Anda di halaman 1dari 27

BAB II KEWENANGAN TNI AL SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING

A. Tindak Pidana di Bidang Perikanan Dalam ilmu hukum secara umum dikenal adanya hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia dapat ditemukan dalam pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi sebagai berikut : Ketentuan ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi perbuatan perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain Berdasarkan ketentuan pasal 103 tersebut, maka yang dimaksud dengan: 1. Tindak Pidana Umum adalah semua tindak pidana yang tercantum dalam KUHP dan semua undang-undang yang mengubah atau menambah KUHP. 2. Tindak Pidana Khusus adalah semua tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu di luar KUHP. Adanya tindak pidana umum dan tindak pidana khusus ini, maka dalam penyelesaian perkaranya juga diatur dalam hukum acara umum dan hukum acara khusus, sehingga dalam penerapan dan penegakan hukumnya dimuat acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (Lex Specialis) 40 .

Sukardi, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu, Edisi Revisi, (Jakarta : Penerbit Restu Agung, 2009), hlm. 275.

40

Wewenang penyidik dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa tindak pidana perikanan termasuk dalam katagori tindak pidana khusus. 1. Beberapa macam tindak pidana perikanan (IUU Fishing : Illegal,

Unregulated, Unreported Fishing) dapat dibedakan atas : a. Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, tidak memiliki ijin dari negara pantai. b. Unregulated Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. c. Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. 41 2. Berdasarkan IPOA (International Plan Of Action) yaitu suatu organisasi

regional yang bergerak di bidang perencanaan dan pengelolaan perikanan, memetakan jenis IUU Fishing sebagai berikut 42 : a. Kegiatan perikanan melanggar hukum (Illegal Fishing), yaitu kegiatan penangkapan ikan : 1) Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Aji Sularso, Permasalahan IUU Fishing,, Seminar, 2002. Markas Besar TNI Angkatan Laut, Peranan TNI Angkatan Laut Dalam Menanggulangi illegal, Unreported dan Unregulated Fishing, Jakarta, 2008.
42

41

2) Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional; 3) Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku; 4) Penyebab Illegal Fishing, antara lain : a) Meningkat dan tingginya permintaan ikan, baik didalam negeri maupun luar negeri; b) Berkurang atau habisnya sumber daya ikan di negara lain; c) Lemahnya armada perikanan nasional; d) Dokumen perijinan pendukung dikeluarkan oleh lebih dari satu instansi; e) Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut; f) Lemahnya tuntutan dan putusan pengadilan; g) Belum adanya kesamaan visi aparat penegak hukum yang berkompeten di laut; h) Lemahnya peraturan perundangan terutama mengenai ketentuan pidananya. Kegiatan iIllegal fishing yang umum terjadi di perairan yurisdiksi nasioal Indonesia, adalah : 1) Penangkapan ikan tanpa ijin; 2) Penangkapan ikan dengan menggunakan ijin palsu; 3) Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; dan 4) Penangkapan ikan dengan jenis yang tidak sesuai dengan ijin.

b. Kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan (Unreported Fishing), yaitu kegiatan penangkapan ikan : 1) Tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan nasional. 2) Dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, tidak sesuai dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut. 3) Penyebab Unreported Fishing, antara lain : a) Lemahnya peraturan perundang-undangan; b) Lemahnya ketentuan sanksi dan pidana; c) Belum sempurnanya sistem pengumpulan data hasil tangkapan angkutan ikan; d) Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data hasil tangkapan/angkutan ikan; e) Hasil tangkapan dan daerah tangkapan dianggap rahasia dan tidak untuk diketahui pihak lain; f) Wilayah kepulauan menyebabkan banyak tempat pendaratan ikan yang sebagian besar tidak termonitor dan terkontrol; g) Unit penangkapan dibawah 6 GT tidak diwajibkan memiliki IUP dan SIPI, sehingga tidak diwajibkan melaporkan data hasil tangkapannya; dan h) Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada penangkapan ikan mempunyai pelabuhan sendiri. Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di perairan yurisdiksi nasional Indonesia, adalah : 1) Penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya atau pemalsuan data tangkapan.

