Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

PERCOBAAN IX PENENTUAN PERSAMAAN LAJU (KINETIKA KIMIA)

NAMA NIM KELOMPOK

: IMELDA SUNARYO : H311 08 258 : IV (EMPAT)

HARI/TANGGAL PERC. : SENIN/12 APRIL 2010 ASISTEN : TIUR MAULI

LABORATORIUM KIMIA FISIKA JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGEAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Reaksi kimia ditentukan oleh tinjauan termodinamika dan kinetika. Kinetika kimia dipelajari karena pentingnya kemampuan untuk meramalkan kecepatan campuran reaksi mendekati keseimbangan dimana laju itu dapat bergantung pada variabel yang dikontrol seperti tekanan, temperatur, dan keberadaan katalis. Salah satu faktor pada persamaan laju reaksi itu kecuali suhu, keadaan zat, katalisator, dan kepekatan pereaksi adalah tingkat reaksi atau orde reaksi. Tingkat reaksi ini ditentukan dari hasil percobaan yang menyatakan hubungan antara laju reaksi dengan kepekatan pereaksi tersebut masing-masing. Metode yang umum digunakan adalah melakukan pengubahan konsentrasi awal pereaksi, dimana pada pelacakan tingkat reaksi suatu pereaksi, maka pereaksi-pereaksi yang lain dibuat konstan. Kinetika kimia dalam ilmu pengetahuan adalah bagian dari kimia fisika yang mempelajari tentang kecepatan reaksi-reaksi kimia dan mekanisme reaksireaksi tersebut. Dalam industri, reaksi kimia perlu dilangsungkan pada kondisi tertentu agar produknya dapat diperoleh dalam waktu yang sesingkat mungkin. Reaksi dapat dikendalikan dengan mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Untuk mengamati kesesuaian antara teori dengan aplikasi hasil percobaan di laboratorium, serta menjadikan teori yang dimaksud lebih aplikatif dan mudah

dihadapi, dilakukanlah percobaan penentuan hukum laju reaksi dari ionisasi aseton dalam air yang terkatalis oleh suatu asam.

1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan 1.2.1 Maksud Percobaan Maksud percobaan ini yaitu untuk mengetahui dan memahami cara penentuan hukum kecepatan reaksi dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.2.2

Tujuan Percobaan Tujuan dari percobaan ini yaitu :

1.

Menentukan hukum kecepatan reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang terkatalis dengan asam

2.

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang terkatalis dengan asam.

1.3 Prinsip Percobaan Prinsip percobaan ini adalah menitrasi larutan iod dalam larutan asam sulfat dengan larutan Na2S2O3 dan amilum sebagai indikator pada selang waktu tertentu sehingga dapat ditentukan berapa jumlah iod yang tidak terikat pada aseton. Kemudian menentukan konsentrasi zat penyusun cuplikan berdasarkan volume Na2S2O3 yang digunakan sehingga dapat ditentukan konsentrasi konstanta kecepatan reaksi dan orde reaksi.

1.4 Manfaat Percobaan Manfaat yang dapat diperoleh dari percobaan ini adalah mengetahui cara menghitung konstanta kecepatan reaksi dan orde reaksi melalui percobaan. Selain itu, kita dapat mengetahui cara memipet dan menitrasi dengan benar.

BAB III METODE PERCOBAAN

3.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah aseton, CH3COONa 10 %, H2SO4 2 M, Na2S2O3 0,01 M, Iodin 0,1 M, amilum 1 %, kertas label, tissu dan akuades.

3.2 Alat Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah labu ukur 250 mL, labu erlenmeyer bertutup 250 mL, erlenmeyer biasa 100 mL, gelas kimia 600 mL, gelas kimia 250 mL, buret 50 mL, statif, pipet volume 25 mL, pipet volume 10 mL, pipet volume 5 mL, pipet tetes 1 mL, bulb, gelas ukur 10 mL, stirer magnetik, pengaduk magnetik, klem, dan stopwatch.

