Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

Miastenia gravis (MG) dengan nama-nama lain seperti asthenic bulbar palsy, myasthenia gravis pseudoparalytica atau Goldflam's disease1 merupakan kelainan neuromuscular junction (NMJ) yang paling banyak, ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot skletal. Sebagian besar adalah penyakit autoimun yang dimediasi oleh antibodi. Kerusakan yang mendasarinya adalah berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada NMJ secara menyeluruh dan merusak membran postsinaptik.2,3,4,5 Prevalensi MG sekitar 1 kasus dalam 10.000 20.000 orang. MG lebih sering terdapat pada orang dewasa, dapat juga pada anak dan bisa timbul segera setelah lahir atau sesudah umur 10 tahun Wanita lebih sering terkena pada usia dekade kedua dan ketiga, dan laki-laki lebih sering pada usia dekade kelima dan keenam.2,3 Timoma merupakan neoplasma primer yang tersering ditemukan pada mediastinum, sekitar 15% dari semua tumor anterior mediastinum.6 Tumor ini berasal dari sel-sel epitel timus dan etiologinya tidak diketahui pasti tapi keadaan ini dihubungkan dengan beberapa sindroma sistemik. Sekitar 30-50% pasien timoma memiliki gejala-gejala dari MG. Kasus timoma termasuk sangat jarang, insidennya 1,5 /1.000.000 penduduk per tahun dan biasanya mengenai kelompok usia antara 40 sampai 60 tahun. 5,6,7 Hubungan antara MG dan timoma ditemukan kebetulan pada tahun 1939 ketika Blalock dan rekan kerja melaporkan eksisi pertama dari kista thymic pada gadis 19 tahun dengan MG. Pasien ini mencapai remisi jangka panjang, sehingga timektomi menjadi terapi definitif untuk pengobatan MG umum. 8 Berikut ini akan ditampilkan laporan kasus pasien MG dengan timoma. Kasus ini diangkat karena termasuk kasus jarang dan juga penting untuk pembelajaran dalam menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya dan menambah wawasan kita semua. 1

BAB II LAPORAN KASUS


2.1 IDENTIFIKASI Seorang laki-laki, Tn.S,Petani, umur 46 tahun, Islam, alamat Sekarjaya, Batu raja, dirawat di ruang RA kamar II.1 RS Mohammad Hoesin pada tanggal 30 April 2010. 2.2 RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT Penderita dikonsulkan dari bagian Penyakit Dalam karena kedua kelopak mata jatuh, sukar di buka , bicara pelo dan susah menelan perlahan-lahan. sejak 4 bulan kadang muncul, sebelum masuk rumah sakit (SMRS) penderita sering mengeluh nyeri dada, seperti ditusuk-tusuk, tidak menjalar, sesak napas kadangtidak dipengaruhi aktivitas, cuaca, atau stress. sesak napas terutama muncul ketika berbaring terlentang dan merasa lebih nyaman jika tidur miring ke kanan, batuk (+), berdahak, encer, darah(-). 3 bulan SMRS keluhan diikuti dengan pandangan mata kiri terlihat menjadi dua terutama ketika menjelang sore hari. 1 bulan SMRS kelopak mata kiri jatuh, sukar dibuka dan badan terasa mudah capek terutama setelah beraktivitas dan menjelang sore hari, namun keluhan berkurang sesudah penderita istirahat. 2 minggu SMRS keluhan bertambah berat, diikuti dengan mata kanan, saat bicara kadang-kadang timbul cadel, penderita juga mengeluh sulit menelan bahkan ketika minum air hingga keluar dari hidung. Tidak ada kelemahan tungkai dan lengan, tidak ada demam, tidak ada kesulitan bernapas. Penderita kemudian berobat ke rumah sakit umum daerah Baturaja dan dirawat selama 5 hari, disana penderita dikatakan menderita tumor paru dan dirujuk ke RSMH untuk perawatan lanjutan. Riwayat sakit darah tinggi disangkal, Riwayat sakit jantung di sangkal, Riwayat kencing manis disangkal, , Riwayat batuk lama disertai berat badan 2 yang terjadi secara

