Anda di halaman 1dari 27

INFEKSI JAMUR 1.

Candidiasis Lesi oral yang paling umum terjadi pada HIV adalah candidiasis, yang dominan disebabkan oleh Candida albicans. Candida merupakan flora normal, sehingga candidiasis oral secara klinis jarang terjadi pada pasien sehat. Candidiasis oral klinis dilaporkan terjadi pada 17-43% pasien dengan infeksi HIV dan pada lebih dari 90% pasien dengan AIDS. Umumnya gambaran klinis cukup untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan eksfoliatif sitologi sederhana akan mengidentifikasi karakteristik ragi dan hifa jika diagnosa klinis tidak pasti. 2. Actinomycosis Actinomycosis disebabkan oleh spesies Actinomyces, terutama Actinomyces israelii, organisme yang memiliki sifat jamur dan bakteri. Jamur ini paling sering menginfeksi kepala dan leher. Mikroorganisme ini merupakan salah satu mikrofloral mulut, dapat menginfeksi dengan adanya faktor predisposisi seperti ekstraksi gigi rahang bawah atau fraktur compound pada mandibula terutama pada pasien dengan infeksi HIV. Selain itu, perawatan endodontik dan periodontik juga dicurigai sebagai faktor predisposisi. 3. Histoplasmosis Histoplasmosis disebabkan oleh jamur histoplasma capsulatum, Sebuah jamur dimorfik yang tumbuh dengan bentuk ragi pada jaringan yang terinfeksi. Infeksi terjadi khususnya karena menghisap debu yang telah terkontaminasi oleh tetesan kotoran terutama dari burung atau kelelawar yang terinfeksi. Pada kebanyakan kasus, terutama selain anak normal, infeksi primer bisaanya ringan, bermanifestasi sebagai penyakit paru-paru self limiting yang sembuh dan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi yang mirip dengan tuberculosis. Pasien immunosuppressed dan myelosuppressed lebih mungkin menyebabkan penyebaran yang parah dari penyakit ini. Selama dekade lampau, kebanyakan kasus yang dilaporkan pada lesi oral histoplasmosis pada pasien yang terinfeksi HIV yang hidup atau mengunjungi area endemik.

Lesi mukosa oral dapat timbul sebagai papula, nodul, ulser atau vegetasi. Apabila satu lesi ditinggalkan tanpa perawatan, lesi ini dapat berkembang dari papula padat menjadi nodul yang berulser dan perlahan melebar. Nodus limfatikus servikal membesar dan mengeras. Kasus oral histoplamosis telah dilaporkan sebagai tanda awal dari infeksi HIV. Lesi oral histoplasmosis yang paling sering ditemukan pada pasien dengan HIV adalah ulser dengan pinggiran berindurasi, yang sering ditemukan pada gingiva, palatum, atau lidah. Lesi oral histoplasmosis ini pada pasien dengan HIV dapat muncul sendiri atau sebagai bagian dari penyebaran infeksi. Diagnosis definitif dari histoplasmosis ditegakan melalui kultur dari jaringan yang terinfeksi atau eksudat pada agar Saborauds dextrose atau media lain yang cukup mendukung. Biopsi dari jaringan yang terinfeksi menunjukan ragi yang berbentuk oval yang kecil dalam makrofag dan sel retikuloendotelial sama juga dengan granuloma kronik, sel epiteloid, sel raksasa, dan kadang-kadang nekrosis perkijuan. Tes kulit dan serologis tidak definitive karena banyaknya hasil reaksi false negatif dan false positif. Kasus histoplasmosis ringan sampai moderat dapat diobati dengan ketokonazol atau itrakonazol selama 6 sampai dengan 12 bulan. Pasien immunosuppresssed atau pasien dengan penyakit parah memerlukan amfoterisin B intravena selama 10 minggu. 4. Mucormycosis Mucormycosis (phykomikosis) disebabkan karena infeksi dengan jamur sarkofitik yang biasanya muncul pada tanah atau pada makanan yang sudah basi. Jamur ini non patogen pada individu sehat. Dan dapat dibuat kultur dari hidung tenggorokan dan rongga mulut manusia. (organisme memperlihatkan oportunis daripada patogen sejati) infeksi muncul pada individu dengan ketahanan tubuh inang yang menurun, seperti pada mereka dengan diabetes yang tidak terkontrol atau keganasan hematologis, atau mereka yang menjalani kemoterapi kanker atau terapi obat immunosuppressed. Pada pasien dengan kondisi lemah, mucormycosis muncul pada paru-paru, gastrointestinal, penyebaran atau infeksi rhinocerebral.

Bentuk rhinomaxillary dari penyakit ini, sebuah subdivisi dari bentuk rhinocerebral, dimulai dengan inhalasi dari jamur oleh individu yang terpapar. Jamur lalu menginvasi arteri dan menyebabkan kehancuran setelah terjadi thrombosis dan iskemia. Jamur dapat menyebar dari regio oral dan nasal berlanjut ke otak, dan mengakibatkan kematian dengan persentase yang besar pada kebanyakan kasus. Gejala termasuk obstruksi nasal yang disebabkan karena nekrosis spiral nasal, proptosis karena invasi orbita, demam, bengkak pipi, parestesia pada muka. Tanda Oral yang sudah dikenali dari mucormycosis adalah ulserasi pada palatum, yang terjadi akibat nekrosis karena invasi pembuluh palatum. Karakteristik lesinya besar dan dalam, menyebabkan hilangnya tulang yang meliputinya. (Gbr 4-45). Ulser dari mucormycosis juga dilaporkan terdapat pada gingiva, bibir dan linggir alveolar. Manifestasi awal dari penyakit ini dapat dibingungkan dengan sakit gigi atau sinusitis bakterial maksila yang disebabkan oleh sinus maksilaris. Klinisi harus menyertakan mucormycosis pada diagnosa banding ulser oral yang besar yang muncul pada pasien dengan kondisi lemah karena diabeteas, kemoterapi, atau terapi obat immunosupresi.

