Anda di halaman 1dari 133

MAKALAH

PRAKTIKUM PRESKRIPSI
“PANCA INDERA”

Disusun Oleh:
1. MOHAMMAD DZULKIFLI M (201510410311118)
2. SAKINAH MUSA’AD (201510410311138)
3. MEILYA HAYYUSAPUTRI (201510410311166)
4. LISA MUTTOHAROH (201510410311169)
5. SITI NADIRA (201510410311171)
6. DEWI AGUSTIN (201510410311189)
7. ATIN WAFIROTUN M (201510410311201)

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT karena atas petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tanpa pertolongan Dia
mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Makalah dengan judul “PANCA INDERA” disusun untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah preskripsi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang PANCA
INDERA, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di
susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun
maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan
dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunannya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, itu semua tidak luput dari kodrat kami sebagai manusia biasa yang tidak luput dari
suatu kesalahan dan kekeliruan. Sehingga kritikan dan masukan yang bersifat membangun
dari pembaca merupakan sesuatu yang berharga demi perbaikan kedepannya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin!

Malang, 27 Maret 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1.Latar belakang..................................................................................................................1
1.2. Rumusan masalah............................................................................................................2
1.3. Tujuan..............................................................................................................................2
1.4 Manfaat.............................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
Indera Penglihat (Mata)..........................................................................................................3
Indra Pendengaran (Telinga)................................................................................................43
 Gejala penyakit telinga..................................................................................................49
2.5 Indera pengecap (lidah)................................................................................................102
BAB III...................................................................................................................................126
KESIMPULAN......................................................................................................................126
Daftar Pustaka........................................................................................................................127

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Setiap makhluk hidup di bumi diciptakan berdampingan dengan alam, karenaalam sangat
penting untuk kelangsungan makhluk hidup. Karena itu setiapmakhluk hidup, khususnya
manusia harus dapat menjaga keseimbangan alam.Untuk dapat menjaga keseimbangan alam
dan untuk dapat mengenaliperubahan lingkungan yang terjadi, Tuhan memberikan indera
kepada setiapmakhluk hidup.Indera ini berfungsi untuk mengenali setiap perubahan
lingkungan, baik yangterjadi di dalam maupun di luar tubuh. Indera yang ada pada makhluk
hidup,memiliki sel-sel reseptor khusus. Sel-sel reseptor inilah yang berfungsi untuk
mengenali perubahan lingkungan yang terjadi. Berdasarkan fungsinya, sel-sel reseptor ini
dibagi menjadi dua, yaitu interoreseptor dan eksoreseptor.Interoreseptor ini berfungsi untuk
mengenali perubahan-perubahan yang terjadidi dalam tubuh. Sel-sel interoreseptor terdapat
pada sel otot, tendon,ligamentum, sendi, dinding pembuluh darah, dinding saluran
pencernaan, danlain sebagainya. Sel-sel ini dapat mengenali berbagai perubahan yang ada
didalam tubuh seperti terjadi rasa nyeri di dalam tubuh, kadar oksigen menurun,kadar
glukosa, tekanan darah menurun/naik dan lain sebagainya.Eksoreseptor adalah kebalikan dari
interoreseptor, eksoreseptor berfungsiuntuk mengenali perubahan-perubahan lingkungan
yang terjadi di luar tubuh.Yang termasuk eksoreseptor yaitu:
1. Indera penglihat (mata), indera iniberfungsi untuk mengenali perubahan lingkungan
seperti sinar, warna dan lainsebagainya.
2. Indera pendengar (telinga), indera ini berfungsi untukmengenali perubahan lingkun-
gan seperti suara.
3. Indera peraba (kulit), inderaini berfungsi untuk mengenali perubahan lingkungan
seperti panas, dingin danlain sebagainya.
4. Indera pengecap (lidah), indera ini berfungsi untukmengenal perubahan lingkungan
seperti mengecap rasa manis, pahit dan lainsebagainya.
5. Indera penciuman (hidung), indera ini berfungsi untuk mengenali perubahan lingkun-
gan seperti mengenali/mencium bau. Kelimaindera ini biasa kita kenal dengan sebu-
tan panca indera.

1
1.2. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah sistem indera penglihat (mata) pada manusia?
2. Bagaimanakah sistem indera pendengar (telinga) pada manusia?
3. Bagaimanakah sistem indera peraba (kulit) pada manusia?
4. Bagaimanakah sistem indera pengecap (lidah) pada manusia?
5. Bagaimanakah sistem indera penciuman (hidung) pada manusia?
6. Apa saja penyakit yang ada di mata?
7. Apa saja penyakit yang ada di telinga?
8. Apa saja penyakit yang ada di kulit?
9. Apa saja penyakit yang ada di lidah?
10. Apa saja penyakit yang ada di hidung?
11. Bagaimana pengobatan dari penyakit tersebut?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem indera penglihat (mata) pada manusia.
2. Untuk mengetahui bagaimana sistem indera pendengar (telinga) padamanusia.
3. Untuk mengetahui bagaimana sistem indera peraba (kulit) pada manusia.
4. Untuk mengetahui bagaimana sistem indera pengecap (lidah) padamanusia.
5. Untuk mengetahui bagaimana sistem indera penciuman (hidung) pada manusia.
6. Mengetahui penyakit yang ada di mata.
7. Mengetahui penyakit yang ada di telinga.
8. Mengetahui penyakit yang ada di kulit.
9. Mengetahui penyakit yang ada di lidah.
10. Mengetahui penyakit yang ada di hidung.
11. Mengetahui pengobatan penyakit yang ada di mata.
12. Mengetahui pengobatan penyakit yang ada di telinga.
13. Mengetahui pengobatan penyakit yang ada di kulit.
14. Mengetahui pengobatan penyakit yang ada di lidah.
15. Mengetahui pengobatan penyakit yang ada di hidung.

1.4 Manfaat
Menjadi sumber pengetahuan terkait panca indera dan memberikan edukasi pembaca tentang
penyakit yang terjadi pada panca indera.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Indera Penglihat (Mata)


Mata mempunyai reseptor khusus untuk mengenali perubahan sinar dan warna.
Sesungguhnya yang disebut mata bukanlah hanya bola mata, tetapi termasuk otot-otot
penggerak bola mata, kotak mata (rongga tempat mata berada), kelopak, dan bulu mata.
Mata adalah indra penglihat. Bentuk mata seperti bola sehingga disebut bola mata.
Bola mata terletak di dalam lekuk mata yang dibatasi oleh tulang dahi dan tulang pipi. Jadi,
mata terlindung oleh kedua tulang tersebut. Mata mempunyai bagian-bagian yang terletak di
luar dan di dalam mata.

Bola mata sendiri dilindungi oleh selaput tipis, kelopak mata, rambut mata, dan
kelenjar air mata. Kelopak mata berguna untuk berkedip, sehingga bola mata akan terhindar
dari kotoran atau benda-benda kecil lainnya. Bulu mata untuk melindungi mata dari debu
ketika membuka mata. Alis untuk menghalangi jatuhnya keringat dari kepala ke mata,
sedangkan kelenjar air mata untuk menghasilkan air mata. Air mata tersebut berguna untuk
membersihkan kotoran yang terdapat di permukaan bola mata dan menjaga mata dari
kekeringan. Bagian mata yang berwarna disebut iris. Orang Indonesia umumnya memiliki iris
yang berwarna cokelat. Di bagian tengah terdapat bulatan berwarna hitam yang dinamakan
pupil. Pupil merupakan pintu masuk cahaya. Pupil akan mengecil jika berada di tempat
terang dan membesar jika berada di tempat gelap. Pada bagian depan iris dan pupil terdapat
kornea. Kornea merupakan bagian yang bening dan transparan. Kornea berfungsi untuk
memfokuskan dan mengatur cahaya yang masuk. Lensa mata berfungsi untuk membentuk

3
bayangan benda yang dilihat. Retina berfungsi sebagai layar penangkap bayangan benda yang
dilihat
A. Bagian-bagian mata:
1. Bola mata

Bola mata dikelilingi oleh tiga lapis dinding. Ketiga lapis dinding ini, dari luar
ke dalam adalah sebagai berikut:
 Sklera (Lapisan terluar mata), manutupi bagian posterior bola mata. Permukaaan
luar cangkang sklera ditutupi oleh pelindung vaskuler episklera, oleh kapsul
Tenon, dan oleh konjungtiva. Banyak pembuluh darah menembus sklera melalui
emisaria untuk mensuplai serta mengosongkan koroid, badan bersilia, saraf optik,
dan iris.
 Koroid, berwarna coklat kehitaman sampai hitam. Koroid merupakan lapisan yang
berisi banyak pembuluh darah yang memberi nutrisi dan oksigen terutama untuk
retina. Warna gelap pada koroid berfungsi untuk mencegah refleksi (pemantulan
sinar). Di bagian depan, koroid membentuk badan siliaris yang berlanjut ke depan
membentuk iris yang berwarna. Di bagian depan iris bercelah membentuk pupil
(anak mata). Melalui pupil sinar masuk. Iris berfungsi sebagai diafragma, yaitu
pengontrol ukuran pupil untuk mengatur sinar yang masuk. Badan siliaris
membentuk ligamentum yang berfungsi mengikat lensa mata. Kontraksi dan
relaksasi dari otot badan siliaris akan mengatur cembung pipihnya lensa.
 Retina, merupakan lapisan yang peka terhadap sinar, struktur yang tipis ,
transparan dan memiliki susunan neuron, sel glia, dan pembuluh darah yang
sangat teratur. Pada seluruh bagian retina berhubungan dengan badan sel-sel saraf
yang serabutnya membentuk urat saraf optik yang memanjang sampai ke otak.

4
Bagian yang dilewati urat saraf optik tidak peka terhadap sinar dan daerah ini
disebut bintik buta.
Adanya lensa dan ligamentum pengikatnya menyebabkan rongga bola mata
terbagi dua, yaitu bagian depan yang terletak di depan lensa berisi carian yang disebut
aqueous humor, dan bagian belakang yang terletak di belakang lensa berisi vitreous
humor. Kedua cairan tersebut berfungsi menjaga lensa agar selalu dalam bentuk yang
benar.
2. Kotak mata
Kotak mata pada tengkorak berfungsi melindungi bola mata dari kerusakan. Selaput
transparan yang melapisi kornea dan bagian dalam kelopak mata disebut konjungtiva.
Selaput ini peka terhadap iritasi. Konjungtiva penuh dengan pembuluh darah dan
serabut saraf. Radang konjungtiva disebut konjungtivitis. Untuk mencegah
kekeringan, konjungtiva dibasahi dengan cairan yang keluar dari kelenjar air mata
(kelenjar lakrimal) yang terdapat di bawah alis. Air mata mengandung lendir, garam,
dan antiseptik dalam jumlah kecil. Air mata berfungsi sebagai alat pelumas dan
pencegah masuknya mikro organisme ke dalam mata.
3. Otot mata
Ada enam otot mata yang berfungsi memegang sklera. Empat di antaranya disebut
otot rektus (rektus inferior, rektus superior, rektus eksternal, dan rektus internal). Otot
rektus berfungsi menggerakkan bola mata ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah.
Dua lainnya adalah otot obliq atas (superior) dan otot obliq bawah (inferior).
B. Cara kerja mata
Cara kerja mata manusia pada dasarnya sama dengan cara kerja kamera, kecuali cara
mengubah fokus lensa. Sinar yang masuk ke mata sebelum sampai di retina mengalami
pembiasan lima kali yaitu waktu melalui konjungtiva, kornea, aqueus humor, lensa, dan
vitreous humor. Pembiasan terbesar terjadi di kornea. Bagi mata normal, bayang-bayang
benda akan jatuh pada bintik kuning, yaitu bagian yang paling peka terhadap sinar.
Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut (sel konus) dan sel batang
(sel basilus). Sel konus berisi pigmen lembayung dan sel batang berisi pigmen ungu.
Kedua macam pigmen akan terurai bila terkena sinar, terutama pigmen ungu yang
terdapat pada sel batang. Oleh karena itu, pigmen pada sel basilus berfungsi untuk situasi
kurang terang, sedangkan pigmen dari sel konus berfungsi lebih pada suasana terang yaitu
untuk membedakan warna, makin ke tengah maka jumlah sel batang makin berkurang
sehingga di daerah bintik kuning hanya ada sel konus saja.
5
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu suatu senyawa
protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar matahari, maka rodopsin
akan terurai menjadi protein dan vitamin A. Pembentukan kembali pigmen terjadi dalam
keadaan gelap. Untuk pembentukan kembali memerlukan waktu yang disebut adaptasi
gelap (disebut juga adaptasi rodopsin). Pada waktu adaptasi, mata sulit untuk melihat.
Pigmen lembayung dari sel konus merupakan senyawa iodopsin yang merupakan
gabungan antara retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus, yaitu sel yang peka
terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga macam sel konus tersebut, mata
dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan salah satu sel konus akan menyebabkan
buta warna.
Jarak terdekat yang dapat dilihat dengan jelas disebut titik dekat (punctum proximum).
Jarak terjauh saat benda tampak jelas tanpa kontraksi disebut titik jauh (punctum
remotum). Jika kita sangat dekat dengan obyek maka cahaya yang masuk ke mata tampak
seperti kerucut, sedangkan jika kita sangat jauh dari obyek, maka sudut kerucut cahaya
yang masuk sangat kecil sehingga sinar tampak paralel. Baik sinar dari obyek yang jauh
maupun yang dekat harus direfraksikan (dibiaskan) untuk menghasilkan titik yang tajam
pada retina agar obyek terlihat jelas. Pembiasan cahaya untuk menghasilkan penglihatan
yang jelas disebut pemfokusan.
Cahaya dibiaskan jika melewati konjungtiva kornea. Cahaya
dari obyek yang dekat membutuhkan lebih banyak pembiasan
untuk pemfokusan dibandingkan obyek yang jauh. Mata
mamalia mampu mengubah derajat pembiasan dengan cara
mengubah bentuk lensa. Cahaya dari obyek yang jauh
difokuskan oleh lensa tipis panjang, sedangkan cahaya dari
obyek yang dekat difokuskan dengan lensa yang tebal dan
pendek. Perubahan bentuk lensa ini akibat kerja otot siliari.
Saat melihat dekat, otot siliari berkontraksi sehingga
memendekkan apertura yang mengelilingi lensa. Sebagai
akibatnya lensa menebal dan pendek. Saat melihat jauh, otot
siliari relaksasi sehingga apertura yang mengelilingi lensa
membesar dan tegangan ligamen suspensor bertambah. Sebagai
akibatnya ligamen suspensor mendorong lensa sehingga lensa
memanjang dan pipih. Proses pemfokusan obyek pada jarak
a. Akomodasi mata saat

6
yang berbeda-berda disebut daya akomodasi.
melihat jauh

b. Akomodasi mata saat


melihat dekat

C. Kelainan pada mata


1. Katarak
Katarak adalah cacat mata, yaitu buramnya dan berkurang elastisitasnya lensa
mata. Hal ini terjadi karena adanya pengapuran pada lensa. Pada orang yang terkena
katarak pandangan menjadi kabur dan daya akomodasi berkurang.
Katarak senilis secara klinik dikenal dalam empat stadium yaitu insipien,
intumesen, imatur, matur dan hipermatur (Ilyas, 2005)

a. Klasifikasi Katarak
- Katarak Insipien

Pada katarak stadium insipien terjadi


kekeruhan mulai dari tepi ekuator menuju korteks anterior dan posterior (katarak kortikal).
Vakuol mulai terlihat di dalam korteks. Pada katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai
terlihat anteriorsubkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan korteks berisi
jaringan degeneratif (benda Morgagni) pada katarak isnipien (Ilyas, 2005).
Kekeruhan ini dapat menimbulkan polipia oleh karena indeks refraksi yang tidak
sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.
- Katarak Intumesen.

Pada katarak intumesen terjadi kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat
lensa yang degeneratif menyerap air.
Masuknya air ke dalam celah lensa mengakibatkan lensa menjadi bengkak dan besar yang
akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding dengan keadaan normal.
Pencembungan lensa ini akan dapat memberikan penyulit glaukoma.

7
Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan mengakibatkan
mipopia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks hingga lensa akan
mencembung dan daya biasnya akan bertambah, yang memberikan miopisasi.
Pada pemeriksaan slitlamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak lamel serat
lensa.
- Katarak Imatur

Pada katarak senilis stadium imatur sebagian lensa keruh atau katarak yang belum
mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambah volume lensa akibat
meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif.
Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, sehingga terjadi
glaukoma sekunder (Ilyas, 2005).
- Katarak Matur

Pada katarak senilis stadium matur kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa.
Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila katarak imatur atau
intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga lensa kembali pada
ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruh lensa yang bila lama akan
mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal
kembali, tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris
negatif (Ilyas, 2005)
- Katarak Hipermatur

Pada katarak stadium hipermatur terjadi proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras
atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi kelur dari kapsul lensa sehingga
lensa menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata
dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan berjalan terus sehingga
hubungan dengan zonula Zinn menjadi kendor.
Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka korteks yang
berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai
sekantong susu disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih
berat. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni (Ilyas, 2005).
b. Etiology Katarak

8
Sebagian besar katarak, yang disebut katarak senilis, terjadi akibat perubahan
perubahan degreneratif yang berhubungan dengan pertambahan usia.pajajanan terhadap sinar
matahari selama hidup dan perdisposisi herediter berperan dalam munculnya katarak senilis.
Katarak juga dapat timbul pada usia berapa saja setelah trauma lensa, infeksi mata, atau
akibat pajajanan radiasi atau obat tertentu. Janin yang terjepan virus rubela dapat mengalami
katarak. Yang kemungkinan besar disebabkan ole gangguan aliran darah ke mata dan
perubahan penanganan dan metabolisme glukosa. (Elizabeth J,Corwin , 2000)
Faktor resiko terjadinya katarak bermacam macam yaitu sebagai berikut :
- Usia lanjut
Katarak umumnya terjadi pada usia lanjut (katarak senil). Dengan bertambahnya
usia lensa akan mengalamai proses menua, dimana dalam keadaan ini akan
menyebabkan katarak.
- Koegnital
Katarak dapat terjadi secara koegnital akibat infeksi virus di masa pertumbuhan
janin
- Genetik
Pengaruh genetik dikatakan berhbungan dengan proses degnerasi yang timbul
pada lensa.
- Diabetes melitus.
Diabetes melitus dapat mempengarauhi kejernihan lensa, indeks, refraksi dan
amplitudo akomodatif. Dengan meningkatnya kadar gula darah, maka meningkat
pula kadar glukosa dalam akuos humor. Oleh karena glukosa dalam lensa juga
meningkat. Sebagian glukosa tersebut dirubah oleh enzim aldose reduktase
menjadi sorbitol, yang tidak dimetabolisme tapi tetap berada dalam lensa
- Merokok
Merokok dan menguyah tembakau dapat menginduksi stress oksidatif dan
dihubungkan dengan penurunan kadar antioksidan, askorbat dan karetenoid.
Merokok menyebabkan penumpukan molekul berpigmen 3 Hydrixoxykynurine
dan chromophores.yang menyebabkan terjadinya penguningan pada lensa sianat
dalam rokok juga menyebabkan terjadinya karbimilasi dan denaturasi protein
- Konsumsi alkohol
Peminum alkhol kronis mempunyai resiko tinggi terkena berbagai penyakit mata,
termasuk katarak,. Dalam banyak penelitian alkhol berperan dalam terjadinya

9
katarak. Alkhol secara langsung bekerja pada protein lens secara tidak langsung
dengan cara mempengarhui penyerapan nutrisi penting pada lensa.
(Mansjoer,2000)

c. Patofisiologis katarak

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk
seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga
komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang
mengelilingi keduanya adalah kapsula anterior dan posterior.Dengan bertambahnya usia,
nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan .Di sekitar opasitas terdapat
densitas seperti duri di anterior dan poterior nukleus. Opasitaspada kapsul poterior
merupakan bentuk aktarak yang paling bermakna seperti kristal salju.(Ilyas.S,2001)
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi.
Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang memaenjang dari badan silier ke
sekitar daerah di luar lensa. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan
koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina.
Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal disertai influks air ke dalam
lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar.
Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari
degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada
kebanyakan pasien yang menderita katarak. .(Ilyas.S,2001)
Katarak bisa terjaadi bilateral, dapat disebabkan oleh kejadian trauma at au sistemis
(diabetes) tetapi paling sering karena adanya proses penuaan yang normal. Faktor yang
paling sering berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar UV, obat-
obatan,alkohol, merokok, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu
yang lama. .(Ilyas.S,2001)
d. Penatalaksanaan Katarak

Pengobatan berupa eksisi seluruh lensa untuk diganti oleh lensa buata, atau fragmentasi lensa
dengan ultrasound atau laser. Diikuti oleh aspirasi fragmen dan penggantian lensa. (Elizabeth
J,Corwin , 2000)
e. Manifestasi Klinik Katarak
Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya klien mela-
porkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan fungsional sampai

10
derajat tertentu yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi. Temuan objektif
biasanya meliputi pengembunann seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina
tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan
dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus
pada retina. Hasilnya adalah pendangan menjadi kabur atau redup, mata silau yang
menjengkelkan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari. Pupil
yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih
f. Pengobatan non farmakologi
- Berhenti merokok, karena merokok menghasilkan radikal bebas dan
meningkatkan resiko timbulnya katarak
- Bila memungkinkan gunakan kacamata untuk menghalangi sinar uv ketika berak-
tivitas diluar ruangan dan hindari pemaparan dalam waktu lama terhadap sinar
matahari langsung
- Mengenakan kacamata pelindung ketika berolahraga untuk mencegah cedera mata
- Diet seimbang dengan mengkonsumsi buah dan sayuran
g. Cara Penggunaan Obat tetes Mata
- Cucilah tangan anda dengan air dan sabun.
- Hindari kontak langsung ujung tube dengan mata, tangan atau permukaan lainnya.
- Condongkan kepala ke belakang, tarik kelo-pak bawah mata menggunakan jari
telunjuk sehingga kelopak mata membentuk kantong.
- Pegang tube salep dengan menggunakan tangan yang lainnya sedekat mungkin
dengan kelopak mata tanpa menyentuhnya. Oleskan salep ke dalam kantong mata
tersebut sepan-jang kira-kira 1 cm.
- Kedipkan mata secara perlahan, kemudian tutup selama 1-2 menit. Bersihkan
salep mata berlebih pada wajah dengan tisu.
- Untuk menghindari kontaminasi, segera pasang kembali tutup tube. Cucilah tan-
gan anda dengan air dan sabun untuk member-sihkan sisa obat yang mungkin
menempel.
2. Konjungtifitas
Konjungtivitis adalah peradangan akibat suatu
proses Infeksi atau respon alergi. Karena meradang,
konjungtiva menjadi merah, membengkak, dan nyeri
bila ditekan. Konjungtivitis akibat infeksi bakteri
kadang- kadang disebut mata merah (pink eye).
11
Konjungtivitis virus sering disebabkan oleh suatu infeksi adenovirus. Konjuntivitis
bakteri dan virus sangat menular. Konjungtivitis virus dapat menyebabkan
pembentukan jaringan parut di kornea menurunkan ketajaman penglihatan
a) Klasifikasi Konjungtivitas
Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi empat yaitu
konjungtivitis yang diakibatkan karena bakteri, virus, allergen dan jamur ( Ilyas
dkk, 2010).
- Konjungtivitis bakteri
Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, dan Haemophillus ( James dkk,
2005). Gejala konjungtivitis yaitu mukosa purulen, edema kelopak, kemosis
konjungtiva, kadang-kadang disertai keratitis dan blefaritis. Konjungtivitis bakteri ini
mudah menular dari satu mata ke mata sebelahnya dan dengan mudah menular ke
orang lain melalui benda yang dapat menyebarkan kuman ( Ilyas dkk, 2014).
Konjungtivitis bakteri dapat diobati dengan antibiotik tunggal seperti neospirin,
basitrasin, gentamisin, kloramfenikol, tobramisin, eritromisin, dan sulfa selama 2-3
hari (Ilyas dkk, 2014).
- Konjungtivitis Virus

Konjungtivitis virus merupakan penyakit umum yang disebabkan oleh berbagai


jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga
infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama daripada
konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010). Konjungtivitis virus biasanya diakibatkan
karena demam faringokonjungtiva. Biasanya memberikan gejala demam, faringitis,
secret berair dan sedikit, folikel pada konjungtiva yang mengenai satu atau kedua
mata. Konjungtivitis ini biasanya disebabkan adenovirus tipe 3,4 dan 7 dan penyebab
yang lain yaitu organisme Coxsackie dan Pikornavirus namun sangat jarang (Ilyas
dkk, 2014 ; James dkk, 2005). Konjungtivitis ini mudah menular terutama anak-anak
yang disebarkan melalui kolam renang. Masa inkubasi konjungtivitis virus 5-12 hari,
yang menularkan selama 12 hari, dan bersifat epidemic (Ilyas dkk, 2014). Pengobatan
konjungtivitis virus hanya bersifat suportif karena dapat sembuh sendiri. Diberikan
kompres, astringen, lubrikasi, dan pada kasus yang berat dapat diberikan antibotik
dengan steroid topical ( Ilyas dkk, 2014).
- Konjungtivitis alergi

12
Konjungtivitis alergi merupakan bentuk alergi pada mata yang peling sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun
(Cuvillo dkk, 2009). Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang ( merah, sakit,
bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya
yaitu terdapat papil besar pada konjungtiva, datang bermusim, yang dapat
mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering sembuh
sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan (Ilyas
dkk, 2014).
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi
tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup,
keratokonjungtivitis vernal, keratokoknjungtivitis atopic dan konjungtivitis papilar
raksasa (Vaughan, 2010).
Pengobatan konjungtivitis alergi yaitu dengan menghindarkan penyebab pencetus
penyakit dan memberikan astringen, sodium kromolin, steroid topical dosis rendah
kemudian ditambahkan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Pada kasus
yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik (Ilyas dkk, 2014)
- Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur biasanya disebabkan oleh Candida albicans dan merupakan


infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih yang
dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang
terganggu. Selain candida sp, penyakit ini juga bisa disebabkan oleh Sporothtrix
schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun jarang
( Vaughan, 2010)
b. Etiolgy Konjungitivitis
Konjungtiva bisa mengalami peradangan akibat:
- Infeksi olah virus atau bakteri
- Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
- Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet dari listrik
atau sinar matahari yang dipantulkan oleh salju.
Kadang konjungtivitis bisa berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun
tahun.
Konjungtivitis semacam ini bisa disebabkan oleh:
1.Entropion atau ektropion

13
2.Kelainan saluran air mata
3.Kepekaan terhadap bahan kimia
4 Pemaparan oleh iritan
5.Infeksi oleh bakteri tertentu (terutama klamidia).
Pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang, juga bisa menyebabkan
konjungtivitis.
c. Patofisologis Konjuntivitias
Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur), bahan alergen, iritasi menyebabkan kelopak
mata terinfeksi sehingga kelopak mata tidak dapat menutup dan membuka sempurna,
karena mata menjadi kering sehingga terjadi iritasi menyebabkan konjungtivitis.
Pelebaran pembuluh darah disebabkan karena adanya peradangan ditandai dengan
konjungtiva dan sclera yang merah, edema, rasa nyeri, dan adanya secret mukopurulent.
Akibat jangka panjang dari konjungtivitis yang dapat bersifat kronis yaitu
mikroorganisme, bahan allergen, dan iritatif menginfeksi kelenjar air mata sehingga
fungsi sekresi juga terganggu menyebabkan hipersekresi. Pada konjungtivitis ditemukan
lakrimasi, apabila pengeluaran cairan berlebihan akan meningkatkan tekanan intra okuler
yang lama kelamaan menyebabkan saluran air mata atau kanal schlemm tersumbat. Aliran
air mata yang terganggu akan menyebabkan iskemia syaraf optik dan terjadi ulkus kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan. Kelainan lapang pandang yang disebabkan kurangnya
aliran air mata sehingga pandangan menjadi kabur dan rasa pusing (Lynda,C,.2006).

d. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala konjungtivitis bias meliputi :


1. Hiperemia ( kemerahan )
2 Cairan
3. Edema
4. Pengeluaran air mata
5. Gatal pada kornea
6. Rasa terbakar / rasa tercakar
7. Seperti terasa ada benda asing

e. Penatalaksanan

14
Konjungtivitis bakteri biasanya diobati dengan tetes mata atau krim antibiotik, tetapi
sering sembuh sendiri dalam waktu sekitar 2 minggu tanpa pengobatan. Karena sangat
menular diantara anggota keluarga lain dan teman sekolah, maka diperlukan teknik
mencuci tangan yang baik dan pemisahan handuk bagi orang yang terjangkit. Anggota
keluarga jangan bertukar bantal atau seprei, kompres hangat pada mata.
Konjungtivitis akibat virus biasanya diobati dengan kompres hangat untuk mencegah
penularan, diperlukan teknik mencuci tangan yang benar.
Konjungtivitis alergi diobati dengan menghindari alergen apabila mungkin, dan
pemberian mengandung antihistamin atau steroid untuk mengurangi gatal dan peradangan
.
f. Terapi Non farmakologi
Konjungtivitis virus biasanya akan sembuh dengan sendirinya, namun pemberian
kompres dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal bermanfaat untuk meredakan
gejala. Walaupun akan sembuh sendiri, penatalaksanaan konjungtivitis virus dapat dibantu
dengan pemberian air mata buatan (tetes mata) dan kompres dingin
3. Glaukoma
Glaukoma adalah peningkatan abnormal tekanan intrakoulus (lebih besar dari pada 20
mmHg). Tekanan yang sangat tinggi, kadang kadang
mencapai 60-70 mmHg). Menyebabkan penekanan saraf
optikus sewaktu saraf tersebut keluar dari bola mata
sehingga terjadi kematian serat-serat saraf. Mula mula
timbul penurunan penglihatan perifer yang di ikuti oleh
gangguan penglihatan sentral. Glaukoma adalah salah satu
penyebab utama kebutaan di Amerika serikat. Kebutaan
akibat glaukoma biasanya timbul secara bertahap, tetapi
dapat berkembang, tetapi dapat berkembang hanya dalam beberapa hari apabila tekanan
mendadak menjadi sangat tinggi.
a. Etiology Glaukoma
Glaukoma disebabkan oleh nyeri mata Aqueous Humor, sumbatan aliran keluar di
sudut antara kornea dan iris (glaukoma sudut tertutup akut) dapat timbul mendadak akibat
infeksi atau cedera. Usia yang berhubungan dengan fibrosis di sudut tersebut, atau saluran
lain yang berperan dalam mengalirkan queous humor, dapat secara perlahan
meningkatkan tekanan introkuolus (Elizabeth J,Corwin , 2000)
b. Klasifikasi Glaukoma
15
- Glaukoma Primer

Glaukoma primer adalah glaukoma yang tidak berhubungan dengan penyakit mata
atau sistenik yang menyebabkan meningkatnya resistensi aliran aqueous humor.
Glaukoma primer biasanya terjadi pada kedua mata
 Glaukoma Sudut Terbuka (Glaukoma Simpleks)

Glaukoma primer sudut terbuka merupakan glaukoma yang tidak diketahui


penyebabnya dan ditandai dengan sudut bilik mata terbuka. Glaukoma primer sudut
terbuka merupakan penyakit kronis dan progresif lambat dengan atrofi dan cupping
dari papil nervus optikus dan pola gangguan lapang pandang yang khas. Glaukoma
primer sudut terbuka memiliki kecenderungan familial.
Pada umumnya, glaukoma primer sudut terbuka terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
Prevalensi juga lebih tinggi pada orang berkulit gelap atau berwarna dibandingkan
dengan orang berkulit putih.
Gambaran patologi utama pada glaukoma sudut terbuka adalah proses
degeneratif di jalinan trabekular, termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam
jalan trabekular dan di bawah lapisan endotel kanalis Schlemm. Akibatnya adalah
penurunan drainase aqueous humor yang menyebabkan peningkatan tekanan intra
okuler.
Tekanan intraokuler merupakan faktor resiko utama untuk glaukoma primer
sudut terbuka. Terdapat faktor resiko lain yang berhubungan dengan glaukoma primer
sudut terbuka, yaitu; miopia, diabetes mellitus, hipertensi dan oklusi vena sentralis
retina.
Sifat onsetnya yang samar serta perjalanannya yang progresif lambat maka timbulnya
gejalanya pun lambat dan tidak disadari sampai akhirnya berlanjut dengan kebutaan.
Keluhan pasien biasanya sangat sedikit atau samar, misalnya mata terasa berat, kepala
pusing sebelah, dan anamnesis tidak khas lainnya. Biasanya pasien tidak mengeluh
adanya halo dan tidak tampak mata merah. Tekanan intraokuler sehari-hari biasanya
tinggi atau lebih dari 20 mmHg. Akibat tekanan tinggi akan terbentuk atrofi papil
serta ekskavasio glaukomatosa. Kerusakan dimulai dari tepi lapang pandang, dengan
demikian penglihatan sentral tetap baik, sehingga penderita seolah-olah melihat
melalui teropong.
Diagnosis glaukoma primer sudut terbuka ditegakkan apabila ditemukan kelainan-
kelainan glaukomatosa pada diskus optikus dan lapangan pandang disertai
16
peningkatan tekanan intraokuler, sudut kamera anterior terbuka dan tampak normal,
dan tidak ditemukan sebab lain yang dapat meningkatkan tekanan intraokuler.
 Glaukoma Sudut Tertutup

Pasien yang menderita glaukoma primer sudut tertutup cenderung memiliki


segmen anterior yang kecil dan sempit, sehingga menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya pupillary block relatif. Resiko terjadinya hal tersebut meningkat dengan
bertambahnya usia, seiring dengan berkembangnya lensa dan pupil menjadi miosis.
- Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut

Glaukoma primer sudut tertutup akut adalah kondisi yang timbul saat TIO
meningkat secara cepat akibat blokade relatif mendadak dari jaringan trabekular. Hal
ini dapat menimbulkan manifestasi berupa rasa sakit, penglihatan buram, halo, mual
dan muntah. Peningkatan TIO yang tinggi menyebabkan edema epitel kornea yang
bertanggung jawab dalam timbulnya keluhan penurunan penglihatan.
Tanda-tanda pada glaukoma sudut tertutup akut antara lain:
1. Pupil yang lebar dan terkadang irreguler
2. Edema epitel kornea
3. Kongesti pembuluh darah episkleral dan konjungtiva
4. Kamera okuli anterior yang sempit

c. Manifestasi klinik akut

1. Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit ini mengenai sekitar mata dan daerah belakang
kepala.
2.Tajam penglihatan sangat menurun.
3.Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan
muntah, kadang-kadang dapat mengaburkan gejala glaukoma akut.
4.Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat.
5.Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar.
6.Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh.
7.Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang positif, akibat timbulnya
reaksi radang uvea.
8.Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat

17
9.Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat kekeruhan media
penglihatan.
10.Tekanan bola mata sangat tinggi.
11. Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal.

d. Manifestasi klinik kronik

Gejala-gejala terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata. Penyakit berkembang


secara lambat namun pasti. Penampilan bola mata seperti normal dan sebagian tidak
mempunyai keluhan pada stadium dini. Pada stadium lanjut keluhannya berupa pasien
sering menabrak karena pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang sempit, hingga
kebutaan permanen.(Sidharta Ilyas, 2004)
e. Penatalaksana Glaukoma

Standar pengobatan adalah pe,berian tetes mata setiap hari untuk menurunkan sekresi,
atau meningkatkan penyerapan, aqueous humor.
Pada penutupan sudut akut, dapat di gunakan diuretik untuk menurunkan tekanan
intraokulus. Mungkin diperlukan tindakan bedah.

f. Pengobatan non terapi


- Laser dan bedah
Ketika terapi obat gagal, tidak ditoleransi, atau terlalu rumit, prosedur bedah
seperti trabeculoplasty laser (argon atau selektif) atau bedah trabeculectomy (prosedur
penyaringan) dapat dilakukan untuk meningkatkan arus keluar. Trabeculoplasty laser
biasanya merupakan langkah menengah antara terapi obat dan trabeculectomy.
Prosedur dengan tingkat komplikasi tinggi (perusakan tubuh ciliary (cyclodestruction)
ini , mungkin diperlukan bila metode lain gagal. Metode bedah untuk mengurangi
TIO ini melibatkan penciptaan sebuah saluran dimana aqueous humor dapat mengalir
dari ruang anterior ke ruang subconjunctival, dimanadiserap kembali oleh pembuluh
darah. Agen antiproliferatif 5 – fluorourasil dan mitomycin C digunakan pada pasien
yang menjalani operasi glaukoma-penyaringan untuk meningkatkan tingkat
keberhasilan dengan mengurangi proliferasi fibroblast dan konsekuen jaringan parut.

