Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus

TRAUMA TUMPUL LARING

Presentator : Ign. Adhi Akuntanto Moderator : dr. Donny Haryxon T

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RS DR.Sardjito Yogyakarta 2011

Bab I Pendahuluan

Fungsi laring sebagai salah satu organ traktus respiratorius bagian atas dapat terganggu oleh bermacam macam penyakit, diantaranya adalah trauma. Beberapa macam penyebab trauma tumpul pada laring antara lain kecelakaan bermotor, cedera olahraga dan akibat perkelahian. Sementara itu cedera tembus pada laring biasa disebabkan oleh peluru pistol dan pisau.1,2,3 Trauma laring dapat terjadi karena benturan langsung pada daerah leher dan bisa mengancam jiwa sehubungan dengan obstruksi jalan nafas. Oleh karena itu, pasien yang dicurigai mengalami trauma laring harus ditangani dengan sangat hati hati.1 Trauma laring adalah suatu kondisi kegawatan yang cukup jarang terjadi, dimana insidensi di USA sedikitnya sekitar 1 kejadian dalam setiap 30.000 kunjungan di ruang gawat darurat.1,4,5 Kecilnya angka kejadian kemungkinan berkaitan dengan lokasi laring yang sangat terlindung, dengan vertebra cervicalis di posterior, mandibula di sebelah anterior dan superior dan sternum di inferior. sifat perlindungan ini meningkat pada anak anak, karena posisi laring yang cenderung lebih tinggi dan karena sifatnya yang elastic. Wanita lebih rentan akan terjadinya cedera laring, terutama pada bagian supraglotis. Sementara itu, secara keseluruhan (77% : 23%) laki laki cenderung mengalami kejadian trauma laring lebih tinggi, berkaitan dengan partisipasinya pada olahraga keras.1,6,7 Trauma laring bisa tidak dikenali karen pasien mungkin tampak normal dalam beberapa jam setelah kejadian.8 Perjalanan klinis setelah trauma tumpul pada leher tidak bisa dipastikan, oleh karena itu tindakan rawat inap dan monitoring dalam 24 jam pertama setelah terjadinya trauma laring, sangat disarankan, untuk mengenali tanda tanda kegawatan nafas. Suatu riwayat trauma leher yang ditandai dengan hoarseness, kesulitan bernafas dan nyeri harus selalu diwaspasai sebagai suatu cedera laring.1,4,5

Bab II Tinjauan Pustaka

A. Anatomi Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian ats lebih besar daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid.9,10 Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid, dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandible dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.9,10 Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea. Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran. Terdapat dua buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulatio krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotika, dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.9,10,11 Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasio krikotiroid dan artikulasio krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum

kornikulofaringeal, ligamentum hyotiroid lateral dan medial, ligamentumhioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.9,11 Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot otot ekstrinsik dan otot otot intrinsic. Otot otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot otot
3

instrinsik menyebabkan gerakan bagian bagian laring tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara. Otot otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas maupun dibawah tulang hyoid. Otot otot ekstrinsik yang suprahyoid antara lain adalah m. digastrikus, m. geniohyoid, m. stylohyoid, dan m. milohyoid. Otot otot yang infrahyoid adalah m. sternohyoid, m. omohyoid dan m. tirohyoid. Otot otot ekstrinsiklaring yang suprahyoid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahyoid menarik laring ke atas. Otot otot intrinsic laring adalah m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m. vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika dan m. krikotiroid. Otot otot ini terletak di bagian lateral laring. Sementara itu otot otot intrinsic laring yang terletak di posterior adalah m. aritenoid transversum, m. aritenoid oblik dan m. krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot otot intrinsic adalah otot aduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali m. krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abductor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral)9,11 Batas atas rongga laring (cavum laring) ialah aditus laring, batas bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglottis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya adalah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid konus elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah m. aritenoid transverses dan lamina kartilago krikoid.9,11 Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan kigamentum ventrikulare maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kanan dan kiri disebut rima glottis, sedangkan antara plika ventrikularis disebut rima vestibule. Plika vikalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring menjadi 3 bagian, yaitu vestibulum laring, glotik dan subglotik. Vestibulum laring adalah rongga laring yang terdapat di atas plika ventrikularis . daerah ini disebut supraglotis. Antara plika vokalis dan plika ventrikularis pada tiap sisisnya disebut ventrikulus laring morgagni. Rima glottis terdiri dari dua bagian yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago. Bagian intermembran adalah ruang antara kedua plika vokalis dan terletak anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid dan terletak di bagian posterior. Sementara itu daerah subglotik adalah rongga laring yang terletak di bawah plika vokalis.9,10,11
4