Ketika didiagnosa pada awal, mucormycosis dapat disembuhkan dengan kombinasi debridement bedah pada area yang terinfeksi dan pemberian amfoterisin B sistemik sampai 3 bulan. Manajemen yang tepat untuk penyakit yang meliputinya adalah aspek yang sangat penting yang sangat mempengaruhi hasil akhir dari perawatan. Semua pasien yang diberikan amfoterisin B harus diawasi dengan ketat untuk melihat toksisitas ginjal dengan mengukur kadar blood urea nitrogen dan kreatinin secara berulang-ulang.

5. Blastomycosis Blastomycosis merupakan infeksi jamur yang disebabkan oleh Blastomycosis dermatitidis. Organisme ini ditemukan sebagai bagian normal pada tanah, maka itu insidensi tertinggi dari penyakit ini terdapat pada pekerja pertanian, khususnya pada daerah atlantik tengah dan bagian tenggara Amerika Serikat. Distribusi geografis dari infeksi ini mendasari penamaan North American Blastomycosis. Infeksi dari organisme yang sama bagaimanapun telah ditemukan di Mexico dan Amerika tengah dan Selatan. Infeksi Blastomycosis dimulai dengan kebnyakan kasus yang dimulai dengan inhalasi, hal ini menyebabkan infeksi paru-paru primer. Walaupun bentuk self limiting dari penyakit ini ada, infeksi biasanya muncul mengikuti jalur kronik yang dimulai dengan gejala ringan seperti malaise, demam derajat rendah dan batuk yang ringan. Apabila infeksi tidak dapat dirawat, gejala bertambah parah dan termasuk juga pendek bernapas, kehilangan berat badan, dan munculnya sputum berdarah. Infeksi kulit, mukosa dan tulang dapat muncul juga, sebagai hasil dari penyebaran metastastik dari organisme dari paru-paru melalui system limfatik. Kulit dan lesi mukosa mulai sebagai nodul subkutan dan berkembang menjadi ulser berindurasi yang berbatas jelas. Lesi oral yang paling sering muncul pada blastomycosis adalah ulser verrucous nonspesifik yang tidak sakit dengan batas yang berindurasi, sering dikira squamous cell karsinoma. Kadang-kadang kesalahan ini dibuat oleh ahli histopatologi yang belum berpengalaman yang bingung dengan karakteristik pseudoepiteliomatous hyperplasia dengan perubahan keganasan. Lesi oral lain yang telah dilaporkan termasuk juga nodul yang keras dan lesi radiolusen pada rahang. Perawatan untuk blastomycosis adalah sama dengan histoplasmosis. 6. Aspergillus Jamur dari spesies Aspergillus dapat menyebabkan aspergillosis. Infeksi kepala dan leher oleh jamur ini seringkali terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh rendah, terutama pada kondisi leukemia.Aspergillosis pada kepala dan leher seringkali

mengenai sinus paranasal dan sinus maksilaris. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan dasar, gambaran radiografis, dan kultur. Terapinya adalah dengan bedah debridemen dan drainase, dan pemberian obat antijamur.

KLASIFIKASI CANDIDIASIS 1. Angular cheilitis Angular cheilitis adalah suatu keadaan sakit kronis yang mengenai sudutsudut bibir yang disebabkan oleh Candida albicans, secara klinis tampak merah dan pecah-pecah dengan tepi lesi yang kurang merah daripada daerah tengahnya.

2. Kronik atrofik (eritematus) Infeksi jamur ini diakibatkan oleh adanya ketidakseimbangan ekosistem oral antara Lactobacillus acidophilus dan Candida albicans. Infeksi tersebut membuat permukaan mukosa mengelupas sehingga tampak seperti bercak merah difus yang tidak timbul. Biasanya disertai rasa sakit seperti terbakar. Lesi ini sering mengenai mukosa pipi, bibir, lidah, dan palatum.

3. Denture stomatitis Denture stomatitis, disebut juga denture sore mouth, adalah kondisi yang terjadi secara berkala pada pasien yang menggunakan gigi tiruan dalam jangka waktu panjang. Etiologinya adalah Candida albicans dan iritasi mekanik dari gigi tiruan, sehingga terjadi respon jaringan terhadap mikroorganisme yang ada di bawah permukaan anatomis gigi tiruan. Secara klinis tampak sebagai eritema yang difus, edema, dan kadang terdapat petechiae dan bercak putih yang merupakan hifa jamur. Biasanya terjadi pada rahang atas, dan bersifat asimptomatik. Terapi yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki gigi tiruan agar adaptasinya lebih baik, peningkatan oral hygiene, dan antijamur topikal.

