LAPORAN KASUS
YOGYAKARTA
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Embriologi telinga dalam
Pada usia gestasi 9 minggu mulai terbentuk ketiga lapisan pada gendang
telinga, dan pada minggu ke 20 sudah terjadi pematangan telinga dalam yang
mempunyai ukuran sama dengan orang dewasa dan dapat member respon terhadap
suara. Pada saat yang sama bentuk daun telinga sudah menyerupai daun telinga orang
dewasa walaupun masih terus berkembang sampai usia 9 tahun. Pada usia gestasi 30
minggu terjadi pneumatisasi dari tympanum, demikian juga dengan liang telinga luar
yang terus berkembang sampai usia 7 tahun. Osifikasi pada tulang maleus dan inkus
sempurna pada usia gestasi 32 minggu sedangkan stapes terus berkembang sampai
usia dewasa. Sel udara mastoid berkembang pada usia gestasi 34 minggu dan
seminggu kemudia dilanjutkan dengan pneumatisasi pada antrum. Perkembanan
auditorik berhubungan erat dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks
mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan
pertama kehidupan terjadi perkembangan otak sangat cepat. Berdasarkan
pertimbangan diatas, maka upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran
dengan tujuan habilitasi dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih
berlangsung.8
Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya enegi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membrana timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pndengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit
tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrana timpani dan tingkap
lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reisner yang mendorong endolimfa, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan potensial aksi
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalia.7
4
Deaf Child
Definisi
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired)
dan tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengararan berkurang
namun masih dapat dimanfaatkan unntuk berkomunikasi. Sedangkan tuli total adalah
keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat
berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi.7 Di USA sekitar 12.000 bayi
baru lahir dengan gangguan pendengaran ditemukan setiap tahunnya menurut the
National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. Didapatkan juga
sekitar 4000 hingga 6000 bayi dan anak usia dibawah 3 tahun yang telah melewati tes
skrining, mendapatkan late onset hearing loss. Sehingga sekitar 16.000 hingga 18.000
bayi dan anak diidentifikasi menderita gangguan pendengaran stiap tahunnya,
menyebabkan gangguan pendengaran sebagai cacat lahir yang paling sering
ditemukan.4 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika gangguan pendengaran,
pada semua tingkat tidak berhasil didiagnosa dan ditangani dengan baik, akan dapat
berakibat buruk pada kemampuan bicara, bahasa, akademik, emosional dan
perkembangan psikososial anak tersebut.4
Gangguan pendengaran lazimnya diklasifikasikan menurut sifat dari gannguan
transmisi suara. Gangguan konduktif terjadi karena adanya masalah dengan tranmisi
energi mekanik menuju koklea yang melibatkan struktur telinga luar dan telinga
tengah. Gangguan sensori terjadi karena adanya gangguan pada proses transduksi
energy hidraulik ke energi elektrik yang melibatkan koklea. Sedangkan gangguan
pendengaran neural terjadi karena gangguan transmisi sinyal elektrik menuju otak,
yang melibatkan nervus cranial VIII dan central auditory nervous system.9
Etiologi
Gangguan pendengaran terjadi karena adanya gangguan fungsi dari struktur
yang menghantarkan sinyal akustik dari telinga luar menuju pusat persepsi di otak.
Beberapa kondisi patologis disinyalir sebagai penyebab gangguan pendengaran pada
anak, termasuk dalam hal ini adanya penyakit yang melaterbelakangi, trauma dan
gangguan perkembangan. Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak
dibedakan berdasarkan saat terterjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa
5
pranatal (yang bisa disebabkan oleh faktor genetik dan nongenetik), perinatal dan
postnatal.9
Gangguan pendengaran konduktif pada anak paling sering adalah didapat dan
sementara. Kebanyakan memberikan respon bagus terhadap manajemen medis dan
dampaknya terhadap fungsi pendengaran jangka panjang dapat diabaikan. Namun ada
2 hal menjadi pengecualian. Pertama, kelainan congenital, terutama yang disebabkan
kelainan strukural, yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran signifikan ,
dimana penanganan harus menunggu anak tumbuh dewasa. Kedua, anak yang
menderita gangguan telinga tengah rekuren dan sensitivitas pendengaran yang
berfluktuasi lebih rawan mengalami gangguan ambang dengar dan masalah
bahasa/akademis karena adanya inkonsistensi input pendengaran selama periode
penting perkembangan bahasa. 9
6
Some causes of neural hearing disorder
Neoplasma
Hydrocephaly
Hypoxia
Hyperbilirubinemia
Gambaran klinis
Gambaran klinis yang muncul adalah tuli, dimana anak tidak bereaksi terhadap
panggilan dari belakang ruangan lain. Pasien dengan gangguan pendengaran yang
sangat berat tidak kebingungan terhadap bunyi yang sangat keras yang berasal dari
pesawat terbang atau bantingan pintu. Pasien juga tidak mengalami perkembangan
dalam bicara dan apabila berbicara, perbendaharaan kata sangat sedikit dan kata-
katanya tidak tepat.10 Gangguan pendengaran pada bayi dan anak-anak kadang-
kadang disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia
perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami gangguan
pendengaran lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat
bicara.7
Pemeriksaan penunjang :7
Beberapa pemeriksaan pandengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak
adalah :
1. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistem auditorik,
bersifat objektif dan tidak invasif. BERA dapat digunakan untuk memeriksa bayi,
anak dewasa maupun penderita koma. BERA merupakan pemeriksaan yang paling
berguna secara klinis untuk menilai bayi atau anak kecil.