Laring dipersarafi oleh cabang cabang nervus vagus, yaitu nervus laringis superior dan n. laringis inferior. kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus laringis superior mensarafi m. krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula mula terletak di atas m. konstriktor faring medial, di sebelah medial a. karotis interna dan eksterna, kemudian menuju kornu mayor tulang hyoid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m. konstriktor faring inferior dan menuju m. krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m. tirohioid terletak di sebelah medial a. tiroid superior, menembus membrane hiotiroid, dan bersama sama dengan a. laringis superior menuju ke mukosa laring. Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari nervus rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. nervus ekuren merupakan cabang dari n. vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang a. subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n, rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang cabang a. tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelnjar tiroid akan sampai pada permukaan medial m. krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid , saraf ini bercabang 2 menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan mensarafi otot otot intrinsic laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mensarafi otot otot intrinsic laring bagian superior dan mengadakan anstomosis dengan n. laringis internus.9,10,11

B. Trauma laring Trauma laring relative tidak sering terjadi, diperkirakan hanya berkisar 1 kejadian setiap 30.000 kunjungan IGD , dengan angka kematian mencapai 4 kasus tiap 10 kejadian trauma tumpul.2 Penanganan yang tepat pada cedera laring sangat penting untuk menjaga keselamatan jalan nafas dan suara pasien. Perhatian dini pada setiap pasien dengan cedera laring ditekankan pada keamanan jalan nafas. Sementara itu fungsi suara seringkali bergantung pada efektifitas manajemen awal.1,3 Setiap kasus trauma laring eksterna memiliki masalah masalah yang khas, tapi meskipun terdapat beragam jenis cedera, guidline penanganan khusus yang sesuai harus diterapkan untuk mendapatkan hasil terbaik setelah trauma tumpul atau tembus laring. Keparahan cedera dan penundaan penanganan berhubungan dengan hasil yang buruk.1

Suatu riwayat trauma leher yang ditandai dengan hoarseness, kesulitan bernafas dan nyeri harus selalui diwaspadai sebagai suatu cedera larynx.5

1. Patofisiologi cedera laring a. Trauma tumpul Trauma tumpul laring terutama disebabkan kecelakaan sepeda motor, cedera olahraga atau perkelahian. Walaupun mandibula dan sternum secara alami melindungi laring, hiperekstensi leher dapat terjadi selama trauma, dimana rangka laring terjepit diantara obyek dan vertebra cervical.1,2,3 Adanya Benturan sedang pada laring dapat menyebabkan hentakan pada vocal folds yang mengakibatkan efek gesekan antara musculus vokalis dan perikondrium internal. Hal ini mengakibatkan cedera seperti edema dan hematom mukosa endolaring. Trauma yg lebih berat menyebabkan fraktur kartilago kartilago laring dan kerusakan ligament ligament laring.1 Subluksasi atau dislokasi kartilago aritenoid dapat menyebabkan fixed vocal fold. Cedera unilateral pada nervus rekuren laring sering dihubungkan dengan cedera sendi krikoaritenoid sehubungan dengan kedekatan nervus rekuren laryng pada kartilago krikoid. Fraktur fraktur dari kartilago tiroid dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan cedera lain, terutama nafas.1 Cedera yang disebut chothestline injury yang terjadi dalam hubungannya dengan trauma laring tumpul membutuhkan perhatian khusus sehubungan dengan keparahannya. Cedera ini biasanya terjadi pada pengendara motor. Adanya perpinadahan energy yang besar ke area kecil pada leher mengakibabtkan hantaman pada kartilago laring dan biasannya menyebabkan terpisahnya krikotrakeal. dengan terpisahnya krikotrakeal.
1,2,3

trauma cervical bawah. Karena merupakan satu satunya yang berupa cincin

sempurna, keutuhan struktur kartilago tiroid penting dan mendasar pada keutuhan jalan

