Anda di halaman 1dari 18

KARYA ILMIAH FILARIASIS

Disusun Oleh :

GREGORIUS CHRISTIAN W S11017

STIES KUSUMA HUSADA SURAKARTA

PRODI S1KEPERAWATAN 2011-2012


BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Filariasis merupakan salah satu penyakit yang termasuk endemis di Indonesia. Seiring dengan terjadinya perubahan pola enyebaran penyakit di negara-negara sedang berkembang, penyakit menular masih berperan sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian. Salah satu penyakit menular adalah penyakit kaki gajah (Filariasis). Penyakit ini merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening(limfe), dapat menyebabkan gejala klinis akut dan gejala kronis. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada stadium lanjut (kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran kaki (seperti kaki gajah) dan pembesaran bagian bagian tubuh yang lain seperti lengan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita (Soedarto, 1990). Selain ke tiga wilayah kepulauan tersebutdiatas sebagaimana yang termuat didalam modul eleminasi penyakit kaki gajah yang di terbitkan oleh Depkes. RI melalui Ditjen PPM & PLDirektorat P2B2 Subdit Filariasis dan Schistosomiasis (2002) endemisitas kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa propinsi lainya di Indonesia, diantaranya Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lebak Tangerang Propinsi Banten, Batam Propinsi Riau, Lampung Timur Propinsi Lampung, Mamuju Propinsi Sulawesi Selatan, Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, Kab. Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kota Baru Propinsi Kalimantan Selatan. Menurut Harijani AM. (1981) ditemukan Brugia malayi di Kalimantan Selatan bersifat Zoonosis karena dari penangkapan berbagai binatang, kucing, monyet daun mengandung Brugia malayi stadium dewasa dan vektornyadapat menggigit baik manusia maupun hewan( Basundari, 1990).

B.

TUJUAN 1. TUJUAN UMUM Mengetahui penyakit tentang penyakit Filariasis 2. TUJUAN KHUSUS Setelah membahas makalah ini diharapkan dapat memahami tentang :

a. b. c. d. e.

Penyakit Filariasis dan akibatnya Respon immunologi dari penderita Filariasis Pencegahan penyakit Filariasis Pengobatan penyakit Filariasis Angka kejadiaan Filaria di Indonesia

BAB II PEMBAHASAN

A.

PENGERTIAN Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit kaki gajah (elephantiasis). Filariasis limfatik di Indonesia disebabkan oleh W. bancrofti, B. malayi dan B. timori, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening. Penularan terjadi melalui vektor nyamuk Culex spp., Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp (Srisasi, 1988). Filariasis adalah masalah global, masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di India, Cina dan Indonesia. Ketiga negara selama kurang lebih duapertiga dari total jumlah penduduk dunia diperkirakan terinfeksi. Di daerah endemik, 10% mungkin menderita filariasis. Di India, filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, vektor yang adalah nyamuk Culex quinquefasciatus (C. fatigans) (Srisasi, 1988).

B.

PENGELOMPOKAN Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity). Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori[1]. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh

Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau, untuk Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea) (Chandra, 1996). Dean dan Kosta, meneliti pada tahun 1942 menunjukkan, 10,8% pasien ditemukan embrio cacing dari pemeriksaan darah pada 5.000 orang tersebar di beberapa lingkungan di kota. Para penulis yang sama juga menemukan bahwa Culex fatigans merupakan tempat utama Filariasis, dan hampir semua nyamuk di rumah di beberapa lingkungan di mana mengandung parasit microfilaremia, dan kemudian memeriksa 1014 spesimen, 11,6% terdapat W. Bancrofti (Depkes, 2002).

Daur hidup Wuchereria bancrofti.

