Anda di halaman 1dari 17

DEAF CHILD

LAPORAN KASUS

Presentator : dr. Ign adhi akuntanto

Moderator : dr. Tumpal Simatupang

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA/ RSUP DR.


SARDJITO

YOGYAKARTA

2011

1
BAB I
PENDAHULUAN

Mendengar adalah suatu modalitas sensori dimana anak akan


mengintrepretasikan kata dan memberikan anak suatu hubungan akustik dengan fisik.
Selain itu, mendengar juga memungkinkan anak untuk menikmati suatu kompleksitas
berpola.1 Perkembangan pendengaran dimulai pada masa gestasional dengan
perkembangan embriologi struktur anatomi dan berlanjut hingga masa kanak dengan
matangnya central auditory nervous system (CANS).2
Gangguan pendengaran pada anak adalah satu hal yang sangat penting karena
hal tersebut sering tidak disadari dalam waktu yang panjang dan menyebabkan
masalah yang serius. Untuk memahami masalah masalah yang berkaitan dengan
gangguan pendengaran pada anak, satu hal yang perlu diperhatikan adalah hubungan
erat antara perkembangan pendengaran dengan kemampuan bicara.3 Gangguan
mendengar pada anak anak mengakibatkan gangguan pada kemampuan berbicara,
bahasa, kognitif, edukasi dan perkembangan sosial pada anak. 2
Menurut the National Institute on Deafness and Other Communication
Disorders, gangguan pendengaran terjadi pada 12.000 bayi tiap tahunnya di Amerika
Serikat. Didapatkan juga sekitar 4000 hingga 6000 bayi dan anak usia dibawah 3
tahun yang telah melewati tes skrining, mendapatkan late onset hearing loss. Sehingga
sekitar 16.000 hingga 18.000 bayi dan anak diidentifikasi menderita gangguan
pendengaran stiap tahunnya, menyebabkan gangguan pendengaran sebagai cacat lahir
yang paling sering ditemukan.4 Tidak diketahui secara pasti predileksi berdasar jenis
kelamin, namun pada umumnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki laki
dan perempuan. Sebelum skrining pendengaran rutin pada neonates dilakukan,
gangguan pendengaran didiagnosa rata rata pada usia 2,5 tahun. Usia rata- rata
berubah menjadi 14 bulan saat ini.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi telinga dalam


Bentuk telinga dalam sedemikian kompleknya sehingga disebut labirin.
Derivate vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membrane yang
terisi endolimfe, satu satunya cairan ekstraseluler dalam tubuh yang tingi kalium dan
rendah natrium. Labirin membrane dikelilingi oleh cairan perilimfe (tinggi natrium,
rendah natrium) yang terdapat dalam kapsula optika bertulang.6
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Bagian
koklear ini (pars inferior) merupakan organ pendengaran, sedangkan bagian vestibuler
(pars superior) berhubungan dengan keseimbangan. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfe skala timpani dengan skala vestibuli.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli
sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, sedangkan skala media
berisi endolimfe. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut
sebagai membran vestibuli (Reissner’s membran), yang memisahkan dengan skala
media. Sedangkan dasar skala media adalah membran basalis, yang bersama dengan
lamina spiralis osseus memisahkannya dengan skala timpani. Pada membran ini
terletak organ corti. 6,7
Organ corti ini terletak di atas membrane basilaris (basalis) dari basis ke
apeks. Struktur ini mengandung organel-organel penting untuk mekanisme
pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000) dan tiga baris
sel rambut luar (12.000). Sel – sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan
horizontal dari suatu jungkat-jungkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Pada
permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di
atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aseluler, dikenal sebagi
membrane tektoria. Struktur ini berbentuk lidah.6

3
Embriologi telinga dalam

Pada usia gestasi 9 minggu mulai terbentuk ketiga lapisan pada gendang
telinga, dan pada minggu ke 20 sudah terjadi pematangan telinga dalam yang
mempunyai ukuran sama dengan orang dewasa dan dapat member respon terhadap
suara. Pada saat yang sama bentuk daun telinga sudah menyerupai daun telinga orang
dewasa walaupun masih terus berkembang sampai usia 9 tahun. Pada usia gestasi 30
minggu terjadi pneumatisasi dari tympanum, demikian juga dengan liang telinga luar
yang terus berkembang sampai usia 7 tahun. Osifikasi pada tulang maleus dan inkus
sempurna pada usia gestasi 32 minggu sedangkan stapes terus berkembang sampai
usia dewasa. Sel udara mastoid berkembang pada usia gestasi 34 minggu dan
seminggu kemudia dilanjutkan dengan pneumatisasi pada antrum. Perkembanan
auditorik berhubungan erat dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks
mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan
pertama kehidupan terjadi perkembangan otak sangat cepat. Berdasarkan
pertimbangan diatas, maka upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran
dengan tujuan habilitasi dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih
berlangsung.8

Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya enegi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membrana timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pndengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit
tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrana timpani dan tingkap
lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reisner yang mendorong endolimfa, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan potensial aksi
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalia.7

4
Deaf Child
Definisi
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired)
dan tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengararan berkurang
namun masih dapat dimanfaatkan unntuk berkomunikasi. Sedangkan tuli total adalah
keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat
berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi.7 Di USA sekitar 12.000 bayi
baru lahir dengan gangguan pendengaran ditemukan setiap tahunnya menurut the
National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. Didapatkan juga
sekitar 4000 hingga 6000 bayi dan anak usia dibawah 3 tahun yang telah melewati tes
skrining, mendapatkan late onset hearing loss. Sehingga sekitar 16.000 hingga 18.000
bayi dan anak diidentifikasi menderita gangguan pendengaran stiap tahunnya,
menyebabkan gangguan pendengaran sebagai cacat lahir yang paling sering
ditemukan.4 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika gangguan pendengaran,
pada semua tingkat tidak berhasil didiagnosa dan ditangani dengan baik, akan dapat
berakibat buruk pada kemampuan bicara, bahasa, akademik, emosional dan
perkembangan psikososial anak tersebut.4
Gangguan pendengaran lazimnya diklasifikasikan menurut sifat dari gannguan
transmisi suara. Gangguan konduktif terjadi karena adanya masalah dengan tranmisi
energi mekanik menuju koklea yang melibatkan struktur telinga luar dan telinga
tengah. Gangguan sensori terjadi karena adanya gangguan pada proses transduksi
energy hidraulik ke energi elektrik yang melibatkan koklea. Sedangkan gangguan
pendengaran neural terjadi karena gangguan transmisi sinyal elektrik menuju otak,
yang melibatkan nervus cranial VIII dan central auditory nervous system.9

Etiologi
Gangguan pendengaran terjadi karena adanya gangguan fungsi dari struktur
yang menghantarkan sinyal akustik dari telinga luar menuju pusat persepsi di otak.
Beberapa kondisi patologis disinyalir sebagai penyebab gangguan pendengaran pada
anak, termasuk dalam hal ini adanya penyakit yang melaterbelakangi, trauma dan
gangguan perkembangan. Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak
dibedakan berdasarkan saat terterjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa

5
pranatal (yang bisa disebabkan oleh faktor genetik dan nongenetik), perinatal dan
postnatal.9
Gangguan pendengaran konduktif pada anak paling sering adalah didapat dan
sementara. Kebanyakan memberikan respon bagus terhadap manajemen medis dan
dampaknya terhadap fungsi pendengaran jangka panjang dapat diabaikan. Namun ada
2 hal menjadi pengecualian. Pertama, kelainan congenital, terutama yang disebabkan
kelainan strukural, yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran signifikan ,
dimana penanganan harus menunggu anak tumbuh dewasa. Kedua, anak yang
menderita gangguan telinga tengah rekuren dan sensitivitas pendengaran yang
berfluktuasi lebih rawan mengalami gangguan ambang dengar dan masalah
bahasa/akademis karena adanya inkonsistensi input pendengaran selama periode
penting perkembangan bahasa. 9

Some causes of conductive hearing disorders


prenatal postnatal
Atresia Complication of otitis media with
effusion
Middle ear anomalies Excessive cerumen
Otitis externa

Gangguan pendengaran sensori, atau sensorineural disebabkan adanya


gangguan transduksi bunyi dari gelombang mekanik telinga tengah menjadi impuls
syaraf di nervus kranialis VIII. Gangguan sensoris bisa terjadi karena beberapa
perubahan struktur dan fungsi koklea.9

Some causes of sensory hearing disorders


Prenatal Perinatal and postnatal
Inner ear anomalies PPHN / ECMO
CMV Meningitis
Syphilis Autoimmune inner ear disorder
Rubella Mumps
Toxoplasmosis Measles
ototoxicity