2) Penangkapan ikan yang langsung dibawa ke negara lain (transhipment) di tengah laut. c. Kegiatan perikanan yang tidak diatur kegiatan penangkapan ikan : 1) Suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dan kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung jawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai hukum internasional. 2) Area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan regional, yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang mengibarkan bendera suatu negara yang tidak menjadi anggota (Unregulated Fishing), yaitu

organisasi tersebut, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut. 3) Penyebab Unregulated Fishing, antara lain : a) Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia masih dianggap memadai dan belum mencapai tingkat yang membahayakan; b) Terfokus pada aturan yang sudah ada karena banyak permasalahan/kendala dalam pelaksanaan di lapangan; c) Orientasi jangka pendek; d) Beragamnya kondisi daerah perairan dan sumber daya ikan, dan e) Belum masuknya Indonesia menjadi anggota organisasi perikanan internasional. Kegiatan Unregulated Fishing di perairan yurisdiksi nasional Indonesia banyak ragamnya, antara lain masih belum diaturnya :

1) Mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan penangkapan ikan yang ada; 2) Wilayah perairan-perairan yang diperbolehkan dan dilarang; dan 3) Pengaturan aktifitas sport fishing, kegiatan-kegiatan penangkapan ikan menggunakan modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang, seperti penggunaan jaring arad dan jaring apollo. B. Modus Operandi Tindak Pidana Illegal Fishing. Dari berbagai kasus tindak pidana illegal fishing selama ini modus operandi yang dilakukan oleh kapal ikan asing maupun kapal ikan berbendera Indonesia eks kapal ikan asing, antara lain 43 : 1. Kapal Ikan Asing yaitu kapal murni berbendera asing melaksanakan kegiatan penangkapan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia. 2. Kapal Ikan Indonesia eks KIA dengan dokumen aspal (asli tapi palsu) atau tidak ada dokumen ijin. 3. Adanya Kapal Ikan Indonesia dengan dokumen aspal (pejabat yang mengeluarkan bukan pejabat yang berwenang atau dokumen palsu). 4. Kapal Ikan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen sama sekali artinya menangkap ikan tanpa ijin. 5. Kapal Ikan Indonesia atau Kapal Ikan Asing melaksanakan kegiatan penangkapan di perairan Indonesia yang menyalahi ketentuan alat tangkap dan manipulasi hasil tangkapan atau ikan yang diangkut.

Koko P.Bhairawa, Penataan Kebijakan Illegal Fishing, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil. Diakses pada tanggal 12 April 2010.

43

Dikutip

dari

Menurut Aji Sularso, berdasarkan hasil rekam VMS (Vessel Monitoring System), rekam jejak (track record) kapal-kapal eks asing menunjukkan bahwa modus utama adalah menyalahi fishing ground, transiphment ikan di laut (kapal angkut posisinya dekat perbatasan ZEEI). Kapal-kapal asli Indonesia pada umumnya menggunakan jaring sesuai ketentuan, penyimpangan alat tangkap sangat sedikit ditemukan. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah menyalahi fishing ground 44 . Lebih lanjut Aji mengatakan bahwa kegiatan IUU fishing oleh kapal asing dan eks asing dilihat dari prspektif yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai berikut : 1. Merupakan kejahatan lintas negara terorganisasi (trans national organized crime). 2. Sangat mengganggu kedaulatan NKRI (terutama kedaulatan ekonomi). 3. Mematikan industri pengolahan ikan di Indonesia dan sebaliknya menumbuh kembangkan industri pengolahan di negara lain. 4. Merusak kelestarian sumber daya ikan, karena intensitas IUU fishing menyebabkan overfishing dan overcapacity.

C. Contoh Kasus Kewenangan Penyidikan di Wilayah ZEEI Direktorat Kepolisian Perairan Polda Sumut dalam melakukan patroli memergoki kapal ikan berbendera Malaysia yang dinakhodai oleh Mr. Chat

Aji Sularso, Overfishing, Overcapacity dan Illegal Fishing, (Jakarta : Penerbit Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009), hlm. 51.

