korvin G, Neumann V, et al. The field
of competence of the specialist in physical and rehabilitation medicine (PRM). Ann Phys
Rehabil Med. 2011; 54: 298-318.

24. World Health Organisation: ICF: International Classification of Functioning, Disability and

28 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 29

Health. Geneva, Switzerland: World Health Organisation, 2001.

25. Stucki G, Melvin J. The International Classification of Functioning. Disability and health: a
unifying model for the conceptual description of physical and rehabilitation medicine. J
Rehabil Med. 2007; 39: 286-92.
30 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 31

Filosofi Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi
A. Falsafah Kedokteran Fisik &
Rehabilitasi
Falsafah Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) adalah meningkatkan kemampuan fungsional
fisik, kognitif, dan sosial seseorang sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk mempertahankan
dan/atau meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin. Hal tersebut dilakukan dengan
cara mencegah atau mengurangi impairment, disabilitas, dan keterbatasan aktivitas agar
memungkinkan adanya partisipasi semaksimal mungkin. 1,2

B. Konsep Dasar Fungsi Fisik


Manusia merupakan makhluk dinamis yang aktivitasnya dapat mempengaruhi kesehatan
fisik, mental, dan lingkungan sosial melalui aktivitas fungsional yang dilandasi oleh motivasi.
Dalam proses kehidupan manusia, terjadi proses adaptasi berkelanjutan yang menyebabkan
perubahan fungsi untuk kelangsungan hidup dan aktualisasi diri. Aktivitas fungsional
mendorong terjadinya proses adaptasi. Selain itu, faktor biologis, psikologis, dan lingkungan
dapat mempengaruhi proses adaptasi pada siklus kehidupan. Gangguan proses adaptasi
dapat menyebabkan gangguan fungsi fisik dan kognitif yang dikenal dengan istilah disfungsi.2,3

Konsep Disabilitas
Pemahaman konsep disabilitas diperlukan sebagai dasar dari konsep rehabilitasi. Beberapa
dekade terakhir, konsep disabilitas mengalami perkembangan sehingga terbentuk kerangka
konseptual menyeluruhyang meliputi aspek individual dan sosial. Berbagai model konsep
disabilitas telah dikembangkan, yaitu berdasarkan model individual, model sosial, dan model
integratif (bio-psiko-sosial).3

32 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 33

Model Individual
Konsep disabilitas model individual bertujuan untuk mengembalikan fungsi normal dan peran
sosial yang diharapkan dari individu. Dalam model ini, disabilitas timbul akibat penyakit dan/
atau cedera yang dialami individu.2,3

Lalu, WHO mengembangkan suatu model the International Classification of Impairments,


Disabilities, and Handicaps (ICIDH). Kedua model tersebut berasal dari model biomedik dan
berfokus pada fungsi individu (Gambar III-2). Model ICIDH merupakan model yang paling
banyak dipakai dalam ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik hingga awal tahun
2000. 2,4

GEJALA
PATOLOGI HENDAYA SEMBUH
KLINIS

MENINGGAL

Gambar III-1. Model biomedik konvensional.4


A

Keterbatasan
PATOLOGI HENDAYA FUngsional DISABILITAS

Gangguan pada Abnormalitas Keterbatasan Keterbatasan


proses normal atau kehilangan kinerja pada kinerja dalam
dan usaha suatu fungsi anatomis, tingkat melaksanakan
organisme untuk fisiologis, keseluruhan peran di
memulihkan mental atau tubuh suatu masyarakat dan
keadaan menjadi emosional. organisme tugas di dalam
normal. atau seseorang. suatu lingkungan
sosiobudaya dan
fisik.

PATOLOGI HENDAYA DISABILITAS KECACATAN

Sesuatu yang Kehilangan atau Akibat suatu Kerugian yang


abnormal pada abnormalitas hendaya pada dialami
individu; suatu pada struktur kinerja fungsi seorang individu
penyebab yang fisiologis, dan aktivitas sebagai akibat
mengakibatkan psikologis, atau seorang individu; dari hendaya dan
perubahan pada anatomis atau disabilitas disabilitas;
struktur atau fungsi pada mencerminkan kecacatan
fungsi tubuh. tingkat organ. gangguan pada mencerminkan
tingkat individu. interaksi dengan
daya adaptasi
individu terhadap
lingkungan.

Gambar III-2. Model konseptual disabilitas yang awal (A) dan ICIDH-WHO (B).4

34 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 35

Untuk memperjelas dimensi dan konsep disabilitas, beberapa peneliti menambahkan


keterbatasan sosial (Jette, 1994), faktor lingkungan, faktor individual, faktor risiko (Verbrugge
& Jette, 1994), dan kualitas hidup dan status kesehatan (Ebrahim, 1995; Pope Rarlov, 1991).
Hasil perbaikan yang lain menggabungkan tiga area yaitu fungsi fisiologis, kemampuan
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, dan kemampuan melaksanakan fungsi di
masyarakat (Whiteneck, 1994). Model yang diperbaiki tetap linier dengan fokus pada proses
penyakit serta keterbatasan fungsional yang diakibatkan.

Model Sosial
Model sosial berfokus pada masalah disabilitas yang dipandang sebagai hambatan dalam
lingkungan sosial yang terjadi karena diskriminasi sosial/ lingkungan, prasangka, dan
stigma (Hahn, 1993). Solusi yang diusulkan untuk menangani masalah disabilitas antara
lain pemberdayaan, penentuan nasib sendiri, advokasi, otoritas konsumen, dan modifikasi
lingkungan seperti pelebaran pintu, lorong, dan trotoar, dan pembuatan ramp.

Model Bio-Psiko-Sosial Disabilitas


Pendekatan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi diarahkan pada model bio-psiko-sosial yang
dikembangkan dengan memperhatikan manusia secara utuh. Pemahaman mengenai patologi,
problem fungsi, dan potensi akan mendukung terjadinya perbaikan fungsi dan mencegah
terjadinya keterbatasan fungsi lebih jauh. Kemampuan berpartisipasi di masyarakat tidak saja
bergantung pada fungsi personal, tetapi juga pada faktor yang mempengaruhi kehidupan
dan lingkungan tempat tinggal individu tersebut. 2,4

Model Terintegrasi
Terobosan baru terbentuk dengan diterbitkannya International Classification of Functioning,
Disability and Health (ICF) yang disetujui oleh World Health Assembly pada Mei 2001. 4

The International Classification of


Functioning, Disability, and Health (ICF)
Model ICF telah digunakan secara luas di seluruh dunia dan berpotensi meningkatkan
integrasi dan komunikasi antara disiplin ilmu dan instansi pembuat kebijakan dan
mendukung perkembangan penelitian, praktik klinik, dan kebijakan sosial. Model ICF
merupakan model universal yang ditujukan untuk mengintegrasikan model individu dan
sosial tanpa memandang usia dan kondisi kesehatan (GambarIII-3). Model ICF menggunakan
kategori area kesehatan untuk mengklasifikasikan kondisi kesehatan. Terdapat dua
komponen yang dilengkapi dengan kode yang mewakili aspek yang berbeda. Bagian 1,
yaitu Functioning dan Disability, mengandung kode untuk fungsi, struktur tubuh, aktivitas,
dan partisipasi. Bagian 2, yaitu Contextual Factors, menjelaskan tentang faktor lingkungan
dan personal. Disabilitas menurut ICF adalah apabila seorang individu memiliki satu atau
lebih disfungsi. 2,4

Kondisi Kesehatan
(Kelainan atau penyakit)

STRUKTUR &
FUNGSI TUBUH AKTIVITAS PARTISIPASI

FAKTOR-FAKTOR FAKTOR-FAKTOR
LINGKUNGAN PERSONAL

Gambar III-3. Kerangka konsep fungsi manusia dan disabilitas berdasarkan ICF.4

Sebagai kerangka konsep aktual dari spesialisasi KFR, ICF menggabungkan konsep model
disabilitas individual dan sosial dan memandang manusia secara utuh. Penambahan faktor
lingkungan dan personal merupakan perbaikan atas model International Classification of
Impairment, Disability and Handicap (ICIDH).Model ICF lebih berfokus pada peningkatan
fungsi dan disabilitas. Dasar konsep ICF adalah model biopsikososial, yaitu fungsi dan
disabilitas dipandang berinteraksi dengan faktor kontekstual lingkungan dan personal. 2,4

36 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 37

Gangguan fungsi yang terjadi pada tingkat tubuh atau bagian dari tubuh dikategorikan sebagai
gangguan fungsi dan struktur tubuh. Sedangkan, gangguan fungsi pada keseluruhan individu
disebut pembatasan aktivitas dan gangguan fungsi pada keseluruhan individu dalam konteks
sosial disebut halangan partisipasi. Istilah disabilitas mengacu pada terjadinya disfungsi
di tingkat gangguan pada fungsi atau struktur tubuh, pembatasan aktivitas, atau restriksi
partisipasi. Ciri penting dari model ICF adalah fungsi dan disabilitas merupakan suatu interaksi
dari sejumlah faktor, antara lain kondisi kesehatan, karakteristik individu, lingkungan fisik, dan
sosial. Banyak faktor yang dapat memodifikasi fungsi sehingga kondisi patologi yang sama pada
individu yang berbeda, dapat menyebabkan tingkat disabilitas yang berbeda. Sebagai contoh,
seorang individu dengan cedera medula spinalis suatu saat dapat kembali berpartisipasi penuh
dalam aktivitas hidupnya, termasuk bertempat tinggal di rumah dan melanjutkan peran sebagai
pasangan hidup, orang tua, dan pencari nafkah. Individu lain dengan cedera medula spinalis
yang sama dapat mengalami keterbatasan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, tinggal di
fasilitas perawatan, bercerai dari istrinya, jauh dari anak-anak, dan tidak dapat kembali bekerja.2,4

Dokter spesialis KFR memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman dan aplikasi konsep
fungsi, disabilitas, dan kesehatan. Contoh penerapan kerangka kerja ICF dalam penyusunan program
adalah tindakan dokter spesialis KFR mengevaluasi hubungan antara cedera, pembatasan aktivitas,
hambatan partisipasi, danidentifikasi faktor terkait sebagai penghalang atau pendukung untuk
kembalinya fungsi tubuh dengan memperhatikan faktor kontekstual lingkungan dan personal. Agar
dapat melakukan peningkatan fungsi pasien secara optimal, dokter spesialis KFR perlu mengetahui
diagnosis pasien, antisipasi komplikasi dan asosiasi yang potensial, kemunduran yang relevan,
prediksi prognosis, dan adakalanya pertimbangan menjelang akhir kehidupan. Dokter spesialis KFR
menetapkan tujuan terapi bersama pasien, kemudian melaksanakan tindakan untuk meningkatkan
fungsi dan struktur tubuh (menangani cedera), optimalisasi kapasitas fungsional (mengurangi
pembatasan aktivitas), dan fasilitasi partisipasi dalam kehidupan sehari-hari (mengurangi hambatan
partisipasi). Intervensi dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi cedera, pembatasan aktivitas, atau
hambatan partisipasi secara langsung. Intervensi pada suatu aspek dapat memengaruhi aspek yang
lain karena interaksi berbagai elemen. Semua intervensi harus diarahkan untuk meningkatkan fungsi
dan partisipasi dalam kehidupan individu yang menjalani program rehabilitasi. 2, 3, 4

Karakteristik utama Ilmu KFR adalah memandang ‘kesehatan’ dari konteks kualitas hidup.
KFR berkomitmen pada tujuan utama yaitu mengupayakan agar individu dapat mengatasi
tantangan kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh penyakit (kelainan kongenital, penyakit
fisik, dan emosional), trauma (kecelakaan), proses penuaan, atau hambatan lingkungan.3
Kemampuan fungsional individu yang menentukan kualitas hidup meliputi kemampuan
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, aktivitas kerja dan produktivitas, aktivitas
bermain, aktivitas waktu senggang (hobi dan hiburan). Keterampilan ini memerlukan proses
pembelajaran dan pengalaman praktik yang sesuai dengan peran (prasekolah, murid, orang
tua, karyawan, relawan, atau pensiunan) dan perkembangan individu.4

Pengertian aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) adalah peran perawatan diri sendiri, antara
lain kebersihan diri, berpakaian, makan, mobilitas, sosialisasi, komunikasi, dan ekspresi
seksual. Aktivitas kerja dan produktivitas meliputi perawatan rumah, merawat orang lain,
aktivitas pendidikan, dan kemampuan untuk menjalankan peranan pekerjaan sesuai dengan
tahap perkembangan, budaya, dan lingkungan individu. Aktivitas waktu senggang meliputi
eksplorasi dan performa bermain atau hiburan dalam aktivitas yang sesuai usia. Kemampuan
fungsi ditunjang oleh berbagai sistem organ yaitu organ sensorimotor, kardiorespirasi,
gastrointestinal, kognitif, dan komponen psikososial.4,5

Komponen sensori motor meliputi fungsi sensorik, motorik, dan neuromuskuloskeletal.


Fungsi sensorik meliputi kesadaran, pemrosesan sensorik, dan pemrosesan persepsi.
Fungsi motorik meliputi koordinasi motorik kasar, lintas garis tengah, lateralisasi, integrasi
bilateral, kontrol motorik, praksis, koordinasi motorik halus, dan kontrol motorik oral. Fungsi
neuromuskuloskeletal meliputi refleks, lingkup gerak sendi, tonus otot, kekuatan otot,
ketahanan otot, kontrol postur, dan integritas jaringan lunak.4

Komponen kognitif mengacu pada kemampuan untuk menggunakan fungsi otak yang
lebih tinggi. Aspek yang termasuk dalam komponen kognitif antara lain respon terhadap
rangsangan, orientasi, pengenalan subjek, rentang perhatian, inisiasi aktivitas, penghentian
aktivitas, daya ingat, pembuatan urutan, pengelompokan, pembentukan konsep, persepsi
ruang, penyelesaian masalah, pembelajaran, dan pembuatan generalisasi.4

Komponen psikososial meliputi kemampuan emosional dan interaksi sosial. Aspek yang tercakup
dalam kategori ini meliputi ketertarikan, konsep diri, kinerja peran, pembawaan sosial, kemampuan
interpersonal, ekspresi diri, kemampuan adaptasi, manajemen waktu, dan kendali diri. 4

38 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 39

C. Definisi Kedokteran Fisik dan


Rehabilitasi
Definisi Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) menurut American Board of Physical
Medicine and Rehabilitation adalah dokter yang ahli dalam bidang saraf, otot, dan tulang yang
menangani cedera atau penyakit yang memengaruhi cara seseorang bergerak, mendiagnosis
dan menangani nyeri, dan mengembalikan fungsi maksimal yang hilang akibat cedera, penyakit,
atau disabilitas. Dokter spesialis KFR menangani individu secara holistik, bukan hanya bagian
tubuh yang bermasalah, tetapi juga mengarahkan tim medik, memberikan tatalaksana nonbedah,
dan menjelaskan masalah medik dan rencana tatalaksana dan pencegahan kepada pasien. 1,2,3

D. Ruang Lingkup Dokter spesialis KFR


Dalam memberikan layanan, spesialisasi KFR mempunyai sifat paradoks antara menjadi spesialis
(pemahaman ilmu yang vertikal) dan layanan holistik (pemahaman ilmu yang horizontal).
Berbeda dengan spesialisasi berbasis sistem organ yang bekerja dengan fokus diagnosis
etiologi dan terapi kausatif untuk mencapai kesembuhan, spesialisasi KFR memanfaatkan cara
terbaik untuk mencapai fungsi fisik yang lebih baik. Dokter-dokter spesialis KFR menangani
proses secara berkesinambungan dan terkoordinasi semenjak dari timbulnya penyakit atau
cedera hingga individu mencapai partisipasi dalam masyarakat yang sesuai dengan potensi,
aspirasi, dan harapan individu tersebut. Dokter-dokter spesialis KFR lebih berperan sebagai
pemandu pasien sehingga peran pasien menjadi lebih sentral dan aktif.3

Dokter spesialis KFR juga berperan sebagai pendidik, antara lain saat aplikasi konsep neuroplastisitas
dan pembelajaran motorik sebagai dasar program KFR. Oleh karena itu, dokter spesialis KFR wajib
memahami prinsip plastisitas dan adaptasi dan memahami prinsip belajar mengajar. 3

Spesialis KFR berfokus pada peningkatan fungsi fisik, kognisi aktivitas (termasuk perilaku),
partisipasi (termasuk kualitas hidup), dan modifikasi faktor personal dan lingkungan. Selain
itu, mereka juga bertanggung jawab terhadap pencegahan, diagnosis, dan tatalaksana
kedokteran fisik dan rehabilitasi pada individu dengan disabilitas dan komorbiditas penyebab
disabilitas pada semua usia. Pendekatan holistik dilakukan pada kasus akut dan kronik pada
berbagai kelainan muskuloskeletal seperti amputasi, gangguan organ pelvis, kardiorespirasi,
dan disabilitas pada nyeri kronik dan keganasan.3
Dalam menjalankan perannya, Dokter spesialis KFR menggunakan instrumen diagnostik
spesifik untuk menegakkan diagnosis fungsional berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan fungsi dan kemampuan aktivitas. Penegakan diagnosis diperlukan untuk
menetapkan tatalaksana kedokteran fisik dan rehabilitasi yang meliputi farmakoterapi intervensi
invasif (injeksi), terapi fisik (latihan dan modalitas), edukasi, vokasional, dan kognitif. 3

Dokter spesialis KFR mengutamakan kualitas hidup, meningkatkan prognosis fungsional


melalui pendekatan tim, dan memimpin tim yang terdiri dari terapis fisik, terapis okupasi,
terapis wicara, ortotis prostetis, perawat rehabilitasi, psikolog, pekerja sosial medik, terapis
musik, dan tenaga kesehatan maupun profesi lain yang terkait. Dokter spesialis KFR berupaya
meningkatkan otonomi pasien untuk mengoptimalkan fungsi dan kondisi lingkungan,
sehingga individu dapat berperan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Dokter spesialis KFR
perlu memahami berbagai aktivitas multiprofesi, sehingga perlu menjalani pendidikan yang
komprehensif untuk dapat mencapai keluaran kemampuan fungsi yang optimal. 1,3

Kompetensi yang diperlukan pada seorang Dokter spesialis KFR, adalah: 1,3
• Melakukan pemeriksaan medis yang menunjang diagnosis.
• Melakukan asesmen kapasitas fungsional dan kemampuan untuk berubah.
• Melakukan asesmen aktivitas dan partisipasi serta faktor yang berhubungan.
• Melakukan perencanaan program KFR.
• Memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam tatalaksana KFR dan medik.
• Melakukan evaluasi dan mengukur keluaran.
• Melakukan pencegahan dan tatalaksana komplikasi.
• Menetapkan prognosis penyakit dan keluaran tatalaksana KFR.
• Memahami teknologi KFR.
• Memiliki keterampilan kepemimpinan dan mengelola dinamika tim.
• Memiliki keterampilan memberi edukasi.
• Memahami sistem sosial dan perundang-undangan mengenai gangguan fungsi.

E. Tujuan Kedokteran Fisik dan


Rehabilitasi
Potensi peningkatan fungsi individu yang mendapat tatalaksana KFR tidak dapat diformulasikan
tanpa mengetahui riwayat penyakitnya. Beberapa kondisi akan membaik secara spontan,
sehingga tidak perlu dilakukan intervensi KFR. Program KFR bertujuan untuk meningkatkan

40 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 41

kemandirian dan kualitas hidup pasien. Penelitian membuktikan bahwa intervensi dini
cenderung menghasilkan keluaran peningkatan fungsi yang lebih baik, walaupun pemulihan
tidak sempurna. Bahkan, intervensi KFR yang lambat tetap dapat bermanfaat. Tujuan umum
KFR adalah memungkinkan individu dengan disabilitas berpartisipasi dalam lingkungan
sesuai harapan. Tujuan umum KFR dicapai melalui : 3, 5
• Penatalaksanaan impairment.
• Mengatasi hambatan untuk berpartisipasi dalam lingkungan yang diinginkan.
• Memfasilitasi interaksi sosial (merupakan proses yang berpusat pada pasien).

Dalam perencanaan program rehabilitasi, perlu dipertimbangkan keinginan dan potensi


pasien, risiko disabilitas, sifat impairment fisik dan kognitif, dan kemampuan pasien untuk
menerima informasi dan ketrampilan baru untuk meningkatkan tingkat aktivitas dan partisipasi.
Selain itu, penting juga untuk menilai hambatan lingkungan terhadap partisipasi (berasal dari
lingkungan fisik atau dari perilaku individu lain) dan kemampuan sumber daya yang tersedia
untuk melaksanakan program tersebut.3, 5

Instrumen penilaian kualitas hidup yang lengkap mempertimbangkan beberapa faktor objektif,
misalnya kemampuan naik tangga yang dapat berbeda antar individu disabilitas. Program KFR
diharapkan dapat mengurangi dampak disabilitas pada tingkat individu maupun masyarakat,
meningkatkan fungsi dan kemandirian melalui peningkatan aktivitas, memberikan kesehatan yang
lebih baik, dan mengurangi komplikasi dan dampak komorbiditas. Keberhasilan program KFR akan
menguntungkan individu dan masyarakat dalam hal meningkatkan kesempatan kerja.3, 5

Tujuan program KFR yang lain adalah mempersiapkan individu, keluarga, maupun caregiver
untuk memanfaatkan kesempatan peningkatan fungsi yang ada secara maksimal. Peran KFR
tidak saja meningkatkan fungsi pada tingkat individu, tetapi juga mengurangi biaya perawatan
kesehatan yang timbul akibat ketergantungan fisik. Peningkatan fungsi terbukti menurunkan
pembiayaan perawatan kesehatan sebanyak 7 kali lipat. 3, 5

Evaluasi keberhasilan program rehabilitasi yang berorientasi pada fungsi, berbeda secara
mendasar dengan tatalaksana medik yang berorientasi pada penyakit. Keberhasilan program
KFR tetap dapat dicapai kendati perbaikan biologis tidak dapat dicapai karena terjadi
perubahan kondisi yang permanen. Prinsip program KFR adalah keberlanjutan individu untuk
mempertahankan partisipasi dan kesejahteraan. Keluaran program KFR yang terukur dapat
digunakan untuk mengaudit pelayanan kedokteran fisik dan rehabilitasi.3, 5
F. Perkembangan Kedokteran fisik
dan Rehabilitasi
Perkembangan Ilmu kedokteran secara keseluruhan memberi kontribusi dalam meningkatkan
layanan kesehatan, sehingga berhasil menurunkan angka kematian dan memperpanjang usia
harapan hidup. Seiring dengan penurunan angka kematian, jumlah pasien yang bertahan
hidup dengan menyandang penyakit kronik dan penurunan fungsi justru meningkat. Usia
harapan hidup yang meningkat, akan meningkatkan jumlah populasi penduduk lanjut usia
disertai peningkatan prevalensi gangguan fungsi tubuh. 6

Pandang konvensional berpendapat bahwa penyakit kronik asimtomatik dan penurunan fungsi
tubuh yang tidak segera mengancam jiwa, tidak membutuhkan terapi apa pun karena dianggap
sudah tidak dapat ditangani. Perkembangan ilmu KFR meningkatkan pemahaman bahwa masih
terdapat cara yang bisa dilakukan bagi kelompok pasien ini untuk meningkatkan kualitas hidup.6

Tujuan utama penerapan ilmu KFR sebagai suatu bidang ilmu kedokteran adalah meningkatkan
kemampuan individu untuk berfungsi secara optimal dengan segala keterbatasan yang
diakibatkan penyakit atau trauma. Fokus penerapan ilmu KFR bukan pada pemulihan sempurna
sampai pada tingkat fungsi sebelum sakit (premorbid), tetapi pada pengoptimalan kualitas
hidup individu. Dokter spesialis KFR bertindak sebagai penyusun program, fasilitator, dan
pemimpin tim. Perkembangan konsep, pengetahuan, dan aplikasi dari ilmu KFR yang sangat
pesat memiliki potensi dalam mengembangkan intervensi yang efektif. 3,5

Ilmu KFR telah diakui sebagai ilmu yang mempelajari cara untuk meningkatkan kapasitas
fungsional pasien dengan penurunan fungsi fisik atau penyakit kronik, sehingga dapat kembali
berpartisipasi di dalam lingkungan rumah dan masyarakat sekitarnya. Ilmu KFR memberikan
pengaruh signifikan dan mendukung konsep layanan kesehatan komprehensif. 3,5
Layanan kesehatan komprehensif meliputi tindakan KFR untuk mengelola individu yang
memiliki penyakit atau penurunan fungsi fisik, sehingga dapat berfungsi optimal kembali
dalam lingkungan sosial yang normal dan meningkatkan kualitas hidup. 3,5

Perkembangan kebutuhan dan ragam layanan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi menuntut
Dokter spesialis KFR memiliki pengetahuan yang baik tentang semua penyakit yang
memerlukan pendekatan KFR agar mampu mengelola pasien dengan beragam patologi ini.
Layanan seperti ini terutama dibutuhkan pada layanan primer dan akut atau subakut. Layanan