E. GEJALA KLINIS

Gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis. Dalam perjalanan penyakit filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi : 1. Masa prepaten Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik amikrofi laremik dan asimtomatik mikrofilaremik. 2. Masa inkubasi Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 816 bulan. 3. Gejala klinik akut Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofi laremik maupun mikrofilaremik. Filariasis bancrofti pembuluh limfe alatkelamin laki-laki sering terkena

disusul funikulitis, epididimitis dan orchids. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 315 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun. Filariasis brugia Limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 X/tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu 3 bulan. 6

4. Gejala menahun Gejala menahun terjadi 1015 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya. Filariasis bancrofti hidrokel paling banyak ditemukan. Di dalam cairan hidrokel ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Filariasis brugia elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah, sedang ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya (Partono, 1987).

F.

RESPON IMUN PADA FILARIASIS Pada filariasis sistim imun yang berperan adalah sistim seluler dan humoral, kedua sistim ini berjalan dan saling berkoordinasi karena pengaruh sitokin. Respon imun filariasis yang humoral maupun seluler terhadap mikrofilaria terlihat lebih baik pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan kelompok mikrofilaremik

RESPON SELULER Respon imun seluler filariasis telah banyak dipelajari. Peran sel limfosit pada respon seluler sangat penting. Hilangnya mikrofilaria di peredaran darah dan di organorgan tempat parasit tinggal disebabkan oleh peristiwa ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity). Secara in vitro telah dibuktikan bahwa bila terdapat antibodi spesifik yang menempel di permukaan badan mikrofilaria, sel-sel limfosit terangsang untuk menempel di permukaan badan mikrofilaria, disusul matinya mikrofilaria.

Proses ini diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan pada filariasis. Kegagalan respon seluler dapat terjadi pada penyakit yang telah berjalan lama (menahun); parasit berhasil hidup dan mempertahankan diri di dalam tubuh hospes. Dalam usaha beradaptasi diri, parasit mengeluarkan antigen yang dapat mempengaruhi respon imun, dan ratio jumlah sel limfosit supresor (CD8+) dan sel limfosit helper (CD4+) berubah. Sel CD4+ yang jumlahnya rendah mengakibatkan produksi antibodi spesifik rendah (Bhuyan M dan Chakraborty BC, 1988).

RESPON IMUNOGLOBULIN Penelitian respon humoral pada filariasis, menunjukkan bahwa secara kuantitatif penduduk daerah endemis yang amikrofilaremik pada umumnya mempunyai kandungan IgG anti filaria yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang mikrofilaremik. Secara kualitatif gambaran yang ditunjukkan lebih kompleks; yaitu pada penderita filariasis bancrofti yang mikrofilaremik, IgG anti filaria yang ada mengenal komponen protein cacing dewasa terutama pada berat molekul < 80 Kd; pada penderita elefantiasis terutama pada berat molekul 180 Kd 20 Kd pada penderita tropical eosinophilia (TPE) komponen protein yang dikenal berat molekul 200 Kd - 25 Kd. Pada penderita filariasis malayi IgG anti filaria dari penduduk yang amikrofilaremik dengan gej ala klinis mengenal komponen protein mikrofilaria malayi pada berat molekul 125 Kd secara mencolok, sedangkan penduduk amikrofilaremik tanpa gejala klinis IgG yang ada mengenal komponen 75 Kd dan 25 Kd. Empat macam subkelas IgG mempunyai struktur bentuk, fungsi dan derajat partisipasi pada respon imun yang masing-masing sangat berbeda; hal ini memberi indikasi bahwa perbedaan tipe respon imun yang terjadi pada perjalanan penyakit filariasis ditentukan oleh masing-masing subkelas IgG yang berperan. Secara kuantitatif kadar IgG 1 pada penderita elephantiasis lebih tinggi dibandingkan pada penderita yang mikrofilaremik. Secara kualitatif pola pengenalan yang ditunjukkan sangat berbeda. Komponen protein cacing dewasa B. malayi yang dikenal oleh IgGl dan IgG3 dari penderita elephantiasis adalah berat molekul > 68 Kd, sedangkan pada penderita yang mikrofilaremik komponen protein yang dikenal < 68 Kd. IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar di antara subkelas yang lain. Bila terjadi ikatan IgG3 dengan antigen baik spesifik atau nonspesifik dapat 8

