Anda di halaman 1dari 7

Tinjauan Kriminologis Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri

1. Pendahuluan
Main hakin sendiri merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-
wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan.
Orang yang melakukan suatu tindak pidana dinamakan penjahat (criminal) merupakan
objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang etiologi kriminal yang
menganalisis sebab-sebab berbuat jahat. Main hakin sendiri terjadi karena keretakan
hubungan antara penjahat dan korban yang tidak segera dipecahkan atau apabila telah
dipecahkan dengan hasil yang dirasakan tidak adil bagi korban atau keluarga korban
sehingga tidak dapat mengembalikan hubungan baik antara pembuat korban dan korban
dan/atau keluarga korban. Karena korban dan/atau korban merasa kepentingannya dan
hak-haknya diinjak-injak bahkan dihancurkan oleh pembuat korban maka korban
kerkewajiban untuk mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap pebuat
korban secara langsung. Korban dan/atau keluarga korban atau masyarakat dalam
mempertahankan kepentingan dan hak-haknya untuk mengambil kembali harta benda
miliknya dari pembuat korban secara langsung dengan jalan kekerasan bahkan mungkin
lebih kerasa dan lebih kejam daripada cara yang digunakan oleh pembuat korban untuk
mengambil hak milik korban. Apabila terjadi demikian maka berarti terdapat pergeseran
yang semula merupakan korban berubah menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang
semula pembuat korban menjadi korban. Bilamana terjadi siklus yang demikian terus
menerus maka anggota masyarakat selalu durinsung keresahan dan ketakutan. Oleh
karena itu perlu segera mendapat perhatian dan solusinya. Solusinya yang dirasakan adil
oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Permasalahan
Main hakim sendiri merupakan pengejawantahan balas dendam yang turun
temurun oleh korban dan/atau keluarga korban kepada pembuat korban. Guna
menghentikan balas dendam yang turun temurun tersebut maka kepala
kelompok/komune/masyarakat sederhana yang anggota kelompoknya tersebut jahat
mengumpulkan harta benda milik anggota masyarakat untuk memperbaiki atau
mengganti rugi kerusakan atau penderitaan anggota kelompok masyarakat yang menjadi
korban. Harta benda sebagai ganti kerugian oleh masyarakat yang berbuat jahat disebut
restitusi digunakan untuk kepentingan korban dan/atau keluarganya serta untuk
kepentingan masyarakat atau kepala kelompok.
Pembahasan
Dalam perkembangan hukum pidana, selanjutnya restitusi seluruhnya digunakan
untuk kepentingan masyarakat sehingga korban dan/atau keluarga korban tidak mendapat
bagian sama sekali, karena terjadi perubahan pengertian kejahatan dari pelanggaran
melawan individu menjadi pelanggaran melawan negara. Perbuatan tersebut sebagai awal
perbedaan dan pemisahan antara kesalahan perdata (Tort) dan kesalahan pidana.
Kesalahan perdata adalah hubungan antar pribadi termasuk hubungan antara kejahatan
dan korbannya, sedangkan kesalahan pidana merupakan hubungan antara perbuatan jahat
dan perbuatannya hal tersebut dikemukakan oleh Schafer.