D. Penggolongan Obat
 Antibiotik

18
A. Chloramphenicol
1) Mekanisme
Tindakan Mengganggu atau menghambat sintesis protein mikroba. (Ato Z
Drug fact )
2) Indikasi
Sistemik: Pengobatan jenis-jenis infeksi berikut yang disebabkan oleh strain
mikroorganisme tertentu yang rentan: infeksi sistemik yang serius dimana obat
yang kurang berbahaya tidak efektif atau kontraindikasi. Topikal: Pengobatan
cystic fibrosis, infeksi okular superfisial, infeksi superfisial yang melibatkan
saluran pendengaran eksternal, infeksi kulit superfisial; infeksi profilaksis
untuk luka ringan, luka, luka bakar dan lecet kulit dan untuk berbagai bakteri
gram negatif yang menyebabkan bakteremia dan meningitis. (Ato Z Drug fact)
3) Dosis
Dewasa : 50 mg/ hari dalam dosis terbagi 6 jam.
Anak-anakk : 50 – 75 mg/ hari dalam dosis terbagi 6 jam
Anak –anak dibawah 2 tahun : 50 mg/ hari dalam dosis terbagi 12 jam
Obat tetes mata :
Dewasa : 1-2 tetes 15-30 menit untuk infeksi akut (Ato Z Drug fact )
4) Kontraindikasi
Penggunaan oral: Infeksi trivial (misalnya pilek, influenza, infeksi
tenggorokan) atau infeksi selain yang diindikasikan; profilaksis infeksi bakteri
sistemik. Penggunaan Ophthalmic: keratitis herpes simpleks epitel; vaccinia;
varicella; penyakit jamur struktur okular; infeksi mycobacterial mata; setelah
pengangkatan benda asing kornea tanpa komplikasi. Penggunaan Otic:
Membran timpani berlubang; ketika agen yang kurang berpotensi bahaya akan
diharapkan tidak efektif. (Ato Z Drug fact )
5) Interaksi
Antikoagulan: Dapat meningkatkan aksi antikoagulasi. Barbiturat: Dapat
mengurangi efektivitas kloramfenikol sementara efek barbiturat dapat
ditingkatkan; efek dapat bertahan berhari-hari setelah barbiturat ditarik. Garam
besi: Dapat meningkatkan kadar besi serum. Hydantoins (misalnya, fenitoin):
Dapat meningkatkan kadar serum hidantoin, dengan kemungkinan toksisitas;
kadar kloramfenikol dapat meningkat atau menurun. Rifampin: Dapat
mengurangi kadar serum kloramfenikol; efek dapat berlangsung beberapa hari
19
setelah rifampisin ditarik. Sulfonylureas: Dapat menyebabkan manifestasi
klinis hipoglikemia. Vitamin B12: Dapat menurunkan efek hematologi
vitamin B12 pada pasien dengan anemia pernisiosa. (Ato Z Drug fact )
6) Efek samping
SSP: sakit kepala; kebingungan mental; igauan; depresi ringan; neuritis optik;
neuritis perifer. DERM: Penggunaan topikal: Gatal atau terbakar; urtikaria;
edema angioneurotic; infeksi kulit. GI: Diare; mual; muntah; glositis;
stomatitis HEMA: Depresi sumsum tulang; anemia aplastik; anemia
hipoplasia; trombositopenia; granulocytopenia LAINNYA: Reaksi
hipersensitivitas (misalnya demam, ruam, angioedema, urtikaria, anafilaksis);
Sindrom abu-abu. Penggunaan topikal dapat menghasilkan reaksi merugikan
yang sama yang terlihat dengan penggunaan sistemik. (Ato Z Drug fact )
7) Perhatian
C untuk menghindari toksisitas sindrom Gray (reaksi beracun dan berpotensi
fatal pada bayi prematur dan bayi baru lahir) (Ato Z Drug fact )

B. Gentamicin
1) Mekanisme
menghambat produksi protein bakteri, menyebabkan kematian sel bakteri (A
to Z drug fact)
2) Indikasi
Pengobatan jangka pendek infeksi serius yang disebabkan oleh strain
mikroorganisme yang rentan, terutama bakteri gram negatif; tambahan untuk
gentamisin sistemik pada infeksi CNS yang serius (intratekal); pengobatan
infeksi okular superfisial (opthalmik); pengobatan infeksi kulit yang dangkal,
infeksi profilaksis dan bantuan untuk penyembuhan (topikal). (A to Z drug
fact)
3) Kontraindikasi
Terapi jangka panjang (parenteral); keratitis herpes simpleks epitel, vaccinia,
varicella, infeksi mikobakteri, penyakit jamur (opthalmik); hipersensitivitas
terhadap aminoglikosida (A to Z drug fact)
4) Dosis
Dewasa : 3-5 mg /hari
Anak anak : 6 – 7.5 mg / hari
20
Salep mata : 0,5 inci pada setiap tawaran mata
Tetes mata : 1 hingga 2 gtt 4 hingga 6 kali / hari (A to Z drug fact)
5) Interaksi
Obat-obatan dengan potensi nefrotoksik (mis., Amfoterisin, sefalosporin,
enflurane, metoksifluran, vankomisin): Dapat meningkatkan risiko
nefrotoksisitas. Loop diuretik: Dapat meningkatkan risiko toksisitas
pendengaran. Agen penghambat neuromuskular: Dapat meningkatkan efek
dari agen ini. Antibiotik polipeptida: Dapat meningkatkan risiko kelumpuhan
pernapasan dan disfungsi ginjal. INKOMPATIBILITAS: Jangan mencampur
antibiotik beta-laktam (misalnya, penisilin, terutama tikarsilin dan
karbenisilin, sefalosporin) dalam larutan IV.(A to Z drug fact)
6) Efek samping
Sakit kepala; pusing; vertigo; encephalopathy; kebingungan; demam;
kelesuan; kejang; kelemahan otot dan berkedut; neuropati perifer; sindrom
otak organik akut; depresi; pseudotumor cerebri; peningkatan protein CSF;
arachnoiditis atau terbakar di tempat suntikan setelah pemberian intratekal.
DERM: Rash; urtikaria; gatal; anafilaksis; fotosensitivitas (topikal) (A to Z
drug fact)
7) Perhatian
Kategori D (parenteral). Kategori C (opthalmik). Laktasi: Belum ditentukan.
Anak-anak: Gunakan dengan hati-hati pada bayi prematur dan neonatus
karena ketidakmatangan ginjal. Pasien lanjut usia atau lemah (A to Z drug
fact)

C. Levofloxacin
1) Mekanisme
Mengganggu sintesis DNA mikroba. (A to Z drug fact)
2) Indikasi
Pengobatan infeksi sinus maksilaris, saluran pernapasan atas dan bawah, kulit
dan struktur kulit, dan saluran kemih yang disebabkan oleh organisme yang
rentan; pielonefritis akut yang disebabkan oleh E. coli.
Penggunaan Ophthalmic: Pengobatan konjungtivitis yang disebabkan oleh
strain rentan aerobik gram positif dan mikroorganisme gram negatif aerobik.
(A to Z drug fact)
21
3) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap fluoroquinolones, antibiotik kuinolon, atau
komponen produk apa pun; tendonitis atau tendon pecah terkait dengan
penggunaan kuinolon. (A to Z drug fact)
4) Dosis
Dewasa : 250mg tiap 24 jam (A to Z drug fact)
Dewasa : untuk kulit 500 mg / hari (A to Z drug fact)
5) Interaksi
Antasida, garam besi, garam seng, sukralfat: Dapat menurunkan penyerapan
levofloxacin secara oral. Waktu administrasi Stagger. (A to Z drug fact)
6) Efek samping
CNS: Sakit kepala; insomnia; pusing. DERM: Pruritis. GI: Mual; diare;
sembelit; muntah; sakit perut; dispepsia; perut kembung. GU:
Vaginitis.lainnya: Reaksi di tempat suntikan; sakit dada; sakit punggung (A to
Z drug fact)
7) Perhatian
Kategori C. Laktasi: Belum ditentukan. Anak-anak: Keamanan dan
kemanjuran pada anak-anak <18 thn belum ditetapkan. Ophthalmic:
Keamanan dan kemanjuran pada anak-anak <1 thn tidak terbentuk. Konvulsi:
Stimulasi CNS dapat terjadi; gunakan obat dengan hati-hati pada pasien
dengan gangguan SSP yang diketahui atau dicurigai. Fotosensitifitas: Reaksi
sedang hingga berat dapat terjadi; hindari sinar matahari yang berlebihan dan
sinar ultraviolet. Kolitis pseudomembran: Pertimbangkan kemungkinan pada
pasien yang mengalami diare (A to Z drug fact)
D. Ciprofloxacin
1) Mekanisme
Mengganggu sintesis DNA mikroba. (A to Z drug fact)
2) Indikasi
Pengobatan infeksi saluran pernapasan bawah, kulit dan struktur kulit, tulang
dan sendi, saluran kemih, gonore, chancroid, dan diare infeksius yang
disebabkan oleh strain rentan organisme tertentu; demam tifoid; gonorea
servikal dan uretra yang tidak rumit; betina dengan sistitis akut tanpa
komplikasi; sinusitis akut; pneumonia nosokomial; prostatitis bakteri kronis;
infeksi intra-abdomen yang rumit; mengurangi insidensi atau perkembangan
22
antraks inhalasi setelah terpapar Organisme aerosol: Bacillus anthracis.
Penggunaan Ophthalmic: Pengobatan ulkus kornea dan konjungtivitis karena
organisme yang rentan. Penggunaan yang tidak berlabel: Pengobatan
eksaserbasi paru terkait dengan fibrosis kistik; penatalaksanaan otitis eksternal
ganas, diare "pelancong", infeksi mikobakteri. (A to Z drug fact)
3) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap fluoroquinolones atau quinolone; tendonitis atau
tendon pecah terkait dengan penggunaan kuinolon. Penggunaan Ophthalmic:
keratitis herpes simpleks epitel; vaccinia; varicella; penyakit jamur struktur
okular; infeksi mikobakteri mata (A to Z drug fact).
4) Dosis
Dewasa : 250 – 500 mg (peroral) (A to Z drug fact)
Dewasa : 200 – 400 mg (iv) (A to Z drug fact)
Infeksi Serviks Gonococcal
Dewasa : 250 mg (perosal) (A to Z drug fact)
Ulkus kornea, oleskan obat tetes mata sepanjang siang dan malam, hari 1 berlaku
setiap 15 menit selama 6 jam kemudian setiap 30 menit, hari 2 berlaku setiap jam,
hari 3–14 berlaku setiap 4 jam (durasi maksimal perawatan 21 hari) (Bnf)
Oleskan salep mata sepanjang siang dan malam; terapkan 1.25cm salep setiap 1-2
jam selama 2 hari kemudian setiap 4 jam selama 12 hari berikutnya(Bnf)
5) Interaksi
Antasid, garam besi, garam seng, sukralfat, ddI: Dapat menurunkan penyerapan
oral fluoroquinolone. Waktu administrasi Stagger. Antikoagulan: Dapat
meningkatkan efek warfarin; memonitor waktu protrombin. Agen antineoplastik:
kadar serum fluorokuinolon dapat menurun dengan siklofosfamid, sitarabin,
daunorubisin, doxorubicin, mitoxantrone, dan vincristine. Azlocillin: Penurunan
ciprofloxacin. Kafein: Pembersihan kafein berkurang. Cimetidine: Dapat
mengganggu eliminasi fluoroquinolone dan meningkatkan efek. Siklosporin: Efek
nefrotoksik siklosporin dapat ditingkatkan; monitor fungsi ginjal. Probenesid:
Penurunan klirens ginjal ciprofloxacin. Teofilin: Penurunan izin dan peningkatan
kadar teofilin plasma dapat menyebabkan toksisitas; pantau tingkat teofilin. (A to
Z drug fact)
6) Efek samping

23
CNS: Sakit kepala; kegelisahan. DERM: Rash. EENT: (Ophthalmic use): Lid
margin crusting; sensasi benda asing; gatal; hiperemia konjungtiva; penglihatan
menurun; reaksi sensitivitas (misalnya, iritasi transien, terbakar, menyengat,
peradangan, edema angioneurotic, dermatitis). Penggunaan oftalmik dapat
menghasilkan efek merugikan yang sama yang terlihat dengan penggunaan
sistemik. GI: Diare; mual; muntah; sakit perut / ketidaknyamanan. LAINNYA:
Rasa tidak normal; fotosensitifitas. (A to Z drug fact)
7) Perhatian
Kehamilan: Kategori C. Laktasi: Diekskresikan dalam ASI. Anak-anak: Jangan
digunakan pada anak-anak <18 thn. Konvulsi: Stimulasi CNS dapat terjadi;
gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan SSP yang diketahui atau
dicurigai. Gangguan fungsi ginjal: Pembersihan berkurang dapat terjadi; sesuaikan
dosis ke bawah sesuai pada pasien dengan bersihan kreatinin <50 ml / menit (A to
Z drug fact)
E. Moxifloxacin
1) Mekanisme
Mengganggu sintesis DNA mikroba.
2) Indikasi
Pengobatan sinusitis bakteri akut, eksaserbasi bakteri akut bronkitis kronis,
pneumonia yang didapat masyarakat, dan infeksi kulit dan struktur kulit yang
tidak rumit yang disebabkan oleh organisme yang rentan.
3) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap moxifloxacin atau anggota kelas fluoroquinolone;
tendonitis atau tendon pecah terkait dengan penggunaan kuinolon.
4) Dosis
Bakteri akut sinusitis
Dewasa : 400 mg /hari / untuk 10 hari
Penumonia
Dewasa : 400 mg /hari/ untuk 7-14 hari
Bronkhitis
Dewasa : 400 mg / hari/ untuk 5 hari
Infeksi kulit
Dewasa : 400 mg / hari / untuk 7 hari
(A to Z drug facts)
24
5) Interaksi
Antasida yang Mengandung Aluminium, Kalsium, atau Magnesium; Formulasi
Obat yang Mengandung Kation Divalen atau Trivalen (misalnya Didanosine);
Kation Logam (misalnya, Besi); Multivitamin yang Mengandung Besi atau Seng;
Sukralfat: Dapat menurunkan penyerapan moxifloxacin. Cisapride; Agen
Antiaritmia Kelas IA (misalnya, Procainamide, Quinidine); Obat Antiaritmia
Kelas III (misalnya, Amiodarone, Sotalol); Eritromisin; Pentamidin; Fenotiazin;
Antidepresan trisiklik; Obat Lain yang Dikenal Memperpanjang Interval QTc:
Peningkatan risiko torsades de pointes atau aritmia ventrikel lainnya.
6) Efek samping
CARDIOVASCULAR: Takikardia. CNS: Pusing; sakit kepala. EENT: Taste
kebalikan. GI: Mual; diare; sakit perut; muntah; dispepsia. HEMATOLOGI:
Peningkatan neutrofil dan leukosit; penurunan hemoglobin, amilase, sel darah
merah, neutrofil, eosinofil, basofil, dan rasio PT. HEPATIC: LFT abnormal.
METABOLIK: Penurunan glukosa, bilirubin, dan amilase.
7) Perhatian
Kehamilan: Kategori C. Laktasi: Diekskresikan dalam ASI. ANAK: Keamanan
dan kemanjuran tidak ditentukan. Konvulsi dan Psikosis Beracun: Stimulasi CNS,
menurunkan ambang kejang, dan reaksi psikotik telah dilaporkan dengan agen
serupa. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kejang atau gangguan SSP
lainnya. Reaksi hipersensitivitas: Reaksi anafilaksis akut dan reaksi
hipersensitivitas dermatologis yang serius telah dilaporkan dengan agen serupa.
Kolitis Pseudomembran: Pertimbangkan kemungkinan pada pasien dengan diare.
Tendonitis: Peradangan dan pecahnya tendon telah dikaitkan dengan penggunaan
antibiotik fluoroquinolon.
 Antifungi
A. Ofloxacin
1) Mekanisme
Interferes with microbial DNA synthesis.
2) Indikasi
Pengobatan infeksi saluran pernapasan bawah, kulit dan struktur kulit dan saluran
kemih yang disebabkan oleh organisme yang rentan; pengobatan STD;
pengobatan prostatitis yang disebabkan oleh E. coli.
Optahlmic
25
Pengobatan infeksi okular superfisial yang disebabkan oleh organisme yang
rentan.
3) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap fluoroquinolones, antibiotik kuinolon, atau komponen
produk apa pun; tendonitis atau tendon pecah terkait dengan penggunaan
kuinolon.
4) Dosis
Dewasa : 200 mg/ 12 jam
Infeksi Saluran Pernapasan, Kulit dan Struktur Kulit
Dewasa : 200mg/ 12 jam
Gonoreae
Dewasa : 400mg / 12 jam (A to Z drug fact)
Terapkan setiap 2-4 jam untuk 2 hari pertama kemudian kurangi frekuensi
menjadi 4 kali sehari (maksimal 10 hari perawatan) (bnf).
5) Interaksi
Antasid, garam besi, garam seng, sukralfat, ddI: Dapat menurunkan penyerapan
oral ofloxacin. Agen antineoplastik: Tingkat serum ofloxacin dapat menurun.
Teofilin: Penurunan izin dan peningkatan kadar teofilin plasma dapat
menyebabkan toksisitas.
6) Efek samping
CNS: Nyeri dada. CNS: Sakit kepala; pusing; kelelahan; kelesuan; kantuk;
insomnia; kegugupan. DERM: Rash; pruritus. EENT: Gangguan visual;
pembakaran sementara, gatal, menyengat, peradangan, edema angioneurotic,
urtikaria dan dermatitis (penggunaan mata). GI: Diare; mual; muntah; sakit perut
atau ketidaknyamanan; mulut kering atau menyakitkan; perut kembung;
dysgeusia. GU: Keputihan vagina; pruritis genital. HEPA: Peningkatan ALT,
AST. HEMA: Eosinofilia; limfositopenia. LAINNYA: Vaginitis; demam; nafsu
makan menurun. Penggunaan oftalmik mungkin dapat menyebabkan efek
samping yang sama yang terlihat dengan penggunaan sistemik karena penyerapan.

7) Perhatian
Kehamilan: Kategori C. Laktasi: Diekskresikan dalam ASI. Anak-anak: Jangan
digunakan pada anak-anak <18 thn. Lansia: Setengah umur bisa meningkat.
Konvulsi: Stimulasi CNS dapat terjadi; gunakan obat dengan hati-hati pada pasien
26
dengan gangguan SSP yang diketahui atau dicurigai. Fotosensitifitas: Reaksi
sedang hingga berat dapat terjadi; hindari sinar matahari yang berlebihan dan sinar
ultraviolet. Kolitis pseudomembran: Pertimbangkan kemungkinan pada pasien
yang mengalami diare. Kerusakan ginjal: Pengurangan kreatinin berkurang dapat
terjadi; kurangi dosisnya. Sifilis: Tidak efektif untuk mengobati sifilis.

 Antivirus
A. Acyclovir
1) Mekanisme
Menghambat replikasi DNA virus dengan mengganggu DNA polimerase virus.
2) Indikasi
Bentuk parenteral: Pengobatan infeksi virus herpes simpleks virus (HSV) awal
dan berulang mukosa dan kutaneus (shingles) pada pasien immunocompromised;
pengobatan ensefalitis herpes simpleks pada bayi> 6 bulan; pengobatan episode
klinis berat herpes genital. Bentuk Oral: Pengobatan episode awal dan berulang
herpes genital pada pasien tertentu; pengobatan akut herpes zoster dan cacar air;
terapi supresif untuk kekambuhan sering herpes genital. Bentuk topikal:
Pengobatan episode awal herpes genitalis dan beberapa infeksi HSV mukosa pada
pasien immunocompromised.
3) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap acyclovir, valacyclovir, atau komponen apa pun dari
formulasi
4) Dosis
Infeksi herpes genital
Infeksi herpes genitalis inisial pada dewasa : Acyclovir 200 mg 5 kali sehari setiap
4 jam, selama 5 – 10 hari. Anak dibawah 2 tahun : ½ dosis dewasa. Untuk
penderita “immunocompromised” atau kelainan absorbsi pada usus dosis dapat
ditingkatkan menjadi 400 mg, atau sebagai alternatif diberikan pengobatan secara
intravena. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin, untuk rekuren sebaiknya
pada periode mulai terjadinya lesi pertama.
Pengobatan supresi infeksi herpes genitalis rekuren : Acyclovir 400 mg 2 kali
sehari atau 200 mg 2 – 5 kali sehari, selama 12 bulan.
Pengobatan intermitten infeksi herpes genitalis rekuren : Acyclovir 200 mg 5 kali
sehari setiap 4 jam, selama 5 hari (depkes,Ri)
27
Infeksi herpes zoster dan varisela
Dewasa : Acyclovir 800 mg 5 kali sehari setiap 4 jam, selama 7 – 10 hari.
Anak 2 – 12 tahun : Acyclovir 400 – 800 mg 4 kali sehari, selama 5 kali.
Anak dibawah 2 tahun : Acyclovir 200 mg atau 20 mg/kg BB 4 kali sehari, selama
5 hari.
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin dan pada saat awal timbulnya gejala
infeksi.
Penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal diperlukan penyesuaian dosis.
Beberapa penderita mungkin mengalami infeksi “break through” pada pemberian
dosis total 800 mg sehari. Pengobatan harap dihentikan secara periodic dengan
interval waktu 6 – 12 bulan dengan maksud untuk mengobservasi kemungkinan
perubahan-perubahan riwayat penyakit.(depkes,Ri,2000)
Topikal
Dewasa dan anak : Oleskan pada yang luka 3 jam / hari/maksimal 6 kali
5) Interaksi
Zidovudine: Peningkatan kecenderungan untuk kelesuan. INCOMPATIBILITAS:
Presipitasi dapat terjadi dengan air bakteriostatik. Jangan tambahkan asiklovir ke
cairan biologis atau koloid.
6) Efek samping
CV: Flebitis di tempat suntikan. CNS: Perubahan ensefalopati; kelesuan;
obtundation; getaran; kebingungan; halusinasi; sakit kepala; agitasi; kejang; koma.
DERM: Peradangan di tempat suntikan; gatal; ruam; gatal-gatal GI: Mual;
muntah. HEPA: Peningkatan sementara kreatinin serum, BUN, transaminase.
LAINNYA: Asthenia; parestesis. Bentuk topikal: Membakar atau menyengat;
pruritis. Penggunaan topikal dapat menyebabkan reaksi merugikan yang sama
dengan penggunaan sistemik.
7) Perhatian
Kehamilan: Kategori C. Laktasi: Diekskresikan dalam ASI. Anak-anak:
Keamanan dan kemanjuran pada anak-anak <2 thn belum terbentuk. Perubahan
ensefalopati: Pasien dengan kelainan neurologis yang mendasarinya atau hipoksia
berat dapat meningkatkan risiko efek neurotoksik. Penggunaan kulit: Perawatan
harus diambil untuk menghindari obat di mata. Kerusakan ginjal: Penyesuaian
dosis mungkin diperlukan. Dengan penggunaan parenteral, asiklovir dapat

28
mengendap sebagai kristal di tubulus ginjal. Herpes genital: Hubungan seksual
harus dihindari jika ada lesi. Penggunaan asiklovir tidak mencegah penularan.
B. Ganciclovir
1) Mekanisme
Menghambat cytomegalovirus (CMV) dan replikasi virus lainnya dengan
penghambatan kompetitif polimerase DNA virus dan penggabungan langsung ke
DNA virus.
2) Indikasi
IV: Pengobatan retinitis CMV pada pasien immunocompromised, termasuk pasien
dengan AIDS; pencegahan penyakit CMV pada pasien transplantasi organ yang
berisiko CMV.
Oral: Alternatif untuk formulasi IV untuk perawatan perawatan retinitis CMV
pada pasien immunocompromised, termasuk pasien dengan AIDS, di antaranya
retinitis stabil setelah terapi induksi yang tepat dan untuk siapa risiko
perkembangan yang lebih cepat diimbangi oleh manfaat yang terkait dengan
menghindari IV harian infus.
3) Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap asiklovir.
4) Dosis
Oleskan 5 kali sehari sampai selesai penyembuhan, lalu oleskan 3 kali sehari
selama 7 hari berikutnya (Bnf)
5) Interaksi
Amfoterisin B, siklosporin, obat nefrotoksik: Dapat meningkatkan kreatinin
serum.
Obat sitotoksik: Dapat menyebabkan toksisitas tambahan.
Imipenem-cilastatin: Dapat menyebabkan kejang umum.
Probenesid: Dapat mengurangi klirens ginjal dan meningkatkan kadar serum
gansiklovir.
Zidovudine: Baik zidovudine dan ganciclovir dapat menyebabkan
granulocytopenia; terapi kombinasi pada dosis penuh tidak dapat ditoleransi.
Jangan dicampur dengan obat lain.
6) Efek samping
CNS: Sakit kepala; kebingungan. DERMATOLOGI: Ruam; flebitis atau nyeri di
tempat suntikan. GU: Toksisitas ginjal. HEMATOLOGI: Granulositopenia;
29
trombositopenia; anemia. HEPATIC: Hasil LFT yang tidak normal. LAINNYA:
Sepsis; demam
7) Perhatian
Kehamilan: Kategori C. Laktasi: Belum ditentukan. Anjurkan untuk menyusui
selama dan selama 72 jam setelah perawatan. Anak-anak: Keamanan dan
kemanjuran tidak ditentukan. Karsinogenesis: Ganciclovir berpotensi
karsinogenik. Sitopenia: Gunakan obat dengan hati-hati pada pasien dengan
sitopenia yang sudah ada sebelumnya; granulocytopenia umum terjadi. Hidrasi:
Menemani pemberian dengan hidrasi yang adekuat karena ganciclovir
diekskresikan oleh ginjal. Kerusakan ginjal: Gunakan obat dengan hati-hati dan
sesuaikan dosis. Toksisitas ginjal: Hati-hati monitor fungsi ginjal, terutama ketika
obat nefrotoksik lainnya diberikan. Pelepasan retina: Telah terjadi; hubungan
dengan obat yang belum ditentukan.
C. Tobramycin
1) Mekanisme
Menghambat sintesis protein bakteri, menyebabkan kematian sel.
2) Indikasi
Pengobatan infeksi serius yang disebabkan oleh strain bakteri gram negatif yang
rentan; pengobatan infeksi staphylococcal yang rentan berat ketika obat lain yang
kurang beracun merupakan kontraindikasi. Penggunaan Ophthalmic: Pengobatan
infeksi okular superfisial. Manajemen pasien cystic fibrosis dengan Pseudomonas
aeruginosa.
3) Kontraindikasi
Reaksi sebelumnya terhadap aminoglikosida. Penggunaan Ophthalmic: keratitis
herpes simpleks epitel; vaccinia; varicella; infeksi mycobacterial mata; infeksi
jamur
4) Dosis
Dewasa : IM / IV 3–5 mg / kg / hari dalam 3–4 dosis yang sama.
Salep Mata
1,25 cm 2 kali sehari (3-4 jam untuk infeksi berat / 1-2 jam (4-6 kali )/hari (untuk
infeksi berat)
Anak-anak : IM / IV 6-7,5 mg / kg / hari dalam 3-4 dosis sama terbagi.
5) Interaksi

30
Relaksan otot depolarizing dan nondepolarizing: Dapat meningkatkan efek
pemblokiran neuromuskular. Depresi pernapasan yang berkepanjangan dapat
terjadi. Loop diuretik: Dapat meningkatkan toksisitas pendengaran. Obat
nefrotoksik (misalnya, amfoterisin B, sefalosporin, enflurane, metoksifluran,
vankomisin): Dapat meningkatkan risiko nefrotoksisitas. Penisilin: Penisilin,
terutama karbenisilin dan ticarcillin, dapat menginaktivasi tobramycin dalam
campuran, prosedur pemeriksaan, atau pasien dengan gagal ginjal. Antibiotik
polipeptida: Dapat meningkatkan risiko kelumpuhan pernapasan dan disfungsi
ginjal. Ketidaksesuaian: Jangan dicampur dengan obat lain.
6) Efek samping
CNS: Sakit kepala; demam; kebingungan; kelesuan; disorientasi; igauan. DERM:
Rash; urtikaria; gatal; nyeri dan iritasi di tempat suntikan. EENT: Tinnitus;
vertigo; pusing; gangguan pendengaran. Dengan persiapan mata: keracunan ocular
okular dan hipersensitivitas; gatal-gatal; tutup bengkak; eritema ontungtiva. GI:
Mual; muntah; diare. GU: Oliguria; proteinuria; peningkatan kreatinin serum dan
BUN. HEMA: Anemia; leukopenia; leukositosis; eosinofilia. META: Penurunan
kalsium, natrium, kalium, atau magnesium serum; hasil LFT meningkat. RESP:
Apnea.
7) Perhatian
Kehamilan: Kategori D (parenteral); Kategori B (opthalmik). Laktasi: Belum
ditentukan. Anak-anak: Gunakan bentuk parenteral hati-hati pada bayi prematur
dan neonatus karena ketidakmatangan ginjal. Membakar pasien: Farmakokinetik
dapat diubah; kadar serum penting untuk menentukan dosis yang tepat.
Hypomagnesia: Terjadi sering, terutama pada mereka dengan diet terbatas atau
yang makan dengan buruk. Terapi jangka panjang: Umumnya tidak diindikasikan;
sangat meningkatkan risiko reaksi beracun. Blokade neuromuskular: Potensi efek
curare-like dapat memperburuk kelemahan otot atau menyebabkan
neurotoksisitas. Gunakan obat dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan
neuromuskular, hipomagnesemia, hipokalsemia atau hipokalemia; dengan anestesi
atau relaksan otot, dan pada neonatus yang ibunya menerima magnesium sulfat.
Ophthalmic salep: Dapat menghambat penyembuhan kornea. Toksisitas: Obat
dikaitkan dengan nefrotoksisitas dan ototoxicity yang signifikan (baik
pendengaran dan vestibular). Gunakan obat dengan perhatian khusus pada pasien

31
dengan gangguan ginjal atau gangguan pendengaran sebelumnya dan pada pasien
usia lanjut