Cedera nervus rekuren bilateral sering dikaitkan

Fraktur tulang hyoid dan cedera epiglottis dapat meyebabkan obstruksi jalan nafas. Cornu mayor atau minor karitilago tiroid dapat menyebabkan laserasi mukosa pharing karena penekanan oleh vertebra cervical. Perbedaan umur dan jenis kelamin pada orang dewasa telah dihipotesiskan sebagai penyebab perbedaan tipe dari cedera karena trauma tumpul. Wanita disebut lebih mungkin menderita cedera supraglotis daripada laki laki karena wanita memiliki
6

leher yang pamjang dan kurus. Orang ang lebih tua disebut memiliki resiko lebih tinggi menderita fraktur laring communited daripada yang berusia lebih muda, karena orang tua cenderung mengalami kalsifikasi laring.1 Trauma tumpul cenderung mengakibatkan efek yang berbeda antara anak dengan orang dewasa. Laring pada anak anak terletak lebih tinggi dan terlindung mandibula lebih baik daripada orang dewasa. Fraktur laring lebih jarang terjadi pada anak dan cedera cenderung lebih ringan. Hal ini kemungkinan karena elastisitas kartilago anak. Walaupun begitu, kurangnya jaringan penyokong fibrous dan perlekatan longgar membrane mukosa meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan lunak pada anak dan menyebabkan prognosis yang lebih buruk, terutama pada cedera yang lebih berat.12 Membrane krikotirohioid pada anak anak cenderung sempit dan hal tersebut menurunkan kemungkinan separasi laringotrakeal. Beberapa kasus rupture membrane pada trakea anak yang berkaitan dengan cedera tumpul leher minor juga telah dilaporkan.13

b. Trauma tembus Luka karena pisau dan pistol adalah penyebab utama trauma tembus. Cedera bervariasi dari laserasi minor hingga kerusahan berat dari kartilago, jaringan lunak, mukosa, nervus, dan struktur struktur didekatnya. Sejumlah besar energi diabsorbsi oleh jaringan leher pada luka tembak, dan oleh karena itu tingkat cedera berhubungan langsung dengan kecepatan dan massa peluru. Luka tembak lebih sering dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang berat daripada luka karena pisau. Luka karena senjata militer atau senapan pemburu dengan kecepatan tinggi menghasilkan luka berat/parah. Kematian biasanya disebabkan karena kerusakan total laring, edema massif jaringan lunak, atau karena cedera neurovaskuler. Kebanyakan cedera trauma tembus pada penduduk terbatas pada jalur peluru karena disebabkan peluru berkecepatan rendah atau menusuk. Luka karena pisau menyebabkan kerusakan jaringan lunak perifer yang tidak sehebat karena pistol dan cenderung menghasilkan luka yang bersih, tapi cukup sulit untuk menentukan kedalaman penetrasi. Cedera pada struktur dalam, seperti pada duktus toraksikus, mervus kranialis, pembuluh darah besar dapat terjadi cukup jauh dari lubang masuk luka.1 Klasifikasi cedera laringotrakeal :1,2,6
7

Grup 1 Grup 2

: Hematoma, oedema atau laserasi minor endolaring tanpa fraktur : Hematoma minor, oedema, kerusakan mukosa tanpa keterlibatan kartilago dan terdapat fraktur nondisplased pada pemeriksaan CT scan

Grup 3

: Oedema massif, kerusaan mukosa, fraktur displaced, keterlibatan kartilago dan atau cord immobilization.

Grup 4

: Sama dengan grup 3 dengan tanbahan 2 atau lebih garis fraktur, instabilitas rangka atau trauma komisura anterior yang signifikan.

Grup 5

: Separasi komplet laringotrakeal

2. Diagnosis dan evaluasi Manajemen awal trauma laryng harus mengikuti prinsip ATLS. Tindakan memastikan jalan nafas aman menjadi prioritas utama dibandingkan tindakan yang lain. Harus selalu dicurigai adanya cedera spina leher hingga terbukti sebaliknya. Terdapat beberapa kontroversi dalam manajemen saluran nafas, namun sebagian besar penulis merekomendasikan trakeostomi dibawah anestesi lokal pada pasien dengan kegawatan nafas. Percobaaan tindakan intubasi nasotrakeal ataupun orotrakeal dapat menghasilkan kerusakan yang lebih hebat. Krikotiroidotomi harus dihindari karena berpotensi menyebabkan cedera yang berat pada pasien dengan trauma larynx. Pertimbangan khusus berlaku pada pasien anak anak. Dimana berkaitan dengan ukuran saluran nafasnya yang lebih kecil dan potensi terjadinya oedem, disarankan untuk dilakukan trakeostomi saat bronkoskopi ventilasi di meja operasi. Pada pasien dengan tanpa kesulitan bernafas, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detail dapat dilakukan.1,3