4. Endocrine-candidiasis syndrome Merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh chronic mucocutaneus candidiasis pada masa balita dan anak-anak, berhubungan dengan hipoparatiroidisme, hipoadrenocortisme, dan gangguan endokrin lainnya. 5. Hyperplastic (candidal leukoplakia) Candidiasis hiperplastik / Candidiasis keratotik kronis disebabkan oleh organisme Candida sp yang menerobos permukaan mukosa dan menstimulasi respon hiperplastik. Yang menjadi faktor predisposisi adalah iritasi kronis, oral hygiene yang buruk, dan xerostomia. Paling sering terjadi pada dorsal lidah, palatum, dan sudut bibir. Lesi tersebut mempunyai tepi menimbul yang tegas, permukaan putih berbintil-bintil dengan beberapa daerah merah, tidak dapat dikerok. Dapat disembuhkan dengan obat anti jamur atau pembedahan.

6. Median rhomboid glositis (central papillary atrophy) Median rhomboid glossitis adalah salah satu bentuk infeksi dani Candida albicans yang disertai faktor lain seperti merokok, dimana pH mulut mengalami perubahan. Median rhomboid glossitis seringkali mengenai laki-laki dewasa pada usia pertengahan, jarang pada anak-anak. Prevalensi lebih tinggi terjadi pada pasien diabetes, imunosupresi, dan pasien yang mengkonsumsi obat antibiotic berspektrum luas. Secara klinis tampak halus, licin, warna merah seperti daging, karena papila filiformis hilang. Kemudian lesi akan tampak granular, lobular, dan berindurasi. Lokasi yang paling sering adalah pada midline dorsum lidah, lebih ke anterior dari papilla sirkumvalata. Ukuran dan bentuk dapat bervariasi, tetapi gambaran yang seringkali muncul adalah lesi yang berbatas jelas, dengan diameter 1-2,5 cm, berbentuk oval atau rhomboid dengan batas yang ireguler. Kondisi ini biasanya asimptomatik. Seringkali lesi juga terdapat di palatum, tepat berlokasi sesuai antagonis dengan lesi pada lidah. Median rhomboid glossitis sulit disembuhkan dengan terapi anti jamur.

7. Chronic mucocutaneus candidiasis Pada candidiasis tipe ini pasien mengalami candidiasis persisten. Lesi juga terdapat pada kulit dan kuku. Biasanya terjadi pada usia 20 ke bawah. Tipe difus ditandai dengan candidiasis mukokutaneus yang parah dan menyebar pada kulit. Lesi pada mukosa dan kulit dapat dikontrol dengan penggunaan obat antijamur secara kontinu, begitu obat dihentikan, maka lesi akan muncul kembali. 8. Pseudomembranous Candidiasis pseudomembran adalah suatu infeksi oportunistik yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari Candida albicans. Tampak seperti plak putih, difus, bergumpal atau seperti beludru yang dapat dihapus dan meninggalkan permukaan merah, kasar, atau berdarah. Sering dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak. Dapat disembuhkan dengan obat anti jamur selama 2 minggu.

KLASIFIKASI OBAT-OBATAN ANTIJAMUR 1. Polyene Polyene bekerja dengan merusak sel jamur. Natamicin Rimocidin Filipin Nystatin Amfoterisin B Candicin Hamicin.

2. Imidazole, triazole, thiazole

a. Imidazoles 3. Allylamines Terbinafine Amorolfine Naftifine Butenafine Miconazole Ketoconazole Clotrimazole Econazole Bifonazole Butoconazole Fenticonazole Isoconazole Oxiconazole Sertaconazole Sulconazole Tioconazole Griseofulvin Fluconazole Itraconazole Isavuconazole Ravuconazole Posaconazole Voriconazole Terconazole Abafungin

b. Triazoles

c. Thiazoles

4. Echinocandins LICHENOID Definisi Reaksi lichenoid memiliki gambaran yang sama dengan lichen planus. Lichenoid terjadi karena reaksi terhadap zat-zat tertentu dan dapat sembuh jika faktor etiologi dihilangkan. Etiologi Obat-obatan: NSADIs, diuretic, antihipertensi, dan oral hypoglycemic agents Kontak dengan metal Penggunaan bahan makanan Penyakit sistemik Anidulafungin Caspofungin Micafungin

Reaksi lichenoid terhadap tambalan amalgam, lesi terdapat pada mukosa bukal

Reaksi lichenoid terhadap obat allopurinol; terdapat lesi hiperkeratotik dan erosi superficial pada tepi lidah

MEKANISME POLIURIA, POLIDIPSI, DAN POLIFAGIA PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS Defisiensi kadar insulin memicu reaksi intermediet sel termasuk penurunan penyerapan glukosa ke jaringan, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat. Ginjal tidak mampu mengabsorpsi kelebihan glukosa, dan glukosa dibuang ke dalam urine (glucosuria). Hiperglikemi jaringan meningkatkan tekanan osmotic interseluler, menyebabkan terjadinga osmotic diuresis (keluarnya cairan dari sel ke melalui membrane osmotik). Osmotic diuresis dan sisa akumulasi cairan dalam plasma meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan meyebabkan miksi di malam hari (nocturia). Kompensasi dari poliuria dan nocturia menimbulkan rasa haus yang ekstrim (polidipsi), dimana pengeluaran urine menyebabkan terbuangnya kalori, dan asupan sel yang tidak adekuat sehingga terjadi penurunan berat badan, rasa lemah, dan peningkatan rasa lapar (polifagia). KOMPLIKASI DM Kekurangan asupan nutrisi dan kalori pada jaringan menyebabkan kelaparan sel, sehingga sel mencari sumber glukosa dari sumber non-karbohidrat. Metabolisme asam amino dan lemak yang abnormal dan dipercepat menghasilkan produksi keton dan ketoasidosis. Kombinasi hiperosmolaritas dan kadar metabolisme asidosis menyebabkan dehidrasi progresif, exagerrated breathing (Kusmauul respiration), nafas berbau aseton, penurunan kemampuan sensorik, insufisiensi kardiovaskular, koma, dan bahkan kematian. Komplikasi yang dapat terjadi: 1. Mudah terkena infeksi 2. Penyakit jantung koroner 3. Komplikasi ginjal 4. Retinopathy 5. Neuropathy