 Kortikosteroid
A. Betametashone
1) Mekanisme
Clotrimazole meningkatkan permeabilitas membran sel pada jamur yang
rentan. Betametason memiliki tindakan anti-inflamasi, antipruritic, dan
vasokonstriksi.
2) Indikasi
Pengobatan topikal tinea pedis, tinea kruris, dan tinea corporis yang
disebabkan oleh Trichophyton rubrum, T. mentagrophytes, Epidermophyton
floccosum, Microsporum canis
3) Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap kortikosteroid atau imidazol lain
4) Dosis
Peroral : 0,6 – 7,2 mg/hari
Salep : Oleskan obat tetes mata setiap 1-2 jam sampai terkontrol kemudian
kurangi frekuensinya; oleskan salep mata 2–4 kali sehari atau malam saat
digunakan dengan obat tetes mata (Bnf)
5) Interaksi
Antikolinesterase: Dapat menimbulkan efek antikolinesterase pada miastenia
gravis. Antikoagulan, oral Dapat mengubah persyaratan dosis antikoagulan.
Barbiturat Dapat menurunkan efek farmakologis dari betametason. Hidantoins
Dapat meningkatkan pembersihan dan menurunkan efikasi terapeutik dari
betametason. Relaksan otot non depolarisasi (misalnya, tubocurarine).
6) Efek samping
Kardiovaskular : Nekrosis, aritmia jantung, hipertensi, vertigo, sakit kepala,
kelelahan, insomnia
Kulit : urtikaria, gatal, kulit serasa terbakar, kulit kering
7) Perhatian
Kehamilan: Keamanan tidak ditetapkan (sistemik). Kategori C (topikal).
Laktasi: Ekskresi dalam ASI. ANAK-ANAK: Pertumbuhan dan
perkembangan bayi dan anak-anak dengan terapi berkepanjangan harus
32
dipantau, bahkan dengan pengobatan topikal. Lansia: Mungkin membutuhkan
dosis yang lebih rendah. Pertimbangkan manfaat relatif terhadap risiko
B. Hydrokortison
1) Mekanisme
Glukokortikoid kerja singkat yang menekan pembentukan, pelepasan, dan
aktivitas mediator inflamasi endogen termasuk prostaglandin, kinin, histamin,
enzim liposomal, dan sistem komplemen. Juga memodifikasi respons
kekebalan tubuh
2) Indikasi
Pengobatan insufisiensi korteks adrenal primer atau sekunder, gangguan
rematik, penyakit kolagen, penyakit dermatologis, keadaan alergi, proses
ophthalmic alergi dan inflamasi, penyakit pernafasan, gangguan hematologi
(purpura trombositopenik idiopatik), penyakit neoplastik, keadaan edematosa
(akibat sindrom nefrotik), Penyakit GI (kolitis ulserativa dan sariawan),
multiple sclerosis, meningitis tuberkulosis, trichinosis dengan keterlibatan
neurologis atau miokard

3) Kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik; Penggunaan IM pada purpura thrombocytopenic
idiopatik; pemberian vaksin virus hidup pada pasien yang menerima dosis
kortikosteroid imunosupresif.
4) Dosis
Obat tetes mata : Oleskan obat tetes mata setiap 30–60 menit sampai
terkontrol kemudian kurangi frekuensinya menjadi setiap 4 jam (bnf)
Dosis yang umum diberikan : oleskan 2 – 3 kali sehari pada kulit yang sakit.
(Depkes ri,2005)
5) Interaksi
Antikolinesterase: Dapat menimbulkan efek antikolinesterase pada miastenia
gravis. Antikoagulan, oral: Dapat mengubah persyaratan dosis antikoagulan.
Barbiturat: Dapat menurunkan efek hidrokortison. Cholestyramine: Dapat
menurunkan kadar hidrokortison. Kontrasepsi (oral) estrogen: Dapat
mengurangi pembersihan hidrokortison. Hydantoins, rifampisin: Dapat
meningkatkan pembersihan dan menurunkan keefektifan terapi hidrokortison.
33
Salisilat: Dapat mengurangi tingkat serum dan kemanjuran salisilat.
Troleandomycin: Dapat meningkatkan efek hidrokortison.
6) Efek samping
Rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit, infeksi sekunder(depkes Ri,
2005)
7) Perhatian
Hati hati penggunaan hydrokortison pada jangaka waktu yang lama, area kulit
yang luas, wanita hamil, bayi dan anak berusia dibawah 4 tahun.
C. Dexamethasone
1) Mekanisme
menekan pembentukan, pelepasan dan aktivitas mediator endogen inflamasi
termasuk prostaglandin, kinin, histamin, enzim liposomal dan sistem
komplemen. Juga memodifikasi respons kekebalan tubuh.(Ato z Drug Fact)
2) Indkasi
Antiinflamasi, pengobatan rematik arthritis, dan penyakit kolagen lainnya,
alergi dermatitis, penyakit kulit, inflamasi pada masa dan kondisi lain dimana
glucocorticoid berguna lebih menguntungkan seperti penyakit leukimia
tertentu dan limfoma dan inflamasi pada jaringan lunak dan anemia hemolitik.
(Depkes, Ri.2000)
3) Kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik; Penggunaan IM pada purpura thrombocytopenic
idiopatik; administrasi vaksin virus hidup; monoterapi topikal pada infeksi
bakteri primer; penggunaan intranasal pada infeksi lokal yang tidak diobati
yang melibatkan mukosa hidung; penggunaan ophthalmic pada keratitis herpes
simpleks superfisial akut, penyakit jamur pada struktur okular, vaccinia,
varisela dan tuberkulosis okular
4) Dosis
Dewasa : 0,5 mg -10 mg / perhari (Depkes,Ri .2000)
Anak-anak : 0,08mg- 0,3mg/kg berat badan per hari dibagi dalam 3 atau 4
dosis (Depkese,Ri .2000)
5) Efek samping
Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik steroid
seperti kehabisan protein, osteoporosis, dan penghambatan pertumbuhan
anak.Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila
34
dibandingkan dengan glucocorticoid lainnya.Penambahan nafsu makan dan
berat badan lebih sering terjadi.
6) Interaksi
Insulin, hipoglikemik oral : menurunkan efek hipoglikemik.Fenitoin,
fenobarbital, dan efedrin : meningkatkan clearance metabolik dari
deksametason, menurunkan kadar steroid dalam darah dan aktifitas fisiologis.
Antikoagulan oral : meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin.
Diuretik yang mendepresi kalium : meningkatkan risiko hipokalemia.
Glikosida kardiak : meningkatkan risiko aritmia atau toksisitas digitalis
sekunder terhadap hipokalemia.
Antigen untuk tes kulit : menurunkan reaksivitas.
Imunisasi : menurunkan respon antibodi.

7) Perhatian
Kekurangan adrenocortical sekunder yang disebabkan oleh pengobatan dapat
dikurangi dengan mengurangi dosis secara bertahap.
Ada penambahan efek kortikosteroid pada penderita dengan hipotiroidisme
dan sirosis.
D. Predinisolon
1) Mekanisme
Glukokortikoid intermediate-acting yang menekan pembentukan, pelepasan
dan aktivitas mediator endogen inflamasi termasuk prostaglandin, kinin,
histamin, enzim liposomal dan sistem komplemen. Juga memodifikasi respons
kekebalan tubuh.
2) Indikasi
Artritis reumatoid,Bursitis (radang kandung sega) akut dan subakut,Dermatitis
eksfoliatif,Rinitis alerigka,Asma bronkhial,Dermatitis kontak,Konjungtivitis
alergika (radang selaput ikat mata karena alergi).(Depkes,RI.2000)
3) Kontraindikasi
Oral / Parenteral: infeksi jamur sistemik; administrasi vaksin virus hidup. IM:
Purpura trombositopenik idiopatik; sensitivitas sulfit. Ophthalmic: Akut
keratitis herpes simpleks dangkal; penyakit jamur pada struktur okular,

35
vaccinia, varicella dan sebagian besar penyakit virus lainnya dari kornea dan
konjungtiva; tuberkulosis okular.
4) Dosis
Dosis awal berkisar antara 4-48 mg sehari.
Terapi dosis tinggi : 160 mg/hari selama 1 minggu dilanjutkan dengan 64 mg
setiap dua hari sekali (selang sehari) selama 1 bulan.(Depkes,Ri.2000)
Dosis dewasa : 5-60 mg/hari (Ato z drugfact)
Tetes mata :
Dewasa : 1-2 tetes tiap jam (A to z drugfact)
5) Interaksi
Antikolinesterase: Dapat menimbulkan efek antikolinesterase pada miastenia
gravis. Barbiturat: Dapat menurunkan efek farmakologis dari prednisolon.
Kontrasepsi (oral), estrogen, ketoconazole: Dapat mengurangi pembebasan
prednisolon. Hydantoins, rifampisin: Dapat meningkatkan pembersihan dan
menurunkan khasiat prednisolon. Salisilat: Dapat mengurangi tingkat serum
dan kemanjuran salisilat. Troleandomycin: Dapat meningkatkan efek
prednisolon.
6) Efek samping
Gangguan cairan&elektrolit kelemahan otot,osteonekrosis
aseptikosteoporosisulkus peptikum dengan perlubanganperdarahan,
peregangan perut, gangguan penyembuhan luka,peningkatan tekanan dalam
matakeadaan Cushingoidpertumbuhan terhambat, haid tidak teraturkatarak
subkapsular posterior (Depkes,Ri.2000)
7) Perhatian
Penelitian pada hewan menunjukkan efek samping pada janin ( teratogenik
atau embriosidal atau lainnya) dan belum ada penelitian yang terkendali pada
wanita atau penelitian pada wanita dan hewan belum tersedia. Obat
seharusnya diberikan bila hanya keuntungan potensial memberikan alasan
terhadap bahaya potensial pada janin.(Depkes,Ri.2000).

 Anti Inflamasi
A. Azelastine
1) Mekansime
Kompetisi antagonis histamin di situs reseptor H1.
36
2) Indikasi
Pengobatan gejala rinitis alergi musiman, seperti rhinorrhea, bersin, dan
pruritus hidung; pengobatan gejala rinitis vasomotor, seperti rhinorrhea,
hidung tersumbat, dan postnasal drip.
3) Kontraindikasi
Pertimbangan standar
4) Dosis
Dewasa dan anak anak (>12thn): 2 semprotan/lubang hidung
Anak anak (5-11 thn) : 1 semprotan/ lubang hidung (Ato z drug fact)
Dewasa dan anak (>4 thn ):2 kali sehari
5) Interaksi
Alkohol, depresan SSP lainnya: Efek dapat ditingkatkan oleh azelastine
6) Efek samping
Hipertensi, takikardia, vertigo, hidung terbakar, bersin, rasa pahit, mulut
kering (a to z drug fact)
7) Perhatian
Kehamilan: Kategori C. Laktasi: Merusak. Anak-anak: Keamanan dan
kemanjuran tidak ditemukan pada rhinitis alergi musiman pada anak-anak di
bawah 5 tahun. Lansia: Pilih dosis dengan hati-hati, mencerminkan frekuensi
penurunan fungsi hati, ginjal, atau jantung dan komorbiditas yang lebih besar.
B. Nedocromil
1) Mekanisme
Menghambat pelepasan mediator dari jenis sel inflamasi yang terkait dengan
asma, termasuk histamin dari sel mast dan betaglucuronidase dari makrofag.
Dapat juga menekan produksi lokal leukotrien dan prostaglandin.
Menghambat pengembangan tanggapan bronkokonstriksi terhadap antigen
inhalasi dan tantangan lain seperti udara dingin.
Pemeliharaan asma bronkial ringan sampai sedang; pengobatan gatal yang
disebabkan oleh konjungtivitis alergi.
2) Kontraindikasi
Pertimbangan dasar
3) Dosis
Dewasa dan anak (>12thn) : aerosol inhalasi 2 kali penarikan/ 4 kali sehari
(dosis 14 mg)
37
4) Efek samping
CNS: Sakit kepala. EENT: Pembakaran okular; iritasi dan menyengat; rasa
tidak enak; hidung tersumbat; konjungtivitis; mata kemerahan; ketakutan
dipotret. GI: Mual; muntah; dispepsia; sakit perut. RESP: Rhinitis; infeksi
saluran pernafasan atas; asma. LAINNYA: Rasa tidak enak.

5) Perhatian
Kehamilan: Kategori B. Laktasi: Belum ditentukan. Anak-anak (aerosol
inhalasi): Keamanan dan kemanjuran pada anak-anak <12 tahun tidak
terbentuk. Anak-anak (mata): Keamanan dan kemanjuran pada anak-anak <3
tahun tidak terbentuk. Bronkospasme akut: Sebaiknya tidak digunakan untuk
pembalikan bronkospasme akut, terutama status asthmaticus. Namun, terus
diberikan selama eksaserbasi akut, kecuali pasien menjadi tidak toleran
terhadap bentuk sediaan yang dihirup. Batuk / Bronkospasme: Jika batuk atau
bronkospasme mengikuti inhalasi, mungkin perlu dihentikan. Interval
pemberian dosis: Efek optimal tergantung pada pemberian secara teratur,
bahkan selama periode bebas gejala.
C. Lodoxamide
1) Indikasi : Konjungtivitis alergi (bnf)
2) Efek samping : terbakar, menyengat, gatal, penglihatan kabur, gangguan pro-
duksi air mata, dan ketidaknyamanan okular; kurang sering memudar, kek-
eringan hidung, pusing, mengantuk, sakit kepala, blepharitis dan keratitis(bnf)
3) Dosis
Dewasa dan anak (>4 thn) : 4 kali sehari selama 4 minggu (Bnf)
4) Efek samping
Iritasi: Dapat menyebabkan pembakaran sementara atau menyengat

5) Interaksi
Interaksi Obat Tidak ada interaksi signifikan yang diketahui.
6) Perhatian
Penggunaan yang tepat: Hanya untuk penggunaan mata; bukan untuk injeksi
7) Mekanisme

38
Mekanisme AksiMastabilizer sel yang menghambat reaksi hipersensitifitas in
vivo tipe I untuk meningkatkan permeabilitas vaskular kulit yang terkait
dengan IgE dan reaksi antigen-mediated
D. Emedastine
1. Mekanisme
Aksi Selektif histamin Antagonis reseptor-H1 untuk penggunaan oftalmik
topikal
2. Indikasi
Pengobatan allergi konjungtivitis
3. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap emedastine atau komponen formulasi
4. Dosis
Dewasa Konjungtivitis alergi: Ophthalmic: Menanamkan 1 tetes mata yang
terkena hingga 4 kali / hari (DIH)
5. Efek samping
Keratitis bakteri: Kontaminasi yang tidak disengaja pada larutan mata dosis
ganda telah menyebabkan keratitis bakteri
6. Perhatian
Penggunaan yang tepat: Hanya untuk penggunaan oftalmik topikal saja. atas
Faktor Risiko KehamilanBtop Laktasi Ekskresi dalam ASI tidak diketahui
gunakan hati-hatiatas Efek samping
E. Oloptadine
1) Interaksi
Inhibitor Acetylcholinesterase (Central): Antikolinergik dapat mengurangi efek
terapeutik dari Acetylcholinesterase Inhibitors (Central). Inhibitor
Acetylcholinesterase (Central) dapat mengurangi efek terapeutik dari
antikolinergik. Jika tindakan antikolinergik adalah efek samping dari agen,
hasilnya mungkin bermanfaat. Risiko C: Pantau terapi
2) indikasi
Hidung semprot: Pengobatan gejala rinitis alergi musiman
Ophthalmic: Pengobatan tanda dan gejala konjungtivitis alergi
3) Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap olopatadine hidroklorida atau komponen formulasi
4) Dosis
39
Dewasa : 1 tetes / 2 kali sehari sampai 6 minggu(DIH)
5 )Efek samping
Rasa pahit, infeksi saluran kemih, CPK meningkat.
6) mekanisme
Selektif histamin H1-antagonis; menghambat pelepasan histamin dari sel mast.
Menghambat efek histamin yang diinduksi pada sel epitel konjungtiva dan saluran
pernapasan. Tidak memiliki efek pada reseptor alfa-adrenergik, dopaminergik,
dan muscarinic tipe 1 dan 2.
7) Perhatian

Ophthalmic: Untuk digunakan hanya di mata. Jangan biarkan ujung mata aplikator
menyentuh; jangan mengotori ujung aplikator (dapat menyebabkan infeksi mata,
kerusakan mata, atau kehilangan penglihatan). Jangan memakai lensa kontak jika
mata merah. Dapat menyebabkan gejala seperti dingin dan sakit kepala

Obat glaukoma
A. Betaxolol
1) Mekanisme
Blok reseptor beta, terutama mempengaruhi sistem kardiovaskular
(penurunan denyut jantung, kontraktilitas jantung dan BP) dan paru-paru
(mempromosikan bronkospasme). Penggunaan Ophthalmic mengurangi
tekanan intraokular, mungkin dengan mengurangi produksi air
2) Indikasi
Hipertensi. Persiapan Oftalmik: Menurunkan TIO; hipertensi okular;
glaukoma sudut terbuka kronis
3) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap beta-blocker; bradikardia sinus; lebih besar dari
blok jantung tingkat pertama; CHF kecuali sekunder untuk takiaritmia
dapat diobati dengan beta-blocker; gagal jantung terbuka; serangan jantung
4) Dosis
Dewasa: 10-20mg/hari /(peroral)
Glaukoma
Obat tetes mata Dewasa : 1-2 tetes/2 kali sehari
5) Interaksi

40
Clonidine: Dapat meningkatkan atau membalikkan efek antihipertensi;
situasi yang berpotensi mengancam jiwa dapat terjadi, terutama pada saat
penarikan. NSAID: Beberapa agen dapat merusak efek antihipertensi.
Prazosin: Dapat meningkatkan hipotensi postural. Verapamil: Dapat
meningkatkan efek kedua obat.
6) Efek samping
Gatal gatal , mata kering, penglihatan kabur,
7) Perhatian
Kehamilan: Kategori C. Laktasi: Belum ditentukan. Anak-anak:
Keamanan dan kemanjuran tidak ditentukan. Anafilaksis: Kematian terjadi
dengan reaksi anafilaksis terhadap beta-blocker; terapi agresif mungkin
diperlukan. Glaukoma sudut-tertutup: Untuk secara efektif mengurangi
tekanan intraokular tinggi pada glaukoma sudut tertutup, gunakan dengan
agen miotik. Penghentian terapi: Secara bertahap menarik kembali »2
minggu. Hati-hati amati pasien dan biarkan aktivitas fisik minimal
B. Carteolol Hydrocholride
1) Mekanisme
Memblokir reseptor beta, terutama yang mempengaruhi sistem
kardiovaskular (menurunkan denyut jantung, kontraktilitas jantung, dan
BP) dan paru-paru (mempromosikan bronkospasme). Penggunaan
Ophthalmic mengurangi IOP, mungkin dengan mengurangi produksi air.
2) Indikasi
Penatalaksanaan hipertensi. Persiapan Oftalmik untuk mengontrol
hipertensi intraokular dan menurunkan IOP pada glaukoma sudut terbuka
kronis. Penggunaan yang tidak berlabel: Pengobatan angina.
3) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap beta-blocker; bradikardia persisten berat; > blok
atrioventrikular tingkat pertama; CHF kecuali sekunder untuk takiaritmia
dapat diobati dengan beta-blocker; gagal jantung terbuka; bradikardia
sinus; serangan jantung; asma bronkial atau bronkospasme, termasuk
COPD berat.

4) Dosis
Dewasa : 2.5 -10mg
41
Tetes mata :1 tetes 2 kali sehari
5) Interaksi
Clonidine: Dapat meningkatkan atau membalikkan efek antihipertensi;
dapat menyebabkan peningkatan BP yang mengancam jiwa, terutama pada
penghentian kedua obat secara bersamaan. Epinefrin: Dapat menyebabkan
episode hipertensi awal diikuti oleh bradikardia. Ergot alkaloid: Dapat
menyebabkan iskemia perifer dengan ekstremitas dingin. Gangren perifer
mungkin. NSAID: Dapat merusak efek antihipertensi. Prazosin: Dapat
meningkatkan hipotensi ortostatik. Beta-blocker sistemik: Ketika diberikan
bersamaan dengan solusi hidroklorida carteolol opthalmik, dapat
menyebabkan efek aditif dan toksisitas. Teofilin: Dapat mengurangi
eliminasi teofilin. Dapat menyebabkan antagonisme farmakologis,
mengurangi efek dari satu atau kedua obat. Verapamil: Dapat
meningkatkan efek kedua obat
6) Efek samping
Mata kering, penglihatan kabur, ketidaknyamanan mata
7) Perhatian
Kehamilan: Kategori C. Laktasi: Diekskresikan dalam ASI. Anak-anak:
Keamanan dan kemanjuran tidak ditentukan. Penghentian terapi:
Sebaiknya dilakukan secara bertahap, lebih dari sekitar 2 minggu, dengan
pengamatan yang cermat terhadap pasien dan aktivitas fisik yang terbatas.
CHF: Harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan CHF yang
diobati dengan digitalis dan diuretik. Diabetes mellitus: Obat dapat
menutupi tanda dan gejala hipoglikemia (misalnya, takikardia, perubahan
tekanan darah). Dapat mempotensiasi hipoglikemia yang diinduksi insulin

Indra Pendengaran (Telinga)


Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi/mengenal suara dan juga
banyak berperan dalam keseimbangan dan posisi tubuh. Suara adalah bentuk energi yang
bergerak melewati udara, air, atau benda lainnya, dalam sebuah gelombang. Walaupun
telinga yang mendeteksi suara, fungsi pengenalan dan interpretasi dilakukan di otak dan
sistem saraf pusat. Rangsangan suara disampaikan ke otak melalui saraf yang

42
menyambungkan telinga dan otak (nervus vestibulokoklearis). Telinga terbagi menjadi
telinga luar, telinga tengah dan telinga bagian dalam.

 Klasifikasi dan Epidemiologi


A. Kehilangan Pendengaran Konduktif
Gangguan pendengaran konduktif terjadi akibat disfungsi telinga
eksternal atau tengah. Ada empat mekanisme, masing-masing
mengakibatkan kerusakan pada bagian getaran suara ke telinga bagian
dalam: (1) obstruksi (misalnya, cerumen impaksi), (2) pembebanan massa
(misalnya, efusi telinga tengah), (3) efek kekakuan ( misalnya,
otosclerosis), dan (4) diskontinuitas (misalnya, gangguan ossicular).
Kerugian konduktif pada orang dewasa paling sering karena cerumen
impaksi atau disfungsi tuba pendengaran transien terkait dengan infeksi
saluran pernapasan bagian atas. Kelainan konduktif yang persisten
biasanya diakibatkan oleh infeksi telinga kronis, trauma, atau otosklerosis.
Kehilangan pendengaran konduktif umumnya dapat diperbaiki dengan
terapi medis atau bedah atau dalam beberapa kasus keduanya.
B. Kehilangan Pendengaran Sensorik
Kehilangan pendengaran sensorik hasil dari kerusakan koklea,
biasanya karena hilangnya sel-sel rambut dari organ Corti. Kerusakan
sensorineural pada orang dewasa sering terjadi. Frekuensi yang progresif,
frekuensi tinggi yang hilang dengan usia lanjut (presbyacusis) adalah
khas. Selain efek penuaan, penyebab umum kehilangan sensorineural

43
termasuk paparan kebisingan yang berlebihan, trauma kepala, dan
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus. Kehilangan pendengaran
sensorik tidak dapat diperbaiki dengan terapi medis atau bedah tetapi
sering dapat dicegah atau distabilkan.
C. Kerusakan Pendengaran Neural
Kehilangan pendengaran saraf terjadi dengan lesi yang melibatkan
saraf kedelapan, nukleus pendengaran, traktus naik, atau korteks
pendengaran. Ini adalah yang paling umum secara klinis penyebab
kehilangan pendengaran. Penyebab termasuk neuron multiple sklerosis
akustik, dan penyakit serebrovaskula.
 PENYAKIT DARI DASAR TELINGA

1) Cerumen

Cerumen adalah sekresi pelindung yang diproduksi oleh bagian


terluar dari liang telinga. Pada kebanyakan orang, saluran telinga
membersihkan diri. Kebersihan yang disarankan terdiri dari
membersihkan pembukaan eksternal dengan kain lap di atas jari
telunjuk tanpa memasuki kanal itu sendiri. Dalam banyak kasus,
cerumen impaksi sendiri disebabkan oleh upaya-upaya membersihkan
telinga yang tidak disarankan. Ini dapat dikurangi dengan tetes telinga
detergen (misalnya, hidrogen peroksida 3%; karbamid peroksida
6,5%), pengangkatan mekanis, pengisapan, atau irigasi. Irigasi
dilakukan dengan air pada suhu tubuh untuk menghindari respons
kalori vestibular. Aliran harus diarahkan pada dinding saluran telinga
yang berdekatan dengan sumbat cerumen. Irigasi harus dilakukan
hanya ketika membran timpani diketahui utuh.
2) Benda Asing
Benda asing di saluran telinga lebih sering terjadi pada anak-
anak daripada orang dewasa. Irigasi berair tidak boleh dilakukan untuk
benda asing organik (misalnya kacang, serangga), karena air dapat
menyebabkan mereka membengkak. Serangga hidup paling baik
diimobilisasi sebelum dibuang dengan mengisi liang telinga dengan
lidocaine.
3) Otitis Eksternal

44
Otitis eksternal yang persisten pada pasien diabetes atau
immunocompromised dapat berevolusi menjadi osteomyelitis dari
dasar tengkorak, sering disebut otitis eksternal maligna. Otitis
eksternal hadir dengan otalgia, sering disertai dengan pruritus dan
discharge bernanah. Sering ada riwayat paparan air baru-baru ini atau
trauma mekanis (misalnya, menggaruk, aplikator kapas). Otitis
eksternal biasanya disebabkan oleh batang gram negatif (misalnya,
Pseudomonas, Proteus) atau jamur (misalnya Aspergillus), yang
berkembanag paada kelembaban yang berlebihan.
4) Piruritis
Pruritus pada saluran pendengaran eksternal, terutama pada
meatus, adalah masalah umum. Meskipun mungkin terkait dengan
otitis eksternal atau dengan kondisi dermatologis seperti dermatitis
seboroik dan psoriasis, kebanyakan kasus disebabkan sendiri baik dari
eksoriasi atau oleh pembersihan telinga yang terlalu bersemangat.
Untuk memungkinkan regenerasi selimut pelindung cerumen, pasien
harus diinstruksikan untuk menghindari penggunaan sabun dan air
atau kapas di Saluran telinga. Pasien dengan kulit saluran yang terlalu
kering dapat mengambil manfaat dari aplikasi minyak mineral, yang
membantu untuk menetralkan kekeringan dan mengusir kelembaban.
Ketika komponen inflamasi hadir, aplikasi topikal kortikosteroid
(misalnya 0,1% triamsinolon) mungkin bermanfaat. Pengurangan
gejala pruritus dapat diperoleh dengan menggunakan antihistamin
oral (misalnya, diphenhydramine, 25 mg secara oral saat tidur).
Aplikasi topikal alkohol isopropil segera meredakan pruritus saluran
telinga pada banyak pasien.
5) Otitis Eksternal Ganas
Otitis eksternal yang persisten pada pasien diabetes atau
immuno-compromised dapat berevolusi menjadi osteomyelitis dari
dasar tengkorak, sering disebut otitis eksternal ganas. Biasanya
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa, osteomyelitis dimulai di
dasar saluran telinga dan dapat meluas ke fosa tengah, clivus, dan
bahkan dasar tengkorak kontralateral. Pasien biasanya datang dengan
keputihan foul aural, granulasi di liang telinga, otalgia dalam, dan
45
palsi saraf kranial progresif yang melibatkan saraf VI, VII, IX, X, XI,
atau XII. Diagnosis dikonfirmasi oleh demonstrasi erosi osseous pada
CT scan dan radionuklida.
Perawatan terutama medis adalah pemberian antibiotik
antipseudomonal yang berkepanjangan, sering selama beberapa bulan.
Meskipun terapi intravena sering diperlukan, pasien yang dipilih
dapat diberikan oral ciprofloxacin (500-1000 mg secara oral dua kali,
setiap hari), yang telah terbukti efektif melawan banyak strain
Pseudomonas penyebab. Untuk menghindari kekambuhan, terapi
antibiotik harus dilanjutkan, bahkan pada pasien tanpa gejala, sampai
pemindaian gallium.
6) Exostoses & Osteoma
Pertumbuhan tulang yang berlebih dari saluran telinga
merupakan temuan insidental yang sering dan kadang-kadang
memiliki signifikansi klinis. Secara klinis, mereka hadir sebagai
gundukan kulit tertutup di saluran telinga medial mengaburkan
membran timpani ke tingkat variabel. Osteoma soliter tidak ada
artinya selama tidak menyebabkan obstruksi atau infeksi.
7) Neoplasia
Neoplasma yang paling umum dari saluran telinga adalah
karsinoma sel skuamosa (SCC). Ketika otitis eksterna yang jelas tidak
hilang pada terapi, SCO harus dicurigai dan dilakukan biopsi.
Penyakit ini memiliki tingkat kematian 5 tahun yang sangat tinggi
karena tumor cenderung menyerang limfatik dasar kranial dan harus
diobati dengan reseksi bedah luas dan terapi radiasi. Tumor
adenomatous, yang berasal dari kelenjar ceruminous, umumnya
terjadi lamban.
 Penyakit Bagian Telingah Tengah

1) Otitis Media Akut


Otitis media akut adalah infeksi bakteri pada ruang-ruang yang
berisi udara di tulang temporal yang berisi mukosa. Bentuk material
purulen tidak hanya di dalam celah telinga tengah, tetapi juga di dalam
sel udara mastoid dan apeks petrosa ketika mengalami pneumatize.
Otitis media akut biasanya diendapkan oleh infeksi saluran pernapasan

46
atas virus yang menyebabkan edema edema pendengaran. Ini
menghasilkan akumulasi cairan dan lendir, yang menjadi sekunder
terinfeksi oleh bakteri; Patogen yang paling umum pada orang dewasa
dan anak-anak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus in-
fluenzae, dan Streptococcus pyogenes.
Perawatan otitis media akut adalah terapi antibiotik spesifik,
sering dikombinasikan dengan dekongestan hidung. Pengobatan
antibiotik pilihan pertama adalah amoxicillin (20-40 mg / kg / hari)
atau eritromisin (50 mg / kg / hari) ditambah sulfonamide (150 mg / kg
/ hari) selama 10 hari. Alternatif yang berguna dalam kasus yang
resisten adalah kombinasi cefaclor (20-40 mg / kg / d) atau
amoxicillin-klavulanat (20-40 mg / kg / d)Tympanocentesis untuk
kultur bakteri (aerobik dan anaerobik) dan jamur dapat dilakukan oleh
dokter yang berpengalaman. Drainase bedah telinga tengah
(myringotomy) disediakan untuk pasien dengan otalgia berat atau
ketika komplikasi otitis (misalnya, mastoiditis, meningitis) telah
terjadi. Berulang otitis media akut dapat dikelola dengan profilaksis
antibiotik jangka panjang. Dosis tunggal tunggal sulfametoksazol (500
mg) atau amoxicillin (250 atau 500 mg) diberikan selama periode 1-3
bulan.
2) Otitis Media Kronis
Infeksi kronis pada telinga tengah dan mastoid umumnya
berkembang sebagai konsekuensi dari otitis media akut rekuren,
meskipun mungkin mengikuti penyakit dan trauma lainnya.
Bakteriologi otitis media kronis berbeda dari otitis media akut.
Organisme umum termasuk P aeruginosa, spesies Proteus,
Staphylococcus aureus, dan infeksi anaerob campuran.
Ciri klinis dari otitis media kronis adalah keluarnya cairan aural
purulen. Drainase atau intermittent, dengan peningkatan keparahan
selama infeksi saluran pernapasan atas atau setelah paparan air. Nyeri
jarang terjadi kecuali selama eksaserbasi akut. Gangguan pendengaran
konduktif terjadi akibat penghancuran membran timpani dan rantai
tulang pendengaran. Perawatan medis otitis media kronis termasuk
pembersihan secara teratur dari puing-puing yang terinfeksi,
47
penggunaan penutup telinga untuk melindungi terhadap paparan air,
dan tetes antibiotik topikal untuk eksaserbasi. Aktivitas ciprofloxacin
terhadap Pseudomonas dapat membantu mengeringkan telinga yang
mengeluarkan secara kronis ketika diberikan dalam dosis 500 mg per
oral dua kali sehari selama 1-6 minggu.
3) Komplikasi Otitis Media
 Mastoiditis
Mastoiditis supuratif akut biasanya berkembang setelah
beberapa minggu dari otitis media akut yang tidak diobati secara
memadai. Hal ini ditandai dengan nyeri postauricular dan eritema
disertai demam demam. Radiografi mengungkapkan koalesensi sel-
sel udara mastoid karena penghancuran septum tulang mereka.
Perawatan awal terdiri dari antibiotik intravena dan miringotomi
untuk kultur dan drainase. Kegagalan terapi medis menunjukkan
kebutuhan untuk drainase bedah (mastoidektomi).
 Petrotus Apicitis
Bagian medial dari tulang petrosa antara telinga bagian dalam
dan clivus dapat menjadi tempat infeksi persisten ketika drainase
saluran pneumatiknya tersumbat. Ini dapat menyebabkan kotoran
busuk, telinga yang dalam dan nyeri retro-orbital, dan palsi saraf
keenam (sindrom Gradenigo); meningitis mungkin merupakan
komplikasi. Perawatan adalah dengan terapi antibiotik yang
berkepanjangan (berdasarkan hasil kultur) dan drainase bedah melalui
apicectomy petrous.
 Otogenik Tulang Osteomielitis Dasar
Infeksi yang berasal dari telinga bagian luar atau tengah dapat
menyebabkan osteomielitis pada dasar tengkorak, biasanya karena P
aeruginosa. Diagnosis dan manajemen penyakit ini dibahas pada
bagian otitis eksternal yang ganas.
 Kelumpuhan Wajah ( Facial Paralysis)
Facial palsy mungkin berhubungan dengan otitis media akut
atau kronis. Dalam pengaturan akut, itu hasil dari peradangan saraf
ketujuh di segmen telinga tengah, mungkin dimediasi melalui
neurotoksin yang disekresikan oleh bakteri. Perawatan terdiri dari
48
myringotomy untuk drainase dan kultur, diikuti oleh antibiotik
intravena (berdasarkan hasil kultur). Penggunaan corti-costeroids
masih kontroversial. Prognosisnya luar biasa, dengan pemulihan total
dalam banyak kasus.
Facial palsy yang terkait dengan otitis media kronis biasanya
berkembang perlahan-lahan karena tekanan kronis pada saraf ketujuh
di telinga tengah atau mastoid oleh kolesteatoma. Perawatan
memerlukan koreksi pembedahan dari penyakit yang mendasarinya.
Prognosis kurang menguntungkan dibandingkan dengan facial palsy
yang terkait dengan otitis media akut. (Tierney, Jr. Lawrence M et al :
2006)
 Gejala penyakit telinga
Kemunculan gejala otitis media biasanya terjadi dalam waktu 2-7 hari
setelah terjadinya flu atau ISPA. Gejala yang muncul adalah:
 Demam
 Sakit telinga
 Merasa tidak enak badan.
 Merasa kelelahan.
 Sedikit kehilangan indera pendengaran.
 Keluar cairan dari dalam telinga.
Sebagian besar otitis media bersifat akut dengan gejala yang pulih secara
cepat dalam beberapa hari. Meski umumnya dapat pulih dengan
sendirinya dalam beberapa hari, kadang-kadang terjadi beberapa keadaan
yang mengharuskan penderita otitis media segera mendapatkan
pengobatan secara medis, misalnya:
 Gejala yang muncul tidak membaik setelah tiga hari.
 Tidak bisa tidur dan rewel (jika dialami oleh bayi).
 Rasa sakit yang dirasakan cukup parah.
 Keluarnya cairan atau nanah dari telinga.
 Terdapat kelainan lain, seperti cystic fibrosis atau penyakit jantung
bawaan.
Selain otitis media akut, ada juga yang dinamakan dengan otitis media
supuratif kronik (OMSK). Otitis media supuratif kronik adalah infeksi

49
telinga yang berlangsung selama beberapa minggu hingga bulan, dan
menyebabkan keluarnya cairan dari telinga dengan tekstur beragam (bisa
kental, encer, bening, atau bernanah). Kondisi OMSK lebih jarang terjadi
dibandingkan otitis media akut, namun dapat merusak fungsi telinga jika
tidak diobati dengan tepat.

