Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

TERAPI IMMUNOLOGI PADA RINITIS ALERGI

Oleh :

Oleh : Nama NIM : M. Sadid Faizin : 04.06.0012

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM 2011

BAB I PENDAHULUAN

Alergi adalah penyakit kronis yang sangat mengganggu hilang dan timbul tidak menentu, sulit dideteksi penyebabnya. Berbagai pendekatan terapi pada alergi telah dilakukan salah satu diantaranya adalah imunoterapi. Imunoterapi atau desensitisasi atau allergy injection therapy adalah suatu terapi yang memerlukan proses panjang dari suatu suntikan yang berulang dari ekstrak alergen yang disuntikkan pada pasien dengan penyakit alergi, yang jelas faktor alergen pencetusnya, dengan tujuan untuk mengurangi gejala penyakitnya.2 Pertama kali imunoterapi alergen dilakukan dan dilaporkan oleh Noon dan Freeman pada tahun 1910 yang menguraikan pembuatan ekstrak grass pollen dan disuntikkan dengan dosis yang meningkat pada penderita rhinitis alergi. Sejak itu digunakan selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang disebabkan oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rhinitis dan juga asma alergi, tetapi tidak diindikasikan pada alergi makanan.2 Tahun 1918 Cooke dari Amerika Serikat melaporkan suatu kondisi alergi seperti hay fever dan asma yang berasal dari antibodi yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Pada tahun 1922 ia mengemukakan metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan hal ini yang berkembang menjadi imunoterapi sampai saat ini. Sebelum itu, Prausnitz dan Kustner tahun 1921 melakukan percobaan dengan menyuntikkan serum yang tidak dipanaskan dari donor alergi kepada resipien non-alergi (uji P-K). Mereka berhasil membuktikan bahwa individu alergi memiliki serum terhadap antigen spesifik (reagin) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu non alergi. Cooke tahun 1935 mengemukakan konsep antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat pada pemberian imunoterapi. Tahun 1967 pertamakali dikemukan nama immunoglobulin E (IgE) oleh Ischikawa dan tahun 1977 Yungiger dan Gleich mengemukakan bahwa terjadi kenaikan titer IgE pada saat musim semi dan terjadi penurunan apabila musim tersebut berganti.2 Pada tulisan ini akan dijabarkan mengenai Terapi Immunologi Pada Rinitis Alergi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung (hidung dalam) dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung.1 Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas: struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) 2) 3) 4) 5) 6) pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Sedangan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu : 1) 2) 3) 4) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor, dan tepi anterior kartilago septum. Belahan bawah apertura piriformis hanya kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maksila it berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh
3

prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosessus maksilaris medial embrio yang meliputi premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula dengan tepi ur pernapasan.atas kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolumela, di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas lobulus hidung pentng untk ekspresi wajah, grakan mengendus, dan bersin. Otot ekspresi wajah yang terletak subkutan di atas tulang hidung, pipi anterior dan bibir ats menjamin mobilitas lobulus. Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut menyokong hidung luar. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam dibatasi di sebelah inferior oleh krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh septum nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior dan lateral. Struktur tersempit dari seluruh saluran pernapasan atas adalah apa yang disebut sebagai limen nasi atau os internum oleh ahli anatomi, atau sebagai katup hidung Mink oleh ahli faal. Istilah katup dianggap tepat karena struktur ini bergerak bersama, dan ikut mengatur pernapasan.1 Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah: 1) 2) 3) 4) lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya terdapat konkakonka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapt rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus,
4

ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medianus dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.1 Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.

Hidung Dalam Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga udara yang tak teratur diantaranya meatus superior, media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti dari rongga gubah resistensi, dan akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan eksprasi. Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan badan vaskular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret mukosa. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis dan sinus maksilaris. Selsel sinus etmoidalis posterior bermuara pada resesus sfenoetmoidalis.1