42 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 43

Dokter spesialis KFR ini dilaksanakan dengan tim interdisiplin multiprofesi. Perkembangan
ragam penyakit yang dilayani mendorong berkembangnya subspesialisasi KFR yang memiliki
keahlian tinggi dalam pengelolaan pasien dari kelompok terkait sistem organ spesifik atau usia
tertentu tanpa kehilangan kemampuan mengelola pasien yang membutuhkan layanan KFR
secara umum. Spesialis konsultan KFR memiliki kemampuan kognitif dan psikomotor untuk
melakukan pengelolaan kasus dengan menggunakan peralatan diagnostik dan terapeutik
KFR yang canggih, antara lain tes kebugaran fisik, analisis pola berjalan, elektrodiagnostik,
ultrasonografi, dan tindakan intervensi /injeksi bidang KFR. Dalam melakukan pekerjaannya,
Dokter spesialis KFR konsultan sangat erat dalam bekerja sama dengan spesialis atau spesialis
konsultan bidang kedokteran yang lain serta profesi multidisiplin yang berada dalam timnya.5

G. Karakteristik Layanan KFR


Layanan KFR bersifat komprehensif dan interdispliner. Rehabilitasi merupakan aktivitas
multiprofesi yang bergantung pada komunikasi yang baik antara profesi dan keterampilan
profesional. Kegiatan KFR harus memiliki tujuan rehabilitasi yang jelas, sehingga semua
anggota termasuk pasien dapat berpartisipasi aktif untuk mencapai tujuan tersebut. Asas
kerja sama dalam kelompok adalah memiliki target capaian fungsi yang sama berdasarkan
keahlian profesi anggota tim. Keberhasilan kerja tim ditentukan oleh integrasi antarprofesi
dalam tim KFR dalam mencapai target fungsi tersebut. 6,7

Layanan KFR tidak terbatas pada satu sistem organ, tetapi bertujuan mengembalikan fungsi
individu seoptimal mungkin sehingga dapat mandiri secara fisik, mental, sosial, dan ekonomi.
Dibutuhkan pengkajian secara menyeluruh terhadap penyakit dan konsekuensi yang
ditimbulkan, serta pengaruh keluarga, lingkungan sosial, tanggung jawab pekerjaan, keadaan
ekonomi, hobi, dan harapan terhadap penyakit yang diderita. Hal ini menggambarkan bahwa
pelayanan KFR bersifat menyeluruh.6,7

Layanan KFR hadir pada tahap promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.6 Fokus layanan
KFR adalah pencegahan disabilitas sedini mungkin. Jika disabilitas telah terjadi, program KFR
berupaya meningkatkan kemandirian seoptimal mungkin sesuai potensi yang dimiliki pasien.7

Tim Rehabilitasi medik terdiri dari sekumpulan profesi kesehatan yang dipimpin oleh Dokter
spesialis KFR. Tim Rehabilitasi bersama pasien dan keluarga menentukan target rehabilitasi yang
realistis dan sesuai. Target tersebut perlu disesuaikan berdasarkan kemajuan yang dicapai. Selain
itu, penentuan target berdasarkan harapan pasien yang realistis, tidak hanya berdasarkan peran
setiap profesi. Semua profesi yang terlibat memiliki pandangan yang sama mengenai target fungsi
pasien. Tim rehabilitasi yang bekerja efektif mempercepat capaian target fungsi yang diharapkan
pasien dan keluarga. Kerja sama tim rehabilitasi dibangun melalui komunikasi dan diskusi anggota
tim secara rutin dan terstruktur. Semua anggota tim rehabilitasi terlibat dalam diskusi mengenai
diagnosis, dampak terhadap fungsi, aktivitas, dan kemampuan untuk berpartisipasi ke masyarakat,
serta prognosis penyakit yang dialami. Semua anggota tim rehabilitasi melakukan asesmen yang
dituangkan dalam sebuah program rehabilitasi yang akan dievaluasi secara regular. 7,8,9

Layanan KFR bersifat komprehensif dan interdisipliner, sehingga membutuhkan tenaga


profesional dari berbagai disiplin ilmu terkait, tidak hanya dari kalangan medik. Pada Gambar
III-4, diperlihatkan cabang-cabang ilmu yang diperlukan dalam layanan KFR.8,9

KONDISI KESEHATAN

Patologi
Patofisiologi
Kedokteran Klinis

STRUKTUR & FUNGSI TUBUH AKTIVITAS PARTISIPASI

Farmakologi Kedokteran Rehabilitasi Konseling Rehabilitasi


Kedokteran Fisik Terapi Okupasi Rehabilitasi Vokasional
Fisioterapi Kerja Sosial
Ortoteknologi
Neuro-Psikologi
Patologi Wicara Bahasa
Kedokteran Olahraga

FAKTOR-FAKTOR
FAKTOR-FAKTOR PERSONAL
LINGKUNGAN
PERSPEKTIF
Psikologi Klinis Rancang Bangun & Arsitektur
YANG MENAUNGI
Kedokteran Keluarga
Edukasi Hukum
& Komunitas
Kedokteran Geriatrik Politik
Keperawatan
Kedokteran Rehabilitasi

Gambar III-4. Berbagai cabang ilmu yang terkait dengan Layanan KFR berdasarkan model
integratif ICF.8,9

44 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 45

Fase Proses Rehabilitasi


1. Fase Akut dan Sub-Akut
Pada tahap awal pemulihan penyakit atau trauma yang berat, sangat diperlukan lingkungan
yang tepat. Kondisi lingkungan yang kondusif merupakan prasyarat untuk menimbulkan
respons positif terhadap program rehabilitasi yang optimal. Pada minggu pertama,
kemampuan untuk menjalankan program latihan atau melakukan latihan fisik mungkin
sangat terbatas, tetapi penelitian menunjukkan bahwa memindahkan pasien trauma kepala
(brain injury) dari ruang rawat bedah atau bedah saraf ke ruang rawat rehabilitasi yang
lebih tenang apabila kondisi telah memungkinkan, dapat memberikan efek terapeutik,
meningkatkan atensi dan kognisi, dan menurunkan agitasi. 10

Terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan program rehabilitasi pada fase akut, antara
lain kondisi pasien yang belum stabil dan suasana ruang rawat akut yang menyulitkan
tim rehabilitasi multiprofesional untuk melakukan penanganan pasien yang memiliki
kebutuhan kompleks. Terapi medikamentosa untuk gejala cemas dan gelisah berupa obat
penenang juga dapat menghambat pemulihan fungsi kognitif untuk mendukung program
rehabilitasi, sehingga penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan individual pasien.10

2. Fase Kronik
Tujuan utama rehabilitasi fase kronik adalah mempertahankan dan meningkatkan fungsi,
mencegah komplikasi pada kondisi stabil, atau mencegah penurunan fungsi yang
progresif. Selain itu, rehabilitasi juga bertujuan untuk meningkatkan aktivitas. Program yang
dilakukan adalah meningkatkan kemampuan partisipasi untuk dapat kembali bekerja atau
pencegahan pensiun dini akibat masalah kesehatan. Metode yang digunakan mencakup
terapi fisik, latihan, nutrisi, intervensi psikologi, dan edukasi kesehatan yang sistematis.
Suatu penelitian dengan sampel acak dan tersamar ganda membuktikan bahwa program
rehabilitasi pada fase kronik memiliki dampak positif pada sosioekonomi. Program edukasi
kesehatan multiprofesi yang sistematis juga terbukti efektif. 10

Di beberapa negara Eropa, program rehabilitasi pada masa rawat inap atau rawat jalan
berperan penting dalam penatalaksanaan kondisi kronis seperti gangguan muskuloskeletal
atau neuromuskular, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit paru, gangguan
metabolik, penyakit kulit, gangguan urologi, dan ginekologi. Program rehabilitasi yang
intensif dapat diberikan setiap saat pada fase kronis untuk mengatasi penurunan fungsi,
bahkan beberapa tahun setelah kejadian akut. 10
3. Fase Pencegahan
Pencegahan menurut konteks rehabilitasi, tidak terbatas pada pencegahanpenyakit, tetapi
juga pencegahan dampak penyakit pada semua aspek kehidupan seseorang. Sehingga,
tindakan pencegahan dapat diklasifikasikan sebagai pencegahan primer, sekunder, dan
tersier. 10

H. Etika Kedokteran Fisik dan


Rehabilitasi
Perkembangan di bidang KFR seperti yang telah diuraikan diatas, memiliki masalah etika dan
moral. Kirscher mengidentifikasi beberapa masalah etika yang dihadapi Dokter spesialis KFR
dalam praktik sehari-hari, yaitu 24% terkait perubahan dalam pembiayaan layanan kesehatan,
17% terkait perbedaan pendapat mengenai penentuan tujuan program rehabilitasi antara
pasien, dokter, anggota tim interdisplin, dan keluarga, dan 7% terkait penilaian kemampuan
pasien untuk mengambil keputusan.9

Kendala yang dihadapi adalah lokasi fasilitas yang masih kurang dan potensi terjadinya
diskriminasi terhadap individu dengan disabilitas. Mengakomodasi individu dengan
disabilitas dan gangguan fungsi kronis, merupakan salah satu unsur etika dalam pelayanan
medik. Saat ini masih terdapat ketidaksesuaian antara upaya meningkatkan akomodasi
penyandang disabilitas dengan efisiensi dalam upaya pemulihan fungsi. Dalam melakukan
tindakan rehabilitasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, ada kemungkinan
mengabaikan keinginan pasien. 9,10

Dalam etika medis, terdapat prinsip moral sebagai pedoman dalam praktik kedokteran sehari-
hari. Jonsen menyatakan bahwa masalah klinik dianalisis dalam empat bidang, yaitu: indikasi
medik, keinginan pasien (menghormati otonomi), penilaian kualitas hidup, dan konteks lain,
seperti peraturan, prosedur, dan hukum. 10,11

Sebagai ketua tim, Dokter spesialis KFR perlu mempertimbangkan setiap unsur secara cermat
saat membuat keputusan.10 Terdapat situasi yang memerlukan konsultasi dengan komite etik
rumah sakit. Konsensus mengenai rencana penanganan pasien merupakan tantangan, karena
penilaian kualitas hidup pasien dengan disabilitas atau penyakit kronik oleh praktisi medis
biasanya lebih rendah daripada penilaian pasien, sehingga menimbulkan perbedaan paham

46 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 47

antara pasien dan tim Rehabilitasi Medik. 10,11

Lewin mendefinisikan layanan yang berpusat pada pasien adalah layanan yang dalam
pengambilan keputusan dan intervensinya, dilakukan bersama pasien dan memandang
pasien sebagai individu utuh yang memiliki peran sosial, bukan hanya sebagai individu sakit.11

Sebagai pemimpin tim multidisiplin, Dokter spesialis KFR perlu memahami pasien sebagai
individu secara mendalam, termasuk interaksi antara pasien dengan keluarga, pekerjaan,
masyarakat, dan lingkungan. Dengan demikian, Spesialis KFR memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang cukup untuk dapat memprediksi keluaran fungsional setiap pasien. Evaluasi
yang menyeluruh perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan prognosis. Komunikasi
optimal dengan pasien, keluarga, dan anggota tim interdisipliner harus terjalin sepanjang
perawatan pasien.11

Model analisis yang dianjurkan digunakan oleh Dokter spesialis KFR adalah Patient Centered
Care Ethics Analysis Model for Rehabilitation (PCEAM-R) yang dikembangkan untuk memandu
layanan rehabilitasi beretika. Hal ini mengingat kompleksitas penanganan pasien dengan
disabillitas dan berbagai variasi intervensi yang mungkin diberikan. Model ini merupakan
proses enam langkah pengambilan keputusan yang etis berdasarkan International Classification
of Functioning Disability and Health dan mempunyai daftar pertanyaan yang cukup rinci untuk
asesmen pasien secara lengkap. 11

Dalam menjalankan tugasnya, seorang Dokter spesialis KFR adalah warga negara yang
berkewajiban mendukung kebijakan dan peraturan hukum yang berlaku.11
Kepustakaan

1. The main health strategies of the health system, their goals and indicators adapted from:
Stucki G, Bickenbach J. Functioning: the third health indicator in the health system and the
key indicator for rehabilitation. Eur J Phys Rehabil Med. 2017;53:134-8.

2. WHO, World Bank. World Report on Disability. 2011.

3. Frank AO, Chamberlain MA. Rehabilitation: an integral part of clinical practice. Occupation
Med 2006;56:289-93.

4. World Health Organisation. International Classification of Functioning, Disability and


Health: ICF. Geneva, Switzerland, World Health Organisation, 2001.

5. Levi R. Philosophical practice in rehabilitation medicine grasping the potential for personal
maturation in existential ruptures. Philosphical Pract 2010;5(2):607-14.

6. National Private Rehabilitation Group (NPRG). Submission to the House of Representative


Committee on Ageing, Inquiry into Australian population ageing medical rehabilitation – a
key to healthy ageing. Sydney: NPRG, 2002.

7. Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Kelas, A, B, C dan D. Edisi ketiga.
Jakarta: Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2007.

8. Stucki G, Celio M. Developing human functioning and rehabilitation research. Part II.
Interdisciplinary university centers and collaboration networks. J Rehabil Med 2007;39:334-
42.

9. Neumann V, Gutenbrunner C, Fialka-Moser V, Christodoulou N, Varela E, Giustini A,


Delarque A. Interdiscipinary team working in physical and rehabilitation medicine. J
Rehabil Med 2009;42:4-8.

10. American Medical Association Journal of Ethics June 2015, Volume 17, Number 6: 568-
574. History of Physical Medicine and Rehabilitation and its Ethical Dimensions Levan
Atanelov, MD, MS, Steven A. Stiens, MD, MS, and Mark A. Young, MD, MBA.

48 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 49

11. WHITE BOOK ON PHYSICAL AND REHABILITATION MEDICINE IN EUROPE Produced by


the Section of Physical and Rehabilitation Medicine, Union Européenne des Médecins
Spécialistes (UEMS), European Board of Physical and Rehabilitation Medicine and
Académie Européenne de Médecine de Réadaptation in conjunction with European
Society for Physical and Rehabilitation Medicine, September 2006.
50 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 51

Diagnosis Dalam
Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi
Dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi (KFR) bekerja di
berbagai fasilitas kesehatan mulai dari unit perawatan fase akut
sampai komunitas. Dokter spesialis KFR melakukan penegakan
diagnosis medik dan fungsional menggunakan alat diagnostik
spesifik berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, fungsi,
dan kemampuan aktifitas. Diagnosis medik diperlukan sebagai
dasar dalam menentukan tatalaksana KFR, termasuk intervensi
medikamentosa, terapi latihan, injeksi, terapi fisik, edukasi,
dan vokasional. Sedangkan, diagnosis fungsi dan partisipasi
berkontribusi dalam melakukan evaluasi menyeluruh pada pasien
untuk menentukan target fungsi dan partisipasi.

Pencapaian target fungsi dan partisipasi dilakukan bersama antara tim KFR, pasien, dan
keluarga. Asesmen dalam KFR menilai seluruh dimensi struktur tubuh, fungsi, aktivitas, dan
masalah partisipasi yang relevan dalam proses rehabilitasi menggunakan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang telah terstandar. Faktor kontekstual lain yang relevan juga
perlu diperiksa agar dapat ditentukan capaian target yang akurat. Pemeriksaan klinik, penilaian
keterbatasan, dan fungsi potensial menjadi bagian utama aspek diagnostik KFR.

A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis riwayat penyakit secara lengkap dan pemeriksaan fisik merupakan kunci penegakan
diagnosis dalam bidang KFR. Anamnesis dilakukan berdasarkan penilaian masalah dalam
seluruh dimensi ICF.1

Tugas dokter spesialis KFR adalah menentukan diagnosis penyakit dan melakukan penilaian
kapasitas fungsional yang diakibatkan oleh penyakit. Diagnosis kapasitas fungsional menjadi
dasar perencanaan program penatalaksanaan terapeutik dan tujuan fungsional yang akan
dicapai.1Sebagai contoh, pada pasien yang mengalami fraktur humerus disertai cedera saraf
radialis, diagnosis medik dapat ditetapkan dengan mudah, tetapi kondisi fungsional masih

52 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 53

belum teridentifikasi. Agar dapat dilakukan tatalaksana yang komprehensif, diperlukan


analisis gangguan fungsi yang terjadi, dan dampaknya pada aktivitas kehidupan pasien. Perlu
dilakukan penilaian mengenai keterbatasan pada aktivitas dan partisipasi juga evaluasi secara
berkesinambungan. 2

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis fungsi dalam KFR, dapat berupa pemeriksaan
kekuatan otot, lingkup gerak sendi (LGS), fungsi saraf, fungsi kardiorespirasi, dan fungsi luhur.
Beberapa teknik pemeriksaan dapat dilakukan, mulai dari yang sederhana secara manual
sampai pemeriksaan dengan teknologi modern yang terukur. Beberapa contoh pemeriksaan
fungsi yang dilakukan yaitu tes jalan enam menit, analisis pola jalan, isokinetic muscle testing,
penilaian disfagia, urodinamik, elektromiografi, analisis fungsi eksekutif, dan fungsi gerak
lainnya. Asesmen fungsi tubuh secara kuantitatif dan kualitatif dapat dilakukan secara manual
atau dengan peralatan khusus mulai dari pemeriksaan sederhana yang meliputi tanda vital
sampai uji fungsi yang lebih kompleks. Uji fungsi yang lebih kompleks yang dapat dilakukan
meliputi uji fungsi kognisi, uji fungsi komunikasi, uji fungsi menelan, uji fungsi kardiorespirasi,
uji sensibilitas, uji integrasi sensori-motor, uji fleksibilitas dan lingkup gerak sendi, uji
keseimbangan statis dan dinamis, uji kontrol postur, uji fungsi eksekusi gerak, uji kekuatan
otot, uji motorik halus, uji fungsi lokomotor, uji pola jalan, uji dekondisi, uji kemampuan
fungsional dan perawatan diri, uji fungsi berkemih, uji fungsi defekasi, analisis indikasi, dan
evaluasi ortosis dan prostesis. 1,2,3,4

Terdapat banyak instrumen pemeriksaan fungsional yang telah baku, contohnya, untuk
menilai aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), dapat digunakan Barthel Index dan Functional
Independence Measure (FIM). Penilaian aktivitas dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1

• Aktivitas fungsi tunggal, contoh: uji jalan, uji genggam atau pegang alat, dan uji vokasional.
Hasil uji tersebut dinilai secara kualitatif (berdasarkan penilaian subjektivitas pemeriksa)
atau secara kuantitatif (berdasarkan data kuantitatif menggunakan alat ukur yang objektif).
• Aktivitas fungsi kompleks, yaitu fungsi aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) kompleks,
antara lain mandi, berpakaian, dan toileting, serta fungsi AKS yang lebih sederhana
(contoh: berjalan, duduk). Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh dokter-dokter spesialis
KFR secara subjektif atau secara objektif menggunakan kuesioner terstandar. Terdapat
sejumlah skala pengukuran fungsi dalam bentuk kuesioner dengan metode interview
yang terstandar.
• Penilaian dampak pada status sosio-ekonomi, seperti jumlah hari absen karena sakit.
Penilaian ini digunakan untuk mengevaluasi masalah partisipasi sosial atau pekerjaan.

Terdapat banyak instrumen penilaian dalam KFR, yang merupakan kombinasi dari fungsi
tubuh, aktivitas, dan partisipasi. Instrumen penilaian tersebut digunakan untuk menetapkan
indikasi medik dan atau untuk evaluasi keluaran rehabilitasi. Instrumen yang tepat perlu
ditentukan sesuai dengan masalah fungsional individu dan fase pada proses rehabilitasi. Jika
ditemukan adanya impairment dalam aktivitas dasar, perlu dinilai apakah penurunan fungsi
tersebut menimbulkan impairment dalam pekerjaan atau partisipasinya dalam kehidupan
sosial. Sehingga, dalam menegakkan diagnosis dan pengkajian di bidang KFR, terdapat
banyak metode dan dapat melibatkan profesi dokter spesialis lain. 1,2

Perlu dilakukan penilaian faktor kontekstual yang berhubungan dengan lingkungan fisik
dan sosial menggunakan metode interview terstandar berdasarkan ICF. Terdapat kuesioner
terstandar untuk diagnosis faktor personal, seperti strategi coping pasien. Selain itu, terdapat
juga banyak alat untuk evaluasi kapasitas fungsi secara global maupun spesifik, serta proses
rehabilitasi. Beberapa alat ukur tumpang tindih dengan komponen ICF individu, seperti
Functional Independence Measure (FIM) dan Barthel-Index, yang menggabungkan aspek
fungsi tubuh, aktivitas, faktor komorbid yang relevan, dan tingkat kebutuhan akan dukungan
eksternal. Pengukuran yang dipilih tergantung dari fase dan tujuan proses rehabilitasi, serta
kapasitas fungsional individu. 1

B. Penegakan Diagnosis
Evaluasi dan pemeriksaan fisik yang dibantu pemeriksaan penunjang menghasilkan diagnosis
KFR dalam bentuk identifikasi adanya impairment, disabilitas, dan partisipasi.4 Fungsi dan
keterbatasan fungsi merupakan hal penting dalam perawatan akut, subakut, dan kronis jangka
panjang pada pasien dengan disabilitas dan penyakit kronik lainnya. Pada tahun 2001, WHO
menerbitkan ICF untuk menyatakan kondisi fungsi dan disabilitas secara menyeluruh, yang
meliputi taksonomi fungsi, aktivitas, partisipasi, dan faktor kontekstual (Tabel IV-1).3

54 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 55

Tabel IV-1. Daftar Kategori Karakter Fungsional Manusia Berdasarkan


Model ICF.3
TUBUH

Fungsi: Struktur:
• Fungsi Mental • Struktur Sistem Saraf Mata, Telinga dan
• Fungsi Sensoris dan Nyeri Struktur yang Terkait
• Fungsi Suara dan Wicara • Struktur Terlibat dan Suara dan Wicara
• Fungsi Kardiovaskular, Hematologis, • Struktur Kardiovaskular, Imunologis, dan
Imunologis dan Sistem Respirasi Respirasi Struktur Terkait Sistem Digestif,
• Fungsi Sistem Digestif, Metabolik dan Metabolik dan Endokrin
Endokrin • Struktur Terkait Sistem Genitourinaria dan
• Sistem Genitourinaria dan Reproduksi, Reproduksi
Sistem Neuromuskuloskeletal dan Gerak • Struktur Terkait dengan Gerak Kulit dan
Fungsi Kulit dan Struktur Terkait Struktur Terkait

AKTIVITAS DAN PARTISIPASI

• Belajar dan Menerapkan Pengetahuan


• Tugas-Tugas dan Kebutuhan Umum
• Komunikasi
• Mobilitas
• Perawatan Diri
• Kehidupan di Rumah
• Interaksi dan Hubungan Antar Manusia
• Wilayah Kehidupan Utama
• Kehidupan Masyarakat, Sosial dan Sipil

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN

• Produk dan Teknologi


• Lingkungan Alam dan Perubahan Lingkungan yang Dibuat Manusia
• Dukungan dan Hubungan
• Sikap
• Layanan, Sistem dan Kebijakan

Terdapat berbagai macam penyakit dan kondisi dalam lingkup layanan kedokteran fisik dan
rehabilitasi yaitu: 5
• Trauma: cedera otak, cedera medula spinalis, cedera saraf tepi, cedera olah raga, cedera
tulang, cedera sendi, cedera otot, cedera tendon dan muskuloskeletal lain, cedera akibat
penyakit jangka panjang, dan cedera terkait kerja;
• Penyakit sistem saraf: strok, penyakit degeneratif (Parkinson, Alzheimer, sklerosis multipel,
distrofi muskular, dan kompresi saraf), infeksi atau abses susunan saraf pusat (SSP),
tumor SSP, paralisis sumsum tulang karena suatu penyakit, neuropati perifer (termasuk
poliradikulopati Guillain Barre), penyakit kongenital (spina bifida), dan penyakit genetik
metabolik;
• Nyeri akut atau kronik yang ditimbulkan oleh berbagai penyebab, seperti amputasi,
perawatan pascabedah, polineuropati, dan penyakit kritis;
• Kondisi kompleks karena berbagai sebab, seperti sindrom tirah baring (bed rest syndrome),
sindrom dekondisi, dan kegagalan multiorgan;
• Penyakit sistem muskuloskeletal, seperti nyeri kronik dan akut pada area tulang belakang,
artropati infektif, penyakit degeneratif, penyakit inflamatorik (artritis), amputasi akibat
masalah vaskular, kelainan jaringan lunak termasuk fibromialgia, kelainan ekstremitas yang
kompleks, osteoporosis, sindrom nyeri kronik terkait kerja, dan chronic fatigue syndrome;
• Penyakit kardiovaskular, antara lain penyakit jantung iskemik, gagal jantung, penyakit katup
jantung, aterosklerosis, miokarditis, tekanan darah tinggi, transplantasi jantung, pasca-
coronaryartery bypass grafting (CABG), dan pasca-percutaneous transluminal coronary
angioplasty (PTCA);
• Penyakit sistem limfatik, seperti edema pascamastektomi;
• Penyakit sistem respirasi, antara lain asma, penyakit paru obstruktif kronik, fibrosis
pulmonal, pneumokoniosis, asbestosis, pascatorakotomi, bronkus hiperreaktif, dan
bronkopneumonia;
• Penyakit endokrin dan metabolik, seperti komplikasi diabetes, komplikasi sindrom
metabolik, dan obesitas;
• Penyakit sistem genitourinaria, gagal ginjal kronik, kelainan sfingter buli, inkontinensia
urine, dan adneksitis;
• Penyakit infeksi dan imunologis: HIV, penyakit autoimun (lupus, rheumatoid arthritis), dan
transplantasi sumsum tulang;
• Keganasan, nyeri, dan penurunan fungsi yang ditimbulkan;
• Penyakit terkait usia, seperti sarkopenia, frailty, atau sindroma dekondisi;
• Deformitas/malformasi kongenital pada anak, seperti skoliosis, congenital talipes
equinovarus (CTEV), dan displasia panggul.
• Gangguan perkembangan, seperti; gangguan sensorik, gangguan atensi, hiperaktif, dan
spektrum autisme.