 Penyakit Telinga Bagian Dalam


1) Gangguan Pendengaran Sensori
Penyakit pada koklea menyebabkan kehilangan pendengaran sensoris,
suatu kondisi yang biasanya tidak dapat diubah
 Presbyacusis
Presbyacusis, penyebab gangguan pendengaran sensoris yang
paling sering, adalah gangguan pendengaran simetris yang progresif,
frekuensi tinggi, dan kehilangan keseimbangan pendengaran pada
usia lanjut. Sekitar 25% orang berusia antara 65 dan 75 tahun dan
hampir 50% dari mereka yang berusia di atas 75 mengalami
kesulitan pendengaran.
 Trauma Kebisingan
Trauma bising adalah penyebab paling umum kedua kehilangan
pendengaran sensoris. Suara melebihi 85 dB berpotensi merusak
koklea, terutama dengan eksposur lama. Kerugian biasanya dimulai
pada frekuensi tinggi '(terutama 4000 Hz) dan berkembang pada
frekuensi bicara dengan paparan berkelanjutan.
 Ototoksisitas
Zat-zat ototoksisits dapat mempengaruhi sistem pendengaran
dan vestibular. Obat-obatan ototoksik yang paling umum adalah
salisilat, aminoglikosida, loop diuretik, dan beberapa antineoplastik,
terutama cisplatin. Tiga kategori terakhir dapat menyebabkan
gangguan pendengaran ireversibel bahkan ketika diberikan dalam
dosis terapeutik. Ketika menggunakan obat-obatan ini, penting
untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi seperti mereka yang
sudah kehilangan pendengaran atau insufisiensi ginjal.
 Radang Pendengaran Sensori Mendadak

50
Kehilangan pendengaran tiba-tiba pada satu telinga dapat
terjadi pada semua usia tetapi lebih sering terjadi pada orang tua.
Kemungkinan besar adalah hasil oklusi vaskular tiba-tiba dari arteri
auditori internal atau infeksi telinga bagian dalam virus. Prognosis
bercampur, dengan banyak pasien menderita tuli permanen di
telinga, sementara yang lain mengalami pemulihan total. Meskipun
pengobatan dengan kortikosteroid oral masih kontroversial, banyak
dokter percaya bahwa pengobatan tersebut meningkatkan
kemungkinan pemulihan. Pengobatan yang umum adalah
prednisone, 80 mg / hari, diikuti 'dengan dosis tapering selama
periode 0 hari. Untuk pasien yang belum menanggapi terapi
kortikosteroid oral, beberapa dokter menyarankan penggunaan
pemberian kortikosteroid intratympanic tambahan.
2) Tinnitus
Tinnitus adalah persepsi telinga atau suara kepala yang
abnormal. Tinnitus persisten biasanya menunjukkan adanya gangguan
pendengaran sensoris. Periode intermiten dari tinnitus bernada tinggi
yang berlangsung selama beberapa menit adalah umum pada orang
yang mendengar normal. Ketika parah dan persisten; tinnitus dapat
mengganggu tidur dan kemampuan untuk berkonsentrasi.
Pengobatan tinnitus yang paling penting adalah menghindari
paparan kebisingan yang berlebihan, agen-agen ototoxic, dan faktor-
faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan koklea. Di antara
banyak obat yang telah dicoba, antidepresan oral (misalnya,
nortriptyline pada dosis awal, 50 mg secara oral pada waktu tidur)
telah terbukti menjadi yang paling efektif.
3) Hyperacusis
Kepekaan yang berlebihan terhadap; bunyi dapat terjadi pada
individu dengan pendengaran normal baik karena alasan psikologis
atau berhubungan dengan penyakit telinga. Pasien dengan disfungsi
koklea umumnya mengalami perekrutan, sensitivitas abnormal
terhadap suara yang keras, meskipun sensitivitasnya berkurang
terhadap yang lebih lunak. Alat bantu dengar pas dan perangkat
amplifikasi lain untuk pasien dengan perekrutan membutuhkan
51
penggunaan sirkuit kompresi untuk menghindari overamplifikasi yang
tidak nyaman. Untuk orang dengan pendengaran normal dengan
hyperacusis, penggunaan earplug di lingkungan yang bising sering
menguntungkan.
4)

2.3.1 Obat-Obat untuk Gangguan Telinga


Obat-Obat yang paling sering dipakia untuk mengobati gangguan otik
( yang berhubungan dengan telinga adalah sama yang dipakai untuk
mengobati masalah yang sama pada bagian tubuh yang lain, misalnya
antiinfeki. (joyce kee : 1996)
 Anti-Infeksi
Beberapa anti-infeksi sering diresepkan untuk pemakaian luar gangguan
telinga.
Obat Dosis Pemakaian dan
pertimbangann
Eksternal
 Polimiksin B  D & C : 3-4 tts, t.i.d atau  Untuk kelainan telinga
( Bacitracin ) q.i.d. selama 7 – 10 hari luar. Penambahan
hidrokortison
mengurangi edema,
gatal, dan kemerahan.
 Tetrasiklin (Akromisin)  1-2 tts b.i.d Hentikan setelah 10 hari
untuk mencegah
pertumbuhan jamur.
 Asam asetat  D & A : L : 2%, 2 tts,  Menimbulkan media
b.i.d asam, mempunya
aktivitas antibacterial.
Biaya murah
Internal
 Penisilin  Dosis bervariasi  Untuk otitis media dan
(Pentids, Pen V) mastoiditis. Dosis oral
pada lambung kurang

52
dengan segelas air.
Dapat menimbulkan rasa
tidak enak pada aluran
gastrointestinal,
diskrasia darah dan
neuropati.
 Amoksisilin  Doisis bervariasi  Obat garis pertama untuk
(Amoxil, Augmentin) telinga dalam untuk
 Ampisilin (Policillin)  Dosis dan rute bervariasi otitis media dan
 Sulfonamide (Sulamid,  Dosis dan rute bervariasi mastoiditis.
Gantrisin, Bactrim)  Obat garis kedua untuk
 Eritromisin  Dosis dan rute bervariasi telinga dalam
 Dipakai pada pasien
 Sefaklor ( Ceclor )  Dosis dan rute bervariasi yang alergi dengan
penisilin
 Obat garis ketiga untuk
otitis media. Tidak untuk
bayi < 1 bulan. Pantau
elektrolit pada terapi
jangka panjang.

 Efek Samping dan Reaksi yang Merugikan


Efek samping mencakup pertumbuhan organism yang tidak rentan.
Jika ada hipersensitifitas sebelumnya merupakan kontraindikasi.

GOLONGAN ANALGESIK
1. IBUPROFEN ( A to Z DRUG)
Indikasi Bantuan gejala rheumatoid arthritis, osteoartritis, nyeri ringan sampai
sedang, dismenore primer, pengurangan demam. Penggunaan tanpa
label: Pengobatan simtomatik rheumatoid arthritis remaja, sengatan
matahari, akne vulgaris yang tahan lama.
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap aspirin, iodida, atau NSAID lainnya
Dosis Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis Dewasa: PO 300 sampai 800

53
mg, tidak melebihi 3,2 g / hari.
Nyeri ringan sampai sedang DEWASA: PO 400 mg setiap 4 sampai 6
jam jika perlu.
Dysmenore primer DEWASA: PO 400 mg sampai 4 jam jika perlu.
Juvenile Arthritis ANAK: PO 30 sampai 40 mg / kg / hari dalam 3
sampai 4 dosis terbagi.
Pengurangan Demam ANAK 1 sampai 12 thn: 39,2 ° C (102,5 ° F)
dianjurkan dosis PO 5 mg / kg; > 39,2 ° C (102,5 ° F) dianjurkan dosis
PO 10 mg / kg; dosis harian maksimum 40 mg / kg.
Penggunaan OTC (Minor Aches / Pains, Dysmenorrhea, Fever
Reduction) PO 200 mg sampai 4 sampai 6 jam. Jangan melebihi 1,2 g
dalam 24 jam atau ambil rasa sakit selama> 10 hari atau untuk
demam> 3 hari, kecuali jika diperintahkan oleh dokter. Gunakan dosis
efektif terkecil.

Interaksi Beta-blocker: efek antihipertensi dapat dikurangi. Digoksin: Ibuprofen


dapat meningkatkan kadar serum digoksin. Lithium: Dapat
meningkatkan kadar lithium. Loop diuretik: Efek diuretik bisa
menurun. Methotrexate: Dapat meningkatkan kadar metotreksat.
Warfarin: Dapat meningkatkan risiko erosi lambung dan pendarahan
Efek Samping edema perifer; Pusing; ringan kepala; kantuk; vertigo; sakit kepala;
meningitis aseptik: gangguan visual; ketakutan dipotret; tinnitus GI:
Gangguan lambung; kehilangan darah ; diare; muntah; mual; mulas;
dispepsia; anoreksia; sembelit; sakit perut / kram / nyeri; perut
kembung; gangguan pencernaan; GI tract penuh. Menometrorrhagia;
hematuria; sistitis; insufisiensi ginjal akut; nefritis interstisial;
hiperkalemia; hiponatremia; nekrosis papiler ginjal. Ruam; pruritus;
eritema LAIN: Kram otot.
Perhatian Kehamilan: Kategori Kehamilan belum ditentukan. Laktasi: Belum
ditentukan. Anak-anak: Keselamatan dan kemanjuran tidak mapan.
Lansia: Meningkatnya risiko reaksi yang merugikan. Efek GI:
Toksisitas serius GI (misalnya perdarahan, ulserasi, perforasi) dapat
terjadi kapan saja, dengan atau tanpa gejala peringatan. Efek ginjal:

54
Meningkatnya risiko disfungsi pada pasien dengan penyakit ginjal
yang sudah ada sebelumnya.

2. Paracetamol (A to Z drug Facts)


Indikasi Bantuan nyeri ringan sampai sedang; pengobatan demam Penggunaan
tanpa label: profilaksis demam dan demam setelah vaksinasi.
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap aspirin, iodida, atau NSAID lainnya
Dosis PO 325 sampai 650 mg prn q 4 sampai 6 jam atau 1 g 3 sampai 4
kali / hari. Janganmelebihi 4 g / hari. ANAK: PO 10 sampai 15 mg /
kg dosisprn q 4 sampai 6 jam; tidakmelebihi 5 dosis / 24 jam
Interaksi Etanol : Penggunaan berlebihan kronis dapat meningkatkan risiko
hepatotoksisitas. Hydantoins, sulfinpyrazone: Dapat menurunkan efek
terapeutik APAP; Penggunaan jangka panjang yang bersamaan dapat
meningkatkan risiko hepatotoksisitas.
Efek Samping Komplikasi gagal hati meliputi asidosis, edema serebral, perdarahan,
hipoglikemia, hipotensi, infeksi, dan gagal ginjal (martindale 36 ed)
Perhatian Kehamilan: Kategori B. Laktasi: Ekskresidalam ASI. Kerusakan hati:
Alkohol kronis tidak boleh melebihi 2 g / hari. Rasa sakit atau demam
yang terus-menerus: Mungkin mengindikasikan penyakit serius.
Dokter harus diajak berkonsultasi.

OBAT TETES TELINGA


1. COLME (KLORAMPHENICOL)
Mekanisme Mengganggu atau menghambat sintesis protein mikroba.
Indikasi Pengobatan jenis-jenis infeksi berikut yang disebabkan oleh strain
mikroorganisme tertentu yang rentan: infeksi sistemik yang serius
dimana obat yang kurang berpotensi bahaya tidak efektif atau
kontraindikasi. Topikal: Pengobatan cystic fibrosis, infeksi okular
superfisial, infeksi superfisial yang melibatkan saluran pendengaran
eksternal, infeksi kulit superfisial; infeksi profilaksis untuk luka
ringan, luka, luka bakar dan lecet kulit dan untuk berbagai bakteri
gram negatif yang menyebabkan bakteremia dan meningitis.

55
Kontraindikasi Penggunaan oral Infeksi trivial (misalnya pilek, influenza, infeksi
tenggorokan) atau infeksi selain yang diindikasikan; profilaksis
infeksi bakteri sistemik. Penggunaan Ophthalmic: keratitis herpes
simpleks epitel; vaccinia; varicella; penyakit jamur struktur okular;
infeksi mycobacterial mata; setelah pengangkatan benda asing kornea
tanpa komplikasi. Penggunaan Otic: Membran timpani berlubang;
ketika agen yang kurang berpotensi bahaya akan diharapkan tidak
efektif.
Dosis Infeksi Sistemik

DEWASA: PO / IV 50 mg / kg / hari dalam dosis terbagi 6 jam;


mungkin memerlukan hingga 100 mg / kg / hari awalnya untuk infeksi
CNS. ANAK-ANAK: PO / IV 50–75 mg / kg / hari dalam dosis
terbagi 6 jam; 50-100 mg / kg / hari untuk meningitis. INFAN &
ANAK-ANAK DENGAN PROSES METABOLIS IMMATUR: PO /
IV 25 mg / kg / hari. NEWBORNS: PO / IV Biasanya 25 mg / kg /
hari dalam 4 dosis q 6 jam. NEONAT> 7 HARI (> 2 KG): PO / IV 50
mg / kg / hari dalam dosis terbagi 12 jam. NEONATES <2 KG DAN
BIRTH-7 HARI (> 2 KG): PO / IV 25 mg / kg qd.

Ophthalmic Infections

ORANG DEWASA & ANAK: Ophthalmic 1–2 gtt q 15-30 mula-


mula untuk infeksi akut; kemudian kurangi frekuensi karena infeksi
dikendalikan.

Infeksi Otik

ORANG DEWASA & ANAK: Otic 2–3 gtt di telinga tid.

Infeksi topikal

ORANG DEWASA & ANAK-ANAK: Berlaku topikal 1–4 kali setiap

56
hari ke daerah yang terkena.

Interaksi Antikoagulan: Dapat meningkatkan aksi antikoagulasi. Barbiturat:


Dapat mengurangi efektivitas kloramfenikol sementara efek barbiturat
dapat ditingkatkan; efek dapat bertahan berhari-hari setelah barbiturat
ditarik. Garam besi: Dapat meningkatkan kadar besi serum.
Hydantoins (misalnya, fenitoin): Dapat meningkatkan kadar serum
hidantoin, dengan kemungkinan toksisitas; kadar kloramfenikol dapat
meningkat atau menurun. Rifampin: Dapat mengurangi kadar serum
kloramfenikol; efek dapat berlangsung beberapa hari setelah
rifampisin ditarik. Sulfonylureas: Dapat menyebabkan manifestasi
klinis hipoglikemia. Vitamin B12: Dapat menurunkan efek
hematologi vitamin B12 pada pasien dengan anemia pernisiosa.
Efek Samping CNS: Sakit kepala; kebingungan mental; igauan; depresi ringan;
neuritis optik; neuritis perifer. DERM: Penggunaan topikal: Gatal
atau terbakar; urtikaria; edema angioneurotik; infeksi kulit. GI: Diare;
mual; muntah; glositis; stomatitis. HEMA: Depresi sumsum tulang;
anemia aplastik; anemia hipoplasia; trombositopenia;
granulocytopenia. LAINNYA: Reaksi hipersensitivitas (misalnya
demam, ruam, angioedema, urtikaria, anafilaksis); Sindrom abu-abu.
Penggunaan topikal dapat menghasilkan reaksi merugikan yang sama
yang terlihat dengan penggunaan sistemik.

Perhatian Kehamilan: Kategori kehamilan belum ditentukan. Laktasi:


Diekskresikan dalam ASI. Anak-anak: Gunakan obat dengan hati-hati
dan dalam dosis yang dikurangi pada bayi prematur dan jangka
panjang untuk menghindari toksisitas sindrom Gray (reaksi beracun
dan berpotensi fatal pada bayi prematur dan bayi baru lahir). Gejala
sindrom Gray umumnya muncul dalam urutan ini: distensi abdomen
dengan atau tanpa emesis; sianosis pucat progresif; keruntuhan
vasomotor, sering disertai dengan pernapasan tidak teratur; kematian
dalam beberapa jam onset (kematian terjadi pada 40% pasien dalam 2
hari dari gejala awal).

57
2.3 Indra Penciuman (Hidung)
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya;
merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak
menguntungkan. Pada era di mana semakin banyak penelitian dan publikasi ilmiah
didedikasikan terhadap bahaya kerja dan polutan udara, suatu pemahaman mendasar
mengenai anatorci dan fisiologi hidung adalah penting. Hidung mempunyai beberapa fungsi:
sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru,
mempengaruhi refleks tertcntu pada paru-paru dan memodifikasi bicara (Higler,1997)
A. Anatomi dan Fisiologi Hidung
a. Hidung Luar
Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung
luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang, yang tak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan; dan yairg paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Belahan bawah aperfura piriforrnis hanya kerangka tulangnya saja,
memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang
hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang
hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian
lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian
dari prosesus maksilaris medial embrio yang rneliputi premaksila anterior, dapat
pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior
yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago
septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung,
dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus menufup
vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolurnela, di lateral oleh ala
nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung (Gbr.10-1). Mobilitas lobulus hidung
penting untuk ekspresi wajah, gerakan rnengendus, dan bersin. Otot ekspresi wajah
yang terletak subkutan di atas tulang hidung, pipi anterior, dan bibir atas menjamin
mobilitas lobulus. Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut menyokong hidung
luar. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam dibatasi di sebclah inferior
oleh krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh septum nasi, dan

58
tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior dan lateral. Struktur
tersempit dari seluruh saluran pernapasan atas adalah apa yang disebut sebagai
limennasi atau os internum oleh ahli anatorni, atau sebagai katup hidung Mink oleh
ahli faal. Istilah "katup" dianggap tepat karena struktur ini bergerak bersanta, dan
ikut mengatur pernapasan(Boeis,1997).

b. Hidung Dalam
Struktur ini membentang dari os internun di sebelah anterior hingga koana di
posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi
merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi
dua hidung. Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan
rongga udara yang tak teratur di antaranya-meatus superior, media dan inferior
(Gbr. 10-2). Senientara kerangka tulang tan.rpaknya menentukan diameter yang
pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam
cenderung bervariasi tebalnya, juga mengubah iesistensi, dan akibatnya tekanan
dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang berbeda-beda
disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan badan vaskular yang
dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau
sekret mukosa. Duktus nasolakrimalis berrnuara pada meatus inferior di bagian

59
anterior. Hiatus semilunaris dari meatus lnedia merupakan muara sinus frontalis,
etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel- sel sinus etrnoidalis posterior
bermuara pada meafus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada
resesus sfenoetmoidalis (Gbr. 10-3). Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati
daerah kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas
hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema
mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah
olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat mengganggu penghiduan. Bagian
tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di sebelah
anterior, lamina perpendikularis tulang etrnoidalis di sebelah atas, vorner dan
rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista
maksial dan krista palatina (Gbr. 10-a). Krista dan tonjolan yang terkadang perlu
diangkat, tidak jarang ditemukan. Pembengkokan septum yang dapat terjadi karena
faktor-faktor pertumbuhan ataupun trauma dapat sedemikian hebatnya sehingga
mengganggu aliran udara dan perlu dikoreksi secara bedah. Konka di dekatnya
umumnya dapat mengkompensasi kelainan septum (bila tidak terlalu berat),
dengan memperhsar ukurannya pada sisi yang konkaf dan mengecil pada sisi
lainnya, sedemikian rupa agar dapat mempertahankan lebar rongga udara yang
optimum. Jadi, meskipun septum nasi bengkok, aliran udara masih akan ada dan
masih normal. Daerah jaringan erektil pada kedua sisi septum berfungsi mengatur
ketebalan dalam berbagai kondisi atmosfer yang berbeda (Boeis,1997).

60
c. Sinus Paranasalis
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga udara hidung; jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri bervariasi. Sinus-sinus
ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama yang
sesuai: sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis (Gbr.10-3 dan 10-5).
Yang terakhir biasanya berupa kelompok-kelompok sel etmodialis anterior dan
posterior yang saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam
hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke
dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. Sinus
maksilaris rudimenter, atau antrun umumnya telah ditemukan pada saat lahir. Sinus
paranasalis Iainnya timbul pada masa kanak-kanak dalam tulang wajah. Tulang-
tulang ini bertumbuh melebihi kranium yang menyangganya. Dengan teresorpsinya
bagian tengah yang keras, maka membran mukosa hidung menjadi tersedot ke
dalam rongga-rongga yang baru terbentuk ini (Boeis,1997).

B. Mekanisme Penghidu

61
Indra penghidu dan pengecap sangat erat hubungannya dan kedua sensoris ini
seringkali bekerja bersama-sama. Fungsi penghidu dihasilkan oleh nervus olfaktorius
sedangkan funsi pengecap nervus trigemisnus. Stimulasinya berupa rangsangan
kimiawi, bukan rangsangan fisika seperti pada penglihatan dan pendengaran. Reseptor
organ penghidu terdapat di regioolfaktorius pada hidung bagian sepertiga atas.
Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribosa os
etmoid menuju ke bulbus olfaktorius dai dasr fosa kranii anterior.Partikel bau dapat
mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau partikel larutdalam
lendir yang selalu ada di permukaan mukosa daerah olfaktorius (lucante, 2011).
C. Kelaianan Penghidu dan Pengobatannya
Gangguan penghidu akan terjadi bila ada yang menghalangi sampainya partikel
bau pada reseptor saraf atau ada kelainan pada nervus olfaktorius mulai dari reseptor
sampai pusat olfaktorius.
Kelainan penghidu yang kita kenal adalah:hiposmia(daya penghidu berkurang),
anosmia(daya penghidu hilang), parosmia(sensasi penghidu berubah) dan kakosmia
(halusinasi penghidu) ( lucante, 2011).
a. Hiposmia
Hiposmia ditujukan bagi penurunan persepsi penghiduan terlazim disebabkan
oleh sebab-sebab perifer (intranasal). Ia dapat terjadi pada keadaan-keadaan tidak
sakit seperti proses ketuaan, variasi menstruasi da keadaan kekenyangan. Perokok
tembakau yang berat atau yang terpapar populasi sulfur dioksida dapat mengalami
penurunan indra penghiduan. Jenis tumor intranasal manapun, polip, gangguan
mukosa termasuk rhinitis alergika, bakterilis, vasomotor, atrofikans, rinitis
medikamentosa atau deformitas septum nasi dapat mengganggu persepsi
penghiduan dan menyebabkan hiposmia. Sebab intranasal lainnya, meliputi
abnormalitas endrokrin, obat-obatan dan polutan, dapat juga menyebakan hiposmia
dan anosmia ( Kern, 1986).
b. Anosmia
Sebab terlazim hilangnya indra penghiduan (anosmia) meliputi infeksi traktus
respatorius oleh virus, polip nasi dan rinitis alergika atau rinitis akuta oleh virus.
Diagnosis banding mencakup lesi-lesi sentral (lesi intakranial) atau perifer
(intranasal) ( Kern, 1986).

62
c. Hiperosmia
hiperosmia atau peningkatan ketajaman penghiduan dapat terjadi selama
kelaparan. Ia dapat pula disertai dengan situasi pekerjaan seperti pada pengecap
anggur atau pebghisap parfum. Wanita jelas memiliki indra penghiduan yang lebih
besar daripada laki-laki, terutama selama kehamilan. Kelainan yang menyebabkan
hiperosmia meliputi addison, insufisiensi korteks superenalis dan mukosividosis.
Bila penderita mukosidosis mempunyai polip nasi, maka indra penghiduan akan
menurun atau hilang total bila terjadi obstruksi hidung total ( Kern, 1986).
d. Parosmia
parosmia, penginderaan penghiduan yang salah, dapat terjadi pada sinusitis
bakteralis atau bisa berhubungan dengan rinitis atrofikans atau gangguan psikogen.
Disosmia dan kakaosmia (sensasi menghidu bau busuk) dapat pula disertai oleh
prose-proses infeksi hidung, sinus-sinus atau gangguan emoasi yang berat ( Kern,
1986).
D. Penyakit dan Pengobatan pada Penghidu
Walaupun hidung terletak di pusat sepertiga tengah wajah, namun struktur ini
sering diabaikan dalam pembicaraan penyakit manusia. Perubahan faal hidung
menimbulkan nngkaian gangguaa mulai dari ketidaknyamanan dan penyakit ringan
yang berlangsung sementara, seperti infeksi saluran pernapasan atas, hingga gangguan
yang mengancam nyawa seperti atresia koana pada neonatus. Efek perubahan faal
hidung dapat terlihat lokal, pada alergi hidung; efek regional pada deformitas gigi dan
pernapasan mulut sekunder akibat sumbatan hidung kronik; dan efek sistemik, seperti
gagal kardiopulmonar sekunder dari sumbatan hidung kronik.
a. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital pada hidung dapal bewariasi mulai dari deformitas
tunggal hingga berbagai kelainan yang disertai cacat sistem organ multipel. Lebih
lanjut, kelainan-kelainan ini dapat bersifat herediter atau didapat. Pembahasan
berikut akan membicarakan pula beberapa penyakit yang lazim atau bermakna.
Deformitas hidung kongenital yanF merupakan bagian dari sindrom sistem organ
multipel. Apa pun etiologinya, adalah penting diingat bahwa neonatus bernapas
lewat hidung secara obligat; oleh sebab itu, kelainan seperti atresia koana dapat
bersifat mengancam nyawa, dan tindakan intervensi untuk membuat jalan napas
seperti pemasangan Montgomery nipple atau intubasi pada saat lahir, dapat
menyelamatkan nyawa.
63
1. Manifestasi Hidung dari Labio dan Palatoskisis
Dekatnya anatomik bibir dan hidung, serta prekursor embriologik yang
sama dari bibir, premaksila, maksila dan hidung menyebabkan anak yang lahir
dengan labio dan/atau palatoskisis juga akan mengalami. deformitas hidung,
sekalipun celah tenebut tidak kornplit. Meskipun deformitas hidung tidak
senyata deformitas mulut, namun selalu terjadi perubahan fungsional maupun
estetik seiring perkembangan nasofasial, dan dapat sangat mengganggu dengan
rnakin dewasanya sang anak. Deformitas hidung termasuk defleksi septum yang
sering kali cukup berat untuk menimbulkan sumbatan hidung be.rmakna. Di
samping, kartilago lateralis inferior dan jaringan lunak ala nasi tampak
asimetrik. Kondisi ini sering menyebabkan hidung dengan ujung yang kurang
menonjol, sudut nasolabial yang tajam, kendornya ala nasi pada sisi yang
bercelah, dan iregularitas posisi cuping hidung.Deformitas ujung hidung juga
dapat mengganggu jalan napas dan memperberat sumbatan hidung akibat
defleksi septum. Fistula dapat pula menetap pada palatum atau sulkus
gingivobukal, sehingga isi rongga mulut dapat mengkontaminasi hidung,
mengakibatkan ederna mukosa dan sumbatan hidung lebih lanjut. Tindakan
rekorstruktif dapat sangat memperbaiki deformitas fungsional maupun estetik.
Karena kurang tepat untuk membahas gangguan mulut pada bagian penyakit
hidung ini, maka pembaca sebaiknya merujuk pada bab-bab mengenai penyakit,
ernbriologi dan sindrom kongenital pada mulut.

2. Kista Dermoid Hidung


Walaupun biasanya sudah ada muncul pada saat lahir, kista atau sinus
dermoid hidung kongenital tetap tidak diketahui hingga akhir masa kanak-kanak
atau masa dewasa. Kista ini mengandung semua unsur kulit: folikel rambut,
rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebaseus dan jaringan ikat. Muara sinus,
bilamana ada, biasanya pada sambungan osteokartilaginosa dorsum nasi.

64
Terdapat teori bahwa kista dermoid berasal dari unsur ektodermal dari septum
trilaminar pada janin yang gagal berdegenerasi. Kista ini tak dapat ditekan dan
tidak berdenyut, tarnpak sebagai suatu lubang pada donum nasi dengan
sekelompok rambut, dan terkadang mengeluarkan sekret purulen.terutama pada
bayi merupakan alat diagnostik terpilih. Diagnosis banding antara lain glioma,
ensefalokel, mukokel, osteomielitis, hemangioma, dan neurofibroma. Eksisi
lengkap merupakan satusatunya terapi yang efektif. Usia optimum untuk
pembedahan adalah antara 5 hingga 6 tahun, meskipun perlu dipertimbangkan
risiko infeksi dan deformitas sesudahnya terhadap hambatan perfumbuhan
nornal sesudah eksisi yang luas.
3. Glioma Hidung dan Ensefalokel
Glioma hidung dan ensefalokel merupakan lesi jarang yang hampir
serupa dalam hal embriogenesis dan tingkat histologis, di mana keduanya
terbentuk oleh jaringan glia ekstradural. Namun demikian, ensefalokel
merupakan lesi yang berhubungan dengan sistem sarafpusat, sedangkan glioma
tidak. Terapi selalu dengan eksisi; tergantung pada lokasi, maka mungkin
diperlukan suatu pendekatan bedah saraf. Glioma biasanya padat, merupakan
massa yang tak dapat ditekan, tak berdenyut, berwarna abu-abu atau keunguan,
yang tidak-bertransiluminasi dan tidak rnenghasilkan tanda Furstenberg positif ,
misal, tidak ada pembesaran pada penekanan vena -jugularis. Glioma biasanya
diketahui pada saat lahir atau segera sesudahnya. Sekitar 60 penen terletak
ekstranasal, biasanya di sepanjang sutura nasomaksilaris atau dekat garis tengah,
namun jarang pada garis tengah; sekitar 30 persen terletak intranasal; dan 10
persen di dalam dan di luar hidung. Diagnosis banding paling lazim mencakup
kista dermoid dan ensefalokel. Ensefalokel sering kali disertai cacat fusi garis
tengah lainnya, seperti labio atau palatoskisis, demikian juga insidens tinggi
anomali sistem saraf pusat. Karena ensefalokel per definisi merupakan herniasi
meningen dan otak ekstrakranial, maka suatu cacat kranium harus selalu ada.
Ensefalokel biasanya berwarna kebiruan, dapat ditekan, berdenyut, dapat
bertransiluminasi dan memberikan tanda Furstenberg positif. Diagnosis banding
harus menyertakan kista dermoid, neurofibroma dan hemangioma. Lesi ini
paling baik digambarkan dengan CT scan atau NMR serta foto polos dalam tiga
bidang. Intervensi bedah saraf diperlukan.

65
4. Anomali Hidung yang Tak Lazim
Anomali hidung yang tak lazim dapat dikaitkan dengan sindrom genetik
atau dapat disebabkan pengaruh teratogenik. Semuanya menyebabkan
kegagalan atau kelambatan perkembangan. Kelainankelainan ini termasuk celah
hidung lateral atau medial. Tampilan celah rnedial dapat bervariasi mulai dari
suatu alur pada donum nasi hingga kondisi yang mendekati polirinia. Insidens
cacat penyerta seperti koloboma kelopak mata bawah, iris atau retina,
ensefalokel, celah wajah, atresia koana dan hipertelorisme meningkat sesuai
derajat keparahan celah medial. Suatu rekaman CT scan dianjurkan untuk
menyingkirkan kista dermoid atau ensefalokel penyerta. Bila deformitas hebat,
maka pembedahan perlu dilakukan. Tampilan celah hidung lateral juga
bervariasi mulai dari suatu takik pada ala nasi lateral hingga suatu celah
memanjang yang mencapai mata. Untuk mengatasi cacat yang sederhana dapat
digunakan flap dan cangkokan. Cacat berat biasanya disertai gangguan lain,
biasanya kraniofasial dan jantung. Pengobatan adalah dengan pendekatan
kraniofasial.