2. Fisiologi Hidung
5

1. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 2. Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi dengan cara : a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C. 3. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi Silia Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
6

hidung

sebagai

pengatur

kondisi

udara

perlu

untuk

mempersiapkanudara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan

4. Indra penghirup Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. 5. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 6. Proses bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2. Rinitis Alergi Definisi Rhinitis berasal dari kata rhino yang artinya hidung dan itis yang artinya peradangan, sedangkan alergi adalah penyebabnya. Jadi rhinitis alergi adalah peradangan selaput lendir hidung karena alergi.1 Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE. Rhinitis alergi merupakan masalah yang global yang menyerang sekitar 10% sampai 40% penduduk dunia dan
7

meningkat sekitar 40 tahun terakhir ini. Penyakit ini masih sering disepelekan, untuk itu perlu diberikan beberapa informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat mengetahui berbagai upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.1 Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan alergen yang diperantarai oleh Ig E.1

Patofisiologi Rinitis Alergi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensititasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1 Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MCH kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi TH1 dan Th2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 3 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
8

kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkannya Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PDG2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4, bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1 Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Celluler Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). 1

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
9

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulanya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non-spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1 Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis alergi. Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada rhinitis alergi ditandai oleh gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu hidung. Gejala-gejala tersebut diakibatkan kinerja histamine dan berbagai mediator lain.3 1. Bersin-bersin (sneezing) Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan alergen dihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan hanya kadangkadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida endotelin-1 yang dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin. 2. Gatal-gatal (pruritus) Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya diketahui dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus C tak bermyelin (unmyelinated) dekat bagian basal, epidermis,atau mukosa, yang Dapat menimbulkan rasa gatal khusus, yang disalurkan secara lambat sepanjang neuron sensoris yang kecil didalam nervus spinalis ke thalamus dan korteks sensoris. Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada rhinitis alergi secara khas menimbulkan gatal palatum. Gatalgatal terjadi pada saat histamin berikatan dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi langsung pasca provokasi histamine. Mungkin juga prostatglandin berperan namun hanya kecil saja disalurkan secara lamba. 3. Beringus (rhinorrhea) Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membrane mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan allergen dan berakhir pada
10

sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus merupakan gejala dominan sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar tersebut merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan plasma dan molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pembuluh darah hidung. Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang diduga karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung pada reseptor H1. Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus dapat terjadi pada hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks nasonasal dan sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh atrophin pretreatment. Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat kombinasi proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa hidung ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral. Pacuan hidung dengan leukotriene dan bradikinin juga menyebabkan beringus melalui mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar. Mediator lain yang juga berperan pada proses beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP). 4. Buntu hidung (nasal congestion) Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang tidak menetap, tetapi terjadi temporer akibat kongesti sementara yang bersifat vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung juga menambah sumbatan hidung. Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan akibat buntu hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung lebih dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin,bradikinin, PGD2, LTC4, LTD4, PAF. Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung singkat saja,tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL, peran histamine terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran leukotrien (LTC4, LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat dibanding histamin. Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersinbersin dan tanpa beringus. PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung. Demikian juga neuropeptida substance P dan calcitonin-gene related dapat menimbulkan vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung (Sumarman,2001).
11

Peran Sitokin Pada Rinitis Alergi. Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah ditemukan oleh Mosmann et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4+) cenderung memproduksi dua jenis sitokin yang berbeda. Berdasarkan jenis produk sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan menjadi sel Th1 dan sel Th2. Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi oleh jenis antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat, lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T serta faktor genetik. Pada infeksi intrasel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN- dan IL-2. Penelitian lebih lanjut ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin IFN- dianggap sebagai prototipe sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan protipe sitokin Th2.4 Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan mengalami polarisasi menjadi sel Th2 yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin yang disebut pula sebagai sitokin tipe 2 antara lain antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan GM CF yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik yaitu menginduksi sellimfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain yang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:IFN- dan IL-2.4 Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang diproduksi oleh sel Th2, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien, dapat dideteksi dalam w aktu 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam. Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan Th2 adalah mengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan IgG4. Seperti diketahui IgE merupakan kunci untuk terjadinya penyakit atopi.4 Sitokin IFN- selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh sel NK dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T, sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh makrofag berupa TNF-a dan IL-12 dan IFN- sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruh lingkungan mikrositokin yang ada. Secara bersamaan IFN- dan IL-12 terlibat dalam menentukan diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.4 Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monosit-makrofag yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang merupakan sumber
12