44

berkewarganegaraan Thailand menangkap ikan diperairan Selat Malaka. Kapal yang diketahui bernama KHF 1338 diperiksa kapal patroli Pol. 218 pada hari Rabu tanggal 3 Maret 2010 sekira pukul 18.00 wib pada posisi 04 26' 061 LU - 099 36' 441 BT atau 41 myl Utara dari lampu Pulau Berhala Sumatera Utara perairan Selat Malaka Indonesia. Setelah dilakukan pemeriksaan, kapal ikan KHF 1338 tidak memiliki ijin, oleh karenanya Mr. Chat dan ABK serta kapal ikan KHF 1338 dibawa ke dermaga Dit Polair Polda Sumut untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut 45 . Kapal ikan KHF 1338 disangka melanggar pasal 93 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi: Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Setelah dilakukan proses penyidikan oleh penyidik Polair Polda Sumut, maka pada tanggal 23 Maret 2010 berkas perkara dilimpahkan ke Kejari Belawan. Pada tanggal 25 Maret 2010, pihak kejaksaan menerbitkan P-18 dan P-19 dengan petunjuk 46 : agar dimintakan keterangan ahli hukum pidana yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan berkenaan dengan apakah penyidik Polri berwenang melakukan penyidikan tindak pidana perikanan yang locus delictinya diwilayah Zona Ekonomi Eksklusuf Indonesia (ZEEI).
Laporan Polisi Tentang Kejahatan/Pelanggaran yang Diketemukan Nomor : LP/18/III/2010/SU/Polair Tanggal 4 Maret 2010 46 Surat P-19 dari Kepala Kejaksaan Negeri Belawan Nomor: B-825/N.2.26.4/Fd.2/03/2010 tanggal 29 Maret 2010.
45

(Dalam hal penyidik Polri tidak berwenang melakukan penyidikan di ZEEI, maka perkara tersebut agar diserahkan kepada Penyidik TNI AL atau PPNS Perikanan untuk diproses lebih lanjut) Sesuai petunjuk kejaksaan tersebut diatas, Dir pol Air Polda Sumut menerbitkan surat pencabutan SPDP atas nama tersangka Mr. Chat dan selanjutnya perkara tersebut diserahkan kepada penyidik TNI AL (Lantamal I Blw) untuk proses lebih lanjut. Dari uraian singkat kejadian diatas, penulis perlu menegaskan bahwa kewenangan penyidikan di wilayah ZEEI adalah penyidik TNI AL dan PPNS Perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2010 yang berbunyi: Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang perikanan yang terjadi di ZEEI. Bahwa penyidik Polri terkesan memaksakan agar perkara tersebut disidik oleh pihak Polri. Mereka berpendapat bahwa memang dalam pasal 73 ayat (2) itu tidak dicantumkan penyidik Polri, tapi dalam pasal tersebut menetapkan penyidik lain yaitu PPNS Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI. Sedangkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU No. 8 Tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (1) disebutkan sebagai pengemban fungsi kepolisian, Polisi dibantu oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), artinya Polisi itu bertugas pula sebagai koordinator PPNS.

Hal ini mencerminkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan dipandang lemah dan tidak optimal. Dari kejadian ini juga dapat dipetik sebagai pelajaran bagi aparat penyidik tindak pidana perikanan sehubungan dengan kinerja aparat penyidik tindak pidana perikanan yang lebih menonjolkan kepentingan sektoral serta belum dipahaminya peraturan perundang-undangan dengan baik, terutama yang menyangkut tataran kewenangan.