66
b. Penyakit Radang- Sinusitis
1. Common cold
Istilah"common cold' lebih menjelaskan suatu kompleks gejala daripada
suatu penyakit tertentu. Untuk dokter maupun orang awam, kondisi ini jelas
berarti suatu penyakit ringan yang berlangsung singkat, di mana gejala lokal
utama ditemukan pada saluran perrnpasan atas dengan predominan gejala-gejala
hidung. Selama penyakit tidak mengalami komplikasi, maka diagnosis
"common cold' dapat dibuat oleh orang awam dan sering kali tidak menjadi
perhatian dokter. Membuat diagnosis banding dan menguraikan etiologi spesifik
dari berbagai gangguan saluran pernapasan atas dengan manifestasi awal yang
sentpa, terkadang sangat sulit dan tidak praktis. Sinonim untuk common cold
yang digunakan dokter antara lain ISPA atau koriza akut; sedang pasien sering
menyebutnya sebagai "sinus." Umumnya masyarakat menganggap "flu" diawali
dengan sumbatan hidung, sekret yang berlebihan, benin-bersin, sedikit batuk,
dan kelemahan umum dengan atau tanpa nyeri kepala. Suhu tubuh mungkin
normal atau sedikit meningkat. Stadium pertama biasanya terbatas tiga hingga
lima hari. Sekret hidung mula-mula encer dan banyak, kemudian menjadi
mukoid, lebih kental dan lengket. Penyakit dapat berakhir pada titik ini. Namun,
pada kebanyakan pasien, penyakitnya berlanjut ke stadium invasi bakteri
sekunder dicirikan oleh suatu rinore purulen, demam, dan sering kali sakit
tenggorokan. Mukosa yang merah, bengkak dan ditutupi sekret mudah diamati
intranasal. Sensasi kecap dan bau berkurang. Mengendus dan menghembuskan
hidung secara berulang menyebabkan kemerahan lubang hidung dan bibir atas.
Stadium ini dapat berlangsung hingga dua minggu, sesudahnya pasien akan
sembuh tanpa menemui dokter. Dokter biasanya hanya dihubungi bilamana
terjadi komplikasi lanjut seperti pneumonia, laringitis, infeksi telinga tengah,
atau sinusitis purulen. Pada saat itu, infeksi pencetus biasanya sudah tidak
dikenali sebagai flu. Dalam interpretasi hasil biakan, perlu dipertimbangkan
bahwa flora normal nasofaring dan hidung anterior termasuk Staplrylococcus,
Streptococcus pneumonine, Haemophilus influenzae, dan streptokok beta.
 Etiologi
Jika kita membatasi definisi "common cold' sebagai kasus-kasus yang
disebabkan oleh lebih dari 100 rinovirus berbeda, maka "common cold" akan

67
jauh lebih jarang ditemukan dibandingkan apa yang diajarkan dalam
kepustakaan. Kompleks gejala serupa, yaitu rinore, sumbatan hidung, bersin,
dan batuk, juga mencirikan awitan serangan alergi yang dicetuskan inhalan atau
ingestan, alau apa yang disebut alergi fisik, berbagai gangguan vasomotorik
pada hidung yang ditimbulkan stres emosional maupun fisik, atau perubahan
tubuh yang diinduksi hormon atau obat-obatan, di samping iritasi kimia,
mekanis atau termal langsung pada membrana mukosa, dan yang terakhir yaitu
suatu pejamu dari penyakit bakteri atau virus lainnya. Klasifikasi virus
pernapasan masih terus berubah. Klasifikasi terdahulu, yang berdasarkan
pejamu dan afinitas jaringan serta gejala klinis penyakit, secara bertahap telah
diganti oleh klasifikasi berdasarkan komposisi biokimia virus. Dernikian kita
telah mengetahui virus yang terutama memiliki asam ribonukleat (RNA) dan
virus yang terutama memiliki asam deoksiribonukleat (DNA). Virus RNA
termasuk kelompok seperti rinovirus, ekhovirus, dan virus influenza,
parainfluenza, gondongan, campak, dan virus pernapasan sinsisial. Virus DNA
termasuk kelompok adenovirus dan herpes virus yang menimbulkan penyakit
pernapasan pada binatang. Campak, gondongan, dan influenza dapat
menyebabkan gejala-gejala kataral pada saluran pernapasan atas pada
awitannya, di mana dapat dikelirukan dengan common cold. Gejala yang lebih
berat biasanya muncul lebih lambat.
 Pencegahan
Penyebaran flu yang disebabkan oleh berbagai virus terutarna melalui
infeksi droplet dan bukan karena tertelan. Jadi, infeksi pernapasan secara
teoritik dapat dikendalikan dengan isolasi. Tindakan karantina yang telah
dipraktekkan sejak Abad Pertengahan, dapat sangat efektif. Namun, masyarakat
umum tidak terkesan dengan "flu" sehingga tidak mungkin melarang penderita
flu pergi ke sekolah, ke tempat kerja, atau berkumpul dengan, banyak orang.
Laporan-laporan yang saling bertentangan dalam berbagai kepustakaan
mengenai masa imunitas setelah suafu serangan, agaknya paling baik dijelaskan
atas dasar variasi agen etiologik yang sangat luas. Kerentanan terhadap flu
sangat bervariasi antar individu. Ada beberapa petunjuk bahwa anak hingga usia
lima tahun bersifat lebih rentan. Keadaan seperti paparan udara lembab atau
angin dingin, dan kelernahan yang sering kali disebut-sebut mempermudah

68
perkembangan gejala flu, belum terbukti pada penelitian laboratorium yang
terkontrol baik. Paparan terhadap unsur-unsur luar rumah saja dapat
meningkatkan kemungkinan serangan alergi. Telah dipostulasi bahwa
perubahan vasomotorik yang disebabkan pengaruh hormonal juga
meningkatkan insidens flu. Namun kesimpulan bahwa flu dapat digagalkan
dengan pemberian vasodilator masih belum dapat dibenarkan.
 Pengobatan
Sejak Jenner memerangi cacar pada tahun 1798, berbagai vaksin virus
yang berguna telah dikembangkan. Karena jumlah virus yang berbeda terlibat
amat besar, maka sejauh ini belum mungkin untuk mengembangkan suatu
vaksin yang dapat mencakup infeksi-infeksi yang paling mungkin sekalipun.
Antibiotik hanya bermanfaat dalam mengobati infeksi bakteri sekunder.
Kemoterapi hingga kini, sangat kecil peranannya karena tidak ada yang
berspektrum luas. Antihistamin, desensitisasi, dan tindakan antialergi umum
berguna dalam pengobatan gangguan alergi. Antihistamin digunakan untuk
mengobati flu, batuk dan alergi adalah penghambat H1. Hanya ada sedikit bukti
bahwa penderita flu rnendapat keuntungan klinis dengan pemberian obat ini.
Sementan vasokonstriktor topikal seperti fenilefrin atau oksimetazolin
melegakan sekret hidung yang encer, obat-obat ini perlu digunakan dengan hati-
hati pada bayi dan anak kecil. Dekongestan oral mengurangi sekret hidung yang
banyak, membuat pasien merasa lebih nyaman, namun tidak menyembuhkan.'
Meskipun penekan batuk digunakan secara luas, Committee of Drugs of the
American Academy of Pediatrics telah menyerukan peringatan ini: "Terapi
simtomatik dapat menyamarkan penyakit mendasar yang serius dan mungkin
berbahaya, terutama pada bayi denganjalan napas yang mudah tersumbat oleh
mukus kental. Bila terdapat indikasi yang tepat untuk terapi antitusif, sepedi
batuk nonproduktif yang sangat mengganggu tidur atau kehadiran di sekolah,
maka baik kodein atau dekstrometorfan yang tampaknya sama aktif, dapat
dianjurkan." Aspirin sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan bahaya
sindrom Reye. Preparat analgetik-antipiretik dapat meringankan gejala, di mana
antipirelik terpilih adalah asetaminofen.Terapi terbaik pada flu virus tanpa
komplikasi mungkin berupa istirahat baring dan isolasi sekitar dua hari. Hidrasi
yang memadai dipastikan dengan alat pelembab udara uap dingin, masukkan

69
cairan yang banyak dan pemberian tetes hidung salin. Selama fase infeksi
bakteri sekunder, dapat diberikan antibiotik spesifik. Kendatipun segala
kemajuan dalam virologi sefia usaha-usaha keras yang dilakukan klinisi di
manapun dalam mencegah, mengendalikan dan mengobati flu, hanya sedikit
yang telah dicapai dan masih banyak yang perlu diselesaikan di masa datang.
2. Rinitis fnfluenza
Rinitis influenza disebabkan oleh virus A, B dan C dari golongan
ortorniksovirus. Gejala benin, sekret hidung berair, dan hidung tenumbat
sebanding beratnya dengan common cold; namun, infeksi bakteri sekunder dan
nekrosis epitel benilia lebih sering terjadi pada influenza. Vaksinasi dianjurkan
pada kelompok risiko tir.ggi. Antibiotik hanya efektif pada infeksi bakreri
sekunder.
c. Infeksi Bakteri Akut
1. Rinitis Supuratif.
Rinitis supuratif biasanya menyusul suatu rinitis virus sebagai infeksi
bakteri sekunder pada dewasa, sering kali diserrai sinusitis bakterialis, dan pada
anak sering disertai adenoiditis. Namun pada anak kecil, kadang-kadang dapat
terjadi rinitis bakterialis primer, yang tampak mirip common cold. Suatu
membran ibu-abu dapat melekat pada submukosa dan menimbulkan perdarahan
bila diangkat. Pneumococcus, Staphylococcus dan Streptococcus sering kali
terlibat dalam infeksi yang bila tidak diobati, dapat menjadi kronik.
2. Sindrorn Syok Toksik
Walaupun terutama dikaitkan dengan pemakaian tampon vagina selama
menstruasi, sindrom syok toksik juga telah dilaporkan setelah pemasangan
tampon hidung. Disebabkan oleh Staphylococcus aureus, pasien datang dengan
keluhan nyeri kepala, letargi, mialgia, nausea dan muntah disertai demam,
hipotensi, takikardi, eritema kulit dan membrana mukosa generalisata, dan
deskuamasi epitel tangan tertunda. Tampon harus segera diangkat dan diberikan
antibiotik sistemik yang tepat.
d. Infeksi Hidung Kronik
 Jamur
Aspergilosis. Infeksi yang disebabkan salah satu dari enam spesies
Aspergillus; aspergilosis sering kali terjadi sebagai penyakit paru konik.

70
Namun dapat pula terjadi sebagai infeksi granulomatosa kronik pada sinus
paranasalis, hidung, telinga tengah dan liang telinga. Pada pasien yang tidak
berdaya atau mengalami imunosupresi, dapat terjadi infeksi hidung atau sinus
akut. Sekret mukopurulen khas berwarna hijau kecoklatan. Karena organisme
dapat merupakan bagian dari flora normal orofaring, maka pengambilan
sampel jaringan harus dalam keadaan yang steril agar biakan dapat
mempunyai nilai diagnostik. Aspergilosis kronik, non-invasif diobati dengan
debridement dan antijamur topikal. Pada bentuk yang akut, dan mengancam
nyawa, terapi terpilih adalah antijamur sistemik termasuk amfoterisin B.
Mukormikosis. Mukormikosis adalah infeksi oportunistik yang ganas,
disebabkan oleh anggota Ordo Mucorales, terutama Rhizopus oryzae yang
ditemukan di tanah, nbuk, buah-buahan dan makanan berkanji. Keadaan di
mana organisme ini menjadi patogenik pada manusia (arang) yaitu pada
penderita asidosis diabetik, atau yang lebih jarang pada kondisi tidak berdaya
atau imunosupresi lainnya. Inhalasi mikroorganisme menyebabkan inokulasi
pada konka nasalis darVatau sinus etmoidalis, selanjutnya menyebar sepanjang
pembuluh darah ke daerah retro- orbita dan serebrum. Pasien datang dengan
nyeri kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis,
dan seklet hidung yang pekat, gelap dan berdarah. Sindrom ini dicirikan oleh
suatu konka yang khas berwarna hitam atau merah bata. Hifa tak bersekat
dapat terlihat dengan mikroskop. pengobatan terdiri dari pemberian segera
amfoterisin B intravena atau bahkan intratekal, debridement jaringan nekrotik,
dan penanganan kondisi primernya.
 Bakteri
Keterlibatan hidung pada penyakit-penyakit berikut ini sering kali
sebagai bagian dari penyakit sistemik. Tuberkulosis. Meskipun tuberkulosis
primer pada hidung jarang di Amerika Serikat, namun keterlibatan hidung
kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien dengaituuertulosis paru aktif.
Diagnosis dimulai dengan radiogram dada' Jika negatif, dapat dilakukan
sediaan apus dan biakan dari sputum dan sekret hidung yang diikuti biopsi.
Jika spesimen-spesimen ini positif un tuk Mycobacterium tuberculosis, maka
suatu rangkaian pengobalan antituberkulosis yang tepat harus diberikan.Iepra.
kbih umum di negara-negara tropis, namun ditemukan pula di Amerika

71
Serikat, terutama di Texas, Hawaii, California, I-ouisiana, Florida dan New
York. Dengan perkembangan yang mirip rinoskleroma, hidung dapat
merupakan tempat infeksi primer atau menjadi bagian daii penyakit sis- temik'
Gejala awal berupa sumbatan, pembentukan krusta, dan perlarahan. Saluran
pernapasan atas lebih sering terlibat dalam bentuk lepromatosa daripada
bentuk tuberkuloid atau bentuk dimorfus dari lepra Mycobacterium leprae
selalu melibatkan hidung sebelum menyebar ke faring dan laring.
Rinoskleroma. Rinoskleroma adalah penyakit granulornatosa hidung
yang endemik di Eropa selatan dan Tengah dan beberapa daerah Asia.
walaupun sebelumnya jarang diiemukan di Amerika Serikat, namun insidens
rinosklerorna telah meningkat di daerah Barat dan Barat Daya. Gangguan yang
disebabkan oleh Klebsiella rhinoscleromnlrs, ini terutama melibatkan hidung
namun kemudian dapat meluas ke daerah pernapasan atas termasuk laring.
Penyakit berjalan lambat, dimulai sebagai reaksi radang akut dini dengan
rinore purulen yang berbau busuk. Selanjutnya terbentuk krusta hidung dan
nodula-nodula keras, tumbuh lambat dan tidak peka, yang akhirnya dapat
menyumbat hidung. Hidung bawah dan bibir atas menjadi menonjol bila tidak
diobati, menimbulkan deforniitas yang luas. Diagnosis berdasarkan perjalanan
klinis dan pemeriksaan patologi spesimen yung sel Mikulicz yang khas dan
bakteri berbentuk batang dalam sitoplasma. Juga diteinukan granuloma dan
fibrosis. Perlu diberikan terapi antibiotik. Tindakan bedah hanya diindikasikan
untuk melnperbaiki.
E. Penyakit dan Pengobatan Sinus Paranasalis
a. Penyakit radang sinus
1. Sinusitis Infeksiosa
Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah menyadari bahwa
hidung dan sinus paranasalis hanyalah sebagian dari sistcrir pemapasan total.
Penyakit yang menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat menlerarrg hidung
dan sinus paranasaiis. oleh karena itu. dalan kaitannya dengan proses infeksi,
seluruh saluran napas dengan perluasan-perluasan anatomik harus dianggap
sebagai suatu kesatuan. Infeksi mula-mula dapat mcnyerang seluruh sistem
pernapasan, namun dalam derajat yang berbeda-beda, dafl perubahan patologik
dan konclisi klinis yang ditimbulkannya, tergantung pada predominansi infeksi
pada daerah tertentu, sehingga timbul sinusitis, laringitis, pneumonitis dan
72
seterusnya. Hubungan antara saluran pernapasan atas dan bawah i1i
menyebabkan apa yang disebut sebagai sindrom sinobronkial. Telah sangat
diketahui bahwa berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional
dapat mempengaruhi mukosa hidung, demikian juga mukosa sinus dalam
derajat yang lebih rendah. Secara umurn, sinusitis kronik lebih lazim pada iklim
yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang tidak bugar, dan
penyakit sistemik umum perlu dipertimbangkan dalam etiologi sinusitis.
Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan, misalnya dingin, panas,
kelembaban, dan kekeringan, demikian pula polutan atmosfer termasuk asap
tcmbakau, dapat merupakan predisposisi infeksi. Dalam daftar faktor
predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi sebelumnya,
misalnya common cold. Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi
predisposisi penyakit sinus. Faktor-faktor ini akan dijelaskan pada masing-
masing penyakit sinus, namun secara umum berupa deformitas rangka, alergi,
gangguan geligi, benda asing dan ncoplasnra. Agen etiologi sinusitis dapat
berupa virus, bakteri atau jamur.
Virus. Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas;
virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus.
Mukosa sinus.paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan penyakit
virus yang rnenyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.
Bakteri. Edenra dan hilangnya fungsi silia nornral pada infeksi virus
menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri.
Infeksi ini seringkali rnelibatkan lcbih dari satu baktcri. Organisme penyebab
sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis tncdia. Yang scring
ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemoplilus influenzae, bakteri anerob, Branhamella catarrhalis,
streptokok alfa, Stoplrylococcus oureus, danStreptococcus pyogenes. Seiama
suatu fase akut, sinusitis kronik dapat disebabkan olch bakteri yang sama seperti
yang menyebabkan sinusitis akut. Natnun, karena sinusitis kronik biasanya
berkailan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang
terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung opofunistik, di mana
proporsi terbesar mcrupakan bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak
memadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri
anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan elalarn frekuersi yang makin
73
mcnurun antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans,
Haemopltilus influenzae, Neisseria flavus, Staplrylococcus epidermidis,
Streptococcus pneumoniae, dan Eschericltia coli. Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococc.ts, Corynebacterium, Bacteroides, danVeillonella. Infeksi
calnpuran antara organisme aerob dan anaerob seringkili tererjadi.

b. Sinusitis Akut
1. Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi saluran napas
atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi
merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang paling sering ditemukan.
Deformitas rahang-wajah, terutama palatoskisis, dapat rnenimbulkan masalah
pada anak. Anak-anak ini cenderung menderita infeksi nasofaring atau sinus
kronik dengan angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan gangguan geligi
bertanggungjawab atas sekitar 10 persen infeksi sinus maksilaris akut. Gejala
infeksi sinus maksilaris akut berupa dernam, malaise dan nyeri kepala yang tak
jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin.
Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri
pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi.
Sekrct mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.
Batuk iritatif non-produktif seringkali ada. Selama berlangsungnya sinusitis
maksilaris akut, pemeriksaan fisik akan mengungkapkan adanya pus dalam
hidung, biasanya dari meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam
nasofaring. Sinus maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi.
Transiluminasi berkurang bila sinus penuh cairan.
Gambaran radiologik sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa
penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa
yang membengkak heba! atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus.
Akhirnya terbentuk garnbann air-fluid level yang khas akibat allrtmulasi pus
yang dapat dilihat pada foto tegak sinus maksilaris. Oleh karena itu,
radiogramsinus harus dibuat dalam posisi telentang dan posisi tegalg yaitu dua
posisi yang paling menguntungkan untuk deteksi sinus maksilaris. Suatu
skrining mode uhrasoundjuga disebut sebagai metode diagnostik non-invasif
74
yang aman. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin memerlukan hitung darah
lengkap dan biakan hidung. Dalam interpretasi biakan hidung, kata hati- hati
perlu ditegaskan. Biakan dari sinus maksilaris dapat dianggap benar; namun pus
tenebut berlokulasi dalam suatu rongga tulang. Sebaliknya, suatu biakan dari
hidung depan, akan mengungkapkan organisme dalam vestibulum nasi termasuk
flora normal seperti Staphylococcus dan beberapa kokus gram positif yang tidak
adakaitannya dengan bakteri yang dapat menimbulkan sinusitis. Oleh karena itu,
biakan bakteri yang diambil dari hidung bagian depan hanya sedikit bernilai
dalam interpretasi bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan mungkin memberi
informasi yang salah.Suatu biakan dari bagian posterior hidung atau nasofaring
akan jauh lebih akurat, namun secara leknis sangat sulit diambil. Biakan bakteri
spesifik pada sinusitis dilakukan dengan irigasi maksilaris. Seringkali diberikan
suatu antibiotik yang sesuai untuk membasmi organisme yang lebih umum
terlibat pada penyakit ini (Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
balceri anaerob, Branhamella catarrhalis).
Sinusitis maksilaris akut umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum
luas seperti amoksisilin, ampisilin atau eritromisin plus sulfonimid, dengan
alternatif lain berupa amoksisilin/klavulanat, sefa- klor, sefuroksim, dan
trimetoprim plus sutfonamid. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga
bermanfaat, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin (Neo- Synephrine) atau
oksimetazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama infeksi namun
kemudian harus dihentikan. Kompres hangat pada wajah, dan analgetik seperti
aspirin dan asetaminofen berguna untuk meringankan gejala. Pasien biasanya
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan dalam dua hari, dan proses penyakit
biasanya menyembuh dalam 10 hari, kendatipun konfirmasi radiologik dalam
hal kesembuhan total memerlukan waktu dua minggu atau lebih. Kegagalan
penyembuhan dengan suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organisme tidak
lagi peka terhadap antibiotik, atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokulasi
infeksi. Pada kasus demikian, ostium sinus dapat sedemikian edematosa
sehingga drainase sinus terhambat dan terbentuk suatu abses sejati. Bila
demikian, terdapat suatu indikasi irigasi antrum segera. Jalur inseni trokar pada
irigasi antrum maksilaris biasanya di bawah konka inferior, setelah sebelumnya
dilakukan kokainisasi membrana mukosaJalur alternatif adalah melalui
pendekatan sublabial di mana jarum ditusukkan lewat celah bukalis gusi
75
menembus fosa insisiva (Gbr. 13-3). Kemudian larutan salin hangat dialirkan ke
dalam antrum maksilaris melalui jalur ini, dan pus akan didorong keluar melalui
ostium alami. Kedua metode dapat diterima, asal dokter memiliki keahlian dan
pengalarnan yang diperlukan untuk melakukan prosedur itu.

2. Sinusitis Etmoidnlis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitisorbita. Pada dewasa, seringkali bersama-sama
dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis
yang tak dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri dan nyeri tekan di antara kedua
mata dan di atas jembatan hidung, drainase dan sumbatan hidung. Pada anak,
dinding lateral labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan
karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita. Pengobatan
sinusitis etmoidalis berupa pemberian antibiotik sistemik, dekongestan hidung,
dan obat semprot atau tetes vasokonstriktor topikal. Ancaman terjadinya
komplikasi atau perbaikan yang tidak memadai merupakan indikasi untuk
etmoidektomi
3. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu benama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior. Sinus frontalis berkembang dari sel-sel udara etmoidalis
anterior, dan duktus nasalis frontalis yang berlekuk- lekuk berjalan amat dekat
dengan sel-sel ini. Maka faktor-faktor predisposisi infeksi sinus frontalis akut
adalah sama dengan faktor-faktor untuk infeksi sinus lainnya. Penyakit ini
terutama ditemukan pada dewasa, dan selain daripada gejala infeksi yang
umum, pada sinusitis frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi
di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya
menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh, dan mungkin terdapat
pembengkakan supraorbita. Tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada
palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi. Tiansiluminasi dapat
terganggu, dan radiogram sinus memastikan adanya penebalan periosteum atau
kekeruhan sinus menyeluruh, atau suatu air-fluid level.Pengobatan berupa
pemberian antibiotik yang tepat seperti yang dijelaskan sebelumnya,
76
dekongestan, dan tetes hidung vasokonstriktor. Kegagalan penyembuhan segera
atau tirnbulnya komplikasi memerlukan drainase sinus frontalis dengan teknik
trepanasi.
4. Sinusitis Sfenoidalis
.Sinusitis sfenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini dicirikan
oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium. Namun penyakit ini lebih
lazim menjadi bagian dari pansinusitis, dan oleh karena itu gejalanya menjadi
satu dengan gejala infeksi sinus lainnya. Trepanasi sinus sfenoidalis cukup
sering dilakukan sebelum era pn-antibiotik, namun prosedur ini kini hampir
tidak pernah dilakukan.
b. Sinusitis Kronik
sinusitis kronik berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. pada
silusitis akut, perubahan patologik membrana mukosa berupa infiltrat
polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel permukaan, yang
semuanya reversibel. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan
irevenibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau
pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi,
metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan
histologis yang sama. Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi bersama-
sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh, terdapat infiltrat sel
bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan submukosa.
Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronik cukup beragam. Pada era
pra-antibiotik, sinusitis hiperplastik kronik timbul akibat sinusitis akut berulang
dengan penyembuhan yang tidak lengkap.
Dalam patofisiologi sinusitis kronik, beberapa faktor ikut berperan dalam
siklus dari peristiwa yang berulang. Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis
mempunyai daya tahan luar biasa terhadap penyakit selain kemampuan untuk
memulihkan dirinya sendiri. Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang mungkinkan
penyembuhan mukosa sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang
baik. Jika faktor anatomi atau faali menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi
sinus, maka tercipta suatu medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus
mikroaerofilik atau anaerobik, akibatnya berupa lingkaran setan edema, sumbatan
dan infeksi.

77
Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu menciptakan
predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan perubahan struktur
ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung misalnya, hipertrofi adenoid,
tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi. Akan tetapi, faktor
presdisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis
alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus.
Suatu bentuk polip hidung yang aneh adalah polip antrokoanal yang bcrasal
dari mukosa di dekat ostium sinus maksilaris. Polip ini menyumbat ostium dan me
nrbesar dengan berproliferasi dan edema menjadi suatu "struktur bilobus." Satu
lobus tctap dalam sinus, scdangkan yang satunya masuk ke dalam hidung dan tcrus
ke nasofaring. Pcngangkatan polip antrokoanal secara lengkap biasanya
memecahkan masalah ini dan jarang tcrjadi rekure rs.
Alergi juga dapat rnerupakan predisposisi infeksi karcna terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat
menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan inl'eksi lebih
lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya
berulang.
Gejala sinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala
mirip dengan gejala sinusitis akut; namun, di luar masa itu, gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali
mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali
tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus. Hidung biasanya sedikit
tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi, seperti rinitis alergika
yang menetap, dan keluhankeluhannya yang menonjol. Batuk kronik dengan
laringitis kronik ringan atau faringitis seringkali menyertai sinusitis kronik, dan
gejala-gejala utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter.
Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi
secara berbarengan. Disamping terapi obat-obatan yang memadai dengan antibiotik
dan dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruktif dan tiap
alergi yang mungkin ada. Alergi dapat diatasi dengan cara.
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah membuat
suatu lubang drainase yang memadai. Prosedur yang paling lazim adalah
78
nasoantrostomi atau pembentukan fenestra nasoantral. Sepotong dinding medial
meatus inferior dilcpaskan guna memungkinkan drainase gravitasional dan
ventilasi, dan dengan demikian mernungkinkan pula regenerasi membrana mukosa
yang sehat dalam sinus maksilaris. Suatu prosedur yang lebih radikal dinamakan
menurut dua ahli bedah yang mempopulerkannya - operasi Caldwell-Luc. Pada
prosedur bedah ini, epitel rongga sinus maksilaris diangkat seluruhnya dan pada
akhir prosedur dilakukan antrostomi untuk drainase sesuai cara yang dijelaskan
sebelumnya. Hasil akhir memuaskan karena membran mukosa yang sakit telah
diganti oleh mukosa nonnal atau terisi dengan jaringan parut lambat. Pembedahan
sinus endoskopik, merupakan suatu teknik yang memungkinkan visualisasi yang
baik dan magrifikasi anatomi hidung dan ostium sinus nonnal bagi ahli bedah,
teknik ini menjadi populer akhir-akhir ini.
Faktor etiologi sinusitis frontal kronik serupa dengan bentuk-bentuk
sinusitis kronik lainnya. Gambaran klinis berupa nyeri kepala frontal yang benifat
konstan, serta pembengkakan dan nyeri tekan pada kulit di atas sinus (Boeis,1997).
F. Pengobatan Penghidu
Penatalaksanaan gangguan penghidu bergantung seluruhnya pada diagnosis
penyebab yang akurat. Gangguan konduktif memiliki kemungkinan terbaik untuk
pemulihan fungsi dan terapi diberikan berdasarkan kondisi patologik.
Penatalaksanaan poliposis dan rinitis alergi adalah kortikosteroid lokal atau sistemik,
kromolin dan imunoterapi. Rinosinusitis akut harus diberikan terapi antibiotik
sistemik spektrum luas. Dapat juga digunakan dekongestan adrenergik seperti
pseudofedrin atau fenilpropanolamin. Intrevensi bedah dapat bermanfaat pada kasus
poliposis nasal, deviasi septum atau tumor nasal.
Disfungsi sensorineural penghidu jauh lebih sulit ditangani daripada gangguan
konduktif. Kortikosteroid dapt bermanfaat pada penatalaksanaan inflamasi akut
struktur saraf yang muncul pada anosmia pasca trauma dan pasca infeksi virus. Zinc
sulfat, vitamin A dan beta-karoten efektif hanya pada pengobatan pasien dengan
defisiensi (lucante, 2011).
a. Obat untuk alergi nasal
Kasus ringan dapat diatasi dengan antihistamin oral atau kortikosteroid nasal
topikal; sedangkan penggunaan dekongestan nasal sistemik diragukan manfaatnya
(lihat 3.4.1 dan 3.10). Pemberian dekongestan nasal topikal jangka pendek dapat

79
digunakan untuk mengurangi kongesti dan dibolehkan menggunakan kortikosteroid
nasal topikal tetes.
Pasien dengan gejala yang menetap dapat diatasi dengan sediaan topikal kor-
tikosteroid atau kromoglikat; antihistamin topikal (azelastin) berguna untuk men-
gatasi gejala rinitis alergi. Pada kasus rinitis alergi musiman (seperti hay fever),
pengobatan sebaiknya dimulai 2-3 minggu sebelum musim dimulai. Terapi yang
terus menerus selama bertahun-tahun diperlukan pada kasus perennial rhinitis.
Pada rinitis alergi, sediaan topikal kortikosteroid dan kromoglikat memiliki
peran yang sudah jelas. Walaupun kromoglikat kurang efektif dibandingkan den-
gan kortikosteroid topikal, namun kromoglikat sering menjadi pilihan pertama un-
tuk anak. Antihistamin topikal kurang efektif dibandingkan kortikosteroid topikal,
tetapi lebih efektif dibandingkan kromoglikat.
Kadang-kadang rinitis alergi disertai dengan vasomotor rinistis. Pada kondisi
ini penambahan sediaan topikal ipratropium bromid (12.2.2) dapat mengurangi
sekret hidung.
Penggunaan jangka pendek kortikosteroid sistemik dapat digunakan untuk
mengatasi gejala yang berat. Anak-anak yang mengalami gejala rhinitis musiman
yang mengganggu aktivitas dapat diterapi dengan kortikosteroid oral dalam jangka
pendek. Obat ini dapat pula digunakan pada awal pengobatan dengan semprot kor-
tikosteroid untuk mengurangi udem mukosa yang parah dan agar semprotan dapat
menembus rongga hidung. KEHAMILAN pada wanita hamil yang tidak dapat
mentoleransi gejala alergi rinitis, dapat dipertimbangkan pemberian beklometason
atau sodium kromoglikat.
Kortikosteroid
Sediaan nasal yang mengandung kortikosteroid (beklometason, betametason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason dan triamsinolon) mempunyai per-
anan penting dalam pencegahan dan pengobatan rinitis alergi (lihat keterangan di
atas).

Peringatan: Pemberian sediaan kortikosteroid nasal sebaiknya dihindari pada in-


feksi nasal yang tidak tertangani dan juga sesudah operasi nasal (tunggu sampai
sembuh); juga sebaiknya dihindarkan pada TB paru. Pasien yang sebelumnya
memperoleh kortikosteroid sistemik dapat mengalami eksaserbasi gejala. Pembe-
rian secara nasal dapat diikuti dengan absorpsi sistemik terutama jika diberikan do-
80
sis tinggi dan dalam jangka panjang. Risiko efek sistemik dari obat tetes hidung
lebih besar dibanding obat semprot, karena cara penggunaan obat tetes yang salah.
Direkomendasikan untuk memonitor tinggi badan anak-anak yang mendapat terapi
kortikosteroid nasal dalam jangka panjang. Jika pertumbuhan terhambat, sebaiknya
dikonsultasikan ke dokter spesialis anak.

Efek samping lokal meliputi kekeringan, iritasi pada hidung dan tenggorokan, epi-
taksis; ulserasi (jarang), perforasi nasal septal (biasanya setelah operasi nasal), pen-
ingkatan tekanan intra-okular atau glaukoma, juga terjadi (jarang), sakit kepala,
gangguan penciuman dan rasa. Reaksi hipersensitivitas termasuk bronkospasme
telah dilaporkan.
Contoh:

 Azelastin Hidroklorida

Indikasi: rinitis alergi.


Efek Samping: iritasi mukosa nasal; gangguan indera pengecapan.

 Beklometason propionat
Indikasi: profilaksis dan pengobatan rinitis alergi dan rinitis vasomotor.
Peringatan: infeksi nasal yang tidak ditangani, pemakaian yang berkepanjangan pada
anak, pengobatan terdahulu dengan kortikosteroid per oral.
Efek Samping: bersin setelah penggunaan; kadang-kadang hidung kering, iritasi
hidung dan tenggorokan, epistaksis, gangguan indera kecap; reaksi hipersensitivitas
(termasuk bronkospasme), perforasi septum nasal dilaporkan.
Penggunaan: DEWASA dan ANAK di atas usia 6 tahun, beri 100 mcg (2 semprotan)
ke dalam tiap lubang hidung dua kali sehari atau 50 mcg (1 semprotan) ke dalam tiap
lubang hidung 3-4 kali sehari; total maksimum 400 mcg (8 semprotan) tiap hari.

 Bunesonid
Indikasi: profilaksis dan pengobatan rhinitis alergi dan rinitis vasomotor; polip nasal.
Peringatan: lihat pada beklometason dipropionat; juga pasien dengan tuberkulosis
paru-paru.
Interaksi: lihat Lampiran 1 (Kortikosteroid).