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS Definisi dan Klasifikasi Sistemik Lupus Eriematosus merupakan suatu penyakit autoimun prototipikal yang ditandai dengan produksi autoantibodi secara berlebihan. Antibodi ini menyerang sel-sel di dalam tubuhnya sendiri, tidak seperti kondisi normal dimana antibodi seharusnya menyerang sel-sel atau antigen asing. Respon imun yang abnormal ini menyebabkan inflamasi terjadi secara luas serta terbentuk suatu kompleks imun di dalam pembuluh darah dan jaringan yang menyebabkan kerusakan muskuloskeletal, dermatologi, hematologi, jantung, paru-paru, ginjal dan sistem saraf pusat. Autoantibodi pada penyakit SLE ini secara langsung menyerang nukleoprotein, eritrosit, leukosit, platelet, dan faktor koagulasi. Diperkirakan sekitar 15 hingga 17% kasus lupus muncul sejak usia 16 tahun, dan paling sering menyerang usia 20-40 tahun. Frekuensi kemunculan SLE adalah sepuluh kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan memiliki insidensi yang tinggi pada ras kulit hitam. Klasifikasi Lupus erythematosus adalah sebagai berikut : 1. Sistemik Lupus Eritematosus yang menyebar lebih luas ke berbagai sistem organ dalam tubuh, merupakan penyakit autoimun multisistem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah-ubah. 2. Discoid lupus erytematosus yang predominan pada kulit, karakteristik DLE diantaranya adalah bersifat kronis, erythematous, plak bersisik pada kulit wajah, kepala, atau telinga. Sebagian besar pasien DLE tidak memiliki manifestasi sistemik dan cenderung bersifat jinak. 3. Chronic Cutaneous lupus erythematosus dan subacute cutaneous lupus erythematosus yang terbatas pada kulit (biasanya hanya pada wajah dan kulit kepala) dan mukosa oral. 4. Neonatal lupus erythematosus merupakan jenis lupus yang bersifat self-limited. Biasanya melibatkan dermatologi, hepatic dan hematologi dan menghilang pada usia sekitar 6 tahun seiring dengan menurunnya jumlah antibodi ibu di dalam sirkulasi darah anak.

5. Drug-induce lupus erythematosus yang memiliki banyak persamaan secara klinis dengan SLE, biasanya disebabkan oleh obat procainamide dan hydralazyne.

Discoid lupus erythematosus Etiologi dan Patogenesis Etiologi dari SLE belum diketahui dengan pasti, namun faktor-faktor berikut memiliki peran penting terhadap tmbulnya SLE, diantaranya : 1. Faktor genetik Adanya peningkatan insidensi pada kembar identik dan pada kelompok keluarga membuktikan adanya peran penting genetik pada penyakit ini. Keluarga dari pasien SLE biasanya memiliki insidensi tinggi terhadap penyakit autoantibodi, immunodefisiensi dan penyakit jaringan ikat. Gen yang teridentifikasi menyebabkan SLE adalah HLA-DR2 dan HLA-DR3 2. Faktor infeksius dan lingkungan Partikel-partikel virus mirip virus RNA ditemukan di dalam jaringan pasien SLE dan diperkirakan sebagi faktor inisiasi terjadinya respon imun yang abnormal. Faktor linngkungan lainnya yang juga berperan adalah stress yeng berlebih dan paparan sinar matahari. 3. Faktor endokrin Komponen hormonal pada SLE ini terbukti dengan insidensi yang lebih sering terjadi pada wanita 4.Stres Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi system imun melalui : penurunan respon mitogenik

limfosit, menurunkan fungsi limfosit sitotoksik dan menaikan aktivitas sel Natural killer. 5.Kompleks imun dan autoantibodi Kompleks imun terdiri dari asam nukleat dan antibodi yang terlihat pada sebagian besar kerusakan jaringan pada pasien SLE. Kompleks ini merubah reaksi imunologi yang mengaktivasi komplemen serta menarik neutrofil dan makrofag. Sehingga terjadi vaskulitis, fibrosis, dan nekrosis jaringan. Pasien dengan peningkatan immunokompleks di dalam sirkulasinya akan menimbulkan penyakit yang lebih parah, yang melibatkan ginjal, sistem saraf pusat, kulit dan paru-paru. Autoantibodi pada pasien SLE merupakan agen patogen yang sebenarnya pada proses kerusakan jaringan, atau dapat pula merupakan suatu akibat dari adanya kerusakan jaringan. Autoantibodi merupakan penyebab dari anemia hemolitik, trombositopenia dan limfopenia pada pasien SLE. Terbentuknya antibodi ini diperkirakan karena menurunnya fungsi limfosit T supresor dan B limfosit yang hiperaktif.

