Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia jika dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia, Indonesia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan dan intelektualnya saja tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya juga. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia saat ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini. Dalam era reformasi dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi beserta penjatuhan pidana bagi pelakunya mengalami perkembangan dengan makin mencuatnya wacana penjatuhan pidana mati bagi koruptor. Banyak pro dan kontra tentang pemberlakuan pidana mati untuk kasus korupsi ini. Pro dan kontra pidana mati ini memberikan pendapat yang berbedabeda. Ada pembela pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan menakutkan penjahat, dan relatif tidak menimbulkan sakit jika dilaksanakan dengan tepat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana mati dapat menyebabkan ketidakadilan, tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan dilakukan karena panas hati dan emosi yang di luar jangkauan dan kontrol manusia. Oleh karena itu melihat fenomena kontroversi pro don kontra pidana mati bagi koruptor di masyarakat, maka penulis mengambil judul Kontroversi Hukuman Mati bagi Koruptor.

1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji di dalam penulisan makalah ini didasarkan pada alasan bahwa permasalahan korupsi-korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya sehingga pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi apakah urgen bagi aparat penegak hukum dalam upaya
1

pencegahan korupsi di Indonesia. Hal ini dikarenakan penjatuhan hukum pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia belum pernah dijatuhkan meskipun sudah mendapat landasan hukum yang kuat dengan telah diaturnya mengenai pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dalam penerapannya ditemukan masalah-masalah khususnya dalam hal penerapan sanksi pidananya terutama yang menyangkut pidana mati, karena penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi selain dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku tindak pidana korupsi juga dapat menimbulkan kontroversi terutama yang menyangkut hak asasi manusia, karena dengan penjatuhan pidana mati ini tentunya ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup yang merupakan hak yang paling hakiki bagi manusia. Didasari oleh pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pro dan kontra keputusan hukuman mati bagi seorang koruptor? 2. Bagaimana urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk membandingkan respon masyarakat (pro dan kontra) dalam menanggapi hukuman mati bagi seorang koruptor 2. Untuk mengetahui urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia

1.4 Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan urgensi dan efektifitas pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.

1.5 Sistematika Penulisan Sistematika pada penulisan makalah ini adalah : BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan BAB II PEMBAHASAN Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Pro dan Kontra terhadap pidana mati, argumentasi Pro dan Kontra terhadap hukuman pidana mati bagi koruptor dan urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. BAB IV SIMPULAN Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan simpulan berdasarkan hasil pembahasan.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pro dan Kontra Hukuman Mati di Indonesia Hukuman mati adalah hukuman yang diberikan pada terpidana yang melakukan kejahatan yang tergolong berat, seperti contoh orang yang melakukan pembunuhan berencana yang menyebabkan banyak korban jiwa dan pengeboman yang menimbulkan banyak korban. Tentang pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, menarik perhatian masyarakat Indonesia. Perdebatan tersebut membagi masyarakat menjadi dua pihak ada yang Pro dan ada yang Kontra.

Bahkan membentuk organisasi, Pihak Pro membentuk Panitia PAHAMA (Pembela Hukuman Mati), sedangkan pihak yang Kontra membentuk Panitia HATI (Hapuskan Hukuman Mati). Perdebatan mengenai Hukuman Mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrument hukum Internasional maupun dalam UUD 1945 merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun demikian, instrumen hukum internasional tidak sama sekali melarang Hukuman Mati melainkan membatasi penerapannya. Hal ini dalam konteks Indonesia dikukuhkan dalam Putusan MK No.2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa pelakasanaan Hukuman Mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. 1. Hukuman Mati sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. 2. Hukuman Mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat dengan pidana penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun. 3. Hukuman Mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak-anak yang belum dewasa. 4. Eksekusi hukuman mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa

ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana sakit jiwa tersebut sembuh.Walaupun gerakan penghapusan hukuman mati sangat gencar dilakukan, masih banyak negara yang mengakui dan menerapkan hukuman mati. Saat ini terdapat 68 negara termasuk Indonesia yang masih menerapkan praktik hukuman mati. Dalam konteks Indonesia, perdebatan hukuman mati memiliki makna tersendiri mengingat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi Muslim terbesar di dunia. Perubahan hukum yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi negara-negara berpenduduk muslim lainnya. Jika saja Mahkamah Konstitusi
4

memutuskan bahwa pidana mati bertentangan dengan Konstitusi yang berarti penghapusan hukuman mati, hal itu akan menjadi momentum penting bagi penghapusan hukuman mati di negara-negara berpenduduk Muslim lainnya yang pada umumnya masih menerapkan hukuman mati. Namun demikian, hukum sebagai salah satu bentuk norma masyarakat dan hukum dalam arti keputusan hakim harus dipahami dalam konteks perkembangan sejarah masyarakat. Oleh karena itu, belum diterimanya penghapusan hukuman mati di Indonesia harus dipahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum dapat menerima penghapusan hukuman mati. Hukunam Mati masih dipahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral. Adapun alasan yang melandasi tidak disetujuinya hukuman mati di Indonesia yaitu : 1. Hukuman mati bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28A Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya Hal di atas merupakan bukti bahwaUUD 1945 tidak menghendaki pembatasan terhadap hak untuk hidup. Dengan kata lain,UUD 1945 tidak ingin diberlakukannya hukuman mati, karena merupakan suatu bentuk pengkingkaran atas hak untuk hidup. Sistem peradilan pidana tidaklah sempurna. Peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum orang yang tidak bersalah. polisi, jaksa penuntut umum, maupun hakim adalah juga manusia yang bisa saja keliru ketika menjalankan tugasnya. 2. Persamaan martabat manusia di dalam hukum Persamaan martabat manusia di dalam hukum adalah merupakan suatu bukti kekuasaanTuhan yang diakui oleh setiap umat beragama, bahwa Tuhan menciptakan umat manusiayang mendiami permukaan bumi dalam beraneka jenisnya, ada yang kaya dan ada yang miskin, yang kuat dan lemah, yang berkuasa dan dikuasai, yang baik dan jahat. Di samping itu dicptakannya pula manusia ini secara berkelompok terdiri atas bangsa, suku, ras yang secara fisikberbeda jauh antara yang satu dengan dengan yang lain. Dengan adanyakebhinekaan inilah justru mekanisme hidup dipermukaan bumi dapat berjalan hingga sekarang karena tanpa adanya perbedaan-perbedaan di bumi ini, maka hidup tidaklah seramai dan seunik seperti yang kita hadapi sekarang ini. Meskipun demikian, pada dasarnya manusia itu mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yangsama antara satu dengan yang lain. Antara si kaya dan si miskin mempunyai status dan hak yang sama hanya perbedaan harta benda yang mereka miliki tidak sama, antara si
5

penguasa dan rakyat jelata tidak ada perbedaan dalam perlakuan hukum karean yang berbeda hanyalah dalam hal perlakuan hukum dan kewajibannya saja dimana si penguasalah yang memegang kendali pemerintahan sedangkan rakyat jelata harus menerima nasib sebagai orang yang diperintah. Jadi, pada prinsipnya sebagai manusia setiap orang mempunyai martabat yang sama karena mereka sama-sama mempunyai hak kemanusiaan yang sama. Berkenaan dengan hal tersebut sering dikemukakan orang adanya suatu prinsip yang dinamakan equality of the lawatau persamaan kedudukan dihadapan hukum, dalam arti bahwa hukum dan keadilan tidaklah begitu membeda-bedakan orang, si kaya yang melanggar hukum harus dihukum sama dengan si miskin yang bersalah. Demikian pula dengan si penguasa dapat dituntut bila mengambil hak-hak orang lain sebagaimana dengan si rakyat jelata yang tidak mau taat dan tunduk pada ketentuan hukum. Persamaan martabat didalam dan/atau terhadap hukum adalah merupakan hak asasi bagi setiap insan. Bagi negara kita hal ini telah pula diberikan jaminan konstitusional yang berartipelaksanaannya harus benar-benar dilindungi. Oleh karena itu, hukum dan aparat penegak hukum wajib untuk melindungi setiap insan yang merasa hak-haknya tersebut telah dinodai . Akan tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari bahwa antara teori danpraktek tidak selama selalu sinkron, biasanya praktek itu banyak menimpang dari teori.Dalam masyarakat penyimpangan dari hak asasi manusia tersebut bukanlah suatu yang anehlagi. Konon, seorang filosofi Yunani yang hidup ribuan tahun yang lalu sudah memberikan gambaran yang indah sekali tentang hukum. Dimana hukum itu adalah bagaikan sebuah

sarang laba-laba yang hanya dapat menjerat yang lemah, akan tetapi dapat dihancurkan oleh yang kuat. Secara konseptual, penerapan hukuman mati merupakan wujud penegakan keadilan dalam masyarakat. (Upaya dalam Utami, 2010). Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman
6

mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.