menurun disangkal, Riwayat benjolan di daerah leher disangkal.Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal. Penyakit ini diderita untuk pertama kalinnya. 2.3 PEMERIKSAAN FISIK 1. Status generalis: keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/90 mm/Hg, denyut nadi 98 x/menit,reguler, isi dan tegangan cukup, RR: 22 x/m, suhu badan 37,2C, BB : 54 Kg, TB : 160 cm, Status Gizi : Normowieght. Konjuntiva tidak pucat, sklera tidak ikterik. Toraks simetris, kor dan pulmo dalam batas normal. Abdomen datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal. 2. Pemeriksaan klinis neurologis: Nervi craniales: N III : pupil, bulat, isokor, 3 mm, reflek cahaya +/+, gerakan bola mata ke segala arah. Tes Wartenberg : Positif (Ptosis) dan diplopia N.IX, X : Archus pharing simetris, uvula di tengah, disfoni, disfagia N. XII : Deviasi (-), Disatria, fasikulasi (-), atropi papil lidah (-) Tes Menghitung : Disatria dan disfoni. Fungsi motorik: Penilaian Gerakan Kekuatan Tonus Klonus Ref. fisiologis Ref. Patologis Fungsi sensorik Fungsi luhur Fungsi vegetatif Lengan kanan Cukup 5 Normal Normal Lengan kiri Cukup 5 Normal Normal : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan 3 Tungkai kanan Cukup 5 Normal Normal Tungkai kiri Cukup 5 Normal Normal -

Gejala rangsang meningeal : tidak ada Gerakan abnormal : tidak ada Gait & keseimbangan : tidak ada kelainan 2.4 HASIL PEMERIKSAAN : Rontgen thorax PA : 27 April 2010 Kondisi foto baik, posisi simetris kanan = kiri, trakea di tengah, tulang-tulang baik, sela iga tidak melebar, CTR > 50%, sudut costophrenicus : hilus kiri Kesan : cenderung massa mediastinum kiri Laboratorium ( 2- Mei-2010) Hematologi Hb : 15,2 g/dl Leukosit : 7.300 /mm3 Kimia Klinik GDS : 82 mg/dl kreatinin : 1,2 mg/dl SGOT : 24 U/l Prot.total : 7,0 g/dl As.urat : 5,0 mg/dl Na : 138 mmol/l SGPT : 22 U/l Albumin : 4,6 g/dl Ureum : 27 mg/dl K : 3,3 mmol/l LDH : 352 U/l Globulin : 2,4 Hematokrit : 46 vol % LED : 7 mm/jam Trombosit : 17.000/mm3 DC : 0/1/0/45/46/8 tajam, diapragma tenting : (-), parenkim : perselubungan homogen, berbatas tegas pada

EKG : 2 Mei 2010

irama sinus, axis kiri, HR : 93 x/mnt, gelombang P normal, interval PR : 0,16 dtk, kompleks QRS : 0,06 dtk, R/S V1 < 1, S V1 + R V5/V6 < 35, ST-T changed (-), Kesan : LAD. Konsul Bagian Mata : 4 Mei 2010

kesan : susp.miastenia gravis 4

saran : metilcobalt 3x500 mg Konsul bag.neurologi pro CT scans thoraks konsul poli neurooftalmologi 1 minggu lagi

2.5 DIAGNOSA AWAL : Diagnosis Klinis Diagnosis Topik : Observasi Ptosis + diplopia ODS, disfagia dan disatria (sindrom miastenia gravis) : Neuromuscular junction

Diagnosis Etiologi : DD/ -Tumor Mediastinum : Timoma -Hiperplasia timus

2.6 PENATALAKSANAAN Piridostigmin 60 mg 2 x1 tab Vit BiB6B12 3 x 1 Cek lab lengkap Tes Prostigmin ENMG Cek Lab Antibodi Reseptor Asetilkolinesterase CT scan Thorak Rawat bersama

2.7 PROGNOSA Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam

2.8 FOLLOW-UP PENDERITA Tanggal 7-5-2010 (VIII) Klinis Kel : Batuk, kadangkadang ptosis, pandangan ganda, bicara cadel. susah menelan (-) Status generalis : . Sens : CM TD : 120/90 mm/Hg, Nadi : 95 x/m, RR : 20 x/m, Temp : 37 oC Laboratorium Pem. Penunjang dan Konsul Tes Prostigmin : Positif ENMG : Pada pemeriksaan Harvey Masland test dengan perangsangan repetitif (RNS=Repetitive nerve stimulation) pada N.axillaris kiri dengan frekuensi 3 Hz/dtk, tampak penurunan amplitudo yang melebihi 10 % (decrement +). Kesan : Harvey Masland tes + (Positive).