56 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 57

Kepustakaan

1. White Book on Physical and Rehabilitation Medicine in Europe. Torino: European Board of
Physical and rehabilitation Medicine and Académie Europénne de Médecine de Réadaptation
in conjunction with European Society for Physical and Rehabilitation Medicine; 2018.

2. McPeak LA. Physiatric history and examination. In: Braddom RL (editor). Physical Medicine
and Rehabilitation, 2nd Edition. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000. pp3-45.

3. World Health Organisation. International Classification of Functioning, Disability and


Health: ICF. Geneva, Switzerland, World Health Organisation, 2001.

4. World Health Organisation.International Classification of Impairments, Disabilities and


Handicaps. Geneva, Switzerland: World Health Organisation, 1980.

5. Gutenbrunner C, Lemoine F, Yelnik A, Joseph PA, de Korvin G, Neumann V, et al. The


field of competence of the specialist in physical and rehabilitation medicine (PRM). Ann
PhysRehabil Med 2011;54:298-318.
58 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 59

Penatalaksanaan dan
Intervensi Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi
Ilmu kedokteran mendasarkan penanganan pasien pada diagnosis
etiologi, setting penanganan farmakologis dan pembedahan, dan
analisis luaran berdasarkan pemeriksaan darah atau pencitraan.
Model anatomo-clinical ini menciptakan dasar dari pengetahuan
medis yang telah lama mendominasi dan bersifat eksklusif dalam
praktik dan pendidikan kedokteran.

Namun, model pendekatan ini tidak memadai pada kondisi penyakit yang tidak dapat
disembuhkan atau yang menyebabkan disabilitas terutama pada kondisi akut yang berat
dengan sekuel jangka panjang dan kondisi patologis yang tidak dapat dikembalikan ke
kondisi semula. Kondisi disabilitas dalam konteks ini meliputi gangguan fungsi, keterbatasan
aktivitas, dan keterhambatan partisipasi. 1

Selain model anatomo-clinical, terdapat model fungsional. Model fungsional berfokus


pada pasien, bukan penyakit, yang menggambarkan faktor-faktor keterbatasan fungsi dan
lingkungan (personal dan lingkungan). Model ini lebih relevan dalam menggambarkan dan
menganalisis kondisi kronis beserta penanganannya karena mempertimbangkan situasi
disabilitas sebagai ketidak-sesuaian antara individu, lingkungan, dan keinginan personalnya
(proyek). Intervensi penanganan tidak hanya ditujukan untuk mengobati pasien dengan
menangani penyakit dan impairment yang di alami, tetapi juga pada keterbatasan aktivitas
dan keterhambatan partisipasi. Oleh karena itu, cara kerja Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
(KFR) berfokus pada 3 target, yaitu: 2

1. Individu, dengan meningkatkan proses pemulihan (penyakit dan impairment), proses


kompensasi intrinsik, kompensasi yang dibangun di dalam individu tersebut, atau
kompensasi ekstrinsik, dengan menggunakan alat bantu eksternal.
2. Lingkungan fisik, personal, profesional, dan lain-lain.
3. Proyek individual (pendidikan, pekerjaan, kehidupan personal, dan sosial) yang dapat
dimodifikasi dan diadaptasi.

60 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 61

Pada praktik KFR, pembelajaran (learning) adalah bagian dari proses rehabilitasi yang telah
mendapat perhatian besar dan pengakuan penting. Spesialis KFR adalah seorang guru terutama
mengenai pemahaman konsep baru tentang adaptasi (misalnya plastisitas) dan pembelajaran
motorik (motor learning) yang dibutuhkan untuk mendukung program rehabilitasi. Prinsip
adaptasi dan plastisitas dipelajari dalam program pendidikan KFR. Spesialis KFR juga harus
mengetahui dan memahami latar belakang teori prinsip belajar-mengajar.

Dalam masa pendidikan, calon Spesialis KFR belajar tentang bagaimana seseorang
mempelajari keterampilan motorik (motor learning). Hal ini membutuhkan pemahaman
terhadap faktor-faktor sebagai berikut:

• Perkembangan motorik: bagaimana mencapai kapasitas mengembangkan keterampilan


motorik untuk meningkatkan performa akhir.
• Kontrol motorik: bagaimana sistem saraf mengontrol gerakan.
• Motivasi: bagaimana memotivasi individu untuk belajar keterampilan motorik dan
berpartisipasi dalam program rehabilitasi.
• Praktik mengajar untuk pelatihan fisik: bagaimana lingkungan terapi dapat mengoptimalkan
peningkatan keterampilan motorik.

Pengetahuan ini melengkapi Spesialis KFR untuk mendesain strategi peningkatan luaran dan
menghindari maladaptasi. Konsep modern tentang pembelajaran motorik dan pemulihan
dikembangkan dengan tujuan menginduksi pencapaian keterampilan yang relevan untuk
aktivitas kehidupan sehari-hari pasien. Beberapa pendekatan sangat bermanfaat untuk
mencegah fenomena learned non-use dan untuk memulihkan fungsi. Namun, program yang
terlalu intensif dapat berdampak sebaliknya dan menyebabkan kegagalan proses adaptasi
alamiah.

Terdapat dua macam pembelajaran yaitu eksplisit dan implisit. Pembelajaran eksplisit dan
implisit diduga menggunakan jaras saraf yang berbeda. Proses pembelajaran implisit sering
digunakan dalam cedera neurologis, terutama yang melibatkan gangguan daya ingat berat.
Walaupun proses pembelajaran implisit lebih sering digunakan, kedua prosedur pembelajaran
ini memiliki potensi dalam seluruh aspek KFR. Pemulihan fungsi, baik secara spontan atau
dengan bantuan terapi, merupakan proses ganda plastisitas yang saling bergantung dan
didorong oleh perubahan pada sistem saraf dan muskuloskeletal. Proses neuroplastik
tergantung pada aktivitas efektor otot, tetapi ekspresinya tergantung pada perintah dan
regulasi neurologis.

Spesialis KFR merangkum semua konsep fungsional yang baru dan bekerjasama dengan
terapis untuk mengembangkan konsep rehabilitasi secara menyeluruh, misalnya konsep
struktur otak dan fungsinya. Serebelum dan basal ganglia penting dalam pembelajaran motorik
yang memungkinkan pasien untuk meraih perilaku terlatih. Bila struktur ini utuh pascacedera
otak, peraihan kembali keterampilan dimungkinkan melalui latihan repetitif untuk mengatasi
kesulitan dalam mempelajari keterampilan motorik baru, kontrol postural yang terbatas, dan
defisit koordinasi sensori-motor. Terdapat hubungan antara dampak dari retensi memori yang
dicapai dari latihan repetitif dalam kurun waktu tertentu dengan jumlah latihan yang diberikan.
Spesialis KFR perlu meresepkan dan mengatur jadwal terapi yang berbeda untuk mengatasi
efek inadekuat dari gerakan repetitif sederhana. Metode kompensasi berkembang melalui
repetisi murni untuk menimbulkan perubahan kortikal (pemulihan yang sesungguhnya),
sehingga individu harus dipaparkan pada aktivitas yang lebih menantang.

Pemulihan fungsi, perbaikan aktivitas, dan pengurangan keterhambatan partisipasi merupakan


gol utama dalam KFR. Hal ini terutama ditujukan untuk pasien dengan defisit motorik yang
merupakan penyebab utama disabilitas di dunia. Pemulihan motorik meliputi perbaikan
fungsi secara spontan atau dengan induksi program rehabilitasi pascakerusakan sistem
muskuloskeletal dan/atau saraf. Penelitian longitudinal tentang pemulihan motorik alamiah
pascastroke menunjukkan bahwa kurva pemulihan tidak mengikuti proses linier melainkan
kurva sigmoid. Pada fase awal (3 bulan pertama), terjadi pemulihan yang relatif cepat, tetapi
fase kedua pemulihan fungsi motorik menjadi lebih lambat atau cenderung mendatar.

Pemulihan motorik melibatkan 2 komponen yaitu pemulihan sesungguhnya dan kompensasi.


Secara neurologis, pemulihan motorik sesungguhnya mengacu pada kapasitas vikaris dari
sistem motorik manusia untuk memulihkan fungsi motorik total atau parsial pascalesi. Hal ini
terjadi akibat mekanisme plastisitas otak pada saat diaschisis mengalami regresi, reorganisasi
korteks sensorimotor kontralateral dan keterlibatan hemisfer yang sehat, pemulihan konduksi
jaras kortikospinal atau jaras motorik, rekrutmen koneksi parieto-frontal yang sebelumnya
sudah ada, dan modifikasi konektivitas antarhemisfer. Pemulihan sistem muskuloskeletal
menggunakan prinsip restitutio ad integrum (kembali ke kondisi semula) meskipun kadang-
kadang pemulihan anatomi dan fungsi tidak dapat kembali normal hanya mendekati normal
(dengan beberapa sisa jaringan parut yang menyebabkan hambatan di masa depan).

62 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 63

Mekanisme kompensasi diadopsi untuk meraih fungsi sebaik mungkin (aktivitas dan partisipasi)
pada saat tidak memungkinkan terjadi pemulihan anatomi komplit. Kompensasi dilakukan
dengan melibatkan otot-otot alternatif untuk melakukan gerakan atau struktur/fungsi tubuh
yang lain untuk mengompensasi bagian yang rusak. Penggunaan prostesis dan ortosis juga
merupakan bentuk alat kompensasi yang sering digunakan dalam KFR.

Pembelajaran motorik merujuk pada kemampuan sistem motorik manusia untuk belajar melalui
praktik dan pengalaman. Pembelajaran motorik terdiri dari adaptasi motorik, akuisisi keterampilan,
dan pembuatan keputusan. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan pada subjek normal untuk
memperoleh kemampuan motorik baru atau pada pasien untuk memperbaiki pemulihan motorik.7

A. Pemulihan Motorik
a. Adaptasi Motorik
• Adaptasi motorik adalah proses yang memungkinkan terjadinya perencanaan yang lebih
baik untuk meminimalkan penggunaan energi dan mengoptimalkan efisiensi gerakan
apapun kondisi lingkungan dan situasi dari efektor.
• Banyak perturbasi lingkungan atau perubahan biologi, misalnya pertumbuhan atau proses
menua, yang membutuhkan adaptasi.
• Dalam praktik KFR, adaptasi motorik diperlukan karena proses patologis bertanggung
jawab atas lesi rangka, saraf, otot, atau gangguan bioenergetika.
• Mekanisme yang terlibat sangat kompleks, membangkitkan banyak model perilaku atau
komputasional dari kontrol dan adaptasi motorik.
• Bila melibatkan neuroplastisitas, terutama pada fungsi sinaptik, kita harus mengingat
bahwa plastisitas merupakan properti biologis umum yang juga memperhatikan efektor
dengan jaringan penyusun yang berbeda seperti tulang, sendi, dan otot rangka.
• Plastisitas otot rangka bertanggung jawab pada proses conditioning yang merupakan hasil
dari latihan fisik dan deconditioning akibat imobilitas kronis atau kelaparan. Deconditioning
sering terjadi pada pasien penyakit saraf, kardiovaskular, respirasi, dan ginjal, yang kadang-
kadang mengganggu kemandirian pasien. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan
beberapa program aktivitas yang berfokus pada ketahanan (endurance).

b. Strategi motorik
• Beberapa keterampilan bergantung pada perkembangan dan pembelajaran motorik
menyebabkan pembentukan model internal secara progresif yang memprediksi
konsekuensi sensorik dari berbagai perintah motorik
• Dalam bidang KFR, pasien mengembangkan pembelajaran yang ditandai oleh proses
reoptimalisasi kondisi baru akibat gangguan fungsinya
• Proses utama representasi fungsional saraf, suatu merupakan model internal, yang
banyak digunakan pada program rehabilitasi adalah transfer bilateral.

c. Adaptasi sensori-motor
• Adaptasi motorik dapat diinduksi sebagai respons terhadap perturbasi eksternal.
• Adaptasi sensorimotor dihasilkan pascagerakan repetitif cepat yang menyebabkan
penyelarasan proprioseptif sehingga menciptakan proses koordinasi.
• Proses ini sangat bermanfaat untuk program rehabilitasi pasien dengan gangguan
spatial dan neglect.

d. Adaptasi sensori-motor dan ekspansi kognitif


• Adaptasi sensori-motor dapat berinteraksi dengan fungsi luhur yang berhubungan
dengan integrasi multisensorik dan mempengaruhi beberapa gejala yang bebas dari
respon manual (neglect auditorik dan neglect representasional) dan defisit non-neglect
misalnya defisit konstruksional, navigasi dan reduksi complex regional pain syndrome.
• Untuk mendapatkan efek kognitif pasca program latihan, intensitas penyelarasan
spasial harus cukup kuat.

e. Mekanisme adaptasi lain


• Mekanisme ini disebut mekanisme adaptasi eksternal (di luar lokasi anatomi maupun
di luar tubuh pasien). Adaptasi eksternal di luar struktur anatomi melibatkan struktur
dan fungsi bagian tubuh yang lain. Contoh adaptasi eksternal di luar tubuh pasien
adalah prostesis / ortosis.
• Untuk memperkuat efek mekanisme adaptasi lain ini agar meraih hasil fungsional
sebaik mungkin, diperlukan pendekatan dan edukasi KFR yang baik, antara lain tentang
informasi, edukasi, dan latihan.

f. Adaptasi, habilitasi, dan rehabilitasi


• Proses adaptasi, terutama adaptasi motorik, merupakan hal yang penting dalam
KFR. Adaptasi motorik melibatkan interaksi sensorimotor dalam respons terhadap
perturbasi eksternal atau perubahan pada tubuh dan bergantung pada praktik latihan
berulang durasi pendek.
• Adaptasi dipelajari secara implisit tanpa melibatkan awareness subjek, sehingga
mudah diaplikasikan pada pasien dengan gangguan otak dan defisit perhatian. Hal

64 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 65

ini melibatkan efek jangka panjang pascalatihan sensorimotor dan kognitif melalui
bottom-up track.
• Proses neurofisiologi ini memainkan peran yang berbeda dalam rehabilitasi (pada
dewasa) dan habilitasi (pada masa pertumbuhan). Dalam upaya rehabilitasi, proses
neurofisiologi bertujuan memulihkan partisipasi sebaik mungkin pada kondisi defisit
total atau parsial. Dalam upaya habilitasi, proses neurofisiologi bertujuan menghindari
efek negatif pada perkembangan struktur/fungsi tubuh yang intak akibat kerusakan
awal, menghindari impairment sekunder, memungkinkan pencapaian aktivitas sebaik
mungkin, dan meningkatkan partisipasi.
• Dalam habilitasi, upaya untuk menjadikan pertumbuhan sebagai gaya pendorong
menuju kondisi natural sering tidak menghasilkan kompensasi yang efektif bahkan
merusak. Namun, bila pertumbuhan diarahkan pada proses adaptasi yang benar dapat
menyebabkan terjadinya kompensasi yang baik pada waktu yang tepat.

B. Evaluasi Potensi Pemulihan dan Prognosis dalam KFR

Pemulihan fungsional adalah tujuan seseorang setelah mengalami penyakit, cedera atau kondisi
kesehatan yang lain (misalnya menua). Upaya mencari penanganan rehabilitasi dimaksudkan
untuk mendapatkan kembali fungsi sebaik mungkin. Spesialis KFR dilatih untuk melihat seorang
pasien bukan hanya sebagai kelompok organ dan sistem dengan sisa fungsi atau struktur
tertentu, tetapi juga memandangnya secara keseluruhan pada level fungsi tertentu.

Perencanaan rehabilitasi membutuhkan pemahaman tentang level fungsi premorbid dan


image yang ada dalam pemikiran tentang fungsi akhir. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, proses pemulihan tidak mengikuti kurva linier, tetapi kurva sigmoid yang
menunjukkan percepatan pemulihan pada fase pertama, perlambatan pada fase kedua,
dan semakin lama menunjukkan gambaran mendatar. Panjangnya fase pertama berbeda-
beda pada berbagai kondisi patologis dan merupakan periode yang paling penting bagi
program rehabilitasi untuk meningkatkan pemulihan secara kualitas dan kuantitas.

Perspektif KFR berfokus pada manusia bukan pada penyakitnya, sehingga prognosis hanya
sebagian saja didasarkan pada riwayat alami penyakit yang mendasari. Selain itu, KFR
juga perlu mempertimbangkan komorbiditas, faktor personal, dan lingkungan sebagai
penghalang dan/atau fasilitator pemulihan. Peran dan tujuan pasien merupakan penentu
prognosis akhir dan keseluruhan proyek penatalaksanaan rehabilitasi.
Diperlukan keterampilan komunikasi dan kepemimpinan Spesialis KFR untuk memberikan
pemahaman terhadap proses rehabilitasi yang akan dilakukan oleh pasien. Di samping
itu, Spesialis KFR memainkan peran penting dalam proses rehabilitasi karena telah dilatih
untuk mengembangkan keterampilan memimpin tim multiprofesional, berkolaborasi
dengan disiplin ilmu lain, dan memiliki kapasitas untuk memberikan penilaian menyeluruh
dari status fungsional pasien yang kompleks dan kemungkinan luaran tertentu di kemudian
hari berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia.

C. Proses Rehabilitasi: Penilaian, Penetapan Gol,


Intervensi, dan Evaluasi

Spesialis KFR terlibat dalam manajemen pasien dengan berbagai kondisi kesehatan yang
berbeda dengan berfokus pada efek kondisi pada fungsi dan partisipasi pasien. Spesialis
KFR menangani, memimpin, dan mengkoordinasikan proses rehabilitasi berorientasi
pada masalah, berpusat pada pasien, dan pendekatan holistik. Proses rehabilitasi dimulai
dengan diagnosis medik dan berlangsung sepanjang pasien memerlukan intervensi
rehabilitasi. Proses rehabilitasi terdiri dari 4 tahap :

1. Penilaian
• Identifikasi keberadaan dan berat masalah pasien.
• Identifikasi ini meliputi penilaian fungsi berdasarkan ICF framework, dengan membuat:
i. Daftar impairment dari fungsi dan struktur tubuh, keterbatasan aktivitas, dan
keterhambatan partisipasi.
ii. Di samping itu juga harus diidentifikasi :
1. Faktor lingkungan (dukungan dan sikap keluarga, teman, masyarakat,
lingkungan fisik, kesehatan, dan pelayanan lain, dan lain-lain),
2. Faktor personal (gaya hidup, kebiasaan, pendidikan, ras/etnik, kejadian dalam
kehidupan, dan latar belakang sosial),
3. Faktor prognostik,
4. Kebutuhan dan potensi rehabilitasi individu,
5. Harapan dan ekspektasi pasien.

2. Penetapan gol --> tujuan akhir / capaian


Dengan mempertimbangkan masalah dan potensi yang teridentifikasi pada tahap penilaian,
perencanaan rehabilitasi secara spesifik individual ditentukan pada fase penetapan gol.

66 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 67

• Perencanaan ini terdiri dari gol jangka pendek dan gol jangka panjang terkait dengan
durasi waktu pencapaiannya.
• Keterlibatan pasien, keluarga, dan care-giver dalam penentuan gol ini merupakan hal
yang sangat penting.
• Pada tahap ini juga ditetapkan gol untuk intervensi spesifik dan anggota tim yang
terlibat dalam pencapaian gol tersebut. Seleksi intervensi lebih mudah menggunakan
model ICF.

3. Intervensi
• Pada tahap intervensi, semua intervensi terapeutik, edukasi, dan suportif terspesifikasi
dalam perencanaan rehabilitasi sesuai dengan gol yang telah ditetapkan.
• Intervensi sebaiknya ditujukan untuk mencegah, menstabilkan, memperbaiki, atau
memulihkan gangguan fungsi dan struktur tubuh dan untuk mengoptimalkan aktivitas
dan partisipasi sesuai kapasitas dan performa individu dan lingkungan.

4. Evaluasi
• Tahap evaluasi bertujuan mengukur efek program intervensi terhadap gol yang telah
ditetapkan.
• Tim KFR perlu menentukan apakah masih terdapat masalah yang belum terselesaikan.
Program KFR yang telah ada ditelaah dan direncanakan kembali sesuai dengan gol
yang baru. Proses ini terjadi berulang-ulang hingga gol yang ditetapkan tercapai.
• Pada akhir proses rehabilitasi pasien, keluarga, dan care-giver harus diberi informasi
tentang program pemeliharaan kesehatan, follow up (bila diperlukan), dan bagaimana
mengakses pelayanan.

D. Prinsip Dasar : Menetapkan Tujuan Optimal

Layanan rehabilitasi medik adalah suatu proses yang bertujuan mengoptimalkan kemampuan
individu untuk mempertahankan dan mencapai tingkat fungsi fisik, mental, emosional, sosial,
dan spiritual1 untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Dalam hal ini, pasien dan
dokter memiliki tujuan yang sama.2 Tujuan tersebut harus diupayakan bersama oleh stakeholders
sehingga layanan medis tidak berhenti sebatas gejala penyakit berkurang atau hilang.

Ukuran terbaik atas nilai suatu layanan kedokteran adalah peningkatan perbaikan fungsi
dan kualitas hidup seorang pasien. Hasil rehabilitasi diukur dari parameter kinerja pasien
sepanjang sisa hidupnya. Anderson telah membuat ukuran fungsional tentang luaran
rehabilitasi yang dimodifikasi dari Williamson dengan cara mengkaji kinerja pasien di sisa
hidupnya seperti tertera dalam Tabel V-1.2.

