Anda di halaman 1dari 268

STUDI KASUS

Prakata

STUDI KASUS
Manik-Manik Terserak

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 - 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62-651-636666 Fax. +62-651-637777 www.e-aceh-nias.org know.brr.go.id Pengarah Penyusun Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias , Indonesia, 22815 Telp. +62-639-22848 Fax. +62-639-22035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62-21-7254750 Fax. +62-21-7221570

: Kuntoro Mangkusubroto : John Paterson Ratna Pawitra Trihadji : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Harumi Supit Linda Hollands Margaret Agusta (Kepala) Melinda Hewitt Tim Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Tim Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesian (LIPI)

Editor Bahasa Fotografi Desain Grafis

: Linda Hollands Margaret Agusta : Arif Ariadi Bodi Chandra : Amel Santoso Bobby Haryanto (Kepala) Priscilla Astrini Surya Mediana Wasito

Penyelaras Akhir : Aichida UlAflaha Ricky Sugiarto (Kepala)

Alih bahasa ke Indonesia Editor : Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Ratna Pawitra Trihadji Zuhaira Mahar Editor Bahasa Penerjemah : Ihsan Abdul Salam Suhardi Soedjono : Bianca Timmerman Harry Bhaskara Prima Rusdi

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Dalam periode tanggap darurat maupun rekonstruksi, truk M6 milik Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) memainkan peran sangat penting dalam mendistribusikan logistik ke daerah terpencil maupun yang sulit dijangkau. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar Isi
Pendahuluan Prologue Bagian 1. Perumahan dan Permukiman
Asian Development Bank (ADB) Asian Development Bank (ADB)

x xv 1
2 7

Rumah Tradisional Nias dalam Proses Transisi Membangun Kembali Masyarakat Melalui Pembangunan Rumah

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Mempercepat Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh melalui Pemetaan Tanah Masyarakat dan Perencanaan Tata Ruang Desa 13 Rekonstruksi dan Rehabilitasi Perumahan dan Pemukiman di Aceh - Program RRHS Dua Tahun Pemulihan Permukiman selama di Aceh dan Nias 17 24 32

Yayasan Masyarakat Makmur Mitra Adil (Mamamia)

United Nations-Human Settlements Programme (UN-HABITAT) World Vision Indonesia

Transitional Living Centers (TLC): Solusi Hunian dalam Situasi Darurat

Bagian 2. Infrastruktur, Pemeliharaan, dan Lingkungan


Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ) Pemerintah Jepang

39
40 45

Rekonstruksi Cepat dan Minimalisasi Dampak Lingkungan Jalan Pantai Barat dan Perencanaan Proyek

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Partisipasi dan Kontribusi Masyarakat Menghasilkan Pekerjaan Publik yang Berkualitas: Pengalaman Berbagai Proyek Prasarana Masyarakat di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Jaya 47 Menciptakan Aceh yang Lebih Aman Melalui Pengurangan Risiko Bencana pada Pembangunan Memelihara Pembangunan lewat Peningkatan Risiko Bencana Aceh 50 Program Pengelolaan Limbah Pemulihan Tsunami SDN 51: Sekolah Baru yang Membawa Perubahan Pembentukan Kelompok Kerja Program WASH 55 62 69

United Nations Development Program (UNDP)

United Nations Development Program (UNDP) United Nations Childrens Fund (UNICEF) United Nations Childrens Fund (UNICEF)

Bagian 3. Ekonomi dan Usaha


Forum Bangun Aceh (FBA) Humanistisch Instituut voor Ontwikkelingssamenwerking (Hivos) STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

75

Mewujudkan Pembangunan Masyarakat yang Berkesinambungan Melalui Kredit Mikro 76 Merajut Kesinambungan Kehidupan Melalui Pengembangan Teknologi Terapan Pedesaan Institut JINGKI, Lhokseumawe 82 Memperkuat Kaum Miskin Melalui Lembaga Kredit Mikro Berbasis Kelompok 86

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan dan Pemberdayaan Perempuan


Australia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA)

91
92 95

Penerapan PAKEM

Australia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA)

viii

Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Manajemen Pendidikan pada Masa Pascakonflik

Australia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA) Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ) Pemerintah Jepang Pemerintah Jepang

Pelaksanaan AIP-CEPA melalui Pendekatan Peka-Konflik dalam Kondisi Pascakonflik 100 Belajar Sepanjang Hayat: Kode Etik Peningkat Mutu Pendidikan Sekolah Kejuruan di Aceh 103 109 112

RSU Gunungsitoli dan Koordinasi Proyek Bantuan Layanan Kesehatan Darurat oleh Jepang

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Suara Masyarakat Sebagai Dasar Perbaikan Mutu Layanan Kesehatan: Studi Kasus Pusat Kesehatan Masyarakat di Meureubo 114 Laporan CTAS tentang Program Keterlibatan Partisipasi Anak-Anak dalam Perencanaan Pengembangan Sekolah Menciptakan Masyarkat Peduli Pendidikan Anak (MPPA) Meningkatkan Kualitas Pendidikan 119 129 133

PLAN International Save the Children

United Nations Childrens Fund (UNICEF)

United Nations Childrens Fund (UNICEF)

Program WASH di Sekolah Kerja Sama dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten 139

Bagian 5. Pembangunan Sosial


Pemerintah Jepang

145
146

Proyek Jaring Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di Aceh

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Membangun Solidaritas Kaum Perempuan untuk Membuat Perubahan pada Pemerintahan Desa: Kasus Forum Perempuan Dewan Desa di Aceh Barat 152 Pemerintahan Peka-Gender, serta Penguatan Hak-hak Perempuan dan Aksesnya Terhadap Keadilan di Aceh Membangun Perdamaian Berlatar Belakang Pascatsunami Penyuluhan pada Masa Pemulihan: Pengalaman Aceh 156
Pendahuluan

United Nations Development Fund for Women (UNIFEM)

United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) for Aceh and Nias World Vision Indonesia

163 169

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia


Canada Aceh Local Government Assistance Program (CALGAP)

177

Pengembangan Layanan Pemerintah melalui Pendekatan Proyek Percontohan: Proyek Pembuatan Pupuk Kompos di Kota Banda Aceh 178 Memperbaiki Hubungan Antar-Pemerintah 188 194

ix

Canada Aceh Local Government Assistance Program (CALGAP) Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA) Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Mendekat ke Masyarakat: Layanan Satu Pintu pada Tingkat Kecamatan

Pembaharuan Berbasis Komputer: Layanan yang Lebih Andal dan Bermutu di Kantor Kecamatan 199 Penguatan Administratur Daerah melalui Kompetensi Teknis dan Koordinasi untuk Pemulihan dan Pembangunan Berkesinambungan: Pengalaman KRF 203

United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) for Aceh and Nias

Bagian 7. Pendanaan, Operasi dan Pengawasan


Asian Development Bank (ADB) United Nations-Human Settlements Programme (UN-HABITAT) Multi Donor Fund (MDF)

213

Pengamanan Terdesentralisasi: Penyaringan, Tinjauan, dan Pengawasan atas Subproyek 214 Pemantauan Pemulihan Permukiman: Tinjauan Akhir Menjamin Kualitas Pekerjaan Rekonstruksi 220 241

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pendahuluan
tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

SELAMA

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

xi

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Terlebih lagi di medan Pemulihan, muncul banyak sekali kasus khas yang, karena potensi kemanfaatan dan kandungan hikmahajarnya, menunggu untuk dipelajari lebih dalam dan disebarluaskan. Kasus demi kasus, laksana manikmanik kalung yang terserakterburai dari ikatannya. Manikmanik itu perlu dipunguti dan, meski tidak harus seperti kalung dalam wujudnya semula (tergantung kebutuhan), penting untuk dirangkai kembali. Penyusunan antologi studi kasus ini, dengan demikian, setidaknya bisa dibaca sebagai tawaran untuk memunguti manikmanik tersebut dan kemudian merangkainya. Memuat 90 studi kasus (50 dibukukan dan sisanya tersimpan di kepingcakram Seri Buku BRR), buku ManikManik Terserak ini menguak fenomenafenomena khas dan menarik di lapangan selama, serta bersangkutpaut dengan, pekerjaan Pemulihan AcehNias.

Capaian 4 Tahun
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
635.384 127.720
orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xiii

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Prakata
adalah suatu tragedi. Pemulihan adalah kemenangan. Jarak di antara keduanya menyediakan suatu ruang bagaikan laboratorium untuk memahami faktor faktor yang saling terkait dan memengaruhi, baik fisik maupun sosial. Tsunami Aceh 2004, dan gempa Nias 2005, menguakkan pintu kesempatan bagi semua organisasi, baik pemerintah maupun nonpemerintah, untuk menganalisis segala yang ada di balik terenggutnya kehidupan manusia dan bangunan fisik yang tiada terbayangkan sebelumnya. Lebih lanjut, dan yang telah umum terjadi, program rehabilitasi dan rekonstruksi membuahkan evaluasi terhadap kebijakan dan praktikterkait dengan implementasi dan pencapaian bantuan kemanusiaanyang telah berjalan. Proses pembelajaran, evaluasi, serta buah pengetahuan yang dipetik itulah yang dicoba diabadikan dalam berlembarlembar kumpulan studi kasus ini. Ambil batu, lalu lemparkan ke arah mana pun, itulah tanggapan Kepala Badan Pelaksana BRR Kuntoro Mangkusubroto saat pertama menginjak Aceh dan ditanya mengenai rencana pemulihan yang akan ia laksanakan. Di titik mana pun batu itu jatuh, dari situlah kita mulai (bekerja)! ujarnya saat pertama kali menyaksikan tingkat kehancuran yang ada. Begitu luluhlantaknya, hingga bisa dikatakan, kapan pun, apa pun, di mana pun, atau dari siapa pun bantuan diulurkan tentu merupakan dukungan yang bermakna. Pada kondisi semacam itulah salah satu program pemulihan kemanusiaan terbesar menjejakkan langkah perdananya. Juga di dalam konteks inilah lembaga

BENCANA

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Forum Koordinasi untuk Aceh dan Nias ke4 (CFAN 4) di Jakarta, 13 Februari 2009. Forum ini merupakan perhelatan akbar BRR bersama ratusan Mitra Pemulihan yang terakhir sebelum BRR menyelesaikan mandat 4 tahunnya. Presiden secara khusus menegaskan bahwa tujuan besar CFAN 4 adalah konsolidasi hikmah ajar para pelaku pemulihan untuk disebarkan ke seluruh penjuru dunia demi kemanusiaan. Foto : BRR/Arif Ariadi

Prakata

xv

lembaga kemanusiaan sedunia mulai mengaplikasikan pengetahuan dan pengalaman mereka ke dalam suatu kerja sama membangun kembali AcehNias menjadi lebih baik dan lebih sentosa. Empat tahun berlalu sudah. Lebih dari US$ 7,2 miliar telah dimanfaatkan oleh 1.000an badan organisasi serta ribuan pekerja kemanusiaan nasional dan internasional. Kehidupan masyarakat AcehNias pun telah kembali berputar. Kendati memori kelabu masih terendap, modal berupa capaian bergelimang keberhasilan telah memperkokoh masyarakat dengan harapan dan, secara konkret, pemahaman yang lebih memadai mengenai mitigasi bencana serta pembangunan berbasis masyarakat. Senapas dengannya, hal tersebut juga telah membekali sejumlah lembaga dengan pemahaman yang lebih mumpuni. Pemahaman itu terkait dengan kompleksitas membangun masyarakat seutuhnya, sejak perencanaan desa (village planning) hingga pemantapan struktur pendukung sosial dan administratif. Guna mengabadikan semua itu, kumpulan studi kasus ini memercikkan sekilas gambaran mengenai pengalaman, tantangan, dan pembelajaran yang dihadapi lembagalembaga beserta penerima manfaat bantuan mereka. Studi ini disiapkan oleh lembaga partisipan dan BRR. Kendati tak semua lembaga berkesempatan terlibat, studi ini dirasa cukup merepresentasikan luasnya jangkauan lembaga yang telah turut ambil bagian melalui pelbagai cara, dengan memanfaatkan berbagai keahlian, di segenap medan pemulihan. Kumpulan studi kasus ini juga menjangkau keluasan rentang pelbagai pengalaman, tantangan, serta pembelajaran dari segenap lembaga yang terlibat dalam sebuah program pemulihan kemanusiaan terbesar yang pernah ada. Tujuan untuk mempersembahkan catatan mengenai tantangan dan capaian yang ada dalam bentuk studi kasus ini didasarkan pada pemahaman tertentu. Pemahaman itu adalah bahwa kisahkisah dari lapangandisiapkan oleh lembaga setempatdipandang mampu menyediakan suatu landasan bagi para pembaca untuk menganalisis, mengembangkan, ataupun sekadar menyerap berbagai keluaran dari banyak dan beragamnya proyek. Lebihlebih, ini merupakan suatu kesempatan untuk menggali hikmah ajar yang ada demi memastikan agar jika sewaktuwaktu bencana serupa terjadi, lembagalembaga beserta penerima manfaatnya dapat menyiagakan diri lebih siap lagi. Demi memudahkan pembacaan, koleksi studi kasus ini telah dibagi ke dalam tujuh sektorkendati, pada beberapa tempat, studi kasus individual juga termasuk lintas sektor. Agar suatu struktur dapat digariskan pada 90 studi kasus yang disajikan, sektor sektor tersebut telah dipilah dalam juduljudul bab. Mengingat terbatasnya halaman buku yang ada, diputuskan hanya 50 studi kasus yang dicetak. Sisanya dilampirkan ke dalam CD Seri Buku BRR. Menelusuri likuliku studi kasus yang diimplementasikan organisasiorganisasi pemerintah dan nonpemerintah sedunia ini, sungguh, kompleksitas kerja kemanusiaan dalam skala sebesar itu jelas terlihat. Kebutuhan para penerima manfaat bisa jadi berbeda

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

xvi

tajam, bergantung pada faktor lingkungan, sosial, budaya, serta dampak bencana yang dirasakan. Bertolak dari hal itulah kumpulan studi kasus ini disajikan, yakni sebagai suatu penggambaran yang langka (nirsunting) mengenai implementasi dan penyaluran bantuan kemanusiaan.

Prakata

xvii

xviii
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Perumahan dan Permukiman


REKoNSTRUKSI perumahan dan permukiman telah menjadi batu tumpuan bagi program pemulihan. Selain capaian dalam sektor ini, pembangunan rumah dan perencanaan tata ruang untuk masyarakat merupakan suatu tantangan terbesar bagi semua pelaku pemulihan. Total terdapat 15 studi kasus dalam sektor ini9 tercetak dan sisanya di dalam CD Seri Buku BRR. Studistudi ini menyodorkan sudut pandang yang penting tentang tantangan dan capaian yang terkait dengan pengadaan, rekonstruksi berbasis masyarakat, serta isu standardisasi tipe rumah.