Manifestasi Klinis SLE merupakan penyakit dengan keterlibatan multiorgan. Deposisi kompleks imun dapat menyebabkan vaskulitis pembuluh darah kapiler yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada ginjal, jantung, hematologi, mukokutan dan system saraf pusat. Selain itu, membran serosa menimbulkan simtom pada persendian, peritoneal dan pleuropericardial. Berikut adalah manifestasi yang sering terjadi : 1. Manifestasi pada ginjal Keterlibatan ginjal dengan kerusakan glomerular terlihat pada sekitar 50% pasien SLE. Glomrulonefritis merupakan akibat dari deposisi komplemen dan kompleks imun di membran basal glomerulus 2. Manifestasi pada jantung

Manifestasi primer pada jantung pada pasien SLE adalah terjadinya suatu atherosclerosis dan kelainan pada katup jantung 3. Manifestasi pada hematologi Penyakit hematologi primer yang ditemukan pada pasien SLE adalah leukopenia, anemia dan trombositipenia. Leukopenia (<4.000 mm3) sering ditemukan dan disertai limfopenia, bias diakibatkan karena efek dari obat immunosupresif. Anemia timbul pada penyakit yang telah berjalan kronis, biasanya dapat disebabkan efek dari hemodialisis. Trombositopenia muncul sebagai akibat meningkatnya proses fagositosis terhadap platelet yang tertutup oleh autoantibody, oleh makrofag yang berasal dari limpa, hati dan sumsum tulang. 4. Manifestasi pada mukokutan Manifestasi pada kulit dapat berupa photosensitive rash, alopecia, periungual telangiectasia, Raynauds phenomenon dan ulser pada kulit yang merupakan keadaan sekunder dari vaskulitis. Lesi di mukosa oral dapat berupa daerah leukoplakia annular atau erosi yang eritem dan ulserasi yang kronis, yang menyerupai lichenplanus. 5. Manifestasi pada musculoskeletal Arthritis dan Arthropati merupakan penyakit musculoskeletal primer yang berhubungan dengan SLE 6. Manifestasi pada sistem saraf pusat Manifestasinya cerebrovascular dapat berupa efek psikosis, seizure, dan kerusakan

Butterfly rash Manifestasi Oral Pasien dengan SLE biasanya disertai dengan penyakit lain di daerah orofasialnya yaitu adanya lesi oral, ulserasi nonspesifik, dan kelainan sendi rahang. Suatu penelitian oleh Rhodus dan Johnson melaporkan bahwa insidensi berbagai lesi oral yang cukup tinggi, diantaranya ulserasi, angular cheilosis, mukositis, dan glossitis. Mereka juga melaporkan adanya insidensi yang tinggi timbulnya keluhan di dalam mulut akibat SLE, yaitu glossodinia, disgeusia, disfagia dan dry mouth. Lesi oral ini muncul akibat vaskulitis dan muncul sebagai frank ulserasi atau inflamasi mukosa. Beberapa pasien SLE memperlihatkan adanya lesi discoid, Lesi di bibir berbeda dengan lesi yang ada di mukosa bukal. Lesi di bibir memiliki daerah atrofi dibagian tengahnya dan terkadang terdapat daerah ulserasi dengan titik kecil kecil berwarna putih dan dikililingi pinggiran berkeratin. Lesi di intra oral berbeda karena sel epitelnya lebih tipis, terdiri dari daerah atrofi berwarna merah dengan bagian tengah yang lebih cekung dikelilingi oleh 2-4 mm daerah keratotik yang terlihat seperti garis putih. Lesi oral pada pasien SLE sulit dibedakan dengan lesi lichen planus, baik secara klinis maupun histologist, namun melalui tes Lupus Band keduanya dapat dibedakan, dimana pada pasien Lupus ditemukan deposit immunoglobulin di membrane basalnya. Kelainan lainnya adalah xerostomia, kelainan ini dapat memicu timbulnya karies dan candidiasis di dalam mulut, khususnya saat pasien diterapi dengan steroid dan immunosupresif agen. Kelainan TMJ juga dapat muncul pada pasien SLE.

Lupus Band Test

Lesi kronis di palatal

Lesi kronis di dorsal lidah

Lesi discoid lupus

Diagnosa Pasien dengan SLE memiliki variasi gejala dan berbagai kombinasi keterlibatan organ, sehingga tidak ada tes tunggal yang dapat menetapkan diagnosis lupus sistemik. American Rheumatology Association (ARA) membuat 11 kriteria untuk dapat menegakkan diagnosis lupus. Diagnosis dapat ditegakkan bila pada penderita ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Kriteria lupus menurut ARA tersebut meliputi : 1. Malar (diatas pipi wajah) butterfly rash 2. Discoid skin rash (patch kemerahan dengan hiperpigmentasi dan hipopigmentasi yang dapat menyebabkan jaringan parut) 3. Fotosensitif (ruam kulit sebagai reaksi paparan cahaya matahari (ultraviolet))