2.2 Argumentasi Pro dan Kontra terhadap Hukuman Pidana Mati bagi Koruptor Hukuman mati bagi koruptor di Indonesia disambut pro dan kontra. Demi efek jera, menurut orang-orang yang mendukung. Masih ada hukuman lain yang bisa memberi efek jera, kata orang-orang yang tidak mendukung. Baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan ini telah membangkitkan respon dari setiap lapisan masyarakat. Hampir 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman dari sudut pandang sosial, hukum, dan agama. Oleh karenanya, permasalahan ini telah meningkatkan suhu perdebatan hampir di seluruh negara, sehingga menjadi amatlah penting untuk menghadirkan berbagai dimensi signifikansi sesungguhnya dari perspektif keadilan sosial dan hukum. Kebutuhan untuk menghadirkan permasalahan ini, dalam kerangka yurisprudensi dan realisme yang ada, merupakan salah satu yang harus dilakukan jika semangat masyarakat umum, khususnya para pemerhati hukum, terhadap permasalah sosial memang ingin dilayani dengan sungguh-sungguh. Wacana menghukum mati para koruptor di Indonesia sebetulnya sudah agak lama mengemuka. Pada April 2010, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyatakan setuju dengan hukuman mati bagi koruptor karena hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang itu menyebutkan kalau koruptor dapat dihukum mati saat negara dalam keadaan krisis, bencana alam, atau dalam kondisi tertentu. Kalangan DPR RI sendiri menyatakan setuju dengan hukuman mati untuk para koruptor di Indonesia. Hukuman mati bagi para koruptor yang yang diungkapkan Menteri Koordinator Hukum dan Pertahanan (Menkohumkam) ternyata disambut baik anggota Komisi III DPR RI. Sementara itu banyak pula yang menyanggah akan adanya hukuman mati bagi koruptor di Indonesia dikarenakan alasan wacana sanksi hukuman mati bagi para koruptor dinilai tidak efektif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemerintah akan membenahani instrumen penegakan hukum dan pemberian sanksi untuk membuat jera. (Indrayana dalam Masykur, 2011)
7

Lebih lanjut ia menambahkan, hasil penelitian Transparansi Internasional menyebutkan kenaikan indeks anti-korupsi Indonesia dalam enam tahun terakhir mencapai 0,8. Sedangkan China naik 1,3 dalam kurun waktu 16 tahun. Selain itu, penerapan hukuman mati juga menimbulkan kontroversi dan perdebatan tidak berujung. Menurut Chairul (dalam Ramadhani, 2011), hukuman mati bagi koruptor bukanlah sarana untuk membuat koruptor takut terhadap pelaksanaan hukuman matinya, tapi bagaimana menakut-nakuti orang agar tidak melakukan korupsi. Ia menambahkan tingginya tingkat korupsi di Indonesia bukanlah karena tidak dilakukannya hukuman mati bagi koruptor, melainkan disebabkan oleh sistem administrasi negara yang buruk. "Tingginya angka korupsi di Indonesia bukan karena koruptor tidak dihukum mati.