D. Kualifikasi Tindak Pidana Illegal Fishing dan Hukuman Pidana Secara umum berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana, yaitu : tindak pidana kejahatan dibidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran dibidang perikanan. 1. Tindak pidana kejahatan dibidang perikanan diatur dalam Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94 UU No. 31 Tahun 2004. Pasal 84 : Setiap orang yang dengan sengaja di WPP Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian SDI dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Pasal 85 : Memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan barada dikapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan tidak sesuai dengan persyaratan atau standart yang ditetapkan untuk type alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud Pasal 9, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Pasal 86 : 1) Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan SDI dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). 2) Membudidayakan ikan yang dapat membahayakan SDI dan/atau lingkungan SDI dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 3)Membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan SDI dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 4)Menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan hasil yang dapat membahayakan SDI dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 88 Memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, SDI, dan/atau lingkungan SDI kedalam dan/atau keluar WPP Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 91 Menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 92 Melakukan usaha perikanan dibidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 93 1)Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan di WPP Republik Indonesia yang melakukan penangkapan ikan atau kegiatan yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). 2)Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di WPP Republik Indonesia yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000 (dua puluh miliar rupiah). Pasal 94 Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di WPP Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 2. Tindak pidana Pelanggaran dibidang perikanan diatur dalam Pasal 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99 dan Pasal 100 UU No. 31 Tahun 2004. Pasal 87 Dengan sengaja atau dengan kelalaiannya merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan SDI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Pasal 89 Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 90 Melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan

untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 95 Membangun, mengimport atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah). Pasal 96 Mengoperasikan kapal perikanan di WPP Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 97 1)Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki ijin penangkapan ikan, yang selama berada di WPP Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan didalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). 2)Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki ijin penangkapan ikan dengan satu jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). 3)Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki ijin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan didalam palka selama berada diluar daerah penangkapan ikan yang diijinkan di WPP Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Pasal 98 Nakhoda yang berlayar tidak memiliki Surat Ijin Berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Pasal 99

Orang asing yang melakukan penelitian perikanan di WPP Republik Indonesia yang tidak memiliki ijin dari pemerintah sebgaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Pasal 100 Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). E. Tugas Pokok, Jajaran dan Sarana Lantamal I. 1. Tugas Pokok Lantamal I. Pangkalan Utama TNI AL I adalah Komando pelaksana dukungan yang berkedudukan langsung di bawah Komando Armada RI Kawasan Barat, mempunyai tanggung jawab wilayah perairan meliputi: 79.939,2 NM (148.047,398 Km2) dan memiliki 35 pulau termasuk 2 pulau terluar (P. Rondo dan P. Berhala) 47 . Adapun tugas pokok Lantamal I, adalah : 48 a. Melaksanakan dukungan logistik dan administrasi bagi KRI/KAL dan Patroli keamanan laut satuan operasional Lantamal I, Armada Barat dan TNI AL lainnya yang beroperasi dan singgah di wilayah Lantamal I dengan fungsi (4R) : 1) Replanishment (Pembekalan) Lantamal I memberikan fasilitas sandar dan dukungan logistik seperti BBM, oli, air tawar dan dukungan bahan basah/ kering. 2) Repair (Perbaikan).

Lantamal I , Organisasi dan Prosedur Pangkalan Utama TNI AL I, Belawan : 2009. Sops Lantamal I, Rencana Tindakan Lantamal I Dalam Menghadapi Kontinjensi, Belawan : 2009, hlm. 1-2.
48

47

Lantamal I memiliki Fasilitas Pemeliharan dan Perbaikan yang dapat memperbaiki kerusakan KRI/KAL/Patkamla sampai tingkat menengah kebawah. 3) Rest (Peristirahatan). Memberikan messing bagi ABK KRI, Crew Pesud yang sedang singgah di wilayah Lantamal I, tempat peristirahatan bagi anggota yang sakit. 4) Recreation (Rekreasi). Menyediakan fasilitas olah raga, memberikan dukungan kendaraan dinas dan tempat-tempat rekreasi. Dukungan logistik ini diarahkan untuk menjamin dan menjawab setiap kebutuhan material, fasilitas dan jasa secara cepat dan tepat baik untuk mendukung unsur-unsur TNI AL yang sedang beroperasi maupun yang latihan diwilayah Lantamal I.

b. Selain tugas pokok yang ada, Lantamal I juga mengemban tugas lain, yaitu: 1) Melaksanakan pembinaan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan negara dibidang maritim. 2) Melaksanakan operasi keamanan laut terbatas diwilayah perairan laut Belawan termasuk pengamanan laut terhadap kunjungan kerja pejabat VIP. 3) Mendukung tugas-tugas kewilayahan dalam kegiatan pemerintah daerah setempat seperti SAR, pendistribusian logistik pemilu kedaerah-daerah yang sulit terjangkau kendaraan darat.