81
Efek Samping: lihat pada beklometason dipropionat.
Penggunaan: rinitis, DEWASA dan ANAK di atas usia 12 tahun, beri 200 mikro-
gram (2 semprotan) ke dalam tiap lubang hidung 1 kali sehari di pagi hari atau
100mcg (1 semprotan) ke dalam lubang hidung 2 kali sehari; bila gejala dapat
dikendalikan, kurangi hingga 100 mcg (1 semprotan) ke dalam lubang hidung 1 kali
tiap hari.Polip hidung, DEWASA dan ANAK di atas 12 tahun, 100 mcg (1
semprotan) ke dalam lubang hidung 2 kali sehari selama 3 bulan.

 Flunisolid

Indikasi: profilaksis dan pengobatan rinitis alergi.


Peringatan: lihat pada beklometason dipropionat; catatan medis tuberkulosis paru-
paru.
Efek Samping: lihat keterangan pada beklometason dipropionat.
Penggunaan: DEWASA, beri 50 mcg (2 semprotan) ke dalam lubang hidung 2 kali
sehari, ditingkatkan bila perlu hingga maksimum 3 kali sehari kemudian kurangi
untuk perawatan; ANAK di atas usia 5 tahun, mula-mula 25 mcg (1 semprotan) ke
dalam lubang hidung sampai 3 kali sehari untuk pengobatan yang tidak lebih lama
dari 4 minggu berturut-turut.

 Flutikason Furoat
Indikasi: pengobatan gejala rinitis alergi.
Peringatan: Efek sistemik muncul pada penggunaan sediaan nasal dalam jangka
panjang dan dosis tinggi; Pengobatan terdahulu/ bersamaan dengan kortikosteroid
oral; pemakaian yang berkepanjangan pada anak; Flutikason furoat hanya digunakan
pada wanita hamil jika manfaat bagi ibu melebihi risiko bagi janin; Keamanan
penggunaan pada ibu menyusui dan anak usia dibawah 6 tahun, belum diketahui pasti;
Sediaan nasal dan inhalasi kortikosteroid dapat menyebabkan glaukoma atau katarak.
Hati-hati jika terjadi perubahan penglihatan, riwayat peningkatan tekanan intra okular,
glaukoma, katarak.
Interaksi: Pemberian bersama dengan ritonavir tidak disarankan karena potensi risiko
dan paparan sistemik yang meningkat terhadap flutikason furoat.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap semua bahan yang terkandung.

82
Efek Samping: sangat umum (>1/10): epitaksis; umum (>1/1000 dan <1/10): ulserasi
hidung.
Dosis: untuk mendapatkan efek yang maksimal, pasien harus diinformasikan untuk
menggunakan obat ini secara rutin sesuai jadwal. Mula kerja biasanya diperoleh pada
8 jam setelah penggunaan pertama, dan mungkin diperlukan waktu beberapa hari
untuk memperoleh manfaat maksimal. Lama pengobatan harus dibatasi pada masa
dimana terjadi pemaparan alergenik.
Dewasa/remaja (12 tahun dan lebih): dosis awal, dua semprotan (27,5 mikrogram per
semprot) ke dalam masing-masing lubang hidung sekali sehari (total dosis per hari
110 mikrogram); dosis pemeliharaan satu semprotan ke dalam masing-masing lubang
hidung sekali sehari (total dosis per hari 55 mikrogram). Dosis harus dititrasi hingga
dosis terendah yang cukup memberi respon pemeliharaan.
Anak (6-11 tahun): dosis awal, satu semprotan (27,5 mikrogram per semprot) ke
dalam masing-masing lubang hidung sekali sehari (total dosis per hari 55 mikrogram).
Pasien yang tidak memberikan respon yang cukup terhadap dosis tersebut dapat
diberikan dua semprot ke dalam masing-masing lubang hidung sekali sehari (total
dosis per hari 110 mikrogram). Dosis pemeliharaan satu semprotan pada kedua lubang
hidung sekali sehari (total dosis 55 mikrogram per hari).

 Flutikason propionat
Indikasi: profilaksis dan pengobatan rinitis alergik musiman, termasuk hay fever dan
rinitis alergik tahunan, profilaksis dan terapi asma.
Peringatan: Anak, kehamilan, pengobatan terdahulu dengan kortikosteroid per oral,
pemberian dengan ritonavir, infeksi lokal pada saluran napas, penghentian pengobatan
sistemik dan mulai pengobatan intranasal, pemberian dosis besar dalam jangka
panjang, pneumonia.
Interaksi: Ritonavir: penggunaan bersama flutikason intranasal harus dihindari karena
menimbulkan efek sistemik kortikosteroid seperti sindroma Cushing dan menekan
fungsi ginjal. Ketokonazol: meningkatkan paparan sistemik terhadap flutikason
propionat.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas.
Efek Samping: Sangat umum: epistaksis, kandidiasis mulut dan kerongkongan.
Umum: sakit kepala, rasa tidak enak, bau tidak enak, hidung kering, iritasi hidung,

83
tenggorokan kering, iritasi tenggorokan, pneumonia, suara serak, luka memar. Tidak
umum: reaksi hipersensitif kutan. Sangat jarang: reaksi hipersensitivitas, reaksi
anafilaksis, bronkospasme, ruam kulit, udem pada wajah atau lidah, glaukoma,
peningkatan tekanan intraokular, katarak, perforasi dinding hidung, sesak napas,
anafilaktik, sindroma Cushing, keterlambatan pertumbuhan, penurunan densitas
mineral tulang, hiperglikemia, gelisah, gangguan tidur dan perubahan sikap termasuk
hiperaktivitas dan iritabilitas.
Dosis: Rinitis alergik. Dewasa dan anak di atas 12 tahun, 100 mcg (2 semprotan) ke
dalam tiap lubang hidung 1 kali sehari disarankan pagi hari, dapat ditingkatkan hingga
2 kali sehari, dosis maksimum per hari tidak lebih dari 200 mcg (4 semprotan) tiap
lubang hidung. Anak 4-11 tahun, 50 mcg (1 semprotan) ke dalam tiap lubang hidung
1 kali sehari, dapat ditingkatkan 2 kali sehari, dosis maksimum per hari tidak lebih
dari 2 semprotan tiap lubang hidung. Asma. Dewasa dan anak di atas 16 tahun, 100 –
1000 mcg 2 kali sehari, dosis awal asma ringan 100 – 250 mcg 2 kali sehari, asma
sedang 250 – 500 mcg 2 kali sehari, asma berat 500 – 1000 mcg 2 kali sehari. Anak di
atas 4 tahun, 50 – 100 mcg 2 kali sehari. Anak 1-4 tahun, 100 mcg 2 kali sehari.
Penggunaan: DEWASA dan ANAK di atas usia 12 tahun, beri 100 mcg (2 semprotan)
ke dalam tiap lubang hidung 1 kali sehari, lebih disukai pada waktu pagi hari,
ditingkatkan hingga 2 kali sehari bila perlu; total maksimum 8 semprotan tiap hari;
ANAK 4-11 tahun, 50 mcg (1 semprotan) ke dalam tiap lubang hidung 1 kali sehari,
ditingkatkan 2 kali sehari bila perlu; total maksimum tiap hari 4 semprotan.

 Nedrokomil natrium

Indikasi: profilaksis dan pengobatan rinitis alergi musiman.


Efek Samping: sedikit iritasi nasal; gangguan pada indera kecap.

b. Dekongestan nasal topikal


Mukosa nasal peka terhadap perubahan suhu dan kelembaban atmosfer dan ke-
dua faktor ini sudah dapat mengakibatkan hidung tersumbat ringan. Hidung dan si-
nus nasal menghasilkan 1 liter mukus dalam 24 jam dan kebanyakan dari jumlah
ini masuk ke lambung melalui nasofaring. Hanya karena perubahan kecil pada
jalan udara nasal, serta mengalirnya mukus melalui nasofaring, mengakibatkan be-
berapa penderita didiagnosa secara tidak tepat sebagai sinusitis kronis. Gejala ini

84
dapat diamati pada influenza tahap lanjut. Natrium klorida 0,9% diberikan sebagai
tetes hidung mungkin dapat mengurangi hidung tersumbat dengan cara membantu
mencairkan sekresi mukosa.
Pertolongan simtomatik untuk hidung tersumbat yang berhubungan dengan
rinitis vasomotor, polip hidung, dan flu biasanya dapat diperoleh dengan pemaka-
ian obat tetes dekongestan nasaldan obat semprot jangka pendek (biasanya tidak
lebih dari 7 hari). Sediaan ini mengandung simpatomimetik yang bekerja dengan
cara vasokonstriksi pembuluh darah mukosa yang kemudian mengurangi pem-
bengkakan mukosa nasal. Manfaat obat-obat ini kecil, karena dapat menyebabkan
fenomena rebound ketika efeknya habis, karena vasodilatasi sekunder yang diikuti
kongesti nasal temporer. Hal ini mendorong penggunaan dekongestan lebih lanjut
sehingga terjadi vicious circle yang memburuk. Tetes hidung efedrin adalah sedi-
aan simpatomimetik yang paling aman dan dapat mengatasi gejala untuk beberapa
jam. Simpatomimetik yang lebih kuat seperti oksimetazolin, fenilefrin, dan
xilometazolin cenderung menyebabkan efek rebound. Semua sediaan ini dapat
mengakibatkan krisis hipertensi bila digunakan bersama inhibitor monoaminoksi-
dase, seperti moklobemid. Rinorea berair non-alergi sering menunjukkan respons
yang baik terhadap pengobatan dengan ipratropium bromida. Menghirup uap
hangat berguna dalam pengobatan simtomatik infeksi akut, dan pemakaian kombi-
nasi zat yang mudah menguap seperti mentol dan eukaliptus dapat membantu
penggunaannya (lihat 3.8).
Inhalasi uap air hangat juga berguna dalam terapi mengatasi gejala kongesti
nasal pada bayi dan anak-anak, tetapi penggunaan air mendidih untuk inhalasi uap
berbahaya bagi anak sehingga tidak dianjurkan digunakan. Dekongestan nasal sis-
temik lihat 3.10.
Sinusitis dan rasa sakit dimulut Pengaruh sinusitis pada maxilary antrum dapat
menyebabkan rasa sakit pada rahang atas. Hal ini terkait dengan adanya pengha-
lang terbukanya celah antara nasal dan sinus caviti. Inhalasi uap hangat mungkin
dapat membantu meringankan gejala hidung tersumbat atau dengan tetes hidung
efedrin.

1. simpatomimetik

 Efedrin hidroklorida

85
Indikasi: kongesti nasal.
Peringatan: hindari pemakaian berlebihan atau berkepanjangan; hati-hati pada
bayi berusia di bawah 3 bulan (bukti kemanfaatan belum tersedia- bila timbul
iritasi, jalan nasal dapat menyempit).
Efek Samping: iritasi setempat, mual, sakit kepala; setelah penggunaan
berlebihan terjadi toleransi, efek menghilang, kongesti berulang; juga
dilaporkan efek pada kardiovaskuler.
Penggunaan: beri 1-2 tetes ke dalam tiap lubang hidung sampai 3-4 kali per
hari bila dibutuhkan Catatan. Dianjurkan bila kekuatan tidak disebutkan, harus
diberikan tetes 0,5%.

 Xilometazolin hidroklorida
Indikasi: kongesti nasal.
Peringatan: lihat keterangan pada efedrin hidroklorida.
Efek Samping: lihat keterangan pada efedrin hidroklorida.
Penggunaan: Xilometazolin hidroklorida 0,1%: Beri 2-3 tetes ke dalam tiap
lubang hidung 2-3 kali sehari bila perlu; maksimum selama 7 hari; tidak
dianjurkan untuk anak di bawah usia 12 tahun; Xilometazolin hidroklorida
0,05%: Bayi di atas usia 3 bulan, beri 2-3 tetes ke dalam tiap lubang hidung 1-
2 kali sehari kalau diperlukan (tidak direkomendasikan untuk bayi di bawah
usia 3 bulan, untuk anak di bawah usia 2 tahun, hanya atas petunjuk dokter);
lama pemberian maksimum 7 hari.

 Oksimetazolin
Indikasi: Untuk meringankan simtomatik dari kongesti (kesembaban) hidung
dan nasofaring karena salesma (flu), sinusitis, hay fever atau alergi saluran
napas bagian atas lainnya.

2. antimuskarinik
 Itrapotium bromida
Indikasi: rinorea yang berhubungan dengan rinitis perenial.
Peringatan: hindari menyemprot dekat mata.
Efek Samping: hidung kering dan iritasi hidung, epistaksis.

86
Penggunaan: beri 20-40 mcg (1-2 semprotan) ke dalam lubang hidung yang
sakit hingga 4 kali sehari; tidak dianjurkan untuk anak di bawah 12 tahun.

c. Sediaan Infeksi Untuk Nasal

tidak ada bukti bahwa sediaan antiinfeksi nasal memiliki kegunaan terapeutik
dalam kasus rhinitis atau sinusitis.

 Nasal staphylococci

Eliminasi dari organisme seperti stafilokokus di vestibulum nasal dapat dicapai den-
gan menggunakan krim yang mengandung klorheksidin dan neomisin, tetapi sering
timbul rekolonisasi. Koagulase stafilokokus positif bisa ditemukan di hidung pada
40% populasi. Salep hidung yang mengandung mupirosin juga tersedia; mungkin se-
baiknya disimpan sebagai cadangan untuk kasus resisten. Salep diberikan 3 kali se-
hari selama 5 hari pemberian dan sampel diambil setelah dua hari pengobatan untuk
memastikan eradikasi. Jika sampel positif pengobatan dapat diulangi. Untuk
menghindari terjadinya resistensi, pengobatan tidak boleh digunakan lebih dari 7
hari dan tidak boleh diulang lebih dari satu kali.

d. sediaan Lain untuk Nasal

 Natrium Klorida

Indikasi: untuk melembabkan membran nasal yang kering dan teriritasi karena
pilek, alergi, kelembaban yang rendah, perdarahan hidung minor dan iritasi hidung
minor lainnya.
Peringatan: jangan digunakan untuk orang lain, untuk mencegah penyebaran
infeksi.
Kontraindikasi: hipersensitivitas.
Penggunaan: 1-2 tetes pada masing-masing lubang hidung, atau sesuai dengan
anjuran dokter. Dapat diulang beberapa saat kemudian. Dapat digunakan pada anak
dan bayi 1 bulan ke atas (pimnas bpom).

2.4 Indra Peraba (Kulit)

87
A. Definisi kulit
Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang terletak paling luar yang melindungi
tubuh dari pengaruh lingkungan hidup manusia dan merupakan alat tubuh yang terberat dan
terluas ukurannya, yaitu kira-kira 15% dari berat tubuh dan luas kulit orang dewasa 1,5 m2.
Kulit sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta sangat bervariasi pada keadaan iklim, umur,
seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh serta memiliki variasi mengenai lembut,
tipis, dan tebalnya. Rata-rata tebal kulit 1-2m. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan
dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis. Kulit merupakan organ yang vital dan
esensial serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Djuanda, 2007).
Kulit merupakan barier penting untuk mencegah mikroorganisme dan agen perusak
lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam. Kelainan kulit yang terjadi dapat langsung
disebabkan mikroorganisme pada kulit, penyebaran toksin spesifik yang dihasilkan mikroor-
ganisme, atau penyakit sistemik berdasarkan proses imunologik. Sistem imun dengan fungsi
yang khusus dan bekerja di kulit. Sel Langerhans, keratinosit, sel endotel, dendrosit dan sel
lainnya semua ikut berperan dalam skin associated lymphoid tissue (SALT). Mediator yang
berperan antara lain IL-1, IL-2, IL-3, produk sel mast, limfokin dan sitokin lain yang seba-
gian besar dihasilkan oleh keratinosit.

B. Anatomi kulit secara histopatologik

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu (Djuanda, 2007) :
1. Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas :

88
a. Lapisan basal atau stratum germinativum. Lapisan basal merupakan lapisan epidermis
paling bawah dan berbatas dengan dermis. Dalam lapisan basal terdapat melanosit.
Melanosit adalah sel dendritik yang membentuk melanin. Melanin berfungsi melin-
dungi kulit terhadap sinar matahari.
b. Lapisan malpighi atau stratum spinosum. Lapisan malpighi atau disebut juga prickle
cell layer (lapisan akanta) merupakan lapisan epidermis yang paling kuat dan tebal.
Terdiri dari beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda
akibat adanya mitosis serta sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng ben-
tuknya. Pada lapisan ini banyak mengandung glikogen.
c. Lapisan granular atau stratum granulosum (Lapisan Keratohialin). Lapisan granular
terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir (granul) keratohialin yang ba-
sofilik. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki.
d. Lapisan lusidum atau stratum lusidum. Lapisan lusidum terletak tepat di bawah
lapisan korneum. Terdiri dari selsel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang
berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
e. Lapisan tanduk atau stratum korneum. Lapisan tanduk merupakan lapisan terluar yang
terdiri dari beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya
telah berubah menjadi keratin. Pada permukaan lapisan ini sel-sel mati terus menerus
mengelupas tanpa terlihat.
2. Dermis
Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada
epidermis. Terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan
folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni:
a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis dan berisi ujung serabut saraf
dan pembuluh darah.
b. Pars retikulaare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan. Bagian
ini terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin, dan
retikulin. Lapisan ini mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat,
dan kelenjar sebasea.
3. Lapisan subkutis
Lapisan ini merupakan lanjutan dermis, tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis
dan subkutis. Terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel
lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang

89
bertambah. Jaringan subkutan mengandung syaraf, pembuluh darah dan limfe, kantung
rambut, dan di lapisan atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringat.
Fungsi jaringan subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma, dan tempat
penumpukan energi.
 Adneksa kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelanjar kulit, rambut, dan kuku (Djuanda , 2007)
Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri dari:
a. Kelenjar keringat Ada dua macam yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil, terletak dan-
gkal di dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar apokrin yang lebih besar, ter-
letak lebih dalam dan sekretnya lebih kental. Fungsi dari kelenjar keringat meliputi
mengatur suhu. Kelenjar ekrin terdapat di semua daerah di kulit, tetapi tidak terdapat
di selaput lendir. Sedangkan kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar yang
bermuara ke folikel rambut.
b. Kelenjar palit (Glandula sebasea) Terletak di seluruh permukaan kulit manusia ke-
cuali di telapak tangan dan kaki. Kelenjar ini disebut juga kelenjar holokrin karena
tidak berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar. Ke-
lenjar palit biasanya terdapat di samping akar rambut dan muaranya terdapat di lumen
akar rambut (folikel rambut). Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas,
skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen, pada
anak-anak jumlah kelenjar palit sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar dan banyak
serta mulai berfungsi secara aktif.
C. Fungsi kulit
Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan dengan lingkungan.
Adapun fungsi utama kulit adalah (Djuanda,2007):
a. Fungsi proteksi Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau
mekanik (tarikan, gesekan, dan tekanan), gangguan kimia ( zat-zat kimia yang iritan),
dan gagguan bersifat panas (radiasi, sinar ultraviolet), dan gangguan infeksi luar.
b. Fungsi absorpsi Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat
tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak.
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut mengam-
bil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tip-
isnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum.

90
c. Fungsi ekskresi Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.
d. Fungsi persepsi Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis
sehingga kulit mampu mengenali rangsangan yang diberikan. Rangsangan panas
diperankan oleh badan ruffini di dermis dan subkutis, rangsangan dingin diperankan
oleh badan krause yang terletak di dermis, rangsangan rabaan diperankan oleh badan
meissner yang terletak di papila dermis, dan rangsangan tekanan diperankan oleh
badan paccini di epidermis.
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) Kulit melakukan fungsi ini dengan cara
mengekskresikan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit.
Di waktu suhu dingin, peredaran darah di kulit berkurang guna mempertahankan suhu
badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi pen-
guapan keringat dari kelenjar keringat sehingga suhu tubuh dapat dijaga tidak terlalu
panas.
f. Fungsi pembentukan pigmen Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan
basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Jumlah melanosit dan 17 jumlah serta besarnya
butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu.
g. Fungsi kreatinisasi Fungsi ini memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara
mekanis fisiologik.
h. Fungsi pembentukan/sintesis vitamin D

KELAINAN PADA KULIT


1. Kusta
Kusta adalah prnyakit infeksi kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium laprea yang pertama
kali menyerang susuana saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa(mulut),
saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endoteliat, mata, otot, tulang dan testis.

EPIDEMIOLOGI
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laiki-laki lebih banyak terkena
dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang
menunjukkan inseden ini hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita
wanita lebih banyak. Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Namun demikian, jarang
dijumpai pada umur yang sangat muda. Pernah dijumpai penerita kasus tuberkuloid pada usia
2.5 bulan. Serangan untuk pertama kalinya pada usia diatas 70tahun sangat jarang. Frekuensi
91
terbanyak adalah pada umur 15-29 tahun, walaupun pernah didapatkan di pulau Nauru, pada
keadaan epidemi, penyebaran hampir sama pada semua umur. Di Brazilia terdapat
peninggian prevalensi pada usia muda, sedangkan pada penduduk imigran prevalensi
meningkat di usia lanjut.
Terdapat perbedaan baik perbedaan ras maupun perbedaan geografik. Ras cina, eropa
dan myanmar lebih rentang terhadap bentuk lepromatous di bandingkan dengan ras Afrika,
India dan Melanesia. Beberapa faktor lain yang dapat berperan dalam kejadian dan
penyebaran kusta antara lain adalah iklim (cuaca panas dan lembap), diet, status gizi, status
sosial ekonomi dan genetik. Walau demikian, penelitian Sommerfelt et al(1985) di India tidak
mendapatkan hubungan yang berkorelasi antara prevalensi dengan malnutrisi, kemiskinan
dan kebodohan. Penelitian tersebut hanya mendapatkan adanya hubungan antara prevalensi
kusta dengan malnutrisi pada anak usia dibawah 4tahun.
Kapan penyakit ini menalar ke Indonesia tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun, dalam
buku tentang Historische studie over Lepra dikatakan bahwa penduduk pertama dari jawa
mungkin berasal dari Hindia muka dan belakang, negeri yang terkenal dengan sarang kusta
yang membawa ke pulau jawa. Juga dilaporka bahwa orang Tionghoa yang datang berdagang
ke negeri kita pasti juga telah menbawa penyakit ini ke Indonesia dan dilaporkan dalam buku
tersebut bahwa adanya 3 orang penderita kusta yang di asingkan di suatu pulau di muka
pelabuhan Jakarta pada tahun 1657.

ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah mikrobacterium lepra (Mycrobacterium Leprae,
M.leprae). Mleprae adalah basil obligat intraseluler dan terutama dapat berkembang biak di
dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit. Basil ini dapat ditemukan dimana-mana,
misalnya di dalam tanah ,air, udara dan pada manusia terdapat di permukaan kulit, rongga
hidung, dan tenggorokan. Basil ini dapat berkembang biak di dalam otot polos atau otot
bergaris sehingga dapat ditemukan pada otot erektorpili, otot dan endotel kapiler, otot
discrotum dan otot di iris mata. Basil ini dapat ditemukan dalam folikel rambut, kelenjar
keringat, sekret hidung, mukusa hidung dan daerah erosi atau ulkus pada penderita tipe
borderline dan lepromatous.
M.leprae ini merupakan basil gram positif karena sitoplasma basil ini mempunyai
struktur yang sama dengan hasil gram positif yang lain, yaitu mengandung DNA dan RNA
dan berkembang biak secara perlahan dengan cara binaryfision yang membutuhkan waktu
11-13 hari. Sifat multipplikasi ini lebih lambat daripada mycrobacterium tuberculosis yang
92
hanya membutuhkan waktu 20jam.pertumbuhan yang sangat lambat ini tidak diragukan sebai
faktor utama yang menyebabkan masa inkubasi kusta sangat lama (5-7 tahun) dan
menyebabkan semua maninfestasi klinis nya menjadi kronik. Basil ini belum dapat dibiak in
vitro walaupun telah dapat diinokulasi pada beberapa binatang percobaan seperti armadillo,
mencit, tupai, hadgehog, dengan pertumbuhan yang terbatas dan tidak teratur.
Basil ini bersifat tahan asam, tetapi kurang tahan asam bila dibanding dengan
M.tuberculosis. piridin bisa merusak kemampuan basil ini untuk dapat diwarnai dengan
karbol fuhsin. Saraf ferifer yang terkena, terutama yang superfisial dan bagian kulit yang
dingin cenderung paling banyak mengalami anestesi. Bagian tubuh yang dingin merupakan
tempat predileksi tidak hanya karena pertumbuhan optimal M.leprae pada temperatur rendah,
tetapi mungkin juga oleh kerena rendahnya temperatur dapat mengurangi respon imunologis.
Di luar hostpes, dalam sekret kering dalam temperatur dan kelembapan yang bervariasi,
M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar di buktikan dapat
bertahan hidup sampai 46 hari.

MANINFESTASI KLINIK
Maninfestasi klinik penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium
yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaaan fisik saja. Penderita kusta
adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa pemeriksaan
bakteriolegik dan memerlukan pengobatan. Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada :
 Multiplikasi dan diseminasi kumat M.leprae
 Respon imun penderita terhadap kuman M.leprae
 Komplokasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer
Ada 3 tanda kardinal. Kalau salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan
diagnosis penyakit kusta yakni:
 Lesi kulit yang anestesi
 Penebalan saraf perifer
 Ditemukannya M.leprae (bakteriologis positif)
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut
Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan
gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik dan imunologik. Sekarang klasifikasi ini juga
secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.
1. Tipe Tuberkuloid-tuberkuloid (TT)

93
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa 1 atau bebebrapa, dapat berupa
makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
mengalami regresi atau menyembuhan di tengah. Permukaan lesi dapat bersisisk
dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran pesoriasis. Gejala ini
dapat disertai penebalan sarafperifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan
sedikit rasa gatal.
2. Tipe Borderline-tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai pada tipe TT, yakni berupa makula anestesi atau plak
yang sering disertai lesi satelit dipinggirnya, jumlah lesi 1 atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe
tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat pada tipe tuberkuloid dan biasanya
asimetrik. Biasanya ada lesi satelit yang terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe Borderline-bordeline (BB)
Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spektrum penyakit kusta.
Tipe ini disebut juga sebagi bentuk dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi dapat
berbentuk makula infilttat. Permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas
dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberkuloid dan cenderung simetrik.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya bisa didapatkan lesi
punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang
merupakan ciri khas tipe ini.
4. Tipe borderline leppromatous (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit,
kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula di sini lebih jelas dan
lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil, papel dan nodus lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tanpak melekuk pada bagian
tengah. Lesi bagian tengah sering tanpak normal dengan pinggir di dalam infiltrat
lebih jelas dibanding pinggir luarnya, dan beberapa plak tanpak seperti punched out.
5. Tipe Lepromatous (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat,
berbatas tidak tegas, dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada
stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni diwajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga sedangkan dibadan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung
tangan dan permukaan ektensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan
94
cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratitis.
Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran
kelenjar linve, orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi atropi testis. Kerusakan saraf
dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.

2. URTIKARIA
Urtikaria (hives, nettle rash, cnidosis) merupakan suatu reaksi vaskuler pada kulit yang
timbul mendadak dengan gambaran lesi yang eritem, edema,dan sering disertai rasa gatal.

EPIDEMIOLOGI
Secara imunologik, dari data yang menulis kumpulan sejak tahun 1987, urtikaria
merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang paling sering dikemukakan
oleh penderita, keadaan ini juga didukung oleh penelitian ahli yang lain. Urtikaria dapat
terjadi pada semua jenis kelamin dan berbagai kelompok umur; pada umunya sering terjadi
pada usia dewasa muda. Dikatakan bahwa kurang lebih 15-20% dari suatu populasi pernah
mengalami urtikaria. Dikenal ada 2 macam bentuk klinik urtikaria, yaitu bentuk akut dan
bentuk kronik. Dikatakan sebagai bentuk akut apabila urtikaria akut berlangsung kuran dari 6
minggu. Jenis urtikaria ini biasanya mengenai kelompok dewasa muda dan penyebabnya
mudah diketahui. Bentuk yang lain adalah urtikaria kronik. Urtikaria dikatakan kronik
apabila telah berlansung lebih dari 6 minggu dan biasanya mengenai orang berusia
pertengahan dan cenderung kambuh ulang. Kalau urtikaria akut sering kali dihubungkan
dengan keadaan alergi, sebaliknya pada urtikaria kronik ternyata 90-95% penyebabnya tidak
diketahui. Walaupun mekanisme timbulnya urtikaria telah banyak dipelajari,
mengidentifikasi dan menghilangkan penyebab spesifiknya merupakan suatu pekerjaan yang
sulit.

PATOGENESIS
Walaupun sampai saat ini belum ada satuan pendapat yang tegas untuk menentukan
patogenesis semua bentuk urtikaria, umumnya para ahli sepakat, bahwa matosis kulit dan
histamin memegang peranan penting pada hampir semua bentuk urtikaria. Bahakan Schwartz
(1991) menyatakan mastosis merupakan sel efektor utama pada patogenesis urtikaria.
Hipotesis yang menyatakan bahwa histamin merupakan mediator sentral dari urtikaria ialah :
1. Respon kulit terhadap injeksi histamin.
2. Respon klinik terhadap terapi histamin.
95
3. Peningkatan histamin plasma pada lesi urtika.
4. Gambaran degranulasi mastosis kulit.
Pemeriksaan histopatologi pada dermis yang edema ditemukan berbagai sel infiltrat disekitar
pembuluh darah. Sel yang paling banyak ditemukan ialah limfosit, netrofil dan eosinofil yang
polimorf. Dengan mikroskop elektron dapat terlihat degranulasi matosis, diikuti oleh aktivitas
dan degranulasi eosinofil.
Ada beberapa fakttor yang menyebabkan pelepasan mediator mastosit dan basofil dan
kemudian dapat menyebabkan timbulnya lesi urtikaria. Fartor itu antara lain adalah faktor
imunologik, faktor nonimunologik, faktor genetik dan faktor yang merupakan pemberat dan
modulasi.

MANIFESTAI KLINIK
Gambaran lesi urtikaria akut maupun kronik tidak menunjukkan perbedaan. Perbedaan yang
menyangkut penyebab urtikaria secara klinik, dapat diketahui dari anamnesis yang teliti,
sehingga pada dasarnya tidak dapat dibedakan berbagai bentuk urtikaria tersebut berdasarkan
bentuk lesinya.

3. DERMATITIS ATOPIK (EKZEMA ATOPIK)


Dematitis atopik adalah dermatitis yang terjadi pada orang yang mempunyai riwayat atopi.
Atopi berasal dari bahasa yunani yang berarti penyakit aneh ataupun hipersensitifitas
abnormal untuk melawan faktor-faktor lingkungan, dijumpai pada penderita ataupun
keluarganya, tanpa sensitisasi yang jelas sebelumnya. Diatesis atopik ditandai dengan adanya
reaksi yang berlebihan terhadap rangsangan dari lingkungan sekitarnya, seperti iritan, alergen
dan kecenderungan untuk memproduksi IgE.

MANIFESTASI KLINIK
Dermatis atopik merupakan bentuk ekzema yang paling sering dijumpai. Penyakit ini
mengenai kira-kira 2-3% anak. Karakteristiknya adalah ada rasa gatal, eritem, dan ada
perubahan histologik dengan sel radang yang bulat, dan ada edema epidermal spongiotik.
Dermatitis atopik dibedakan dari ekzema lainnya karena DA dapat dijumpai pada bayi yang
masih muda. Distribusinya adalah muka dan lipatan kulit, seperti fosa kubiti dan fosa
poplitea, dan sering ada riwayat atopi pada dirinya ataupun keluarganya, seperti asma atau
rinokonjungtivitis. Penderita mempunyai tingkat ambang rasa gatal yang rendah gejala
lainnya yang di jumpai pada 70% penderita adalah adanya faktor predisposisi untuk kelainan
96
atopik, seperti asma konjungtifitis alergi, rinitis alergik; beberapa kasus terdapat urtikaria dan
reaksi terhadap makanan reaksi ini adalah reaksi yang diperantarai oleh imunoglobulin E
(hipersensitifitas alergi tipe 1) terhadap bahan topikal, bahan hirupan, ataupun yang dimakan.
Kakateristik lain penyakit ini adalah perjalanan penyakit yang kronik dan sering kambuh,
serta membaik ketika umur bertambah. Kira-kira 50% penderita ekzema atopik asimtomatik,
atau menyembuh sendiri bersama dengan meningkatnya umur atau pada saat pubertas.

ETOLOGI DAN PATOGENESIS


Dermatitis atopik dan kelainan atopik lainnya dapat dipindahkan melalui transplantasi
sumsum tulang. Hal ini menegaskan bahwa sel darah merupakan faktor untuk manifestasi
kelainan kulit.
 Faktor turunan
Diduga dermatitis atopi diturunkan secara dominan autosomal, resesif autosomal, dan
multifaktorial.
 Faktor imunologi
Gangguan imunologi yang menonjol pada DA adalah adanya peningkatan produksi IgE
karena aktivitas limfosit T yang meningkat. Aktivitas limfosit meningkat karena pengaruh
dari IL-4. Sementara itu produksi IL-4 dipengaruhi oleh sel T helper. Sel TH2 akan
merangsang sel B memproduksi IgE. Pada DA, TH2 mempunyai peran yang menonjol pada
proses patrogenesis DA. Imunopatologi DA sangat komplek. IgE meningkat pada 80%
penderita DA. Perlu diketahui bahwa pada DA, selain melalui reaksi hipersensitifitas tipe 1,
IgE juga dapat bertindak sebagai penangkap antigen reaksi IgE-Mediated delayed type
hypersensitivity.