Gangguan pendengaran neural dibagi menjadi 2 grup : gangguan retrocochlear


dan gangguan proses auditori. Pada gangguan pendengaran ini terjadi gangguan pada
hantaran listrik menuju otak yang melibatkan nervus kranialis VIII dan central
auditory nervous system.9

6
Some causes of neural hearing disorder
Neoplasma
Hydrocephaly
Hypoxia
Hyperbilirubinemia

Gambaran klinis
Gambaran klinis yang muncul adalah tuli, dimana anak tidak bereaksi terhadap
panggilan dari belakang ruangan lain. Pasien dengan gangguan pendengaran yang
sangat berat tidak kebingungan terhadap bunyi yang sangat keras yang berasal dari
pesawat terbang atau bantingan pintu. Pasien juga tidak mengalami perkembangan
dalam bicara dan apabila berbicara, perbendaharaan kata sangat sedikit dan kata-
katanya tidak tepat.10 Gangguan pendengaran pada bayi dan anak-anak kadang-
kadang disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia
perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami gangguan
pendengaran lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat
bicara.7

Pemeriksaan penunjang :7
Beberapa pemeriksaan pandengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak
adalah :
1. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistem auditorik,
bersifat objektif dan tidak invasif. BERA dapat digunakan untuk memeriksa bayi,
anak dewasa maupun penderita koma. BERA merupakan pemeriksaan yang paling
berguna secara klinis untuk menilai bayi atau anak kecil.

2. Behavioral Observation Audiometry (BOA)


berdasarkan respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan stimulus
yang disadari. Pemeriksaan ini dibedakan menjadi Behavioral reflek audiometri dan
Behavioral respon audiometri. (3) Timpanometri. Pemeriksaan ini diperlukan untuk
menilai kondisi telinga tengah. Gambaran audiometri yang abnormal merupakan
petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
3. Audiometri nada murni.

7
Pemeriksaan menggunakan audiometer, dan hasil pencatatannya disebut audiogram.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada anak berusia 4 tahun.
4. Otoacustic Emission (OAE)
merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi koklea yang objektif,
otomatis, tidak invasif , mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga
sangat efisien untukprogram skrining pendengaran bayi baru lahir.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis, dalam hal ini pelacakan riwayat dari pasien dan
keluarga adalah hal yang paling penting. Hal ini mencakup riwayat kelahiran, riwayat
keluarga dan riwayat penyakit yang pernah diderita. 11
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada tanda – tanda
khas yang mengarah ke suatu sindrom gangguan pendengaran. Pemeriksaan telinga
luar dan telinga tengah berguna untk memastikan bahwa tidak atresia telinga luar dan
atau proses patologis yang melibatkan telinga tengah.11
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan untuk menilai pendengaran bayi
dan anak adalah BERA, BOA, OAE, timpanometri dan audiometric nada murni.
Selain itu, pemeriksaan CT scan memberikan gambaran yang baik yang akan
memberikan visualisasi anatomi tulang, ossikula dan telinga tengah. MRI mempunyai
perbedaan soft tissu yang tinggi, sehingga pemeriksaan ini ideal untuk evaluasi telinga
dalam.11

Tatalaksana 10
1. “Augmentation of hearing”
(i) Alat bantu dengar seharusnya diberikan sesegera mungkin, sebaiknya pada kedua
telinga.
(ii) Cochlear implant direkomendasikan untuk tuli sensorineural severe sampai
profound.
2. Perkembangan bicara.
(i) Terapi wicara. Pasien tidak memiliki mekanisme bicara yang sempurna. Kata-kata
seharusnya dilatih dengan latihan khusus oleh seorang terapi wicara atau guru khusus
untuk anak tuli.

8
(ii) Lip reading diajarkan kepada beberapa pasien sehingga mereka dapat mengerti
percakapan tanpa mendengarnya
.(iii) Sign language merupakan metode lama yang saat ini tidak direkomendasikan
lagi.