Rumahrumah di Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, terlihat telah terbangun sejalan dengan beroperasinya kembali tambaktambak, 3 April 2009. Dari 139.195 unit rumah yang harus direkonstruksi sesuai sasaran Perpres 47/2008, kini telah berhasil dibangun 140.304 unit. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

Asian Development Bank (ADB)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Rumah Tradisional Nias dalam Proses Transisi

GEMPA bumi di Nias tidak hanya merusak prasarana publik tetapi juga warisan
budaya dalam bentuk rumahrumah tradisional. Rumahrumah tradisional dibangun berdasarkan struktur bangunan tradisional yang berlaku di masyarakat dan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Karena tidak ada lembaga lain yang berminat memberikan bantuan untuk pembangunan kembali rumahrumah tradisional Nias, Asian Development Bank (ADB) memutuskan memberikan dana bantuan bagi proses rekonstruksi dan rehabilitasi, baik untuk rumahrumah konvensional maupun rumahrumah tradisional di Nias Selatan. Dua proyek yang direalisasikan adalah Proyek Nias 1 pada 2007 dan Proyek Nias 2 pada 2008. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi Proyek Nias 1 dilakukan di empat desa: Bawogosali, Hilimondregeraya, Hilinamoniha, dan Bawoganowo. Sejumlah 54 rumah tradisional dibangun kembali di Bawogosali (14) dan Hilimondregeraya (40), sementara 188 rumah tradisional diperbaiki di Bawogosali (44), Hilimondregeraya (44), Hilinamoniha (20), dan Bawoganowo (80). Setelah melihat hasil dari rekonstruksi dan rehabilitasi, terutama di Bawogosali dan Hilimondregeraya, BRR meminta ADB untuk memberikan dukungan lebih besar agar dapat merehabilitasi rumahrumah tradisional di desadesa lain. Pada 2008, Proyek Nias 2 dimulai, di tahap ini sejumlah 197 rumah tradisional di tujuh desa yang direhabilitasi, yaitu di Hilisimaetano, Botohilitano, Hilimozaua, Lahusa Fau, onohondro, Hilinawalo Mazingo, dan Hilizoroilawa.

Proyek ini dilakukan berdasarkan kontrak yang berbasis masyarakat di mana para penerima manfaat membangun sendiri rumahrumah mereka. Sementara mereka dimungkinkan membuat perubahan, termasuk membangun rumah yang lebih besar dibandingkan dengan rancangan dan kontrak semula, para penerima dana bantuan sepakat menanggung biaya tambahan dengan dana pribadi mereka. ADB dan masingmasing komunitas membentuk sebuah KSMP secara demokratis yang terdiri dari seorang ketua, sekretaris, dan bendahara. Setiap KSMP terdiri dari enam hingga sepuluh penerima manfaat. Para KSMP memainkan peran penting dalam penyebarluasan informasi, koordinasi, serta pengelolaan dan pemberian motivasi para anggota. Pelatihan untuk ketua, sekretaris, dan bendahara mencakup materi pelatihan yang terdiri dari perkenalan pada apa yang dimaksud dengan kontrak berbasis masyarakat, pencairan dan pengelolaan dana, pemantauan kemajuan serta mekanismenya. Tujuan pelatihan adalah: (1) mengembangkan kemampuan KSMP untuk mengkoordinasikan serta memotivasikan anggota mereka untuk memainkan peran aktif dalam proses implementasi; (2) memberikan informasi secara langsung mengenai program perumahan Proyek Bantuan Darurat Gempa (the Earthquake and Emergency Support Project), terutama soal rehabilitasi rumahrumah tradisional melalui kontrak berbasis masyarakat; (3) memperkenalkan peran serta tanggungjawab KSMP dan mendukung pembentukan tim di antara para penerima manfaat; (4) memperkenalkan tehnik rehabilitasi serta metodemetodenya. Para Pakar Rumah Tradisional memberikan arahan penerapan dan pemantauan; (5) mengembangkan kemampuan dalam manajemen keuangan. Prioritas utama diberikan pada konstruksi bagian yang lebih rendah pada rumah, yang diistilahkan sebagai batu ehomo, ehomo, ndriwa, siloto, dan lalihowo. Prioritas kedua diberikan pada komponen lantai dari rumah, disebut sikholi, folano, balobalo, dan fafagahe bato. Prioritas ketiga diberikan pada bagian tengah dari rumah, lagolago, ima laso, dan ama laso. Prioritas terakhir adalah atap. Karena persediaan daun palem untuk atap tradisional menjadi serba terbatas pasca gempa, maka digunakan lembaran besi (galvanized iron, GI) yang dianggap sebagai alternatif yang termudah dan termurah. Setiap kontrak diberi nilai Rp 54 juta yang dicairkan BRR melalui Kantor Perbendaharan Pusat kepada setiap KSMP dalam dua tahap pembayaran. Tahap pertama bagi pelunasan 55 persen nilai kontrak, yang kedua untuk pelunasan 45 persen dari kontrak. KSMP menarik dana melalui rekening Bank Rakyat Indonesia. Pendaftaran pencairan kedua dikirimkan kepada petugas untuk verifikasi (Pejabat Pembuat Komitmen, PPK) dengan

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

ADB membentuk kelompok pengamat untuk mempelajari desain arsitektur rumah tradisional Nias berdasarkan riset kepustakaan, pengamatan lapangan, dan diskusi dengan narasumber. Arahan teknis disusun untuk digunakan para fasilitator, Community Development Groups (Kelompok Swadaya Masyarakat Perumahan, KSMP), dan para penerima manfaat.

laporan kemajuan bagi tiap rumah dan KSMP serta foto proyek. Pembayaran pertama diteruskan kepada para penerima manfaat di kantor proyek pelaksana yang berlokasi di Teluk Dalam guna memastikan dana bantuan ini tersalurkan dengan baik serta bebas manipulasi maupun korupsi.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Para kepala desa diundang untuk menyaksikan proses ini, dan semua kegiatan difasilitasi oleh kelompok distribusi, yang menyediakan rincian prosedur dan mekanisme distributor kepada para penerima manfaat, informasi tentang kontrak berbasis komunitas, dan tanggung jawab para penerima manfaat sebagai pelaku utama dalam implementasi kontrak tersebut. Dalam proses ini, konsultan pelaksaanan proyek (project implementation consultant, PIC) bertindak sebagai fasilitator dalam mengarahkan para penerima manfaat melalui proses pencatatan pembayaran anggaran dan aliran dana serta menegakkan akuntabilitas dengan cara mendistribusikan semua data ke para penerima manfaat.

Pengembangan dan Pelaksanaan


Langkahlangkah yang diambil ADB untuk membantu proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumahrumah tradisional mendapat sambutan hangat dari para warga yang kemudian membangun rumahrumah mereka sesuai gaya tradisional. Hanya sedikit dari penerima manfaat yang memutuskan membangun rumahrumah konvensional daripada rumah tradisional. Dalam Proyek Nias 2 di tujuh desa, 274 rumah tradisional direncanakan direhabilitasi, namun setelah berkonsultasi dengan Kepala Perwakilan BRR di Nias Selatan serta penasihat perumahan ADB, diputuskan prioritas akan diberikan pada 197 rumah terpilih. Keputusan untuk mengurangi jumlah rumah dilakukan berdasarkan pertimbangan BRR Nias Selatan bahwa hanya 200 rumah yang bisa dituntaskan sebelum akhir alokasi dana DIPA 2008 yang jatuh pada 18 Desember 2008. Keputusan untuk merehabilitasi hanya 197 rumah tradisional menimbulkan sejumlah keluhan, terutama dari para kepala desa dan komunitas yang rumahrumah serta desa desanya telah diverifikasi oleh BRR dan PIC untuk direhabilitasi. Meski demikian, program ini tidak mampu mengakomodasi rehabilitasi dan rekonstruksi 383 rumah di delapan desa landaan bencana. Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumahrumah tradisional, diputuskan untuk membentuk subkelompok Ahli/Spesialis Rumah Tradisional untuk menyediakan arahan teknis bagi rehabilitasi rumahrumah tradisional. Tetapi, satu penduduk tidak puas dengan keputusan ini dan mengakibatkan terjadinya insiden di Teluk Dalam, ibu kota Kabupaten Nias Selatan. Seorang konsultan dari badan bantuan yang terlibat di dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumahrumah tradisional diserang kepala desa dan pengikutnya yang menuduh konsultan tersebut berbuat kesalahan sehingga menyebabkan kesalahan konstruksi. Kontrak semula antara BRR dan KSMP mencakup biaya pembuatan atap senilai Rp 12 juta. Sesuai anjuran dari konsultan, perubahan dilakukan pada rancangan atap

Untuk mengatasi masalah ini, PIC45 mengadakan pertemuan dengan konsultan utama, PPK, KSMP, dan Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Desa (KP4D) dan para kepala desa dan mengkomunikasikan hasil kepada para penerima manfaat. Masalah ini tetap juga tidak selesai dengan tuntas. Belakangan, diadakan pertemuan masyarakat di empat desa untuk mendiskusikan masalah ini secara langsung dengan penerima manfaat, yang menghasilkan kesepakatan para penerima manfaat untuk menutupi kekurangan biaya tambahan sendiri.

Hikmah Ajar
Sepanjang pelaksanaan di lapangan, masalah utama terletak pada kurangnya tukang kayu yang terampil, ketersediaan kayu berkualitas, dan kurangnya motivasi sejumlah penerima manfaat serta hujan terus menerus di Nias. Sepanjang proses rehabilitasi rumahrumah tradisional Nias, terlihat bahwa penerapan kontrak berbasis masyarakat merupakan pendekatan yang tepat bagi implementasi proses karena memberi manfaat bagi masyarakat, seperti (1) kualitas rumahrumah tradisional membaik karena dibuat sendiri oleh pemiliknya; (2) komunitas dapat belajar untuk mengelola diri mereka sendiri; (3) komunitas dapat belajar mempersiapkan rencana kerja yang sistematis; (4) pendekatan ini menjadi salah satu cara yang demokratis untuk mencari solusi dan berkompromi; (5) pendekatan ini meningkatkan kemampuan komunitas mengerjakan pekerjaan konstruksi; (6) pendekatan ini juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dana secara bertanggung jawab; (7) pendekatan seperti ini juga membangun kebanggaan masyarakat terhadap rumah rumah tradisional dan desa mereka. Kontrak berbasis masyarakat memberikan kesempatan bagi para penerima manfaat untuk mengambil peran penting sepanjang pelaksanaan. Poinpoin di atas hanya bisa dicapai melalui pemberdayaan secara bertahap. Pelatihan ADB bagi KSMP dan fasilitator terbukti berhasil. Para penduduk desa adalah petanipetani tradisional berpenghasilan rendah yang belajar untuk bisa mengelola beragam pekerjaan mereka selama pelaksanaan program.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

untuk menjaga karakter tradisional dari struktur bangunan Nias. Akibatnya, beban kerja bertambah dan biaya meningkat menjadi Rp 16 juta. Perubahan kontrak harus dilakukan guna menutupi penambahan biaya atap dengan cara mengurangi aspekaspek yang semula direncanakan dibuat setelah atap selesai. Kontrak baru senilai Rp 6 juta dibuat untuk menutup aspekaspek yang dikurangi tersebut. Alhasil, nilai total kontrak meningkat dari Rp 54 juta menjadi Rp 60 juta. Namun sebagian penerima manfaat menolak mengeluarkan uang untuk biaya tambahan atap karena adanya salah persepsi bahwa akan ada tambahan bantuan biaya yang mereka terima untuk menanggung aspekaspek lain yang mereka perlukan untuk membangun rumah.

Untuk melakukan programprogram serupa, maka perlu untuk menyediakan waktu lebih panjang untuk pemberdayaan masyarakat, sebelum melakukan kerja lapangan atau proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Penerima manfaat rehabilitasi rumahrumah tradisional di tujuh desa di Nias menyadari manfaat program ini, sehingga antusiasme dan motivasi mereka pun meningkat. Kunci keberhasilan program terletak pada sinergi antara berbagai partisipan, tetapi sering kali tantangan terbesar justru datang dari kaum elit, termasuk kepala desa serta tokohtokoh yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, dengan memanipulasi posisi dan fasilitas untuk mengambil uang dari masyarakat. Penyebaran dana secara langsung kepada penerima manfaat melalui kontrak berbasis masyarakat, mengurangi kesempatan praktik yang tidak jujur serta mendorong penduduk memainkan peran aktif. Selain itu cara ini mendorong masyarakat untuk belajar cara mengatasi masalah dengan terarah dan sistematis, sehingga mampu memberdayakan masyarakat untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Banyak penerima manfaat mengeluhkan jumlah dana bantuan yang tidak mencukupi, mereka beralasan rumahrumah mereka mengalami kerusakan yang lebih berat sehingga sejumlah komponen perlu diganti dan memakan biaya lebih tinggi. Dalam kontrak awal dijelaskan, ada empat bagian utama rumah tradisional yang mendapatkan prioritas penggantian. Penjelasan ini dipahami dan perlahanlahan diterima oleh para pengaju keberatan. Dalam membentuk KSMP, PIC bisa mendampingi KSMP dan jika memungkinkan ia dapat mengatur perolehan bahan bangunan dalam jumlah besar, sehingga mendapatkan harga lebih murah daripada harga pasar. Kelompok ini mendampingi mereka dalam mencari bahan bangunan yang murah tapi berkualitas, sesuai persyaratan teknis. Namun demikian, banyak hal perlu ditinjau kembali. Misalnya, rumahrumah tradisional dibangun menurut strata masyarakat dengan ukuran serta bentuk yang ditentukan oleh status sosial pemiliknya. Karena itu, para fasilitator, konsultan, kepala desa harus menyetujui model rumahrumah yang akan direhabilitasi atau dibangun kembali. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah kesalahpahaman antara konsultan dan masyarakat, yang bisa meledak menjadi pertikaian fisik, seperti terjadi di Teluk Dalam, Nias Selatan. Kedua, kriteria seleksi rumahrumah tradisional yang didanai untuk rehabilitasi dan rekonstruksi harus sesuai dan jelas demi menghindari keluhan serta perasaan iri di kalangan warga. Ketiga, saat konstruksi mengalami perubahan, baik dari segi materi yang dipakai atau ada fungsi maupun bagian rumah yang berubah, maka semua perubahan tersebut harus dibicarakan guna mengantisipasi dampaknya terhadap keotentikan rumah tradisional dan penyaluran dana.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Asian Development Bank (ADB)

Membangun Kembali Masyarakat Melalui Pembangunan Rumah

Pendahuluan
hibah antara Asian Development Bank (ADB) dan Pemerintah Indonesia untuk Earthquake and Tsunami Emergency Support Project (ETESP), menyebutkan tujuan proyek tersebut adalah membantu pembangunan kembali kawasankawasan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Sumatera Utara, termasuk Pulau Nias, setelah terjadinya gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, dan untuk mendukung kebangkitan kembali kawasan tersebut guna memenuhi target Tujuan Pembangunan Millenium (MDG). Komponen perumahan mencakup rekonstruksi rumahrumah yang hancur dan pemulihan rumahrumah yang rusak, serta pengadaan sistem air dan sanitasi. Skala kerusakan yang disebabkan tsunami dan gempa di Aceh dan Nias sangat besar, sehingga pemahaman serta pengalaman yang ada tidak mencukupi untuk mengatasinya. Jelaslah, pengalaman yang dibutuhkan untuk mengatasi kerusakan pascatsunami bisa dikatakan tidak ada. Masalah tersulit untuk diatasi adalah hilangnya informasi yang teraba dan tidak teraba, termasuk ingatan mereka yang selamat serta tempattempat penting Untuk mengatasi hal ini, ADB pertamatama mengirim tim yang terdiri dari para ahli nasional dan internasional yang berpengalaman, termasuk mereka yang pernah terlibat dalam pembangunan kembali kawasan Calang, ibu kota Aceh Jaya, untuk merumuskan terms of reference (ToR) bagi para konsultan guna diterapkan saat mendampingi ADB.