menyebabkan teraktivasinya sistim komplemen dengan serangkaian reaksi, hal ini dapat menyebabkan rusaknya antigen tersebut. Hasil ini menimbulkan dugaan bahwa peran IgG3 pada filariasis adalah sebagai imunoprotektor. Tentunya hal ini perlu didukung oleh penelitian lebih lanjut. Peran IgG2 pada filariasis masih sangat diragukan, mengingat kemampuan IgG2 untuk mengikat komplemen sangat rendah, di samping ternyata IgG2 juga mempunyai kemampuan kuat mengikat polisakharida. Respon IgG4 banyak dikaitkan dengan respon IgE. Bila kadar IgG4 tinggi dalam darah, hal ini dapat sebagai indikator keadaan infeksi yang aktif dan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah. Biasanya keadaan ini disertai dengan rendahnya kemampuan respon seluler. Pola pengenalan IgG4 terhadap komponen protein cacing filaria banyak dikaitkan dengan IgE. Komponen protein cacing filaria dewasa maupun mikrofilaria yang dikenal oleh IgG4 juga dikenal oleh IgE. Seperti diketahui, di permukaan sel basophil dan sel mast terdapat reseptor untuk IgE. Bila ikatan IgE dan sel basophil atau sel mast banyak beredar dalam darah, kemudian bertemu dengan antigen spesifikmaka akan terjadi robekan permukaan sel-sel tersebut dan terjadi pembebasan histamin. Bila IgG4 hadir dalam jumlah banyak di dalam darah akan terjadi dua kemungkinan; pertama kompetisi antara IgE dan IgG4 dalam mengikat antigen; bila terjadi ikatan antigenIgG4 maka ikatan antigen-IgE-sel basophil tidak terjadi sehingga tidak ada pembebasan histamin dan reaksi alergi, kemungkinan ke dua bila IgG4 setelah mengikat antigen kemudian menempel pada reseptor di permukaan sel basophil atau sel mast sehingga IgE tidak dapat menempel pada permukan sel sehingga pembebasan histamin tidak terjadi. Pada filariasis konsentrasi IgE umumnya tinggi. Konsentrasi tertinggi terdapat pada penderita TPE (8630 g/ml), penderita elephantiasis dan kelompok tanpa gejala klinis baik yang mikrofilaremik maupun amikrofilaremik mempunyai kandungan IgE dua kali normal. Meskipun semua bentuk klinis filariasis mempunyai kadar IgE tinggi, gejala alergi hanya terjadi padaTPE saja; hal ini karena adanya faktor bloking oleh IgG4.

PERAN SITOKIN Fungsi sitokin pada filariasis masih belum banyak diketahui. Pada dasarnya sitokin adalah suatu protein yang diproduksi oleh sel limfosit T dan memegang peran penting pada pengaturan respon imun penyakit. Penelitian tentang respon imun pada

