Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN Empiema adalah suatu keadaan dimana nanah dan cairan dari jaringan yang terinfeksi terkumpul di suatu

rongga tubuh, dimana rongga tersebut secara anatomis sudah ada. Kata ini berasal dari bahasa Yunani empyein yang artinya menghasilkan nanah (supurasi). Empiema dapat terjadi di rongga pleura yang dikenal dengan nama empiema toraks, dan dapat juga terjadi di kandung empedu dan pelvik.1,2 Di negara maju empiema sudah jarang terjadi. Dengan adanya antibiotika menyebabkan menurunnya jumlah penyakit empiema. Namun, di negara berkembang jumlah kasus empiema masih tetap banyak. Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 6.500 penderita di Amerika Serikat dan Inggris yang menderita empiema dan efusi parapneumonia tiap tahunnya, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah sakit sebesar 500 juta dolar. Di India terdapat 510% kasus anak dengan empiema.2,3 Empiema dapat disebabkan oleh trauma thoraks, ruptur abses paru ke dalah celah pleura, penyebaran infeksi non pleura (mediastinitis, infeksi

abdomen),robekan esofageal,

iatrogenik akibat pembedahan thoraks, dan

pemasangan kateter yang merupakan nidus bagi suatu infeksi. 1,3,4 Manifestasi klinis berupa panas akut, nyeri dada, batuk, sesak, dan dapat juga terjadi sianosis pada kasus yang berat. Inflamasi pada rongga pleura dapat menyebabkan nyeri perut dan muntah. Pasien juga memiliki kecenderungan untuk berbaring pada sisi yang terkena.1,4,5 Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis empiema adalah foto dada posisi tegak antero-posterior, lateral, dan

dekubitus;Computed Tomography (CT) scan atau ultrasonografi, analisa cairan pleura, darah lengkap dengan hitung jenis, dan torakosintesis. 1,2,3 Penanganan empiema ditujukan untuk mengontrol infeksi dan drainase cairan pleura. Indikasi dilakukan penyalir yaitu pada pus yang sangat kental, pneumothoraks, atau pembentukan pus yang cepat. Setelah resolusi terjadi

kemudian dilakukan fisioterapi.1,3,6 Komplikasi yang dapat terjadi berupa fistula bronkopleura,

piopneumothoraks, perikarditis purulenta, osteomielitis pada tulang iga, dan sepsis.1,4 Empiema mempunyai tingkat kematian yang tinggi, biasanya akibat dari kegagalan bernafas dan sepsis. Dengan ditemukannya antibiotika, maka angka prevalensi dan mortalitas empiema menurun. Prognosis tergantung pada umur, stadium mana terdiagnosis, penyakit penyerta, dan pengobatan adekuat yang dilakukan.1,6 Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus penyakit empiema paru dan suspek tuberkulosis (TB) relaps.

LAPORAN KASUS Seorang perempuan, usia 47 tahun, menikah, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, pendidikan terakhir tamat SLTA, suku Sangir, pasien masuk pada tanggal 14 November 2011, dengan rujukan untuk dirawat di RS Prof Kandou. Pada anamnesa didapatkan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak tiga bulan sebelum masuk rumah sakit namun masih memungkinkan penderita untuk beraktivitas seperti biasanya. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita merasa sesak nafas semakin bertambah berat. Penderita merasa sesak bila berjalan jauh dan beraktivitas seperti mencuci baju dan memasak. Dua minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas dirasakan semakin menghebat dan sering timbul walaupun penderita tidak sedang beraktivitas, sehingga penderita memeriksakan diri ke Puskesmas. Di Puskesmas, penderita dirujuk ke Rumah Sakit Daerah di Sawang untuk mendapat pengobatan. Di Rumah Sakit Sawang, oleh dokter ahli penyakit dalam, penderita dirujuk ke RSUP Prof. Kandou. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas menghebat, yang membuat penderita datang ke gawat darurat medik. Batuk dialami penderita sejak kira-kira 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk berdahak dengan konsistensi jernih dan banyak. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, dahak menjadi kental dan warnanya kehijauan. Dahak kehijauan berlangsung hampir satu minggu. Batuk berlendir dengan strip darah dialami penderita dua hari sebelum masuk rumah sakit. Saat masuk rumah sakit lendir sudah kembali berwarna putih kental dan frekuensi batuk berkurang. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita juga mengalami panas sumer-sumer disertai keringat malam yang banyak. Nafsu makan menjadi berkurang sejak penderita