Terapi
PENATALAKSANAAN :

Istirahat Diet NB TKTP Mestinon 2 x 1 tab. Prednison 5 mg tab 2-2-1. Vit BiB6B12 3 x 1 As. Mefenamat 3 x 500 mg OBH sy 3 x 1 tab. Rencana : - Ct scan thorax - Cek Antibodi Achr - Cek T3, T4,TSH. - Konsul Bedah Thorax.

9- 13 Kel : Ptosis, pandangan Mei 2010 ganda, bicara cadel berkurang. (X-XIV) Status generalis : . Sens : CM TD : 120/90 mm/Hg, Nadi : 95 x/m, RR : 20 x/m, Temp : 37 oC
,,

Hasil Pemeriksaan Sputum : BTA : Negatif

Th/ teruskan

Konsul Divisi Pulmonlogi : Saran : Ro thoraks lateral sinistra dan AP

Tanggal Klinis 14 - 16 Kel : nyeri dada kiri (+), Mei pandangan ganda (+), 2010 bicara pelo (+). Susah menelan (-)
(XVXVII)

Laboratorium T3 : 1.47 (1.30 3.10) T4 : 86.95 (66.0 181.0) TSH : 1.09 (0.270 4.20

Pem. Penunjang dan Konsul Ro Thorak AP/Lateral: Kesan : cenderung mediastinum kiri Usul : Ct Scan Thorax

Terapi Istirahat Diet NB TKTP Mestinon 3 x 1 tab. Prednison 5 mg tab 2-1-1. (tap off) Vit BiB6B12 3 x 1 As. Mefenamat 3 x 500 mg Pemeriksaan TTB (Trans Thoracal Biopsy)

Status generalis : . CM, TD: 110/80 mmHg, RR : 20 x/menit regular,nadi :88 x/m T:37o,. St. Neurologikus : Stqa

massa

19 Mei 2010 (XX)

Kel : Kel : nyeri

dada kiri (+), pandangan ganda (-), bicara pelo (-). Susah menelan (-) Status generalis : . CM, TD: 110/80 mmHg, RR : 20 x/menit regular,nadi :88 x/m T:37o,.

Ct Scan thorak kontras Kesan : Timoma Tak ada pembesaran kelenjar lymphe intrathoracal Tidak ada efussi pleura Tepi lateral massa sudah mencapai dinding thorax

th/ teruskan. Konsul Bedah saraf

Tanggal Klinis 21-5Kel : nyeri dada kiri 2010 berkurang. (XXII) pandangan ganda (-), bicara pelo (-). Susah menelan (-) Status generalis : d.b.n Status neurologis : Stq.

Laboratorium Pemeriksaan Sitologi TTB (20-5-2010) :

Kesan : Timoma dengan Miastenia gravis Sediaan dari TTB dengan populasi Saran : sel minimal, terdiri dari sel-sel Rencana Timektomi ,

Pem. Penunjang dan Konsul Konsul Bedah Thorak:

Terapi
-th/ teruskan. Prednison Tap Off 3 x1 tab -Rencana Timektomi Plasmapharesis

thoraks bersilia khas respiratory, Dilakukan terlebih dahulu sel radang limfosit, makrofag, plasmaparesis. PMN. Sel-sel ganas tidak dijumpai USG abdomen : Normal pada sediaan ini Kesan : Sitologi TTB tanpa sel-sel ganas. Asetilkolin Reseptor Antibodi 24.00 mmol/l
Neg Borderline Pos : <0,25 : 0,25-0,39 : 0,40

31-5Kel : 2010 - Status generalis : d.b.n 2-5-2010 Status neurologis : Stq. (XXXII- DIAGNOSA AKHIR XXIV) DK : Miastenia Gravis
DT : NMJ DE : Timoma

- HCG (31-5-2010) < 0,100 positive : >2

Konsul Bedah Thorak Ulang: Dilakukan terlebih dahulu plasmaparesis, sebelum tindakan bedah (Extended Thymectomi) karena dapat terjadi ventilator depend post operasi.

-th/ teruskan. Prednison Tap Off 2 x1 tab


-Rencana

Timektomi
Plasmapharesis

PROGNOSIS : Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad malam

2.9 . Hasil Pemeriksaan Penunjang

Ct scan Thorax dengan kontras (19 Mei 2010): Massa dengan densitas H.U 71, terletak di mediastinum anterior kiri, lobulated, tepi rata, berdampingan di arcus aorta kiri. Kesan : Timoma Tak ada pembesaran kelenjar lymphe intrathoracal Tidak ada efussi pleura Tulang : baik Cor : Normal 10

Tepi lateral massa sudah mencapai dinding thorax.