3. Pemeriksaan Fisik Setelah kejadian trauma, pemeriksaan fisik yang teliti diperlukan untuk

mengidentifikasi cedera yang berkaitan dengan neurovaskuler. Cedera spinal servikal harus disingkirkan pada semua pasien dengan trauma leher. Tanda tanda yang biasa didapatkan pada trauma larynx meliputi stridor, hemoptisis, empisema subkutan dan deformitas rangka larynx. Palpasi membantu membedakan fraktur larynx akut dengan deformitas lama. Tipe stridor berperan dalam memperkirakan letak lesi. Stridor yang didapatkan pada saat inspirasi mengindikasikan suatu obstruksi supraglottis parsial, yang bisa terjadi karena edema,
8

hematom, benda asing, cedera jaringan lunak atau fraktur kartilago. Sementara itu stridor yang didapatkan saat ekspirasi mengindikasikan suatu abnormalitas saluran nafas bawah yang disebabkan oleh suatu cedera trakea. Sedangkan didapatkannya kombinasi stridor inspirasi dan ekspirasi dapat menandakan suatu obstruksi parsial setinggi glottis.1,2 Tabel 1. Diagnosis trauma larynx 1 Gejala Hoarseness Nyeri Dispneu Disfagia Tanda Stridor Hemoptisis Emfisema subkutan Laryngeal tenderness Deformitas kartilago tyroid Imobilitas vocal fold Hematoma larynx Oedem larynx Laserasi larynx Radiologi Computed tomography Arteriografi foto polos leher Oesofagografi dengan kontras

4. Evaluasi radiologi
9

Computed Tomography adalah pemeriksaan radiologi yang paling berguna dalam mengevaluasi trauma larynx. Penggunaan CT membantu dalam mengkoonfirmasi

pemeriksaan laryngoskopi indirek dan atau laryngoskopi fiber optic. Pada pasien yang stabil, laryngoskopi fiberoptik fleksibel di IGD harus dilakukan. Pemeriksaan CT scan, laryngoskopi direk, bronkoskopi dan oesofagoskopi tergantung dari hasil pemeriksaan fiberoptik awal.1

5. Penatalaksanaan Evaluasi dan penanganan awal pasien trama larynx terdiri dari airway preservation, resusitasi jantung, kontrol perdarahan, stabilisasi cedera neural dan spinal, dan pelacakan menyeluruh ada tidaknya cedera pada system organ lain. Masih terdapat kontroversi mengenai cara membuat jalan nafas alternatif pada pasien dengan trauma larynx. Tindakan intubasi pada situasi ini beresiko tinggi. Percobaan intubasi endotrakeal pada trauma larynx dapat menyebabkan cedera iatrogenik atau makin buruknya jalan nafas yang sudah dalam kondisi jelek. Jika intubasi orotrakeal dilakukan pada kondisi seperti ini, pilhan terbaik adalah dengan memakai endotrakeal tube ukuran kecil . walaupu intubasi orotrakeal dapat digunakan dengan minimal efek negative, trakeostomi tetap lebih efektif dalam mencegah kerusakkan jalan nafas. Karena hal tersebut, beberapa penulis sangat merekomendasikan trakeostomi dengan anestesi local daripada intubasi endotrakeal pada pasien dengan trauma larynx dan membutuhkan jalan nafas alternative. Pasien dengan cedera larynx minimal, yang terlihat melalui laryngoskopi fiberoptik dan CT, dapat dilakukan intubasi endotrakeal secara aman yang sebaiknya dilakukan oleh ahli yang berpengalaman.1,2 Penatalaksanaan trauma larynx dibagi menjadi penatalaksanaan medikamentosa dan bedah, berdasarkan pada luasnya cedera yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dan CT. keputusan untuk memilih terapi medikamentosal atau bedah didasarkan pada ada tidaknya kemungkinan cedera akan sembuh tanpa intervensi bedah. Kondisi kondisi yang biasanya terdapat kemuingkinan penyembuhan spontan tanpa gejala sisa yang serius adalah: edema, hematoma kecil dengan mukosa intak, laserasi kecil glottis atau supraglotis tanpa paparan pada kartilago, fraktur kartilago tyroid tunggal pada larynx yang stabil. Sementara itu cedera yang kemungkinan membutuhkan eksplorasi larynx terbuka dan perbaikan meliputi laserasi yang mengenai batas vocal fold, laserasi luas mukosa, adanya keterlibatan kartilago, fraktur
10