Tabel V-1. Skala Luaran Fungsional Rehabilitasi2

1. Normal atau asimptomatik


2. Simptomatik
3. Mandiri secara parsial (lebih dari 50% tidak tergantung)
4. Tergantung secara parsial (lebih dari 50% tergantung)
5. Tergantung total
6. Meninggal

Skala ini dipakai untuk menilai kinerja fungsional pasien dalam kondisi penyakit yang
memburuk atau terjadi disabilitas sehingga menurunkan kemandirian pasien sampai
meninggal. Dengan rehabilitasi, pasien dapat bergerak maju melalui tahapan peningkatan
kemandirian sampai tingkat kemampuan fungsional yang optimal. Pemulihan fungsi,
aktivitas, dan partisipasi dapat dicapai melalui rehabilitasi restoratif atau kompensasi
(substitusi) tergantung pada protensi yang ada pada dirinya. 2

Sebagai contoh kasus, pada kasus pasien dengan fraktur humerus dan cedera saraf radialis pada
tangan yang dipakai untuk menulis, perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami disabilitas
menulis tanpa pemulihan saraf radialisnya, pasien perlu menjalani program latihan sistematik
untuk mengembangkan kemampuan menulis dengan tangan yang sehat. Dengan demikian,
pasien telah mengatasi disabilitasnya walaupun masalah cedera saraf radialis masih ada.2

Pelayanan komprehensif pada kedokteran fisik dan rehabilitasi mulai dari aspek promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Strategi rehabilitasi pencegahan merupakan titik berat
pelayanan yang dianut rehabilitasi medik saat ini, artinya pencegahan disabilitas harus
dilakukan sejak dini. Apabila tidak dapat dicegah, tetap dilakukan upaya agar pasien dapat
mencapai tingkat kemandirian seoptimal mungkin, sesuai dengan potensi yang dimilikinya.2

Layanan rehabilitasi yang komprehensif harus berorientasi pada hasil akhir. Layanan
dilakukan dengan mengembangkan suatu metode komprehensif melalui bimbingan,
edukasi, dan latihan untuk mendapatkan hasil akhir yang optimal. Walaupun telah tercapai
perbaikan selama rawat inap di rumah sakit, aspek lain dalam kehidupan pasien di rumah
dan di masyarakat setelah pulang perlu diperhatikan serta potensi pasien digali lebih jauh
agar dapat mencapai tingkat kemandirian dan kualitas hidup yang lebih tinggi. 2

68 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 69

Tujuan layanan yang komprehensif ini harus mencakup pencapaian fungsional secara
optimal bagi setiap individu, di rumah maupun di masyarakat, selama hidupnya. Gambar
V-1 menunjukkan Skala Hasil Akhir Fungsional rehabilitasi berdasarkan kinerja fungsi
individu. Semenjak seseorang lahir, laju peningkatan fungsi sangat pesat pada masa kanak-
kanak dan berlanjut hingga mencapai puncaknya pada usia dewasa muda. Jika kesehatan
tubuh dapat dipertahankan dan dijaga, fungsi ini dapat bertahan mendekati maksimal
hingga lanjut usia, dan meninggalnya seorang individu menjadi titik akhir fungsi.2

FUNGSI

Optimal 5

Mandiri 4

Tidak Mandiri Parsial 3

Tergantung Parsial 2

Tergantung Total 1

0
LAHIR ANAK DEWASA PENSIUN MENINGGAL

Gambar V-1. Kinerja manusia sebagai ukuran kesehatan selama hidup. Kinerja fungsional orang
normal yang sehat didapat sejak usia kanak-kanak dan dipertahankan hingga mencapai usia dewasa.2

Penurunan kemampuan fungsional seseorang ketika terjadi disabilitas pada masa dewasa
diperlihatkan pada Gambar V-2. Penyakit secara mendadak dapat menurunkan kapasitas
fungsional seorang individu sampai bergantung sepenuhnya pada orang lain. Perawatan
medis dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasien (kurva A), tetapi pasien
bergantung sepenuhnya atau sebagian pada orang lain di sepanjang sisa hidupnya. Jika
diberikan perawatan medik dan layanan rehabilitasi yang terbatas, pasien dapat dipulihkan
ke tingkat fungsi yang lebih tinggi. Namun, jika rehabilitasi tidak diikuti dengan program
pemeliharaan yang cukup, dapat terjadi penurunan fungsi secara progresif sampai ke
tingkat ketergantungan (Kurva B). Bila layanan rehabilitasi mencakup pelatihan yang
cukup serta memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mempertahankan tingkat
fungsional di sepanjang hidupnya, maka hasil akhir yang optimal dari program dapat lebih
sustainable seperti ditunjukkan oleh Kurva C. 2
FUNGSI

Optimal 5
C. Pemeliharaan

Mandiri 4
B

ilitasi
Tidak Mandiri Parsial 3

Rehab
A. K
Tergantung Parsial 2 eta
han
an
hid
up
Tergantung Total 1

Disabilitas
0
LAHIR ANAK DEWASA PENSIUN MENINGGAL

Gambar V-2. Kinerja fungsional individu dewasa yang mengalami gangguan fungsi dapat
tetap berada pada tingkat ketergantungan atau hanya pulih sebagian jika tidak ditunjang
dengan rehabilitasi yang adekuat dan program pemeliharaan yang sesuai.2

Kurva hasil fungsional potensial pada anak dengan disabilitas dalam perkembangannya
diilustrasikan pada Gambar V-3. Anak yang tidak menjalani rehabilitasi tetap menjadi
sangat tidak mandiri hingga puluhan tahun kemudian dan mengalami ketergantungan
total. Pemberian layanan rehabilitasi yang tidak optimal dapat saja meningkatkan kinerja
kemampuan fungsional dalam jangka waktu tertentu, tetapi tetap menjadikan individu
tersebut bergantung pada orang lain. Tujuan pemulihan dan pemeliharaan pada anak
harus mencakup kemandirian hidup, pendidikan, dan produktivitas selama rentang
kehidupan normal individu.2

70 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 71

FUNGSI

Optimal 5
pemeliharaan optimal
Mandiri 4

Tidak Mandiri Parsial 3

Tergantung Parsial 2

Tergantung Total 1

kecacatan yang tidak diterapi


0
LAHIR ANAK DEWASA PENSIUN MENINGGAL

Gambar V-3.Rehabilitasi pada anak dengan gangguan fungsi sangat penting, karena tanpa
itu individu tidak memiliki kesempatan untuk dapat berkembang dan dapat tetap menjadi
sangat dependen sepanjang hidupnya selama berpuluh-puluh tahun.2

Kemampuan pasien dan seorang dokter untuk menghilangkan disabilitas pada penyakit
kronis bergantung pada kapasitas residual dari pasien untuk adaptasi fisiologi dan psikologi.
Kekuatan residual pasien harus dievaluasi dan dilatih untuk menghilangkan disabilitas. Jika
suatu penyakit tidak dapat ditangani, baik melalui prosedur medik maupun bedah, yang
dapat dilakukan adalah mengurangi impairment. Sebagai contoh, otot yang lemah dapat
diperkuat atau gangguan pendengaran dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu
dengar. Dalam kasus penyakit kronis, penyakit dan impairment tidak dapat diminimalkan
sehingga intervensi tertuju pada disabilitas dan gangguan fungsi. Kunci keberhasilan suatu
program rehabilitasi adalah kemampuan dalam mengidentifikasi kemampuan fungsi yang
masih utuh. Saat kemampuan fungsi yang masih utuh dapat digunakan dan diadaptasi
pada suatu kondisi yang baru, maka kemandirian secara fungsional dapat dicapai.3
Tabel V-2. Fokus intervensi dan contoh strategi rehabilitasi terkait 3

Fokus Intervensi Contoh Strategi Rehabilitasi

Fungsi dan struktur tubuh Mencegah kondisi sekunder, mengurangi cedera, dan
(impairment) meningkatkan kesehatan dan fungsi melalui latihan,
edukasi, penyediaan peralatan, manajemen medis, dan
intervensi psikologis.

Aktivitas Memaksimalkan kapasitas fungsi melalui latihan


(keterbatasan aktivitas) fungsional, latihan lokomotor, dan penyediaan peralatan.

Partisipasi Memfasilitasi partisipasi melalui program reintegrasi ke


(hambatan partisipasi) komunitas, advokasi, dan penyediaan peralatan.

Faktor lingkungan Mengoptimalkan fungsi melalui adaptasi arsitektural;


edukasi, latihan, dan dukungan keluarga serta lingkungan
sosial lainnya; dan akses ke sumber dukungan sosial di
masyarakat.

Faktor personal Memfasilitasi partisipasi melalui pelatihan vokasional dan


avokasional dan terapi perilaku kognitif.

Kebutuhan rehabilitasi pasien berbeda-beda berdasarkan fase perkembangan penyakit,


yaitu fase akut, pascaakut, dan kondisi stabil dengan gejala sisa. Kebutuhan pasien selama
fase-fase tersebut tercantum dalam Tabel V-3.3

Tabel V-3. Kebutuhan rehabilitasi pasien berdasarkan fase penyakit.3

Kebutuhan Diagnosis dan pengkajian atas penurunan fungsi; Pencegahan untuk


pasien selama penyulit yang lazim: penyulit-penyulit harus diantisipasi dan dikenali
fase akut oleh spesialis KFR (penurunan kondisi tubuh dan malnutrisi, pressure
ulcers, trombosis, kontraktur sendi, spastisitas, dan gangguan mood);
Preservasi atau pemulihan fungsi utama, kapasitas, partisipasi; Orientasi
dan integrasi secepat mungkin terhadap program KFR spesifik yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan pasien; Penjelasan
program dan target berjangka untuk pasien dan keluarganya bersama
dengan tenaga profesional untuk mereka, seperti dokter umum,
perawat, atau terapis fisik; Adaptasi terhadap program-program
tersebut secara spesifik untuk pasien dan keluarganya; Rencana
pulang dari rumah sakit.

72 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 73

Kebutuhan Diagnosis dan terapi penyulit yang terkait dengan patologi dan
pasien selama penyulit awal; Evaluasi berdasarkan definisi ICF, presentasi dan
fase koordinasi program KFR tentang target yang diharapkan, alat dan
subakut di metode yang akan digunakan untuk menilai hasil, dan definisi bekerja
rumah sakit sama dengan pasien dan keluarganya untuk mencapai target terapi,
dengan fase, dan pengkajian yang diatur.
fasilitas KFR

Kebutuhan Penilaian disabilitas jangka panjang, keterbatasan aktivitas, dan


pasien selama hambatan partisipasi serta potensi rehabilitasi; Tindak lanjut jangka
keadaan stabil panjang pada pasien disabilitas, termasuk penyesuaian terapi
terhadap kemajuan atau penurunan kapasitas fungsional pasien,
kemajuan, dan teknologi terapi; Analisis faktor-faktor kontekstual
yang mempengaruhi fungsi; Membuat rencana KFR jangka panjang;
Meresepkan intervensi KFR termasuk bantuan teknis dan koordinasi
dengan tim profesional; Penyuluhan kepada pasien dan keluarganya;
Dukungan partisipasi termasuk kembali bekerja dan aktivitas hiburan
serta dukungan sosial.

Pencegahan Mengajarkan dan menerapkan cara-cara pencegahan primer seperti


penatalaksanaan faktor risiko (misalnya hipertensi untuk stroke),
aktivitas fisik dan makanan sehat; Mengajarkan perilaku sehat, baik
untuk orang sehat dan orang dengan kondisi kronis (misanya teknik
mengangkat dan membawa, latihan fisik dan lainnya) dengan
perspektif jangka panjang; Pencegahan penyulit setelah cedera atau
penyakit akut dan selama fase rehabilitasi fase akut (lihat di atas).

Rehabilitasi komprehensif terhadap pasien dengan impairment fisik dan/atau kognitif


mungkin merupakan tugas yang kompleks. Perlu dipertimbangkan berbagai aspek antara
lain aspek psikologik, religius, vokasional, sosial, kebutuhan, keinginan, dan prioritas.4
Dalam program rehabilitasi, pasien sebagai anggota tim diharapkan berperan penuh
dalam program rehabilitasi sejak fase akut. Oleh karena itu, diperlukan orientasi dan
penjelasan mengenai proses rehabilitasi.

Dokter spesialis KFR selain berpengetahuan dalam bidang perawatan medik untuk
penyakit yang mengakibatkan disabilitas atau cedera juga memiliki wawasan pengetahuan
tentang keahlian dari profesi lain dalam tim rehabilitasi. Hal ini merupakan dasar untuk
mengidentifikasi aktivitas fungsional mana yang perlu diperbaiki pada seorang pasien
dan anggota tim yang diminta melaksanakan terapi. Contoh penetapan tujuan program
rehabilitasi diberikan pada Gambar V-4. Spesialis KFR perlu mengetahui teknik dan
intervensi terapeutik dari berbagai disiplin ilmu yang termasuk anggota tim serta
menetapkan tindakan yang perlu diberikan kepada pasien serta tindakan yang merupakan
kontraindikasi.4
Aktivitas Fungsional TERAPIS

Mobilitas
FISIOTERAPIS
Transfer

Positioning
TERAPIS OKUPASI
toilet dan higiene

berpaikan

TERAPIS WICARA
makan

komunikasi

Gambar V-4. Terapi rehabilitatif menyeluruh tertuju pada defisiensi spesifik pasien serta
koordinasi tim agar setiap kebutuhan terlayani tanpa duplikasi .4

Ada berbagai metode yang digunakan dalam merancang program intervensi bidang
kedokteran fisik dan rehabilitasi (KFR) didasarkan pada diagnosis penyakit, asesmen
keterbatasan fungsi, keterbatasan aktivitas, hambatan partisipasi, dan kinerja fungsional
pasien.5 Intervensi dirancang dan dilakukan oleh spesialis KFR, tetapi ada juga yang
pelaksanaannya dilakukan oleh tenaga kesehatan anggota tim rehabilitasi yang lain
seperti fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara dan bahasa, ortotis-prostetis, perawat
rehabilitasi, psikolog, pekerja sosial medik, dan lainnya. Tenaga profesional lain dapat
berperan sebagai bagian dari pelayanan menyeluruh yang diberikan tim KFR. 3, 5

TABEL V-4. Berbagai jenis intervensi dalam KFR antara lain:3


(mengikuti European White Book 2018 apendix 4A)

Intervensi Intervensi medis yang menargetkan pengembalian atau perbaikan struktur


Medik dan/atau fungsi tubuh, contoh: terapi nyeri, terapi inflamasi, regulasi
tonus otot, perbaikan kognisi, perbaikan fungsi fisik, perbaikan kesehatan
tulang, pengobatan depresi atau gangguan mood, pengobatan kandung
kemih, pencernaan, atau disfungsi seksual atau sisa atau komplikasi lain
dari kondisi neurologis yang menyebabkan kecacatan (contoh : osifikasi
heterotopik, disrefleksi autonomik, hipotensi ortostatik)

74 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 75

Prosedur praktik, termasuk injeksi–contoh : anestesi, kortikosteroid, injeksi


asam hialuronat intraartikular atau epidural atau injeksi trigger point),
terapi neural, terapi injeksi regeneratif/ pendekatan teknik jaringan/ terapi
biologis (contoh : proloterapi dekstrosa, platelet rich plasma, autologous
conditioned serum, autologues protein solution, autologues mesenchymal
atau sel punca lain), injeksi toksin botulinum, terapi/injeksi oksigen
ozon—, blokade saraf, serta berbagai teknik administrasi obat (contoh :
iontoforesis, penggunaan pompa intratekal-baklofen, dan lain-lain)

Pemeriksaan dan peninjauan intervensi, termasuk elektromiografi dan


ultrasound diagnostik

Prognostikasi

Intervensi Kinesioterapi dan terapi latihan


KFR dengan
agen fisik Teknik neurofasilitasi (contoh: terapi neurodevelopmental/ Bobath,
dan latihan pendekatan Brunnstrom, teknik Rood, fasilitasi proprioseptif
terapeutik neuromuskular, terapi sensori integrasi, terapi Vojta) dan latihan repetitif
(contoh: terapi gerakan diinduksi tegangan)

Terapi getaran sebagai intervensi latihan (contoh: whole-body vibration)

Latihan permainan dengan sistem virtual reality/konsol permainan/


permainan video

Terapi gerakan meditatif (contoh: qigong, yoga, taichi)

Teknik terapi manual untuk sendi kaku reversibel dan disfungsi jaringan
lunak yang berhubungan, serta traksi manual (traksi dengan alat juga bisa
dilakukan)

Manuver (contoh: manuver reposisi spesifik – Epley, Liberatory, Semont


dalam konteks rehabilitasi vestibular/vertigo; manuver fisik berlawanan
untuk manajemen hipotensi ortostatik)

Terapi fisik respiratorik – metode dan teknik untuk kebersihan jalan nafas,
terapi inhalasi, latihan napas,
Terapi pijat
Terapi listrik (contoh: teknik stimulasi lustik-TENS, FES, stimulasi tulang
belakang)
Teknik neuromodulasi atau stimulasi otak noninvasif (contoh: TDCS, RTMS,
CES, RINCE)
Terapi magnet (contoh: PEMF untuk meringankan nyeri, perbaikan tulang
dan kartilago, penyembuhan luka, dan rehabilitasi uroginekologi)

Terapi fisik lain termasuk ultrasound, extracorporeal shock wave therapy,


terapi termal, short wave diathermy, electrotherapy, terapi ozon, dan lain-lain

Fototerapi (contoh: therapy UV, laser termasuk Low Level Laser Therapy
[LLLT], dan High-Intensity Laser Therapy [HILT]).
Hidroterapi dan balneoterapi.

Klimatoterapi.

Animal assisted activity dan animal-assited therapy (contoh: hippotherapy,


terapi drainase limfatik manual, kompresi pneumatik intermiten,
compression dressing, dan kinesiotape).

Terapi hiperbarik untuk ulkus dekubitus, ulkus jari, penyembuhan patah


tulang dan kondisi iskemi neurologis (stroke, TBI, Bell’s Palsy).

Akupuntur dan pendekatan pengobatan kompelementari dan alternatif


(contoh: terapi cupping).

Terapi Analisis terapi okupasional dan latihan aktivitas sehari-hari dan okupasi.
Okupasional
Melatih pasien mengembangkan keterampilan untuk mengatasi hambatan
aktivitas sehari-hari.
Latihan untuk mengatasi gangguan fungsi dan kognisi.
Mengajari strategi untuk menghindari gangguan kognitif.
Rehabilitasi mengemudi.
Alat penyokong struktur tubuh yang terganggu (contoh: splint).
Intervensi ergonomik untuk memfasilitasi fungsi.
Menyesuaikan lingkungan kerja dan lingkungan rumah.
Intervensi return-to-work/ manajemen disabilitas kerja (dengan arahan orang
atau pekerjaan) dalam konteks rehabilitasi vokasional atau okupasional, contoh:
konseling, support, edukasi, pelatihan kerja, dukungan dalam lingkungan
kerja, konsultasi psikososial, pelatihan keterampilan coping, terapi pemecahan
masalah, pelatihan vokasional/okupasional intervensi dan komunikasi dengan/
antara pegawai/manajer, teman, profesi kesehatan untuk tambahan intervensi
yang lain dalam rangka mengurangi keterbatasan aktivitas dan restriksi
partisipasi, teknologi asistif, dan penyesuaian tempat kerja.
Terapi alam/ terapi holtikultural.
Terapi seni/musik/tari.
Memfasilitasi akses untuk penggunaan teknologi informasi termasuk
telemonitoring dan intervensi telerehabilitasi.
Teknologi smart home.
Meningkatkan motivasi.

Terapi bicara Tambahan dari terapi bicara dan bahasa konvensional, pendekatan inovatif
dan bahasa pada patologi bicara dan bahasa (contoh: aplikasi teknologi kesehatan).
dalam rangka
kerja program
spesialisasi KFR
kompleks

76 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 77

Manajemen Memperbaiki fungsi yang terganggu, menggunakan intervensi kompensasi


disfagia untuk memfasilitasi proses menelan, dan bantuan (penggunaan postur
spesifik, manuver menelan, modifikasi ukuran dan konsistensi bolus,
latihan struktur dalam menal, stimulasi termal/taktil, NMES, feeding tube,
dan prostetik intraoral).

Intervensi Pelatihan ulang kognitif, stimulasi kognitif, dan intervensi berbasis


neuro- komputer dalam konteks rehabilitasi kognitif.
psikologik

Intervensi Teknik kognitif atau tingkah laku termasuk komplementari dan intervensi
psikologis pengobatan alternatif (contoh: Cognitive Behavioral Therapy, terapi
termasuk penerimaan dan komitmen, strategi relaksasi, terapi mind and body
konseling [mindfulness], meditasi, hipnosis, biofeedback, terapi cermin, dan
pasien dan pencitraan terpandu).
keluarga/
perawat

Intervensi Terapi diet.


nutrisional Saran dan konseling nutrisi.

Peralatan Teknologi asistif berkisar dari teknologi rendah seperti tongkat hingga
disabilitas, peralatan atau sistem teknologi canggih seperti kursi roda tenaga motor
teknologi atau sistem terkomputerisasi (sistem komunikasi seperti telemonitoring
asistif, atau telerehabilitasi seperti yang disebutkan diatas) dan lain-lain dalam
prostetik, praktik rehabilitasi termasuk terapi dibantu robot (rehabilitasi robotik).
ortotik,
bantuan teknis,
dan aids

Edukasi Intervensi edukasional untuk pasien termasuk edukasi self-management.


profesional
untuk pasien, Intervensi edukasional untuk keluarga/perawat (contoh: intervensi
keluarga/ berpusat keluarga).
perawat
termasuk Intervensi edukasional untuk profesional (contoh: pelatihan pengobatan
edukasi self- berbasis bukti, pelatihan riset, CME/CPD).
management

Perawatan Perawatan, edukasi, asistensi untuk keselamatan (contoh: pencegahan


rehabilitasi jatuh di rumah sakit), manajemen kulit, kandung kemih, dan pencernaan ,
nutrisi, tidur, dan adaptasi pada gaya hidup yang berubah.

Mengelola kasus dengan komunikasi antara tim rehabilitasi, pasien, dan


keluarga.

Memfasilitasi transisi keluar rumah sakit atau transisi perawatan.


Sekalipun penyebab keterbatasan kemampuan aktivitas harian seseorang bersifat sementara
(misalnya pada kasus stroke) atau permanen (misalnya pada kasus amputasi) yang terpenting
dari penanganan KFR adalah mengatasi keterbatasan fungsi. Hal ini terkait dengan filosofi
bahwa life itself is defined by occupation. Sudah jelas bahwa penurunan kinerja seringkali
disebabkan oleh kondisi fisik, tetapi hal ini juga dapat disebabkan oleh gangguan emosional
atau keadaan lingkungan dengan dampak yang sama besar. Oleh karena itu, kesehatan dan
penyakit harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap kehidupan.

E. Strategi Penatalaksanaan KFR


Program yang efektif dapat menurunkan biaya layanan.6 Penatalaksanaan rehabilitatif
perlu direncanakan secara khusus bagi setiap individu yang membutuhkan. Ada delapan
strategi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan program yang efektif:7

1. Strategi rehabilitasi yang pertama dan terbaik adalah pencegahan primer. Strategi ini
juga dilakukan oleh spesialis lain, bukan hanya KFR. Pencegahan primer merupakan
pilihan pertama dan terbaik pada suatu kondisi akut seperti stroke, cedera medula
spinalis, cedera kepala, serangan jantung, luka bakar atau kondisi lain.

2. Strategi kedua adalah mengurangi proses patologis sampai tahap minimum. Disini
ditekankan pentingnya penanganan rehabilitasi sedini mungkin untuk mencapai hasil
akhir kemampuan fungsional yang optimal.

3. Strategi ketiga, yang dianggap strategi rehabilitasi secara umum, adalah pencegahan
terhadap komplikasi sekunder (kadang-kadang disebut sebagai disabilitas sekunder).
Strategi ini dapat bertentangan dengan konsep lain, misalnya konsep tirah baring
yang diperlukan sebagai pengobatan tetapi di sisi lain perlu mobilisasi awal untuk
mencegah komplikasi akibat tirah baring yang lama seperti ulkus dekubitus, dekondisi,
kontraktur, kehilangan massa tulang, depresi, dan lain-lain.

4. Strategi keempat, adalah peningkatan fungsi sistem yang terlibat, yang pada dasarnya
mencoba untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Contohnya adalah upaya
penguatan anggota tubuh yang lemah pada pasien stroke.

5. Strategi kelima adalah meningkatkan fungsi dari sistem yang tidak terlibat, misalnya
penguatan bagian atas tubuh pada pasien paraplegia akibat stroke. Strategi ini
tumpang tindih dengan strategi keenam.

78 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 79

6. Strategi keenam, yakni teknik kompensasi, yaitu pengalihan fungsi ke sisi tubuh yang
tidak lumpuh pada pasien stroke.

7. Strategi ketujuh, yaitu intervensi aspek kognitif dan perilaku. Seseorang dengan
gangguan persepsi ruang mungkin dapat belajar untuk berbicara tentang dirinya,
bergerak, memakai baju, atau tugas lainnya.

8. Strategi kedelapan, yaitu adaptasi lingkungan. Strategi ini mungkin bersifat sementara
dan digunakan sebelum ketujuh strategi di atas dapat mencapai efek sempurna.
Strategi ini lebih sering digunakan sebagai proses rehabilitasi.

WHO dalam World Report on Disability (WRD) menekankan bahwa tujuan program
rehabilitasi adalah:8
• Pencegahan kehilangan fungsi;
• Memperlambat kehilangan fungsi;
• Memperbaiki atau memulihkan fungsi;
• Mengompensasi fungsi yang hilang;
• Mempertahankan fungsi yang masih ada.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, WRD menekankan bahwa rehabilitasi harus bersifat
sukarela dan penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam semua aspek pembuatan
keputusan selama proses rehabilitasi dan bahwa rehabilitasi membutuhkan kerja tim.
Perlu dilakukan penilaian atas diri pasien, termasuk riwayat pribadi, sosial, vokasional dan
rekreasional. Demikian pula halnya faktor-faktor risiko yang mendasari disablitas, baik
faktor personal (misalnya genetik dan gaya hidup) maupun faktor lingkungan (hambatan
arsitektural, kondisi tinggal dan kerja).