PERJANJIAN

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Kelompok ini ditugaskan mengunjungi sebanyak mungkin lokasi potensial untuk pendampingan, serta bertemu para pejabat pemerintah pusat dari Departemen Tenaga Kerja dan Bappenas, juga menjumpai pejabat pemerintah daerah. Sebagian besar lokasi yang ditawarkan kepada tim ini sudah diambil donor lain atau pihak yang tak bisa disebutkan. Dari yang sudah diambil donor lain, banyak yang lalu disiasiakan. Di tengah kebingungan ini, ADB memutuskan mendampingi dua desa saja, yaitu, Gampong Pande dan Lamdingin, keduanya di Banda Aceh. Di tahap selanjutnya, ADB juga mendampingi desadesa lain serta desa relokasi, sementara di Nias, ADB membantu pembangunan kembali rumah rumah tradisional yang rusak parah akibat gempa pada Maret 2005. Gampong Pande, dulunya ibu kota Aceh, berada di Kecamatan Kutaraja. Penduduk setempat percaya, penguasa Aceh berasal dari desa ini, pemakaman para leluhur masih dirawat penduduk. Proses perencanaan membangun kembali, yang memakan waktu panjang, membuahkan hubungan akrab antara tim perencana ADB dan para tetua di Gampong (lihat peta), akibatnya penduduk serta petinggi Gampong hanya mau menerima dampingan dari ADB. Rekonstruksi yang melibatkan pembangunan 153 rumah itu ditunjang pembangunan jalan raya juga sarana pengairan, kantor desa, pusat kegiatan masyarakat (meuligoe), dan gedung pertemuan perempuan (balee inong). Gedung pertemuan perempuan ini merupakan donasi dari Perancis, sahabat Indonesia. Rekonstruksi Gampong Pande tuntas dalam waktu sekitar satu tahun dan sesuai prinsipprinsip rekonstruksi yang telah digariskan.

Pengembangan dan Pelaksanaan


Mengingat tujuan proyek untuk mengembalikan kebutuhan mendasar atas perumahan bagi setiap rumah tangga yang kediamannya hancur atau rusak akibat gempa bumi/ tsunami serta memastikan kondisi hidup yang aman bagi penduduk, rancangan rumah dan kriteria seleksi bagi para penerimanya dipertimbangkan dengan saksama. Sebuah rumah tangga baru layak menerima dana untuk rekonstruksi atau perbaikan bila calon penerima menempati kediaman yang hancur/rusak itu saat terjadinya gempa bumi/ tsunami. ADB juga bekerja keras memastikan, ikatan antara masyarakat bisa dibangun kembali. Jumlah rumah yang dibangun di setiap desa disesuaikan menurut rencana desa yang dibuat sebelum konstruksi. Di bawah ETESP, perempuan sepenuhnya berhak memperoleh sarana/fasilitas rehabilitasi. Para janda adalah penerima bantuan bagi pembangunan/rehabilitasi rumah yang dimiliki suami mereka. Para yatim piatu dari pasangan yang tewas akan berbagi sebagai penerima bersama, dana bantuan bagi rumah yang dimiliki orangtua mereka. Semua upaya ditempuh demi memastikan para janda dan anakanak mewarisi tanah yang dimiliki suami atau orang tua mereka sejauh cara yang dimungkinkan hukum. Bila hal ini tidak mungkin, para janda dan anakanak berhak menerima bangunan rehabilitasi berdasarkan kebijakan bagi penduduk penyewa rumah saat terjadinya tsunami.

Bagian belakang rumah diperluas dengan menggunakan materi dari hunian sementara Foto: Dokumentasi ADB

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, sejumlah prinsip pelaksanaan rekonstruksi perlu diperhatikan: Fokus pada masyarakat sebagai penerima manfaat dan melibatkan mereka di dalam proses rekonstruksi. Rumahrumah yang dibangun harus tahan gempa dalam skala tinggi seperti yang terjadi di Aceh dan Nias. Konstruksi harus memperhitungkan standar nasional yang ada. Materi yang digunakan, cara membangun, dan cara bermukim yang ramah lingkungan. Peka terhadap isu gender dan isu keluarga yang tidak lengkap. Menulis persetujuan bersama mengenai kepemilikan tanah, lokasi, dan luas area. Menghindari area yang rentan bencana alam serta mematuhi Rencana Tata Ruang yang sudah disetujui. Menggunakan sumber daya setempat, baik benda maupun tenaga kerja. Melibatkan masyarakat di dalam perencanaan dan desain, sehingga mereka bisa mengatasi kebutuhan konstruksi serta perbaikannya di masa mendatang. Kontraktor membangun rumah yang bisa dikembangkan lebih lanjut oleh para penduduk, didukung semaksimal mungkin dengan arahan konsultan pelaksana proyek. Rumahrumah dirancang bergaya rumah tradisional Aceh dengan sistem desain terbuka dan semi tuntas. Penerima rumah tersebut harus termotivasi melengkapinya dengan memodifikasi dan mengembangkannya. Cara ini memungkinkan pemilik memenuhi keinginannya, seperti menghubungkan dua atau lebih rumah antarsaudara kandung, atau orangtua dan anak, serta memutuskan bagaimana rumah mereka terlihat. Singkatnya, hampir semua dari 153 rumah memiliki karakter pribadi: tidak ada dua rumah yang serupa. Setelah semua rumah dibangun, komunitas desa kembali dibentuk. Di desadesa lain, di Aceh, juga di Nias, ADB bekerja sama dengan donor lain seperti UNHABITAT. Pemulihan Gampong Pande memerlukan ketekunan dan kesabaran, agar proses rekonstruksi bisa memulihkan keadaan semirip mungkin dengan kondisi aslinya. Masyarakat sangat aktif menyediakan informasi dan mendiskusikan dampak ikutan di tahap persiapan meski tidak ada peta atau indikasi mengenai lokasi tempattempat ketika sebelum terjadi bencana. Informasi diperoleh dari fotofoto satelit yang diberikan Uni Eropa. Dengan dukungan kuat dari masyarakat, rencana desa selesai dan disetujui

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

10

Rumah tradisional Nias setelah rehabilitasi Photo: Dokumentasi ADB

Pengalaman di Nias juga serupa, perbedaanya adalah masyarakat di Nias masih terintegrasi. Namun demikian, rencana desa masih perlu disiapkan, sebuah tipe rumah baru dirancang dan sebuah manual untuk pemulihan rumahrumah tradisional dikembangkan bersama. Melalui pengembangan hubungan kerja yang akrab, sejumlah rumah nontradisional yang hancur oleh gempa berhasil dibangun kembali dengan model tradisional serta sedikit modifikasi, sehingga bagian dalam bisa lebih efektif digunakan.

Jalan Utama Gampong Pande. Foto: Dokumentasi ADB

Analisis
Selama hampir empat tahun menerapkan rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan di sejumlah tempat di Aceh, termasuk Sabang dan Nias, sejumlah pembelajaran berharga patut disimak. 1. Meski tak mudah mencapainya, sangat penting melibatkan masyarakat setempat sedini mungkin. Semakin lama jangka waktu dari pascabencana, semakin sulit melibatkan masyarakat. Ketulusan masyarakat dan konsultan harus diungkapkan sejelas mungkin agar terbina saling pengertian. 2. Pendekatan rehabilitasi dan rekonstruksi harus berdasarkan pada pelayanan terhadap penyintas dan pembangunan kembali masyarakat, bukan sekadar upaya memenuhi target berdasarkan jumlah rumah yang akan dibangun. ADB memastikan seluruh penyintas, yang berhak memperoleh bantuan, akan mendapatkannya. 3. Perencanaan dan desain harus memungkinkan masyarakat melakukan pengembangan lebih lanjut dan oleh mereka sendiri. Cara ini akan menghasilkan lingkungan unik bagi konteks lokal dan menghasilkan yang terbaik serta sesuai kebutuhan dan harapan komunitas. Salah satu hambatan yang dihadapi adalah birokrasi yang lamban. Hal ini juga ditambah dengan kualitas kerja sebagian besar kontraktor yang buruk dan tidak memenuhi standar ADB. Kurang baiknya manajemen kerja rekonstruksi juga mengurangi kualitas hasil akhir yang diantisipasi ADB dan para penerima manfaat. Model kontrak komunitas seperti yang digunakan pada rehabilitasi dan rekonstruksi di Nias menghasilkan kualitas lebih baik dengan biaya lebih efektif. Model ini tidak bisa digunakan di Aceh, karena sedikit dari penerima manfaat yang menetap di daerah asalnya setelah terjadi bencana.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

tetua desa. Periode pascarekonstruksi tidak hanya memperlihatkan pembangunan lebih lanjut dari rumah rumah yang sudah direkonstruksi, tetapi juga pohon pohon serta bungabunga yang ditanam. Tiga makam leluhur, yang merupakan situs penting bersejarah bagi Aceh, juga direstorasi.

11

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Rekonstruksi rumahrumah yang hancur telah mencapai tahap final. Beberapa organisasi lokal dan internasional serta LSM telah membantu dengan segala cara yang mereka mampu dan keberhasilan tercapai dengan cara menggabungkan prakarsa lokal, seperti rekonstruksi di Calang, yang rusak total dan bisa berfungsi kembali dalam waktu dua bulan. Bantuan ADB diharapkan bisa mempercepat pemulihan dan pembangunan di area lebih besar dan skala lebih besar pula, serta membantu membangun kembali kehidupan masyarakat, permukiman, dan komunitas. ADB membangun lebih dari 6.000 rumah dan memulihkan lebih dari 1.000 rumah di Aceh dan Nias. Dari jumlah itu, 1.300 bangunan yang berlokasi di bagian selatan Nias, dengan sepertiga dari jumlah tersebut merupakan bangunan bertipe tradisional. ADB membangun kembali rumahrumah tradisional, karena warisan budaya ini bisa punah sama sekali bila tidak direstorasi. Rekonstruksi juga memasukkan tempattempat unik milik publik (ewali) yang masih menampilkan elemen kebudayaan batu besar (megalitikum).

12

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Mempercepat Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh melalui Pemetaan Tanah Masyarakat dan Perencanaan Tata Ruang Desa
PENGAKUAN atas kepemilikan tanah di beberapa daerah di Aceh dihadapkan
pada permasalahan akibat tsunami 26 Desember 2004. Tsunami melenyapkan catatancatatan kepemilikan tanah masyarakat, juga orangorang yang dapat bersaksi terhadap pengakuan secara tradisional maupun undangundang perihal kepemilikan tanah seseorang. Program Pemetaan Tanah Masyarakat (community land mapping, CLM) dan Perencanaan Tata Ruang Desa (village spatial planning, VSP) dari LoGICA membantu masyarakat untuk memperoleh data penting tentang batasbatas tanah segera pascatsunami, membangun kembali dengan cepat rumahrumah dan berbagai infrastruktur publik penting lainnya. Studi kasus ini menunjukkan, sangat mungkin untuk bekerja sama dengan para penyintas untuk membantu mereka memulai proses membangun kembali hidup mereka dari awal.

Latar Belakang Inisiatif


Selain menjadi penyebab kematian 126.741 orang, tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 juga menghancurkan berbagai infrastruktur penting seperti rumah rumah, sekolah, kantor pemerintahan, dan tempattempat lain yang menyediakan layanan masyarakat.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

13

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

14

Banda Aceh, 4 bulan setelah tsunami, 2 April 2005 Foto: Dokumentasi LOGICA

Lihat foto di di bawah ini. Kota Banda Aceh hancur akibat tsunami 2004 dan bayangkan apa saja yang diperlukan untuk membangun kembali rumah Anda di area seperti ini, di mana batasbatas tanah tak jelas lagi. Bagaimana Anda akan memulai? Para penyintas harus membangun kembali hidup mereka di lingkungan yang hancur ini, sambil menanggung beban mental dan kelelahan fisik yang luar biasa akibat kehilangan anggota keluarga, harta benda, rumah, dan kota mereka. Program CLM dirancang untuk menyediakan data awal dasar tentang batasbatas tanah masyarakat. VSP menyediakan data infrastruktur dasar bagi penduduk desa dan donor untuk memulai pengembangan.

PeristiwaPeristiwa Penting
Berdasarkan tuntutan masyarakat segera pascatsunami, LoGICA memfasilitasi sejumlah pertemuan dengan para penyintas untuk mengidentifikasi kebutuhan paling mendesak. Kelanjutan pertemuanpertemuan ini, identifikasi batas tanah, dan rencana ruang desa ditentukan sebagai dua prioritas utama oleh masyarakat. LoGICA memilih menangani kedua persoalan ini, dimulai dengan para CLM. LoGICA melatih para penduduk pada di desadesa landaan tsunami untuk memetakan tempat tinggal dan batasbatas tanah, menyelesaikan kepemilikan berbasis konsesus, dan

Untuk produkproduk CLM ini, sejumlah VSP dikembangkan, membantu tiap desa dalam perencanaan penggunaan tanah masyarakat, infrastruktur, dan kebutuhan sumber lain. Para VSP juga membantu badanbadan eksternal, seperti pemerintahan kabupaten dan kecamatan, LSM, donor, dan para konsultan mereka dengan menyediakan informasi format standar (dikeluarkan melalui konsultasi masyarakat dan mewakili persoalan perencanaan tata ruang masyarakat) untuk menilai lingkungan tata ruang tiap desa dengan mudah dan cepat. Semua produk pemetaan ini dialihkan ke desa, tingkat kecamatan dan kabupaten yang disediakan bagi para pendonor perumahan dan kontraktor yang terkait untuk tujuan VSP dan rekonstruksi. LoGICA bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan sejumlah CLM di 400 desa di seluruh kabupaten di Aceh, dengan 88.718 bidang tanah yang telah dipetakan dan lebih dari 200 VSP dihasilkan. Lebih dari 3.200 penduduk desa dilibatkan dalam proses CLM dan kurang lebih 1.050 penduduk berpartisipasi dalam proses VSP. Setidaknya 30% tenaga kerja sukarela CLM adalah perempuan. VSP telah dimanfaatkan lebih dari 270 badan pemerintahan (dari berbagai tingkat pemerintahan) serta LSM lokal dan internasional yang bekerja untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.