Selanjutnya Schafer menambahkan pendapatnya bahwa dengan pandangan yang
berubah itu maka korban kejahatan dikeluarkan dari pengertian hukum pidana. Karena
hak korban untuk balas dendam telah diambil alih oleh negara maka seharusnya negara
memegang teguh amanat yang dipercayakan kepada negara untuk membalas denda
kepada pembuat kejahatan. Negara dalam melaksanakan amanat masyarakat korban telah
diatur secara abstrak dan rinci dalam hukum pidana baik hukum pidana substansi maupun
hukum pidana Iormal dengan asumsi bahwa pembuat kejahatan dijatuhi pidana setimpal
dengan kesalahannya sehingga masyarakat korban merasakan kepuasan atas dipidananya
pembuat kejahatan. Misalnya ode Hammurabi yang dianggap peraturan paling kuno
telah mengatur restitusi antara lain berisi suatu perintah kepada pembuat kejahatan
membayar kembali kepada korban dan/atau keluarga korban sebanyak tiga puluh kali
lipat dari jumlah kerugian yang diderita oleh korban. Hukum Musa kira-kira abad ke-13
Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang pencurian seerkor sapi jantan, pencurinya
harus membayar lima kali dari jumlah kerugian korban pencurian. Hukum Romawi Kuno
pada kira-kira abad ke-8 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang perampokan,
bahwa perampok harus membayar empat kali dari jumlah barang-barang yang dirampok
dari korban. Perkembangan selanjutnya untuk menghindari balas dendam atau main
hakim sendiri dengan Iormula 'an eye for an eye and a tooth for a tooth` .
Kaitannya dengan masalah restitusi Karmen berpandapat bahwa di dalam
masyarakat terdapat perbedaan kelas-kelas dengan tajam, oleh karena itu dapat dikatakan
pelaksanaan restitusi hanya menguntungkan kelas lebih atas. Apabila dalam suatu kasus
kejahatan pihak yang bersalah memiliki kekuasaan cukup maka untuk restitusi dari pihak
kelas sosial lebih rendah sulit berhasil tuntutannya sesuai dengan haknya. Sebaliknya
apabila yang bersalah kelas sosial lebih rendah daripada korbannya maka tuntutan
restitusinya dapat dilaksanakan sesuai dengan haknya. Hal ini berarti restitsi berIungsi si
kaya makin kaya dan si miskin main miskin.
Menurut pendapat Karmen bahwa akibat penyalahgunaan pembayaran restitusi
tersebut maka pada abad ke-12 terjadi perubahan besar dalam menangani perkara
kejahatan yang berakibat merugikan korban secara pribadi dan keluarganya. Perluasan
kepentingan negara terhadap perkara kejahatan di topang oleh kelahiran konsep 'tidak
berguna lagi kejahatan dipertimbangkan sebagai kekejaman menyerang pribadi korban
yang seharusnya dibalas oleh kekejaman juga. Kemudian melahirkan konsep 'tuntutan
pidana denda guna memperbaiki keseimbangan masyarakat yang merupakan hak negara.
Konsep selanjutnya 'melakukan kejahatan berarti melawan negara. Konsekuensinya
memberantas kejahatan menjadi kewajiban negara dan restitusi dengan nama pidana
denda menjadi hak negara, dan penjahat tidak wajib membayar restitusi kepada korban .
5

Secara teoritik, konsep hukum pidana baru yang ditopang oleh dasar pembedaan
antara hukum pidana dan hukum perdata mempunyai titik berat yang berbeda. Pembedaan
titik berat dimaksudkan antara lain:
Menurut 'oigt,
Mendasarkan pada aw of the Twelve Tables memberdakan objek sanksinya yaitu
perbuatan menyerang orang merupakan hukum pidana, sedang perbuatan menyerang
harta benda merupakan hukum perdata.
Menurut Kohler dan Ziebart,
Menegaskan bahwa hukum pidana berarti pembuat harus memberikan perbaikan kepada
korban juga memberikan pembayaran uang kepada negara (Schafer)
Menurut Mommsen,
Segala sesuatu yang ditentukan oleh negara merupakan hukum pidana dan secara moral
wajib ditaati. Sanksi bersiIat pembalasan merupakan hukum pidna dan sanksi bersiIat
perbaikan merupakan hukum perdata.
Pakar hukum pidana menganut teori klasik yaitu perbuatan jahat melawan negara
merupakan hukum pidana, sedangkan tort adalah perlawanan terhadap hak-hak
perseorangan merupakan hukum perdata. Sejalan dengan itu Schafer mengemukakan
bahwa yang dimaksud kejahatan hanyalah perbuatan dan penjahatnya, tidak termasuk
korbannya, karena hubungan antara korban dan kejahatan termasuk penjahatnya lebih
bersiIat perdata daripada pidana.