F. Pencapaian Kualitas Hidup Tertinggi

Rehabilitasi yang berhasil di tingkat individu ditunjukkan dengan sejauh mana individu
dapat berpartisipasi di masyarakat. Tujuan ini adalah harapan tertinggi yang merupakan
alasan dilakukannya program pemulihan rehabilitasi, sekaligus juga penghargaan atas
kreativitas dan upaya ketika tujuan tersebut tercapai. Oleh karenanya, program rehabilitasi
lebih ditujukan kepada penyandang impairment atau disabilitas yang diharapkan masih
dapat mencapai perbaikan fungsi. Tidak dipungkiri bahwa perbaikan fungsi fisiologis
merupakan hal yang penting baik pada seorang individu normal maupun individu dengan
gangguan fungsi. Namun, jika pasien dalam kondisi vegetatif, pemeliharaan fungsi tidak
menghasilkan peningkatan kualitas hidup.1

Berbagai spesialisasi kedokteran memiliki tujuan yang berbeda untuk setiap layanan
yang berbeda. Sebagian besar layanan medik hanya mengembalikan sebagian dari
kapasitas fungsi yang dimiliki pasien. Tindakan intervensi medik tertentu yang dilakukan
dengan tujuan memulihkan pasien sebenarnya hanya mencapai sebagian dari suatu
kehidupan dengan kualitas hidup yang tinggi. Sebagai contoh, tindakan kateterisasi
jantung bertujuan mencegah suatu keadaan yang berpotensi fatal dengan memastikan
kelangsungan hidup organ jantung. Jika intervensi tersebut tidak diikuti oleh program
rehabilitasi yang sesuai, maka layanan tersebut menjadi tidak komprehensif dan kualitas
hidup yang baik tidak terpenuhi. Sangat disayangkan bahwa penatalaksanaan penyakit
kronik dan disabilitas seperti ini masih sering terjadi.2

Kualitas hidup seorang individu dikatakan meningkat jika ia dapat berintegrasi secara
internal dengan dirinya dan secara eksternal dengan lingkungannya. Hal ini tidak
tergantung pada faktor finansial dan sosial mengingat tujuan rehabilitasi adalah
pengembalian aset yang ada pada penyandang disabilitas agar berfungsi optimal
di tingkat yang sesuai dengan keinginannya, bukan menjamin keberhasilan program
rehabilitasi yang berbiaya mahal. Keberhasilan suatu tindakan intervensi mungkin hanya
berperan kecil dalam membangun kembali kualitas hidup yang baik dan lebih bergantung
pada kondisi medis pasien. Terdapat sejumlah faktor yang dapat diurutkan berdasarkan
keberhasilan kronologis dan fungsional yang menentukan tingkat rehabilitasi dan kualitas
hidup yang dicapai (Tabel V-4).2

80 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 81

TABEL V-4. KOMPONEn-komponen yang berkontribusi pada kualitaS hidup. 2

Tingkat Pencapaian Tertinggi


Keinginan untuk pencapaian diri dan kreativitas
Kemampuan dan kinerja vokasional
Interaksi Sosial
Kemampuan berkomunikasi
• Menulis
• Membaca
• Berbicara
Aktivitas Hidup Sehari-hari Mobilitas
• Pergerakan dan berpindah tempat
• Kemampuan manipulatif
• Postur
Persepsi Sensoris
Tingkat Pencapaian Menengah
• Pendengaran
• Penglihatan
• Sentuhan
Orientasi spasial
Kenikmatan - kepuasan
Penghargaan terhadap diri sendiri
Kenyamanan vs nyeri
Kesadaran - kognisi
Kelangsungan hidup organ-organ penting
Lingkungan yang mendukung
Sandang, pangan papan dan keamanan diri
Tingkat Pencapaian RENDAH
* Komponen-komponen yang mendasari kualitas hidup disusun dari bawah ke atas berdasarkan
tingkat pencapaiannya selama proses rehabilitasi. Pemulihan pada setiap tingkat tercapai setelah
kemampuan fungsional tingkat di bawahnya tercapai

Kualitas hidup tertinggi yang dapat dicapai setiap orang normal adalah pencapaian fungsi
optimal dengan menggunakan semua aset yang dimilikinya. Bagi penyandang disabilitas,
hal ini berarti melakukan rehabilitasi sampai kinerja fungsional yang optimal. Harapan dan
motivasi untuk mencapai tujuan fungsi optimal yang timbul dari diri pasien sendiri adalah
kualitas hidup tertinggi yang hendak dicapai.2
Sebagai hasil pematangan konsep layanan medik yang komprehensif, sekarang sudah
diakui bahwa tujuan layanan KFR adalah untuk memulihkan kualitas hidup seoptimal
mungkin dengan memanfaatkan sumber daya yang masih dimiliki oleh pasien. Oleh karena
itu, setiap intervensi medik harus bertujuan dapat mencapai perbaikan pasien. Hasil akhir,
yang dievaluasi dengan menilai perubahan fungsi sebagai akibat intervensi medik, adalah
ukuran yang sesungguhnya atas nilai perawatan medik tersebut. 2

Contoh latihan memakai kursi roda di bawah ini akan menjelaskan bagaimana intervensi KFR
menghasilkan peningkatan kualitas hidup dalam kerangka kerja ICF. Latihan memakai kursi
roda akan meningkatkan fungsi dan struktur tubuh karena mendorong kursi roda secara
manual akan melatih kekuatan otot, daya tahan kardiovaskular, dan fungsi respirasi. Peningkatan
kebugaran selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan mendorong kursi roda (aktivitas) dan
lebih banyak terlibat dalam kehidupan sehari-hari (partisipasi). Kemampuan menggunakan
kursi roda (aktivitas) juga memungkinkan individu untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial,
rekreasional, kewarganegaraan, dan pekerjaan (partisipasi). Timbal baliknya, partisipasi
dapat meningkatkan kemampuan individu untuk menggunakan kursi roda (aktivitas) melalui
peningkatan latihan kemampuan, dan dapat meningkatkan kebugaran fisik dan kesejahteraan
psikologi (fungsi dan struktur tubuh).9

Partisipasi: Peningkatan keterlibatan


dalam hidup, seperti peran dan
Fungsi dan struktur hubungan dengan keluarga dan
tubuh: Kesehatan teman, pekerjaan, rekreasi, dan
Latihan aktivitas di masyarakat.
menggerakkan dan kebugaran
kursi roda manual muskuloskeletal,
dan mengatasi kardiovaskular,
hambatan. respirasi, dan
sistem psikologis
dioptimalkan. Aktivitas: Kapasitas dan kinerja
di dalam dan di luar ruangan
dioptimalkan oleh kemandirian
memakai kursi roda.

Gambar V-5. Contoh intervensi yang mempengaruhi kesehatan dan fungsi pada
beberapa tingkatan karena interaksi diantara tingkatan tersebut. Latihan menggerakan
kursi roda manual dan menghindari hambatan meningkatkan kemampuan seseorang
untuk menggerakan kursi roda manual secara mandiri di lingkungan dalam dan luar. 9

82 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 83

G. Program Pelayanan KFR

Spesialis KFR memiliki peran kompleks mulai dari diagnosis medik, diagnosis fungsional
dan sosial sampai menetapkan rencana penatalaksanaan dengan tujuan pencapaian
oleh pasien yang berbeda-beda tergantung kebutuhan pasien, dan menerapkan strategi
yang menyeluruh, termasuk peresepan obat-obatan, terapi fisik, teknologi rehabilitasi,
dan pengawasan tim layanan. Semua aspek ini selesai setelah dilakukan penilaian akhir
terhadap proses secara keseluruhan dan kemampuan maksimal pasien tercapai sesuai gol
yang ditetapkan sebelumnya. 9

Program KFR secara garis besar mengikuti alur sebagai berikut: 9


• Aspek umum: pertimbangan patologi dan impairment, masalah fungsi dan disabilitas,
konsekuensi sosial dan ekonomi, dan prinsip utama program intervensi;
• Tujuan dan sasaran: populasi target, tujuan-tujuan program, dan sasaran dalam
terminologi ICF;
• Isi program: pengkajian (diagnosis, impairment, aktivitas dan partisipasi, faktor
lingkungan), jenis intervensi (jadwal program, intervensi spesialis KFR, intervensi tim),
tindak lanjut dan luaran, rencana pemulangan pasien, dan tindak lanjut jangka panjang;
• Lingkungan dan organisasi: konteks klinik, program klinik, pendekatan klinik, fasilitas,
keselamatan dan hak-hak pasien, dan penyuluhan;
• Manajemen informasi: rekam medik, manajemen informasi, dan pemantauan program
dan luaran;
• Perbaikan kualitas: titik kuat dan titik lemah program dan rencana kerja untuk
memperbaiki program;
• Acuan: kepustakaan ilmiah dan pedoman yang digunakan dan peraturan dan
perundangan yang berlaku.

H. Kerja Tim (TeamWork)

Tim yang efektif berperan penting dalam program KFR dan menghasilkan luaran yang
lebih baik bagi pasien (termasuk angka ketahanan hidup) dalam berbagai macam kondisi
kesehatan. Dasar teori bagi kerja tim yang efektif sudah banyak dibahas dalam disiplin ilmu
lain, yang terpenting antara lain adalah bagaimana menyepakati tujuan dan kesepakatan
dan saling memahami bagaimana mencapai tujuan tersebut. Tim multiprofesional
dengan berbagai macam pengetahuan dan keterampilan harus dapat bekerja sama yang
saling menguntungkan dan saling menghormati. Ini termasuk keinginan untuk membagi
pengetahuan dan berbicara secara terbuka tentang keahliannya. 9

Spesialis KFR berperan penting dalam alur komunikasi di antara anggota tim. Oleh karena
itu, pertemuan tim merupakan hal yang penting. Spesialis KFR menempatkan setiap
anggota tim sesuai pengetahuan dan keahliannya serta mengkoordinasikan program
pelayanan KFR di dalam tim, termasuk komunikasi dan konsultasi dengan spesialis lain
mengenai penyakit dasar, dengan dokter umum yang bertanggung jawab terhadap
pasien dalam jangka panjang ke depan, dan pekerja sosial yang terlibat dalam lingkungan
sosial pasien. Tentunya, pertukaran informasi dan pembahasan harus dilakukan secara
profesional, rahasia, dan disetujui oleh pasien. 9

Selain kerjasama tim dalam hal informasi dan koordinasi, spesialis KFR juga bertanggung
jawab mengatur hubungan antara berbagai fasilitas kesehatan yang akan dikunjungi dan
dipakai oleh pasien. Kerjasama dengan instansi lain dalam menjalankan pelayanan juga
seringkali dibutuhkan, seperti dinas sosial, asuransi, sekolah khusus, lembaga swadaya
masyarakat lain, balai latihan kerja, atau yang umumnya berkaitan dengan individu
difabel. Spesialis KFR perlu menetapkan kriteria masuk suatu fasilitas baik dalam konteks
akut maupun jangka panjang. Demikian pula kriteria kapan pasien dapat dipulangkan dan
menggunakan fasilitas jangka panjang, dengan atau tanpa dukungan dari dinas sosial.9

84 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 85

Kepustakaan

1. World Health Organisation. Diunduh dari http://www.who.int/topics/rehabilitation/en/

2. Kottke FJ, Lehmann JF. Krusen’s Handbook of Physical Medisine and Rehabilitation.
Philadelphia: WB Saunders Company, 1990.

3. Gutenbrunner C, Lemoine F, Yelnik A, Joseph PA, de Korvin G, Neumann V, et al. The field
of competence of the specialist in physical and rehabilitation medisine (PRM). Ann Phys
Rehab Med 2011;54:298-318.

4. King JC, Nelson TR, Heye ML, Turtorro TC, Titus MND. Prescription, referrals, order writing
and the rehabilitation team function. In: DeLisa JA, Gans BM. Rehabilitation Medisine:
Principles and Practice. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers, 1998.

5. Stucki G, Cieza A, Melvin J. The International Classification of Functioning, Disability and


Health: a unifying model for the conceptual description of the rehabilitation strategy. J
Rehabil Med 2007;39:279-85.

6. National Private Rehabilitation Group (NPRG). Submission to the House of Representative


Committee on Ageing, Inquiry into Australian population ageing medisal rehabilitation – a
key to healthy ageing. Sydney: NPRG, 2002.

7. DeLateur BJ. Rehabilitative strategies. In: Gonzales-Fernandez M, Friedman JD (editors).


Physical Medisine and Rehabilitation Pocket Companion. New York: DemosMedisal, 2011.
pp1-3.

8. World Health Organisation, World Bank. World Report on Disability. Geneva, Switzerland:
World Health Organisation, 2011. V

9. White Book on Physical and Rehabilitation Medicine in Europe. Torino: European Board
of Physical and Rehabilitation Medicine and Académie Européenne de Médecine de
Réadaptation in conjunction with European Society for Physical and Rehabilitation
Medicine; 2018.
86 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 87

Pedoman Layanan
Rehabilitasi Medik
A. Pendekatan Layanan Rehabilitasi
Medik
Layanan rehabilitasi medik merupakan konsep layanan yang menyeluruh (comprehensive),
meliputi tindakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam layanan rawat jalan, rawat
inap, dan layanan tambahan (home care).1

Perawatan pasien rehabilitasi bersifat holistik, mencakup aspek fisik, mental, emosional, sosial,
dan spiritual serta berfokus kepada pasien (patient-centered care). Oleh karena itu, suatu tata
laksana rehabilitasi dapat melibatkan banyak tenaga profesional, termasuk para penyedia
layanan (Gambar VI-1). Dalam mencapai tujuan terapi, tenaga spesialis KFR menetapkan
diagnosis fungsional dan mengarahkan anggota tim yang terlibat demi menghasilkan
pemulihan yang optimal sehingga kemandirian dalam aktivitas sehari-hari, sosial, dan
vokasional dapat tercapai. Seorang dokter spesialis KFR wajib menguasai keterampilan
memimpin (leadership skill) dan komunikasi efektif. 2

Perusahaan Dokter Lain Fisiatris Perawat Fisioterapis


Alat Kesehatan

Orthotist/ Terapis
Prosthetist Okupasi

Insinyur Chaplain
Rehabilitasi

PASIEN
HMO/ PPO Pekerja
Managed Care Sosial

Agen
Kesehatan Psikolog

Guru Konselor Perusahaan Terapis Terapis


Sekolah Vokasional Majikan Asuransi Wicara Rekreasional

Gambar VI-1. Berbagai penyedia layanan yang dibutuhkan dalam program rehabilitasi
menyeluruh (paripurna). 2

88 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 89

Layanan rehabilitasi medik dapat dilaksanakan melalui beberapa pendekatan kerja sama tim,
meliputi pendekatan secara multidisiplin, interdisipliner, dan transdisiplin.3 Kerja sama tim
dalam masing-masing teknik pendekatan berbeda. Pendekatan tim secara multidisiplin dan
interdisipliner memiliki tujuan yang sama. Organisasi tersusun linier dan diketuai oleh seorang
dokter (Gambar VI-2). 3

DOKTER
KETUA TIM

TERAPIS TERAPI PERAWAT SPESIALIS PEKERJA


FISIK OKUPASI REHABILITASI LAIN SOSIAL

Gambar VI-2. Struktur pendekatan tim secara multidisplin. Komunikasi terjadi secara vertikal
(garis utuh) dan horizontal (garis putus-putus) di antara anggota tim. 3

B. Struktur Organisasi Layanan


Rehabilitasi Medik
Layanan rehabilitasi medik diselenggarakan dalam unit/instalasi/departemen rehabilitasi
medik yang dipimpin oleh dokter spesialis KFR, yaitu dokter yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan mumpuni di bidang rehabilitasi medik. Dalam menjalankan pelayanan hariannya,
pimpinan unit/instalasi/departemen rehabilitasi medik dibantu oleh koordinator-koordinator
yang menunjang kelancaran pelayanan (Gambar VI-3). 4
Direktur Utama

Direktur Medik &


Komite Medis Direktur SDM Direktur Keuangan
Keperawatan

Kepala Instalasi
Ketua KSM
Rehabilitasi Medik

Penanggung Jawab Penanggung Jawab


Pelayanan Administrasi & Keuangan

• Pencatatan & Pelaporan


TW, FT, OT, OP, Psi, Perawat • Keuangan
SpKFR
RM, PSM dan tenaga lain • Logistik

Gambar VI-3. Struktur organisasi pelayanan rehabiltasi medik di ruang lingkup rumah sakit.4

Keterangan :
• KSM : Kelompok Staf Medik
• Sp.KFR : Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
• FT : Fisioterapis
• OT : Ortosis Prostetik
• OP : Terapis Okupasi
• TW : Terapis Wicara
• Psi : Psikolog Klinis
• PSM : Petugas Sosial Medik

Layanan rehabilitasi medik dilakukan melalui sistem satu pintu (one-gate system) yang berarti
setiap pasien wajib mendapatkan pengkajian, penegakan diagnosis medis dan fungsional,
prognosis, penetapan tujuan (goal), dan penetapan tata laksana rehabilitasi medik oleh dokter
spesialis KFR. Tata laksana rehabilitasi medik dilakukan melalui layanan individu atau kelompok
yang melibatkan beberapa profesi lain, seperti perawat rehabilitasi medik, fisioterapis, terapis
wicara, terapis okupasi, ortotik-prostetik, psikolog, petugas sosial medik, dan rohaniawan.5

Pasien yang membutuhkan layanan rehabilitasi medik dapat mengunjungi langsung pusat
pelayanan atas kemauan sendiri atau rujukan dokter/spesialis lain dari rumah sakit (gawat
darurat, rawat jalan, rawat inap, dan rawat intensif) atau institusi kesehatan lainnya.

90 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 91

C. Jenjang Rujukan Layanan


Rehabilitasi Medik
Pemerataan pelayanan rehabilitasi medik dapat dilakukan melalui strategi pelayanan
berjenjang di rumah sakit, puskesmas, dan swadaya masyarakat dengan menerapkan program
rehabilitasi bersumber daya masyarakat (RBM). Sesuai aturan terbaru tentang susunan fasilitas
kesehatan, berupa Faskes 1 (puskesmas), Faskes 2 (RS tipe D,C,B) dan Faskes 3 (RS tipe A),
jenis layanan RBM dibedakan dalam beberapa strata pelayanan.5

1. Strata I (RS tipe C, D, puskesmas, dan klinik rehabilitasi) memberikan layanan primer
rehabilitasi medik dasar. Pelaksananya adalah dokter umum terlatih dan terapis (fisioterapis,
terapis okupasi, dan perawat rehabilitasi medik). 5

2. Strata II (RS tipe B nonpendidikan dan tipe C) memberikan layanan rehabilitasi sekunder
yang mencakup: 5

• Layanan rehabilitasi spesialistik;


• Layanan fisioterapi dengan peralatan dasar;
• Layanan terapi okupasi dengan peralatan dasar;
• Layanan ortotik-prostetik tanpa unit ortotik-prostetik sendiri; dan
• Layanan asuhan keperawatan rehabilitasi medik.

Layanan diberikan oleh tim yang diketuai oleh dokter spesialis KFR beranggotakan terapis
(fisioterapis, terapis okupasi, dan ortotik-prostetik) dan perawat rehabilitasi medik.

3. Strata IIIA (RS tipe B pendidikan dan tipe A) memberikan layanan tersier yang mencakup:5

• Layanan rehabilitasi medik spesialistik dan subspesialistik (muskuloskeletal,


neuromuskular, pediatri, kardiorespirasi, geriatrik, dan cedera olahraga);
• Layanan asuhan keperawatan rehabilitasi medik;
• Layanan fisioterapi dengan alat lengkap;
• Layanan terapi okupasi dengan alat lengkap;
• Layanan terapi wicara dengan alat lengkap;
• Layanan ortotik-prostetik dengan unit ortotik-prostetik sendiri;
• Layanan psikologi; dan
• Layanan sosial medik.

Layanan rehabilitasi medik dilakukan oleh tim yang diketuai oleh dokter spesialis KFR
beranggotakan terapis (fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara, ortotik, prostetik),
psikolog, perawat rehabilitasi medik, dan petugas sosial medik. RS strata III juga berfungsi
sebagai institusi pendidikan dan riset yang mencakup: 5

• Pendidikan S-1 kedokteran;


• Pendidikan dokter spesialis;
• Pendidikan D-3 dan D-4 fisioterapi, terapi okupasi, ortotik-prostetis;
• Pelatihan perawat rehabilitasi medik;
• Penelitian klinis terapan; dan
• Pengembangan medis subspesialistik.

4. Strata IIIB (pusat rujukan nasional sebagai layanan rehabilitasi medik rujukan tertinggi)
memberikan layanan, meliputi: 5

• Layanan rehabilitasi medik spesialistik dan subspesialistik (muskuloskeletal,


neuromuskular, pediatri, kardiorespirasi, geriatrik, cedera olahraga, dan subspesialistik
lain sesuai kebutuhan);
• Layanan asuhan keperawatan rehabilitasi medik;
• Layanan fisioterapi dengan alat canggih;
• Layanan terapi okupasi dengan alat canggih;
• Layanan terapi wicara dengan alat canggih;
• Layanan ortotik-prostetik dengan unit ortotik-prostetik, alat bantu jalan, kursi roda, dll.;
• Layanan sosial medik; dan
• Layanan konseling persiapan vokasional.

Layanan dilakukan oleh tim yang diketuai oleh dokter spesialis KFR beranggotakan
terapis (fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara, ortotik-prostetik), psikolog, perawat
rehabilitasi medik, dan petugas sosial medik dengan kompetensi tambahan. Pusat rujukan
nasional juga berfungsi sebagai institusi pendidikan dan riset yang mencakup: 5

92 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 93

• Pendidikan S-1 kedokteran;


• Pendidikan dokter spesialis dan subspesialis;
• Pendidikan D-3 dan D-4 fisioterapi, terapi okupasi, ortotik-prostetik;
• Pelatihan perawat rehabilitasi medik;
• Penelitian dasar dan penelitian klinis terapan;
• Pengembangan medis subspesialistik; dan
• Penelitian akademik S-2 dan S-3.

D. Perawatan di Rumah (Home Care)


Home care merupakan pelayanan kesehatan berkesinambungan dan komprehensif yang
diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka. Pelayanan tersebut bertujuan
untuk meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat
kemandirian, dan meminimalisasi dampak dari penyakit.6

Home-based rehabilitation merupakan rehabilitasi medik dengan pendekatan berbasis


masyarakat yang terbagi menjadi pelayanan bersifat kelembagaan (institutional based)
dan kemasyarakatan (community based) atau biasa disebut rehabilitasi bersumber daya
masyarakat (RBM).7 RBM merupakan strategi pembangunan massal yang mendorong
masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya mengatasi gangguan fungsi melalui rehabilitasi,
persamaan kesempatan, dan integrasi sosial seluruh individu difabel dalam aspek kehidupan
dan penghidupan.4 Peran masyarakat dan keluarga merupakan kekuatan utama dalam RBM.
Peran serta tersebut dapat terealisasi dengan cara mengikutsertakan, menggerakkan, atau
memobilisasi potensi sumber daya masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
tindak lanjut pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah atau lingkungan masyarakat.8
Program RBM merupakan upaya terobosan dalam menyelesaikan masalah gangguan fungsi
yang belum terjangkau oleh sistem pelayanan rumah sakit atau memerlukan pelayanan
lanjutan. 7

Cakupan RBM adalah fungsionalisasi kembali pasien dengan gangguan fungsi sehingga
mampu melaksanakan peran sosialnya secara optimal, memperoleh kemandirian fungsional,
meningkatkan kualitas hidup, berintegrasi secara internal maupun eksternal, dan mencegah
pemburukan komplikasi. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan
utama home care adalah memastikan keluarga atau masyarakat untuk bertanggung jawab
dan melaksanakan program rehabilitasi medik dasar dalam mencegah penurunan fungsi dan
terjadinya komplikasi pada pasien. 4,7,8

Home care dan RBM merupakan dua hal yang berbeda. Home care dilakukan oleh petugas
kesehatan dan caregiver di kediaman pasien, sedangkan RBM merupakan upaya untuk
memulihkan fungsi individu yang mengalami gangguan atau hambatan, baik secara
fisik, mental, psikologis, maupun sosial dengan bertumpu pada peran keluarga dan
kelompok masyarakat dan mendayagunakan berbagai prakarsa, potensi, dan sumber daya
masyarakat. 7,8

94 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 95

Kepustakaan
1. DeLisa JA, Currie DM, Martin GM. Rehabilitation medicine: past, present and future.
In: DeLisa JA,Gans BM. Rehabilitation Medicine: Principles and Practice. Philadelphia:
Lippincott-Raven Publishers, 1998.

2. National Private Rehabilitation Group (NPRG). Submission to the House of Representative


Committee on Ageing, Inquiry into Australian population ageing medical rehabilitation – a
key to healthy ageing. Sydney: NPRG, 2002.

3. King JC, Nelson TR, Heye ML, Turtorro TC, Titus MND. Prescription, referrals, order writing
and the rehabilitation team function. In: DeLisa JA, Gans BM. Rehabilitation Medicine:
Principles and Practice. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers, 1998.

4. Kemenkes No. 378/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik


di Rumah Sakit.

5. Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Pedoman Layanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Kelas, A, B, C dan D. Edisi ketiga.
Jakarta: Direktorat Jendral Bina Layanan Medik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2007.

6. Depkes, RI. Pengembangan Model Praktek Pelayanan Mandiri keperawatan. Pusgunakes.


Jakarta, 2002.

7. Glickman L. Clients with stroke and non-stroke and their guardians’ views on community
reintegration status after in-patient rehabilitation. Malawi Medical Journal. 2018;30(3):174.

8. Slamet, K. Manual RBM tentang Prevensi Deteksi Dini dan Rehabilitasi Penyandang Cacat.
Solo: YPAC, 1998.
96 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 97

Pendidikan dan
Sertifikasi
A. Pendidikan KFR pada Strata Satu
Kedokteran
Belum semua fakultas kedokteran (FK) memasukkan ilmu KFR ke dalam kurikulum pendidikan
strata satu (S-1) kedokteran. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, terdapat
74 dari 125 (60%) FK yang mengajarkan ilmu KFR.1 Program studi ilmu KFR memberikan
pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa kedokteran mengenai pendekatan
interdisipliner yang menjadi ciri khas layanan KFR. Layanan KFR memegang konsep kerja sama
tim dan proses pengambilan keputusan yang diterapkan pada pasien dari seluruh kelompok
usia.2 Konsep tersebut akan membentuk wawasan pengetahuan mahasiswa mengenai
penatalaksanaan pasien secara umum. Prinsip dasar kepemimpinan dalam tim dan partisipasi
secara implisit ada di semua cabang ilmu kedokteran, seperti tim bedah di kota besar dan
dokter keluarga di daerah perifer.