2.3 Urgensi Hukuman Pidana Mati bagi Koruptor dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Terlepas dari setuju atau tidak pemberlakuan pidana mati untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia, secara jujur harus diakui bahwa Indonesia adalah salah satu negara terkorup di Asia Pasifik. Oleh karena itu, urgen untuk segera mencari cara untuk memberantas korupsi yang telah merusak tatanan ekonomi dan menyebabkan kemiskinan, apapun itu obatnya termasuk penerapan pidana mati. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 yang memosisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07 semestinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tahun ini peringkat Indonesia pertama (sebelumnya 7,69). Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level. (Al Faruqi, 2010) Kesimpulan PERC tersebut bukan dianggap aneh, melainkan hal yang biasa, karena Indonesia memiliki kultur yang aneh. Pejabat negara dan para koruptor tidak ada yang jera. Bahkan, orang yang belum memiliki kesempatan untuk korupsi pun bercita-cita -bila suatu saat ada peluang- akan melakukan hal itu. Budaya seperti itu yang menjadikan penangkapan banyak pejabat, politisi, dan pihak swasta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menimbulkan efek jera. Filosofi yang berkembang di kalangan koruptor adalah ditangkap KPK atau penegak hukum yang lain hanya karena sial. Fenomena tersebut sama dengan fenomena tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Banyak kenistaan dan penderitaan yang dialami para

tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Namun, minat untuk menjadi TKW tidak berkurang, tapi malah bertambah. Lebih jauh, para koruptor berprinsip, kalau toh mereka tertangkap, pikiran di benaknya adalah bagaimana bisa lolos dari jerat hukum. Jika terpaksa belum bisa lolos, setidaknya hukumannya diperingan dan dendanya rendah. Karena itu, mafia hukum tumbuh subur di Indonesia dan pendapatan mereka jauh lebih tinggi daripada gaji resmi penegak hukum. Dan perlu diingat bahwa perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang kalkulatif, artinya tindakan tersebut sudah dipikirkan matang-matang sehingga saat tertangkap tidak akan bangkrut. Ketidaktegasan karakter bangsa Indonesia dalam menghadapi masalah-masalah penting bangsa menjadikan segala masalah diselesaikan di tingkat permukaan saja. Kasus-kasus besar korupsi menjadi sulit dijamah karena ada upaya-upaya proteksi dari pemilik kekuasaan. Dengan skor 9,07 dari 10 poin tertinggi, itu bisa dikatakan hampir sempurnalah korupsi di Indonesia, dan kesimpulan PERC ini semakin meyakinkan publik bahwa sia-sia saja pemberantasan korupsi dilakukan, inpres-inpres tentang pemberantasan korupsi menjadi tidak bermakna karena tidak diimplementasikan di lapangan, izin-izin pemeriksaan kepala daerah yang mestinya dikeluarkan presiden hingga kini masih banyak yang tidak tahu rimbanya. Bangsa ini sebaiknya tidak berharap akan berhasil memberantas korupsi apabila kultur yang ada tidak mampu diubah. Berharap agar korupsi bisa diberantas atau jumlahnya ditekan sebenarnya adalah mimpi buruk di siang bolong, sebab bangsa ini semakin hari semakin kehilangan karakternya, awalnya bangsa ini menambatkan harapan pemberantasan korupsi kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dia adalah seorang yang dibesarkan di dunia ketentaraan sehingga memiliki kedisiplinan tinggi, selain itu, sosoknya dianggap relatif bersih jika dibandingkan dengan figurfigur yang lain. Pada tahap awal kepemimpinannya, pemberantasan korupsi lebih beraroma dan bergemuruh jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam korupsi. Namun, sejak awal periode kedua memimpin, ternyata aroma dan gurita korupsi semakin menerpa. Puncak pencitraan antikorupsi rontok dari rezim SBY sejak mencuatnya kasus Bank Century. Meskipun kesimpulan akhir sudah disampaikan dalam rapat paripurna DPR, permasalahan itu belum berarti selesai. Permasalahan terus berkembang hingga muncul istilah ''tukar guling'' dan ''barter'' kasus korupsi untuk menyelamatkan masalah-masalah krusial yang lebih besar. (Chairul dalam Ramadhani, 2011)
9