utamanya adalah sel-sel dendrit yang memproses dan menyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T. Sel dendrit merupakan sel penyaji antigen kunci yang mengaktifkan sel T naive dan dapat dikatakan sel dendrit merupakan pengatur diferensiasi sel Th1. Peran tersebut terutama setelah dendrit mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat yang lain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan endositosisnya, sedangkan kemampuan presentasi antigennya meningkat dengan mengubah ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan meningkatkan produksi sitokin imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditransduksikan oleh tool like receptor (TLR) yang diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal bahaya ini cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit untuk memproduksi sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin tipe 1 yang lain. Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan yang terdapat selama berlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan produksi IL12 adalah IFN- dan TNF-, sedangkan yang menghambat produksinya adalah IL-4, IL13, TGF-B dan IL-10. Di antara mediator-mediator tersebut IFN- merupakan stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementara itu diketahui IL-12 mempunyai efek memicu produksi IFN-, meskipun secara invitro untuk mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-. Produksi IL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu secara langsung oleh lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari mikroorganisme patogen. Dengan demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama untuk diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN- oleh sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan monosit oleh IFN- sehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu jalur feedback positif. Gangguan kerja sitokin IL-12 mengakibatkan tidak ada respon Th1 yang persisten, sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4 dan IL-10 yang merupakan produksi sel Th2. Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara sitokin Th2 dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13 akan menekan produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut ditambahkan saat stimulasi monosit tetapi preinkubasi yang lama dengan kedua sitokin tersebut (IL-4 dan IL-13) akan memicu produksi IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang penting pada penyakit alergi, yaitu PGE2 dan histamin, ternyata juga mempunyai efek menekan produksi IL-12.
13

Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara luas karena perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan timbal balik antara imunitas humoral dan seluler dan menjelaskan terjadinya penyakit alergi sebagai akibat produksi berlebihan oleh sel Th2. Sementara itu diketahui bahwa sitokin Th1 (IFN) dapat menghambat produksi sitokin Th2 (IL-4) dan sebaliknya, sitokin Th2 (IL-4) dapat menghambat produksi sitokin Th1 (IFN-). Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah mengalami diferensiasi penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Akan tetapi sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian sel memori Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-12 yang merupakan pemicu IFN- yang poten. Suatu penemuan yang menunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi sel memori relatif fleksibel dan dapat dirubah (reprogrammed) merupakan suatu konsep penting dan mempunyai arti yang bermakna untuk pengobatan penyakit alergi. Kemampuan sitokin IL-12 untuk merubah kembali respon imun Th2 menjadi respon imun TH1 telah disemonstrasikan baik secara invitro maupun invivo. Secara in vitro diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4 dalam suatu kultur darah tepi penderita alergi dan menekan produksi IgE oleh monosit darah tepi. Penelitian lain menunju bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4 dan IL-10 secara spesifik dan meningkatkan produksi IFN- pada sel T CD4+ pada penderita rinitis alergi.

Etiologi Antigen Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen. Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat kimia yang terikat protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar secara kronik. Pemaparan antigen sebelumnya secara alami merupakan faktor penting yang akan menentukan tingginya kadar IgE spesifik. Secara umum paparan ulang terhadap antigen tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopi terhadap antigen bersangkutan.1
14

Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan antigen lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai adjuvan alami, karena itu gagal merangsang respon imun bawaan yang kuat yang seharusnya dapat meningkatkan aktivasi makrofag dan sekresi sitokin penginduksi sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-8. Sifat alergenik diduga terletak pada antigen itu sendiri, mungkin dalam epitop yang dikenal oleh sel tertentu. Walaupun tidak ada struktur protein khusus yang dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat bahwa protein itu alergenik, ada beberapa gambaran khas pada alergen yang sering dijumpai. Gambaran itu menyangkut berat molekul kemudian glikosilasi, dan sifat kelarutannya dalam cairan tubuh.16 Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing kedalam tubuh, terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari : 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat nonspesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.Bila Ag masih ada atau ada defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier.

Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh .20 Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel, dan bulu binatang serta jamur. 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, cokelat, ikan, udang. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
15

4. Alergen kontakan, yang masuk melelui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1 atau reaksi anafilaksis, tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin. Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari , yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4hari/minggu atau kurang dari 4 minggu 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu 2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

Manifestasi Klinis Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin yang berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik yaitu proses membersihkan diri. Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
16

Gejala lain adalah keluarnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu, sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Diagnosis Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

Pemeriksaan rinoskopi anterior Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak. 1. 2. Pemeriksaan naso endoskopi Pemeriksaan sitologi hidung Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil 5 sel/lap mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

Hitung eosinofil dalam darah tepi Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper

radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
17

pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay)

Uji kulit Untuk mencari alergen penyebab secara invivo. Jenisnya skin end-point

tetration/SET (uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji cukit), scratch test (uji gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus untuk alergi makanan (ingestan alergen) dan provocative neutralization test atau intracutaneus provocative food test (IPFT) untuk alergi makanan (ingestan alergen). Tatalaksana 1. Hindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Keduanya merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan) 2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat.
3. Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang

mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi.

Imunoterapi

atau

hiposensitisasi

digunakan

ketika

pengobatan

medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan. Komplikasi 1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
18

3. Sinusitis paranasal. 4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya pada anak-anak. 5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma bronkial. Prognosis Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen.

19

BAB III PEMBAHASAN

Imunoterapi untuk penyakit alergi disebut juga sebagai imunoterapi spesifik karena metode ini memberikan ekstrak alergen yang sensitif pada penderita untuk merubah atau menghilangkan gejala alergi. Prosesnya spesifik karena pengobatan ini ditujukan pada alergen yang diketahui oleh penderita dan dokter sebagai penyebab gejala alergi. Keputusan untuk melakukan imunoterapi diperlukan pemeriksaan yang teliti mengenai keadaan penderita dan peran dari alergen.7 Imunoterapi pertamakali dikembangkan di St Mary Hospital London pada akhir abad ke 19. Prinsip dasarnya banyak ditulis oleh Noon dan Freeman yang masih dianut sampai sekarang. Pada umumnya penderita menerima suntikan ekstrak alergen dimulai dengan dosis yang sangat kecil dan dinaikkan berjenjang setiap minggu sampai dosis rumatan tercapai. Dosis ini diberikan sampai 3-5 tahun.2 Pemberian dosis meningkat umumnya dilakukan tiap minggu, namun ada juga yang memberikan dengan cara setiap hari dalam seminggu, dilanjutkan 1 minggu istirahat kemudian disusul seminggu setiap hari. Cara ini disebut semi rush protocol. Ada juga yang memberikan semua peningkatan dosis sampai rumatan dalam 1 hari. Cara ini disebut sebagai rush protocol.2 Mekanisme Imunoterapi Beberapa mekanisme keberhasilan imunoterapi.7 1. Induksi pembentukan IgG (blocking antibody) 2. Penurunan produksi IgE 3. Penurunan pengerahan sel efektor 4. Perubahan keseimbangan sitokin (pergeseran dari Th2 ke Th1) 5. Anergi sel T 6. Induksi terjadinya Sel T regulator Sampai saat ini imunoterapi dipercayai bekerja pada antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik meningkat sementara pada awal pemberian imunoterpi, tetapi menurun setelah dosis rumatan.2
20

imunoterapi

telah dikemukakan untuk menerangkan

Reaksi cepat kulit menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya ndalam perbaikan klinis. Dipihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara nyata setelah imunoterapi.4 Imunoterapi juga mengiduksi IgG spesifik terhadap alergen, berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah dengan perbaikan klinis. IgG terutama meningkat berkorelasi dengan peningkatan dosis. Imunoterapi Untuk Rinitis Alergika Imunoterapi spesifik sangat efektif untuk Rinitis Alergika terutama jika penyebabnya terbatas. Seperti penggunaan untuk penyakit lain, sangat penting dilakukan pemilihan pasien yang tepat. Efektifitas imunoterapi terhadap Rinitis Alergika musiman (Seasonal Allergic Rhinitis) terutama yang gagal dengan pengobatan konvensional, telah banyak dibuktikan pada beberapa penelitian.8 Data yang telah ada menunjukkan bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada Rinitis Alergika cukup efektif memberi penyembuhan, dan kasiatnya masih bertahan sampai 6 tahun setelah imunoterapi dihentikan.8 Hal ini sangat kontras dengan pengobatan konvensional yang biasanya berhenti kasiatnya begitu pengobatan dihentikan. Kegunaan imunoterapi untuk rinitis alergi perrenial kurang memuaskan dibanding rinitis alergika musiman. Hal ini mencerminkan lebih infeksi, dan sensitifitas terhadap aspirin. Beberapa maupun klinis.5 Imunoterapi Bentuk Lain Beberapa bentuk lain imunoterapi telah diteliti antara lain: Imunoterapi lokal. Imunoterapi lokal dengan dosis tinggi telah dipakai pada awal pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1998 European Academy of Allergy and Clinical Immunology mengevaluasi 31 publikasi mengenai lokal imunoterapi antara lain imunoterapi nasal, sublingual, dan intrabronkial.32 Efek samping lebih sedikit pada prosedur ini dan efektif pada rinitis alergika.7
21