3.3 Prosedur Percobaan A. 1. Dimasukkan 25 mL aseton dan 10 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan air hingga 250 mL. 2. Dipindahkan larutan ini ke dalam labu erlenmeyer 300 mL bertutup. 3. Dipipet 25 mL larutan iod ke dalam larutan di atas, diguncangkan dengan kuat, sementara stopwatch dijalankan. 4. Segera setelah reaksi mulai diambil dengan pipet 25 mL larutan, dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan natrium asetat dan kemudian dititrasi dengan larutan tiosulfat dengan amilum sebagai indikator.

5. Cuplikan-cuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 4 menit sampai campuran reaksi menjadi tidak berwarna.

B. 1. Dimasukkan 25 mL aseton dan 10 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan air hingga 250 mL. 2. Dipindahkan larutan ini ke dalam labu erlenmeyer 300 mL bertutup. 3. Dipipet 25 mL larutan iod ke dalam larutan di atas, diguncangkan dengan kuat, sementara stopwatch dijalankan. 4. Segera setelah reaksi mulai diambil dengan pipet 25 mL larutan, dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan aseton dan kemudian dititrasi dengan larutan tiosulfat dengan amilum sebagai indikator. 5. Cuplikan-cuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 10 menit sampai campuran reaksi menjadi tidak berwarna.

C. 1. Dimasukkan 25 mL aseton dan 10 mL larutan asam sulfat ke dalam labu ukur dan diencerkan dengan air hingga 250 mL. 2. Dipindahkan larutan ini ke dalam labu erlenmeyer 300 mL bertutup. 3. Dipipet 25 mL larutan iod ke dalam larutan di atas, diguncangkan dengan kuat, sementara stopwatch dijalankan. 4. Segera setelah reaksi mulai diambil dengan pipet 25 mL larutan, dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan asam sulfat dan kemudian dititrasi dengan larutan tiosulfat dengan amilum sebagai indikator.

5. Cuplikan-cuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 10 menit sampai campuran reaksi menjadi tidak berwarna.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Percobaan Titrasi 1 2 3 A 4 5 6 7 1 2 3 B 4 5 6 1 C 2 3 1800 2400 3000 0 600 1200 10,8 mL 7,3 mL 1,6 mL 25 mL 15,7 mL 6 mL Waktu (s) 0 240 480 720 960 1200 1440 0 600 1200 Volume Na2S2O3 39,4 mL 38,2 mL 32,9 mL 30 mL 40 mL 23,6 mL 18,2 mL 22,1 mL 19,5 mL 13,8 mL

4.2 Reaksi I2 + 2e2 S2O32I2 + 2 S2O322IS4O62- + 2e2I- + S4O62Na2S4O6 + 2 NaI

Reaksi lengkap: 2 Na2S2O3 + I2 4.3 Perhitungan 1. Perhitungan mmol I2 mmol I2 2 mmol Na2S2O3 mmol Na2S2O3 = V Na2S2O3 x M Na2S2O3 mmol I2 = x mmol Na2S2O3 mmol I2 = x V Na2S2O3 x M Na2S2O3 Percobaan A - mmol I2 = x V Na2S2O3 x M Na2S2O3

- mmol I2 = x 39,4 mL x 0,01 M = 0,1970 mmol - mmol I2 = x 38,2 mL x 0,01 M = 0,1910 mmol - mmol I2 = x 32,9 mL x 0,01 M = 0,1645 mmol - mmol I2 = x 30 mL x 0,01 M = 0,1500 mmol - mmol I2 = x 40 mL x 0,01 M = 0,2000 mmol - mmol I2 = x 23,6 mL x 0,01 M = 0,1180 mmol - mmol I2 = x 18,2 mL x 0,01 M = 0,0910 mmol Percobaan B
-