4. Ulser membran mukosa (ulser spontan pada lapisan mulut, hidung, atau tenggorokan) 5. Arthritis (pembengkakan dua atau lebih sendi-sendi ekstremitas) 6. Pleuritis atau pericarditis (inflamasi dari lapisan jaringan yang mengelilingi jantung atau paru, umumnya berhubungan dengan nyeri dada saat bernafas atau perubahan posisi tubuh) 7. Abnormalitas ginjal (jumlah yang abnormal dari protein urin atau massa elemen selular yang dapat dideteksi dengan urinalisis) 8. Iritasi otak (manifestasi dari kejang/ konvulsi atau psikosis) 9. Hitung darah yang abnormal (hitung sel darah merah atau sel darah putih atau platelet yang rendah pada tes darah rutin) 10. Kelainan imunologi (tes imun yang abnormal termasuk anti-DNA atau antiSm (Smith) antibodi, kadang keliru menjadi positif karena sifilis, antibodi anticariolipin, antikoagulan lupus, atau tes prep LE positif) 11. Antibodi antinuclear, test ANA positif (antibodi antinuklear pada serum darah). Tes ini memberi hasil positif pada 96 100% pasien dengan diagnosa SLE. Namun tes ini juga positif pada pasien scleroderma dan rheumatoid arthritis.

Terapi Tujuan utama dari pengobatan yang diberikan adalah untuk mengurangi gejala dan melindungi organ dengan menurunkan inflamasi dan atau level dari aktivitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala ringan tidak memerlukan pengobatan anti inflamasi atau hanya bila diperlukan. Pasien dengan penyakit yang lebih serius meliputi kerusakan organ internal memerlukan kortikosteroid dosis tinggi dalam kombinasi dengan obat lain yang menekan sistem imun tubuh. Pada keadaan penyakit sedang aktif, pasien dengan SLE memerlukan istirahat yang lebih banyak. Tetapi tetap perlu dilakukan latihan yang diatur dengan hati-hati untuk menjaga massa otot dan pergerakan dari sendi. Nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs) membantu mengurangi inflamasi dan nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri pada

jaringan lain. Contoh NSAIDs termasuk aspirin, ibuprofen (Motrin), naproxen (naprosyn), dan sulindak (clinoril). Karena respon individu terhadap NSAIDs yang bervariasi pada tiap pasien, sebaiknya seorang dokter mencoba berbagai NSAIDs untuk menentukan obat yang paling efektif dengan efek samping paling sedikit. Efek samping yang paling umum yaitu sakit perut, nyeri abdominal, ulser, dan bahkan perdarahan ulser. Umumnya NSAIDs dikonsumsi dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang untuk mencegah ulcer selama mengkonsumsi NSAIDs, dapat diikuti dengan mengkonsumsi obat seperti misoprostol (cytotec), yang diberikan secara simultan. Kortikosteroid lebih poten daripada NSAIDs dalam mengurangi inflamasi dan mengembalikan fungsi ketika penyakit sedang aktif. Kortikosteroid dapat membantu ketika terjadi keterlibatan organ, tetapi kortikosteroid memiliki efek samping yang serius ketika diberikan dalam dosis tinggi dalam periode panjang. Efek samping dari kortikosteroid diantaranya kenaikan berat badan, penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, fasial puffiness, katarak, dan kematian (nekrosis) jaringan pada sendi Facial puffines atau moon face biasanya ditandai dengan wajah yang membulat, dagu yang membelah, dan bibir atas yang terangkat dan menonjol. Sering juga ditemukan garis-garis kemerahan pada wajah. Keadaan ini bisa disebabkan oleh karena meningkatnya kadar hormonkortiso pada seseorang. Meningkatnya kadar hormon pada seseorang bisa disebabkan oleh faktor endogen (berasal dari dalam tubuh), maupun faktor eksogen (dari luar tubuh). Faktor endogen berupa peningkatan produksi hormon kortisol oleh kelenjar adrenal. Hal seperti ini dapat dijumpai, misalnya pada kerusakan hipotalamus, keganasan / tumor, maupun pada keadaan stress psikologi. Sedangkan penyebab yang berasal dari luar tubuh adalah penggunaan obat jenis glukokortikoid seperti kortison, hidrokortison, deksametason dan prednison dalam jangka waktu yang lama. Obat jenis ini secara luas digunakan sebagai anti peradangan. Selain itu perilaku hidup masyarakat sekarang, yakni alkoholisme juga dapat menyebabkan keadaan tersebut. Dari beberapa penyebab moon face yang telah disebutkan, penggunaan obat jenis glukokortikoid merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Saat ini penggunaan obat ini tidak terbatas pada kasus inflamasi / peradangan semata. Tetapi juga banyak digunakan pada kasus alergi dan penyakit imunologis.