mulai sakit ini sehingga terjadi penurunan berat badan sebanyak 3kg dalam kurun waktu dua bulan terakhir. Penderita tidak merasa mual ataupun muntah. Buang air besar (BAB) biasanya dilakukan penderita setiap 2 hari sekali, konsistensi lunak, warna kecoklatan, tidak ada darah dan tidak pernah BAB warna hitam. Buang air kecil (BAK) sekitar 3-4 kali per hari, warna kuning terang, volume biasa, tidak dirasakan nyeri saat BAK. Penderita pernah mendapat pengobatan enam bulan pada tahun 1997 dan tahun 2009 serta lengkap menjalani pengobatan, hanya saja setelah itu penderita tidak kontrol kembali. Sebelum minum obat pada saat itu, hasil pemeriksaan lendir tidak ada kuman namun penderita diberikan obat karena dari foto dada ada kelainan. Riwayat penyakit keluarga, hanya penderita yang sakit seperti ini. Riwayat pribadi-sosial, penderita tidak merokok maupun mengkonsumsi alkohol. Riwayat kontak dengan pasien TB tidak diketahui. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 100 kali/menit, regular, isi cukup, respirasi 36 kali/menit, suhu badan 36,3C, tinggi badan 147 cm, berat badan sekarang 39 kg, IMT pasien 18,04 yaitu kurang pada perempuan, umur menurut dugaan pemeriksa 50-an tahun, habitus astenikus, mobilisasi aktif. Pada pemeriksaan kulit didapatkan kulit warna sawo matang, lapisan lemak kurang, tidak ada edema. Pada pemeriksaan kepala didapatkan ekspresi tampak lemah, rambut hitam tidak mudah dicabut, konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik, pupil bulat isokor dengan diameter 3 mm, refleks cahaya positif, gerakan bola mata aktif. Pada pemeriksaan telinga tidak tampak tophi,

lubang normal, cairan tidak ada, selaput pendengaran intak. Pada pemeriksaan hidung tidak didapatkan deviasi, tidak ada secret dan tidak ada perdarahan. Pada pemeriksaan mulut foetor tidak ada, bibir tidak sianosis, gigi tidak karies, lidah beslag tidak ada, mukosa basah, pembesaran tonsil tidak ada T1-T1, faring tidak hiperemis. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, trakea letak tengah, tekanan vena jugularis 5+0 cm. Pada pemeriksaan thoraks, inspeksi dada terlihat asimetris, tidak ada retraksi, tidak ada kelainan kulit. Pada inspeksi punggung terlihat asimetris, tidak ada kelainan kulit. Pada pemeriksaan paru dari inspeksi terlihat asimetris, gerakan pernapasan sebelah kanan tertinggal daripada sebelah kiri. Saat palpasi, stem fremitus kanan lebih kurang teraba dibandingkan sebelah kiri. Perkusi paru kanan terdengar redup pada hampir seluruh hemitoraks kanan, sedangkan perkusi di hemitoraks kiri adalah sonor. Pada auskultasi di hemitoraks kanan suara pernapasan menurun, tidak ada ronki, wheezing tidak ada. Pada auskultasi di hemitoraks kiri suara pernapasan normal, vesikuler, ronkhi ada, wheezing tidak ada. Pada pemeriksaan jantung didapatkan pada inspeksi iktus kordis tidak tampak. Pada palpasi iktus kordis tidak teraba. Pada perkusi didapatkan batas jantung kanan sulit ditentukan, serta batas jantung kiri di sela iga 5 garis midklavikularis sinistra dan pinggang jantung positif. Pada auskultasi irama teratur, denyut jantung 110