infeksi parasit menunjukkan bahwa sel CD+4 dan CD+8 adalah sel limfosit yang berperan sebagai mediator sistim proteksi dan imunopatologik. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dalam kaitannya dengan respon imun, sel CD+4 dibagi menjadi dua kelompok sel : Thl dan Th2. Sitokin penting yang diproduksi oleh sel Thl adalah IL-2 (Interleukin-2) dan IFN gama (Interferon gama). IL-2 terutamaberperan dalam proses diferensiasi sel limfosit sitotoksik (CTL), dan sel B. IFN gama berperan terutama untuk mekanisme pertahanan, yaitu: proses aktivasi makrofag, meningkatkan proses killing intraseluler, meningkatkan proses ADCC (AntibodyDependent Cell Cytotoxicity), menstimulasi proliferasi sel B, meningkatkan produksi IgG2 oleh sel B dan menetralkan efek IL-4 pada sel B. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 adalah: IL-4, IL-5 dan IL-6; IL-4 terutama berperan sebagai faktor perkembangan dan aktivasi sel B, perkembangan sel mast, meningkatkan produksi IgE dan MHC kelas II dari sel B. IL-5 berperan pada perkembangan sel B untuk berproliferasi, meningkatkan produksi IgA. Peran IL-6 adalah menstimulasi proliferasi sel-sel plasmasitoma dan hibridoma, timosit dan sel-sel hemipoetik progenitor, stimulasi sel B untuk memproduksi antibodi. Dikemukakan 4 macam kemungkinan mekanisme respon imun; Mekanisme pertama dalam respon imun hanya melibatkan sel Th l saja, karena sel Th2 tidak berperan dalam sekresi sitokin maka terjadi sekresi IFN gama, IL-2 dan LT yang berlebih, akibatnya terjadi inaktivasi sel B, tidak ada sekresi antibodi, aktivasi makrofag, respon DTH kuat dan supresi sel Th2, keadaan ini mengakibatkan parasit-parasit intrasel dapat terbunuh dengan efektif. Mekanisme kedua, bila terjadi respon sel Th1 yang kuat tetapi disertai dengan sedikit respon sel Th2, pengaruh IFNgama, IL-2 dan LT berkurang karena adanya pengaruh IL-4, IL-5 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel Th2. Terjadi aktivasi sel B dan produksi antibodi, respon DTH tidak sekuat pada mekanisme pertama. Mekanisme ketiga, yaitu bila terjadi respon sel Th2 yang kuat, tetapi sedikit respon sel Th1. Terjadi sekresi IL-4, IL-5 mungkin masih terjadi, mungkin juga tidak banyak dilakukan, tetapi umumnya belum didapatkan jawaban yang memuaskan. Penelitian yang dilakukan oleh Freedman dan kawan-kawan menunjukkan bukti bahwa pada filariasis komponen utama yang terlibat dalam respon imun adalah sel-sel endothelium yang terdapat pada dinding pembuluh vaskuler maupun limfatik, di bawah pengaruh sitokin. Dalam penelitiannya ditunjukkan IFN gama yang tinggi,

10

filariasis menunjukkan bahwa penderita tanpa filaremik mmpunyai kadar IFN gama 238 pg, hal ini menunjukkan bahwa bila terdapat kandungan ini akan menstimulasi sel-sel endothel untuk mengkspresikan MHC kelas I pada permukaan selnya. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya kepekaan anti filaria CTL (sel imfosit sitotoksik), terutama di lokasi radang di mana didapatan juga agen parasitnya. Bertambahnya aktivitas CTL spesifik akan meningkatkan pula mekanisme ADCC, yang akan menyebabkan aktivitas killing dari limfosit lebih efektif. Mekanisme keempat, bila respon imun hanya melibatkan sel Th2 saja, pada mekanisme ini terjadi sekresi dan IL-6 yang cukup, dapat menyebabkan sekresi antibodi lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi pada mekanisme 1 dan 2. Produksi IgG2a, IgG 1 karena pengaruh IL-4, IgE tidak mencolok karena masih ada pengaruh IFN gama. Penelitian respon sitokin pada filariasis, antibodi dalam konsentrasi yang tinggi, tidak terjadi aktivasi DTH. Karena terdapat IL-4 dalam jumlah banyak maka terjadi sekresi IgE dalam jumlah banyak, makrofag juga teraktivasi tetapi tidak sama dengan keadaan bila respon imun karena pengaruh sel Thl, adanya IL-5 menyebabkan aktivasi fungsi eosinophil, dengan demikian gambaran klinis yang timbul adalah gejala alergi (Katrina, 2005).