Masing-masing bidang hukum tumbuh berkembang sendiri mengenai
peraturannya, adminitrasi peradilannya. Misalnya dalam hukum pidana ukuran
pembuktian dibutuhkan lebih tinggi, karena itu berlaku adigum 'suatu kesalahan pembuat
kejahatan yang diragukan harus ditolak. Kepentingan umum lebih diutamakan daripada
kepentingan Iinansial perseorangan. Oleh karena itu apabila ternyata korban menderita
suatu kerugian Iinansial perbuatan pidananya selesai. Dalam praktiknya tuntutan ganti
rugi korban dalam proses hukum perdata selalu ditolak sehingga korban dan/atau
keluarganya tidak pernah mendapat restitusi. Oleh karena itu korban dan keluarganya
harus puas atas perbuatan kejahatan telah dijatuhi pidana oleh negara.
Perkembangan dan kemajuan kriminologi pada pertengahan abad keduapuluh
dalam kepustakaan viktimologi ketidakseimbangan perlakuan terhadap pembuat
kejahatan dan korbannya tidak sejalan dengan pandangan baru bahwa keadilan
menghendaki keseimbangan perhatian dan perlakuan terhadap masnusia apapun status
mereka dalam masyarakat yang beradab. Status manusia dalam hukum pidana baik
sebagai pembuat kejahatan maupun sebagai korbannya tertutama mengenai hak dan
kewajiban mereka masing-masing harus seimbang. Dalam hal ini #eiff menyarankan agar
restitusi yang telah diambil alih oleh negara, wajar dikembalikan demi memuaskan rasa
balas dendam korban.
Perubahan dan perkembangan pandangan masyarakat terhadap perhatian dan
perlakuan kepada pembuat kejahatan dan kepada para korbannya pada awalnya muncul
atas pengaruh kriminologi hubungan yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan hasil
interaksi antara pembuat dan korban, hal tersebut dikemukakan oleh Separovic Para
pakar kriminologi, penologi dan viktimologi seharusnya memberikan perhatian dan
perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya dengan seimbang baik mengenai hak
maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya
dalam terjadinya kejahatan.
Menurut Iswanto hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korban memang
berbeda, bahkan bertentangan. Salah satu pemecahan teoritik yaitu mengintegrasikan
aspek kriminologi, aspek penologi dan aspek viktimologi. Pendapat #eiff menyatakan
bahwa hukum pidana modern pada pertengahan kedua abad keduapuluh yang baru lalu
bahwa asas pemidanaan harus menghilangkan siIat pembalasan, dan sebaliknya justru
berkewajiban mempersiapkan pembuat kejahatan agar dapat menjadi warga masyarakat
yang baik. Berbeda bagi korban kejahatan mengharapkan agar pidana bermanIaat
langsung, mengembalikan dirinya seperti dalam kondisi sebelum menjadi korban. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa para kriminolog dan viktimolog menghendaki agar
suatu kejahatan dipertimbangkan dari aspek pembuat kejahatan dan aspek korban dengan
seimbang. Apabila hukum pidana mengintroduksi pendapat tersebut maka masalah pokok
hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, pertanggungjawaban dalam hukum
pidana, dan korban. Jadi hukum pidana bukan criminal-oriented, tetapi seharusnya
criminal- victim oriented, sehingga hukum pidana mengkaji obyeknya dengan tepat,
lengkap, dan kejahatan dapat dijelaskan lebih baik serta sesuai dengan realitas. Bilamana
maksud ini memperoleh tanggapan baik dari pakar hukum pidana, maka hukum pidana
akan lebih hidup dan segar atas jasa sumbangan perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan di luar disiplin hukum khususnya kriminologi dan viktimologi sehingga
hukum pidana dirasakan adil oleh anggota masyarakat beradab.