7
Pemeriksaan menggunakan audiometer, dan hasil pencatatannya disebut audiogram.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada anak berusia 4 tahun.
4. Otoacustic Emission (OAE)
merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi koklea yang objektif,
otomatis, tidak invasif , mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga
sangat efisien untukprogram skrining pendengaran bayi baru lahir.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis, dalam hal ini pelacakan riwayat dari pasien dan
keluarga adalah hal yang paling penting. Hal ini mencakup riwayat kelahiran, riwayat
keluarga dan riwayat penyakit yang pernah diderita. 11
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada tanda – tanda
khas yang mengarah ke suatu sindrom gangguan pendengaran. Pemeriksaan telinga
luar dan telinga tengah berguna untk memastikan bahwa tidak atresia telinga luar dan
atau proses patologis yang melibatkan telinga tengah.11
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan untuk menilai pendengaran bayi
dan anak adalah BERA, BOA, OAE, timpanometri dan audiometric nada murni.
Selain itu, pemeriksaan CT scan memberikan gambaran yang baik yang akan
memberikan visualisasi anatomi tulang, ossikula dan telinga tengah. MRI mempunyai
perbedaan soft tissu yang tinggi, sehingga pemeriksaan ini ideal untuk evaluasi telinga
dalam.11
Tatalaksana 10
1. “Augmentation of hearing”
(i) Alat bantu dengar seharusnya diberikan sesegera mungkin, sebaiknya pada kedua
telinga.
(ii) Cochlear implant direkomendasikan untuk tuli sensorineural severe sampai
profound.
2. Perkembangan bicara.
(i) Terapi wicara. Pasien tidak memiliki mekanisme bicara yang sempurna. Kata-kata
seharusnya dilatih dengan latihan khusus oleh seorang terapi wicara atau guru khusus
untuk anak tuli.
8
(ii) Lip reading diajarkan kepada beberapa pasien sehingga mereka dapat mengerti
percakapan tanpa mendengarnya
.(iii) Sign language merupakan metode lama yang saat ini tidak direkomendasikan
lagi.
Prognosis
Anak tanpa retardasi mental mempunyai peluang yang baik dalam
meningkatkan perkataan yang dapat dimengerti. Anak anak dengan tuli moderat
memiliki prognosis yang lebih bagus.10
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Alloanamnesis
Identitas pasien :
Nama : An. AM
Usia : 3 thn 2 bln
BB : 15 kg
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Banjarnegara
9
No. RM : 01.51.26.05
Tanggal : 17 Januari 2011
Riwayat kelahiran:
Pasien lahir dengan pertolongan bidan, lahir cukup bulan, spontan, dengan berat 3 kg,
menangis keras
10
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)
Resume anamnesis
Hearing loss (-)
Abnormal speech development (+)
History of meningitis (+)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien
Baik, CM, kesan gizi cukup
Tanda Vital
Nadi : 100x/menit Suhu : afebril
RR : 24x/mnt BB : 15 kg
Pemeriksaan THT
Pemeriksaan telinga : dalam batas normal
Pemeriksaan hidung : dalam batas normal.
Pemeriksaan mulut : dalam batas normal
Ketika pasien dirangsang dengan suara keras, pasien tidak menoleh
Pemeriksaan Penunjang
Hasil BERA tanggal 24 Januari 2011.
Kesimpulan : Telinga kiri : profound, neural hearing loss
Telinga kanan : profound, neural hearing loss
B. Diagnosis
Deaf child
C. Penatalaksanaan
Dirujuk ke Tumbuh Kembang Anak
11
Dirujuk ke Rehabilitasi Medik
D. Plan
Pemeriksaan BERA ulang 6 bulan lagi.