Tantangan
Dimulai dari nol, dengan nol untuk memulai. Pada awalnya, sangat sulit mengatur pertemuan masyarakat sementara mereka masih bergumul secara fisik dan mental untuk membangun kembali hidup mereka setelah tsunami. Dalam lingkungan ini, tidak mudah meyakinkan masyarakat bahwa mereka harus bangkit dan membangun kembali kehidupan mereka. Kita belajar, sangat penting mendengarkan masyarakat dan mengembangkan program berdasarkan kebutuhan utama mereka, proses yang efektif sekaligus dapat menciptakan rasa kepemilikan akan program bantuan di antara para penerima manfaat. Kurangnya pengetuahuan lokal dan para ahli. Program seperti CLM dan VSP tidak pernah dilaksanakan di Aceh sebelumnya. Kemudian, terbukti sulit menemukan fasilitator masyarakat yang terlatih dengan baik di Aceh dalam bidang ini untuk melatih masyarakat. Kita harus memanfaatkan sumber yang ada sebaik mungkin untuk melatih para pembuat peta dan perencana tanah sebelum mereka mulai bekerja dengan masyarakat. LoGICA memutuskan merekrut para lulusan Aceh dan

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

a menandai bidang tanah individual. Semua ini dilakukan menurut panduan pemerintah dan hasilnya diterima masyarakat. Kesepakatan kepemilikan yang bebasis masyarakat diwajibkan sebelum rekonstruksi rumah dapat dimulai. Proses yang konsultatif memberikan hasil pada produkproduk CLM, seperti petapeta desa, daftar kepemilikan tanah, dan kesepakatan batas tanah.

15

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

para dosen senior dari Jurusan Arsitektur Universitas Syiah Kuala dan melatih mereka dengan teknik yang sesuai. Hal ini juga memiliki dampak positif dalam membangun kapasitas penduduk setempat terkait hal ini. Memanfaatkan SDM lokal juga berguna untuk memecahkan berbagai tantangan di lapangan, khususnya berkenaan dengan isuisu peka budaya.

Hikmah Ajar
Membangun hubungan baik dengan masyarakat. Program CLM dan VSP melibatkan masyarakat melalui berbagai pertemuan dan mendorong anggota masyarakat bekerja dalam kelompokkelompok kecil untuk membuat pemetaan dan rencana kerja. Hubungan baik dengan masyarakat juga diperkuat melalui tim LoGICA yang tinggal di tengah masyarakat yang bekerja bersama mereka. Memperoleh kepercayaan. Keterlibatan masyarakat dalam programprogram LoGICA menjadi faktor penting efektivitas dan efisiensi berbagai prakarsa CLM dan VSP. Bekerja sama dengan masyarakat, para pemimpinnya, serta otoritas daerah penting bagi semua pihak/pemangku kepentingan untuk memperoleh rasa kepemilikan dari program tersebut. Keterlibatan masyarakat. Kesinambungan program, produksi, dan hasilnya sangat bergantung pada tingkat keterlibatan masyarakat dan rasa kepemilikannya. Mengoptimalkan pengetahuan lokal dan masyarakat sebagai sumber. Pada situasi bencana, ketika bagian logistik dan infrastruktur berkompromi secara drastis dan para penyintas mengalami trauma, menggunakan atau mengoptimalkan masyarakat dan mengembangkan sumber lokal, seperti pengetahuan budaya lokal dan sejarah kepemilikan tanah, dapat mempercepat proses pemulihan dan sering kali lebih efisien daripada mendatangkan sumbersumber dari luar daerah/provinsi/negara daerah bencana. Pendekatan belajar dengan melakukan. Sangat bijak untuk tidak terlalu ambisius dalam memulai program. LoGICA memulai CLM hanya di 12 desa dalam sebuah kecamatan, kemudian, telah berhasil, bergerak perlahan untuk menggandakan program tersebut di hampir 400 desa di 10 kabupaten di Aceh. Pendekatan ini memberikan kesempatan bagi para pegawai LoGICA dan pemimpin masyarakat yang terlibat dalam program untuk belajar dengan melakukan, mencoba metodologi dan membentuknya agar sesuai dengan proyek.

16

Yayasan Masyarakat Makmur Mitra Adil (Mamamia)

Rekonstruksi dan Rehabilitasi Perumahan dan Pemukiman di Aceh Program RRHS

YAYASAN Mamamia didirikan pada 4 Januari 2003 di Banda Aceh untuk


mendukung masyarakat miskin di NAD, terutama di area pedesaan. Mamamia atau Masyarakat Makmur Mitra Adil bersama dengan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Klat Limbang melaksanakan kegiatannya yang pertama di empat desa di kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar pada awal 2003. Proyek Montasik ini bergerak di bidang yang berhubungan dengan produksi serta pemasaran cabai. Mamamia beruntung karena telah berhasil membina saling pengertian dengan masyarakat Aceh sebelum peristiwa tsunami. Hal ini membantu Mamamia mengambil langkah cepat serta tepat ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004. Pada Mei 2005, perwakilan tingkat tinggi dari Bank Pembangunan Jerman, KfW mengunjungi kantor pusat Mamamia di Seungko Mulat, kecamatan Lhoong untuk memperoleh pemahaman dari penerapan strategi rekonstruksi Mamamia di program PRRL (Program Rekonstruksi Rumah Lhoong). Perwakilan bank KfW berada di Aceh untuk mengkaji situasi dengan tujuan memperkenalkan dan melaksanakan sejumlah intervensi melalui dana bantuan pemerintah Jerman yang disalurkan lewat KfW. Salah satu bentuk intervensi yang diambil berhubungan dengan rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan di Aceh, sebuah proyek yang diperkirakan akan menyerap alokasi dana sebesar 41 juta Euro.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

17

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Mamamia didekati sebuah Firma Konsultan Jerman, GITEC Consult GmbH pada Juli 2005. GITEC mengajak Mamamia bersamasama mengikuti tender KfWRRHS Aceh dengan syarat GITEC sebagai pihak yang memimpin, Mamamia bertindak sebagai pihak yang menerapkan proses rekonstruksi perumahan dengan menggunakan model pemberdayaan yang dibuatnya, sementara GITEC akan menjadi penyelia kegiatan kegiatan Mamamia baik teknis maupun finansial. Sebagai pihak yang memimpin, GITEC akan menangani seluruh perjanjian dengan KfW, BRR beserta institusi terkait, termasuk, proses pelaporan. Setelah program Rehabilitation and Reconstruction of Housing and Settlements (RRHS) dipercayakan kepada GITEC, perjanjian dibuat antara GITEC dan Mamamia pada 1 oktober 2005 dengan konsesi GITEC dapat menerapkan alternatif model rekonstruksi guna memastikan tercapainya target bila model yang dibuat Mamamia tidak mampu menelurkan hasil dalam waktu cepat. Sesuai perjanjian, Mamamia mengelola keuangannya sendiri serta akan dibiayai dengan mata uang euro secara langsung melalui kantor pusat GITEC di Jerman. Mamamia setuju untuk melapor kepada manajer umum RRHSAceh di Banda Aceh. Anggaran kegiatankegiatan MamamiaRRHS didasarkan pada rincian serta Bills of Quantities (BoQ) yang disetujui dan terungkap dari bahan bangunan yang diperlukan untuk membangun rumah dari tipe tertentu atau fasilitas lain pada harga satuan per jenis materi yang sudah disetujui. Di pihaknya, GITEC akan mengawasi hargaharga pasar untuk memastikan harga satuan per unit sesuai dengan harga di pasar saat itu. Harga satu rumah atau fasilitas lain termasuk harga total di dalam BoQ dengan tambahan 15 persen untuk menutup biaya pengiriman serta layanan dan pasokan oleh Mamamia kepada penerima manfaat serta pelaksanaan fasilitasfasilitas dan layanan yang diperlukan, dan berlaku baik di kantor pusat Mamamia maupun tempat pusat kegiatannya di Aceh. Layananlayanan termasuk biaya identifikasi yang meluas, latihan latihan pengujian yang berkaitan dengan setiap calon potensial penerima manfaat, dan desa di mana calon potensial itu tinggal, juga lingkungan kecamatan/kabupaten.

18

Sejumlah Karakteristik yang Relevan dalam Pendekatan Mamamia:


1. Seluruh program dilaksanakan penduduk Aceh dari kawasan pedesaan. 2. Programprogram yang lebih besar dikoordinasikan dan diawasi dari tempat pusat kegiatan masingmasing di kawasan bersangkutan. Programprogram lebih kecil atau porsi program yang lebih besar di kawasan terpencil dikoordinasikan serta diawasi dari sebuah posko kesehatan di kawasan tersebut. 3. Setiap program bertujuan membantu desa terkait untuk mengatasi satu masalah yang spesifik, dengan mempertimbangkan rekonstruksi sebuah desa perlu

dilaksanakan dengan cara mendukung kondisi terciptanya masyarakat desa yang harmonis dengan sebaik mungkin. 4. Masyarakat adalah mitra Mamamia dari fase identifikasi hingga tuntasnya sebuah program di desa tertentu. Kemitraan ini dibentuk di pertemuanpertemuan desa dan melalui pelaksanaan pengambilan keputusan di forum di masa penerapan. 5. Setiap program dilaksanakan dengan cara yang bisa memberdayakan setiap penerima untuk membangun atau mengembangkan fasilitas yang diperlukan olehnya seperti rumah, kebun, atau taman. Hal ini diresmikan di dalam sebuah Kontrak Pemberian Bantuan antara Mamamia (atas nama setiap program yang spesifik) dan penerima manfaat. Di bawah kontrak ini, penerima manfaat berperan baik selaku pembangun/ pemborong fasilitas yang diperlukannya. Para penerima manfaat juga bisa menerima bantuan secara kolektif, misalnya sebagai desa yang akan membangun sebuah pusat kesehatan. 6. Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang dibuat sesuai Hukum Adat adalah bukti hukum yang dianggap cukup untuk memberikan izin kepada penerima manfaat, agar bisa memulai membangun di atas tanah tersebut.

Implementasi Program RRHS Aceh


Jumlah Rumah
Menurut perjanjian antara GITEC dan Mamamia, jumlah rumah yang harus dibangun Mamamia awalnya untuk sementara ditargetkan mencapai 5.000 unit. Setelah GITEC, KfW, dan GTZ mengidentifikasi jumlah kabupaten, kecamatan, dan desa bagi program RRHSAceh pada JuliAgustus 2005, Mamamia diundang meliput kebutuhan rekonstruksi di sejumlah lokasi terpilih di Banda Aceh dan Aceh Besar serta Kabupaten Bireuen. Mamamia diundang membangun sebanyak 3.463 rumah di kawasan tersebut. Meski demikian, sejumlah penyesuaian tetap dilakukan. Sebelum akhir 2008, jumlah total rumah yang dibangun RRHSMamamia mencapai 4.513 di 51 desa.

Dua Jenis Rumah


Di bawah program RRHS, Mamamia membangun dua jenis rumah: rumah kalsi plank dan rumah jenis hollow block. Rumahrumah tipe kalsi plank memiliki dimensi dan tata letak yang sama dengan rumah kalsi plank di Lhoong (42 m2, termasuk sebuah kamar mandi berukuran 6 m2). Namun begitu, sejumlah fitur diubah dan/atau ditambahkan misalnya: beranda kecil, lapisan atap yang lebih tebal, jangkar dari baja yang menghubungkan antara fondasi rumah, dan balok kayu vertikal. Rumah hollow block dirancang GITEC di akhir 2005, dan memiliki dimensi serupa dengan rumah kalsi plank. Namun, dindingdindingnya dibuat dari batu bata selebar 15 sentimeter dengan dua lubang di dalamnya. Palangpalang baja diletakkan di dalam lubanglubang pada jarak yang sama dan lubanglubang itu diisi dengan adonan semen

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

19

dan pasir setelah palangpalang diletakkan satu di atas yang lainnya, menghasilkan konstruksi yang kuat. Jumlah terakhir, rumahrumah kalsi plank mencapai jumlah 2.574 unit; dan rumah hollow block sejumlah 1.939 unit, mencapai jumlah total 4.513 unit.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Ukuran-Ukuran Tambahan
Air: GITEC melaksanakan sistem pasokan air lebih besar, sementara Mamamia mengerjakan sumursumur dangkal. Sejumlah 919 sumur dangkal dibangun. Di sejumlah kawasan, sumur dangkal tidak dimungkinkan mengingat kondisi air yang payau atau alasan lain. Dalam kasuskasus semacam itu, unit penampungan air dibuat (atas permintaan penerima manfaat yang memerlukan) dengan menghubungkan talang air ke atap dan menyalurkan air hujan ke dalam bak terbuat dari tangki poli berkapasitas 1.100 liter. Bak ini diletakkan di atas penyangga di samping rumah. Unit penampungan air yang dibuat berjumlah 421. 170 di Bireuen dan 251 di kawasan Lamnoo. Sanitasi: Rumahrumah RRHS dilengkapi sebuah kamar mandi. Mamamia juga membangun 3.820 unit jamban tidak jauh dari rumahrumah tersebut. GITEC meneruskan pembangunan sejumlah 592 unit jamban dengan sejumlah kontraktor: di Baitussalam (367) dan Lamnoo (225). Jalan-jalan Raya: GITEC memercayakan pembangunan jalan raya dan pekerjaan terkait kepada sejumlah kontraktor. Mamamia membangun 3,9 km jalan raya di/antar desadesa di Bireuen. Di Bener Meriah, Mamamia bekerja sama dengan penduduk desa memperbaiki sekitar 7 km jalan raya menuju situssitus bangunan.