Dikemukakan oleh Soebagjo dan Supriatna, hukum pidana yang sekarang
berlaku belum mengatur secara seimbang antara pembuat kejahatan dan korban, sehingga
mengakibatkan ketidakpuasan keadilan bagi anggota masyarakat terutama yang menjadi
korban dan keluarganya, apabila dibiarkan dapat menggoncangkan masyarakat seperti
yang sedang kita alami bersama. Hukum pidana yang demikian itu tidak akan mencapai
perdamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
D Penutup
Sebagaimana telah dikemukakan pada pendahuluan makalah ini bahwa 'main hakim
sendiri merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korban kepada pembuat
kejahatan. Strategi dasar penanggulangan tindak pidana main hakim sendiri adalah tidak
berbeda dengan penanggulangan tindak pidana pada umumnya yaitu meniadakan Iaktor-
Iaktor penyebab atau kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.
Dalam mengadapi tindakan main hakim sendiri maka dapat disarankan
pemecahan sebagai berikut :
1. Konsiliasi antara elite-politik
2. Peningkatan kesadaran hukum bagi aparat birokrasi pada semua lapisan birokrat baik
pada Lembaga Tertinggi maupun pada Lembaga Tinggi Negara-Lembaga Tinggi
Negara termasuk para penegak hukum.
3. Supremasi hukum perlu segera dilaksanakan.
4. Hujatan dan penyudutan TNI perlu dihentikan karena TNI sangat dibutuhkan untuk
mempertahankan keamanan, kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
5. Para Koruptor baik pada Era Order Baru maupun pada era ReIormasi diselesaikan
sesuai dengan hukum yang berlaku.
6. Usaha keluar dari krisis ekonomi yang telah berjalan 3 tahun sehingga dapat
menciptakan lapangan kerja, mengurani pengangguran dan peningkatan standar hidup
masyarakat.
7. Peningkatan kualitas sumber daya manusia oleh karena itu pendidikan perlu mendpat
prioritas.
8. Perlakuan yang sama kepada semua warga negara Indonesia pada semua sektor
kehidupan.
9. Demokratisasi, keterbukaan, keadilan benar-benar dilaksanakan dengan konsekuen.
10.Hukum pidana hendaknya berorientasi pada pembuat kejahatan-korban ('ictim-
criminal oriented

DAFTA# PUSTAKA
Iswanto, 1995, Restitusi Kepada Korban Mati atau uka Berat Sebagai Syarat Pidana
Bersyarat pada Tindak Pidana alu intas Jalan, sebuah disertasi di UGM.
Karmen, Andrew, 1984, rime, 'ictims An Introduction to 'ictimologi, Books/ole
Publishing ompany Monterey, CaliIornia.
ReiII, Robert, 1979, The Invisible 'ictim. The riminal Justice Systems Forgotten
Responsibility, Basic Books Inc. Publishers, New York.
SchaIer, Stephen, 1968, The 'ictim and his riminal a study in Functional Responsibility, in
New York and simultaneously in Toronto, Canada, by Random House oI Canada
Limited.
Separovic, Paul Zvonimer, 1985, 'ictimology studies of 'ictims, Publishers 'Zagreb,
Samabor Novaki bb Prauni Fakultet, Zagreb.
Soebagjo M, dan Slamet Supriatna, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Penerbit
Akademika Pressindo CV., Jakarta.
United Nations, 1988, United Nations Action in The Field of Human Rights, New York,
ISBN 92-1-154067-7
Walklate, Sandra, 1989, 'ictimology the 'ictim and riminal Justice Process, First
Published by the Academic Division oI Unwin Heyman Ltd., 15/17 Braad Wick
Street, London W. IV.IFPP. UK.

Anda mungkin juga menyukai