Persepsi keamanan di laut tidak hanya masalah penegakan kedaulatan dan hukum tetapi mengandung pemahaman bahwa laut aman digunakan bagi pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas pengguna atau pemanfaatan laut, yaitu : a. Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan dinilai mempunyai kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan kedaulatan negara, baik berupa ancaman militer, pembajakan dan perompakan. b. Laut bebas dari ancaman bahaya navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi, seperti sistem perambuan dan pelampungan (beacon and buoys), suar (lights), serta minimnya informasi pelayaran seperti kepanduan bahari (sailing direction), daftar suar (list of lights), daftar arus dan pasang surut dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran; c. Laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut yang dampaknya akan sangat merugikan generasi penerus seperti kegiatan penambangan yang over exploitation dan over exploration. d. Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu ancaman pelanggaran terhadap ketentuan hukum nasional maupun internasional yang berlaku,

seperti illegal fishing, illegal logging, illegal immigration, illegal mining, dan lain-lain. 49
2.

Jajaran Lantamal I 50 Lantamal I berada dibawah organisasi Komando Armada RI Kawasan Barat,

membawahi pangkalan-pangkalan TNI AL antara lain : 1) Lantamal - I membawahi 1 Pos Pembantu TNI AL dan Posal Satrad yaitu : a) Pos Pembantu TNI AL Gabion; b) Posal Satrad Belawan

2) Lanal Sabang membawahi 3 Posal dan 1 Posal Satrad yaitu: a) b) Posal Meulaboh; Posal Malahayati; c) d) Posal Lhoknga; Posal Satrad Sabang

3) Lanal Lhokseumawe membawahi 2 Posal dan 4 Posal Satrad yaitu a) b) c) d) e) f) Posal Kuala Peudada Posal Satrad Sigli Posal Satrad Kreung Geukuh Posal Satrad Idi Rayeuk Posal Satrad Pangkalan Susu Posal Langsa

4) Lanal Tg. Balai Asahan membawahi 4 Posal dan 2 Posal Satrad yaitu : a) b) c) Posal Tanjung Beringin Posal Pulau Berhala Posal Tanjung Tiram d) e) f) Posal Sei Berombang Posal Satrad Bandar Khalifah Posal Satrad Bagan Asahan

5) Lanal Dumai membawahi 6 Posal dan 2 Posal Satrad yaitu : a) Posal Panipahan e) Posal Bagan Siapi-api b) Posal Pulau Jemur f) Posal Bengkalis c) Posal Tanjung Medang g) Posal Satrad Bengkalis d) Posal Selat Panjang h) Posal Satrad Sinaboi
Markas Besar TNI Angkatan Laut, Pokok-Pokok Pikiran TNI Angkatan Laut tentang Keamanan di Laut, (Jakarta : Penerbit Mabesal, 2002), hlm 15. 50 Sops Lantamal I, Loc.Cit.
49

3. Sarana Lantamal I 51 Sarana Operasional Lantamal I Lantamal I dalam pelaksanaan tugasnya didukung dengan sarana sebagai berikut : KRI Type 35 meter 1 Unit , KAL 35 meter 1 unit, KAL 28 meter 4 unit , Patkamla ukuran bervariasi mulai 8 - 22 meter sebanyak 51 unit dan 3 unit Speed Boat yang tersebar di jajaran Lantamal I yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) Lantamal I : 1 unit KRI 35 meter, 1 unit KAL 35 meter dan 22 unit Patkamla. Lanal Sabang : 2 unit KAL 28 meter dan 2 unit Patkamla. Lanal Lhokseumawe : 7 unit Patkamla, 3 unit Speed Boat. Lanal Tg Balai Asahan : 13 unit Patkamla. Lanal Dumai : 2 unit KAL 28 meter dan 7 unit Patkamla.

F.