Rontgen thorax PA : 12 Mei 2010

Kondisi foto baik, posisi simetris kanan = kiri, trakea di tengah, tulang-tulang baik, sela iga tidak melebar, CTR > 50%, sudut costophrenicus : tajam, diapragma tenting : (-), parenkim : perselubungan homogen, berbatas tegas pada hilus kiri Kesan : cenderung massa mediastinum kiri Usul : Ct Scan Thorak

ENMG : Kesan Harvey Masland Tes (+) Positiv

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 DEFINISI MIASTENIA GRAVIS MG adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4,9.Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena

adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction3,4,9,10,11. 3.2 EPIDEMIOLOGI MG merupakan penyakit yang jarang ditemui, insiden 2 per 1.000.000 orang pertahun dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita MG adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun3,4,9,10,11 3.3 PATOFISIOLOGI Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi MG. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita MG misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lainlain4. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita MG secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan MG.

Gambar 1. Paut saraf otot normal. Diagram ini menggambarkan paut saraf otot, menunjukkan ujung saraf presinaptik dan postsynaptic muscle endplate.

Gambar 2 . Mekanisme kerja antibodi anti-asetilkolin reseptor, ada tiga kemungkinan (A) antibodi reseptor asetilkolin memblokade cholinergic binding site dari reseptor asetilkolin (AChR), mencegah asetilkolon berikatan dengan reseptor. (B) antibodi reseptor asetilkolin melakukan cross-link dengan AChR terdekat, meningkatkan laju internalisasi ke dalam otot. (C) antibodi reseptor asetilkolin yang mengikat komplemen menyebabkan destruksi muscle endplate dan menekan jumlah AChR. Sumber9 : Nicolle Michael W. Myasthenia Gravis.The neurologist.vol 8,no 1 2002

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir ( End-Plate Potential/EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase (Gambar 1). 9,10 Pada MG, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. .( Gambar 2)9,10

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita MG belum sepenuhnya dapat dimengerti. MG dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis MG mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik4. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Pada 75%-80% penderita MG didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya2,3,4,5 3.4 GEJALA KLINIS MG dikarakterisasikan secara klinis dengan fluktuasi, kelelahan kelemahan pada otot. Keluhan kelemahan meningkat sepanjang hari, diperburuk dengan aktivitas yang mendukung, dan mengalami perbaikan dengan istirahat. Ciri-cirinya meliputi ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta kelemahan otot pernapasan dan anggota gerak. Sekitar setengah pasien memiliki keluhan okular. Yang lain dapat mengeluhkan gejala pernapasan, disarthria, disfagia, atau kelelahan dan kelemahan otot anggota gerak. Kelemahan otot okular biasanya bilateral dan asimetris serta menimbulkan diplopia, ptosis atau keduanya. 2,3,9,10,11 Dalam tahun pertama onset penyakit, hampir 75% pasien mengalami gejala menyeluruh. Gejala bulbar biasa muncul dan meliputi disarthria, disfagia, kelemahan otot wajah, dan kelemahan mengunyah. Karena kelemahan palatum, pasien sering mengalami bicara sengau dan dapat terjadi regurgitasi cairan melalui hidung. Kelemahan alat anggota gerak dan batang tubuh biasanya distribusinya lebih banyak di proksimal dibandingkan di distal. Sering, lengan lebih banyak

terkena dibandingkan tungkai. Otot quadriseps, triseps, dan ekstensor leher tampak lebih dulu terkena.. Gejala yang paling serius adalah gangguan pernapasan karena kelemahan otot diafragma dan interkostal. Gejala pernapasan ini, bersama dengan gejala bulbar berat, dapat memuncak dan disebut krisis miastenik, didefinisikan sebagai gagal napas dan membutuhkan ventilasi mekanik. Komplikasi ini terjadi pada sekitar 15-20% pasien dengan MG dan mungkin dipercepat oleh infeksi atau aspirasi. 2,3,9,10,11 Sekitar sepertiga wanita hamil, MG dieksaserbasi oleh kehamilan, dengan risiko terbesar selama trimester pertama. Pada beberapa pasien, gejala dan tanda membaik selama trimester kedua dan ketiga, bersamaan dengan immunosupresif relatif yang terjadi selama fase kehamilan ini. Risiko tinggi kemudian kembali lagi selama periode postpartum. Sebagai tambahan efek pada ibu, sekitar sepertiga bayi dengan ibu menderita MG autoimmun mengalami miastenia neonatal peralihan, yang kelemahannya tampak dalam 4 hari pertama kehidupan dan biasanya berakhir selama 3 minggu. Kelemahan merupakan hasil dari transfer antibodi maternal melalui plasenta ke dalam sirkulasi darah bayi, tetapi tidak ada kaitan yang jelas antara kelemahan neonatal dan status klinis maternal atau kadar anitbodi. Bayi yang menderita juga malas makan dan tangisannya lemah2,3,9,10,11