E. Masalah
Masalah dalam kasus ini adalah tentang penatalaksaan dan prognosis
BAB IV
DISKUSI
12
menjadi factor predisposisi terjadinya gangguan pendengaran pada bayi. Dari riwayat
keluarga perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
yang sama, dimana hal ini akan mengarahkan ke aspek genetic sebagai penyebabnya.
Sedangkan dari riwayat penyakit dahulu perlu diketahi juga apakah ada riwayat
menderita cytomegalovirus, herpes atau syphilis. Ataukah anak yang bersangkutan
pernah menderita meningitis. Dalam kasus ini, seorang anak umur 3 tahun 2 bulan
datang ke RS Sardjito dengan keluhan utama belum bisa bicara. Dari pemeriksaan
fisik, pasien tampak tidak bereaksi saat diberikan suara keras didekatnya. Sedangkan
dari riwayat penyakit dahulu, diketahui bahwa saat berumur 1 bulan pasien pernah
dirawat di rumah sakit selama 1 bulan dengan diagnosis yang ditegakkan saat itu
adalah meningitis. Sementara itu setelah dilakukan pemeriksaan Brainstem Evoked
Response Audiometry (BERA) didapatkan hasil profound neural hearing loss untuk
telinga kanan dan kiri.
Seperti yang dijelaskan dalam Koomen (2004), Stach (2008) dan Jamie
(2010), meningitis menjadi salah satu penyebab utama hearing loss. Data yang
dipublikasikan oleh Gallaudet Research Institute’s Regional and National Summary of
Report Data from the Annual Survey of Deaf and Hard of Hearing Youth pada tahun
2005-2006 menunjukkan sedikitnya 3,2% gangguan pendengaran berhubungan
dengan kejadian meningitis yang pernah diderita. Disebutkan juga bahwa setidaknya
10 % individu dengan riwayat meningitis di negara berkembang menderita gangguan
pendengaran permanen. Meningitis adalah suatu inflamasi selaput otak dan spinal
cord. Disebutkan ada 3 type meningitis : bakteri, aseptic, dan viral. Dimana gangguan
pendengaran paling banyak terjadi setelah kejadian meningitis bacterial, berkisar
antara 5-35%. Gejala dan tanda klinis yang biasa didapatkan adalah demam, kejang,
dan kaku leher. Gangguan pendengaran yang biasa terjadi karena factor ini berkisar
antara ringan hingga profound, bisa unilateral maupun bilateral dan biasanya progesif.
Disebutkan bahwa keterlibatan koklea adalah yang paling dominan, meskipun pada
beberapa kasus juga melibatkan pusat pendengaran di korteks. Gangguan
pendengaran yang terjadi pada pasca meningitis biasanya permanen walaupun
beberapa data melaporkan kejadian pulihnya pendengaran seiring berjalannya waktu.
Cochlear osteogenesis, atau pertumbuhan tulang di koklea bisa terjadi. Lebih jauh, Li
(2006) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang kuat antara durasi gejala
meningitisi sebelum pengobatan dengan perkembangan gangguan pendengaran,
walaupun begitu terapi dini dan tepat tetap penting untuk mengurangi resiko kematian
13
karena meningitis bakterial tersebut. Penelitian histopatologi oleh Merchant dan
Gopen pada tulang temporal pasien yang mati karena meningitis bacterial
menunjukkan adanya keterlibatan koklea. Labirintitis supuratif ditemukan pada 20
(41%) dari 41 tulang yang diteliti. Korelasi yang kuat antara gangguan pendengaran
jangka lama dengan kerusakan ganglion spiralis juga telah dilaporkan. Sel ganglion
spiral, yang merupakan cell bodies dari serabut syaraf auditorik dan terletak dekat
dengan hair cells, rawan terhadap infeksi bakteri. Kematian syaraf ganglion spiralis
terjadi juga karena proses inaktifitas sehubungan dengan kerusakan hair cells. Selain
itu dinyatakan juga adanya lesi central neural pathways dengan gangguan proses
auditorik karena faktor meningitis tersebut.