Dasar Kewenangan TNI AL Dalam Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional Menurut Ken Booth dalam bukunya Navies and Foreign Policies, Angkatan

Laut sebagai bagian utama dari kekuatan laut secara universal mengemban tiga peran yang disebut dengan Trinitas peran Angkatan Laut, yaitu 52 : 1. Peran militer (Military Role) Peran ini pada hakekatnya adalah penggunaan kekuatan secara optimal untuk perang atau konflik bersenjata dalam rangka melindungi kepentingan nasional suatu

Ibid. hlm 3. Leonard Marpaung, Konflik Batas Landas Kontinen, Forum Hukum, Volume 2 Nomor 1, 2005, hlm. 21.
52

51

negara. Penggunaan kekuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menegakkan kedaulatan negara di laut dengan cara pertahanan negara di laut, penangkalan melalui penyiapan kekuatan untuk perang, menangkal setiap ancaman militer melalui laut, menjaga stabilitas kawasan maritim, melindungi dan menjaga perbatasan laut negara tetangga. 2. Peran polisionil (Constabulary Role) Peran ini dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum di laut, melindungi sumberdaya dan kekayaan laut, memelihara ketertiban di laut serta mendukung pembangunan bangsa dengan memberikan kontribusi terhadap stabilitas dan pembangunan nasional. 3. Peran diplomasi (Diplomacy Role) Peran ini merupakan peran yang sangat penting bagi setiap angkatan laut diseluruh dunia. Pelaksanaannya menggunakan kekuatan laut sebagai sarana diplomasi dalam mendukung kebijakan luar negeri. Kemudian dirancang untuk mempengaruhi kepemimpinan negara atau beberapa negara dalam keadaan damai atau dalam situasi yang bermusuhan. Disamping itu dalam peraturan perundangan nasional juga memberikan

kewenangan kepada perwira TNI AL untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut.

Dasar kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh TNI AL terhadap pelanggaran di laut adalah 53 : 1 TZMKO. Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) 1939 Stbl.1939 Nomor 442 Pasal 13 menyatakan bahwa: Untuk memelihara dan mengawasi pentaatan ketentuanketentuan dalam ordonansi ini ditugaskan kepada Komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandankomandan Kapal Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari Angkatan Laut. 2. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP jo PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Penjelasan pasal 17 menyebutkan bahwa: bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI penyidikan dilakukan oleh perwira TNI AL dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya. 3. UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Dalam Pasal 14 ayat (1) memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1983. 4. UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal antara lain pasal 107,110, 111 dan 224 UNCLOS 1982. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 39 ayat (2) kewenangan penyidik Kepolisian Negara RI, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI. 6. UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Dalam penjelasan pasal 24 ayat (3) Penegakan hukum dilaksanakan oleh instansi terkait antara lain TNI AL, Polri, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian, Departemen Keuangan dan Departemen Kehakiman sesuai dengan
53

5.

Peraturan Kasal Nomor Kasal/32/V/2009 Tanggal 4 Mei 2009.

wewenang masing-masing instansi tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional. 7. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. (catatan sudah diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2009) Dalam pasal 40 ayat (5) Bahwa penyidikan tindak pidana di lingkungan hidup di perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (lihat pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983). UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. (catatan sudah dirubah dengan UU Nomor 45 tahun 2009) Dalam Pasal 73 ayat (1) menyebutkan bahwa Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. 9. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam pasal 9 huruf (b) Angkatan Laut bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. 10. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam pasal 282 ayat (1) : Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun dalam penjelasannya yang dimaksud dengan penyidik lainnya adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan dipertegas pada pasal 340 untuk di ZEEI. 11. UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Dalam Pasal 7 disebutkan Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di wilayah Yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Dan Pasal 22 disebutkan Negara Indonesia berhak melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan laut di laut bebas serta dasar laut internasional yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. G. Kewenangan Penyidik Tindak Pidana Illegal Fishing Secara hakiki aparat TNI AL lahir dan dibesarkan untuk mengemban tugastugas yang berkaitan dengan matra laut, utamanya dalam rangka penegakan 8.