kartilago yang multiple dan terjadi dislokasi, avulse atau dislokasi kartilago aritenoid dan imobilitas vocal fold.1,2,6 Tabel 2. Penatalaksanaan trauma larynx1 Medikamentosa Voice rest Steroid sistemik Elevasi kepala Antibiotic Antireflux agent Trakeostomi Endoskopi Eksplorasi Penutupan laserasi Pemasangan stent Grafting Fiksasi fraktur Bedah

6. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan trauma laring adalah terbentuknya jaringan granulasi, stenosis laring dan imobilitas vocal fold. Pengenalan awal cedera laring dan penatalaksanaan yang tepat akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien dengan trauma larynx. Keberhasilan terapi diukur dari kembali normalnya fungsi suara dan jalan nafas. Pada pasien dengan oedem, hematoma atau laserasi minimal, didapatkan hasil yang memuaskan baik pada fungsi suara maupun jalan nafas, tanpa tindakan bedah atau dengan intervensi bedah minimal, seperti trakeostomi atau endoskopi. Pada pasien dengan laserasi berat dan fraktur kartilago, hasil yang memuaskan berkaitan dengan penatalaksanaan primer awal laserasi dan fiksasi internal dari fraktur.1,2,6

11

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan cedera laring1

12

Bab III LAPORAN KASUS

A. Anamnesis Identitas pasien: Nama Usia Jenis kelamin Alamat Pekerjaan Tanggal No CM : nn. NI : 14 tahun : perempuan : kasihan : pelajar : 14 Maret 2011 : 01.52.08.78

Keluhan utama : nyeri leher Riwayat penyakit sekarang : Pasien merupakan rujukan dari RS. Bantul dengan diagnose CKR, vulnus laceratum luas r. occipital, trauma orbita dextra dan suspect fraktur mandibula dextra. Kurang lebih sejak 4 jam sebelum datang ke rumah sakit, pasien mengalami kecelakaan sepeda motor , dimana os tidak mengetahui mekanisme kecelakaan tersebut. Pasien merasakan serak saat berbicara, nyeri pada leher, dan tidak merasakan sesak nafas.

Resume anamnesis Hoarseness, pain in the neck.

B. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : sedang, compos mentis, kesan gizi cukup

Tanda vital

Tekanan darah : 120/80 Nadi RR : 98x / menit : 22x/menit


13

Suhu

: afebril

Status lokalis Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan leher : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : vulnus laceratum region frontal, palpebra superior dextra, submandibula, memar dan teraba krepitasi di leher anterior

C. Pemeriksaan penunjang 1. Radiologi a. Foto vertebrata cervical Kesan : emfisema subkutis di region colli b. CT Scan region Colli Kesan : diskontinuitas dinding trakea aspek anterior sinistra Emfisema subkutis region colli et thorax anterior Emfisema soft tissue di prevertebra cervical dan mediastinum posterior Sistema tulang intak