- mmol I2 = x V Na2S2O3 x M Na2S2O3

- mmol I2 = x 22,1 mL x 0,01 M = 0,1105 mmol - mmol I2 = x 19,5 mL x 0,01 M = 0,0975 mmol - mmol I2 = x 13,8 mL x 0,01 M = 0,1380 mmol - mmol I2 = x 10,8 mL x 0,01 M = 0,0540 mmol - mmol I2 = x 7,3 mL x 0,01 M = 0,0365 mmol - mmol I2 = x 1,6 mL x 0,01 M = 0,0800 mmol Percobaan C - mmol I2 = x V Na2S2O3 x M Na2S2O3 - mmol I2 = x 25 mL x 0,01 M = 0,1250 mmol - mmol I2 = x 15,7 mL x 0,01 M = 0,0785 mmol - mmol I2 = x 6 mL x 0,01 M = 0,0300 mmol

2. Penentuan Konsentrasi I2
mmol I 2 Vtot (mL )

[ I2 ] =

V tot = 25 mL cuplikan + 10 ml Na-CH3COOH + 1 mL amilum + V Na2S2O3 Percobaan A

- [ I2]1 =

= = = =

= 2,6127 x 10-3 M = 2,5741 x 10-3 M = 2,3875 x 10-3 M = 2,2727 x 10-3 M

- [ I2]2 =

- [ I2]3 =

- [ I2]4 =

- [ I2]5 =

= = =

= 2,6316 x 10-3 M = 1,9799 x 10-3 M


= 1,6790 x 10-3 M

- [ I2]6 =

- [ I2]7 = Percobaan B

- [ I2]1 =

= = = = = =

= 1,9019 x 10-3 M = 1,7568 x 10-3 M = 2,7711 x 10-3 M = 1,1538 x 10-3 M


= 8,4296 x 10-4 M

- [ I2]2 =

- [ I2]3 =

- [ I2]4 =

- [ I2]5 =

- [ I2]6 = Percobaan C

= 2,1277 x 10-3 M

- [ I2]1 =

= = =

= 2,0492 x 10-3 M = 1,5184 x 10-3 M = 7,1429 x 10-3 M

- [ I2]2 =

- [ I2]3 =

3. Penentuan Kecepatan Reaksi V=d [ I2 ] dt

Percobaan A

-V1 =

I 2 2 I 2 1
t 2 t1

(2,5741 10-3 - 2,6127 10-3 ) M 1,6083 x 10-7 M/s (240 0) s (2,3875 10-3 - 2,6127 10-3 ) M 4,6917 x 10-7 M/s (480 0) s

-V2 =

I 2 3 I 2 1
t 3 t1

-V3 =

I 2 4 I 2 1
t 4 t1

(2,2727 10-3 - 2,6127 10-3 ) M 4,7222 x 10-7 M/s (720 0) s (2,6316 10-3 - 2,6127 10-3 ) M -1,9688 x 10-8 M/s (960 0) s (1,9799 10-3 - 2,6127 10-3 ) M 5,2733 x 10-7 M/s (1200 0) s

-V4 =

I 2 5 I 2 1
t 5 t1

-V5 =

I 2 6 I 2 1
t 6 t1

-V6 =

= 6,4840 x 10-7 M/s

Percobaan B

-V1=

I 2 2 I 2 1
t 2 t1

(1,7568 10-3 - 1,9019 10-3 ) M 2,4183 x 10-7 M/s (600 0) s (2,7711 10-3 - 1,9019 10-3 ) M 7,2433 x 10-7 M/s (1200 0) s (1,1538 10-3 - 1,9019 10-3 ) M 4,1561 x 10-7 M/s (1800 0) s

-V2 =

I 2 3 I 2 1
t 3 t1

-V3 =

I 2 4 I 2 1
t 4 t1

-V4 =

I 2 5 I 2 1
t 5 t1

(8,4296 10-4 - 1,9019 10-3 ) M 4,4123 x 10-7 M/s (2400 0) s (2,1277 10-3 - 1,9019 10-3 ) M -7,5267 x 10-8 M/s (3000 0) s

-V5 =

I 2 6 I 2 1
t 6 t1

Percobaan C

-V1 =

I 2 2 I 2 1
t 2 t1

(1,5184 10-3 - 2,0492 10-3 ) M 8,8467 x 10-7 M/s (600 0) s (7,1429 10-3 - 2,0492 10-3 ) M -4,2448 x 10-6 M/s (1200 0) s