kali/menit, tidak ditemukan bising dan gallop. Pada auskultasi di daerah katupkatup jantung, ditemukan M1>M2, T1>T2, A2>A1, P2>P1, A2>P2. Pada pemeriksaan abdomen, pada inspeksi terlihat datar, tidak ada tandatanda pelebaran pembuluh darah vena, pada palpasi teraba lemas, nyeri tekan epigastrium tidak ada, hepar dan lien tidak teraba. Ballottement tidak teraba, perkusi

timpani, nyeri ketok angulus kostovertebra kanan dan kiri tidak ada, auskultasi bising usus normal. Pada ekstremitas warna kulit sawo matang, tidak ada tremor, tidak ada deformitas pada jari, jari tabuh tidak ada, kuku sianosis tidak ada, waktu pengisian ulang kapiler kurang dari 2 detik, tidak ada edema, tidak ada atrofi otot, bengkak pada sendi tidak ada, gerakan aktif dan pasif normal, kekuatan otot normal. Pada pemeriksaan refleks fisiologis normal sedangkan refleks patologis negatif. Hasil laboratorium Hb 10,2 g/dL, eritrosit 4,25 juta/mm3, leukosit 9.100 /mm3, trombosit 428.000 /mm3, hematokrit 33,9%, limfosit 19,7%, monosit 4,8%, granulosit 75,5%, gula darah sewaktu 83mg/dl, kreatinin darah 0,6 mg/dL, natrium 130 mEq/L, kalium 3,0 mEq/L, klorida 98 mEq/L. Pemeriksaan foto toraks tanggal 7 November 2011 tampak massa dengan air fluid level pada paru kanan, dengan kesan suspek abses paru. Hasil konsul dari divisi paru, dianjurkan untuk dilakukan pungsi pleura yang selanjutnya dilanjutkan dengan analisis cairan pleura serta sitologi cairan pleura, kemudian foto toraks lateral, periksa sputum 3 porsi, Laju Endap Darah (LED), tes fungsi hati, protein total, albumin, globulin, gula darah puasa, dan gula darah 2 jam setelah makan. Penderita didiagnosis kerja dengan abses paru kanan, suspek TB paru relaps, hiponatremia dan hipokalemia. Terapi yang diberikan Oksigen (O2) 2-4 L/menit, infus cairan NaCl 0,9% : Ringer Laktat 20 tetes per menit. Diberikan kodein tiga kali 10 mg, metronidasol 3 kali 500 mg drips melalui infus, ranitidin 2 kali 50 mg intra vena, kapsul garam 2 kali satu kapsul, anjuran untuk pungsi pleura, kultur sputum dan tes sensitivitas terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), dan kultur cairan pleura.

Hari perawatan ketiga. Keluhan penderita masih ada batuk dan sesak. Tekanan darah 140/60 mmHg, nadi 98 kali/menit, respirasi 28 kali/menit, suhu badan 36,6C. Terapi masih sama dengan hari sebelumnya. Cairan pungsi 110 cc, cairan berwarna kuning kecoklatan. Hasil pemeriksaan analisa cairan pleura: warna kuning, keruh, bekuan negatif, uji Rivalta positif, leukosit 21.900/L, polimononuklear sel 60%, mononuklear sel 40%, protein total 6,5 gram/dl, glukosa 0, laktat dehidrogenase 6.852 U/L,pH: 8,0, pulasan Gram: negatif (-), pulasan basil tahan asam: negatif(-). Hasil pemeriksaan sitologi cairan pleura: hapusan terutama terdiri dari sel radang neutrofil dengan sel-sel nekrosis. Tidak tampak sel ganas, kesimpulan empiema. Penderita didiagnosa dengan empiema paru kanan. Pada perawatan hari keempat, penderita di rencanakan untuk pemasangan penyalir-water seal drainage(WSD) dan di konsulkan ke bagian bedah. Pemasangan WSD dilakukan pada hari perawatan ke lima. Jumlah cairan WSD yang ditampung setelah 24 jam pemasangannya di hari perawatan ke enam sebanyak 500cc dengan warna cairan kuning kemerahan. Kodein diganti dengan ambroxol 30 mg tablet tiga kali sehari di tambah dengan pemberian antibiotik seftriakson dua kali 1 gram. Direncanakan untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah sewaktu, natrium, kalium dan klorida. Hasil pemeriksaan laboratorium yang masuk : leukosit 6.900/mm3, eritrosit 4,32 juta/ mm3, hemoglobin 11,5 gram/desi liter darah, hematokrit 33,4%, trombosit 367.000/ mm3. GDS 56, natrium 140 mEq/L, kalium 2,83 mEq/L, klorida darah 99,9 mEq/L. Perawatan hari ke tujuh keluhan penderita terutama gerakan badan yang terbatas karena nyeri pada daerah yang terpasang WSD. Jumlah cairan pleura yang keluar sebanyak 300 cc/24 jam dengan warna cairan kuning kemerahan, hemoragik.