3.5 KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), MG dapat diklasifikasikan sebagai berikut8,9
Klas I Klas II Klas IIa Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular. Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Klas IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa. Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan. Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Klas III KlasIIIa

Klas IIIb

Klas IV

Klas IVa Klas IVb

Klas V

MG juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini3 : 1. MG dengan ptosis atau diplopia ringan. 2. MG dengan ptosis, diplopia, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu. 3. MG yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia. 3.6 DIAGNOSIS 3.6 .1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu MG. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di

kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal2,3,4,8,9,10 Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan MG. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita MG akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada MG menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher4. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu MG. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear melakukan abduksi4. Untuk memastikan diagnosis MG, dapat dilakukan beberapa tes antara lain2,3,4,8,9,103 : 1. Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh MG, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang

2. Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh MG maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 3. Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh MG, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat. 3.6 .2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti

3.6.2.1 Pemeriksaan Laboratorium Antistriated muscle (anti-SM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita MG. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita MG yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (MG seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan MG menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan MG pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan MG.

Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu MG, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita MG generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-AChR yang positif. Pada pasien timoma tanpa MG sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody4. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4: Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien MG
Osserman Class R I IIA IIB III IV Mean antibody Titer 0.79 2.17 49.8 57.9 78.5 205.3 Percent Positive 24 55 80 100 100 89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4 Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah. 3.6.2. 2 Imaging4

Chest x-ray (foto rontgen thorak) : Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada rontgen thorak, timoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil rontgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi timoma pada semua kasus MG, terutama pada penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis MG tidak dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak. 3.6.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuskular melalui 2 teknik4 :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita MG terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG) Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal. 3.7 Diagnosis Banding Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis MG, antara lain3,4:

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit selain MG, antara lain :
o o o o o

Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika) Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii Paralisis pasca difteri Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran presinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postsinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi. 3.8 PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan MG adalah untuk mencapai tiga tujuan penting: (1) transmisi optimal neuromuscular, (2) Mengurangi atau menetralkan konsekuensi dari reaksi autoimun, (3) Memodifikasi the natural history dari MG dengan menginduksi remisi, yang berarti sebagai kondisi yang permanen yaitu tidak adanya gejala tanpa terapi. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada MG. Antikolinesterase biasanya digunakan pada MG yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn MG generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin4. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita MG. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan2. 3.8 1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

1 Plasma Exchange (PE)2,3,4,9,10 Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan. 2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)2,3,4,9,10 Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complementactivating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon

yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama. 3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp) 2,3,4,9,10 IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan. 3.8.2 Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang 1 Kortikosteroid2,3,4,9,10 Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan MG. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap MG masih belum diketahui. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di

tempat kelainan imun pada MG. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi. 2. Azathioprine2,3,4,9,10 Azathioprine biasanya digunakan pada pasien MG yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain. 3 Cyclosporine2,3,4,9,10 Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi. 4. Cyclophosphamide (CPM) CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.

3.8.3 Thymectomy (Surgical Care)2,4,4,9,10,11,12,13,14 Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma dengan atau tanpa MG sejak awal tahun 1900. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.8 3.9 PROGNOSIS Pada MG ocular, dalam beberapa tahun > 50% kasus berkembang menjadi MG generalise dan akan sekitar < 10 % akan terjadi remisi spontan. Sekitar 1517% akan tetap mengalami gejala okular yang di follow-up dalam periode 17 tahun. Sebuah studi dari 37 pasien dengan MG menunjukkan adanya timoma memmeberikan outcome yang lebih buruk.10,11 Kebanyakan pasien dengan MG yang general menikmati hidup normal dan produktif ketika diobati dengan adekuat. Tetapi, kualitas hidup mungkin menurun sebagai hasil baik dari efektifitas yang terbatas dan efek samping obat yang tersedia. TIMOMA Timoma merupakan neoplasma primer yang tersering ditemukan pada mediastinum anterior, berasal dalam sel-sel epitel timus. Timus merupakan organ limfoid yang terletak di mediastinum anterior. Dalam kehidupan awal, timus bertanggung jawab untuk pengembangan dan pematangan fungsi sel-mediated imunologi. Timus terdiri dari sel-sel epitel dan limfosit. Sel prekursor bermigrasi ke timus dan berdiferensiasi menjadi limfosit. Sebagian besar limfosit dihancurkan, dengan sisa sel-sel migrasi ke jaringan untuk menjadi T limfosit.. Kelenjar timus terletak di belakang tulang dada di depan pembuluh darah besar, mencapai berat maksimum pada pubertas dan mengalami involusi sesudahnya.