20

Studi Kasus Singkat: Pusat Kegiatan di Bireuen


Laporan Pengujian Mamamia tentang desadesa yang direkomendasikan di Kabupaten Bireuen selesai pada 28 September 2005. Pembangunan base camp atau pusat kegiatan di Kecamatan Jeunieb dimulai pada November 2005. Tim Pusat kegiatan ditempatkan di tenda. Fasilitas yang ada di tempattempat sewaan digunakan untuk kantor dan fasilitas penyimpanan, karena itu, bangunan untuk fasilitas tambahan dibatasi menjadi dapur dengan area bersantap, sebuah balai, dan sedikit tempat perlengkapan. Alhasil, kelompok pusat kegiatan dengan cepat bisa segera beroperasi penuh. Pertemuanpertemuan berkala dengan desadesa sasaran lalu dikelola oleh tim pusat kegiatan. Di antara rangkaian pertemuan ini, salah satu yang paling penting diadakan di akhir November 2005. Pada kesempatan itu, 550 orang dikumpulkan di tempat pusat kegiatan, termasuk para kepala desa dari seluruh desa sasaran. Sepanjang pertemuan, disepakati untuk segera memulai, rumahrumah yang akan dibangun di Bireuen, adalah

jenis rumah kalsi plank, akan memiliki beranda depan. Biaya pembangunan gedung per bangunan juga ditentukan. Yang terpenting, sebagian besar hadirin dari desadesa sasaran melemparkan isu rekonstruksi dari desadesa mereka dengan cara yang mendukung terbentuknya masyarakat desa yang harmonis. Permintaan ini mengimplikasikan tidak hanya rumah bata akan dipertimbangkan dalam rekonstruksi tapi juga gubukgubuk kecil yang terbuat dari kayu bagi penduduk miskin di desadesa ini. Sebagian besar penduduk miskin menolak mengungsi ke barak dan memperbaiki rumahrumah kayu mereka. Mamamia berjanji mempertimbangkan masalah ini dalam kaitan hubungan kerja sama Mamamia dengan GITEC dan KfW. Beberapa minggu kemudian, disepakati permintaan penduduk desa akan ditanggapi dengan memasukkan kebutuhan tempat tinggal bagi penduduk miskin. Hal ini menjadi karakteristik penting program di Bireuen. Langkah ini memberikan kontribusi terhadap keberhasilan program Bireuen RRHSAceh yang berlangsung tanpa ada masalah sosial yang signifikan. Di awal November 2005, tim identifikasi dari pusat kegiatan memeriksa daftar calon penerima manfaat yang dibuat desadesa sasaran dan BRR, dan membandingkannya dengan angkaangka yang tertera di dalam Memo Kesepakatan (MoU) yang diresmikan antara JuliAgustus 2006. Setiap penerima manfaat dinilai, untuk memastikan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dimiliki orang yang bersangkutan sesuai persyaratan. Kontrak Pemberian bantuan diproses pada Desember 2005 dan pekerjaan konstruksi dimulai pada awal Januari 2006. Sejak saat itu, kecepatan rekonstruksi RRHS di Bireuen meningkat stabil, hingga mencapai hasil akhir dalam arti sama dengan jumlah rumah (pemasangan lima sama dengan satu rumah) dari 151,8 pada Juni 2006; 207,8 pada Juli 2006; dan 266 pada Agustus 2006. Pada Juni 2006, Kecamatan Peudada dan Pandrah ditambahkan ke empat kecamatan di Bireuen. Pada 2007, satu desa di Kecamatan Kuala ditambahkan juga ke program RRHS. Perluasan bantuan ke kecamatan dan desa tambahan tersebut muncul karena ada permintaan dari kecamatan dan desadesa itu sendiri. Ketika Program RRHSAceh di Bireuen ditutup dengan upacara penutupan di Kecamatan Peudada pada 26 Agustus 2007, angka rumahrumah yang dibangun, sejumlah 2.420 diabadikan di atas sebuah batu monumen dan diresmikan pada acara itu. Batu itu memperlihatkan jumlah rumah yang dibangun di setiap kecamatan dan setiap desa. Papanpapan ditempatkan di setiap sisi dari batu monumen itu dan memperlihatkan fotofoto setiap penerima manfaat, berdiri di depan rumahrumah mereka sambil memegang sertifikat tuntasnya rumah masingmasing. Rumahrumah di Bireuen dibangun dari Januari 2006 hingga Agustus 2007, selama periode 20 bulan, tidak termasuk periode identifikasi/pengujian yang berlangsung selama enam bulan. Dengan terselesaikannya 2.420 rumah dalam waktu 20 bulan berarti ratarata 121 rumah berhasil dibangun setiap bulan.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

21

Hikmah Ajar
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

1. Baik jumlah rumah dan kecepatan konstruksi, memperlihatkan efisiensi dan penerapan lancar program RRHSAceh di Kecamatan Bireuen. Hasil yang dilaporkan tercapai melalui penerapan strategi pemberdayaan yang dibuat Mamamia di dalam rekonstruksi di desadesa landaan tsunami. Strategi ini diterapkan untuk pertama kali di Lhoong dan tempat ini menjadi lapangan pelatihan bagi staf dan personel Mamamia. Bireuen memperlihatkan potensi pendekatan ini sebagai alat strategis bagi rekonstruksi di kawasan pedesaan. 2. Salah satu hasil strategi pemberdayaan adalah adanya rasa saling memiliki dari para penerima manfaat. Hal ini bisa disimpulkan dari penelitian hunian rumah yang dilakukan GITEC antara Desember 2007 dan April 2008. Dua hasil signifikan antara lain: (c) Setelah selesainya Program Bireuen, tingkat hunian rumah ratarata mencapai 98 persen dengan 20 dari 31 desa masingmasing mencapai angka 100 persen, (d) Pada April 2008, 751 penerima manfaat di Bireuen telah melaksanakan pengembangan/modifikasi rumahrumah mereka. Hal ini mewakili 31 persen dari rumahrumah yang sudah dibangun. 5. Harga per satuan rumah tipe kalsi plank di Bireuen adalah Rp 52.900.000/unit, atau 4.465,87 euro per rumah (pada nilai tukar ratarata sepanjang seluruh operasi 1 euro = Rp 11.845,40) Harga ini termasuk tambahan 15 persen untuk biaya pengiriman barang dan jasa. Harga ini dipertahankan dari awal hingga akhir putaran konstruksi di Bireuen, dimungkinkan dengan adanya jumlah yang layak serta senantiasa tepat waktu dari donor melalui GITEC kepada Mamamia dalan penerapan Kesepakatan Dana Disposisi (Disposition Fund Arrangement) yang disepakati antara pemerintah Jerman dan Indonesia. Hal ini memastikan keberlangsungan kegiatankegiatan pembangunan gedung/rumah. Sebagai tambahan, hal ini juga memungkinkan materimateri bangunan yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan memiliki kecenderungan perubahan harga dibeli pada tahap awal serta disimpan di pusat kegiatan dan karenanya terhindar dari tekanan inflasi. 6. Respon sebagian masyarakat di Bireuen bisa dilihat dari fakta: pusat kegiatan Mamamia di Bireuen menerima lebih dari dari 5.000 permohonan bantuan, terutama dari Kecamatan Peusangan.

22

Kesimpulan Utama dan Usulan


Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

1. Strategi Pemberdayaan yang diterapkan Mamamia memperlihatkan potensi besar dari pendekatan ini sebaga alat strategis, baik untuk rekonstruksi dan untuk skema pembangunan tanah milik perorangan di pedesaan di NAD. 2. Kerja sama antara Mamamia dan para donornya berlangsung positif dan konstruktif. Dalam hubungannya dengan Program RRHS, perlu digarisbawahi bahwa Disposition Fund Arrangement antara pemerintah Indonesia dan Jerman serta pelaksanaannya oleh pejabat KfW dan BRR serta konsultan pelaksana GITEC Consult GmbH, telah memfasilitasi Mamamia secara luar biasa dalam melaksanakan tugastugasnya di bawah RRHS.

Dua hal yang tampak jelas:


1. Dana cair dalam jumlah cukup besar yang diperlukan untuk memastikan lancarnya pasokan materi dan jasa tanpa interupsi kepada para penerima manfaat selalu diterima dalam jumlah yang layak serta tepat waktu. 2. Harga per jenis rumah dan per kawasan yang dibantu relatif stabil.

23

United Nations-Human Settlements Programme (UN-HABITAT)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

24

Dua Tahun Pemulihan Permukiman selama di Aceh dan Nias

DALAM konteks pascabencana, kebijakan perencanaan tergantung pada


kenyataan di lapangan di mana pembuat keputusannya adalah para penyintas yang berada di bawah kondisi tertekan akibat bencana. Pemulihan dan rekonstruksi pascatsunami di Aceh dan Nias mencerminkan sulitnya mengupayakan pemulihan. Hal ini disebabkan hubungan yang sulit antara keadaan nyata di lapangan yang terbentur dengan permasalahan dan disfungsi format yang digunakan para perencana. Secara terus menerus dan sistematis para penyintas memunculkan perilaku yang berbeda dengan apa yang diperkirakan para perencana. Bagi mereka yang selamat, yang penting adalah pemulihan, bukan perencanaan kembali. Selama dua tahun pascatsunami, kapasitas perencanaan kelembagaan dilakukan dalam kelompokkelompok kerja ad hoc dan di sejumlah program pemulihan melalui tugastugas berskala kecil di tingkat kecamatan. Di akhir Desember 2006, sekitar 60.000 rumah di Aceh dan Nias telah selesai atau hampir selesai dibangun. Sekitar 20.000 rumah tengah dibangun dan sisanya dengan jumlah yang kirakira sama belum mulai dikerjakan. Masih ada banyak orang yang meminta dukungan pembangunan rumahkebanyakan dari mereka tidak punya tanah, dan banyak pula yang menjadi pengungsi karena konflik maupun kemiskinan. Permukiman dan pembangunan prasarana lain berjalan lambat. Sementara Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk AcehNias (BRR) sudah mulai menjalankan serah terima dan menerapkan kebijakan desentralisasi, pejabat setempat masih merasa terpinggirkan.

Meskipun para profesional sering kali bermaksud baik dengan menekankan pentingnya prinsip partisipatoris dan proses konsultatif, mereka sering kali gagal menerapkan prinsip dan proses tersebut. Alasan yang sering muncul antara lain: Ternyata program tidak dikendalikan oleh kebutuhan masyarakat, melain kan oleh tawaran yang disediakan dari lembaga donor, dan hal ini membuat masyarakat merasa tidak bisa mengendalikan arah pemulihan. Para profesional memiliki sedikit pemahaman tentang halhal yang mendorong perilaku masyarakat pada konteks pascabencana dalam membuat keputusankeputusan mereka. Para profesional hanya melihat konteks bencana dan hanya sedikit pemahaman tentang dimensi konflik serta dampaknya terhadap pemerintahan. Para profesional hanya melibatkan penduduk untuk berpartisipasi dalam isuisu mikro dan justru mengabaikan hak mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam skala lebih besar.
Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

25

Lebih Banyak atau Lebih Sedikit Jumlah Rumah?


Setelah dua tahun, tampak jelas bahwa daftar penerima manfaat yang tidak akurat bisa menyebabkan terjadinya distribusi tidak merata, atau membuat sebagian penyintas tidak terdata sistem. BRR kemudian melakukan pendaftaran penerima manfaat dan menghasilkan 30.000 penerima manfaat tambahan termasuk mereka yang mengajukan permintaan bantuan bagi perbaikan dan atas lahan yang menghilang ke dalam laut, atau bagi mereka yang kehilangan tanah sewaan. Angka kebutuhan yang berfluktuasi ini menyebabkan munculnya sederetan faktor baru. Ada keluargakeluarga baru yang terbentuk akibat pernikahan atau justru terpisah karena kematian. Masyarakat juga berpindah, baik dari tempat pengungsian ke desa asal mereka, atau dari satu tempat ke tempat lain demi mencari pekerjaan. Akibatnya proses penelusuran keberadaan mereka untuk mendapatkan angka total yang pasti menjadi semakin sulit. Selain itu, ada juga sebagian orang yang punya lebih dari satu rumah yang rusak di lokasi berbeda. Cara penghitungan jumlah rumah yang perlu dibangun kembali pun bervariasi, tergantung pada tujuan rekonstruksi, mulai dari memastikan agar mereka yang selamat mendapatkan permukiman, atau untuk memulihkan modal tidak bergerak (properti, rumah, dan tanah) milik penduduk. Tentu saja, organisasi yang memiliki kepentingan dalam membangun rumah dan masyarakat yang berkepentingan memulihkan modal tak bergerak samasama berpotensi menambah panjang daftar calon penerima manfaat. Hikmah ajar dari Pidie, sebuah kabupaten di pesisir pantai barat Aceh, di mana para penyintas dari desa yang sama ditampung di barak yang sama, dan ada sejumlah LSM

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

di tempat itu saling berkoordinasi sejak awal sehingga dapat menghindari tumpang tindih. Di Calang, sebuah program AusAID, LoGICA, membantu kantor regional BRR mengembangkan database yang akurat. Tampak bahwa angka yang akurat hanya bisa diperoleh dari lapangan, dari satu desa ke desa yang lain, dengan namanama yang jelas berikut alamat. Pejabat setempat harus terlibat dalam menentukan apakah bantuan pembangunan rumah diprioritaskan hanya untuk para penyintas atau apakah perlu ada kebijakan bantuan rumah yang lebih komprehensif.

Permukiman Sementara dan Perumahan Permanen: Menuju Perumahan Bertahap


Dua tahun setelah tsunami, sebagian besar energi dicurahkan mepberdebatkan permukiman permanen versus sementara. Pada bulan pertama, pemerintah memusatkan perhatian pada pembangunan barak atau tempat tinggal a la tentara. Ketika mempertimbangkan pro dan kontra soal permukiman sementara berbentuk barak ini, argumen yang mengemuka tidak hanya soal sifat barak yang serba sementara, tetapi juga bahwa cara ini membuat penyintas tidak bisa berkemah di atas tanah mereka sendiri, di desa asal mereka. Barak menjadi jawaban pemerintah guna mencegah penyintas kembali ke areaarea pesisir yang berbahaya. Setahun setelah tsunami, sekitar 20.000 permukiman sementara senilai lebih dari US$100 juta didirikan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC). International organization for Migration (IoM) juga sudah membangun ribuan permukiman sementara. Model tempat tinggal dari IFRC bisa dibongkarpasang, sementara yang dibuat IoM cenderung rusak saat dibongkar. Sebagian dari permukiman sementara ini dibangun di lokasilokasi tidak layak, misalnya di pinggir serta kanal sungai di Banda Aceh, yang bisa menyebabkan masalah lingkungan karena bisa berkembang menjadi permukiman kumuh. Bangunanbangunan tersebut bisa dianggap sebagai tempat permukiman sementara. Namun, dari sudut pandang teknis dan lingkungan, baja tahan karat serta kayu bukan materi sementara. Lebih jauh lagi, metode bongkar pasang memungkinkan materi untuk digunakan kembali, sehingga menciptakan rumahrumah permanen sekaligus bisa berpindah tempat. Tempat permukiman jenis ini terbukti cocok untuk daerahdaerah terisolasi di mana terdapat keterbatasan logistik, prasarana, dan tenaga kerja ahli. Di desa desa di pantai barat, bangunanbangunan sementara ini mulai menjadi rumahrumah permanen, di mana terdapat lokasi memadai untuk mendirikan rumahrumah permanen. Dan pada saat penduduk tidak berniat membongkar atau memindahkan rumahrumah tersebut dalam waktu dekat, mereka memperbaiki rumahrumah tersebut dengan memperluasnya dan menambahkan perabot.