Hydroxychloroquine (plaquenil) merupakan antimalaria yang efektif untuk pasien SLE dengan fatique, keterlibatan kulit, dan penyakit sendi. Mengkonsumsi plaquenil secara konsisten dapat mencegah flare-up dari lupus. Efek samping jarang terjadi namun termasuk diare, sakit perut, dan perubahan pigmen mata, serta penurunan frekuensi keping darah yang abnormal pada pasien dengan SLE. Selain itu, plaquenil juga berguna untuk mencegah pembekuan darah berlebih yang abnormal. Pengobatan yang menekan imunitas juga disebut pengobatan sitotoksik. Obat imunosupresif digunakan untuk mengobati pasien dengan manifestasi yang lebih berat, misalnya kerusakan organ internal. Contoh dari obat-obat imunosupresif termasuk methotrexate (rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), Chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat imunosupresif dapat menekan jumlah hitung sel darah dan meningkatkan resiko infeksi dan perdarahan. Setiap efek samping spesifik untuk tiap obat. Sebagai contoh, Rheumatrex dapat menyebabkan toksisitas hati dan Sand immune dapat merusak fungsi ginjal. Pada suatu penelitian dikemukakan keuntungan penggunaan rituximab (Rituxan) dalam mengobati lupus. Rituximab merupakan antibodi yang digunakan secara intravena dan berguna untuk menekan sel darah putih tertentu, yaitu sel B, dengan mengurangi jumlah sel tersebut dalam sirkulasi. Sel B berperan penting dalam aktivitas lupus dan ketika sel ini tertekan, penyakit ini cenderung mengarah pada kesembuhan. Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, terdapat presentasi yang menyarankan suplemen diet dosis rendah dengan minyak ikan omega-3 dapat membantu pasien lupus dengan menurunkan aktivitas penyakit dan mungkin menurunkan resiko penyakit jantung. Untuk perawatan di dalam rongga mulut, secara umum lesi di rongga mulut pada pasien SLE jarang terjadi, kemunculannya biasa hanya pada saat penyakit kambuh. Lesi yang simtomatis dapat diobati dengan kortikosteroid topical dan injeksi steroid intralesi. LICHEN PLANUS Definisi Lichen Planus ialah penyakit inflamasi kronik pada kulit dan mukosa Etiologi

Walaupun sebab dari penyakit ini belum diketahui, tetapi fenomena autoimun T cell mediated termasuk dalam pathogenesis lichen planus Gambaran Klinis Papula putih yang biasanya bersatu, membentuk jaringan yang bergaris (Wickhams striae), merupakan karakteristik dari lesi oral dari penyakit ini. Enam bentuk dari penyakit ini telah dikenali pada mukosa oral, yang diklasifikasikan menurut frekuensi : yang sering terjadi (reticular, erosive), tidak terlalu sering (atrophic, hypertrophic) dan jarang (bullous, pigmented). Individu paruh baya biasanya paling sering terkena. Mukosa bukal, lidah, dan gingiva, adalah tempat predileksi yang paling sering terjadi. Lesi kulit secara karakteristik muncul sebagai bentuk ungu yang polygonal, papula yang pruritik, biasanya mengenai daerah fleksor dari ekstremitas. Glans penis dan kuku dapat juga terkena. Penyakit ini biasanya dapat didiagnosa hanya dengan pemeriksaan klinis saja. Prognosis dari lichen planus biasanya baik. Tes Laboratoris Pemeriksaan spesifik. Gambaran Histopatologis Ada tiga gambaran yang penting untuk diagnosa histopatologis dari lichen planus : (1) area hiperparakeratosis atau hiperortokeratosis, biasanya disertai penebalan lapisan sel granuler dan saw toothed appearance dari retepeg; (2) degenerasi liquefaksi, atau nekrosis lapisan sel basal, yang biasanya digantikan oleh eosinophilic band; dan (3) pita subepitelial dari limfosit yang padat. Sel epitelial yang terisolasi, mengerut dengan sitoplasma eosinofilik dan satu atau lebih fragmen nuclear piknotik (Civatte bodies), biasanya tersebar pada epitel dan lamina propria superficial. Gambaran tersebut memperlihatkan sel yang telah mengalami apoptosis. Infiltrasi limfositik sub basilar linear yang terdiri dari T sel, penelitian imunohistokimia telah menetapkan bahwa rasio T4/T8 pada epithelium dan lamina propria pada lesi lichenoid lebih tinggi dibandingkan dengan mukosa leukoplastik histopatologis dapat sangat membantu. Pemeriksaan direct immunofluorescence dapat juga digunakan, walaupun kadangkala gambarannya tidak

dan normal, dan juga menyediakan gambaran tambahan untuk membedakan leukoplakia dari reaksi lichenoid.

Gambar kiri, gambaran mikroskopik esensial dari lichen planus termasuk hyperkeratosis, atrofo epithelial, dan pita limfosit subepitelial yang padat. Gambar kanan, Juga merupakan karakteristik lichen planus dimana terdapat saw toothed retepegs, degenerasi liquefaksi atau nekrosis dari lapisan sel basal, dan pemisahan epitel dari lamina propria.

Terapi Tidak ada terapi yang dibutuhkan pada lesi asimtomatik. Topikal steroid (ointments in orabase, injeksi intralesional), mungkin dapat membantu. Steroid sistemik dengan dosis rendah dapat digunakan pada kasus parah dan ekstensif. Penggunaan obat kumur antiseptic harus dihindari

Kaposis Sarkoma Definisi Kaposis sarcoma adalah suatu tumor yang disebabkan Human herpesvirus 8 (HHV8), juga dikenal sebagai Kaposi's sarcoma-associated herpesvirus (KSHV).Kaposi sarkoma adalah keganasan pada rongga mulut yang paling sering terjadi yang berhubungan

dengan infeksi HIV. Mengenali lesi ini sangat penting, karena kaposi sarkoma pada rongga mulut sering menjadi manifestasi yang pertama dari penyakit dan merupakan kriteria diagnosa untuk AIDS.