-V2 =

I 2 3 I 2 1
t 3 t1

4.3.4

Penentuan Hukum Kecepatan Reaksi

1. Percobaan A [I2] (M) 2,5741 x 10


-3

Log I2 -2,5894 -2,6221 -2,6435 -2,5798 -2,7034 -2,7749

V (M/s) 1,6083 x 10
-7

Log V -6,7936 -6,3287 -6,3259 -6,2779 -6,1882

Log Vreg -6,5723 -6,4920 -6,4394 -6,5958 -6,2923 -6,1168

2,3875 x 10-3 2,2727 x 10-3 2,6316 x 10-3 1,9799 x 10-3 1,6790 x 10


-3

4,6917 x 10-7 4,7222 x 10-7 -1,9688 x 10-8 5,2733 x 10-7 6,4840 x 10


-7

a.Grafik Sebelum Regresi

B, Grafik Setelah Regresi

V = k [I2]b Log V = log k + b log [I2] Persamaan : y = -2,4553x 12,93 y = Log V b = -2,4553 Log k = -12,93 k = 1,1749 x 10-13 Hukum laju reaksi : V = 1,1749 x 10-13[I2]-2,4553

2. Percobaan B [I2] (M) 1,7568 x 10


-3

Log I2 -2,7553 -2,5573 -2,9379 -3,0742 -2,6721

V (M/s) 2,4183 x 10
-7

Log V -6,6165 -6,1401 -6,3813 -6,3553 -

Log Vreg -6,3521 -6,2973 -6,4027 -6,4405 -6,3291

2,7711 x 10-3 1,1538 x 10-3 8,4296 x 10-4 2,1277 x 10-3

7,2433 x 10-7 4,1561 x 10-7 4,4123 x 10-7 -7,5267 x 10-8

a. Grafik Sebelum Regresi

b. Grafik Setelah Regresi

V = k [I2]b Log V = log k + b log [I2] Persamaan : y = 0,277x 0,5889 y = Log V b = 0,277 Log k = - 0,5889 k = 0,2577 Hukum laju reaksi : V = 0,2577 [I2]-0,277

3. Percobaan C [I2] (M) 8,4296 x 10-4 2,1277 x 10-3 Log I2 -3,0742 -2,6721 V (M/s) 8,8467 x 10-7 -4,2448 x 10-6 Log V -6,0532 Log Vreg -

a. Grafik Sebelum Regresi

b. Grafik Setelah Regresi

4.1 Pembahasan Pada percobaan ini akan ditentukan orde reaksi pengurangan iod terhadap suatu reaksi iodinasi aseton dalam air yang terkatalisis oleh asam. Proses pada percobaan ini dimulai dengan mencampurkan aseton dengan asam sulfat dan air. Dalam hal ini asam sulfat berfungsi sebagai katalis untuk mempercepat reaksi dengan memberikan H+ dalam larutan sehingga akan terbentuk suatu elektrofil pada atom karbon yang nantinya akan digunakan untuk membentuk ikatan rangkap terhadap atom karbon yang lainnya sehingga ikatan rangkap tersebut dapat diadisi oleh suatu iod sehingga iod yang digunakan akan semakin berkurang. Larutan aseton yang telah diencerkan kemudian ditambahkan dengan sejumlah iod, setelah semua iod dimasukkan stopwatch dihidupkan. Setelah itu dengan segera sebagian larutan diambil dan dimasukkan ke dalam larutan cuplikan yang terdiri dari campuran 10 mL natrium asetat dan 1 mL amilum. Adapun natrium asetat berfungsi untuk memastikan reaksi berjalan sempurna, sedangkan amilum digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan titik akhir