Munculnya istilah-istilah tersebut menandakan bahwa bangsa ini tidak malu-malu mempertontonkan perilaku korup di depan publik. Itu mencerminkan arah pemberantasan korupsi semakin tidak jelas. Roh dan semangatnya menjadi hilang tanpa bekas. Bila hasil survei PERC yang dirilis baru-baru ini dikontekskan dengan realitas Indonesia akhir-akhir ini, sesungguhnya tidak ada yang dilebih-lebihkan. Korupsi begitu menggurita, mulai pemegang kebijakan hingga implementasi di tingkat yang paling bawah. Sementara gebrakan pembenahan sektor pelayanan publik dengan berbagai inovasi untuk memudahkan dan mempermurah biaya pelayanan terus dikampanyekan. Ending-nya adalah bagaimana mengurangi korupsi di sektor pelayanan publik. Namun, semua itu belum benarbenar dirasakan semua lapisan masyarakat, dan inovasi pelayanan publik tersebut belum menyentuh masalah-masalah vital yang dibutuhkan masyarakat, kinerja pelayanan di dunia kepolisian belum beranjak ke arah yang dicita-citakan, dunia kejaksaan dan kehakiman (pengadilan) juga masih jauh dari memadai sebagai tempat mencari keadilan, bahkan perlakuan di lembaga pemasyarakatan juga sarat dengan mafia korupsi. Dunia pendidikan kita hancur karena gagal menumbuhkan sikap kejujuran. Ujian negara yang mengejar nilai kuantitatif sering mendorong dunia pendidikan menghalalkan segala cara, yang penting nilainya bagus dan lulus terbanyak. Jadi, yang ujian sekarang itu bukan para siswa melainkan para kepala sekolah, guru, dan orang tua. Itu adalah awal pertumbuhan korupsi di jiwa bangsa Indonesia. Program-program prorakyat, baik yang disalurkan lewat departemen maupun langsung ke masyarakat, di sana sini mengalami penyunatan yang tidak bisa diatasi lewat penegakan hukum. Semua dilakukan dengan tanpa beban dan rasa berdosa. Sebaliknya, pihakpihak yang ingin memperbaiki situasi dengan mengurangi tingkat korupsi akan dipinggirkan. Kasus buaya vs cicak menandakan bahwa kelompok-kelompok yang ingin memperbaiki situasi akan mengalami kendala, tantangan, dan bahkan ancaman yang serius sehingga eksistensinya sewaktu-waktu bisa terancam. Oleh karena itu, semua penyelenggara negara sepertinya samasama mau berjamaah korupsi agar tidak dikeluarkan dari habitatnya. Itulah yang menjadikan korupsi semakin hari malah menggurita di Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan di atas, bangsa Indonesia sudah berada pada titik yang sangat urgen sebelum hancurnya perekonomian dan kehidupan masyarakat karena korupsi. Masalah ini harus segera dicari jalan keluarnya, termasuk pertimbangan pemberlakuan

10

hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang kalau memang bisa memberantas korupsi, karena secara legalitas, pidana mati tidak bertentangan dengan undang-undang.

11

BAB III SIMPULAN

3.1 Simpulan Hukuman mati bagi koruptor di Indonesia disambut pro dan kontra dari masyarakat Indonesia. Menurut orang-orang yang mendukung hukuman mati mutlak ada demi efek jera. Namun masih ada hukuman lain yang bisa memberi efek jera menurut orang-orang yang tidak mendukung. Banyak pertimbangan mengenai HAM dan agama yang membuat keputusan hukuman mati ini menjadi sebuah kontroversi. Bangsa Indonesia sudah berada pada titik yang sangat urgen sebelum hancurnya perekonomian dan kehidupan masyarakat karena korupsi. Masalah ini harus segera dicari jalan keluarnya, termasuk pertimbangan pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang kalau memang bisa memberantas korupsi, karena secara legalitas, pidana mati tidak bertentangan dengan undang-undang.

12

DAFTAR PUSTAKA

Al

Faruqi,

Jabir.

2010.

Sempurnalah

Korupsi

di

Indonesia,

Juni.

http://antikorupsi.org/indo/content/view/16577/7/. (November 2011) Masykur, Shohib. 2011. Hukuman Mati bagi Koruptor tidak Langgar HAM dan UUD, Detik News, Oktober. http://www.detiknews.com/ berita. (November 2011) Ramadhani, Fitri. 2011. Hukuman Mati bukan Solusi Mencegah Korupsi, TO:DAY, Maret. http://www.today.co.id. (November 2011) Utami, Dessy SW. 2010. Kontroversi Hukuman Mati, Mei. http://desi1212.blogspot.com/. (November 2011)

13

Anda mungkin juga menyukai