4. Patofisiologi Kelainan Kulit karena Infeksi


Patogenesis kelainan kulit yang ditimbulkan infeksi dapat dibagi dalam 3 kategori:
1. Mikroorganisme patogen dari aliran darah menyebabkan infeksi sekunder pada
kulit.
2. Penyebaran toksin spesifik yang berasal dari mikroorganisme patogen menye-
babkan kelainan pada kulit.
3. Penyakit sistemik menimbulkan kelainan kulit karena proses imunologik.

97
5. Patogenesis berhubungan dengan penyebaran toksin spesifik yang berasal dari
mikroorganisme pathogen
Infeksi mikroorganisme pada daerah lokal, namun toksin yang dibebaskan
mencapai kulit melalui aliran darah. Seperti diketahui bakteri mempunyai banyak
antigen permukaan yang berbeda dan mengeluarkan bermacam-macam faktor vir-
ulen (misalnya toksin) yang dapat merangsang respons imun.
Contoh penyakit eksantema yang disebabkan toksin ini adalah demam skarlet
karena streptokokus, toxic shock syndrome, dan lain-lain. Streptokokus meru-
pakan kokus Gram-positif, anaerob, menyebabkan infeksi toksigenik dan piogenik
pada manusia, seperti pada demam skarlet (eksotoksin).
Stafilokokus merupakan kokus Gram-positif, fakultatif anaerob, merupakan
patogen kulit yang paling prevalen. Pertahanan pertama terhadap stafilokokus
adalah leukosit PMN yang memfagositosis dan membunuh bakteri. Staphylococ-
cus aureus menghasilkan sejumlah faktor virulen termasuk toksin yang menen-
tukan patogenisitasnya. S. aureus mengeluarkan exfoliative toxin yang menye-
babkan nekrolisis epidermis dan eksotoksin yang menyebabkan toxic shock syn-
drome. Galur stafilokokus lain yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah
S. epidermis, merupakan flora bakteri pada kulit yang sering ditemukan. Infeksi
nosokomial karena bakteri pada bayi baru lahir selama perawatan di ruang
bersalin terutama disebabkan S. aureus. Penelitian yang dilaporkan Meberg dan
Schoyen menunjukkan terjadi penurunan insidens infeksi S. aureus (pioderma, in-
feksi umbilikus) selama 3 minggu pertama kehidupan sesudah pemberian Hibis-
crub sebagai disinfeksi umbilikus.

6. Pengobatan
Berikut ini adalah jumlah obat yang tepat untuk peresepan sediaan
dermatologi sesuai dengan bagian tubuh yang diobati:

98
Jumlah di atas cocok untuk orang dewasa dan anak usia 12-18 tahun dalam pe-
makaian dua kali sehari selama seminggu. Untuk anak usia di bawah 12 tahun, diper-
lukan jumlah yang lebih kecil. Anjuran ini tidak berlaku untuk sediaan kortikosteroid.

Pada saat meresepkan sediaan topikal pada anak, hal-hal yang perlu dipertim-
bangkan adalah lokasi pengolesan obat, kondisi yang akan diterapi dan keinginan
anak atau orangtuanya terhadap jenis sediaan topikal. Neonatus. Diperlukan perhatian
saat meresepkan sediaan topikal untuk neonates; luas permukaan tubuh yang
berhubungan dengan massa tubuh meningkatkan sensitivitas terhadap toksisitas dari
absorpsi sistemik dari zat yang dioleskan pada kulit. Sediaan topikal yang mengan-
dung zat yang dapat menimbulkan sensitisasi seperti kortikosteroid, aminoglikosida,
iodium dan obat antiparasit sebaiknya dihindari. Sediaan yang mengandung alkohol
sebaiknya dihindari karena akan menyebabkan dehidrasi kulit, menyebabkan rasa ny-
eri jika dioleskan pada kulit terbuka, dan alkohol dapat menyebabkan nekrosis.

Pada neonatus prematur, kulitnya lebih rentan dan hanya memberikan perlindungan
yang lemah, terutama pada dua minggu pertama setelah lahir. Bayi yang lahir sebelum
waktunya, terutama jika lahir pada usia di bawah 32 minggu, memerlukan penan-
ganan khusus untuk menjaga hidrasi kulit.

- Aditif. Zat aditif dalam sediaan topikal berikut ini, kadang berhubungan dengan
sensitisasi. Adanya zat aditif dicantumkan dalam kemasan obat:

 Beeswax
 Benzil alkohol

99
 Butil hidroksi-anisol Butil hidroksi-toluen Cetostearil alkohol (termasuk setil
dan stearil alkohol)
Klorokresol
 Asam-Edetat (EDTA) Etilenediamin
 Pewangi Hidroksibenzoat (paraben)
 Imidurea
 Isopropil palmitat N-(3-kloroalil) heksanium klorida (kuaternium 15) Polisor-
bat
 Propilen glikol Natrium metabisulfit Asam sorbat
 Lemak domba dan zat terkait termasuk lanolin (lemak domba yang
dimurnikan dapat mengurangi masalah)

- Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal dipakai untuk mengobati radang kulit yang bukan dise-
babkan oleh infeksi, khususnya penyakit eksim, dermatitis kontak, gigitan
serangga dan eksim skabies bersama-sama dengan obat skabies. Kortikosteroid
menekan berbagai komponen reaksi pada saat digunakan saja; kortikosteroid sama
sekali tidak menyembuhkan, dan bila pengobatan dihentikan kondisi semula
mungkin muncul kembali. Obat-obat ini diindikasikan untuk menghilangkan ge-
jala dan penekanan tanda-tanda penyakit bila cara lain seperti pemberian emolien
tidak efektif.
Secara umum kortikosteroid topikal yang paling kuat hanya dicadangkan un-
tuk dermatosis yang sukar diatasi seperti diskoid kronis lupus eritematosus, lichen
simplex chronicus, hypertrophic lichen planus dan palmoplantar pustulosis. Kor-
tikosteroid yang kuat tidak boleh digunakan pada wajah dan fleksur kulit, tetapi
kadang-kadang pada keadaan tertentu dokter spesialis meresepkannya untuk
daerah tersebut dengan pengawasan khusus. Bila pengobatan topikal gagal, injeksi
kortikosteroid intralesi khusus digunakan hanya pada kasus-kasus tertentu saja
dengan lesi setempat (seperti parut keloid, lichen planus hypertrofik atau alopecia
localised areata).
LESI PERIORAL. Krim hidrokortison 1% dapat digunakan dalam waktu tidak
lebih dari 7 hari untuk mengatasi lesi radang yang tidak terinfeksi pada bibir dan
kulit disekitar mulut. Salep atau krim hidrokortison dan mikonazol bermanfaat
pada inflamasi yang disertai infeksi oleh organisme yang peka, terutama pada

100
awal pengobatan (sampai sekitar 7 hari) misalnya pada keilitis angular. Organisme
yang rentan terhadap mikonazol adalah Candida spp, dan beberapa bakteri Gram
positif termasuk strepkokus dan stapilokokus.
 Kortikosteroid topikal untuk anak dapat digunakan pada kondisi berikut:

 Gigitan dan sengatan serangga: kortikosteroid dengan potensi ringan seperti


krim hidrokortison 1 %.
 Ruam kulit yang disertai inflamasi berat akibat penggunaan popok pada bayi
di atas 1 bulan: kortikosteroid dengan potensi ringan seperti hidrokortison 0,5
atau 1% selama 5-7 hari (dikombinasikan dengan antimikroba jika terjadi in-
feksi).
 Eksim ringan hingga sedang, flexural dan eksim wajah atau psoriasis: kor-
tikosteroid ringan seperti hidrokortison 1%.
 Eksim berat di sekitar badan dan lengan pada anak usia di atas 1 tahun: kor-
tikosteroid dengan potensi kuat atau kuat; sedang selama hanya 1-2 minggu;
segera ganti ke sediaan dengan potensi lebih ringan pada saat kondisi mem-
baik.
 Eksim di sekitar area kulit yang mengeras (misal: telapak kaki): kortikosteroid
topikal dengan potensi kuat dalam kombinasi dengan urea atau asama salisilat
(untuk meningkatkan penetrasi kortikosteroid).

KEKUATAN KORTIKOSTEROID TOPIKAL

101
2.5 Indera pengecap (lidah)

Gambar anatomi lidah

Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat membantu
pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lidah dikenal sebagai indera
pengecap yang banyak memiliki struktur tunas pengecap. Menggunakan lidah, kita dapat
membedakan bermacammacam rasa. Lidah juga turut membantu dalam tindakan bicara.
Permukaan atas lidah penuh dengan tonjolan (papila). Tonjolan itu dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam bentuk, yaitu bentuk benang, bentuk dataran yang dikelilingi parit-parit,
dan bentuk jamur. Tunas pengecap terdapat pada parit-parit papila bentuk dataran, di bagian
samping dari papila berbentuk jamur, dan di permukaan papila berbentuk benang (Cawson &
Odell, 2008).
A. Bagian-Bagian Lidah Sebagian besar lidah tersusun atas otot rangka yang terlekat pada
tulang hyoideus, tulang rahang bawah dan processus styloideus di tulang pelipis.
Terdapat dua jenis otot pada lidah yaitu otot ekstrinsik dan intrinsik. Lidah memiliki
permukaan yang kasar karena adanya tonjolan yang disebut papila. Terdapat tiga jenis
papila yaitu:
1. Papila filiformis berbentuk seperti benang halus.
2. Papila sirkumvalata berbentuk bulat, tersusun seperti huruf V di belakang lidah
3. Papila fungiformis berbentuk seperti jamur.
Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papila, terdiri dari dua sel yaitu
sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor, sedangkan sel
penyokong berfungsi untuk menopang. Bagian-bagian lidah:

102
1. Bagian depan lidah, fungsinya untuk mengecap rasa manis.
2. Bagian pinggir lidah, fungsinya untuk mengecap rasa asin dan asam.
3. Bagian belakang/pangkal, fungsinya untuk mengecap rasa pahit. Lidah memiliki kelenjar
ludah, yang menghasilkan air ludah dan enzim amilase (ptialin). Enzim ini berfungsi
mengubah zat tepung (amilum) menjadi zat gula. Letak kelenjar ludah yaitu: kelenjar ludah
atas terdapat di belakang telinga, dan kelenjar ludah bawah terdapat di bagian bawah lidah
(Cawson & Odell, 2008).

B. Cara Kerja Lidah


Makanan atau minuman yang telah berupa larutan di dalam mulut akan
merangsang ujung-ujung saraf pengecap. Oleh saraf pengecap, rangsangan rasa ini
diteruskan ke pusat saraf pengecap di otak. Selanjutnya, otak menanggapi rangsang
tersebut sehingga kita dapat merasakan rasa suatu jenis makanan atau minuman (Cawson
& Odell, 2008).
C. Penyakit pada Lidah
1. Sariawan
Definisi Stomatitis apthosa rekuren (SAR) juga dikenal dengan nama aphthae / canker
sores /reccurent aphthous ulcerations (RAU). SAR merupakan suatu peradangan
jaringan lunak mulut yang yang ditandai oleh ulkus yang rekuren tanpa disertai gejala
penyakit lain, lesi dini pada SAR biasanya dirasakan oleh penderita sebagai rasa
terbakar (Cawson & Odell, 2008).
a. Patofisiologi
Stomatitis istilah umum mengacu pada reaksi inflamasi dan lesi ulseratif dangkal
yang terjadi pada permukaan mukosa mulut atau orofaring, stomatitis ini diawali
dengan kondisi di dalam tubuh yang terganggu. Hal ini dapat dikarenakan demam,
kondisi higiene mulut yang tidak baik, maupun stress. Ketidakseimbangan ini dapat
mengakibatkan peradangan di dalam rongga mulut. Peradangan biasanya disertai
dengan ulkus (tukak), akibatnya penderita mengalami kesulitan dalam mengunyah
dan menelan makanan. Stomatitis ini seringkali diakhiri dengan anoreksia yang
dialami penderita (Santoso, 2009).
b. Etiologi
Sampai saat ini penyebab utama dari stomatitis belum diketahui. Stomatitis dapat
bersifat infeksius maupun infeksius dan dapat disebabkan oleh faktor-faktor lokal

103
maupun sistemik. Ada beberapa faktor-faktor risiko penyebab yang dapat
mengakibatkan stomatitis diantaranya:
 Keadaan gigi pasien, karena higiene gigi yang buruk sering dapat menjadi
penyebab timbulnya sariawan yang berulang.
 Luka tergigit, bisa terjadi karena bekas dari tergigit itu bisa menimbulkan ulser
sehingga dapat mengakibatkan stomatitis aphtosa.
 Mengkonsumsi air dingin atau air panas.
 Alergi, bisa terjadi karena kenaikan kadar IgE dan keterkaitan antara beberapa
jenis makanan dan timbulnya ulser.
 Faktor herediter bisa terjadi, misalnya kesamaan yang tinggi pada anak
kembar, dan pada anak-anak yang kedua orangtuanya menderita stomatitis
aphtosa.
 Kelainan pencernaan
 Gangguan hormonal (seperti sebelum atau sesudah menstruasi)
 Pada penderita yang sering merokok
 Pada penggunaan obat kumur yang mengandung bahan-bahan pengering
(missal : alkohol) harus dihindari
 Kekurangan vitamin C
 Kekurangan vitamin B dan zat besi (Donna L.Wong dkk,2008).
c. Manifestasi klinis
 Masa prodromal atau penyakit 1 – 24 jam : Hipersensitive dan perasaan
seperti terbakar
 Stadium Pre Ulcerasi : Adanya udema atau pembengkangkan setempat
dengan terbentuknya makula pavula serta terjadi peninggian 1- 3 hari.
 Stadium Ulcerasi : Pada stadium ini timbul rasa sakit terjadi nekrosis
ditengahtengahnya, batas sisinya merah dan udema tonsilasi ini bertahan
lama 1 – 16 hari. Masa penyembuhan ini untuk tiap-tiap individu berbeda
yaitu 1 – 5 minggu (Cawson & Odell, 2008).

d. Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinis radang mukosa mulut dapat diklasifikasikan menjadi 4
bentuk klinis (Wray dkk., 2003).

104
 Bentuk minor Sebagian besar pasien (85%) menderita ulser bentuk minor,
yang ditandai dengan ulser bentuk bulat atau oval, disertai rasa nyeri
dengan diameter antara 2−4 mm, kurang dari 1 cm dan dikelilingi oleh
pinggiran yang eritematous. Ulser ini cenderung mengenai daerah non
keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal, dan dasar mulut. Ulsernya
bisa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri dari empat sampai lima
dan menyembuh dalam waktu 7−14 hari tanpa disertai pembentukan
jaringan parut.
 Bentuk mayor Radang mukosa mulut tipe mayor dijumpai pada kira-kira
10% penderita, ulser bentuk mayor ini lebih besar dari bentuk minor.
Ulsernya berdiameter 1−3 cm, sangat sakit dan disertai dengan demam
ringan, terlihat adanya limfadenopati submandibula. Ulser ini dapat terjadi
pada bagian mana saja dari mukosa mulut termasuk daerah berkeratin.
Berlangsung selama 4 minggu atau lebih dan sembuh disertai pembentukan
jaringan parut.
 Bentuk Herpetiformis Bentuk Herpetiformis mirip dengan ulser yang
terlihat pada infeksi herpes primer, sehingga dinamakan herpetiformis.
Gambaran yang paling menonjol adalah adanya ulser kecil berjumlah
banyak dari puluhan hingga ratusan dengan ukuran mulai sebesar kepala
jarum (1−2 mm) sampai gabungan ulser kecil menjadi ulser besar yang
tidak terbatas jelas sehingga bentuknya tidak teratur.
 Bentuk Sindrom Behcet Sindrom behcet merupakan sindrom yang
mempunyai tiga gejala yaitu aphthae dalam mulut, ulser pada genital dan
radang mata. aphthae dalam mulut dari sindrom behcet mirip dengan
radang mukosa mulut dan biasanya merupakan gejala awal dari sindrom
behcet
e. Penatalaksanaan
 Hindari makanan yang semakin memperburuk kondisi seperti cabai
 Sembuhkan penyakit atau keadaan yang mendasarinya.
 Pelihara kebersihan mulut dan gigi serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup,
terutama
 Makanan yang mengandung vitamin 12 dan zat besi.
 Hindari stress

105
 Pemberian Atibiotik
 Harus disertai dengan terapi penyakit penyebabnya, selain diberikan
emolien topikal, seperti orabase, pada kasus yang ringan dengan 2 – 3
ulcersi minor. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan kortikosteroid,
seperti triamsinolon atau fluosinolon topikal, sebanyak 3 atau 4 kali sehari
setelah makan dan menjelang tidur. Pemberian tetraciclin dapat diberikan
untuk mengurangi rasa nyeri dan jumlah ulcerasi. Bila tidak ada responsif
terhadap kortikosteroid atau tetrasiklin, dapat diberikan dakson dan bila
gagal juga maka di berikan talidomid.
 Terapi : Pengobatan stomatitis karena herpes adalah konservatif. Pada
beberapa kasus diperlukan antivirus. Untuk gejala lokal dengan kumur air
hangat dicampur garam (jangan menggunakan antiseptik karena
menyebabkan iritasi) dan penghilang rasa sakit topikal. Pengobatan
stomatitis aphtosa terutama penghilang rasa sakit topikal. Pengobatan
jangka panjang yang efektif adalah menghindari faktor pencetus (Marwati,
2004).
 Terapi non farmakologis
Konsumsi buah yang mengandung vitamin c, vitamin B12 1000 mcg,
banyak minum, hindari makan makanan yang panas dan diikuti dengan
minum minuman dingin, OR yang rutin dapat membantu meningkatkan
daya tahan tubuh, sehingga menurunkan resiko terjadinya sariawan yang
disebabkan penurunan system imun (Marwati, 2004).
Leukoplakia

Definisi
Leukoplakia oral merupakan patch atau plak putih yang tidak dapat ditandai secara klinis atau
patologis seperti penyakit lainnya. Dalam catatan penjelasan telah secara eksplisit
menyatakan bahwa istilah leukoplakia tidak terkait dengan tidak adanya atau adanya displasia
epitelial (Wall,2015)
Etiologi
Etiologi dari leukopelakia dianggap multifaktorial, tetapi merokok dinilai sebagai faktor yang
sering terlibat. Ini jauh lebih umum di kalangan perokok daripada di kalangan nonperokok.
Alkohol dianggap sebagai faktor risiko independen tetapi data definitif masih kurang. Ada

106
hasil studi yang bertentangan terkait dengan kemungkinan peran infeksi papillomavirus pada
manusia. Sebagai leukoplakia dapat seperti berbagai macam lesi, dalam hal kemungkinan
faktor penyebab diduga seperti restorasi gigi, iritasi mekanis (Parlatescu,2014).

Patofisiologi
Leukoplakia oral bervariasi antara tidak ada displasia dan karsinoma. Displasia
mencerminkan perubahan histologis yang diikuti oleh hilangnya keseragaman atau struktur
sel epitel. Ini dapat dikaitkan dengan proliferasi sel yang terganggu atau pematangan yang
tidak teratur (Parlatescu,2014). Dasar perubahan molekular pada leukoplakia sampai saat ini
masih belum diketahui. Namun, beberapa data dari hasil penelitian pada premaligna
leukoplakia membuktikan bahwa perubahan epitel pada penyakit ini disebabkan oleh
transformasi displastik. Perubahan patologi yang utama pada leukoplakia diperlihatkan oleh
diferensiasi epitel yang abnormal dengan peningkatan permukaan keratinisasi menghasilkan
penampakan mukosa yang putih. Hal ini diikuti pula oleh penebalanpada epitelium, bahkan
epitel bisa menjadi atrofi atau akantosis (perubahan lapisantanduk). Banyak penelitian
memperlihatkan adanya perubahan genetika akan mempengaruhiperubahan pada ekspresi gen
keratin, perubahan siklus sel, dan peningkatan ekspresisel yang kehilangan sifat
heterozigotnya. Stres oksidatif dan kerusakan DNA akibatproduk nitrogen reaktif, seperti
induksi nitrit oksida dan mekanisme inflamasi, juga memiliki implikasi pada leukoplakia dan
transformasinya dari displasia menjadi karsinoma. enelitian pada penanda molekular
memperlihatkan bahwa lesi jinak meningkat pada sel yang telah mengalami cacat pada sel
p53 dan pada antigen proliferation marker dan proliferating cell nuclear (Parlatescu,2014).

Klasifikasi
Banyaknya jenis, warna dan bentuk leukoplakia, serta perbedaan stadium leukoplakia dari
jinak menjadi ganas menyebabkan diperlukannya pengklasifikasian leukoplakia agar
diagnosis dan rencana. Klasifikasi leukoplakia bedasarkan gambaran klinisnya terdiri dari:
a. Homogeneous leukoplakia, disebut juga leukoplakia simpleks. Berupa lesi berwarna
keputih- putihan dengan permukaan rata, licin atau berkerut, dapat pula beralur atau berupa
suatu peninggian dengan pinggiran yang jelas.
b. Non-Homogeneous atau heterogenous leukoplakia, terdiri dari:
1) Eritroleukoplakia, merupakan suatu bercak merah dengan daerah – daerah leukoplakia
yang terpisah - pisah dan tidak dapat dihapus.

107
2) Eukoplakia nodular, berupa lesi dengan sedikit penojolan membulat, berwarna merah dan
putih sehingga tampak granula - granula atau nodul - nodul keratotik yang kecil tersebar
pada bercak - bercak atrofik dari mukosa. Saat ini lesi sudah dianggap menjadi ganas. Karena
biasannya dalam waktu singkat akan berubah menjadi tumor ganas seperti karsinoma sel
skuamosa, terutama bila lesi ini terdapat di lidah dandasar mulut.
3) Leukoplakia verukosa, berupa lesi yang tumbuh eksofitik tidak beraturan. Leukoplakia ini
berasal dari hiperkeratosis yang kemudian meluas multipel, tidak mengkilat dan membentuk
tonjolan dengan keratinisasi yang tebal, seringkali erosif yang dinamakan leukoplakia
verukosa proliferatif (Parlatescu,2014).
Manifestasi Klinis
Leukoplakia ditandai dengan adanya plak putih yang tidak bisa digolongkan secaraklinis atau
patologis ke dalam penyakit lainnya. Leukoplakia merupakan lesiprakanker yang paling
banyak, yaitu sekitar 85% dari semua lesi prakanker.Lesi ini sering ditemukan pada daerah
alveolar, mukosa lidah, bibir, palatum, daerahdasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal,
serta mandi bular alveolar ridge.Bermacam-macam bentuk lesi dan daerah terjadinya lesi
tergantung dari awalterjadinya lesi tersebut, dan setiap individu akan berbeda. Lesi awal
dapat berupa warna kelabu atau sedikit putih yang agak transparan,berfissura atau keriput dan
secara khas lunak dan datar. Biasanya batasnya tegastetapi dapat juga berbatas tidak
tegas.Lesi dapat berkembanga dalam minggu sampaibulan menjadi tebal, sedikit meninggi
dengan tekstur kasar dan keras. Lesi inibiasanya tidak sakit, tetapi sensitif terhadap sentuhan,
panas, makanan pedas daniritan lainnya (Parlatescu,2014).

Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan leukoplakia yang terpenting adalah mengeliminir faktor
predisposisi !ang meliputi penggunaan tembakau (rokok), alkohol, memperbaiki higiene
mulut, memperbaiki maloklusi dan memperbaiki gigi tiruan yang letaknya kurang baik.
Penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan eksisi secara
“chirurgis” atau pembedahan terhadap lesi yang mempunyai ukuran kecil atau agak besar.
Bila lesi telah mengenai dasar mulut dan meluas, maka pada daerah yang terkena perlu
dilakukan “stripping” pemberian vitamin 6 kompleks dan vitamin A dapat dilakukan sebagai
tindakan penunjang umum, terutama bila pada pasien tersebut ditemukan adanya faktor
malnutrisi vitamin. Peranan vitamin A dalam nutrisi erat kaitannya dengan pembentukan
substansi semen intersellular yang penting untuk membangun jaringan penyangga, karena
fungsi vitamin A menyangkut berbagai aspek metabolisme antara lain sebagai elektron
108
transport. Pemberian vitamin A dalam hubungannya dengan lesi yang sering ditemukan
dalam rongga mulut adalah untuk peralatan suportif melalui regenerasi jaringan, sehingga
mempercepat waktu penyembuhan peralatan yang lebih spesifik sangat tergantung pada hasil
pemeriksaan histopatologi (Parlatescu,2014).

Terapi non farmakologis


a. Kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus dilakukan.
b. Sikat gigi dan penggunaan dental floss atau benang gigi merupakan suatu keharusan,
c. Jangan lupa untuk membersihkan lidah setelah makan dan kunjungi dokter gigi secara
teratur.
d. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang lidah untuk terjadi
iritasi atau agent sensitisasi. (misalnya makanan yang panas dan beralkohol).
e. Hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau jenis apapun (Marwati, 2004).

Glossopyrosis

Definisi
Sindrom mulut Burning didefinisikan sebagai sindrom nyeri orofasial kronis, tanpa bukti lesi
mukosa dan tanda-tanda klinis penyakit atau kelainan laboratorium (Guidice, 2008).

Etiologi
Diklasifikasikan dalam empat kategori (Mubeen dan Ohri,2011) :
a. Faktor Lokal :
 Gigi tiruan yang tidak sesuai
 Iritasi kimia,
 Reaksi alergi terhadap bahan gigi
 Disfungsi saliva : saliva yang viskositanya meningkat dapat menyebabkan saliva tipis
dan tidak kontinyu film yang menutupi mukosa mulut yang memicu sensasi mulut
kering dan menyebabkan reseptor lingual menjadi lebih terkena rangsangan

b. Faktor sistemik
 Perubahan hormonal
 Infeksi virus

109
 Diabetes melitus
 Anemia, nutrisi, dan gangguan hematologi
 Hipotirodisim
 Obat-obatan

c. Faktor psikogenik
Pasien mengalami depresi, gangguan mood dan kecemasan. Stres menyebabkan produksi
radikal bebas dan peningkatan kadar kortisol yang dapat menurunkan standar T 3 untuk
membentuk T3 terbalik yang memiliki tindakan yang berlawanan dengan itu T 3 diperlukan
untuk fungsi rasa . Kurangnya rasa sakit saat tidur dan meningkat gejala selama hari hanyalah
indikator sindrom itu mungkin memiliki asal-usul psikologis
d. Faktor neurogenis
Studi terbaru telah menunjukkan disfungsi berbagai saraf kranial yang terkait dengan sensasi
rasa sebagai kemungkinan penyebab glossopyrosis. Persepsi abnormal intensitas rentang rasa
sakit, perubahan dalam transmisi dan gangguan saraf sistem microcirculatory neurovascular
menyetujui pandangan neuropatik pada glossopyrosis. Kadar serum IL6, sitokin
neuroprotektif ditemukan rendah dalam glossopyrosis . Tindakan neuroprotektif dari IL6
pada jalur nociceptive trigeminal mungkin melemah karena rendahnya kadar IL6 pada
glossopyrosis yang dapat memperburuk hiperalgesia pada pasien-pasien ini.

Patofisiologi
Glossopyrosis mengikuti jalur gangguan nyeri intraoral kronis (Guidice). Reseptor yang ada
dalam rongga mulut tertarik dengan stimulus dan dorongan ditularkan melalui Iklan dan
secara khusus melalui tipe C ke ganglion sensorik trigeminal, dari sini serat naik sebagai
traktus trigeminal khusus ke tanduk dorsal sumsum tulang belakang. Kemudian neuron orde
kedua dari traktus spinothalmik sangat bersemangat yang melewati ke atas melalui batang
otak ke intalaminar dan nukleus ventrolateral thalamus. Akhirnya serabutserabut ester ke
korteks somatosensori dan impuls diresapi sebagai rasa sakit terbakar yang menyebabkan
penderitaan pada pasien. Studi terbaru menunjukkan bahwa pasien dengan glossopyrosis
memiliki neuropati sensorik serabut saraf trigeminal yang mempengaruhi lidah, ditandai
dengan hilangnya serabut saraf epitel dan sub-papilaris yang signifikan. Temuan ini
menyerupai gambaran "sindrom kaki terbakar" yang terkait dengan hilangnya serabut saraf
epidermal. Demikian pula, pasien glossopyrosis menunjukkan penurunan kepadatan serabut
saraf unmyelinated dalam epitel serta gangguan aksonal difus yang ditunjukkan oleh studi

110
histokimia. Distribusi dan kualitas gejala sensorik yang melibatkan dua pertiga anterior lidah
secara bilateral. wilayah yang tersisa dipersarafi oleh trigeminal saraf bahkan pada pasien
dengan penyakit lama berdiri, menunjukkan bahwa BMS disebabkan oleh axonopathy primer
daripada neuronopati. Meski demikian, selektif degenerasi neuron sensorik berdiameter kecil
tidak dapat dikecualikan (Mubeen dan Ohri,2011).

Manifestasi Klinis
Ada banyak gejala yang terkait dengan glossopyroris yang umumnya tidak sesuai dengan
batas anatomi. Ujung lidah adalah lokasi yang paling umum (71%), diikuti oleh bibir (50%),
batas lateral lidah (46%) dan palatum (46%) (Miyamoto & Zicardi, 1998). mengembangkan
sistem klasifikasi untuk mengelompokkan berbagai macam gejala :
a. Glossopyrosis tipe 1: didefinisikan sebagai tidak adanya gejala saat bangun, dengan
peningkatan gejala secara bertahap seiring berjalannya hari.
b. Glossopyrosis tipe 2: menggambarkan pembakaran sebagai siang dan malam hari ini.
c. Glossopyrosis tipe 3: pasien ditandai sebagai orangorang dengan hari-hari remisi yang
mengikuti tidak ada pola khusus. Gejala yang paling umum dari glossopyrosis adalah rasa
sakit dan terbakar di mukosa mulut, xerostomia (mulut kering), dysgeusia (perubahan rasa).
Gejala terkait lainnya adalah perubahan dalam kebiasaan makan, gangguan tidur, sakit
kepala, gejala menopause yang berat, perubahan suasana hati, iritabilitas, kecemasan, depresi
dan penurunan keinginan untuk bersosialisasi (Mubeen dan Ohri,2011)

Penatalaksanaan
Glossopyrosis biasanya diberikan obat dyclonine 0,5% secara topikal, diphenhydramine
0,5%, lidokain dan analgesik lainnya. Terapi untuk glossopyrosis melibatkan penggunaan
secara terpusat obat bertindak seperti untuk kondisi nyeri neuropatik lainnya. Studi umumnya
mendukung penggunaan dosis rendah benzodiazepin, antikonvulsan, dan trisiklik
antidepresan. Studi mendukung penggunaan dosis rendah (0,25-0,75 mg) clonazepam atau
antidepresan trisiklik (10-40 mg), termasuk amitryptyline, desipramine, nortryptalin,
imipramine dan clomipramine. Clonazepam adalah benzodiazepine yang digunakan baik
secara topikal atau sistemik yang tampaknya memiliki khasiat yang sangat baik (Mubeen dan
Ohri,2011).

111
Terapi non farmakologi
a. Kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus dilakukan.
b. Sikat gigi dan penggunaan dental floss atau benang gigi merupakan suatu keharusan,
c. Jangan lupa untuk membersihkan lidah setelah makan dan kunjungi dokter gigi secara
teratur.
d. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang lidah untuk terjadi
iritasi atau agent sensitisasi. (misalnya makanan yang panas dan beralkohol).
e. Hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau jenis apapun.

Glossitis

Definisi
Glossitis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah yang ditandai dengan
terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah kemerahan yang
mengkilat.Glossitis bisa akut atau kronis. Penyakit ini juga merupakan kondisi murni dari
lidah itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit tubuh yang penampakannya ada pada
lidah. Biasanya kondisi ini bisa menyerang pada semua tingkatan usia. Tetapi nampaknya
kelainan ini sering menyerang pada laki- laki dibandingkan pada wanita.

Etiologi
Penyebab glossitis bermacam-macam, bisa lokal dan sistemik. Penyebab glossitis dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Penyebab Lokal - bakteri dan infeksi virus, - trauma atau iritasi mekanis dari sesuatu yang
terbakar, gigi atau peralatan gigi - iritasi lokal seperti dari tembakau, alkohol dan makanan
yang pedas ataupun makan yang berbumbu, - alergi dari pasta gigi dan obat kumur.
2. Penyebab Sistemik - kelainan nutrisi, penyakit kulit dan infeksi sistemik, - keadaan
kekurangan gizi (malnutrisi) yaitu kurangnya asupan vitamin B, - penyakit kulit seperti oral
lichen planus, erythema multiforme, aphthous ulcers, and pemphigus vulgaris, - infeksi
seperti syphilis and human immunodeficiency virus (HIV). Kadangkala penyebab dari
glossitis ini adalah keturunan. Suatu pemeriksaan yang mendalam merupakan hal yang perlu
dilakukan guna untuk mendapatkan penyebab dari glossitis ini secara pasti. Kadangkala bila
penyebabnya tidak jelas dan tidak ada kemajuan setelah dilakukan perawatan, maka perlu
dilakukan biopsi. Pada beberapa kasus, glositis akan menyembuh pada pasien dengan rawat

112
jalan.Rawat inap diperlukan bila pembengkakan pada lidah ini membesar dan menghalangi
jalannya udara yang kita hisap

Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari glossitis ini bervariasi oleh karena penyebab yang bervariasi pula dari
kelainan ini. Tanda dasar kelainan ini adalah bahwa lidah menjadi berubah warnanya dan
terasa nyeri. Warna yang dihasilkan bervariasi dari gelap merah sampai dengan merah terang.
Lidah yang terkena mungkin akan terasa nyeri dan menyebabkan sulitnya untuk mengunyah,
menelan atau untuk berbicara. Lidah yang mempunyai kelainan ini permukaannya akan
terlihat halus. Terdapat beberapa ulserasi atau borok yang terlihat pada lidah ini. Kondisi ini
biasanya memperlihatkan gejala rasa perih, sakit, terbakar, atau panas pada permukaan lidah.
Glossitis dapat disebabkan oleh berbagai hal dan terapi yang diberikan sangat tergantung dari
penyebab utamanya.