kompleksnya faktor penyebab membuktikan adanya

rinitis alergi perrenial. Selain alergi, ada penyebab lain yaitu instabilitas vasomotor, penelitian perbaikan toleransi terhadap paparan dengan bulu kucing, baik melalui uji provokasi

Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa imunoterapi sublingual dosis rendah juga efektif pada pengobatan asma pada anak.7 Pada penelitian ini dibuktikan tejadi perbaikan variabilitas PEFR dan penurunan penggunaan obat setelah imunoterapi sublingual selama 3 bulan. Enzyme-Potentiated Desensitisation. Pada prosedur ini dosis kecil allergen diberikan bersama enzim betaglucuronidase. Dosis alergen hanya 0.1% dari dosis subkutan, efek samping tidak pernah dilaporkan. Enzim beta-glucuronidase menyebabkan alergen lebih mudah mencapai sistim imun.dengan efisien dibanding tanpa enzim. Desensitisasi Homeopathik. Konsep homeopati adalah pemberian dosis kecil penyebab penyakit. Pengobatan ini terbukti efektif pada pemberian dosis kecil pollen untuk penderita Hay Fever.4 Imunoterapi Masa Depan Dengan kemajuan biologi molekuler, penyempurnaan imunoterapi mulai dikembangkan.7 Teknologi baru imunoterapi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Alergen rekombinan Alergen hipo-alergenik Vaksin peptida Sel T Imunostimulan Th1 Komplek alergen-imunostimulan Anti IgE

22

BAB IV KESIMPULAN

Imunoterapi telah digunakan dalam penyakit alergi lebih dari satu abad. Pada rinitis alergika yang gejalanya jelas dicetuskan oleh paparan alergen menunjukkan hasil yang baik. Mekanisme imunoterapi bertitik tangkap pada sel T dengan cara menurunkan respons pembentukan IgE terhadap rangsangan allergen. Jika digunakan pada pasien yang tepat, imunoterapi sangat efektif dan aman, tetapi harus tetap memperhatikan adanya efek samping. Perlu seorang yang ahli dalam memberikan imunoterapi dan siap dalam penanggulangan efek samping. Masa depan imunoterapi termasuk pengembangan ekstrak yang terstandardisasi lebih baik, dan penggunaan ekstrak rekombinan. Keduanya akan memberikan pola keamanan yang lebih sempurna. Seiring dengan itu, saat ini sedang dikembangkan ekstrak alergen yang bersifat lebih mengarah modulator imun dengan tujuan pendekatan yang lebih umum untuk penderita yang sensitif terhadap alergen multiple.

23

DAFTAR PUSTAKA

1.

Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Rinitis Alergi, dalam Buku AjarIlmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.

2.

Freeman J. Vaccination against Hay fever: report of results during the first three years. Lancet 1994;1:1178. Adams, George L. 1997. Kelainan Alergi Pada Pasien THT, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC Frew AJ. Immunotherapy of Allergic Disease. J Allergy Clin Immunol 2003, 111: s712-9. Bousquet J, Demoly P, et al. Specific immunotherapy in rhinitis and asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87:38-42. Horak F. Manfestation of allergic rhinitis in latent sensitised patients. A

3.

4. 5. 6. 7.
8.

prospective study. Arch Otorhinolaryngol 1985;242:242-9. Commity on the Safety of Medicine. CSM update: immunotherapy. Br Med J 1986;293:948. Hamelmann E, Rolinck-Werninghaus C, et al. Is there a role for anti-IgE in combination with specific allergen immunotherapy?. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2003;3:501-10.

24

Anda mungkin juga menyukai