E. DIAGNOSIS 1. Diagnosis Klinik Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun. 2. Diagnosis Parasitologik Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria. Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis,

11

maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.

3. Diagnosis Epidemiologik Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk. Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalui penemuan penderita elefantiasis. Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis di antara 1000 penduduk, dapat diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang mikrofilaremik.

F. PENGOBATAN Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik. Dietilkarbamasin tidak dapatdipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur kurang dari 2 tabula, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah. Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6 mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis malayi diberikan 5 mg/kg berat badan selama 10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg BB selama 23 minggu. Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan hydrocele memerlukan penanganan ahli bedah. Reaksi samping Dietilkarbamasin sistemik berupa demam, sakit kepala, sakit pada otot dan persendian, mual, muntah,menggigil, urtikaria, gejala asma bronkial sedangkan gejala lokal berupa limfadenitis, limfangitis, abses, ulkus, funikulitis, epididimitis, orchitis dan

12

limfedema. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 25 hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik.

G. PEMBERANTASAN FILARIASIS Pemberantasan filariasis ditujukan pada pemutusan rantai penularan dengan cara pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmissi. Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas dengan tujuan : 1. 2. 3. 4. a. Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0% Menurunkan nf rate menjadi < 5% Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR) Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas :

Pemberantasan nyamuk dewasa Anopheles : residual indoor spraying Aedes : aerial spraying b. Pemberantasan jentik nyamuk Anopheles : Abate 1% Culex : minyak tanah Mansonia : melenyapkan tanaman air tempatperindukan, mengeringkan rawa dan saluran air c. Mencegah gigitan nyamuk Menggunakan kawat nyamuk/kelambuMenggunakan repellent Kegiatan pemberantasan nyamuk dewasa dan jentik tidak masuk dalam program pemberantasan filariasis diPuskesmas yang dikeluarkan oleh P2MPLP pada tahun 1992. Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga dan seluruh penduduk daerah endemis dengan harapan bahwa penderita

13

dengan gejala klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.

H. EPIDEMIOLOGI FILARIA DI INDONESIA Filariasis erupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit filaria yang menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening Di Indonesia filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria bancrofti (filariasis bancrofti) serta Brugia malayi dan Brugiatimori (filariasis brugia) dan dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah atau demam kaki gajah. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukan mikrofilaria dalam peredaran darah. W. bancrofti dan B. timori hanya ditemukan pada manusia. Berdasarkan sifat biologik B. malayi di Indonesia didapatkan dua bentuk yaitu bentuk zoophilic dan anthropophilic. Periodisitas mikrofilaria di peredaran darah pada jenis infeksi yang hanya ditemukan pada manusia bersifat noktumal, sedangkan yang ditemukan pada manusia dan hewan (kera dan kucing) dapat aperiodik, subperiodik atau periodik. Filariasis ditularkan melalui vektor nyamuk Culex quinque-fasciatus di daerah perkotaan dan oleh Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. di daerah pedesaan. Di dalam nyamuk, mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang menjadi larva infektif. Larva infektif masuk secara aktif ke dalam tubuh hospes waktu nyamuk menggigit hospes dan berkembang menjadi dewasa yang melepaskan mikrofilaria ke dalam peredaran darah. Filariasis ditemukan di berbagai daerah dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di pedesaan di luar JawaBali. Filariasis brugia hanya ditemukan di pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Prevalensi filariasis bervariasi antara 2% sampai 70% pada tahun 1987. Penyakit kaki gajah di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugiatimori, sedangkan vektor penyakitnya adalah nyamuk. Nyamuk yang menjadi vektor filaria di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres. Menurut Soedarto (1989) sejumlah nyamuk yang termasuk dalam genus Culex dikenal sebagai vektor penyakit 14