Prognosis
Anak tanpa retardasi mental mempunyai peluang yang baik dalam
meningkatkan perkataan yang dapat dimengerti. Anak anak dengan tuli moderat
memiliki prognosis yang lebih bagus.10

BAB III
LAPORAN KASUS

A. Alloanamnesis
Identitas pasien :
Nama : An. AM
Usia : 3 thn 2 bln
BB : 15 kg
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Banjarnegara

9
No. RM : 01.51.26.05
Tanggal : 17 Januari 2011

Keluhan utama : Belum bisa bicara.


Riwayat penyakit sekarang
Orang tua pasien mengeluhkan bahwa pasien belum bisa bicara seperti teman-
teman sebayanya. Keluhan ini dirasakan sejak 1 tahun sebelum datang ke RSUP. Dr
Sardjito. Pasien terkadang hanya bisa mengatakan “ma..ma…ma..ma. Ketika pasien
dipanggil pasien tidak menanggapi panggilan. Ketika ditimbulkan suara keras-keras di
dekatnyapun pasien tidak kaget. Karena faktor ekonomi dan karena saat itu orang tua
tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi dengan anaknya, baru saat inilah pasien
dibawa berobat.

Riwayat kehamilan ibu:


Riwayat trauma disangkal
Riwayat ibu minum obat-obatan disangkal
Riwayat imunisasi ibu saat sebelum hamil dan saat kehamilan (+) sesuai program
pemerintah.

Riwayat kelahiran:
Pasien lahir dengan pertolongan bidan, lahir cukup bulan, spontan, dengan berat 3 kg,
menangis keras

Riwayat tumbuh kembang :


Pasien pada umur 4 bulan sudah bisa tengkurap dan pada umur 12 bulan sudah bisa
berjalan.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat dirawat di RS (+) saat usia 1 bulan selama 1 bulan dengan diagnosis
meningitis
Riwayat trauma disangkal
Riwayat imunisasi lengkap (+)

10
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)

Resume anamnesis
Hearing loss (-)
Abnormal speech development (+)
History of meningitis (+)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien
Baik, CM, kesan gizi cukup
Tanda Vital
Nadi : 100x/menit Suhu : afebril
RR : 24x/mnt BB : 15 kg

Pemeriksaan THT
Pemeriksaan telinga : dalam batas normal
Pemeriksaan hidung : dalam batas normal.
Pemeriksaan mulut : dalam batas normal
Ketika pasien dirangsang dengan suara keras, pasien tidak menoleh

Pemeriksaan Penunjang
Hasil BERA tanggal 24 Januari 2011.
Kesimpulan : Telinga kiri : profound, neural hearing loss
Telinga kanan : profound, neural hearing loss

B. Diagnosis
Deaf child

C. Penatalaksanaan
Dirujuk ke Tumbuh Kembang Anak

11
Dirujuk ke Rehabilitasi Medik

D. Plan
Pemeriksaan BERA ulang 6 bulan lagi.

E. Masalah
Masalah dalam kasus ini adalah tentang penatalaksaan dan prognosis

BAB IV
DISKUSI

Menurut Bhargava (2002) dan Alexiadis (2008) diagnosis deaf child


ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Alexiadis
(2008) menjelaskan lebih jauh tentang hal ini, dimana dari anamnesis perlu digali
dengan teliti riwayat kelahiran, riwayat keluarga dan riwayat penyakit yang diderita,
terutama selama kehamilan. Dari riwayat kelahiran perlu digali apakah ada factor
factor perinatal seperti prematuritas, fetal distress, pregnancy-related illnesses,
penggunaan obat selama kehamilan, berat lahir rendah atau kern-icterusyang bisa