D. Diagnosis Trauma laring

E. Penatalaksanaan Trakeostomi

F. Plan Repair rupture laring

G. Masalah Prognosis

14

Bab IV Diskusi

Jordan (2006), Snow (2002), dan Underbrink (2003) menyatakan bahwa bagian terbesar penyebab trauma pada laring adalah karena kecelakan motor. Dimana disebutkan bahwa walaupun secara alami mandibula dan sternum melindungi laring,namun hiperekstensi leher yang terjadi selama kecelakaan bisa menyebabkan laring terjepit antara obyek dan vertebrata cervical. Pada kasus ini pasien datang dengan suara serak dan nyeri di leher depan setelah mengalami kecelakaan sepeda motor dengan mekanisme trauma yang tidak diketahui. Sementara itu dari pemeriksaan fisik didapatkan jejas benturan di leher depan dan krepitasi yang menandakan adanya emfisema subkutan pada area tersebut . Hal itu sama dengan yang dinyatakan dalam Jordan (2006) dan Kandogan (2003). Sementara itu Stevens ( 1997) dan Kandogan (2003) menekankan bahwa hoarseness atau perubahan pada suara harus membuat seorang ahli waspada telah terjadi cedera laring. Gejala dan tanda lain yang biasa didapatkan adalah disfagia, odinofagi,dan nyeri leher depan. Sementara itu pada pemeriksaan fisik, biasa ditemukan stridor, emfisema subkutan, hemoptisis dan laryngeal tenderness. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan CT scan dimana didapatkan kesan emfisema subkutan di region leher dan diskontinuitas dinding trakea. Jordan (2006) menyatakan bahwa CT scan adalah pemeriksaan radiologi yang paling berguna dalam mengevaluasi trauma laring. Underbrink (2003) menyatakan bahwa CT scan harus dilakukan pada pasien dengan trauma laring signifikan dan intermediate exam findings terutama dalam menentukan integritas rangka laring. CT scan dilakukan setelah terlebih dahulu dipastikan pasien dalam kondisi stabil. Jordan (2006) menyebutkan dua kelompok yang tidak memerlukan pemeriksaan CT scan, yaitu: 1) pasien dengan fraktur yang jelas terlihat, laserasi luas endolaring atau trauma tembus berat. Walaupun demikian, beberapa penulis menyatakan bahwa computed tomography dapat memberikan manfaat pada kelompok ini, dalam hal perencanaan perbaikan struktur,dan 2) pasien dengan trauma leher anterior minimal dan pemeriksaan fisik yg normal biasanya tidak memerlukan pemeriksaan CT scan. sementara itu, semua pasien yang terletak diantara kedua grup terbeut harus dilakukan

pemeriksaan CT scan untuk menilai luasnya cedera lariynx. Hal tersebut diatas juga dinyatakan dalam Underbrink (2003) dan Snow (2002). Tomografi computer aksial (CT scan)
15

telah digunakan para ahli untuk menggambarkan dimensi yang tepat dari obstruksi. Penelitian terakhir yang menggunakan potongan koronal dengan interval 5 milimeter dapat menggambarkan panjang stenosis laring-trakea, derajat trauma jaringan lunak atau fibrosis dan susunan trauma(misalnya trauma pada mukosa, trauma pada seluruh jaringan lunak serta kombinasi trauma jaringan lunak dan tulang rawan). Disamping itu, CT scan dapat mengukur daerah potongan melintang yang paling sempit pada segmen yang obstruksi. Sementara itu Kandogan (2003) menyebutkan CT scan potongan 1 mm digunakan untuk mengevaluasi kondisi laring, sedangkan laringoskopi fiberoptik fleksibel, laringoskopi direk, bronkoskopi dan oesofagoskopi dapat digunakan untuk menentukan perluasan cedera laring.

Oesofagoskopi harus dipertimbangkan untuk melengkapi pemeriksaan laringoskopi direk untuk mengevaluasi lebih jauh perluasan cedera traktus aerodigestiv. Berdasarkan klasifikasi cedera laringotrakeal (Font et all., 2009), pasien ini masuk dalam klasifikasi grup 3, dimana didapatkan kerusakan mukosa, fraktur displaced, dan keterlibatan kartilago. Tindakan trakeostomi pada pasien dalam kasus ini bertujuan untuk mengamankan jalan nafas. Seperti yang dinyatakan dalam Underbrink (2003) dan Snow (2002), penatalaksanaan awal pasien dengan trauma laring adalah sesuai dengan prinsip ATLS. Memastikan jalan nafas dalam kondisi stabil adalah prioritas utama, mungkin diperlukan tindakan trakeostomi. Kemudian dilanjutkan dengan penilaian terhadap trauma dan menentukan apakah terapi definitive harus dilakukan dengan segera atau perlu ditunda, yang tergantung pada keadaan klinisnya. Walaupun masih menjadi kontroversi, namun menurut Stierman (1999), sebagian besar penulis merekomendasikan tindakan trakeostomi dibawah anestesi local, yang mana merupakan tindakan yang jauh lebih aman atau memiliki peluang trauma yang lebih kecil. Sementara itu perhatian khusus perlu diperhatikan pada trauma laring yang mengenai anak anak. Jordan (2006) mengemukakan bahwa trauma laring pada anak anak merupakan kasus special karena pada kasus tersebut biasanya sulit untuk melakukan trakeostomi dengan anestesi local. Inhales anestesi dengan respirasi spontan diperlukan untuk melakukan intubasi bronkoskopi , agar bisa dilakukan direct visualization dari cedera laring dan mencegah cedera iatrogenic. Setelah dilakukan bronkoskopi, trakeostomi dapat dilakukan. Trakeostomi sendiri menurut Thomas (1973) adalah suatu tindakan operasi dengan membuat lubang pada dinding trakea bagian anterior melalui leher dan memasang kanul pada lubang
16