Insiden Insiden puncak timoma terjadi pada dekade ke empat dan kelima, rata-rata umur 52 tahun. Pada tahun1970 - 1990 di RS Persahabatan Jakarta dilakukan operasi terhadap 137 kasus, jenis tumor yang ditemukan adalah 32,2% teratoma, 24% timoma, 8% tumor syaraf, 4,3% limfoma. Dari kepustakaan luar negeri diketahui bahwa jenis yang banyak ditemukan pada tumor mediastinum anterior adalah limfoma, timoma dan germ cell tumor.13

Etiologi
Penyebab dari timoma belum pasti, namun diduga berhubungan dengan sindrom sistemik. Dari 30-40% dari pasien yang memiliki gejala pengalaman timoma sugestif dari MG. sekitar 5% pasien dengan timoma memiliki sindrom sistemik lainnya, termasuk Aplasia sel darah merah, dermatomyositis, lupus sistemik erythematous, sindrom Cushing, dan sindrom sekresi hormon antidiuretik. Gejala Klinis Pasien dengan timoma, sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat dilakukan foto toraks. Keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi peningkatan ukuran tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur mediastinum. Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat ; batuk, nyeri dada, sindrom vena kava superior, disfagia dan suara serak serta batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat .12,13,14 Klasifikasi 12,13,14 1. Klasifikasi World Health Organization (WHO) Type Jenis AA AB AB B1 B1 B2 B2 B3 B3 CC Histologic Description Medullary thymoma Mixed thymoma Predominantly cortical thymoma Cortical thymoma Well-differentiated thymic carcinoma Thymic carcinoma

2. Staging berdasarkan sistem Masaoka Stage I II III IV.A IV B Makroskopik berkapsul, secara Mikroskopik tidak tampak invasi ke kapsul Invasi secara makroskopik ke jaringan lemak sekitar pleura mediastinal atau invasi ke kapsul secara mikroskopik Invasi secara makroskopik ke organ sekitarnya Penyebaran ke pleura atau perikard Metastasis limfogen atau hematogen.

Penatalaksanaan Timoma 12,13,14 Penatalaksanaan tumor mediastinum nonlimfoma secara umum adalah multimodalitas meski sebagian besar membutuhkan tindakan bedah saja, karena resisten terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi banyak tumor jenis lain membutuhkan tindakan bedah, radiasi dan kemoterapi, sebagai terapi adjuvant atau neoadjuvan.

Penatalaksanaan timoma berdasarkan staging. Stage I II III IV A IV B Penatalaksanaan Extended thymo thymecthomy (ETT) ETT, dilanjutkan dengan radiasi, untuk radiasi harus diperhatikan batas batas tumor seperti terlihat pada CT sebelum pembedahan ETT dan extended resection dilanjutkan radioterapi dan kemoterapi Debulking dilanjutkan dengan kemoterapi dan radioterapi kemoterapi dan radioterapi dilanjutkan dengan debulking

Penatalaksanaan karsinoid timik dan oat cell carcinoma adalah pembedahan dan karena sering invasif maka direkomendasikan radiasi pascabedah untuk

kontrol lokal, tetapi karena tingginya kekerapan metastasis maka kemoterapi diharapkan dapat meningkatkan angka ketahanan hidup. Pada setiap kasus timoma, sebelum bedah harus terlebih dahulu dicari tanda MG atau myastenic reaction. Apabila sebelum tindakan bedah ditemukan maka dilakukan terlebih dahulu plasmaparesis dengan tujuan mencuci antibodi pada plasma darah penderita, paling cepat seminggu sebelum operasi. Pembahasan MG merupakan suatu gangguan pada paut saraf otot (NMJ), di tandai kelemahan subakut dan fluktuatif tanpa gangguan sensorik. Gejala MG dapat berupa disatria, disfagia, ptosis, disfungsi okular dan kelemahan otot-otot leher dan otot-otot proksimal. MG merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari
normal. Diagnosis MG dapat ditegakkan melalui gambaran klinis, pemeriksaan