12
menjadi factor predisposisi terjadinya gangguan pendengaran pada bayi. Dari riwayat
keluarga perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
yang sama, dimana hal ini akan mengarahkan ke aspek genetic sebagai penyebabnya.
Sedangkan dari riwayat penyakit dahulu perlu diketahi juga apakah ada riwayat
menderita cytomegalovirus, herpes atau syphilis. Ataukah anak yang bersangkutan
pernah menderita meningitis. Dalam kasus ini, seorang anak umur 3 tahun 2 bulan
datang ke RS Sardjito dengan keluhan utama belum bisa bicara. Dari pemeriksaan
fisik, pasien tampak tidak bereaksi saat diberikan suara keras didekatnya. Sedangkan
dari riwayat penyakit dahulu, diketahui bahwa saat berumur 1 bulan pasien pernah
dirawat di rumah sakit selama 1 bulan dengan diagnosis yang ditegakkan saat itu
adalah meningitis. Sementara itu setelah dilakukan pemeriksaan Brainstem Evoked
Response Audiometry (BERA) didapatkan hasil profound neural hearing loss untuk
telinga kanan dan kiri.
Seperti yang dijelaskan dalam Koomen (2004), Stach (2008) dan Jamie
(2010), meningitis menjadi salah satu penyebab utama hearing loss. Data yang
dipublikasikan oleh Gallaudet Research Institute’s Regional and National Summary of
Report Data from the Annual Survey of Deaf and Hard of Hearing Youth pada tahun
2005-2006 menunjukkan sedikitnya 3,2% gangguan pendengaran berhubungan
dengan kejadian meningitis yang pernah diderita. Disebutkan juga bahwa setidaknya
10 % individu dengan riwayat meningitis di negara berkembang menderita gangguan
pendengaran permanen. Meningitis adalah suatu inflamasi selaput otak dan spinal
cord. Disebutkan ada 3 type meningitis : bakteri, aseptic, dan viral. Dimana gangguan
pendengaran paling banyak terjadi setelah kejadian meningitis bacterial, berkisar
antara 5-35%. Gejala dan tanda klinis yang biasa didapatkan adalah demam, kejang,
dan kaku leher. Gangguan pendengaran yang biasa terjadi karena factor ini berkisar
antara ringan hingga profound, bisa unilateral maupun bilateral dan biasanya progesif.
Disebutkan bahwa keterlibatan koklea adalah yang paling dominan, meskipun pada
beberapa kasus juga melibatkan pusat pendengaran di korteks. Gangguan
pendengaran yang terjadi pada pasca meningitis biasanya permanen walaupun
beberapa data melaporkan kejadian pulihnya pendengaran seiring berjalannya waktu.
Cochlear osteogenesis, atau pertumbuhan tulang di koklea bisa terjadi. Lebih jauh, Li
(2006) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang kuat antara durasi gejala
meningitisi sebelum pengobatan dengan perkembangan gangguan pendengaran,
walaupun begitu terapi dini dan tepat tetap penting untuk mengurangi resiko kematian

13
karena meningitis bakterial tersebut. Penelitian histopatologi oleh Merchant dan
Gopen pada tulang temporal pasien yang mati karena meningitis bacterial
menunjukkan adanya keterlibatan koklea. Labirintitis supuratif ditemukan pada 20
(41%) dari 41 tulang yang diteliti. Korelasi yang kuat antara gangguan pendengaran
jangka lama dengan kerusakan ganglion spiralis juga telah dilaporkan. Sel ganglion
spiral, yang merupakan cell bodies dari serabut syaraf auditorik dan terletak dekat
dengan hair cells, rawan terhadap infeksi bakteri. Kematian syaraf ganglion spiralis
terjadi juga karena proses inaktifitas sehubungan dengan kerusakan hair cells. Selain
itu dinyatakan juga adanya lesi central neural pathways dengan gangguan proses
auditorik karena faktor meningitis tersebut.
Dari anamnesis riwayat keluarga, pasien mengaku tidak memiliki saudara
yang memiliki penyakit serupa. Namun hal tersebut tidak begitu saja menyingkirkan
faktor genetik sebagi penyebab gangguan pendengara pada kasus ini. Seperti yang
dinyatakan oleh Rehm (2008), bahwa lebih dari separuh (50 %) gangguan
pendengaran pada anak terjadi karena factor genetik. Lebih jauh dkatakan bahwa pada
sebagian besar kasus gangguan pendengaran genetik, tidak disertai dengan adanya
anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit serupa. Rehm (2008) menyatakan
bahwa prevalensi gangguan pendengaran kongenital ( genetik atau non genetik )
berkisar 1-3/1000 kelahiran. Ada banyak penyebab dari gangguan pendengaran
permanen, dimana secara garis besar dapat dibagi menjadi penyebab genetic dan non
genetic. Sebuah studi menyatakan bahwa sekitar 50% gangguan pendengaran
permanen pada anak-anak disebabkan faktor genetic, sedangkan 50% nya lagi karena
factor lingkungan dan idiopatik (Toriello et al, 2004). Penyebab gangguan
pendengaran genetik data diklasifikasikan menjadi sindromik dan non sindromik.
Sekitar sepertiga gangguan pendengaran genetic adalah sindromik, yang menandakan
adanya masalah kesehatan lainnya yang bisa dijumpai. Kebalikannya, sebagian besar
anak anak dengan gangguan pendengaran genetic tidak berkaitan dengan masalah
kesehatan lainnya. Hal ini yang digolongkan dalam penyebab genetic non sindromik.
Gangguan pendengaran genetic dapat juga digolongkan berdasarkan tipe inheritance;
dimana sekitar 77% kasus dari gangguan pendengaran herediter adalah resesif, 22%
dominan dan 1% berkaitan dengan kromosom X (X-linked). Sebagi tambahan, bagian
kecil (kurang dari 1%) berkaitan dengan mitochondrial inheritance, dimana karakter
ini diturunkan melalui jalur maternal. Oleh karena bagian terbesar (77%) gangguan
pendengaran genetic non sindromik adalah resesif, dimana masing masing orangtua