26

Rekonstruksi Berbasis Masyarakat


Sudah menjadi kesepakatan umum, rekonstruksi berbasis masyarakat bisa merespon kebutuhan segera lebih cepat, memberikan hasil lebih baik dan memuaskan dibandingkan dengan metode rekonstruksi lain dan mampu mencapai pemulihan lebih awal. Cara ini juga memperkuat solidaritas di antara anggota masyarakat yang menciptakan modal sosial, memungkinkan perempuan ambil bagian dalam proses rekonstruksi, memperkuat lembaga setempat, melakukan perencanaan yang baik dengan hasil lebih baik, kerentangan terhadap bencana pun bisa dibatasi, dan pemantauan yang baik dilakukan sehingga mencapai akuntabilitas yang transparan. Namun, perlu ada definisi standar atas isitilah partisipasi dan berbasis masyarakat. Dalam beberapa kasus terdapat wilayah yang dibangun menggunakan pendekatan berbasis masyarakat berada di sekeliling proyek yang dibangun tidak dengan pendekatan serupa. Pendekatan berbasis masyarakat butuh waktu lama di awal, yang akan diimbangi dengan meningkatnya kecepatan dan kepuasan di tahap akhir. Sebagian kegagalan dalam pendekatan berbasis masyarakat ini disebabkan adanya penundaan di awal proyek, sehingga waktu untuk proses keterlibatan (partisipatoris) menjadi terbatas. Dalam beberapa kasus, sekali pun ada niat baik untuk mewujudkan aspirasi masyarakat, tampak jelas bahwa kapasitas menerapkan pendekatan berbasis masyarakat memang terbatas. Jumlah fasilitator masyarakat yang terbatas menunjukkan perlunya melatih fasilitator dalam waktu segera, dan perlunya kebijakan pemerintah yang mendukung, mengatur, dan mendukung pelatihan tersebut. Partisipasi juga bisa dikhususkan pada aspek dan tahap dan/atau aspek proses rekonstruksi yang berbeda, pengorganisasian, perencanaan rumah, desa, permukiman dan kota, pengadaan barang dan jasa, konstruksi, evaluasi dan lainlain. Untuk tujuan ini, sebuah matriks dikembangkan guna menggabungkan tingkattingkat partisipasi dan kegiatankegiatan partisipatif spesifik di tiap tahap dan aspek rekonstruksi.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

Apabila permukiman sementara IFRC ini diwujudkan lebih awal di desadesa asal para penyintas, maka semua rumah permanen tentu bisa selesai lebih awal. Pembangunan permukiman sementara di desa asal memungkinkan adanya alokasi waktu untuk melakukan perencanaan yang sesuai dan memfasilitasi proses partisipatif. Lebih baik lagi apabila permukiman sementara tersebut diintegrasikan pada pembangunan rumah permanen. Adanya pendekatan bertahap seperti ini dapat memperkuat masyarakat untuk membuat keputusan tentang tahapan dan proses pembangunan kembali. Meski demikian, mereka tetap perlu mendapatkan pendampingan teknis yang baik. Upaya pembangunan juga bervariasi tergantung pada ketersediaan material.

27

Menuju Rekonstruksi yang Berkesinambungan


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pada 2005, UNHABITAT mengeluarkan kebijakan Pemulihan dan Rekonstruksi yang Berkelanjutan di saat pascakonflik, bencana alam maupun akibat perbuatan manusia. Kebijakan ini menyimpulkan, bencana bisa membuka peluang untuk pembangunan berkelanjutan, namun bantuan dan rekonstruksi yang berkelanjutan mensyaratkan agar upaya rehabilitasi terintegrasi dengan strategi pembangunan jangka panjang. Secara spesifik, pemulihan dan rekonstruksi yang berkelanjutan mensyaratkan keterkaitan permanen antara tanggap darurat dan rekonstruksi di satu sisi, dan pembangunan secara bertahap serta perkembangan kapasitas pemerintah setempat di sisi lain, di mana pemerintah setempat berperan sebagai mitra aktif dalam proses tersebut. Upaya pemulihan ini juga mensyaratkan pembangunan aktivitas ekonomi yang produktif, pembangunan rekonstruksi dengan basis yang luas dan rekonstruksi serta strategi permukiman jangka panjang, perlindungan atas tanah dan hakhak kepemilikan dari populasi yang terkena dampak bencana dan pengembangan solusi jangka panjang atas tanah dan penyelesaian atas konflik kepemilikan, pengurangan tingkat kerentanan dan pengelolaan bencana, perlindungan atas kepemilikan, hak yang setara bagi perempuan, serta penciptaan kemitraan dan aliansi strategis di semua tingkatan. Apakah rekonstruksi Aceh dan Nias memenuhi syaratsyarat di atas? Tanpa adanya komitmen dan visi menyeluruh serta Rencana Induk, ada pertanyaan apakah rekonstruksi ini akan memberikan kontribusi pada keberlanjutan jangka panjang secara menyeluruh? Apabila komitmen untuk menetapkan visi menyeluruh dan Rencana Induk tertunda tunda, maka semakin sulit mewujudkan upaya rekonstruksi yang berkesinambungan. Penting sekali bagi semua pelaku untuk fokus pada visi serta melakukan revisi dan perbaikan apabila perlu. Analisis dampak lingkungan, ekonomi dan sosiokultural hanya bisa dilakukan dan dievaluasi apabila visi keseluruhan berhasil ditetapkan. Pendekatan partisipatif di semua sektor, tidak hanya dalam pembangunan rumah, tapi juga dalam pemulihan dan pembangunan ekonomi lokal, jelas merupakan satusatunya harapan bagi terbentuknya modal sosial yang berkelanjutan. Karena itu, dorongan dan perbaikan dengan standar minimum yang dirumuskan dengan jelas tentang praktik berbasis masyarakat yang partisipatif menjadi suatu keharusan.

28

Perencanaan dan Koordinasi Meninjau Kembali Peran LSM


Ada lebih dari 100 organisasi yang membangun rumah kembali bersama masyarakat. Mereka masuk membawa dana bantuan memadai dan diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat sementara masyarakat menyadari bahwa programprogram besar cenderung gagal di wilayah konflik. Masyarakat Aceh dan Nias secara intuitif paham, operasi yang dilakukan aktor berskala kecil dan lincah yang tidak mencolok justru lebih

bisa dipercaya dibandingkan organisasiorganisasi besar yang serba birokratis. Karena alasan inilah, 100 organisasi terjun ke wilayah pembangunan rumah, bagi sebagian organisasiorganisasi tersebut, ini merupakan kesempatan pertama mereka.
Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

Hampir semua organisasi bersepakat menerapkan beberapa petunjuk rekonstruksi sederhana untuk pemetaan tanah, perencanaan desa, dan rekonstruksi. Banyak di antaranya mengajukan rancangan rumah mereka kepada Departemen Pekerjaan Umum setempat untuk memperoleh persetujuan. Akan tetapi, setelah disetujui, ada sejumlah tugas rumit menanti, yaitu mendapatkan material, pekerja, serta mandor yang terampil. Tidak hanya itu, organisasiorganisasi itu harus mengembangkan proses yang memadai untuk mendapatkan persetujuan masyarakat dan persetujuan dari kantor pusat mereka. Sejumlah organisasi, terutama yang berskala kecil, mulai membangun tanpa konsep menyeluruh yang jelas. Tak heran bila mereka acap kali gagal. Dalam beberapa kasus, mereka kemudian mengundurkan diri, atau menghentikan programprogramnya. Yang lain menunda membangun sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Dalam beberapa kasus, sejumlah organisasi membangun begitu banyak rumah berkualitas dan akhirnya mengakui kesalahan mereka yang harus dibayar mahal. Program pemantauan oleh UNHABITAT dengan Universitas Syiah Kuala dirancang untuk memberikan umpan balik segera kepada organisasiorganisasi mengenai keberhasilan dan kegagalan mereka dalam membangun, serta aspirasi dan kepuasan para penerima manfaat. Program ini berhasil mengidentifikasi sejumlah masalah meski tidak selalu berhasil mencegah kesalahan sejak awal. Sektor kebijakan dan program dukungan UNHABITAT membuka ruang sebesar besarnya bagi keterlibatan sejumlah LSM dalam rekonstruksi perumahan di Aceh. organisasiorganisasi ini menciptakan sederetan kegiatan, yang tidak akan bisa dilakukan para perencana logistik yang cenderung banyak pertimbangan. Pengalaman mereka mengenai pembangunan perumahan terus bertambah dan mereka berhasil mendirikan lebih banyak rumah bagi masyarakat Aceh dari apa yang mungkin dicapai lewat perencanaan yang hatihati. Setelah terkena konflik bersenjata berkepanjangan, organisasiorganisasi ini mendorong pemberdayaan di kalangan masyarakat sejak awal. Mereka menerima bahwa masyarakat kembali ke desadesa yang terkena dampak tsunami dan acap kali tanpa sengaja menyebabkan terjadinya permukiman kembali masyarakat berskala besar di sejumlah lokasi dengan tingkat keamanan hunian yang tidak pasti dan wilayah yang belum terbukti aman dari gempa bumi rawa, wilayah berlumpur, dan kawasankawasan yang dengan cepat jadi padat dan bisa diperoleh dengan harga murah oleh pejabat setempat. BRR dan UNHABITAT menyusun panduan sederhana untuk disetujui bersama oleh organisasiorganisasi tersebut tentang pemetaan lahan, indikator harga, kesetaraan hak serta pilihan bagi penyewa dan penghuni, serta permukiman kembali yang diberdayakan oleh masyarakat. Lebih jauh lagi, dengan brosur mengenai hakhak permuahan dan bukletbuklet dalam bentuk kartun (komik) mengenai konstruksi rumah yang baik, UN

29

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

HABITAT dan para mitranya menjangkau para penerima manfaat, mengomunikasikan hak dan kewajiban mereka. Programprogram distribusi makanan dan organisasi sipil yang sebelumnya hanya mengerjakan isuisu konflik, menjadi perantara untuk menjangkau masyarakat di lokasilokasi terpencil. UNHABITAT juga menunjuk lembaga riset Indonesia untuk melakukan survei terkait permukiman serta pemulihan kawasan perkotaan bermasalah. Di tahuntahun mendatang, tampaknya sisa anggaran LSM akan digunakan untuk membuka peluang kerja yang bertujuan mengentaskan kemiskinan. Setelah mandat BRR berakhir, pemulihan permukiman perlu mencakup pembangunan dan menjangkau seluruh anggota masyarakat, termasuk mereka yang tidak kehilangan tempat tinggal.

30

Merencanakan Saat Membangun


Setelah hampir dua tahun melakukan pembangunan dan perencanaan berkelanjutan, tuntutan akan perencanaan berbasis pada komitmen, terutama pada tingkatan koordinasi makro, perkotaan dan regional semakin meningkat. Apa yang dianggap benar bagi perencanaan secara umum juga benar bagi perencanaan tata ruang. Di masa itu, tidak ada satu pun pendekatan perencanaan tata ruang yang diadopsi atau dikoordinasikan. organisasi yang berbedabeda membuat rencana sejauh yang dianggap perlu bagi program mereka. Pemerintah setempat kurang tanggap terhadap isu ini. Pembentukan prasarana yang lebih besar masih berada di dalam proses persiapan, termasuk kawasan laut sepanjang garis pantai Banda Aceh dan segmen jalan sepanjang pantai barat dari Banda Aceh ke Meulaboh. Para insinyur, yang ditunjuk membuat perencanaan makro bagi prasarana di Banda Aceh dan Aceh Besar tengah melakukan pengerjaan teknis mikro di Kabupaten Meuraxa. Tahun 2006, Aceh dibangun kembali dari satu rumah ke rumah yang lain. Dua tahun berikutnya, rekonstrusksi Aceh berlanjut dari satu tempat ke yang lain, dari satu jalan raya ke jalan raya lain.

Dari Perencanaan Tindakan ke Perencanaan Spasial


Dalam bulanbulan pertama pascatsunami, sejumlah organisasi terpanggil untuk memperbesar kebutuhan perencanaan bagi kawasankawasan permukiman yang rusak parah atau kawasan permukiman kembali. Sejumlah desa dan lingkungan tidak memiliki kemungkinan terhadap risiko tsunami berikut. UNHABITAT dan sejumlah organisasi berpengalaman lain mencoba membatasi perencanaan desa ke arah pengembangan kecil prasarana dasar, termasuk jalur penyelamatan dan fasilitas lain. UNHABITAT membantu masyarakat dengan memfasilitasi pengembangan perencanaan desa mereka sendiri. Hal ini merupakan bagian dari proses Rencana Aksi Masyarakat yang terjadi sebelum masyarakat membuat kontrak atau membangun rumah.

Hikmah Ajar
Pada akhirnya, disimpulkan: Penilaian kebutuhan harus melibatkan masyarakat dan lembaga setempat; Permukiman sementara harus disiapkan sejak awal dan memungkinkan penyintas kembali ke rumahrumah mereka; Pembangunan perumahan yang didorong masyarakat harus melibatkan semua pihak dan lebih baik dari sebelumnya; Pemulihan berkelanjutan membutuhkan masyarakat untuk memegang kendali sejak awal; Demi menjaga keberlanjutan, bantuan sebaiknya tidak dikelola dalam sektorsektor program yang terpisahpisah; LSM berperan kunci dalam menggerakkan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat di wilayahwilayah konflik; Para perencana harus memahami bahwa di dalam situasi pascabencana, membangun lebih penting daripada merencanakan; Perencanaan dan perencanaan tata ruang khususnya bisa digunakan sebagai alat pemulihan menuju pembangunan kembali dan perbaikan ke arah kepemerintahan yang konsultatif.
Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

31

Dalam manajemen krisis, ada pemahaman bahwa setiap kegagalan dan kesalahan yang terjadi sebelum bencana akan terulang di masa tanggap darurat bahkan bisa lebih. Amat jarang bencana menjadi kesempatan untuk membuka lembaran baru, karena warisan dari masa lalu acap kali tidak berhasil diatasi dan sebaliknya menjadi semakin besar. Dalam konteks Aceh, proses konsultasi yang kurang sebelum terjadinya bencana membuat proses konsultasi yang kuat selama tanggap darurat menjadi hal yang sulit dicapai.

World Vision Indonesia


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

32

Transitional Living Centers (TLC): Solusi Hunian dalam Situasi Darurat

Latar Belakang
terjadi tsunami, salah satu kebutuhan paling mendesak yang dirasakan pada tahap pemulihan oleh masyarakat yang terkena dampak bencana adalah perumahan. Sejumlah 139.195 rumah luluh lantak di Aceh dan Nias. Pascatsunami, puluhan ribu penyintas hidup di bawah terpal, tenda, dan sekolah, mereka membutuhkan tempat lebih baik untuk tinggal. Pada tahap paling awal masa darurat ini, World Vision mendistribusikan 2.000 tenda bagi para penyintas dalam dua bulan pertama krisis ini. Setelah sembilan puluh hari pertama, World Vision beralih ke tahap rehabilitasi. Pada tahap ini, rehabilitasi menuju pembangunan, berbagai kegiatan dilangsungkan, termasuk pembangunan Transtitional Living Centers (TLC) sebagai pilihan tempat tinggal bagi para penyintas.