Klasifikasi
1. Idiopathic Glossitis Inflamasi pada membran mukosa dan otot lidah secara keseluruhan.
2. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis) Ditandai dengan kondisi lidah yang kehilangan rasa
karena degenerasi ujung papil (bagian menonjol pada selaput yang berlendir di bagian atas
lidah). Perasaan lidah terbakar yang menyebar ke bagian mulut lain yang biasanya dipicu
oleh adanya ulserasi. Lidah terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian lidah maupun
hanya sebagian kecil. Penyebab yang paling sering biasanya adalah kekurangan zat besi. Jadi
banyak didapatkan pada penderita anemia.
3. Herpetic Geometric Glossitis Terdapat retakan pada dorsum lidah yang bercabang-
cabang.
4. Benign Migratory Glossitis Ditandai dengan eritema yang dikelilingi garis putih
serpiginosa dan hiperkeratotik.
5. Median Rhomboid Glossitis Ditandai dengan kemerahan dan hilangnya papillae di bagian
dorsum lidah di garis tengah di depan papillae sirkumvalata.

Pencegahan
a. Kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus dilakukan.
b. Sikat gigi dan penggunaan dental floss atau benang gigi merupakan suatu keharusan,
c. jangan lupa untuk membersihkan lidah setelah makan.
d. kunjungi dokter gigi secara teratur.
113
e. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang lidah untuk terjadi
iritasi atau agent sensitisasi. Bahan bahan ini termasuk makanan yang panas dan beralkohol.
f. hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau dalam jenis apapun.
g. Sebaiknya segera konsultasi ke dokter bila gangguannya bertambah parah. Bila lidah sudah
mengkalangi jalan nafas oleha karena proses enlargement, bila hal ini terjadi, mutlak
diperlukan perawatan yang lebih intensif

Penatalakssanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Pengobatan glositis tergantung
pada penyebabnya. Antibiotik digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri. Bila penyebabnya
adalah defisiensi besi, maka diperlukan supplement yang memadai yaitu harus diberikan zat
besi yang merupakan ciri defisiensi utama dari glossitis ini. Penatalaksanaan pembengkakan
dan rasa tidak nyaman di mulut dilakukan dengan pemberian obat-obatan secara oral. Obat
kumur yaitu campuran setengah teh baking soda dan dicampur dengan air hangat akan
membantu keadaan ini. Bila pembengkakan dirasakan parah, bisa diberikan kortikosteroid.
Topikal kortikosteroid juga mungkin berguna untuk penggunaan sesekali misalnya.
triamcinolone dalam pasta gigi yang diterapkan beberapa kali sehari ketika diperlukan.
Kebersihan mulut yang baik sangat penting. Hindari iritasi seperti tembakau, panas, pedas
makanan dan alkohol.

Terapi Farmakologi
1. Vitamin B
Defisiensi vitamin B, selain defisiensi vitamin jarang terjadi dan biasanya diobati dengan
sediaan berisi tiamin (B1), riboflavin (B2) dan nikotinamid. Vitamin lain atau zat yang secara
tradisional digolongkan sebagai kelompok vitamin B kompleks seperti asam amino-benzoat,
biotin, kolin, inositol, dan asam pantotenat atau pantotenol dapat disertakan dalam sediaan
vitamin B tapi tidak ada bukti manfaatnya.
Defisiensi yang berat pada keadaan ensefalopati Wernicke dan psikosis Korsakoff, yang
terlihat pada alkoholisme kronis, pengobatan awal terbaik adalah dengan pemberian
parenteral vitamin B yang dilanjutkan dengan pemberian oral jangka panjang; namun ada
laporan kejadian anafilaksis setelah pemberian sediaan parenteral ini. Seperti vitamin lain
dalam kelompok vitamin B, defisiensi piridoksin (vitamin B6) jarang terjadi, tetapi dapat
timbul selama terapi isoniazid dan ditandai oleh neuritis perifer. Dosis tinggi piridoksin
diberikan pada beberapa kelainan metabolisme, seperti hiperoksaluria, dan juga digunakan
114
pada anemia sideroblastik. Terdapat bukti piridoksin dengan dosis tidak melebihi 100 mg per
hari dapat bermanfaat pada sindrom pra haid. Penggunaannya pada kelainan lain telah
dilakukan, tetapi belum banyak bukti ilmiah yang ditemukan. Pemberian dosis yang
berlebihan dapat menginduksi efek toksik. Beberapa kelainan mitokondria pada anak ada
yang memberikan respon terhadap pemberian vitamin B, tetapi memerlukan penanganan oleh
dokter spesialis. Tiamin digunakan pada penyakit maple syrup urine, mitochondrial
respiratory chain defects dan bersama dengan riboflavin digunakan pada asidosis laktat
kongenital. Riboflavin juga digunakan pada keadaan asidemia glutarat dan defisiensi
oksidase sitokrom; biotin digunakan pada kelainan karboksilase. Asam nikotinat menghalangi
sintesis kolesterol dan trigliserida. Asam folat dan vitamin B12 digunakan pada pengobatan
anemia megaloblastik. Asam folinat (tersedia sebagai kalsium folinat) digunakan dalam
terapi sitotoksik (BPOM RI).

Aspek Informasi Obat Pustaka


Komposisi Vitamin B kompleks (DIH 17th Ed)
Indikasi
Suplemen untuk digunakan dalam sindrom wasting pada gagal ginjal kronis, uremia,
gangguan fungsi metabolisme ginjal, dialisis; berlabel untuk penggunaan OTC sebagai
suplemen diet (DIH 17th Ed)
Dosis
Suplemen diet : oral : satu kali sehari satu tablet
Pasien dengan gangguan hati : oral : satu tablet atau kapsul satu kali sehari diminum diantara
makan. Digunakan setelah cuci darah (DIH 17th Ed)
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap komponen formulasi (DIH 17th Ed)
EfekSamping
Toksisitas logam berat dapat terjadi pada overdosis, terutama ketika dicerna oleh anak-anak;
zat besi adalah penyebab utama keracunan fatal pada anak-anak. (DIH 17th Ed )
Perhatian Kehamilan kategori A (DIH 17th Ed)
Contoh obat dagang :

1. Alinamin/Alinamin-F
-Komposisi : alinamin Fursultiamine HCl, alinamin-F Fursultiamine HCl (& vit B2 5mg
untuk tablet)
115
- Indikasi : sebagai suplemen untuk memenuhi kebutuhan harian vit B1 & B2. Alinamin –F
inj pengobatan defisiensi vitamin B1seperti beri-beri dan neuritis.
- Dosis : tablet alinamin 1tan/hari. Tablet alinamain-F 1 tab/hari. Amp. Alinamin-F 1-2 amp
1-2x/hari secara IV perlahan - Pemberian : sesudah makan
- Sediaan : alinamin tab 5 mg, alinamin-F tab, alinamin-F injeksi (MIMS ed 2016) .

Vitamin A
Vitamin A adalah nama umum bagi senyawa retinoida yang memiliki khasiat biologis dari
retinol.sebagai ester zat ini terutama terdapat dalam pangan hewani, seperti susu dan produk-
produknya, kuning telur, hati dan dengan kadar tinggi dalam minyak ikan. Kebutuhan sehari-
hari vitamin A sebagian dipenuhi oleh karotenoida., yakni komplesks dari 2 molekul retinol
yang dalam usus diuraikan menjadi senyawa aktif. Provitamin A terdapat dalam banyak
sayuran hijau tua, berbagai jenis kol dan sebagai pigmen kuning-jingga dari berbagai buah
dan sayuran, anatara lain wortel dan tomat, lemak susu dan kuning telur (Tan Tjay,2015).

1. Retinol Resorpsi di usus cepat dan praktis sempurna, kecuali bila dosisnya terlampau
tinggi. Resorpsinya lebih cepat dalam bentuk larutan. Zat ini terikat dan ditranpor dengan
RBP (Retional Binding Protein), sebagian dioksidasi menjadi retinal dan asam retinoat, yang
bersama glukuronidanya diekskresi lewat kemih dan tinja. Sebagian retinol ditimbun dalam
hati yang cukup bagi kebutuhan 7-8 bulan. Vitamin A penting bagi sintesis rodopsin, suatu
pigmen fotosensitif yang terurai oleh cahaya dan memungkinkan kita untuk melihat dalam
keadaan gelap. Dalam jaringan vitamin A mensintesis RNA, glukoprotein dan kortokosteroid,
serta berperan pada keutuhan selsel epitel dan mukosa. Pada anak-anak vitamin A
menstimulasi pertumbuhan tulang (Tan Tjay,2015).
2. Karotenoida
Karotenoida adalah pigmen alamiah kuning, jingga dan merah yang terdapat dalam banyak
sayuran, buah-buahan dan bunga. Dikenal lebih dari 100 senyawa, antara lain 21 zat yang
terdapat dalam darah manusia yaitu alfa-, beta- dan gamma-karoten,lycopen, serta derivat –
OH dari beta-karoten. Kebutuhan tubuh adalah 100-150 mg sehari sebagai alfa/beta-karoten
dan lycopen (Tan Tjay,2015).
3.Retinoida
Retinoida adalah derivat retinol yang khusus digunakan pada masalah kulit, anatara lain pada
acne, psoriasis dan beberapa jenis kanker kulit, juga secara kontroversial pada ichtyosis dan
kerut muka. Wanita hamil tidak boleh menggunakan berhubungan sifat teratogennya. Wanita
116
yang akan menjalani terapi oral dengan obat ini harus menjalani antikonsepsi yang dimulai
minamal sebulan sebelum terapi sampai minimal 2 tahun setelah penghentian (Tan
Tjay,2015).

Aspek InformasiObat Pustaka


Komposisi Vitamin A (DIH 17th Ed)
Indikasi
Pengobatan dan pencegahan defisiensi vitamin A; rute parenteral (I.M.) diindikasikan ketika
pemberian oral tidak layak atau ketika penyerapan tidak mencukupi (sindrom malabsorpsi)
(DIH 17th Ed)
Dosis
Laki-laki : 1000 mcg , wanita : 800 mcg * mcg retinol equivalent (0.3 mcg retinol = 1 unit
vitamin A) . Sindrom malabsorpsi (profilaksis): oral: 10.000-50.000 unit / hari produk larut
air Suplemen diet: Oral: 4000-5000 unit / hari (DIH 17th Ed)
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap vitamin A atau komponen lain dari formulasi; hypervitaminosis A;
kehamilan (dosis melebihi RDA) (DIH 17th Ed)
EfekSamping
Parenteral vitamin A: Pada bayi berat lahir rendah, polisorbat telah dikaitkan dengan
trombositopenia, disfungsi ginjal, (DIH 17th Ed)
hepatomegali, kolestasis, asites, hipotensi, dan asidosis metabolik (sindrom E-Ferol).
Perhatian
Kehamilan kategori A DIH 17th Ed
Contoh obat dagang :

1. Calcium AD
- Komposisi : Ca gluconate 50 mg, dicalcium phosphate 150mg, vitamin A 300 IU, vitamin
D 100 UI
- Indikasi : pencegahan dan terapi defisiensi Ca, vit A dan vit D sebagai suplemen pada
wanita hamil dan menyusui. Untuk pertumbuhan tulang dan gigi
- Dosis : tablet kunyah 1-2 tab 2x/hari - Pemberian : setelah makan
- KI : hiperkalsemia dan hiperkasiuria, batu ginjal, gagal ginjal berat
- Perhatian : hiperkasiuria ringan, gagal fungsi ginjal, riwayat batu ginjal, dan gagal ginjal
berat
117
- Efek samping :konstipasi, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria, gangguan GI ringan
- Interaksi : meningkatkan efek kardiak dengan digitalis glikosida. Menghambat pnyerapan
tetrasiklin
- Sediaan : tablet kunyah (MIMS edisi 2016)

2.Vitamin C
Vitamin C banyak terdapat pada sayuran khususnya kol, paprika, perseli dan asperges, serta
buah-buahan terutama dari jenis citrus. Dalam tubuh terdapat di banyak jaringan, termasuk
dalam darah dan leukosit. Vitamin C mudah dioksidasi dan diinaktifkan (oksidasi) bila
makanan dimasak terlalu lama. Khasiat terpenting pada dosis terapeutik yang cukup tinggi
adalah khasiat antivirus dan antibakteri, yang diperkirakan berdasarkan sifat antioksidanya.
Efeknya sebagai injeksi askorbat-Ca cepat sekali, mampu menetralkan FR yang selalu bnyak
terdapat pada penyakit infeksi. Semakin parah infeksinya semakin tinggi dosisnya.
Fungsi vitamin C adalah kompleks dan yang terpenting adalah pembentukam kolagen, yaitu
protein bahan penunjang utama dalam tulang/tulang rawan dan jaringan ikat. Khasiat lain
berdasarkan efek stimulasi vitamin C terhadap pengubahan prolin menjadi hidroksiprolin.
Vitamin C banyak menstimulasi banyak proses metabolisme dengan sistem redoksnya. Yaitu
mudah dioksidasi dan direduksi kembali dengan bantuan glutation. Pada reaksi redoks
vitamin C berfungsi sebagai donor atau akseptor elektron. Beberapa reaksi pada vitamin C
dioksidasi adalah hidroksilasi dari prolin, dopamin, dan hormon steroid, juga perombakan
tirosin. Reaksi yang direduksi oleh vitamin C adalah pengubahan triptofan menjadi serotonin.
Vitamin C juga berperan pada sintesis kortikosteroid dari kolesterol dari anak ginjal. Vitamin
C dapat digunakan untuk :
1. Salesma (common cold)
2. Antilipemik
3. Mempercepat penyembuhan borok dan luka
4. Kanker
5. Memperbaiki fungsi otot
6. Penyakit pfeiffer (Tanj Tjay,2015).
Efek samping : akibat penggunaan jangka panjang dengan dosis diatas 1,5 g sehari dapat
terjadi diare. Terjadinya batu ginjal oksalat dan urat pada dosis diatas 1-10 g sehari. Bila
terapi dihentikan mendadak dapat menjadi rebound scorbut sebagai reaksi, karena sistem
perombakan vitamin C telah sangat dirangsang oleh dosis tinggi. Terdapat lapoan jika dosis

118
diatas 500 mg sehari dapat merusak DNA: baseDNA guanosin dilindungi terhadap radikal
oksigen (Tan Tjay,2015).
Interaksi : vitamin C meningkatkan resorpsi besi, sedangkan vitamin B12 diperlemah
efeknya sehingga dapat terjadi defisiensi. Dosis diatas 10 g sehari memperlambat efek
antikoagulansia oral (Tan Tjay,2015).
Dosis : pada defisiensi 2 dd 250-500 mg p.c., bayi 100 mg sehari, profilaksis 1001000 mg
sehari. Bila lambung peka terhadap asam, sebaiknya menggunakan garam Ca atau Mg-
askorbat yang bereaksi netral. Terapi alternatif penyakit pfeiffer: 3-4 dd 1000 mg selama 7-10
hari (Tan Tjay,2015).
Contoh obat dagang :
1. Amoropo plus
- Komposisi : beta karoten 6 mg, vitamin C 100 mg, vitamin E 25 mg, lycopene 6 mg
- Indikasi : suplemen vitamin - Dosis : 1 kapsul 1-2x/hari
- Pemberiang : setelah makan - Sediaan : kapsul (MIMS edisi 2016)
2. Caldece
- Komposisi : vitamin B6 15 mg, vitamin C 1000 mg, vitamin D 300 IU, Ca carbonate 625
mg
- Indikasi : defisiensi Ca, vitamin B,C dan Dterutama pada wanita hamil dan anak pada masa
pertumbuhan. Membantu memelihara kesehatan tulang.
- Dosis: 1 tablet eff/ hari - Pemberian : setelah makan larutkan obat dalam 200 ml air - Kontra
Indikasi : hipervitaminosis vitamin D, hiperkalsemia, hiperkalsiuria, gagal ginjal stadium
akhir.
- Perhatian : gangguan ginjal, pasien yang sedang mendapat terapi levodopa.
- Interaksi : mengurangi efek antikoagulan dari warfarin - Sediaan : tablet efferfesen (MIMS
edisi 2016)

4. Golongan Antihistamin
1. Golongan antihistamin Generasi Pertama Antihistamin generasi pertama ini mudah
didapat, baik sebagai obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan,
misalnya untuk pengobatan influensa. Kelas ini mencakup klorfeniramine, difenhidramine,
prometazin, hidroksisin dan lain-lain. Obat-obat golongan ini berkhasiat sedatif terhadap SSP
dan kebanyakan memiliki efek antikolinergis. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena
antihistamin generasi pertama ini memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah
otak sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di selsel otak. Dengan tiadanya histamin
119
yang menempel pada reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa
mengantuk. Selain itu, efek sedatif diperberat pada pemakaian alkohol dan obat antidepresan
misalnya minor tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini harus berhati-hati. Di samping
itu, beberapa antihistamin mempunyai efek samping antikolinergik seperti mulut menjadi
kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia.(Simons,
1994) contoh obat golongan ini adalah: prometazin, oksomemazin, klorfeniramin,
difenhidramin, klemastin (Tavegil), ketotifen (Zaditen).
a) Promethazine
Promedex
Komposisi : per 5 mL mengandung promethazine 5 mg, DMP 5mg, ipecac tinct 0,1mL, GG
50mg, Na citrate 197mg, menthol 1mg
Indikasi : batuk akibat alergi, asma, bronkopneumonia
Dosis : Dws 1-2 sdt 3-4x/hari, anak >4th 1 sdt, anak <4th ½ sdt 1-4x sehari
K indikasi : hipertiroid, hiprtensi
E. samping : gangguan GI mengantuk, pusing, mulut kering. (MIMS, 2011-2012)

b) Oxomemazine
Comtusi
Komposisi : per kapsul/ 5 ml sir mengandung oxomemazine 1.65 mg, GG 33.3 mg
Indikasi : batuk produktif dan non produktif, batuk kaena alergi
Dosis : kaps Dws dan Anak > 12 th 2 kaps 3-4 x sehari. Sirup dewasa dan anak > 12 th (BB
>40kg) 10 ml 4x sehari. Anak 10-12 (BB 30-40 kg) 10 ml 3-4 x sehari, 6-10 thn (BB 20-30
kg) 10 ml 2-3 x shari, 2-6 th (BB 10-20kg) 5 ml 2-3 x sehari
Efek samping : mengantuk, sakit kepala, mual, muntah. (MIMS, 2011-2012)

Oxopect
Komposisi : oxomemazine 1.65 mg, GG 33.3 mg
Indikasi : batuk produktif dan non produktif, batuk kaena alergi
Dosis : dewasa dan anak > 12 th (BB >40kg) 10 ml 4x sehari. Anak 10-12 (BB 3040 kg) 10
ml 3-4 x sehari, 6-10 thn (BB 20-30 kg) 10 ml 2-3 x shari, 2-6 th (BB 10-20kg) 5 ml 2-3 x
sehari
Efek samping : mengantuk, sakit kepala, mual, muntah. (MIMS, 2011-2012)

120
c) Klorfeniramin
Khlorfeniramin maleat adalah golongan alkilamin dari golongan obat anti histamine, obat ini
dapat menetralkan histamin yang dilepaskan oleh tubuh. Obat ini jarang dijual dalam bentuk
tunggal, sering menyebabkan mulut kering, dan gangguan buang air kecil, gejala lainnya
berupa mual, muntah, sehingga obat ini harus dikonsumsi sesudah makan (Tjay dan Raharja,
2007). Klorfeniramin maleat mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari
100,5% C6H19ClN2.C4H4O4, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan dan memiliki
berat molekul 390,67. Klorfeniramin maleat berupa serbuk hablur, putih; tidak berbau,
larutan mempunyai pH antara 4 dan 5, mudah larut dalam air, larut dalam etanol dan
kloroform; sukar larut dalam eter dan dalam benzena (Farmakope IV, 1995). Pemasukan
gugus klor pada posisi para cincin aromatik feniramin maleat akan meningkatkan aktifitas
antihistamin. Berdasarkan struktur molekulnya, memiliki gugus kromofor berupa cincin
pirimidin, cincin benzen, dan ikatan –C=C- yang mengandung elektron pi (π) terkonjugasi
yang dapat mengabsorpsi sinar pada panjang gelombang tertentu di daerah UV (200-400 nm),
sehingga dapat memberikan nilai serapan (Silverstein, 1986;Rohman, 2007).
Poncolin D
Komposisi : per 5 ml mengandung DMP HBr 15 mg, CTM 2mg, ephedrine HCl 8mg, Na
citrate
Indikasi : meredakan batuk persistenberat dan kongesti napas karna flu atau alergi.
Dosis : dewasa 1-2 sdt, anak 6-12 th1sdt, 26 th ½ sdt 2-4x sehari
Efek samping : mengantuk, mental dullness. (MIMS, 2011-2012)

d) Diphenhydramin
Molexdryl
Komposisi : per 5ml mengandung diphenhydramin HCl 12,5mg, ammon Cl 12.5mg, Na
citrate 50 mg, menthol 1mg Indikasi : batuk karena alergi
Dosis : dewasa 1-2 sdt, anak >2thn ½ - 1 sdt 3-4 x sehari
Kontraindikasi : Hipersensitivitas
Efek samping : mengantuk, vertigo, tinitus, lelah, mulut kering. (MIMS, 2011-2012)

e) Klemastin
Tavegyl
Komposisi : Clemastine Hydrogen fumarate
Indikasi : Hay fever, alergi rinopati lain, urtikaria, sengatan gigitan lebah
121
Dosis : Dewasa dan anak >12th 1 tab atau 10 mL sir. Kasus refakter: s/d 6 tab atau 60ml
perhari. Anak 6-12 th 77.5ml atau ½-1 tab, 3-6 th 5ml, 1-3 tahun 2.5-5ml, <1th 1-2.5 m,
diberikan 2x sehari
Efek samping : letih, pusing, mulut kering, mengantuk. (MIMS, 2011-2012) f)

Ketotifen
Intifen
Komposisi : ketotifen hydrogen fumarate
Indikasi : pencegahan jangka panjang asma bronkial
Dosis : dewasa 1 tab 2 kali sehari, anak>3th ½ tab 2 kali sehari
Efek samping : mulut kering, pusing, mengantuk. (MIMS, 2011-2012)
Pehatifen Komposisi : ketotifen hydrogen fumarate
Indikasi : profilaksis asma bronkial
Dosis : dewasa dan anak >3th 1 tab, 1-3 th ½ tab atau ½ sdt 2x sehari.
Efek samping : mulut kering, pusing, mengantuk. (MIMS, 2011-2012)

2. Golongan Histamin Generasi Kedua


Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi pertama,
memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel
otak tetap diisi histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek
mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan dosis yang tinggi untuk
meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk penderita alergi yang tergantung
pada musim. Yang digolongkan dalam antihistamin generasi kedua yaitu astemizol,
terfenadin, dan fexofenadin, akrivastin (Semprex), setirizin, loratidin, levokabastin (Livocab)
dan emedastin (Emadin). (Handley et al, 1998)
a) Terfenadin
Rhinofed
Komposisi : per tab mengandung Pseudoephedrine 30mg, terfenadine 40mg. Per 5 ml
susp mengandung pseudoephedrine 15mg terfenadin 20mg.
Dosis : tab dewasa dan anak > 12 th 1-2 tab 3x sehari. Susp anak <12 th 1 sdt 3xsehari
Indikasi : rinitis alergika, rinitis vasomotor
Kontra indikasi : aritmia dan hipertensi berat
Efek samping : anoreksia, mual, muntah, tidak enak diperut, insomnia, mudah lelah.
(MIMS, 2011-2012)
122
b) Fexofenadine
Fexofed
Komposisi : fexofenadine HCl 60mg, pseudoephedrin HCl 120 mg
Indikasi : meringankan gejala rinitis alergi
Dosis : dewasa dan anak >12 th 1 kaplet 2x sehari
Kontraindikasi : glukoma, hipertensi berat
Efek samping : kejang. (MIMS, 2011-2012)
c) Loratadine obat ini mula-mula mengalami metabolisme menjadi metabolit aktif deskar-
boetoksi loratadin (DCL) dan selanjutnya mengalami metabolisme lebih lanjut. Loratadin
ditoleransi dengan baik, tanpa efek sedasi, serta tidak mempunyai efek terhadap susunan
saraf pusat dan tidak pernah dilaporkan terjadinya kematian mendadak sejak obat ini
diperbolehkan beredar pada tahun 1993. (Brannan et al. 1995)
d) Allohex
Komposisis : loratadin
Indikasi : rinitis alergi seperti bersin, rhinorea, gatal
Dosis : dewasa dan anak > 12 th 1 tab/hari atau 2 sdt perhari. Anak 6-12 th BB>30 kg 1
tab aatu 2 sdt, <30 kg ½ tab atau 1 sdt 1x sehari.
Kontraindikasi : hipersensitivitas
Efek samping : rasa lelah, mulut kering, sakit kepala. (MIMS, 2011-2012)

Alloris
Komposisi : loratadin
Indikasi : rinitis alergi, urtikaria kronik
Dosis : dewasa dan anak >12 th 1 tab/ hari. (MIMS, 2011-2012)

Clarihis
Komposisi : loratadine
Indikasi : rinitis alergika, mata gatal, panas, urtikaria kronik, alergi kulit lain
Dosis : dewasa dan anak >12 th 1 tab/ hari, 6-12 th BB > 30 kg 1 tab perhari, <30 kg ½
tab / hari. (MIMS, 2011-2012)
e) Cetrizine
Cetirizin adalah metabolit karboksilat dari antihistamin generasi pertama hidroksizin,
diperkenalkan sebagai antihistamin yang tidak mempunyai efek sedasi. (dipasarkan pada
Desember 1995). Obat ini tidak mengalami metabolisme, mulai kerjanya lebih cepat dari
123
pada obat yang sejenis dan lebih efektif dala pengobatan urtikaria kronik. Efeknya antara
lain menghambat fungsi eosinofil, menghambatpelepasan histamin dan prostaglandin D2.
Cetirizin tidak menyebabkan aritmia jantung, namun mempunyai sedikit efek sedasi
sehingga bila dibandingkan dengan terfenadin, astemizol dan loratadin obat ini lebih
rendah. (Andry. 1993)

Betarhin
Komposisi : Cetrizine HCl
Indikasi : mengatasi gejala alergi
Dosis : dewasa dan anak >12 th 10mg/hari, atau 1o ml 1x sehari. Anak 6-12 th 5ml 2x
sehari, 2-6 th 5 ml 1x sehari
Kontraindikasi : laktasi
Efek samping : sakit kepala, pusing, mengantuk. (MIMS, 2011-2012)

Cerini
Komposisi : cetrizine HCl
Indikasi : pengobatan rinitis parenial, rinitis alergi, urtikaria
Dosis : dewasa dan anak > 6th 1 kaplet perhari
Efek samping : mengantu, pusing, gelisah, mulut kering. (MIMS, 2011-2012)
3. Golongan Histamin
Generasi ketiga Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin,
norastemizole dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah merupakan metabolit
antihistamin generasi kedua. Tujuan mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah
untuk menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari efek
samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya (handley t al, 1998).
a) Feksofenadine
Sifat-sifat kimia feksofenadin adalah : secara oral cepat diabsorpsi, hanya sekitar 5%
mengalami metabolisme, sisanya diekskresi dalam urin dan feses tanpa mengalami
perubahan. Hasil ini tidak dipengaruhi oleh adanya gangguan pada fungsi hati atau ginjal.
Pada penderita usia lanjut atau penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kadar feksofenadine
dalam plasma darah dapat meningkat 2 kali dari pada normal. Namun hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena indeks terapi obat ini relatif tinggi. Feksofenadin tidak menembus
sawar darah otak sehingga tidak mempunyai efek samping terhadap susunan saraf pusat.
(Hey JA. 1995)
124
Telfast 30
Komposisi : fexovenadin HCl
Indikasi : meredakan gejala yang berhubungan dengan rinitis alergi
Dosis : anak 6-11 thn 0mg 2 x sehari
Efek samping : sakit kepala, mengantuk, mual, pusing (MIMS, 2011-2012)

b) Desloratadin
Aerius
Komposisi : desloratadin
Indikasi : meringankan gejala rinitis alergi nasal atau non nasal
Dosis : dewasa dan anak > 12 th 5mg 1x sehari. Anak 6-11 th 1 sdt (2.5 mg) 1x sehari. 1-5 th
½ sdt (1.25 mg) 1x sehari
Efek samping : faringitis, mulut kering, mialgia (MIMS, 2011-2012)

125
BAB III

KESIMPULAN
Mata mempunyai reseptor khusus untuk mengenali perubahan sinar dan warna.
Sesungguhnya yang disebut mata bukanlah hanya bola mata, tetapi termasuk otot-otot
penggerak bola mata, kotak mata, kelopak, dan bulu mata. Cara kerja mata manusia pada
dasarnya sama dengan cara kerja kamera, kecuali cara mengubah fokus lensa. Ada berbagai
macam kelainan pada mata, seperti: presbiopi, hipermetropi, miopi, astigmatisma, katarak,
imeralopi, xeroftalxni, keratomealasi, dan lain sebagainya.
Telinga mempunyai reseptor khusus untuk mengenali getaran bunyi dan untuk
keseimbangan tubuh. Ada tiga bagian utama dari telinga manusia, yaitu bagian telinga luar,
telinga tengah, dan telinga dalam. Ada berbagai kelainan pada telinga, seperti: tuli, congek,
otitis eksterna, perikondritis, eksim, cidera, tumor, kanker, dan lain sebagainya.
Kulit merupakan indra peraba yang mempunyai reseptor khusus untuk sentuhan,
panas, dingin, sakit, dan tekanan. Kulit terdiri dari lapisan luar yang disebut epidermis dan
lapisan dalam yang disebut lapisan dermis. Kelainankelainan yang ada pada kulit yaitu:
jerawat, panu, kadas, skabies, eksim, biang keringat, dan lain sebagainya.
Lidah mempunyai reseptor khusus yang berkaitan dengan rangsangan kimia.
Permukaan lidah dilapisi dengan lapisan epitelium yang banyak mengandung kelenjar lendir,
dan reseptor pengecap berupa tunas pengecap. Lidah berfungsi sebagai pengecap rasa dan
sebagai pembantu dalam tindakan berbicara. Kelainan yang ada pada lidah yaitu: oral
candidosis, atropic glossitis, geografic tongue, fissured tongue, glossopyrosis, dan lain
sebagainya.
Indra pembau berupa kemoreseptor yang terdapat di permukaan dalam hidung, yaitu
pada lapisan lendir bagian atas. Kelainan-kelainan yang ada pada hidung yaitu: angiofibroma
juvenil, papiloma juvenil, rhinitis allergica, sinusitis, salesma dan influensa, anosmia, dan
lain sebagainya.

126
Daftar Pustaka

Adams GL, Boies LR, Higler PA (1997). BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke
6.Jakarta: EGC

Andri L, Senna GE, Betteli C. 1993. A comparison of the efficacy of cetirizine and terfena -
dine. A double blind controlled study of chronic idiopathic urticaria. Allergy

Anonim,2010.Alat indera pada manusia 9.1.


http://www.crayonpedia.org/mw/Alat_Indra_Pada_Manusia_9.1, (online), diakses
tanggal 04 Juni 2010.
Anonim, 2010. Bagian-bagian mata. http://articles.myhardisk.com/2009/08/bagian-bagian-
mata.html, (online), diakses tanggal 04 Juni 2010.
BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Jakarta

Carpenito, Lynda J.2006.Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.Jakarta:EGC


Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Esential of Oral Pathology and Oral
Medicine Ed. Ke-8. Curchill-Livingstone. Edinburgh.
Dr. Retno Iswari Tranggono. Spkk dan Dra. Fatma Latifah, Apt, Buku Ilmu Pengetahuan
Kosmetika, (Gramedia:Jakarta, 2007)
Djuanda A.,“Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed”,(Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007)
Donna L. Wong, dkk. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pedriatrik Wong Volume 1, Ed. Ke-6.
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Goodman&Gilman. Dasar Farmakologi Terapi. Vol 4. 2015
Handley DA, Magnetti A, Higgins A.J. 1998. Therapeutic advantages of third generation
antihistamines. Exp Opin Invest Drugs.
Harahap, Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Penerbit Hipokrates.Jakarta.2000

Ilyas, sidarta. 2004. Masalah kesehatan mata anda dalam pertanyaan- pertanyaan. Edisi 2.
Jakarta: FKUI
K, Mubeen & Neera Ohri, B. D. S. (2011). Jurnal of Burning Mouth Syndrome An Enigma.
Int. J. Odontostomat., 5(1):23-27.
Lucente, Frank E. 2011.Ilmu THT Esensial. Edisi ke-5. Dialihbahasakan oleh Hartanto,

127
Huriawati. Jakarta: EGC.

Mansjoer,Arief.2000.Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jilid II.Media Aesculapius :

Sari Pediatri. Patofisiologi Infeksi Bakteri dan Kulit Vol. 2, No. 4, Maret 2001: 205 – 209

Marwati E, Chahya R, 2004, Penatalaksanaan penderita stomatitis aftosa rekuren, Majalah


Pusat Informasi Obat Nasional.BPOM Ilmiah Kedokteran Gigi.
Parlatescu, Ioanina. (2014). Jurnal of Oral Leukoplakia an Update. Maedica (Buchar), 9(1):
88–93.
Sidarta Ilyas. 2001. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. FKUI
Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana. 2015. Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo
Wray, David, dkk. 2003. Textbook of General and Oral Surgery. Philadelphia: Churchill

Livingstone.
Yeo, Ben. 2016. MIMS Referensi Obat Informasi Ringkas Produk Obat. Jakarta:PT.
Medidata Indonesia.

128
129

Anda mungkin juga menyukai