14
adalah karier namun memiliki pendengaran normal, banyak fakta bahwa pasangan
dengan tanpa riwayat gangguan pendengaran, akan melahirkan bayi dengan gangguan
pendengaran. Sehingga latar belakang penyebab gangguan pendengaran pada kasus
tersebut sulit ditentukan, karena gangguan bisa terjadi karena factor genetik maupun
didapat.
Pada kasus ini, tatalaksana menjadi masalah karena menurut Bhargava 2002,
pada anak-anak dengan tuli sensorineural severe sampai dengan profound
direkomendasikan untuk pemasangan cochlear implant dimana di Indonesia
tatalaksana ini masih jarang dan memerlukan biaya yang sangat mahal. Menurut
Probst 2006, semakin awal dilakukan implantasi koklear, alat ini akan semakin baik
mengeksploitasi daya penyesuaian dan daya tangkap struktur pendengaran sentral.
Pada pasien ini prognosispun menjadi masalah karena anak ini baru terdeteksi pada
umur 3 tahun 2 bulan. Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan pengetahuan dan
ekonomi masyarakat serta belum populernya program screening terhadap bayi baru
lahir di Indonesia. Menurut Flexer (2008) , neuron di bagian korteks mengalami
proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan
pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Upaya untuk
melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar
habilitasi pendengaran sudah dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih
berlangsung.

BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 3 tahun 2 bulan dengan diagnosis deaf
child. Pasien .memiliki riwayat meningitis. Keterlambatan diagnosis pada pasien ini
mengingatkan akan pentingnya skrining pendengaran sejak dini pada bayi baru lahir,
dimana hal ini berhubungan dengan prognosis pasien.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Mayberry R.I. Cognitive Development In Deaf Children: The Interface of Language


and Perception In Neuropsychology. In Handbok of Neuropsychology. 2nd edition,
vol.8, Part II. Elsevier Science B.V., 2002.
2. Brookhouser P.E. Sensorineural hearing loss. In Bayron J Bailey Head and Neck
Surgery Otolaryngologi. Lippincottv Williams & Wilkins, 1289-1302. 2006.
3. Meadow S.G., Mayberry R.I. How Do Proufoundly Deaf Children Lear to Read ?. In
Learning Disabilities Research & Practise, 16(4), 222-229. 2001.

16
4. Flexer C, Madell JR. Why Hearing is important in children?. In: Pediatric Audiology,
Diagnosis, Technology and management. Thieme, Stuttgart-New York 2008
5. Shah R.K. Hearing Impairment. Available in
http://emedicine.medscape.com/article/994159. 2010
6. Liston S.L., Duval A.J. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam Boies
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997
7. Suwento R, Sislavsky S, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak.
Dalam: Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung tenggorok Kepala & Leher edisi
keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2008
8. Lalwani, AK. Anatomi and Physiology of the Ear. In : Current Diagnosis & Treatment
Otolarinology Head and Neck Surgery. 2nd Ed.New York, 2007
9. Stach BA, Ramachandran VS. Hearing disorder in children. In Pediatric Audiology,
Diagnosis, Technology and Management. Thieme, Stuttgart-New York, 2008
10. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. Deafness. In A short textbook of E.N.T
Diseases. Usha Publication. Mumbai 2002
11. Alexiades G., Hoffman R.A. Medical Evaluation and Management of Hearing Loss
in Children. In Pediatric Audiology Diagnosis, Technology, and Management.
Thieme, Stuttgart-New York, 2008

17

Anda mungkin juga menyukai