kedaulatan dan hukum di seluruh perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Mengenai kewenangan penyidik terhadap setiap kasus pelanggaran yang terjadi di laut, dapat dilakukan oleh semua aparat penegak hukum di laut sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Masalah kewenangan penyidik sangat penting, bila dikaitkan dengan penegakan hukum, karena penegak hukum dipastikan berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap suatu kasus yang terjadi di laut sampai penyidik itu sendiri menyerahkan berkas perkara kepada Kejaksaan Negeri sebagai penuntut umum 54 . Untuk tidak menimbulkan salah pengertian antar penegak hukum, maka penerapan kewenangan ini perlu disadari bersama, bahwa penegak hukum bukan semata-mata untuk mencari kepentingan sendiri, tapi pola tindak dan pola laku tiap aparat penegak hukum harus mempunyai prinsip yaitu hukum di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus ditegakkan. Dalam Undang-undang sudah jelas memberikan kepastian hukum bagi setiap pelanggaran di laut, maka upaya menciptakan rasa keadilan harus ditegakkan dengan tidak mengurangi kewenangan masing-masing aparat penegak hukum di perairan Indonesia, sebagai pejabat penyidik tindak pidana perikanan khususnya tindak pidana illegal fishing. Hal ini untuk menghindari adanya tumpang tindih kewenangan dan pola pikir sektoral dari masing-masing aparat.

54

Adi Susanto, Op.Cit, hlm 7

Ketentuan tentang penyidikan terhadap tindak pidana perikanan diatur dalam pasal 73 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, yaitu terdiri dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL. Perlu diketahui bahwa dengan adanya tiga institusi penyidik dan tiga pejabat yang berwenang mengangkat yaitu penyidik Perwira TNI AL diangkat oleh Panglima TNI, penyidik Polri diangkat oleh Kapolri dan PPNS Perikanan diangkat berdasarkan usul kementerian yang bersangkutan diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya mekanisme tata kerja yang bervariasi yaitu ada yang melalui koordinasi dengan penyidik Polri dan ada yang langsung ke penuntut umum tanpa koordinasi dengan penyidik Polri. Kemudian adanya kewenangan yang berbeda dalam tahap penyidikan yaitu kewenangan melaksanakan tugas penyidikan sesuai dengan lingkup tugas masing masing, hal ini kurang menggambarkan adanya suatu badan/lembaga penyidikan yang mandiri dan terpadu 55 . UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tersebut tidak mengatur pembagian kewenangan secara tegas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti. Masing-masing ketiga instansi penegak hukum perikanan tersebut dalam penegakan hukum perikanan atau dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan berjalan sendiri-sendiri (penegakan hukum perikanan secara sektoral berjalan sendiri-sendiri) tanpa adanya keterpaduan sistem. Hal ini dapat membuka pintu Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) serta dapat menimbulkan tindakan penyalahgunaan wewenang dan

GP.Hutajulu,Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Illegal Logging, Tesis, Sekolah Pascasarjana USU, Medan, 2009.

55

tindakan sewenang-wenang oleh ketiga instansi penegak hukum perikanan itu. Sebagai ilustrasi contoh salah satu dari ketiga instansi penegak hukum perikanan tersebut menangkap kapal perikanan illegal dan kasus tersebut tiba-tiba menghilang atau dibekukan tanpa alasan yang jelas? Siapa yang akan mengawasi karena disamping tidak adanya lembaga pengawasan juga tidak adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya (integrated system). Oleh karena itu perlu adanya lembaga pengawasan penegakan hukum perikanan serta perlu adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya (sistem yang saling terkait) dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan, karena kewenangan penegakan hukum perikanan berada pada instansi sektoral yang berjalan secara sendiri-sendiri (belum terpadu). Oleh karenanya situasi seperti itu cenderung menimbulkan konflik dan keruwetan serta macetnya penegakan hukum perikanan 56 . Menurut Melda Kamil, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan sama sekali tidak menuntaskan sengketa dan perseteruan yang muncul baik antara TNI AL, Polri dan penyidik PNS. Mereka sama sama disebut dalam pasal 73 UU Nomor 31 Tahun 2004, sebagai pihak yang berwenang. Mereka hanya disebutkan harus berkoordinasi dalam menangani suatu perkara tanpa ada penjelasan lebih rinci 57 . Lebih lanjut Melda mengatakan, pemerintah punya dua pilihan untuk menuntaskan persoalan yang muncul akibat keberadaan aturan yang sifatnya tidak lebih dari sekedar mengakomodasi kepentingan banyak pihak seperti pasal 73 tadi.
Lufsiana,Konflik Kewenangan Penegakan Hukum Perikanan, Dikutip http://Artikelcakrawala/search/TNI-AL/, Diakses tanggal 25 Desember 2009. 57 http;//lipsus.compas.com/grammyawards/read, Diakses tanggal 12 April 2010.
56