titrasi. Larutan ini berwarna biru sebab terbentuk kompleks iod dengan amilum. Selanjutnya larutan dititar dengan natrium tiosulfat untuk mengetahui konsentrasi iod diawal reaksi. Tapi pada awal percobaan yang menggunakan selang waktu 4 menit dan 10 menit, praktikan tidak memasukkan amilum ke dalam larutan cuplikan, ini diakibatkan karena praktikan tidak teliti dalam menjalankan prosedur percobaan. Sehingga data yang diperoleh tidak sesuai dengan teori. Cuplikan-cuplikan selanjutnya diambil dalam selang waktu 4 menit sejak pertama kali penambahan iod ke dalam larutan aseton. Konsentrasi iod didalam larutan sejalan dengan bertambahnya waktu akan terus mengecil, yang ditandai dengan berkurangnya volume natrium tiosulfat yang digunakan untuk menitar cuplikan. Oleh karenanya hasil yang diperoleh seharusnya menunjukkan bahwa selang waktu tersebut memiliki hubungan berbanding terbalik dengan volume natrium tiosulfat. Sementara larutan yang terdiri dari campuran aseton dan iod, sejalan dengan bertambahnya waktu akan mengalami perubahan warna yang semakin bening. Hal ini dikarenakan iod yang memberikan warna pada larutan diawal, konsentrasinya semakin berkurang sejalan dengan berlangsungnya proses reaksi dengan aseton. Dengan mengetahui volume natrium tiosulfat untuk titrasi, maka dapat dihitung konsentrasi iod dalam larutan melalui persamaan reaksi yang terjadi. Konsentrasi iod yang diperoleh sebagai fungsi terhadap waktu digunakan untuk menentukan hukum laju reaksi dengan variabel tetapan laju (k) dan orde reaksi yang dapat ditentukan. Dalam percobaan ini ditentukan pula orde reaksi terhadap pengurangan aseton dan pengaruh katalis asam terhadap laju reaksi. Hal ini dapat dilihat pada

percobaan B dan C. Pada percobaan B digunakan larutan aseton dengan volume yang lebih kecil dari percobaan A, sedangkan pada percobaan C akan dilihat pengaruh katalis asam terhadap suatu laju reaksi dimana volume katalis yang digunakan lebih kecil dari percobaan A. Dari percobaan yang dilakukan dapat dilihat bahwa semakin bertambahnya waktu reaksi maka kecepatan pengurangan iod akan semakin berkurang untuk percobaan A serta pengurangan katalis asam akan membuat laju reaksi semakin lambat. Hal ini dapat dilihat pada percobaan C dimana kecepatan reaksinya berkurang dibanding dengan kecepatan reaksi pada percobaan A. Pada percobaan ini, data yang diperoleh semua percobaan terdapat kesalahan, dimana seharusnya data yang diperoleh harus semakin menurun, tetapi pada data ketiga percobaan terjadi kenaikan dan penurunan jumlah volume natrium tiosulfat yang menyebabkan data menjadi tidak teratur. Hal ini disebabkan karena pada pengambilan data tersebut terjadi masalah pada pemipetan larutan dan saat titrasi akan dilakukan, masalah ini karena kesalahan praktikan yang kurang cekatan melakukan percobaan dan karena adanya masalah pada alat yang digunakan juga karena praktikan lupa memasukkan amilum. Pada percobaan A diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k) = 1,1749 x 10-13 dan b sebagai kemiringan = -2,4553. Percobaan B diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k) = 0,2577dan b sebesar = 0,277. Sedangkan untuk percobaan C tidak diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k) dan b. Ini disebabkan karena pada percobaan C diperoleh V2 negatif sehingga percobaan C hanya mempunyai 1 data, ini tidak memungkinkan untuk dibuat grafikny

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Hukum laju reaksi dari ionisasi aseton adalah untuk percobaan A dengan V = V = 1,1749 x 10-13[I2]-2,4553; percobaan B dengan sedangkan percobaan C tidak mem;punyai nilai V. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi adalah konsentrasi pereaksi dan katalis. Semakin besar konsentrasi reaktan, reaksi berlangsung cepat demikian pula dengan katalis, dengan adanya katalis reaksi akan berlangsung semakin cepat. V = 0,2577 [I2]-0,277;

5.2

Saran Alat yang akan digunakan untuk percobaan harus dalam keadaan bersih

dan baik. Dan ada baiknya jika laboratorium memperbaharui dan melengkapi semua alat dan bahan praktikum yang dibutuhkan agar praktikum dapat berjalan lancar dan percobaan yang dilakukan bisa lebih baik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