Modul kedokteran fisik dan rehabilitasi dalam kurikulum pendidikan dokter bertujuan
untuk membentuk dokter yang dapat menerapkan falsafah ilmu KFR dan mempunyai
sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam menanggulangi masalah kesehatan melalui
pendekatan konsep ilmu KFR dasar dan kedokteran keluarga yang sejalan dengan sistem
kesehatan nasional. Kurikulum KFR dalam program pendidikan S-1 kedokteran dibangun
dengan fondasi area kompetensi yang menekankan pada tujuh kompetensi dalam Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Kurikulum kedokteran fisik dan rehabilitasi pada
program pendidikan S-1 berorientasi pada kurikulum yang terintegrasi, yaitu pembelajaran
berdasarkan masalah, orientasi pelayanan masyarakat, dan pembelajaran aktif untuk mencapai
keterampilan intelektual dasar, seperti analytical thinking, critical thinking, creative thinking,
dan communication skill. Keterampilan tersebut berperan dalam menentukan gangguan fungsi
akibat suatu penyakit yang memerlukan suatu proses rujukan atau tata laksana rehabilitasi
holistik dan komprehensif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 2

B. Pendidikan Spesialis dan


Kompetensinya
Kompetensi dokter spesialis KFR didapatkan selama pelatihan spesialis dan ditingkatkan
melalui pengetahuan dan pengalaman kompetensi subspesialis. Peran dokter spesialis KFR
dalam layanan rehabilitasi medik, meliputi:3

98 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 99

• Pengkajian medik dalam menentukan diagnosis penyakit dan diagnosis fungsi (ICF);
• Pengkajian kapasitas fungsional, potensi perubahan, dan menentukan prognosis;
• Pengkajian aktivitas, partisipasi, dan faktor-faktor kontekstual (karakteristik individu dan
lingkungan);
• Pengetahuan tentang proses rehabilitasi inti dan basis buktinya;
• Pengetahuan tentang kompetensi semua anggota tim yang terlibat dalam program
rehabilitasi;4
• Membuat rencana intervensi KFR yang komprehensif, misalnya intervensi manajemen
nyeri;
• Pengetahuan, pengalaman, dan aplikasi terapi medis dan fisis (termasuk modalitas fisik,
faktor-faktor alamiah, dan lainnya);
• Evaluasi dan pengukuran kekeluaran;
• Pencegahan dan penatalaksanaan penyulit;
• Penilaian fungsional sesuai kriteria ICF, meliputi penilaian fungsi/struktur tubuh, penurunan
fungsi, limitasi aktivitas, hambatan partisipasi dan perbedaan antara kapasitas dan
performa berdasarkan karakteristik personal, hambatan, dan fasilitas lingkungan;
• Pengetahuan prognosis penyakit/kondisi dan kekeluaran rehabilitasi;
• Prognosis dari penyakit/penyebab gangguan fungsi, deteksi atau faktor yang menyebabkan
perbaikan fungsi, kompensasi, dan adaptasi;
• Pengetahuan tentang teknologi rehabilitasi (ortotik, prostetik, bantuan teknis, dsb.);
• Dinamika tim dan keterampilan kepemimpinan;
• Keterampilan mengajar (pasien, pengasuh, anggota tim, mahasiswa D-3/D-4 fisioterapi/
terapi okupasional/terapi wicara, S-1 kedokteran, dan perawat);
• Pengetahuan tentang sistem masyarakat dan hukum dalam menyikapi kondisi cacat
(disablement), meliputi aspek edukasi, vokasional, dan kompensasi;
• Bekerja sama secara aktif dengan tenaga kesehatan masyarakat dan pihak yang terlibat
dalam sistem asuransi;
• Pengetahuan dasar tentang aspek ekonomi (finansial) rehabilitasi;
• Metodologi riset di bidang ilmu dan rekayasa rehabilitasi biomedik;
• Melakukan program edukasi untuk masyarakat disable dan caregiver;
• Implementasi klinis dan instrumen penilaian untuk fungsi motorik, kognitif, perilaku, dan
otonomik;
• Berperan aktif dalam desain jalur perawatan kesehatan demi penyediaan perawatan bagi
para penyandang disabilitas dan mengembangkan pedoman klinis;
• Dapat mendeteksi dan menengahi konflik yang mungkin muncul di antara anggota tim;
• Komunikasi efektif dengan pasien dan perawat, memberikan informasi dan pendidikan
kesehatan yang memadai, dan memainkan peran sentral dalam rehabilitasi;
• Menanggapi permintaan pasien dengan informasi yang komprehensif tentang bukti nyata
dari beberapa metode dan sarana pengobatan;
• Mengelola, memimpin, dan mengoordinasikan proses rehabilitasi melalui pendekatan
yang berorientasi pada masalah, patient-centered, dan holistik sebagai first contact care;
dan
• Memiliki keterampilan manajemen dalam penyediaan perawatan (tingkat mikro), organisasi
layanan (tingkat menengah), dan sistem serta kebijakan kesehatan (tingkat makro).

Keterampilan Keterampilan Keterampilan


Subspesialis Subspesialis Subspesialis
(misalnya (misalnya (misalnya
rehabilitasi pasien rehabilitasi pasien cabang ilmu
dengan cedera dengan Kedokteran Fisik
sumsum tulang gangguan atau Kedokteran
belakang) muskuloskeletal Olahraga)
dan amputasi)

KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

Cabang ilmu umum: Penyakit Dalam, Bedah, dan sebagainya

KETERAMPILAN MEDIK DASAR

Human and societal skills

Gambar VII-1. Prinsip kompetensi5

Dokter spesialis KFR secara rutin menggunakan sejumlah kemampuan lain, seperti
komunikasi yang baik, keterampilan interpersonal, dan kemampuan untuk mengedukasi
dan mengatur pasien beserta keluarganya. Strategi khusus diperlukan oleh dokter spesialis
KFR agar pasien dapat membangun kemampuan dalam beradaptasi. Dokter spesialis KFR
juga berkomunikasi dengan mitra kerja lain, seperti penyedia layanan kesehatan dan sosial
serta kelompok bantu. 5

100 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 101

KFR pada KFR PADA KFR PADA


pasien GANGGUAN ORANG DAN KURIKULUM
pasca MUSKULOS- LANJUT SEBAGAINYA KFR
stroke KELETAL USIA

Pendidikan Spesialis KFR, misalnya:


• Pengkajian kapasitas fungsional dan aktivitas
• Pengetahuan khusus tentang terapi (terapi fisik, obat-obatan)
• Koordinasi kerja tim KFR

KURIKULUM
KFR

Pendidikan KEDOKTERAN UMUM


• Diagnosis penyakit yang mendasari
• Prinsip-prinsip pengobatan
• Evaluasi hasil terapi

Gambar VII-2. Struktur sistem pendidikan dan pelatihan di bidang kedokteran fisik dan rehabilitasi. 5

Dokter spesialis KFR adalah seorang dokter yang telah mencapai kompetensi profesional dan
mengkhususkan diri dalam pelayanan seluruh kelompok usia masyarakat (bayi, anak, remaja,
dewasa serta usia lanjut) yang memerlukan asuhan rehabilitasi medik serta mempunyai
kemampuan untuk menyerap, mengembangkan, dan menyebarkan ilmu kedokteran fisik dan
rehabilitasi. 5,6

Pendidikan dokter spesialis KFR sebagai bagian dari pendidikan dokter spesialis memiliki
tujuan untuk menghasilkan dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi (SpKFR) yang
secara garis besar memiliki dua kemampuan, yaitu: 6

• Kemampuan profesional sebagai seorang dokter spesialis yang mampu memberikan


pelayanan kesehatan fisik dan rehabilitasi secara paripurna dalam tingkat spesialistik
bertaraf internasional sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat; dan
• Kemampuan akademik sebagai seorang magister yang mampu menyerap, meneliti,
mengembangkan, dan menyebarkan ilmu kesehatan khususnya ilmu kedokteran fisik dan
rehabilitasi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Standar kompetensi dokter spesialis KFR adalah standar minimal yang harus dimiliki oleh
seorang dokter spesialis KFR ketika melaksanakan kegiatan profesinya dalam masyarakat
secara mandiri, meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai kurikulum pendidikan
dokter spesialis KFR yang ditetapkan oleh Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Indonesia. Kompetensi dokter spesialis KFR terbagi dalam delapan aspek, yaitu:6,24

1. Pengetahuan medik dan profesionalisme;


2. Kemampuan berempati dan keterampilan berkomunikasi;
3. Kemampuan melakukan praktik perawatan pasien berbasis kompetensi dan sistem yang
berlaku;
4. Melakukan praktik berbasis sistem dan perawatan pasien;
5. Kemampuan bertindak sebagai konsultan bagi dokter/dokter spesialis lain, profesi
kesehatan lain, dan masyarakat;
6. Kemampuan manajerial dalam melakukan koordinasi intradisiplin, interdisipliner, dan
multidisiplin;
7. Pemahaman mengenai berbagai pelayanan dan kegiatan terkait; dan
8. Pengembangan diri.

Kompetensi dokter spesialis KFR mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam
bidang, sebagai berikut: 6,7

1. KFR pediatrik;
2. KFR muskuloskeletal, termasuk cedera olahraga;
3. KFR neuromuskular;
4. KFR spinal cord injury;
5. KFR kardiorespirasi;
6. KFR geriatrik;
7. Rawat intensif KFR;
8. Modalitas KFR;
9. KFR manajemen nyeri;
10. KFR cedera olahraga; dan
11. Alat diagnostik KFR.

102 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 103

C. Subspesialisasi dalam KFR


Semakin kompleksnya pelayanan kesehatan dan meningkatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kedokteran (iptekdok), diperlukan pengembangan spesialisasi
kedokteran fisik dan rehabilitasi menjadi subspesialisasi yang mencakup beberapa bidang,
sebagai berikut: 7,24

• KFR muskuloskeletal, termasuk cedera olahraga;


• KFR pediatrik;
• KFR neuromuskular;
• KFR kardiorespirasi; dan
• KFR geriatri.

D. Sertifikasi Dokter Spesialis


Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengharuskan seluruh dokter yang
berpraktik memiliki surat tanda registrasi (STR). STR dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) dan diperbaharui setiap lima tahun sekali. Syarat pemberian STR oleh KKI
adalah kepemilikan sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh kolegium. Berdasarkan
Pasal 44 UU RI No.12 Tahun 2012, sertifikat kompetensi merupakan surat tanda pengakuan
kompetensi seorang dokter yang telah lulus dalam uji kompetensi. Pengakuan ini
menegaskan bahwa dokter tersebut kompeten dalam menjalankan praktiknya. Sertifikat
kompetensi tersebut diberikan setelah seorang dokter mengikuti seluruh rangkaian kegiatan
program pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan (P2KB) yang ditetapkan
oleh perhimpunan dan kolegium dan memenuhi prasyarat angka kredit minimal yang telah
ditetapkan.

Sejatinya, program P2KB merupakan upaya pembinaan (oversight) sistematis yang bertujuan
untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
dan sikap (attitude) dokter agar senantiasa menjalankan profesinya dengan baik. Program
P2KB juga merupakan bagian integral dari mekanisme pemberian izin praktik (licensure).
Penanggung jawab penyelenggaraan program P2KB adalah Badan P2KB IDI, sedangkan
pelaksanaannya diserahkan kepada seluruh perhimpunan dan kolegium di lingkungan IDI. 7,24
Kepustakaan

1. Laskowski ER, Moutvic M, Smith J, Newcomer-Aney K, Showalter CJ. Integration of physical


medicine and rehabilitation into a medical school curriculum: musculoskeletal evaluation
and rehabilitation. Am J Phys Med Rehabil 2000;79:551–557.

2. Bloch RM, Blake DJ, Fiedler IG. Integration of physical medicine and rehabilitation into
the undergraduate medical curriculum. The Undergraduate Education Committee of the
Association of Academic Physiatrists Workgroup. Am J Phys Med Rehabil 1996;75:242-3.

3. Gutenbrunner C, Lemoine F, Yelnik A, Joseph PA, de Korvin G, Neumann V, et al. The


field of competence of the specialist in physical and rehabilitation medicine (PRM). Ann
PhysRehabil Med 2011;54:298-318.

4. Duncan PW, Velozo CA. State-of-the-science on post-acute rehabilitation: measurement


and methodologies for assessing quality and establishing policy for postacute care. Arch
Phys Med Rehabil 2007;88:1482-7.

5. Gutenbrunner C, Ward AB, Chamberlain MA. White book on Physical and rehabilitation
medicine in Europe. J Rehabil Med 2007;39:1-48.

6. Negrini S. White book on Physical and Rehabilitation Medicine in Europe.European journal


of Physical and Rehabilitation Medicine. 2018; 2 (54).

7. Standar Kompetensi Dokter Spesialis Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi Indonesia. KFR
Nyeri, 2017(2);86.

8. Braddom R, Chan L, Harrast M. Physical medicine and rehabilitation. 4th ed. Philadelphia,
PA: Saunders/Elsevier; 2011.

9. Cuccurullo S, Lee J. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. 3rd ed. New York:
Demos Medical Publishing; 2015.

10. Grabois M, Monga T. Pain management in rehabilitation. New York: Demos Medical
Publishing; 2002.

11. Frontera W, Silver J, Rizzo T. Essentials of physical medicine and rehabilitation. 3rd ed.
Philadelphia: Sanders; 2014.

12. Pain/Neuromuscular Medicine Rehabilitation – PM & R Knowledge Now [Internet]. now.


aapmr.org. 2019 [cited 23 April 2019]. Available from: https://now.aapmr.org/pain-
neuromuscular-medicine-rehabilitation-2/

104 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 105

13. Lennard T. Pain procedures in clinical practice. 3rd ed. New York: Elsevier; 2011.

14. Audette J. Integrative pain medicine. Totowa, N.J: Humana Press; 2010.

15. Kemenkes.PNPK Tatalaksana Nyeri Terpadu.

16. Physical Medicine and Rehabilitation [Internet]. Acgme.org. 2019 [cited 1 May 2019].
Available from: https://www.acgme.org/Specialties/Overview/pfcatid/17/Physical%20
Medicine%20and%20Rehabilitation

17. Slipman C. Interventional spine. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2008.

18. DePalma M. ISpine. New York: Demos Medical; 2011.

19. Smith H. Current therapy in pain. Philadelphia: Saunders/Elsevier; 2009.

20. Furman M, Berkwits L, Lee T. Atlas of Image-Guided Spinal Procedures. China: Elsevier;
2013.

21. Armando S. Miciano M, David Haustein M, Bradley M. McCrady B, Daniel C. Herman MD P.


Essentials of Physiatric Assessment and Management Strategies – PM&R KnowledgeNow
[Internet]. Now.aapmr.org. 2019 [cited 1 May 2019]. Available from: https://now.aapmr.
org/essentials-of-physiatric-assessment-and-management-strategies/

22. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 20. DKI Jakarta: KKI; 2014.

23. Simon Jeremy F. Interventional Spine Procedures: A Case-based Approach. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publisher (P) Ltd; 2014.

24. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik Indonesia (PERDOSRI). Standar Kompetensi
Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia. Jakarta: PERDOSRI, 2010.
106 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 107

Organisasi Profesi
A. Organisasi Tingkat Nasional
Sejarah organisasi profesi tingkat nasional dimulai sejak tahun 1973 ketika Departemen Kesehatan
(Depkes) menetapkan RS dr. Kariadi, Semarang sebagai proyek panduan dalam pembentukan
Preventive Rehabilitation Unit (PRU) di Indonesia. Saat itu, beberapa tamu undangan dari luar
negeri ikut membantu dalam analisis situasi. Hal tersebut kemudian menginisiasi pengiriman
dokter untuk belajar ke luar negeri oleh Departemen Kesehatan (Depkes).1

Lulusan dokter spesialis rehabilitasi medik yang telah kembali ke Indonesia kemudian sepakat
untuk membentuk organisasi profesi. Organisasi ini berdiri pada tahun 1982 dan diberi
nama Ikatan Dokter Ahli Rehabilitasi Medik Indonesia (IDARI). Ketua IDARI pertama adalah
dr. A.R. Nasution, SpPD,K-R yang dilantik oleh dr. I.G. Brataranuh, Direktur Jendral Pelayanan
Medis Departemen Kesehatan RI. Setelah itu, penerimaan peserta program pendidikan
dokter spesialis rehabilitasi medik mulai direncanakan dan dipersiapkan. IDARI mendorong
pengeluaran SK Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia No. 16/DIKTI/Kep/1987 tertanggal 20 Mei 1987 mengenai pembukaan
program studi ilmu rehabilitasi medik di tiga fakultas kedokteran (FK), yaitu FK Universitas
Indonesia, FK Universitas Airlangga, dan FK Universitas Diponegoro.

Kongres Nasional IDARI pertama diadakan pada tahun 1988 di Jakarta dan Prof. Dr. H.
Soelarto Reksoprodjo, SpB, SpOT, FICS terpilih sebagai Ketua IDARI berikutnya. Sejak saat
itu, pengembangan di bidang organisasi maupun pendidikan mulai dilakukan. IDARI mulai
memiliki perwakilan di Consortium of Health Sciences, yaitu Prof. Dr. H. Soelarto Reksoprodjo,
SpB, SpOT, FICS; Dr. Bayu Santoso, SpRM; dan Dr. Angela B.M. Tulaar, SpRM berdasarkan SK
IDARI No.265/PB/A.4/10/90.

Kongres Nasional IDARI kedua diadakan pada tahun 1991 di Semarang dan Prof. Dr. H. Soelarto
Reksoprodjo, SpB, SpOT, FICS terpilih kembali sebagai ketua. Pada kongres tersebut, nama IDARI
diubah menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia (Perdosri). Logo
IDARI pun diubah dengan logo yang sekarang dipakai sebagai karya dari dr. Herman Sukarman.
Sejarah Perdosri secara lengkap dipaparkan dalam Bab I White Book (Latar Belakang dan Sejarah).

Pengurus Besar (PB) Perdosri memiliki beberapa pengurus cabang yang tersebar di seluruh
Indonesia. Saat ini terdapat 13 cabang, yaitu: 1

108 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 109

1. Perdosri Jaya;
2. Perdosri cabang Banten-Lampung;
3. Perdosri cabang Jawa Timur;
4. Perdosri cabang Jawa Tengah;
5. Perdosri cabang Jawa Barat;
6. Perdosri cabang Sumatera I;
7. Perdosri cabang Sumatera II;
8. Perdosri cabang Sumatera III;
9. Perdosri cabang Bali-Nusa Tenggara;
10. Perdosri cabang Sulawesi I;
11. Perdosri cabang Sulawesi II;
12. Perdosri cabang Kalimantan I; dan
13. Perdosri cabang Kalimantan II.

Perdosri terdiri dari beberapa bidang kerja, yaitu: 1


1. Bidang pendidikan dan latihan;
2. Bidang hubungan masyarakat;
3. Bidang penelitian dan pengembangan; dan
4. Dewan penilai dan etik.

Selaras dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan organisasi yang terus
meningkat, terjadi penambahan jumlah pengurus pada susunan kepengurusan PB Perdosri
terbaru menjadi empat bidang dengan tiga wakil ketua. 1

Perdosri resmi mendapatkan pengakuan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai perhimpunan
dokter spesialis pada tahun 1990 dengan SK No. 265/PB/A.4/10/90. Hingga kini, Perdosri telah
menghasilkan beberapa produk kebijakan, seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
Standar Kompetensi IKFR; Standar Etik IKFR; Standar Layanan Medik (SPM); buku Pedoman
Layanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Kelas A, B, C & D; Pedoman Sertifikasi dan Program
Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan atau Continuing Professional Development
(CPD) Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia; dan buku Konsensus Nasional Rehabilitasi Strok.1

Perdosri menyelenggarakan program P2KB serta memfasilitasi kerja sama dengan pemerintah
dan seluruh pihak terkait (stakeholders) dalam layanan kesehatan sehingga seorang dokter
spesialis KFR akan senantiasa mendapat dukungan dalam menjalankan program P2KB sebagai
bagian integral dari mekanisme pemberian/perpanjangan izin praktik di manapun ia bekerja.
Kewajiban profesi (professional imperative) bagi setiap anggota Perdosri merupakan prasyarat
untuk meningkatkan mutu layanan dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi. Dengan
demikian, Perdosri berperan dalam mempertahankan dan meningkatkan kompetensi dokter
spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
pasien dan layanan kesehatan serta menjawab tantangan kemajuan ilmu kedokteran.1

Kongres Nasional (Konas) III diadakan pada tahun 1994 di Surabaya dan dr. Bayu Santoso,
SpRM terpilih sebagai ketua. Upaya pengembangan dan peningkatan eksistensi organisasi
terus dilakukan secara berkelanjutan. Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) selalu diadakan
di antara dua Konas yang berurutan. Kongres Nasional IV diadakan pada tahun 1998 di
Jakarta dan dr. Thamrinsyam Hamid, SpRM terpilih sebagai ketua. Adapun Kongres Nasional
V diadakan pada tahun 2001 di Semarang dan dr. Siti Annisa Nuhonni, SpRM terpilih sebagai
ketua serta dr. Angela B. M. Tulaar, SpRM sebagai Ketua Kolegium periode 2001-2004. Badan
Khusus Pendidikan yang telah dipersiapkan sebagai cikal bakal kolegium akhirnya diubah
menjadi Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Ketua Kolegium Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi, dr. Angela B. M. Tulaar, SpRM kemudian bergabung sebagai anggota
Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) dengan tugas utama mengawal pendidikan
dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi.1

Setelah Konas V, Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) diadakan setiap tahun sejak tahun 2002 di
Jakarta. Setiap PIT berlangsung, presentasi makalah bebas dan kompetisi penelitian akhir peserta
pendidikan program dokter spesialis (PPDS) selalu diadakan. Kongres Nasional VI diadakan pada
tahun 2004 di Bali bersamaan dengan The 3rd ARMA Conference. Saat itu, dr. Siti Annisa Nuhonni,
Sp.RM terpilih kembali menjadi Ketua PB Perdosri. Kongres Nasional VII diadakan pada tahun
2007 di Manado bersamaan dengan PIT VII dan 4th ARMA Conference dan dr. A. Peni Kusumastuti,
Sp.RM terpilih sebagai ketua. Kongres Nasional VIII diadakan pada tahun 2010 di Bandung
bersamaan dengan PIT IX dan dr. Luh Karunia Wahyuni, SpKFR terpilih sebagai ketua. Penulisan
gelar SpRM berubah menjadi SpKFR pada tahun 2009 dengan SK No. 006/ Kol.IKFRI/12/V/2009.

Kongres Nasional IX (KONAS IX) dilaksanakan bersamaan dengan acara PIT XII PERDOSRI yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 2 - 5 Oktober 2013. Pemilihan Ketua PB PERDOSRI
dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2013, dimana dr. Luh Karunia Wahyuni, SpKFR(K) terpilih
kembali menjadi Ketua PB PERDOSRI periode 2013 – 2016.

Kongres Nasional X (KONAS X) dilaksanakan bersamaan dengan acara PIT XV PERDOSRI dan
The 15th ASIAN Spinal Cord Network (ASCoN XV) di Jakarta pada tanggal 26 – 30 Oktober

110 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 111

2016. Pemilihan Ketua PB PERDOSRI dilaksanakan pada tanggal 27 Oktober 2016, dimana dr.
Sudarsono, SpKFR terpilih menjadi Ketua PB PERDOSRI periode 2016 – 2019.

Terdapat sejumlah program kerja Perdosri yang telah dilaksanakan, seperti lokakarya dan
simposium serta penerbitan beberapa buku, meliputi White Book IKFR, buku prosedur KFR,
dan jurnal ilmiah. Selain itu, terdapat pula kegiatan nonilmiah, berupa pendataan keanggotaan
Perdosri, pemeliharaan isi situs web Perdosri, pematangan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga, dan akses kerja sama lintas sektoral dengan organisasi lain.

1. Visi dan Misi Perdosri


»» Visi Perdosri adalah menjadi organisasi profesional yang unggul dalam bidang KFR dan mampu
berkiprah di tingkat Asia Pasifik pada tahun 2020 serta tingkat dunia pada tahun 2025. 1
»» Misi Perdosri, antara lain: 1
1. Mengupayakan dokter spesialis KFR yang profesional, berkualitas, beretika dengan
membina anggota secara berkelanjutan, berkesinambungan mengikuti perkembangan
iptekdok KFR, dan mengembangkan peran serta anggota semaksimal mungkin;
2. Mengutamakan kerja sama tim rehabilitasi dan koordinasi intradisiplin,
interdisipliner, multidisiplin, lintas program, dan lintas sektoral dalam memberikan
pelayanan KFR yang berkualitas dan paripurna;
3. Mempersiapkan anggota muda/calon anggota untuk menjadi spesialis KFR yang
profesional dan kompeten (diklat untuk anggota muda);
4. Melakukan penelitian dan publikasi secara nasional dan internasional di bidang
IKFR, baik secara monocenter maupun multicenter;
5. Menyelenggarakan pelayanan KFR secara good clinical governance berbasis bukti
(evidence based medicine) dengan berorientasi kepada kepentingan pasien (patient
centered);
6. Menjadi salah satu bagian integral dari organisasi KFR internasional dengan
berpartisipasi aktif dalam forum KFR internasional, meliputi ARMA (tingkat Asia
Tenggara), AOSPRM (tingkat Asia Pasifik), dan ISPRM (tingkat dunia);
7. Mencetak dokter spesialis KFR yang profesional, berkualitas, dan beretika dengan
membina anggota secara berkesinambungan mengikuti perkembangan iptekdok KFR;
8. Mengembangkan peran serta anggota dalam peningkatan kompetensi KFR; dan
9. Mengintegrasikan kerja sama tim rehabilitasi, berkoordinasi dengan profesi lain
dan organisasi nasional serta internasional dalam rangka memberikan pelayanan
KFR yang berkualitas dan paripurna.
2. Tujuan
1. Jangka pendek
Menjadi profesional yang unggul dalam bidang KFR dan berkiprah di Asia Tenggara
pada tahun 2013-2019. 1
2. Jangka menengah
Menjadi profesional yang unggul dalam bidang KFR dan berkiprah di Asia pada tahun
2016-2020. 1
3. Jangka panjang, meliputi: 1
a. Menjadi profesional yang unggul dalam bidang KFR dan berkiprah di tingkat Asia
Pasifik pada tahun 2020-2024; dan
b. Menjadi profesional yang unggul di bidang KFR dan berkiprah secara global di
tingkat dunia pada tahun 2025 dan seterusnya.