PEMBAHASAN Empiema berasal dari bahasa Yunani empyein yang artinya menghasilkan nanah (supurasi). Empiema di rongga pleural biasanya dikenal dengan empiema thoraks, untuk membedakan dengan empiema di rongga tubuh lain. Empiema yang terjadi pada pasien ini adalah empiema thoraks.1

Diagnosis empiema ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa foto toraks, darah lengkap, analisa cairan pleura dari pungsi pleura dan kultur kuman. Gejala klinis empiema yang disebabkan kuman biasanya bersifat akut dengan keluhan demam, sesak nafas, nyeri dada, produksi sputum meningkat. Gejala lain dijumpai juga seperti penurunan berat badan.1,2,4 Dari anamnesis pada pasien ini, gejala-gejala yang mendukung diagnosis empiema adalah ditemukan adanya keluhan demam sumer-sumer sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita merasa sesak napas, serta sputum dengan konsistensi kental berwarna kehijauan. Setiap proses yang membawa patogen ke dalam celah pleura dapat menyebabkan suatu empiema. Beberapa sebab empiema adalah sebagai berikut : trauma thoraks, ruptur abses paru ke dalah celah pleura, penyebaran infeksi non pleura (mediastinitis, infeksi abdomen), robekan esofageal, iatrogenik akibat pembedahan thoraks ataupun karena kateter yang merupakan nidus bagi suatu infeksi.
1,2

Oleh karena itu, dengan dilakukannya analisis cairan pleura dan sitologi

cairan pleura diharapkan dapat menemukan penyebab terjadinya kelainan paru pada pasien ini. Dari hasil pemeriksaan cairan pleura didapatkan diagnosis empiema dengan kejadian yang akut karena ditemukannya cairan didominasi oleh sel-sel radang neutrofil dan sel-sel nekrosis, sedangkan sel-sel maligna tidak ditemukan. Pembentukan empiema terjadi dalam 3 tahap, yaitu fase eksudatif, fase fibropurulen, dan fase organisasi. Selama fase eksudatif, cairan pleura steril berakumulasi secara cepat ke dalam celah pleura. Cairan pleura memiliki kadar leukosit dan laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah, glukosa dan pH dalam batas normal. Efusi ini sembuh dengan terapi antibiotik, penggunaan chest tube tidak

diperlukan. Pada fase fibropurulen, invasi bakteri terjadi pada celah pleura, dengan akumulasi leukosit polimorfonuklear (PMN), bakteri dan debris. Terjadi kecenderungan untuk lokulasi, pH dan kadar glukosa menurun, sedangkan kadar LDH meningkat. Pada fase organisasi, terbentuk lokulasi. Aktivitas fibroblas menyebabkan pelekatan pleura visceral dan parietal. Aktivitas ini berkembang dengan pembentukan perlengketan dimana lapisan pleura tidak dapat dipisahkan. Pus, yang kaya akan protein dengan sel inflamasi dan debris berada pada celah pleura. Intervensi bedah diperlukan pada tahap ini.4,5 Empiema pada penderita ini diduga akibat TB paru karena dari riwayat penyakit dahulu, penderita pernah mendapat TB paru dan telah di terapi 6 bulan sebanyak dua kali. Terjadinya sesak pada penderita ini disebabkan adanya cairan pada rongga pleura. Efusi terjadi akibat aspirasi mikroorganisme ke dalam alveoli sub pleura sehingga terjadi migrasi dan mengumpulnya PMN pada endotel alveoli. Metabolit oksigen, unsur granul, dan posfolipase membran yang dihasilkan oleh PMN aktif menyebabkan kerusakan endotel paru, subpleura dan pembuluh darah pleura yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler. Akibat perbedaan tekanan gradien pleurainterstisial paru maka cairan mengalir dari interstisium malalui mesotelium ke dalam rongga pleura. Akumulasi cairan pleura terjadi bila produksi cairan yang masuk ke rongga pleura melebihi daya absorpsi sistim limfatik pleura parietalis.5 Pemeriksaan fisik pada empiema dijumpai hemitoraks bulging, dada yang asimteris, sela iga melebar pada sisi efusi bila tekanan pleura meningkat. Saat dilakukan palpasi dijumpai stem fremitus yang melemah pada sisi efusi, saat diperkusi dijumpai suara redup pada sisi efusi, sedangkan saat pada auskultasi dijumpai suara pernapasan yang melemah atau menghilang pada sisi efusi.2,4 Pada