Patofisiologi Kaposis sarkoma ditandai oleh 3 tahap. Pada awalnya merupakan makula tanpa gejala. Kemudian membesar menjadi plak merah kebiruan. Lesi-lesi selanjutnya tampak sebagai nodula biru keunguan, berlobus, berulserasi, dan menyebabkan sakit. Lesi kaposi sarkoma mengandung sel tumor dengan karakteristik bentuk elongasi abnormal yang disebut spindle cells. Tumor ini memiliki vaskularisasi yang banyak dan mengandung pembuluh darah yang padat dan ireguler, yang bila bocor akan mengeluarkan sel darah merah ke jaringan sekitarnya sehingga memberikan gambaran klinis biru keunguan. Inflamasi yang terjadi di sekitar tumor dapat menyebabkan pembengkakkan dan nyeri. Kaposi sarkoma pada rongga mulut terlihat pada mukosa berkeratin, seperti palatum durum, gingiva dan mukosa pipi. Meskipun KS dapat dikenali dari gambaran lesi dan faktor resiko pasien, diagnosa akhir hanya dapat ditegakkan dengan biopsi dan pemeriksaan mikroskopis, yang akan menunjukkan adanya spindle cells. Pendeteksian protein LANA KSHV di dalam sel tumor mengkonfirmasi diagnosis.

Gambar 1. Kaposis sarkoma pada gingiva

Terapi yang diberikan terutama perawatan paliatif, mengurangi rasa sakit dan mengembalikan fungsi normal mulut. Terapi intra oral kaposis sarkoma harus diberikan saat tanda awal adanya lesi dengan tujuan untuk mengurangi ukuran dan jumlah lesi. Jika hanya satu atau sedikit lesi yang ada dan lesi-lesinya kecil (<1cm), kemoterapi intralesi dengan vinblastine sulfat (0,2-0,4 mg/ml per cm2 lesi) atau skleroterapi dengan 3% sodium tetradecl sulfat (0,1-0,2 ml per cm2 lesi) sangat efektif. Terapi radiasi (800-2000 cGy) efektif untuk lesi besar atau multipel. Stomatitis dan glositis adalah efek samping yang biasa terjadi dari radiasi, tapi tidak terjadi xerostomia.

Cytomegalovirus (CMV) Patogenesis Kebanyakan individu yang terinfeksi Human Cytomegalovirus (HMCV) setelah kelahiran tidaklah memiliki gejala. Beberapa diantaranya mengembangkan infectious mononucleosis/glandular fever-like syndrome dengan demam yang berkepanjangan dan hepatitis ringan. Umumnya terjadi sakit tenggorokan. Setelah terjadi infeksi, virus menjadi laten di dalam tubuh seumur hidup. Penyakit jarang muncul kecuali terjadi penurunan imunitas yang diakibatkan oleh obat-obatan, infeksi atau usia tua. Infeksi HCMV dini seringkali asimptomatik yang kemudian diikuti masuknya virus ke dalam sel tubuh tanpa menyebabkan kerusakan yang terdeteksi atau gejala klinis. CMV yang infeksius dapat menyebar di dalam cairan tubuh individu yang terinfeksi, dapat ditemukan pada urin, saliva, darah, air mata, semen dan air susu. intermitten tanpa adanya tanda atau gejala klinis. Pemeriksaan Sitologi Penyebaran virus dapat terjadi secara

Infeksi CMV dapat terdeteksi dengan terlihatnya intranuclear inclusion bodies dengan menggunakan H&E staining, the inclusion bodies berwarna pink kehitaman dan dinamakan "owl's eye" inclusion bodies

Gambar 2. Gambaran placentitis CMV menggunakan H&E stain.. Sel yang ditengah memiliki karakteristik nucleus besar dengan peri-nuclear clearing. Dua sel pada tengah kiri memiliki karakteristik (cytoplasmic) viral inclusion bodies (globules kecil berwarna pink).

Manifestasi Oral dan Terapi Penting untuk mengenali CMV oral karena merupakan penyebab yang tidak umum dari ulser intraoral pada pasien HIV. Lesi dapat merupakan tanda awal dari penyebaran infeksi CMV. CMV dapat dideteksi postmortem pada satu atau lebih sistem organ pada sebanyak 90% pasien AIDS. Infeksi oral CMV muncul sebagai ulser kronis yang dalam dan soliter, paling sering terjadi pada mukosa bukal dan labial. CMV dapat ditemukan pada saliva individu yang terinfeksi HIV/AIDS. Ganciclovir merupakan obat pilihan, sekarang tersedia dalam bentuk tablet. Kenalog (Triamcinolone Acetonide ) adalah kortikosteroid sintetik yang berefek anti inflamasi, antipruritik dan anti alergi. a synthetic corticosteroid which possesses antiinflammatory, antipruritic, and antiallergic action. Setiap gram Kenalog in Orabase mengandung 1 mg (0.1%) triamcinolone acetonide dalam emollient dental paste yang

mengandung gelatin, pectin, dan carboboxymethylcellulose sodium in Plastibase (Plasticized Hydrocarbon Gel), polyethylene dan mineral oil gel base.

Kombinasi AZT dan Acyclovir Telah lama dipercaya bahwa acyclovir dosis tinggi dapat meningkatkan keefektifan AZT. Sebuah penelitian mengenai kombinasi AZT dan acyclovir dosis tinggi melaporkan bahwa tidak adanya peningkatan kemampuan anti-viral dengan ditambahkannya acyclovir. Tetapi penting untuk diingat bahwa acyclovir masih berguna dalam perawatan infeksi herpes dan pencegahan rekurensinya.

Anda mungkin juga menyukai