3. Strategi Pencapaian
1. Jangka pendek, meliputi:
a. Meninjau kembali kurikulum pendidikan KFR agar dapat memenuhi kebutuhan
minimal di bidang kognitif dan keterampilan (clinical privilege 2);
b. Mensosialisasikan peran KFR pada pemberi pelayanan kesehatan;
c. Mensosialisasikan dan memberikan advokasi tentang peran KFR pada penentu
kebijakan pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta;
d. Melakukan publikasi kegiatan dan penelitian serta peran KFR secara berkelanjutan
melalui semua jenis media terakreditasi, baik nasional maupun internasional;
e. Meningkatkan kompetensi KFR (kognisi dan kemampuan) anggota melalui workshop
atau pelatihan yang bersertifikasi yang diakui oleh Kolegium KFR;
f. Menyusun clinical pathway dan menyinergikannya dengan disiplin ilmu lain yang terkait;
g. Berperan aktif dalam kelompok seminat dan tim-tim koordinatif dalam bidang kesehatan;
h. Berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang terkait dengan bidang KFR;
i. Peningkatan jumlah lulusan KFR dan pemerataan penempatan mulai dari Sabang
hingga Merauke;
j. Meningkatkan kemampuan dalam mengelola tim rehabilitasi medik, baik secara
multidisiplin, interdisipliner, maupun intradisiplin, termasuk kemampuan berkomunikasi
dengan semua pihak terkait;
k. Meningkatkan jumlah penjamin pada pelayanan KFR oleh pihak ketiga, seperti pihak
asuransi; dan
l. Menyelenggarakan sistem konsultasi berjenjang berkaitan dengan permasalahan etik
profesi dan keorganisasian.

112 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 113

2. Jangka menengah, meliputi:


a. Melakukan publikasi kegiatan dan penelitian serta peran KFR secara berkelanjutan
melalui semua jenis media terakreditasi, baik nasional maupun internasional;
b. Menerbitkan jurnal IKFR secara rutin/periodik;
c. Menjalin kerja sama dengan disiplin ilmu yang lain;
d. Berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang terkait dengan bidang KFR;
e. Meningkatkan kemampuan dan peran dokter spesialis KFR dalam sistem manajemen
pada semua tingkatan yang diwujudkan melalui sesi-sesi khusus di setiap PIT/PKB/
Konas dan pertemuan-pertemuan lain;
f. Menjalin kerjasama dengan pusat pendidikan KFR di luar negeri dalam upaya
peningkatan kompetensi;
g. Memfasilitasi pusat pendidikan KFR dalam mengembangkan kemampuan diagnostik
dan pelayanan unggulan; dan
h. Menyelenggarakan sistem ujian board bertaraf internasional.
3. Jangka panjang; meliputi:
a. Melakukan publikasi kegiatan dan penelitian serta peran KFR secara berkelanjutan
melalui semua jenis media terakreditasi, baik nasional maupun internasional;
b. Menjalin kerja sama dengan disiplin ilmu yang lain;
c. Berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang terkait dengan bidang KFR;
d. Memfasilitasi anggota untuk terlibat aktif dalam forum internasional, seperti ARMA,
AOSPRM, ISPRM, dll.; dan
e. Men power planning KFR yang memadai hingga mencapai RS tipe C di seluruh
Indonesia.

B. Organisasi Tingkat Regional


Organisasi regional pertama yang dibentuk di tingkat ASEAN adalah ARMA (ASEAN
Rehabilitation Medicine Association). Kongres ARMA I diadakan di Chiang Mai, Thailand pada
tahun 1998. Sebagai anggota ARMA, Indonesia pernah menjadi tuan rumah Kongres ARMA
sebanyak dua kali, yaitu Kongres III pada tahun 2004 di Bali dan Kongres IV pada tahun 2007
di Manado ketika dr. Angela B. M. Tulaar, SpRM menjabat sebagai Presiden ARMA 2004-2007.

Indonesia juga bergabung dalam organisasi tingkat regional yang lain, yaitu The Asian-Oceanian
Society of Physical and Rehabilitation Medicine (AOSPRM). Salah satu tujuan AOSPRM adalah
membantu organisasi profesi nasional untuk memengaruhi pemerintah lokal dan nasional terkait isu
rehabilitasi medik. Kongres AOSPRM I diselenggarakan pada tahun 2008 dan selanjutnya diadakan
setiap dua tahun sekali. Misi AOSPRM yang tertuang dalam Anggaran Dasar AOSPRM, meliputi:2
1. Menjadi organisasi ilmiah dan pendidikan di region Asia Oseania bagi para praktisi di
bidang kedokteran fisik dan rehabilitasi;
2. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap para dokter dalam memahami
patodinamika serta penatalaksanaan impairment, keterbatasan aktivitas, dan partisipasi;
3. Membantu memperbaiki kualitas hidup para penyandang impairment dan keterbatasan
aktivitas; dan
4. Menyediakan mekanisme penyebaran informasi tentang rehabilitasi medik di region Asia
Oseania kepada organisasi kesehatan internasional.

C. Organisasi Tingkat Internasional


Cikal bakal organisasi KFR internasional dimulai pada tahun 1948 ketika sekelompok dokter
spesialis KFR dari Amerika Serikat dan Eropa berkumpul dan sepakat membentuk organisasi.
Pada tahun 1950, dibentuk panitia sementara dan dr. Frank Krusen yang kala itu menjabat
sebagai presiden, mendirikan The International Federation of Physical Medicine (Federation).
Dalam Kongres Internasional ke-6 pada tahun 1972 di Barcelona, Federation secara resmi
berubah nama menjadi International Federation of Physical Medicine and Rehabilitation
(IFPMR) sebagai bentuk penghormatan atas aktivitas rehabilitasi yang dilakukan oleh berbagai
organisasi tingkat nasional.3

Tahun 1988, tepatnya pada Kongres Internasional IFPMR ke-10, diadakan pertemuan khusus
antara perwakilan dari International Rehabilitation Medicine Association (IRMA) dan IFPMR serta
Medical Commission of Rehabilitation International. Tujuan pertemuan tersebut adalah membuat
kebijakan dalam upaya mengoordinasikan hal-hal serupa yang kerap dikerjakan oleh ketiga
organisasi tersebut sehingga duplikasi dapat dicegah. Setelah melakukan beberapa pertemuan
koordinasi di tahun-tahun berikutnya, perwakilan IRMA dan IFPMR akhirnya sepakat untuk
melebur kedua organisasi tersebut menjadi satu. Melalui serangkaian perundingan, akhirnya pada
tanggal 15 Mei 1996 di Israel, IRMA dan IFPMR dilebur menjadi organisasi baru yang dinamai The
International Society of Physical and Rehabilitation Medicine (ISPRM). Kongres Internasional IFPMR
yang ke-13 pada tahun 1999 merupakan kongres terakhir karena sejak saat itu nama ISPRM mulai
diberlakukan sampai saat ini. Kongres ISPRM I diselenggarakan pada tahun 2001 dan sejak tahun
2013 diadakan setahun sekali. ISPRM telah meresmikan Journal Of The International Society of
Physical And Rehabilitation Medicine (JISPRM) sebagai jurnal publikasi resmi.

114 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 115

Non Governmental Organizations


in official relationship

Implementation Consulting Strategic Alliances Official Relation Voting

Consulting Official
Nation States ISPRM Relation WORLD HEALTH Organizations

Consulting Strategic Alliances Partnership

Attendance
and making
statements

Non Governmental
Submission of
Organizations Memoranda WORLD HEALTH Assembly
not in official relationship

Director general
Workplan

DISability & rehabilitation

Internal
Relation Classification, terminology
& standards

Misi ISPRM yang terdapat dalam Anggaran Dasar ISPRM, meliputi: 3


• Menjadi organisasi ilmiah dan pendidikan di tingkat internasional bagi praktisi KFR;
• Meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap para dokter dalam memahami
patodinamika serta penatalaksanaan impairment dan disabilitas;
• Membantu memperbaiki kualitas hidup para penyandang impairment dan disabilitas; dan
• Menyediakan mekanisme fasilitas dalam memberi masukan tentang rehabilitasi medik
kepada organisasi kesehatan internasional, khususnya mereka yang berkiprah di bidang
kedokteran fisik dan rehabilitasi.

Kepustakaan
1. PERDOSRI PB. Sejarah PERDOSRI. 1st ed. Jakarta; 2012
2. Asian-Oceanian Society of Physical and Rehabilitation Medicine. Diunduh dari http://www.
aosprm. org/en-mission.html.
3. International Society of Physical and Rehabilitation Medicine. History. Diunduh dari http://
www.isprm.org
116 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 117

Kedokteran Fisik &


Rehabilitasi Dalam
Sistem Kesehatan
Nasional
A. Pendahuluan
Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) dalam memberikan pelayanan lebih mengutamakan
pendekatan kerjasama tim interdisipliner, dibandingkan multidisipliner dan transdisipliner.
Kerjasama multidisipliner adalah kombinasi disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengatasi masalah
tertentu dengan aktivitas pelayanan sesuai bidang masing-masing.1,2 Pendekatan interdisipliner
merupakan kombinasi disiplin ilmu yang bekerja sama secara komprehensif dan terintegrasi untuk
mengatasi masalah tertentu.3,4 Kerjasama interdisipliner pada tim rehabilitasi medik diwujudkan
dalam bentuk tim multi profesi/Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang terdiri dari dokter spesialis
KFR, tenaga keterapian fisik (fisioterapis, terapis wicara, terapis okupasi), ortotik-prostetik, tenaga
keperawatan, psikolog klinis, dan petugas sosial medik. Tim ini bekerja secara kolaboratif dalam
meningkatkan kualitas hidup pasien sesuai sarana dan prasarana fasilitas kesehatan yang tersedia.

Fasilitas Kesehatan berdasarkan Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 dibedakan menjadi Rumah
Sakit Umum (RSU) dan Rumah Sakit Khusus (RSK). RSU adalah unit pelayanan kesehatan
paripurna yang memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat untuk semua
bidang dan jenis penyakit dengan klasifikasi kelas A, B, C, dan D. RSK adalah rumah sakit dengan
pelayanan pada satu bidang/jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya dengan klasifikasi kelas A, B, dan C.5

Demi terjaminnya pelayanan Rehabilitasi Medik yang spesifik dan efektif, perlu direncanakan
pengadaan RSK Rehabilitasi Medik di Indonesia.

B. Gangguan Fungsi Sebagai Masalah


Kesehatan Masyarakat
Kemajuan teknologi di bidang kedokteran telah membawa banyak manfaat bagi peningkatan
pelayanan kesehatan. Hal tersebut juga berdampak pada tiga faktor masalah kesehatan, yakni angka
kematian, kelainan kongenital, dan angka harapan hidup. Sebagian besar masalah kesehatan, baik
akibat kecelakaan maupun penyakit akut dan kronik, telah dapat diatasi dengan penatalaksanaan
medik yang canggih sehingga penderita dapat bertahan hidup. Masalah kesehatan akibat
kelainan kongenital juga berhasil teratasi sehingga banyak yang berhasil dipertahankan untuk
hidup. Kemajuan di bidang kedokteran dan kesehatan secara umum juga berhasil meningkatkan
usia harapan hidup sehingga menambah jumlah populasi lanjut usia (lansia).6

118 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 119

Kemajuan di bidang kesehatan bukan berarti tanpa konsekuensi masalah kesehatan lanjutan.
Pasien yang telah pulih dari suatu trauma, penyakit, atau kelainan kongenital perlu diawasi
terhadap kemungkinan timbulnya gangguan fungsi yang dapat menurunkan kualitas hidup.
Demikian pula dengan meningkatnya usia harapan hidup, hal ini secara tidak langsung juga
disertai dengan komorbiditas dan keterbatasan fungsi terkait faktor usia. Ketiga hal tersebut
kemudian menjadi masalah utama dalam peningkatan prevalensi gangguan fungsi yang
merupakan salah satu masalah di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi di masyarakat. 6,7

Pada tanggal 9 Juni 2011, WHO mengeluarkan World Report on Disability (WRD) di markas
besar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), New York. Berdasarkan data WRD didapatkan
gambaran gangguan fungsi secara global dalam bentuk data prevalensi gangguan fungsi,
kecenderungan masalah kesehatan yang terkait dengan gangguan fungsi, demografi dasar
yang meliputi subpopulasi anak-anak dan lanjut usia, dan indikator-indikator ekonomi.6,7

Selama dekade terakhir ternyata artritis dan/atau masalah muskuloskeletal lain merupakan
penyebab utama keterbatasan aktivitas di Amerika Serikat (Gambar IX-1 dan IX-2).8,9 Hal ini
didukung oleh data yang menunjukkan terdapat ratusan juta orang di dunia yang memiliki
masalah muskuloskeletal. Adanya kondisi ini mendorong munculnya gerakan internasional
yang dikenal sebagai the Bone and Joint Decade.

14 Mental Illness
5
4 Fractures or joint injury
18 - 44 tahun 3
6
Lung
19 Diabetes
6
Heart of other circulatory
23
13 Arthritis or other musculoskeletal
12 Mental retardation
45 - 54 tahun 14
27
58
4

28
19
19
55 - 64 tahun 31
61
99
3

0 20 40 60 80 100 120

Gambar IX-1. Keterbatasan Aktivitas yang Disebabkan oleh Penyakit Kronik Tertentu di
antara Individu Dewasa Usia Produktif.10
9 Senility or dementia
36
41 Lung
65 - 74 17
tahun 9
Diabetes
96 Vision
122
Hearing
34
42 Heart of other circulatory
75 - 84 44 Arthritis or other musculoskeletal
tahun 31
22
138
167

83
38
50
85 tahun 89
dan lebih 72
204
281

0 50 100 150 200 250 300

Gambar IX-2. Keterbatasan Aktivitas yang Disebabkan Penyakit Kronik Tertentu di antara
Individu Lanjut Usia.10

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh Badan
Litbang Departemen Kesehatan diketahui bahwa prevalensi impairment berkisar antara 9–249
dari 1000 orang anggota rumah tangga, sedangkan prevalensi gangguan fungsi berkisar antara
2–217 dari 1000 anggota rumah tangga. Kementerian Sosial menyatakan jumlah penyandang
gangguan fungsi di Indonesia sebanyak 4% dari total jumlah penduduk dengan 30% di
antaranya adalah penyandang gangguan fungsi penglihatan, 26% penyandang gangguan
fungsi fisik, 22% penyandang gangguan fungsi pendengaran, 12% dengan gangguan mental,
dan 10% dengan penyakit kronis. Data SAKERNAS 2017 menyatakan terjadi peningkatan
jumlah penyandang gangguan fungsi menjadi 8% dari total jumlah penduduk Indonesia
dengan 51% berada dalam usia produktif dan 49% dalam usia non-produktif.

C. Peran Kedokteran Fisik dan


Rehabilitasi dalam Sistem Kesehatan
Nasional
Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2009 dinyatakan bahwa tujuan SKN adalah
terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat,
swasta, maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna, dan berdaya guna sehingga

120 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 121

terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setingi-tingginya.12 SKN 2009 adalah


penyempurnaan dari SKN sebelumnya yang merupakan bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah bersama seluruh elemen bangsa
dalam rangka meningkatkan pencapaian pembangunan kesehatan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. 12

Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal, perlu diselenggarakan berbagai
upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia. Upaya pelayanan
kesehatan bagi masyarakat yang diselenggarakan secara berkesinambungan dan paripurna meliputi
upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan, pemulihan, dan rujukan antar tingkatan upaya.

Layanan KFR di Indonesia dilakukan secara berjenjang mulai dari rumah sakit, puskesmas,
hingga masyarakat.13 Upaya layanan KFR di rumah sakit dikembangkan ke arah peningkatan
mutu (layanan spesialistik dan subspesialistik), jangkauan layanan, dan sistem rujukan.
Pelayanan yang diberikan dapat berupa pelayanan konsultasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, tindakan medik, peresepan program terapi, peresepan medikamentosa, dan
peresepan alat bantu kesehatan dan/atau ortotis prostetis.14

Upaya layanan rehabilitasi medik di puskesmas ditujukan untuk memberikan layanan rehabilitasi
medik dasar dan pembinaan kepada masyarakat melalui program RBM dan pelatihan dokter
umum untuk melaksanakan rujukan pada kasus dengan gangguan fungsi. Layanan rehabilitasi
medik di masyarakat dilakukan melalui program RBM yang bertujuan agar masyarakat lebih
berperan aktif dalam upaya mendeteksi dan mengatasi masalah gangguan fungsi melalui
kerjasama interdisipliner pada masyarakat. Hal ini dilakukan agar individu difabel dapat memiliki
kesempatan untuk berperan dalam aspek kehidupan dan penghidupan.

D. Jaminan Kesehatan Terkait


Layanan Rehabilitasi Medik
Jaminan kesehatan adalah jaminan perlindungan kesehatan bagi setiap peserta agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.15 Dokter spesialis KFR memberikan pelayanan rehabilitasi medik
sesuai standar pelayanan berdasarkan indikasi medis dengan memperhatikan keselamatan
pasien dan petugas kesehatan.
Jaminan kesehatan nasional yang wajib dimiliki penduduk Indonesia dikelola oleh badan hukum
yaitu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan mencakup empat program yaitu jaminan kecelakaan
kerja, hari tua, pensiun, dan kematian.15,16 Jaminan kesehatan lain berupa asuransi kesehatan
swasta atau private health care, adalah asuransi yang disediakan oleh institusi swasta (non-
pemerintah), yang dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Asuransi kesehatan swasta
adalah produk komersial yang tidak wajib dimiliki oleh semua orang. Pelayanan rehabilitasi
medik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) menggunakan sistem pembiayaan
Indonesia Case by Groups (INA CBGs), yaitu pembiayaan per episode pelayanan. 15

E. Rumah Sakit Khusus Rehabilitasi


Medik
Rumah sakit khusus rehabilitasi medik adalah fasilitas pelayanan kesehatan paripurna
yang memberikan pelayanan pada satu bidang Ilmu KFR. Adanya RSK Rehabilitasi Medik
diharapkan dapat menjadi fokus pelayanan rehabilitasi medik paripurna sebagai rumah sakit
rujukan sehingga dapat meningkatkan mutu kesehatan.12,14 Terdapat klasifikasi RSK, yaitu tipe
A, B, dan C. Pusat rujukan rehabilitasi medik tertinggi adalah RSK tipe A. Saat ini baru tersedia
satu RSK, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1533/Menkes/
Sk/X/2010 mengenai RSK Rehabilitasi Medis tipe C di daerah Aceh.16

Kepustakaan

1. Dziegielewski S. The changing face of health care social work. New York: Springer Pub.
Co.; 1998.

2. Von Kodolitsch Y, Rybczynski M, Vogler M, Mir T, Schüler H, Kutsche K et al. The role of the
multidisciplinary health care team in the management of patients with Marfan syndrome.
Journal of Multidisciplinary Healthcare. 2016;9:587-614.

122 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 123

3. Yeager K. Modern Community Mental Health: An Interdisciplinary Approach. New York,


N.Y.: Oxford University Press; 2013.

4. Pillay B, Wootten A, Crowe H, Corcoran N, Tran B, Bowden P, et al. The impact of


multidisciplinary team meetings on patient assessment, management and outcomes
in oncology settings: A systematic review of the literature. Cancer Treatment Reviews.
2016;42:56-72.

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014.

6. World Health Organisation, World Bank. World report on disability. Geneva, Switzerland:
World Health Organisation; 2011.

7. Van Groote PM. Bickenbach JE, Gutenbrunner C. The world report on disability –
implications, perspectives and opportunities for physical and rehabilitation medicine
(PRM). J Rehabil Med 2011;43:869-75.

8. United States Bone and Joint Decade.The burden of musculoskeletal diseases in the
united states. Rosemont, IL: American Academy of Orthopaedic Surgeons; 2008.

9. McDonough CM, Jette AM. The contribution of osteoarthritis to functional limitations and
disability. Clin Geriatr Med. 2010;26(3):387–99.

10. National Center for Health Statistics. Health, united states, 2009: with special feature on
medical technology. Hyattsville, MD: U.S. Department of Health and Human Services;
2010.

11. Perdir Jampelkes Nomor 10 Tahun 2014 tentang Rehabilitasi Medik.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sistem kesehatan nasional. Jakarta:Departemen


Kesehatan Republik Indonesia; 2009.

13. Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman peayanan rehabilitasi medik di rumah sakit kelas, a, b, c dan d. Edisi ketiga.
Jakarta: Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia;2007.

14. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

15. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

16. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1533/menkes/sk/2010 tentang Penetapan


Tipe Klass Rumah Sakit Khusus Rehabilitasi Medik Peureulak Aceh Timur.
124 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 125

Penelitian dan
Pengembangan
A. Model Integratif ICF sebagai
Fondasi Ilmiah
Paradigma fungsi manusia (human functioning) yang menyeluruh sebagaimana diberikan
dalam ICF merupakan fondasi ilmiah bagi pengembangan riset dalam KFR.1 Dalam model
ICF, fungsi manusia mencakup fungsi tubuh dan struktur anatomi,aktivitas individu, dan
partisipasi sosialnya dalam kehidupan manusia.2 Serupa dengan itu, gangguan fungsi tidak
lagi dipandang sebagai ‘atribut’ seseorang melainkan sebagai suatu ‘pengalaman’yang dapat
berupa impairment, keterbatasan aktivitas, hambatan partisipasi, atau ketiganya. Oleh karena
itu, riset di bidang KFR memerlukan perspektif yang komprehensif dan meliputi ilmu-ilmu
alam serta teknis, ilmu rehabilitasi, ilmu perilaku dan psikologi, ilmu-ilmu sosial, dan berbagai
bidang ilmu lainnya (Gambar X-1).3,4

KONDISI KESEHATAN
Biologi
Kedokteran Molekular

STRUKTUR & FUNGSI TUBUH AKTIVITAS PARTISIPASI


Anatomi & Fisiologi Ilmu Rehabilitasi Biomedis & Teknis Ilmu Rehabilitasi Integratif
Fisiologi Orahraga Ilmu Rehabilitasi Integratif
Terapan & Transisional
Ilmu Gerak & Olahraga
Neurobiologi
Biologi Molekular dan Genetik

FAKTOR-FAKTOR PERSONAL FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN


Antropologi PERSPEKTIF YANG MENAUNGI Ekonomi
Ilmu Perilaku Epidemiologi ilmu-ilmu Kesehatan Sosiologi
Antropologi Budaya &
Neurobiologi Human Functioning Science
Sosial Ilmu Politik
Psikologi Filsafat, Sejarah dan Etika Hukum Kesehatan & Sosial
Kesehatan Masyarakat Teknik Lingkungan
Egonomi

Gambar X-1.Berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan riset fungsi manusia dan rehabilitasi.
Suatu disiplin mungkin relevan, terfokus, atau terintegrasi dengan satu atau lebih komponen
ICF. Demi alasan praktis, satu disiplin ilmu hanya dicantumkan di bawah satu komponen ICF.3

126 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 127

B. Riset KFR dalam Konteks Evidence-


Based Medicine (EBM)
Ilmu KFR didasarkan pada prinsip-prinsip kedokteran berbasis bukti atau EBM.5,6 Pada
awalnya, riset-riset di bidang KFR tertuju pada mekanisme kerja fisiologis berbagai modalitas
fisik. Namun, kini telah banyak riset prospektif yang dilakukan terhadap keampuhan (efficacy)
KFR di berbagai penyakit seperti nyeri punggung bawah, strok, cedera otak dan sumsum
tulang belakang, artritis reumatoid, gangguan kardiovaskular, paru, dan metabolik. Selain itu,
telah banyak pula meta-analisis terhadap uji klinik terkontrol pada berbagai kondisi meskipun
luaran yang diukur belum sepenuhnya dibakukan.7

Riset dalam KFR penting untuk memahami proses dasar KFR seperti bagaimana individu
mendapatkan keterampilan baru dan bagaimana jaringan dalam tubuh (misalnya otot atau
serabut saraf dalam sistem saraf pusat) dapat pulih atau beradaptasi dengan efek yang
diakibatkan oleh cedera atau penyakit. Ilmu-ilmu dasar dibutuhkan untuk memahami dan
menjelaskan fenomena yang jauh dari deskripsi empiris. 7

Riset juga dapat menguraikan insidensi dan prevalensi gangguan fungsi, mengidentifikasi
faktor-faktor yang menentukan pemulihan, dan kapasitas untuk berubah untuk mendapatkan
keterampilan baru dan untuk merespons program KFR. Ilmu-ilmu rehabilitasi integratif terfokus
pada kinerja, yakni apa yang seseorang lakukan di kehidupan nyata. 7

Riset dalam KFR tidak hanya membutuhkan pendekatan baku pada ilmu dasar dan intervensi
praktik medik, tetapi juga kemajuan di bidang metodologi. Oleh karena itu, studi acak terkontrol
sudah dilakukan meskipun masih kurang efektif jika tujuan yang ingin didapat berbeda antar
individu, khususnya jika hal tersebut terjadi karena alasan pribadi atau sosial dibandingkan
dengan biologis. Kombinasi penelitian kualitatif dan kuantitatif dapat memberikan dasar
analisis yang lebih baik mengenai efektivitas rehabilitasi. Kerja sama interdisipliner dapat
menggabungkan pendekatan biomedik dan teknis dengan pendekatan yang dibangun oleh
ilmu-ilmu sosial dan perilaku sehingga membantu dalam penyusunan program dan praktik
yang efektif untuk memenuhi kebutuhan pasien dan pengasuhnya. 7
C. Ranah Penelitian
Berdasarkan model ICF dari WHO, penelitian di bidang KFR dapat dibagi dalam lima bidang
keilmuan (gambar X-2), yaitu:8,9,10

SAMPAI
MASYARAKAT Ilmu mengenaI
fungsi manusia

Ilmu mengenaI
REHABILITASI
TERINTEGRASI

ILMU
REHABILITASI
PROFESIONAL

Ilmu mengenaI
REHABILITASI
BIOMEDIS
& Teknik
REHABILITASI

ILMU BIOLOGI
DALAM
REHABILITASI
DARI SEL

Gambar X-2. Kerangka kerja riset dalam kedokteran fisik dan rehabilitasi.4

1. Human Functioning Sciences (Ilmu mengenai Fungsi Manusia)


Ilmu ini bertujuan untuk memahami status fungsi manusia dan identifikasi target
dari intervensi yang komprehensif dengan tujuan mengoptimalkan status fungsi dan
meminimalkan gangguan fungsi. Ilmu ini terdiri dari: 9,10
• Teori dan model mengenai fungsi
• Klasifikasi dan pengukuran fungsi
• Epidemiologi fungsi
• Pengkajian dampak fungsi

128 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 129

2. Biosciences in Rehabilitation (Ilmu Biologi dalam Rehabilitasi)


Ilmu ini bertujuan untuk menjelaskan cedera dan reparasi jaringan tubuh manusia dan
mengidentifikasi target intervensi biomedik untuk memperbaiki struktur dan fungsi tubuh
manusia. Ilmu ini terdiri dari: 9,10

• Cedera dan reparasi jaringan


• Plastisitas
• Mekanisme seluler dan molekuler kontraksi otot
• Sel punca

3. Integrative Rehabilitation Sciences (Ilmu mengenai Rehabilitasi Terintegrasi)


Ilmu ini berisi rancangan serta studi asesmen-dan-intervensi yang komprehensif
dengan pendekatan biomedik, faktor personal, dan lingkungan yang terintegrasi untuk
meningkatkan performa manusia, yang terdiri dari: 9,10

• Penelitian pelayanan rehabilitasi; termasuk kebijakan dan hukum kesehatan, ekonomi


rehabilitasi, dan penelitian berbasis partisipasi masyarakat.
• Riset intervensi rehabilitasi; termasuk riset program intervensi rehabilitasi, penilaian
teknologi rehabilitasi dalam konteks klinis dan komunitas, transfer teknologi, dan
penerapan desain riset mulai dari uji acak terkontrol sampai studi observasional.
• Administrasi dan manajemen rehabilitasi; termasuk pengembangan layanan terpadu
dan konsep layanan serta program penatalaksanaan kasus berbasis ICF, juga desain
struktur-struktur lain dan proses di dalam institusi rehabilitasi.