The rate of a reaction is dened as the change in concentration of any of its reactants or products per unit time. There are six factors that affect the rate of a reaction (Goldberd, 2005): 1. The nature of the reactants. Carbon tetrachloride (CCl4) does not burn in oxygen, but methane (CH4) burns very well indeed. In fact, CCl4 used to be used in re extinguishers, while CH4 is the major component of natural gas. 2. Temperature. In general, the higher the temperature of a system, the faster the chemical reaction will proceed. A rough rule of thumb is that a 10 C rise in temperature will approximately double the rate of a reaction. 3. The presence of a catalyst. A catalyst is a substance that can accelerate (or slow down) a chemical reaction without undergoing a permanent change in its own composition. For example, the decomposition of KClO3 by heat is accelerated by the presence of a small quantity of MnO2. After the reaction, the KClO3 has been changed to KCl and O2, but the MnO2 is still MnO2. 4. The concentration of the reactants. In general, the higher the concentration of the reactants, the faster the reaction.

5. The pressure of gaseous reactants. In general, the higher the pressure of gaseous reactants, the faster the reaction. This factor is merely a corollary of factor 4, since the higher pressure is in effect a higher concentration. Laju reaksi didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi dari salah satu reaktan atau produk per unit waktu. Ada enam faktor yang mempengaruhi laju reaksi (Goldberd, 2005): 1. Sifat reaktan. Karbon tetraklorida (CCl4) tidak terbakar dalam oksigen, tapi metana (CH4) dapat terbakar dengan sangat baik. CCl4 digunakan untuk digunakan dalam alat pemadam kebakaran, sedangkan CH4 merupakan komponen utama gas alam. 2. Suhu. Secara umum, suhu yang lebih tinggi dari sistem maka akan mempercepat reaksi kimia. Kenaikan suhu sekitar 10 C akan mempercepat laju reaksi. 3. Adanya katalis. Katalis adalah zat yang dapat mempercepat (atau memperlambat) suatu reaksi kimia tanpa mengalami perubahan dari komposisi reaksi itu sendiri. Misalnya, dekomposisi KClO3 oleh panas dipercepat oleh kehadiran sejumlah kecil MnO2. Setelah reaksi, KClO3 berubah menjadi KCl dan O2, tetapi MnO2 tidak mengalami perubahan.

4. Konsentrasi reaktan. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi dari reaktan, semakin cepat reaksi. 5. Tekanan gas reaktan. Secara umum, semakin tinggi tekanan dari reaktan gas, semakin cepat reaksi. Faktor ini merupakan konsekuensi faktor 4, karena tekanan tinggi ini berlaku konsentrasi yang lebih tinggi.

Semua reaksi kimia adalah susunan ulang dalam pola inti atom relatit terhadap sesamanya, dan dalam proses ini jarak antara berbagai atom berubah dalam rentang kontinu. Tetapi, pada suatu saat, mayoritas terbesar dari atom-atom yang hadir dalam sistem itu hadir sebagai sesuatu atau lainnya dalam jumlah kecil dari spesies kimia yang jelas, yakni H2, O2, OH, H2O dan sebagainya, dan dengan alasan inilah mekanisme reaksi dapat ditafsirkan dalam jumlah tidak terbatas. Seperti kimia yang dipakai dalam kinetik adalah susunan yang lebih kurang stabil dari inti atom, masing-masing dicirikan dalam keadaan dasarnya oleh konfigurasi geometri tertentu sebagai pangkal getarannya (Denbigh, 1993). Tahap pertama dalam analisis kinetika tentang reaksi adalah menentukan stoikiometri reaksi dan mengenali setiap reaksi samping. Dengan demikian, data dasar tentang kinetika kimia adalah konsentrasi reaktan dan produk pada waktu yang berbeda-beda setelah reaksi dimulai. Karena laju reaksi kimia umumnya peka terhadap temperatur, maka temperatur campuran reaksi harus dijaga supaya konstan selama reaksi berlangsung. Jika tidak, maka laju yang diamati akan merupakan laju rata-rata pada temperatur yang berbeda-beda, yang tak berarti. Syarat ini menyebabkan tuntutan yang keras pada perancangan eksperimen (Atkins, 1997). Hukum laju mempunyai dua penerapan utama. Penerapan praktisnya: setelah kita mengetahui hukum laju dan konstanta laju, kita dapat meramalkan laju reaksi dari komposisi campuran. Penerapan teoritis hukum laju ini adalah hukum laju merupakan pemandu untuk mekanisme reaksi. Setiap mekanisme yang diajukan harus konsisten dengan hukum laju yang diamati (Atkins, 1997). Penentuan orde reaksi secara praktek dapat dilakukan dengan metode:

a. Metode Integrasi Salah satu cara untuk menentukan orde reaksi adalah dengan jalan mencocokkan persamaan laju reaksi. Masalah utama yang terdapat dalam metode ini adalah reaksi samping dan reaksi kebalikan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan. Tetapi cara ini merupakan cara penentuan orde reaksi yang paling tepat. b. Metode Laju Reaksi Awal Dengan metode ini, masalah reaksi samping dan reaksi kebalikan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan dapat ditiadakan. Pada metode ini, prosedur yang dilakukan adalah mengukur laju reaksi awal dengan konsentrasi awal reaktan yang berbeda-beda. c. Metode Waktu Paruh Secara umum, untuk suatu reaksi yang berorde n, waktu paruh reaksi sebanding dengan 1/c0 n-1, dimana c0 adalah konsentrasi awal reaktan. Jadi, data hasil percobaan dimasukkan ke dalam persamaan diatas, kemudian dibuat kurva yang berbentuk garis lurus dengan cara yang sama seperti pada metode integrasi, adanya reaksi samping mempengaruhi ketepatan metode ini (Bird, 1993). Reaksi antara aseton dan iod dalam larutan air : CH3COCH3 + I2 CH3COCH2I

Berjalan lambat tanpa katalis. Dalam suasana asam reaksi ini berlangsung dengan cepat dan hukum laju reaksinya dapat dinyatakan sebagai :
d I2 k '[aseton]a [ I 2 ]b [ H ]C dt

dengan menggunakan aseton dalam asam dalam jumlah berlebih, persamaan diatas dapat diubah menjadi :
d I2 k '[ I 2 ]b dengan k = k [aseton]a[H+]C dt

Reaksi ini dapat dimonitor dengan cara menentukan konsentrasi I2 sebagai fungsi waktu. Dari data ini ditentukan nilai b, yaitu orde reaksi terhadap iod. Orde reaksi terhadap aseton dan terhadap asam dapat ditentukan dengan cara mengubah

konsentrasi awal kedua zat tersebut (Taba dkk., 2010). Laju reaksi awal adalah laju reaksi setelah segera pereaksi dicampur. Laju ini dapat diperoleh dengan membagi perubahan konsentrasi pereaksi yang terjadi dalam interval waktu pendek yang mengikuti awal reaksi ( pereaksi) dengan interval waktu (t). Laju awal juga sama dengan kemiringan garis tangen pada t=0. Perhitungan yang didasarkan pada laju awal hanya berlaku bila interval waktunya (Petrucci, 1992).

DAFTAR PUSTAKA

Atkins, P. W., 1997, Kimia Fisika Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Bird, T., 1993, Kimia Fisik Untuk Universitas, Gramedia, Jakarta. Denbigh, K., 1993, Prinsip-Prinsip Kesetimbangan Kimia Edisi Keempat, UIPress, Jakarta. Goldberd, E. D., 2005, Beginning Chemistry Third Edition, McGraw-Hill, New York. Petrucci, R. H., dan Suminar., 1999, Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern, Edisi Keempat Jilid 1, Erlangga, Jakarta. Taba, P., Zakir, M., dan Fauziah, S., 2010, Penuntun Praktikum Kimia Fisika, Universitas Hasanuddin, Makassar.

LEMBAR PENGESAHAN

Makassar, 12 April 2010 Asisten, Praktikan,

(Tiur Mauli)

(Imelda Sunaryo)

Anda mungkin juga menyukai