menular. Culex gunguefasciatus atau Culex fatigans menyukai air tanah dan rawarawa sebagai tempat berkembang biaknya, vektor ini dapat menularkan demam kaki gajah pada manusia. Beberapa jenis culex lainnya berkembang biaknya berbeda-beda jenisnya baik berupa air hujan dan air lainnya yang mempunyai kadar bahan organik yang tinggi. Umumnya menyukai segala jenis genangan air terutama yang terkena sinar matahari. Menurut Hudoyo (1983) Anopheles barbirotris tempat perkembangannya adalah di air tawar yang tergenang di tempat terbuka baik alamiah (rawa-rawa) maupun buatan atau kolam, di air mengalir yang perlahan-lahan ditumbuhi tanaman air. Di beberapa daerah, terutama di pedesaan penyakit ini masih endemis. Sumber penularnya adalah penderita penyakit kaki gajah baik yang sudah menimbulkan gejala-gejala ataupun tidak, karena didalam darah terdapat mikrofilaria yang dapat ditularkan oleh nyamuk. Tetapi hal ini juga sulit dilakukan karena micro filaria hanya dapat terdeteksi pada malam hari, sehingga penemuan kasus Filariasis menjadi sulit. Dijelaskannya, filariasis ditularkan melalui nyamuk, karena sifatnya yang demikian maka hal yang harus dilakukan yakni, jika ada seseorang di suatu daerah terkena kaki gajah maka harus dilakukan pengobatan bagi seluruh penduduk dengan pemberian obat (pengobatan masal) satu kali selama satu tahun berturut turut hingga lima tahun (www.wikipedia.com).

15

BAB III PENUTUP

A.

SIMPULAN 1. Filariasis di Indonesia masih merupakan problem kesehatan Masyarakat yang memberikan dampak ekonomi sosial yang negatif berupa produktivitas kerja yang menurun dan beban ekonomi sosial bagi yang menderita elephantiasis. 2. Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan transmisi, diperlukan program yang berkesinambungan dan memakan waktu lama, mengingat masa hidup dari cacing dewasa yang cukup lama. 3. Meskipun filariasis menunjukkan spektrum manifestasiklinik yang luas, pengobatan dengan dietilkarbamasin diberikan dalam regimen yang sama. 4. Tingkat kesembuhan tinggi bila penemuan dalam fase awal dan belum ada gejala menahun. 5. Deteksi daerah endemis dilakukan melalui penemuan penderita

elephantiasis dan pemberantasan dilaksanakan oleh Puskesmas melalui pengobatan dan penyuluhan. B. SARAN 1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan merupakan syarat utama untuk menghindari infeksi filariasis. 2. Pemberantasan nyamuk dewasa dan larva perlu dilakukan sesuai aturan dan indikasi. 3. Meningkatkan surveilans epidemiologi di tingkat Puskesmas untuk penemuan dini kasus Filariasis, sehingga dapat meningkatkan kesembuhan. Evaluasi pemberantasan dilaksanakan setelah 5 tahun.

16

DAFTAR PUSTATAKA

Basundari, Sri Utami, 1990, Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

Chandra, G et al, 1996. Age composition of filarial vector Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae) in Calcutta. Bull Ent Res.

Depkes RI,Ditjen PPM & PL- Direktorat P2B2 Subdit Filariasis & Schistosomiasis, 2002, Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Jakarta.

Bhuyan M dan Chakraborty BC. 1988. Field trials on the relative efficacy of three repellents against mosquitoes. Indian J Med Res

Katrina , , 2005 New Treatment for Elephantitis: Antibiotics, The Journal of Young Investigators Partono, F Pumomo, 1987, Periodicity studies of B. malayi in Indonesia: recent findings and a modified classification of the parasite. Trans Roy Soc Trop Med Hyg.

Srisasi, Gandahusada, dkk 1988Parasitologi Kedokteran. Eds I lahude. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,.

Soedarto, 1990 Entomologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,

http://www.wikipedia.com . Filariasis(Kaki Gajah ), (19 November 2011)

17

18

Anda mungkin juga menyukai