4. Biomedical Rehabilitation Sciences and Engineering (Rehabilitasi Biomedik dan


Teknologi Rehabilitasi)
Bidang keilmuan ini mencakup riset diagnostik dan intervensi yang tepat untuk minimalisasi
impairment, termasuk mengontrol gejala dan mengoptimalkan kapasitas manusia, yang
terdiri dari: 9,10

• Riset yang berkaitan dengan sistem organ, misalnya rehabilitasi sistem kardiopulmonal,
muskuloskeletal, atau neurologis.
• Riset berkaitan dengan prinsip-prinsip intervensi; mencakup teknologi rehabilitasi,
intervensi manajemen nyeri, latihan terapeutik, dan modalitas fisik.
5. Professional Rehabilitation Sciences (Ilmu Rehabilitasi Profesional)
Bidang keilmuan ini mencakup riset pemberian tata laksana rehabilitasi terbaik untuk sasaran
masyarakat dengan gangguan fungsi sehingga dapat mencapai atau mempertahankan
fungsi seoptimal mungkin dalam interaksi dengan lingkungannya. Bidang ini terdiri dari: 9,10

• Standar dan pedoman pemberian perawatan terbaik.


• Manajemen kualitas rehabilitasi.
• Pendidikan dan pelatihan ilmiah bagi profesional di bidang rehabilitasi.
• Pengembangan dan evaluasi tim rehabilitasi.

130 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 131

Kepustakaan

1. Stucki G, Reinhardt JD, Grimby G, Melvin J. Developing “human functioning and rehabilitation
research” from the comprehensive perspective. J Rehabil Med 2007;39:665-71.

2. World Health Organisation: ICF: International classification of functioning, disability and


health.Geneva, Switzerland: World Health Organisation;2001.

3. Stucki G, Celio M. Developing human functioning and rehabilitation research. Part II:
interdisciplinary university centers and collaboration networks. J Rehabil Med 2007;39:334-
42.

4. Stucki G, Grimby G. Organizing human functioning and rehabilitation research into distinct
scientific fields. Part I: Developing a comprehensive structure from the cell to society. J Rehabil
Med 2007;39:293-8.

5. Negrini S, Minozzi S, Taricco M, Ziliani V, Zaina F. A sytematic review of physical and rehabilitation
medicine topics, as developed by the Cochrane collaboration. EuraMedicophys 2007;43:381-
90.

6. Cole TM, Kewman D, Boninger ML. Development of medical rehabilitation research in 20th-
century America. Am J Phys Med Rehabil 2005;84:940-54.

7. Manchikanti L, Benyamin RM, Helm RS, Hirsch JA. Evidence-based medicine, systematic
reviews, and guidelines in interventional pain management: part 3: systematic reviews and
meta-analyses of randomized trials. Pain Physician 2009;12:35-72.

8. Stucki G, Reinhardt JD, Grimby G. Organizing human functioning and rehabilitation research
into distinct scientific fields. Part II: conceptual descriptions and domains for research. J
Rehabil Med 2007;39:299-307.

9. Stucki G, Reinhardt JD, Grimby G, Melvin F. Developing research capacity in human functioning
and rehabilitation research from the comprehensive perspective based on the ICF-model. Eur
J Phys Rehabil Med 2008;44:343-51.

10. Frontera WR, DeLisa JA, Gans BM, Walsh NE, Walsh NE and Robinson LR. Delisa’s physical
medicine & rehabilitation: principles and practice. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams;
2010. p318-9.
132 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 133

Tantangan KFR
di Masa Depan
Perkembangan ilmu kedokteran terus berlangsung termasuk di
bidang KFR. Penemuan-penemuan khususnya di bidang biomedik dan
teknologi alat bantu bagi penyandang disabilitas merupakan salah
satu penemuan yang baik pada masa kini maupun masa mendatang di
bidang KFR. Perkembangan ilmu dan teknologi dapat meningkatkan
pelayanan dan kualitas hidup para penyandang disabilitas di satu
sisi; di sisi lain dapat menimbulkan tantangan bagi tenaga kesehatan,
khususnya dokter spesialis KFR untuk menguasai ilmu pengetahuan
terkini dan memiliki keterampilan dalam memberikan pelayanan
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 1,2

Peningkatan kualitas layanan KFR secara umum dapat dinilai berdasarkan beberapa indikator: 1,2
• Kemudahan akses layanan KFR
• Perbandingan jumlah populasi dan jumlah dokter spesialis KFR
• Kelengkapan fasilitas KFR sesuai dengan standardisasi rumah sakit
• Hal ini menimbulkan beberapa tantangan yang harus diatasi dan diantisipasi melalui
strategi yang sesuai.

Saat ini sistem kesehatan menghadapi sejumlah tantangan yang memerlukan perubahan
konsep dan model tata kelola organisasi untuk mempermudah akses layanan kesehatan,
mempertahankan tingkat kualitas yang tinggi, dan mempertahankan viabilitas finansial secara
simultan. Hal ini merupakan masalah yang kompleks dan membutuhkan solusi yang tidak
mudah. Sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan, layanan KFR menghadapi tantangan
yang sama sehingga diperlukan perubahan untuk pelayanan yang lebih baik di masa depan. 1,2

Salah satu perubahan yang terjadi pada masyarakat adalah perubahan demografi. Peningkatan
jumlah populasi usia lanjut merupakan gambaran yang umum terjadi dan tampak semakin
nyata pada negara-negara berkembang. Fenomena ini memberikan tantangan pada sejumlah
sektor (kesehatan, jaminan sosial, dan lapangan kerja) sehingga menimbulkan pergeseran
kebutuhan layanan kesehatan dan politik. Populasi usia lanjut yang semakin besar mempunyai
dua konsekuensi: (1) tingginya prevalensi gangguan fungsi akibat proses degeneratif yang

134 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 135

normal sehingga menimbulkan deteriorasi kesehatan; (2) tekanan pada masyarakat dan sistem
kesehatan untuk menyokong kelompok usia lanjut tersebut. Kedua hal ini akan mempengaruhi
arah perkembangan organisasi dan pelayanan rehabilitasi medik. 1, 2

Perubahan lain adalah perubahan pola penyakit yang saat ini cenderung bersifat kronis. Layanan
rumah sakit saat ini masih berfokus kepada terapi penyakit yang bersifat akut, sementara
mayoritas kasus menuju perawatan jangka panjang. Kesenjangan antara kebutuhan pasien
dan apa yang dapat diberikan oleh pemberi layanan kesehatan menyebabkan timbulnya
perasaan frustrasi dari kedua belah pihak. Pembaruan model tata laksana penyakit yang baru
diperlukan untuk dapat mengatasi tantangan ini di masa depan 1,2

Paradigma baru rehabilitasi menyebabkan terjadinya pergeseran konsep. Dalam paradigma


yang baru, gangguan fungsi tidak lagi dipandang sebagai akibat dari suatu impairment.
Model sosial dari gangguan fungsi telah meningkatkan kesadaran bahwa rintangan
lingkungan terhadap aspek partisipasi merupakan penyebab utama terjadinya disabilitas dan
ketergantungan. Pendekatan untuk mengatasi hal ini melibatkan tidak hanya penyandang
disabilitas dan keluarganya, tetapi seluruh masyarakat memerlukan pendekatan baru pada
intervensi rehabilitasi yang dibentuk melalui interaksi klinis, sosial, dan ekonomi. 1, 2

Peningkatan angka gangguan fungsi menyebabkan meningkatnya ketergantungan dalam


melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan menimbulkan beban ekonomi yang tidak sedikit
bagi keluarga. Ketidakmandirian seseorang menimbulkan kebutuhan akan peran penting
perawat terlatih dan biaya untuk membayar perawatannya. Keluarga sebagai elemen kunci
dalam proses rehabilitasi menjadi pemberi layanan perawatan kesehatan yang utama.
Sebagian besar keluarga yang merawat penyandang disabilitas mengalami kelelahan dan
memerlukan suatu penyesuaian berkelanjutan terkait sikap dan perilaku, bahkan perubahan
peran keluarga. Selain masalah sosial, terdapat tantangan di bidang ekonomi berupa
kebutuhan bantuan ekonomi secara temporer hingga permanen akibat hilangnya pekerjaan
penyandang disabilitas. Terkait hal ini, tim layanan KFR harus menyadari adanya kemungkinan
kelelahan pada keluarga (family burn out) dan mampu memegang peranan penting untuk
mengajarkan pada keluarga terkait perawatan penyandang disabilitas mulai dari anak
sampai usia lanjut, mempersiapkan kemandirian anak penyandang disabilitas maupun yang
berpotensi disabilitas, dan memahami kesulitan keluarga dalam menghadapi permasalahan
dan bersama-sama mencari pilihan untuk menyelesaikan masalah.1,2
Pasien saat ini semakin mengharapkan suatu sistem kesehatan yang lebih baik dan
mendapatkan hak untuk memilih layanan kesehatan. Konsep memilih, yang telah masuk dalam
proses rehabilitasi, telah berkembang menjadi kebutuhan dan tantangan etika bagi profesi
kedokteran di masa depan. Mengacu pada perspektif ini, seorang profesional kesehatan yang
bergerak di layanan rehabilitasi mempunyai tanggung jawab untuk memberikan informasi
yang relevan sehingga pasien atau penyandang disabilitas dapat memberikan keputusan
terkait dengan layanan rehabilitasi yang sesuai dengan kondisinya.1,2

Perkembangan industri medik dan bio-teknologi saat ini juga menimbulkan dampak pada
pelayanan KFR. Sebagai contoh, perkembangan bahan implan baru dengan teknik operasi
invasif minimal menyebabkan proses pemulihan yang lebih cepat dan meminimalisasi
kebutuhan intervensi rehabilitasi saat rawat inap. Contoh lain adalah penerapan telemedicine
dan trombektomi mekanikal pada kasus stroke akut serta penerapan navigasi stereotaktik
robotik dan teknik fluoresen pada operasi tumor otak yang berdampak pada peningkatan
angka harapan hidup dengan konsekuensi peningkatan kebutuhan terhadap intervensi
rehabilitasi jangka panjang dan intensif. 4,5,6,7

Ditemukannya obat-obatan untuk kondisi degenerasi neurologis dan kemungkinan


pengobatan di masa depan dengan rekayasa genetik dan terapi sel punca, menyebabkan
pasien penyakit neurologis kronis memiliki kesempatan masa hidup yang lebih panjang
dari populasi sehat. Perjalanan penyakit degenerasi neurologis yang menjadi kurang agresif
memberikan ruang bagi intervensi rehabilitasi yang lebih intensif dan komprehensif pada
seluruh kehidupan pasien. 4,5,6,7

Perkembangan ilmu KFR di dunia salah satunya adalah perkembangan tata laksana rehabilitasi
dengan berdasarkan neuroplastisitas sulit diikuti oleh Indonesia karena kebijakan tata kelola
yang saat ini tidak memungkinkan untuk dilakukan rawat inap yang lama. Namun, mengingat
tingginya prevalensi cedera sistem saraf pusat dan kemajuan dalam teknologi medik,
pendekatan yang didasarkan pada neuroplastisitas akan semakin meningkat dan diharapkan
dapat terus dikembangkan sesuai situasi dan kondisi di Indonesia. 5

Berdasarkan beberapa contoh yang dijelaskan di atas, rehabilitasi di masa mendatang


harus berorientasi pada prioritas baru sehingga dibutuhkan tata ulang organisasi. Salah
satu contoh tantangan yang akan dihadapi adalah pemberian layanan KFR kepada populasi
pasien neurologis yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pengalaman klinis dari satu
dekade terakhir mengonfirmasi bahwa di masa depan ilmu berbasis neuro-rehabilitasi pada

136 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 137

perangkat teknologi tinggi termasuk robot rehabilitasi, rehabilitasi virtual reality, dan tele-
rehabilitasi akan berkembang dengan pesat. Klinik rehabilitasi di masa depan akan menjadi
institusi teknologi modern dan pakar yang sangat terspesialisasi dari bidang rehabilitasi dapat
memberikan program rehabilitasi yang intensif, komprehensif, dan sesuai terhadap masing-
masing individu. 1,2,5

Tantangan lain adalah adanya peningkatan biaya perawatan kesehatan. Persentase lansia yang
meningkat, membutuhkan lebih banyak perawatan kesehatan dan evolusi teknologi sehingga
meningkatkan kebutuhan biaya kesehatan. Dokter layanan kesehatan menghadapi tekanan
untuk memenuhi perannya dan konflik antara pasien dan administrasi. Titik temu antara sudut
pandang ekonomi dan perspektif humanistik menjadi suatu hal penting. 1,2

Sebagai dampak perubahan dari demografi, pola penyakit, dan perkembangan teknologi
tersebut, tim KFR memerlukan suatu perubahan terkait proses pemberian layanan kesehatan.
Tim rehabilitasi medik harus lebih terpapar dengan perkembangan teknologi dan terbuka
terhadap kontribusi dari profesi lain seperti bidang informatika dan bidang teknik untuk
membantu proses adaptasi perubahan ini. Perkembangan ilmu juga menyebabkan
berkembangnya profesi lain yang dapat menjadi anggota tim rehabilitasi medik tidak terbatas
hanya pada tim layanan KFR yang saat ini telah dikenal seperti kinesiotherapist, art therapist,
music therapist, dan lain-lain. 1,2,5,8

Layanan rawat jalan juga menghadapi tantangan yang sama. Saat ini layanan rehabilitasi medik
yang komprehensif membutuhkan tim multiprofesional yang bekerja secara kolaboratif, tidak
di dalam satu sarana maupun sarana yang berdekatan. Kenyataannya, tim tersebut bisa jadi
tidak lengkap atau tidak ada sama sekali, bahkan SpKFR dan tenaga profesional rehabilitasi
lainnya yang tergabung dalam satu tim layanan rehabilitasi tidak berada di tempat yang sama
sehingga mempersulit proses layanan yang terintegrasi, efisien, dan efektif.16

Tim Layanan KFR memiliki peran untuk meningkatkan kesadaran pada administrasi rumah
sakit dan manajer tata kelola rumah sakit terkait efektivitas pembiayaan. Penelitian-penelitian
diperlukan untuk mengukur luaran yang menunjukkan nilai dan keuntungan dari program-
program rehabilitasi, baik dari sisi ekonomi maupun ketergantungan pasien. 2,5,8

Spesialisasi KFR mengadopsi konsep ICF untuk kerja klinis (yang tidak berlaku untuk diagnosis
medik). Hal ini menyiratkan sejumlah variabel yang berpengaruh, dari struktur tubuh dan
fungsi hingga faktor pribadi dan lingkungan. Konsep ini mencerminkan realitas pasien yang
dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain itu, intervensi KFR sangat beragam pada penerapannya,
baik untuk dosis (intensitas, durasi, dan frekuensi aplikasi) maupun preferensi individu (dokter
dan pasien). Data eksperimen mendasar pada efek pengobatan jarang dilakukan sehingga
menyulitkan untuk merancang metode plasebo yang efektif. 2,8

Tantangan lain adalah penggunaan terapi kombinasi dalam praktik klinis KFR sehari-hari
yang sering mengombinasikan beberapa jenis terapi atau beberapa jenis obat. Oleh karena
ada banyak kemungkinan untuk menggabungkan terapi, di masa lalu sulit untuk dilakukan
perancangan uji klinis dari semua kemungkinan kombinasi. Desain ini membuat interpretasi
setiap perlakuan tunggal sangat sulit digunakan.

Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh SpKFR Indonesia, akan tetapi sangat disayangkan
bahwa hingga saat ini rekognisi terhadap SpKFR masih dirasakan kurang di Indonesia, area
regional, dan internasional sehingga aspek ini juga menjadi hal yang harus menjadi perhatian
bersama.

Tantangan riset untuk masa depan dalam aktivitas riset pada KFR di antaranya adalah isu
yang berkaitan dengan etik, kesehatan masyarakat, teknologi, dan ekonomi di mana ekonomi
mempengaruhi biaya penelitian dan kesehatan. 8

Tidak ada keraguan tentang perlunya EBM dalam memosisikan dan mengembangkan
spesialisasi KFR. Di masa lalu, uji coba kualitas tinggi, terutama uji coba terkontrol secara acak
jarang dilakukan dan lebih sering mengarah kepada penelitian berdasarkan pengalaman
klinis dan nilai-nilai pasien. Khususnya dalam bidang KFR, uji coba pada tingkat ilmiah tinggi
menghadapi banyak tantangan dan kontroversi sehingga sulit untuk dieksekusi dan menjadi
tantangan besar.

Permasalahan besar lain yang menjadi tantangan untuk KFR Indonesia adalah tidak meratanya
layanan KFR di seluruh Indonesia. Hingga Mei 2018, jumlah dokter spesialis KFR di Indonesia
tercatat sebanyak 685 orang yang tersebar pada 13 Cabang PERDOSRI di seluruh Indonesia.
Jumlah tersebut dirasakan masih sangat kurang untuk mencakup seluruh populasi orang
Indonesia dan bahkan tercatat beberapa provinsi tidak memiliki dokter spesialis KFR.
Walaupun demikian, dengan semakin berkembangnya organisasi KFR, diperlukan suatu tata
kelola organisasi yang semakin baik dengan kemampuan kepemimpinan yang kuat dan baik.
Beberapa strategi yang harus disiapkan oleh KFR Indonesia:

138 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 139

1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang KFR. Hal ini dapat dicapai dengan: 1,2,8
• Melakukan penambahan institusi pendidikan spesialistik (Sp-1) KFR.
• Membuka pendidikan subspesialistik (Sp-2) KFR.
• Memasukkan muatan ilmu KFR dalam Kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia
(KIPDI) untuk dokter umum.
• Melakukan pemerataan layanan KFR di seluruh Indonesia.
• Menetapkan wewenang dokter umum dengan supervisi dokter spesialis KFR untuk
memberikan layanan KFR dengan sistem rujukan berjenjang secara terbatas jika tidak terdapat
dokter spesialis KFR di wilayah kerjanya atau pemberian surat tugas khusus untuk SpKFR.
• Meningkatkan dan mengembangkan pendidikan dan/atau pelatihan para tenaga
medik di luar SpKFR seperti perawat, keterapian fisik, terapis wicara, ortotik-prostesis,
dan keteknisian medik.
• Membuat modul pendidikan khusus untuk perawat rehabilitasi
• Memberikan edukasi dan pelatihan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam
kegiatan RBM.
2. Meningkatkan kerja sama, baik dari segi pendidikan maupun pelayanan dengan institusi
pendidikan dan pusat layanan rehabilitasi medik yang memiliki kualitas lebih baik.
3. Membangun hubungan yang erat dan hierarki sistematis di antara dokter spesialis KFR
dan teman sejawat dari berbagai disiplin ilmu.
4. Meningkatkan intensitas hubungan KFR dengan jejaring organisasi masyarakat yang berkaitan
dengan gangguan fungsi (lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi nirlaba di bidang gangguan
fungsi, olahraga, dan seni, pascabencana, kesehatan matra, lembaga riset, dan sebagainya).
5. Meningkatkan intensitas hubungan KFR dengan media massa.
6. Meningkatkan kerja sama dengan lembaga penentu kebijakan publik tentang gangguan
fungsi (analogi ISPRM dengan WHO).
7. Meningkatkan layanan rehabilitasi dini dengan mengembangkan layanan rawat inap KFR.
8. Meningkatkan keterlibatan KFR dalam pengambilan keputusan medik pada kasus yang
bersifat multidisipliner sejak awal untuk mencapai fungsi paling optimal.
9. Keterlibatan KFR dalam rekayasa teknologi analisis dan tata laksana fungsi
(mechanomyography (MMG) dan EMG), teknik (robotik), virtual technology, dan
penggunaan alat diagnostik terkait fungsi.
10. Keterlibatan KFR dalam bioteknologi mutakhir (seperti terapi sel punca, rich plasma
platelet injection, dan sebagainya).
11. Keterlibatan KFR dalam pembuatan kebijakan layanan rehabilitasi medik dalam sistem
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan, sistem pelayanan, baik dalam maupun luar
negeri serta sistem pembiayaan di Indonesia.
12. Mengembangkan sistem standardisasi atau akreditasi khusus layanan rehabilitasi medik
baik secara nasional maupun internasional.
13. Membangun sistem registrasi disabilitas di Indonesia.
14. Membangun sistem rekam medik elektronik khusus layanan tim rehabilitasi medik.
15. Meningkatkan publikasi ilmiah di jurnal terakreditasi dengan impact factor yang besar.

Kepustakaan

1. Faria F. Physical and rehabilitation medicine in the XXI century: challenges and
opprotunities. Acta Fisiatr. 2010;17(1):44-48.

2. European Journal of Physical and Rehabilitation medicine 2018 (chapter 11)

3. Gans BM. Practicing physical medicine and rehabilitation in an ethical manner. PM R.


2010;2:229-31

4. Kwakkel G, Kollen BJ, KrebsHI. Effects of robot-assisted therapy on upper limb recovery
after stroke: a systematic review. Neurorehabil Neural Repair. 2008;22:111–21.

5. Lee PK. Defining physiatry and future scope of rehabilitation medicine. Ann Rehabil Med.
2011. 35(4): 445-9.

6. Gans BM. Practicing physical medicine and rehabilitation in an ethical manner. PM


R.2010;2:229–31.

7. Carroll JE, Mays RW. Update on stem cell therapy for cerebral palsy. Expert Opin Biol Ther.
2011;11:463–71.

8. White book on physical and rehabilitation medicine (prm) in europe. chapter 3. a


primary medical specialty: the fundamentals of prm. European Journal of Physical and
Rehabilitation Medicine. 2018 April; 54 (2):177-85

140 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 141
142 WHITE BOOK KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

Anda mungkin juga menyukai