10

pasien ini ditemukan terdapat dada yang asimetris, pada palpasi stem fremitus di sisi kanan lebih lemah dibandingkan sisi kiri. Pada perkusi dijumpai suara redup pada sisi kanan dimana dicurigai terjadi efusi, dan pada auskultasi ditemukan adanya penurunan suara pernapasan pada sisi kanan. Hasil pemeriksaan foto thoraks yang pertama menunjukkan adanya massa di paru kanan dengan gambaran air fluid level sehingga kesimpulannya adalah abses paru kanan. Namun pada foto toraks yang kedua menunjukkan adanya cairan di paru kanan yang menyebabkan penderita menjadi sesak nafas. Diagnosis empiema ditegakkan dengan cara analisis sampel cairan yang diambil dari rongga pleura. Sampel diambil dengan torakosintesis. Pada prosedur ini, pasien diberikan anestesi lokal, dengan suatu jarum yang ditusukkan ke rongga pleura di antara iga pada sisi yang terinfeksi, dan sampel cairan ditarik keluar. Pada pasien ini, dilakukan torakosintesis dan dilakukan pemasangan WSD. Cairan yang keluar berupa pus, dengan jumlah yang cukup banyak. Setelah dilakukan analisis cairan pleura menunjukkan tipe eksudat yang dengan pemeriksaan sitologi cairan pleura didiagnosa dengan empiema. Pasien didiagnosis dengan suspek TB relaps karena berdasarkan anamnesa riwayat penyakit dahulu pernah diobati dengan OAT sebanyak dua kali, dan saat ini, oleh dokter ahli rencananya akan kembali diberi OAT kembali setelah keluhan cairan di paru telah diobati dan hilang. Namun, pemberian OAT yang etik aadalah bila ditemukan biakan kuman basil tahan asam (BTA). Selain itu, pasien juga di diagnosa dengan hiponatremi dan hipokalemia. Penatalaksanaan pada pasien empiema dilakukan dengan menggunakan kombinasi farmakologi dan pembedahan. Penanganan dengan farmakologi

11

melibatkan pemberian antibiotik secara intravena selama dua minggu. Penting untuk memberikan antibiotik sedini mungkin untuk mencegah empiema fase awal berlanjut ke fase akhir atau fase berikutnya. Paling baik bila dengan antibiotika yang terbukti sensitif dengan hasil kultur. Pasien dengan sesak napas juga diberikan terapi oksigen. Terapi pembedahan pada empiema memiliki dua tujuan yaitu drainase cairan yang terinfeksi dan menutup celah yang tertinggal pada rongga pleural. Jika infeksi masih dalam fase awal, cairan dapat didrainase dengan cara torakosintesis. Pada fase kedua, akan diperlukan pemasangan selang atau mengangkat sebagian iga (reseksi iga) dengan tujuan untuk mengalirkan cairan. Pada fase ketiga, atau fase organisasi, diperlukan pemotongan dan pengangkatan lapisan fibrosa tebal yang menyelubungi paru. 4,5 Untuk penatalaksaan inisial pada pasien ini diberikan diberikan antibiotik metronidasol 3 kali 500 miligram drips dan seftriakson 2 kali 1 gram intra vena, sambil menunggu hasil kultur kuman dan tes sensitif obat. Metronidasol diindikasikan untuk penggunaan antibiotik terutama untuk mengeradikasi kuman anaerob. Seftriaxone adalah antibiotik golongan sefalosporin yang memiliki cakupan spektrum antibakteri yang luas, yang mencakup bakteri gram negatif dan gram positif dengan masa kerja yang panjang dimana efek bakterisidal dapat bertahan selama 24 jam. Selain itu juga seftriakson dapat secara cepat berdifusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh.7 Selain pengobatan farmakologi, penanganan pasien empiema adalah juga dengan terapi bedah.5 Pada pasien ini dilakukan torakosintesis sebagai usaha untuk mengeluarkan cairan yang ada di dalam rongga pleura. Pada pasien dipasangkan WSD sebagai usaha untuk mengalirkan cairan pus yang ada di rongga pleura.