dari

Kedua pilihan itu antara lain mengamandemen aturan Undang-undang terutama terkait pasal 73 atau pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang berisi Petunjuk Pelaksanaan di lapangan secara lebih spesifik. Dalam pasal 73 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 ditegaskan tentang kewenangan PPNS Perikanan yang merupakan implementasi dari pasal 7 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyebutkan bahwa wewenang PPNS diatur dalam Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing masing. Namun, mekanisme tata kerja PPNS Perikanan dalam pasal 73B ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009, sedikit menyimpang dari apa yang diatur dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981. Dalam pelaksanaan tugasnya PPNS berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri sedangkan pasal 73B ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009, Penyidik sebagaimana dimaksud pasal 73 memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. Dalam pasal 107 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa dalam hal PPNS melakukan penyidikan terhadap peristiwa yang patut diduga sebagai tindak pidana yang dapat diajukan ke penuntut umum, maka PPNS melaporkan hal itu kepada penyidik Polri. Rumusan dari pasal 73B ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 diatas, secara tegas memberikan kewenangan kepada PPNS Perikanan dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran tindak pidana perikanan yang langsung ke penuntut umum artinya dapat dilakukan tanpa koordinasi kepada penyidik Polri.

Demikian juga dengan penyidik TNI AL, hingga saat ini masih berkembang suatu opini/pendapat baik dalam masyarakat, pejabat/instansi pemerintah, kalangan praktisi maupun akademisi yang masih meragukan kewenangan Perwira TNI Angkatan Laut sebagai penyidik tindak pidana perikanan yang terjadi di laut khususnya di perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen serta zona ekonomi eksklusif Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Apalagi penyidik TNI AL tidak termasuk dalam komponen Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pendapat ini semakin berkembang setelah adanya pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan sesuai Ketetapan MPR RI Nomor : VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Dalam hal ini TNI ditetapkan sebagai alat negara yang berperan dalam pertahanan negara, sedangkan Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Terkait dengan analisis tentang perkembangan tindak pidana perikanan sebagaimana telah diuraikan diatas, lemahnya koordinasi dan pengawasan dalam penegakan hukum termasuk tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme kerja antar penyidik tersebut, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Kondisi seperti ini justru berpotensi menimbulkan konflik antar penegak hukum itu sendiri yang pada gilirannya akan menghambat atau mempersulit proses penegakan hukum terhadap kejahatan illegal fishing itu sendiri. Banyak kalangan menilai bahwa penegakan

hukum terhadap tindak pidana illegal fishing sangat lemah atau tidak efektif, walaupun sudah ada lembaga Bakorkamla. Timbul pertanyaan apakah TNI AL dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya menegakkan hukum di laut memerlukan badan koordinasi ? Ternyata aturan hukum positif yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan TNI AL, tidak terdapat satu pasalpun yang mengharuskan TNI AL dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya memerlukan adanya badan koordinasi. Demikian juga instansi sektoral lainnya dalam melaksanakan kewenangannya menegakkan hukum dilaut tidak memerlukan adanya badan koordinasi. Koordinasi itu perlu sejauh terkait dengan pelaksanaan kewenangan penegakan hukum, tetapi tidak melalui badan koordinasi 58 .

Lufsiana, Analisis Hukum Kelembagaan Bakorkamla, http://www.tnial.mil.id/majalah/cakrawala/artikel /, Diakses tanggal 12 April 2010.

58

Dikutip

dari

Anda mungkin juga menyukai