laboratoruim, tes tensilon atau prostigmin dan pemeriksaan elektromiografi. Pada kasus ini , Penderita di konsulkan di bagian neurologi pada tanggal 6 Mei 2010 dengan tumor mediastinum dan suspek MG. Dari anamnesis penderita mengalami gejala klinis yang bersifat fluktuatif berupa ptosis, disatria, disfagia, diplopia sejak lebih kurang satu bulan sebelum di rawat di RSMH. Pada saat di lakukan tes prostigmin di dapatkan hasil positif. Pemeriksaan EMG pada MG ditemukan adanya abnormalitas pada stimulasi repetitif dimana suatu respon dekremental, terjadinya penurunan amplitudo CMAP yang melebihi 10% positif. Pada Kasus ini didapatkan kesan Harvey Masland Tes positif, yang khas untuk MG. Abnormalitas dari neuromuskular pada MG dibawa oleh mediasi respon autoimun. Sekitar 75-80% dari penderita MG didapati glandula timus yang abnormal. Kira-kira 10-15% memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer lainnya. Sepertiga dari kasus timoma ditemukan kebetulan pada pemeriksaan radiografi selama

hasil pemeriksaan untuk menegakkan MG. CT-Scan toraks dengan kontras selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi kelainan tumor secara lebih baik dan dengan kemungkinan untuk menentukan perkiraan jenis tumor, misalnya teratoma dan timoma. CTScan juga dapat menentukan stage pada kasus timoma dengan cara mencari apakah telah terjadi invasi atau belum. Perkembangan alat bantu ini mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk pemeriksaan sitologi. Untuk menentukan luas abdomen. Pada penderita ini, sebelum dirawat di RSMH, telah dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorak dengan hasil suspek massa di mediastinum. Dari hasil pemeriksaan CT scan thorak dengan kontras didapatkan kesan timoma dengan tepi lateral massa sudah mencapai dinding thorax serta tidak ada pembesaran kelenjar lymphe intrathoracal. Dilakukan pemeriksaan USG abdomen untuk melihat adakah invasi ke intra abdominal, hasil USG abdomen normal. Antibodi anti-reseptor asetilkolin spesifik untuk MG dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit. Dari hasil pemeriksaan Antibodi anti-reseptor asetilkolin didapatkan hasil yang abnormal, dengan titer sebesar 24.00 mmol/l. Berdasarkan prevalensi dan titer Anti-AChR Ab menurut osseman class penderita digolongkan dalam kelompok dengan MG IIA ( mild generalized). Berdasarkan klinis dan pemeriksaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan penderita didiagnosis dengan MG grade IIA. Pada kasus ini terdapat korelasi antara klinis dengan hasil pemeriksaan titer Antibodi anti-reseptor asetilkolin. Tatalaksana MG tergantung dari beratnya gejala. Secara garis besar pengobatan MG terdiri dari pengobatan simptomatik dan immunosupresif. Pengobatan simptomatik dengan memberikan antikolinesterase seperti neostigmin invasi beberapa jenis tumor mediastinum sebaiknya dilakukan CT-Scan toraks dan CT Scan

dan pyridostigmin. Obat ini mencegah destruksi Ach dan meningkatkan akumulasi Ach pada NMJ, memperbaiki kemampuan immunosupresif, seperti kortikosteroid, kontraksi otot. Pengobatan plasmapharesis, Azathioprine,