12

Prognosis pada pasien empiema biasanya baik bila pus yang ada di rongga pleura dapat berhasil dikeluarkan sepenuhnya.2,4 Pada pasien ini pus berhasil dikeluarkan dengan volume yang cukup banyak dan pada pemeriksaan klinis menunjukkan perbaikan yang jelas yaitu demam yang sudah turun dan keadaan umum yang terus membaik, begitu juga dengan pemeriksaan laboratorium dengan penurunan kadar leukosit.

RINGKASAN Empiema ialah proses supurasi yang terjadi di rongga tubuh, dimana rongga tersebut secara anatomis sudah ada. Empiema yang terjadi di rongga pleura disebut empiema toraks, dan dapat disebabkan oleh trauma pada dada, pecahnya abses dari paru-paru ke dalam rongga plaura, perluasan suatu infeksi yang bukan dari paruparu, trauma pada esofagus, dan akibat infeksi iatrogenik saat merawat luka di sekitar daerah dada. Penanganan empiema adalah dengan terapi medis, yakni dengan pemberian antibiotik spektrum luas, dan terapi bedah, yang dapat berupa drainase dengan torakosintesis atau dengan torakotomi terbuka. Prognosis untuk empiema tergantung pada fase mana terdiagnosis dan status pengobatannya. Semakin dini terdeteksi dan pengobatan adekuat maka prognosa penyakit semakin baik.

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci,

Braunwald,

Kasper,

Hause,

Longo,

Jameson,

Loscalzo.

HarrisonsManual Medicine 17th Edition. Section 7: Infectious Diseases. In: McGrawhill Companies. 2008. Page 486-9
2. Dahlan Zul. Pneumonia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, dkk.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV Jakarta : Penerbit IPD FK UI :2006 : Hal 974-9.

14

3. Rani Aziz, Soegondo S, Nasir Ulyanah.A, Wijaya Ika.P, Mansjoer Arief.

dkk. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI : 2008 : Hal 90-1002.
4. Halim Hadi. Penyakit-penyakit pada Pleura. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV Jakarta : Penerbit IPD FK UI :2006 : Hal 1056-61. 5. Peter HM, Amit B. Empyema. MedScape Refferences. Updated March 18 2009.
6. Ishak Y. Pneumonia Bakterialis. Dalam : Soeparman,Sukaton Utoyo,

Waspadji Sarwono, Rahman Muin.A, Nelwan.R.H.H, Djoerban Zubairi, Daldiyono, Ranakusuma.A, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV Jakarta : Balai Penerbit FKUI : 2001 : Hal 695-9.
7. McPhee Stephen J, Maxine Papadakis. Antimicrobial Therapy. Current

Medical Diagnosis and Therapy 2011. United States of America : Lange McGraw Hill. 2011. Page 1243-52.

LAMPIRAN

15

Gbr 1. Foto ronsen dada penderita tanggal 7 November 2011

Gbr 2. Foto ronsen dada 16 Nov 2011, sebelum pasang WSD

Gbr 3. Foto ronsen dada 17 Nov 2011, sehari setelah pasang WSD

16

Anda mungkin juga menyukai