tadi sehingga udara luar dapat berhubungan dengan udar dalam paru paru. Sementara manurut Lalwani (2008), trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan / anterior trakea untuk bernafas. Penatalaksanaan pasien dengan trauma laring selanjutnya dibagi menjadi

penatalaksanaan medikamentosa dan tindakan bedah ( Jordan, 2006), (Stierman, 1999), (Underbrink, 2003), (Stevens, 1997). Keputusan untuk memilih jenis terapi didasarkan pada kemungkinan sembuh tidaknya cedera tanpa intervensi bedah. Hal tersebut diawali dengan pemeriksaan fisik dan CT scan. Kondisi kondisi yang biasanya terdapat kemungkinan penyembuhan spontan tanpa gejala sisa yang serius adalah jika didapatkan oedem, hematom yang minimal dengan mukosa intak, adanya laserasi kecil pada glottis atau supraglotis tanpa adanya keterlibatab kartilago, atau fraktur kartilago tiroid tunggal pada laring yang stabil. Sementara itu cedera yang kemungkinan membutuhkan eksplorasi laring terbuka atau tindakan bedah meliputi laserasi yang mengenai batas vocal fold, laserasi luas mukosa, adanya keterlibatan kartilago, fraktur kartilago yang multiple, dan terjadinya dislokasi, avulse atau dislokasi kartilago aritenoid dan imobilitas vocal fold. Pasien pada kasus ini, setelah dilakukan tindakan trakeostomi,dapat diidentifikasi adanya rupture kartilagi krikoid dan sebagian atas cincin trakea. Untuk itu pada pasien ini direncanakan tindakan bedah untuk memperbaiki struktur laring. Pada kasus ini diangkat masalah prognosis karena menurut Jordan (2006), pasien dengan trauma laring memiliki peluang yang tidak kecil untuk terjadinya komplikasi, baik sebelum maupun stelah tindakan bedah. Masalah yang paling sering muncul segera setelah tindakan bedah adalah timbulnya jaringan granulasi, yang paling sering terjadi pada kartilago yang yang terpapar. Hal tersebut sering menjadi prekusor terjadinya fibrosis dan stenosis. Timbulnya masalah pada proses penyembuhan cedera pada laring tersebut tidak lepas dari sifat khas proses penyembuhan luka pada laring. Seperti yang ditulis dalam Olson (1979), penyembuhan luka pada laring pada umumnya sama dengan proses penyembuhan luka pada organ lainnya. Namun oleh karena bentuk anatomis dan histologist laring, maka prose penyembuhan lukanya mempunyai masalah yang bersifat khusus, yaitu : 1) mukosa laring longgar, tidak terfiksasi dengan baik dengan jaringan dibawahnya, dan stratum submukosumnya tipis. Jahitan untuk untuk menutup luka muda lepas, sehingga penyembuhan luka primer sukar terjadi, 2) pada trauma laring yang berat, ada kemungkinan laring
17

kehilangan jaringan penyokong. Rekontruksi mukosa dan kartilago seringkali gagal karena laring akan tertarik ke cranial oleh gerakan menelan atau gesekan laring lainnya, 3) kartilago yang terpapar, yang merupakan jaringan yang miskin pembuluh darah, dapat mempunyai sifat sebagai korpus alineum yang akan merangsang terbentuknya jaringan granulasi, 4) tarikan ke cranial oleh gerakan menelan dan atau gerakan kepala leher lainnya tidak memungkinkan untuk dilakukannya imobilisasi laring. Dengan sulitnya penyembuhan primer pada trauma laring, akan mudah terbentuknya jaringan granulasi yangn kemusdian akan menjadi jaringan parut. Terbentuknya jaringan parut inilah yang akan mengakibatkan terjadinya stenosis laring.

18

Bab V Kesimpulan

Telah dilaporkan pasien wanita usia 14 tahun dengan diagnosis trauma tumpul laring yang telah dilakukan trakeostomi dan direncanakan tindakan repair ruptur laring.

19

20

Anda mungkin juga menyukai