IIntravenous Immunoglobulin (IVIG). Kortikosteroid menekan antibodi yang memblokir AchR pada NMJ dan dapat digunakan bersamaan dengan antikolinesterase. Kortikosteroid memperbaiki keadaan dalam beberapa minggu dan jika pemulihan sudah stabil, dosis sebaiknya dikurangi secara perlahan (tappering off). Azathioprined dapat digunakan untuk menagani MG umum jika pengobatan lain gagal mengurangi gejala. Pada kasus ini awalnya penderita diberikan Pyridostigmin (mestinon 60 mg) 2 x 1 tab dan kortikosteroid prednison 0,5 mg kg/bb (25 mg/hari). Dari follow-up gejala klinis yang bersifat fluktuatuf masih timbul, namun berkurang, selanjutnya kami berikan mestinon 3 x 1 tab. Dalam perkembangan perawatan gejala klinis penderita membaik. Untuk pasien dengan timoma pembedahan untuk mengangkat tumor diperlukan untuk mencegah penyebaran tumor. Pada kasus ini gejala MG diakibatkan oleh timoma. Pada umumnya penanganan pasien timoma adalah tindakan bedah timektomi dan pemberian kemoterapi dan radioterapi tergantung staging timoma sendiri. Hasil Ct-scan Thorak dengan kontras pada penderita mennjukkan kemungkinan staging Masaoka timoma grade II dan di tatalaksana dengan Extended thymo thymecthomy (ETT) , dilanjutkan dengan radiasi. Setelah di konsultasikan dengan Sub bagian Bedah Thorak penderita akan dilakukan tindakan ETT, namun dilakukan terlebih dahulu plasmaparesis, sebelum tindakan ETT karena dapat terjadi ventilator depend post operasi. Namun tindakan plasmaparesis belum bisa dilakukan di RSMH. Sampai follow-up terakhir penderita menngalami perbaikan secara klinis. Namun diperkirakan suatu saat akan berkembang menjadi MG yang general Untuk pasien dengan penyakit yang terbatas pada otot okular, penghambat kolinesterase, kortikosteroid dosis rendah, atau terapi yang tidak menggunakan obat (contoh penopang kelopak mata) mungkin cukup untuk mengontrol gejala. Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki

peranan yang penting untuk terapi MG, Pada penderita ini diharapkan dapat dilakukan timektomi, karena dalam literatut dikatakan secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan.

BAB IV KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4. Sebelum memahami tentang MG, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Mekanisme imunogenik memegang

peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin4. Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis2,4. Telah dilaporkan suatu kasus MG denga Timoma. Penatalaksanaan lebih rumit dan harus dilakukan secara holistik dan komprensif agar memberikan hasil yang baik. Semoga dapat menambah wawasan kita.

DAFTAR PUSTAKA 1. Rowland LP. Disease of Muscle and Neuromuscular Junction. In: Teksbook Of Medicine 13th ed. Eds. Beeson PP and Dermot WM. Philadelphia-London--Toronto; WB Saunders Co. 1971; pp 350--354. 2. Sosinsky MS dan Kaufmann P. Myasthenia Gravis & Other Disorders of the Neuromuscular Junction. in: Brust JCM (ed.). Neurology: Current Diagnosis and Treatment. Lange Medical Books/McGraw-Hill. USA. 2007;22;350-6.

3. Daniel B. Drachman. Myastenia Gravis and other Disease of the Neuromuscular Junction. In : Hauser SL.ed. Harrisons Neurology in Clinical medicine. San Fransisco: McGraw-Hill;2006 p.527-35 4. Small George A , Aloi Mara. Myastenia Gravis, In: Principles and Practise of Emergency Neurology. Cambridge University Press; 2003.p.180-184. 5. Roberts JR, Kaiser LR. Anterior mediastinal neoplasms in Fishmans Pulmonary diseases and disorders, Fourth edition; volume two. McGrawn Hill. 2008. p1597-1601 6. Miller,Q.Kline,A.L,Thtmoma;http://emedicine.medscape.com/article 7. Crapo, James D.; Glassroth, Jeffrey; Karlinsky, Joel B.; King, Talmadge E. Tumors of the mediastinum. In : Baum's Textbook of Pulmonary Disease, 7th Edition Copyright 2004 Lippincott Williams & Wilkins 884-90 8. Miller Quintessa, Tymomas available http://emedicine.medscape.com/article. 2009.diunduh 3-6-2010 9. Nicolle Michael W. Myasthenia Gravis.The neurologist.vol 8,no 1 2002;p:221

10. Kothari Milind J. Myasthenia Gravis.JAOA, Vol 104 No 9 2004 p.377-384. 11. Pinzon R. Myasthenia Gravis . CDK 172, vol 36 2009.p 413-416 12. Kondo K. Optimal Therapy For Tymoma. The Journal of Medical Investigation. 55.2008; 17-24 13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Tumor Mediastinum Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.2003.;p1-12 14. Perrot M, et all. Prognostic Significance of Thymomas in Patients With Myasthenia Gravis. Ann Thorac Surg 2002;74:1658-1662

Anda mungkin juga menyukai