Dari anamnesis riwayat keluarga, pasien mengaku tidak memiliki saudara
yang memiliki penyakit serupa. Namun hal tersebut tidak begitu saja menyingkirkan
faktor genetik sebagi penyebab gangguan pendengara pada kasus ini. Seperti yang
dinyatakan oleh Rehm (2008), bahwa lebih dari separuh (50 %) gangguan
pendengaran pada anak terjadi karena factor genetik. Lebih jauh dkatakan bahwa pada
sebagian besar kasus gangguan pendengaran genetik, tidak disertai dengan adanya
anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit serupa. Rehm (2008) menyatakan
bahwa prevalensi gangguan pendengaran kongenital ( genetik atau non genetik )
berkisar 1-3/1000 kelahiran. Ada banyak penyebab dari gangguan pendengaran
permanen, dimana secara garis besar dapat dibagi menjadi penyebab genetic dan non
genetic. Sebuah studi menyatakan bahwa sekitar 50% gangguan pendengaran
permanen pada anak-anak disebabkan faktor genetic, sedangkan 50% nya lagi karena
factor lingkungan dan idiopatik (Toriello et al, 2004). Penyebab gangguan
pendengaran genetik data diklasifikasikan menjadi sindromik dan non sindromik.
Sekitar sepertiga gangguan pendengaran genetic adalah sindromik, yang menandakan
adanya masalah kesehatan lainnya yang bisa dijumpai. Kebalikannya, sebagian besar
anak anak dengan gangguan pendengaran genetic tidak berkaitan dengan masalah
kesehatan lainnya. Hal ini yang digolongkan dalam penyebab genetic non sindromik.
Gangguan pendengaran genetic dapat juga digolongkan berdasarkan tipe inheritance;
dimana sekitar 77% kasus dari gangguan pendengaran herediter adalah resesif, 22%
dominan dan 1% berkaitan dengan kromosom X (X-linked). Sebagi tambahan, bagian
kecil (kurang dari 1%) berkaitan dengan mitochondrial inheritance, dimana karakter
ini diturunkan melalui jalur maternal. Oleh karena bagian terbesar (77%) gangguan
pendengaran genetic non sindromik adalah resesif, dimana masing masing orangtua
14
adalah karier namun memiliki pendengaran normal, banyak fakta bahwa pasangan
dengan tanpa riwayat gangguan pendengaran, akan melahirkan bayi dengan gangguan
pendengaran. Sehingga latar belakang penyebab gangguan pendengaran pada kasus
tersebut sulit ditentukan, karena gangguan bisa terjadi karena factor genetik maupun
didapat.
Pada kasus ini, tatalaksana menjadi masalah karena menurut Bhargava 2002,
pada anak-anak dengan tuli sensorineural severe sampai dengan profound
direkomendasikan untuk pemasangan cochlear implant dimana di Indonesia
tatalaksana ini masih jarang dan memerlukan biaya yang sangat mahal. Menurut
Probst 2006, semakin awal dilakukan implantasi koklear, alat ini akan semakin baik
mengeksploitasi daya penyesuaian dan daya tangkap struktur pendengaran sentral.
Pada pasien ini prognosispun menjadi masalah karena anak ini baru terdeteksi pada
umur 3 tahun 2 bulan. Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan pengetahuan dan
ekonomi masyarakat serta belum populernya program screening terhadap bayi baru
lahir di Indonesia. Menurut Flexer (2008) , neuron di bagian korteks mengalami
proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan
pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Upaya untuk
melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar
habilitasi pendengaran sudah dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih
berlangsung.
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 3 tahun 2 bulan dengan diagnosis deaf
child. Pasien .memiliki riwayat meningitis. Keterlambatan diagnosis pada pasien ini
mengingatkan akan pentingnya skrining pendengaran sejak dini pada bayi baru lahir,
dimana hal ini berhubungan dengan prognosis pasien.
15
DAFTAR PUSTAKA
16
4. Flexer C, Madell JR. Why Hearing is important in children?. In: Pediatric Audiology,
Diagnosis, Technology and management. Thieme, Stuttgart-New York 2008
5. Shah R.K. Hearing Impairment. Available in
http://emedicine.medscape.com/article/994159. 2010
6. Liston S.L., Duval A.J. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam Boies
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997
7. Suwento R, Sislavsky S, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak.
Dalam: Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung tenggorok Kepala & Leher edisi
keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2008
8. Lalwani, AK. Anatomi and Physiology of the Ear. In : Current Diagnosis & Treatment
Otolarinology Head and Neck Surgery. 2nd Ed.New York, 2007
9. Stach BA, Ramachandran VS. Hearing disorder in children. In Pediatric Audiology,
Diagnosis, Technology and Management. Thieme, Stuttgart-New York, 2008
10. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. Deafness. In A short textbook of E.N.T
Diseases. Usha Publication. Mumbai 2002
11. Alexiades G., Hoffman R.A. Medical Evaluation and Management of Hearing Loss
in Children. In Pediatric Audiology Diagnosis, Technology, and Management.
Thieme, Stuttgart-New York, 2008
17