SETELAH

Pelaksanaan
Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

Dalam program tanggap tsunaminya, salah satu area terpenting program World Vision adalah hunian. Program ini dikembangkan dalam dua tahap: hunian sementara dan rumah permanen. World Vision memulai pembangunan TLC pertama pada Maret 2005. Dengan demikian, sementara World Vision bersiap membangun hunian permanen berdasarkan kebutuhan, para penyintas yang berkemah di tenda dan di bawah terpal dapat pindah ke perumahan sementara. Beberapa TLC paling pertama dibangun World Vision tersebar di kotakota sepanjang pesisir barat Aceh, termasuk Lhok Nga, Leupung, Lhoong (Aceh Besar), dan Lamno (Aceh Jaya). Di masamasa berikutnya, World Vision membangun TLC dalam jarak dekat dengan wilayah desa (di mana masyarakat pada akhirnya akan bermukim kembali) untuk memastikan partisipasi tertinggi dalam proses pembangunan kembali, serta memberikan para penyintas kesempatan menambah keahlian dan pendapatan sebagai upah kerja mereka. Secara keseluruhan, World Vision sudah membangun 97 TLC untuk para penyintas yang tersebar di Aceh, masingmasing TLC dirancang untuk menampung 60100 orang. Tiap TLC dapat menampung 20 keluarga, ruang dapur, dan sumber air/sarana kebersihan yang layak untuk memenuhi kebutuhan kebersihan pribadi dan domestik. Terdapat kamar mandi yang terpisah bagi lakilaki dan perempuan. Setiap kamar berukur empat kali lima meter per keluarga dan semua ruangan memiliki jendela dan ventilasi yang layak. TLC juga menyediakan ruang anakanak dan pusat komunitas bagi para penyintas. World Vision mendukung TLC dengan akses air bersih, kakus dan tempat mencuci baju, trotoar, sumur, tangki air, sistem drainase, penampung air hujan, , kamar mandi, dan lubang bor. Peralatan sanitasi dan kebersihan dibagikan secara meluas bagi komunitas ini. Selanjutnya, diberikan pilihan hunian transisional yang lain. Lebih dari 450 TLC individual dibangun dan menjadi hunian bagi paling tidak 1.100 penyintas. World Vision mengambil langkah untuk memastikan setiap TLC adalah lingkungan yang aman bagi semua penghuninya, terutama perempuan dan anakanak, sementara di saat bersamaan TLC beroperasi di bawah prinsip kepemimpinan masyarakat. World Vision mengikuti prinsip pedoman PBB bagi penyintas yang menyatakan: Para penyintas harus diminta pendapatnya dan turut berpartisipasi di dalam perencanaan solusi terbaik yang memungkinkan. Informasi rencana pemerintah untuk solusi, terutama relokasi, harus diteruskan kepada para penyintas secepatnya.

33

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Jika relokasi merupakan solusi terbaik, hal ini harus dilakukan di wilayah yang sedekat mungkin dengan tempat tinggal penyintas sebelumnya. Program perumahan, relokasi, dan permukiman kembali harus bersifat multisektoral dalam hal rancangan, mencakup semua layanan mendasar, dan dilaksanakan dengan sudut pandang mobilisasi masyarakat, pemberdayaan, dan swapengelolaan oleh masyarakat bersangkutan. Dalam proses rekonstruksi, World Vision berkoordinasi dengan organisasi lain yang merupakan bagian Kelompok Kerja Pengembangan Masyarakat Rekonstruksi Aceh. Di sini para badan mendiskusikan prinsip umum dan mengembangkan mekanisme untuk bekerja lebih efektif demi menghindari tumpang tindih dan mengatasi kekosongan. Terlebih lagi, proyek pembangunan ini dilaksanakan berdasarkan konsultasi dengan masyarakat yang terlibat. Setelah melakukan banyak perencanaan dan konsultasi dengan masyarakat pada setiap tahapan proses ini, World Vision memulai konstruksi 3.565 rumah permanen di seluruh Aceh. Pembangunan rumah ini kemudian diselesaikan pada Juni 2008.

34

Analisis
Selama tahap tanggap darurat, World Vision adalah salah satu dari sedikit badan yang terlibat dalam pembangunan pusatpusat transisional (TLC). TLC merupakan salah satu tindakan pertama World Vision dalam menanggapi kebutuhan mendesak akan tempat tinggal. TLC adalah hunian sementara yang ditujukan untuk memberi tempat hidup lebih layak bagi para keluarga yang selama ini telah tinggal di tempat penampungan sementara. TLC adalah solusi sementara, meski mungkin bukan situasi ideal. Diputuskan bahwa menetap di TLC lebih baik dibanding tetap tinggal di tenda selama berbulanbulan. World Vision memahami, proses pembangunan kembali adalah suatu usaha jangka panjang, dengan tantangan yang dihadapi dalam mengidentifikasi lahan yang layak, tidak adanya surat tanah dan surat wasiat, serta meningkatnya biaya pembangunan kembali dan kurangnya tenaga kerja. Perencanaan menyeluruh sangat penting dalam proses konstruksi rumah permanen karena World Vision bertujuan membangun rumah permanen yang menyediakan lingkungan aman bagi pemiliknya. Sementara World Vision berupaya, dalam periode panjang, untuk membantu menyediakan rumah permanen bagi para penyintas, penting bagi para keluarga dan anakanak yang rentan untuk memiliki tempat tinggal sesegera mungkin. TLC adalah satu di antara beberapa pilihan hunian yang dapat diberikan bagi para penyintas. TLC disediakan untuk memastikan, para penyintas yang telah tinggal selama berbulanbulan di bawah tenda memiliki tempat lebih layak untuk hidup.

Penting bahwa rancangan TLC ini memenuhi standar piagam kemanusiaan (Sphere Standard). Dapur, kloset, air, dan listrik, serta akses jalan disediakan, termasuk area khusus di mana anakanak dapat bermain dengan aman.
Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

World Vision mendukung pembentukan komisi masyarakat dan membantu menyediakan akses terhadap pangan, layanan kesehatan, dan dukungan bagi anakanak. World Vision juga bekerja sama dengan masyarakat dalam jangka waktu panjang untuk memastikan para penyintas yang akhirnya akan pindah ke rumah permanen juga mendapat bantuan memperoleh mata pencarian mereka kembali. Karena tujuan utama TLC adalah menyediakan tempat tinggal sementara, para penyintas dapat menghuni TLC hingga dua tahun lamanya. Hunian sementara ini tidak ditujukan sebagai tempat tinggal permanen bagi para penyintas tersebut.

Masalah Terkait: Kepemilikan Tanah adalah Bentuk Hak Asasi


Pembangunan perumahan, baik sementara atau permanen, adalah langkah penting dalam menanggapi kebutuhan mendesak para penduduk di wilayah Aceh yang luluh lantak. Walau demikian, hal ini juga memunculkan masalah penting yang mendapatkan perhatian penuh dari para penyintas, yaitu kepemilikan kembali tanah mereka. Selama tahap pembangunan, hak tanah telah menjadi salah satu topik paling menantang. Menanggapi masalah ini, World Vision melalui unit perlindungannya sejak April 2005 telah membantu keluarga penyintas atas kepemilikian kembali tanah mereka dan pengurusan surat-surat hukum yang diperlukan dalam prosesnya. Sejumlah pelatihan dilaksanakan untuk membekali masyarakat dengan langkah-langkah selanjutnya terkait prosedur hukum dalam mendapatkan sertifikat tanah mereka. World Vision juga mendukung masyarakat dalam mengukur tanah dan memastikan sertifikat yang didapatkan adalah benar.

35

Rekomendasi
Becermin pada tanggapan World Vision terhadap bencana tsunami di Aceh atas hunian, mengungkit beberapa isu penting menyangkut tanggapan di masa mendatang. Selama tahap tanggap darurat, 2.000 tenda disediakan dalam dua bulan pertama untuk memenuhi kebutuhan sekitar 2.000 keluarga, dilanjutkan dengan penyediaan 97 TLC yang tersebar di seluruh Aceh. Pada Juni 2008, World Vision menyelesaikan konstruksi 3.565 rumah permanen.

Tahap pemulihan kebanyakan terpusat pada pembangunan rumah. Membangun kembali sebuah rumah di belahan dunia manapun merupakan tindakan rumit dan makan waktu. Membangun kembali masyarakat secara utuh bersamaan dengan keseluruhan prasarana yang dibutuhkan, agar dapat berfungsi dengan baik merupakan tugas luar biasa besar. Dikarenakan bantuan moneter yang besar pascatsunami, terdapat ekspektasi bahwa usaha rekonstruki akan dapat diselesaikan dengan cepat. Akan tetapi, tekanan untuk membangun kembali dengan cepat harus diimbangi dengan melindungi dan memberdayakan masyarakat penerima manfaat tersebut.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Hunian permanen telah menjadi sektor yang sulit dan berisiko lebih tinggi dibandingkan sektor lain. Pembangunan hunian permanen adalah suatu upaya jangka panjang yang harus diterapkan di dalam kerangka kerja pembangunan kembali masyarakat. Hal ini menuntut suatu perencanaan, konsultasi, dan negosiasi menyeluruh. Hal ini juga merupakan suatu investasi moneter yang cukup signifikan bagi para LSM. Masalah penting menyangkut kepemilikan tanah, isu kepemilikan, perseteruan warisan, lahan tanah alternatif, perubahan persyaratan pembangunan terkait jarak hunian dengan laut, memerlukan waktu untuk diselesaikan. Selama masa peralihan, pilihan hunian sementara dan transisional menjadi unsur penting setidaknya selama periode dua tahun. Terlebih lagi, sebuah kesepakatan yang jelas harus dibuat di antara para pemangku kepentingan, masyarakat, pemilik tanah, badanbadan pemerintah, dan para LSM, mengenai beberapa isu yang mungkin akan muncul menyangkut pembangunan tersebut, termasuk lokasi lahan untuk TLC, rencana relokasi, dan lainlain.

36

Infrastruktur, Pemeliharaan, dan Lingkungan


KEBERLANJUTAN pekerjaan pembangunan prasarana telah menjadi isu sentral dalam program pemulihan. Meski cukup memakan waktu, bahkan terkadang sampai tahunan, pembangunan prasarana adalah prasyarat bagi terlaksananya rekonstruksi di sektorsektor lain. Dalam 13 studi kasus yang tercatat pada sektor ini6 dicetak dan 7 tersedia dalam CD Seri Buku BRRdidiskusikan pentingnya membangun suatu prasarana yang praktis dan strategis. Praktis, karena menyediakan suatu dasar bagi dimungkinkannya sektorsektor lain terbangun. Strategis, karena terkait dengan aspek keberlanjutan dan mitigasi bencana.
Ruas jalan raya Banda AcehCalang, Lhoong, Aceh Besar, dilengkapi pula dengan marka jalan yang pada masa sebelum bencana jarang ditemui di jalanan antarkota di Aceh, 20 Februari 2009. Per 16 April 2009, jalan sepanjang 581 kilometer telah dirampungkan BRR dan Mitra Pemulihan (USAID dan JICS) dari total 702 kilometer jalan Lintas Barat Aceh yang perlu dibangun sesuai Perpres 47/2008. Sisanya, utamanya ruas Banda AcehMeulaboh, diselesaikan pada pertengahan 2010. Foto: BRR/Arif Ariadi.

Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

40

Rekonstruksi Cepat dan Minimalisasi Dampak Lingkungan

SEBUAH proyek yang didukung Kerja Sama Teknis Jerman bekerja sama dengan
Badan Pengawas Lingkungan Aceh untuk mengembangkan proses kajian dampak lingkungan yang mudah ditelusuri untuk proyekproyek pembangunan.

Pendahuluan
Lebih dari 100.000 rumah, fasilitas umum , dan jalan hancur akibat tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Sekitar 500.000 orang kehilangan tempat tinggal dan tinggal di barakbarak dan tenda yang dibangun terburuburu atau berdesakdesakan tinggal di masjid dan sekolah. Guna membantu mereka yang terkena musibah, dibangun rumah tinggal sesegera mungkin, ratusan organisasi internasional dan Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia melakukan pembangunan kembali sarana dan prasarana yang terkena dampak tsunami. Apakah perlu bagi setiap proyek pembangunan melewati seluruh prosedur pengujian birokratis yang panjang sementara korban bencana kehujanan di penampunganpenampungan ketika hujan turun? Tidak itulah keputusan Pemerintah Indonesia, Tetapi, pekerjaan tidak juga dilakukan secara menyeluruh tanpa panduan, bahkan dalam keadaan darurat, dan terutama bukan proyekproyek pembangunan gedung lebih besar, yang dapat merusak lingkungan. Untuk itu, Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) Aceh akhirnya memilih 86 proyek utama untuk diteliti dampak lingkungannya. Namun, untuk memenuhi

tween Banda Aceh and ong, Aceh Besar, has its which was rarely found city roads in Aceh before recovery took place, , 2009. As per April 16, lometer road has been by BRR and its recovery SAID and JICS) compares 702 kilometer road along ast of Aceh that has to ted in accordance to the regulation 47/2008. ng, particularly the Meulaboh section hed in mid2010. Arif Ariadi

kebutuhan yang mendesak atas situasi tersebut, sebuah versi yang singkat atas prosedur pengujian yang lengkap harus ditemukan. Dengan pertimbangan ini, SLGSR (Dukungan bagi Pemerintah Daerah untuk Rekonstruksi yang Berkelanjutan) GTZ yang didanai Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) Republik Federal Jerman mengembangkan sebuah metode yang berpusat pada faktorfaktor lingkungan utama, yaitu suatu reaksi cepat atas kebutuhan rakyat terhadap rekonstruksi, sambil tetap mengurangi pengaruh negatif terhadap lingkungan.

Suatu keadaan rekonstruksi benar benar meningkatkan permintaan secara cepat terhadap sumber daya alam seperti pasir dan batu kerikil. Foto menunjukkan kegiatan penambangan pasir dan batu kerikil di Sungai Kreung Aceh di Kabupaten Aceh Besar pada November 2006. GTZ supported SLGSR project Foto: Dokumentasi GTZ

Pembangunan dan Penerapan


Di Jerman, kebanyakan proyek konstruksi tanpa memandang apakah itu dibiayai publik atau swastaharus melalui suatu kajian dampak lingkungan. Karena siapa saja yang mendirikan bangunan baru akan memengaruhi lingkungan. Ia mengubah tempat di mana bangunan didirikan, dan harus membawa material alami seperti pasir, batu kerikil, dan kayu. Karena itu, ada otoritas yang bertanggung jawab mengamati setiap proyek konstruksi guna mengetahui dari mana material tersebut berasal dan bagaimana sampai di lokasi. Selain itu, terdapat ulasan tentang berapa banyak lahan yang dipakai untuk proyek dan apakah ekosistem penting seperti lahan basah atau habitat hewanhewan langka akan mengalami kerusakan.

Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

41

42

Sejak 1999, Indonesia telah memiliki kerangka kerja hukum berstandar internasional untuk studi dampak lingkungan (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal). Kementerian lingkungan Indonesia dan pemerintah provinsi yang terkait bertanggung jawab atas penerapannya. Seperti di hampir kebanyakan Negara , kajian atas dampak lingkungan di Indonesia adalah suatu proses yang panjang. Pertamatama, sebuah tim geolog, ahli geografi, etnolog, hidrolog dan spesialis transportasi menguji lokasi dan mengumpulkan seluruh informasi yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini meliputi kondisi tanah dan juga kemungkinan yang berpengaruh pada sumber air yang terdekat dan cagar alam. Di Aceh, misalnya, tujuannya adalah mencegah penebangan liar di Taman Nasional Gunung Leuser. Seluruh faktor tersebut kemudian dianalisis otoritas lingkungan daerah dan selanjutnya diperiksa otoritas yang lebih tinggi. Itu merupakan prosedur yang kompleks tapi pentinghanya tinjauan independen yang dapat mengungkapkan apakah suatu proyek dapat merusak lingkungan. orang yang melakukan penilaian (commissioning) bangunan selanjutnya harus memenuhi beberapa kriteria guna mencegah atau setidaknya mengurangi dampak yang mungkin terjadi. Di akhir semua ini, sering kali terdapat arsip tebal yang jika dibandingkan dengan buku petunjuk telepon membuat buku telepon tampak tipis, ujar penasihat prinsipal GTZ Helmu Krist. Pada keadaan yang putus asa setelah tsunami, tantangannya adalah memperpendek proses ini dan mengembangkan prosedur yang mungkin, paling cepat, dan tetap mencakup seluruh aspek penting. Pada saat bersamaan, panduan tersebut harus dimengerti dengan cepat dan mudah, sehingga setiap pejabat yang bertanggung jawab dapat menerapkannya tanpa harus memerlukan waktu lama. Itu bukanlah tugas mudah, terutama karena pembangunan jalan atau saluran dikelola dengan menggunakan kriteria berbeda untuk pendirian rumah, sehingga pemilihan atas proyek proyek pentingyang dicapai para staf SLGSR bersama dengan otoritas lingkungan provinsiadalah sangat penting. Dalam beberapa kasus, pilihan tersebut mudah. Misalnya,dalam penggalian pasir dan batu kerikilsebagian besar diambil dari sungaisungai dekat tempat pendirian bangunan. Tetapi, jika tidak ada pengendalian atas pengambilan/penambangan tersebut, jalur sungai dapat berubah. Hal tersebut selanjutnya dapat menjadi penyebab banjir dan tanah longsor. Jika terjadi perubahan pada sungai, hal itu bahkan dapat perlahan lahan membahayakan penopang jembatan dan membuat seluruh struktur runtuh sesuatu yang terjadi dalam dua kasus di kabupaten Aceh Besar, yang sebelumnya tidak ada kendali. Jelas bahwa seluruh proyek untuk penggalian pasir dan batu kerikil harus diperiksa dengan saksama. Jenisjenis proyek utama lain yang dipilih adalah pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, sistem irigasi , tenaga pembangkit, dan tempat pembuangan limbah. Tim dukungan bagi Pemerintah Daerah untuk Rekonstruksi yang Berkelanjutan juga mengembangkan sebuah daftar periksa untuk semua proyek pendirian bangunan yang tidak perlu melalui pemeriksaan wajib oleh pihak otoritas. Dengan memakai daftar ini,mereka yang melakukan pengawasan suatu proyek dapat memeriksa sendiri faktorfaktor terpenting. Tujuannya adalah membuat mereka yang

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

bertanggung jawab menyadari kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi, sambil menawarkan solusi yang mungkin.
Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dengan cepat menyetujui metode pengkajian telusur cepat dan memberikan sokongannya pada kegiatankegiatan yang dijalankan GTZ untuk melatih pejabatpejabat yang bertanggung dalam penerapannya. Namun, kebanyakan lembaga setempat masih menyukai proses panjang yang sudah biasa bagi mereka. Sementara itu, para staf SLGSR dan pemerintah provinsi telah menguji metode baru dalam sebuah proyek percontohan. Penggunaan resmi yang pertama dari proses pengkajian telusur cepat adalah untuk tempat pembuangan limbah yang baru di dekat Desa Makmur di Kabupaten Aceh Besar. Awal 2009, fasilitas tersebut tidak saja mengumpulkan limbah dari kabupaten yang bersangkutan, tapi juga dari ibu kota provinsi, Banda Aceh. Kami mulai dengan mencari sebuah lokasi dan mendapati daerah di dekat Desa Makmur adalah yang paling cocok. Di banyak tempat lain, ekosistem yang utama mungkin sudah rusak, kata pimpinan proyek Helmut Krist. Yang terpenting, kami sudah menemukan lapisan tanah liat yang kokoh dan luas di sinisesuatu yang diperlukan tempat pembuangan limbah sehingga racunracun dapat merasuk ke dalam tanah. Bila seluruh perizinan telah disetujui, tim SLGSR dan otoritas lingkungan melaksanakan konsultasi publik dengan masyarakat desa sekitar. Tradisi ini membawa banyak pengaruh di Aceh. Perubahanperubahan yang memengaruhi setiap orang harus diputuskan bersama, Krist menjelaskan. Dalam kasus ini, konsultasi dilangsungkan dengan semangat kebersamaan. Sekitar 300 orang hadir dan seekor kerbau bahkan disembelih untuk menghormati peristiwa ini. Dengan metode konvensional, penelitian dampak untuk tempat limbah akan memerlukan waktu lebih dari satu tahun. Dengan metode telusur cepat, hal itu hanya menghabiskan waktu separuhnya. Selain itu, seluruh pihak yang terlibat puas dengan hasilnyabahkan penduduk desa, yang mendapatkan sistem sanitasi yang maju keluar dari kesepakatan dan mencari pekerjaanpekerjaan baru.

43

Analisis
Diperlukan waktu dua tahun sejak keputusan dibuat untuk mengembangkan sebuah kajian dampak lingkungan telusur cepat bagi proyekproyek pembangunan terhadap metode penerapan resmi oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia pada November 2007. Pada saat itu, pekerjaan rekonstruksi di Aceh telah mengalami kemajuan, sehingga metode baru hanya dipakai untuk sebagian proyek. Sebuah kampanye yang dilangsungkan bersama dengan otoritas lingkungan provinsi dan ditujukan bagi kantor lingkungan setempat mungkin dapat membantu metode baru digunakan lebih cepat. organisasi bantuan lain dapat menggunakan metode telusur cepat secara independen, tanpa harus menunggu proses persetujuan yang panjang dari penguasa. Terlebih lagi, penerapan secara sadar atas metode telusur cepat juga dapat membantu proyekproyek rekonstruksi yang dijalankan pemerintah menjadi ramah lingkungan dan efektif. Daftar periksa yang baru dan prosedur pengujian yang dikembangkan bersama dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) dapat diterapkan dalam berbagai situasi yang sangat berbeda dandengan sedikit adaptasi terhadap hukum setempat dapat dipakai di negaranegara yang berbeda di seluruh dunia.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

44

Pemerintah Jepang
Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Jalan Pantai Barat dan Perencanaan Proyek

45

PEMERINTAH Jepang mencairkan dana kepada Pemerintah Indonesia, melalui


bantuan hibah nonproyek pada Januari 2005, untuk merehabilitasi dan merekonstruksi berbagai sektor yang terkena imbas tsunami di Aceh dan Nias. Sesudah bantuan diberikan, kedua pihak mendiskusikan bagaimana mengalokasi dana untuk proyek di setiap sektor, termasuk rekonstruksi jalan di pantai barat Sumatera. Mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan di berbagai lokasi, perlu ditetapkan hal hal yang dibutuhkan dalam tahapantahapan perencanaan dan pembentukan program rehabilitasi bencana melalui proyek ini, dengan penekanan pada efisiensi dan efektivitas.

Pengembangan dan Pelaksanaan


Ada delapan faktor dalam pengadaan barang/jasa: efisiensi dan efektivitas, tanggung jawab, profesionalisme, daya saing, nilai uang, kejujuran, transparansi, dan pendekatan etis. Walaupun kedelapan faktor tersebut penting, pada proyek ini perlu ditetapkan fokusnya dan bagaimana mengimbangi yang lainnya untuk memenuhi sebaikbaiknya kebutuhan penerima manfaat dalam keadaan darurat seperti ini. Semua lembaga Jepang terlibat dalam bantuan kemanusiaan ini Menteri Luar Negeri, Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Japan International Cooperation System (JICS) memilih fokus pada kecepatan dan kelayakan yang diperlukan untuk pelaksanaan yang mulus.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Dalam proyek jalan pantai barat ini, pemberi donor menetapkan nilainilai bersama dan merumuskan tanggung jawab secara jelas. Akan tetapi, yang juga perlu ditentukan adalah pihak mana yang akan bertanggung jawab dan lokasi tanggung jawabnya, serta spesifikasi dari jalan yang baru melalui koordinasi dengan donor lainnya. Jepang berpendapat bahwa jalan tersebut harus dikembalikan ke kondisi semula, karena ini adalah cara tercepat mengembalikan kehidupan normal masyarakat sehingga mereka dapat memulai kembali aktivitas ekonomi mereka. Sebaliknya, bila kualitas jalan tersebut ditingkatkan dan luasnya diperlebar, diperlukan lebih banyak dana untuk pengadaan lahan serta waktu untuk bernegosiasi dengan pemilik tanah. Pengalihan tanah dan kepemilikannya merupakan soal yang sensitif dan dapat berdampak pada masalah hukum, yang pada akhirnya menjadi kendala untuk capaian. Karena menjadi kebijakan Jepang untuk menghindari risiko ini, sesuai dengan rencana Pemerintah Jepang merehabilitasi jalan sepanjang 122 kilometer dan menyelesaikannya pada Desember 2006, hal ini memperbaiki kondisi jalan. Hasil proyek menunjukkan bahwa kebijakan Jepang berhasil memenuhi kebutuhan masyarakat di lokasi landaan bencana dan di wilayah rekonstruksi bencana. Proyek ini menunjukkan bahwa pertimbangan yang baik dan perimbangan yang tepat dari delapan faktor tersebut di atas memang perlu untuk mendapatkan manfaat sebesar besarnya dengan dana yang terbatas.

46

Hikmah Ajar
Untuk keberhasilan sebuah proyek, mungkin perlu menggeser perimbangan kedelapan faktor tersebut sesuai dengan perubahan keadaan. Ditemukan bahwa untuk suksesnya suatu proyek, keseimbangan harus dipertahankan dengan jalan menaati kebijakan umum. Penting bagi semua anggota untuk mengerti dan menganut kebijakan yang sama selama proyek dikerjakan. Kelayakan merupakan faktor penting guna memastikan mulusnya pekerjaan, terutama dalam pelaksanaan proyek rekonstruksi seperti ini. Juga ditemukan bahwa kekakuan di dalam tim dapat merugikan proyek. Dengan memahami dan menyebarluaskan hikmah ajar ini, kekeliruan dalam penilaian dan arahan dapat dihindari di masa mendatang, sehingga dapat memastikan kebutuhan di daerahdaerah yang terkena bencana terpenuhi. Dengan bertukar pendapat, waktu dan tenaga dapat dihemat dalam pengerjaan proyek. Dalam menyiapkan proyekproyek darurat bencana seperti rehabilitasi dan rekonstruksi, penciptaan struktur yang tepat merupakan suatu keharusan guna menghindari kemungkinan munculnya kendala, sebab tidak seperti keadaan normal, ketika keadaan darurat terjadi tidak ada waktu lagi untuk rapat dan bernegosiasi.

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)


Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Partisipasi dan Kontribusi Masyarakat Menghasilkan Pekerjaan Publik yang Berkualitas: Pengalaman Berbagai Proyek Prasarana Masyarakat di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Jaya
LoGICA telah menjalankan berbagai usaha untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat desa akan prasarana dasar. Namun, karena pengembangan di daerah meluas dengan cepat, maka kebutuhan masyarakat pun kian bertambah. Community Infrastructure Grant Scheme (CIGS) milik LoGICA memampukan masyarakat memutuskan sendiri kebutuhan prasarana masyarakat yang paling penting bagi mereka dan membantu mereka merencanakan serta mengatur segala aspek pelaksanaan dengan cara mencakup banyak hal, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan pada publik. Program ini membangun prasarana dasar di 204 desa pada tiga kabupaten. Kebulatan tekad masyarakat sangat penting bagi keberhasilan.

47

Latar Belakang
Walaupun LoGICA telah bekerja sama dengan proyek AusAID lain dalam pembuatan balai desa dan kantorkantor pemerintahan, serta memastikan perlengkapan mereka pada masa pascatsunami, prasarana publik lain juga diperlukan untuk mempercepat kegiatan sosial dan ekonomi. CIGS, yang bergantung pada berbagai pendekatan partisipasi melalui program perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan, dikembangkan dalam rangka menangani permasalahan ini. Dengan didukung para fasilitator LoGICA, program ini menyediakan kemajuan yang cepat dalam hal partisipasi warga yang ditargetkan. Mereka didorong membuat sebuah rencana dan tim yang bertanggung jawab atas pelaksanaan serta usaha mendapatkan proyekproyek prasarana masyarakat.

Seluruh anggota masyarakat pada akhirnya mampu memengaruhi sebuah keputusan tentang jenis prasarana yang diinginkan, serta memberi masukan dan tanggapan kepada komite yang bertanggung jawab dalam berbagai pertemuan warga.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Peristiwaperistiwa Penting
Proyekproyek CIGS dimulai dengan penandatanganan Kesepakatan Dana Bantuan antara kepalakepala desa dan LoGICA yang di dalamnya terdapat Village Development Committee (VDC), yang terdiri dari anggota masyarakat yang berkewajiban untuk taat kepada sebentuk panduan dalam pelaksanaan proyek. Kesepakatan ini termasuk masa kerja bagi komite dan pihak lain yang berkaitan dengan proyek tersebut. Demikian pula dengan panduan untuk pengadaan, laporan keuangan, dan temuan. Panduan tersebut juga menyarankan penyusunan usaha komite di bawah pengawasan VDC untuk menyetujui rencana usaha, kontrak, metode, dan tingkat tenaga kerja. Dengan pengeluaran pemberian dana bantuan kepada VDC, sebuah pertemuan masyarakat diumumkan dan dihadiri para fasilitator LoGICA dan warga, para leveransir yang diundang dan pekerja. Diskusi tersebut memasukan topik tentang garis besar struktur, siapa yang melakukan apa, kapan, bagaimana, dan berapa banyak. Setelah itu, proyek dapat dilaksanakan. Program CIGS menyediakan metode pembelajaran kemandirian kepada masyarakat karena mereka wajib menggunakan tenaga kerja, material, dan para ahli lokal sebanyak mungkin untuk sumber proyek. LoGICA menetapkan fasilitator Community Engagement untuk memonitor dan membantu para VDC dalam teknik administrasi dan akuntasi, juga pakar prasarana untuk membantu para VDC dalam pengawasan kualitas dan standar teknis konstruksi. Melalui CIGS, LoGICA mendorong perbaikan kompetensi lokal: penetapan prioritas pengembangan, manajemen proyek yang dapat dipertanggungjawabkan, dan mobilisasi sumber. Masyarakat belajar menghasilkan prasarana berkualitas dengan keterbatasan anggaran. Proses ini juga telah memampukan masyarakat mengembangkan kemampuan penting dalam memulai dan mengatur berbagai proyek, semua ditemukan dalam prinsipprinsip dan praktik yang transparan serta menyeluruh. Beberapa hal di atas merupakan keterampilan tak ternilai yang dapat dimanfaatkan di masa depan dalam hal pengalokasian, baik untuk anggaran pengembangan desa tahunan maupun dana dari para LSM. Pada awalnya, CIGS yang mencakup 204 desa, dari November 2006 hingga Juli 2007, berhasil memfasilitasi pembangunan berbagai jalan, jembatan, pagar, drainase, sumur air dengan pengerek vertikal, dan fasilitas pendistribusian air minum desa. Keberhasilan program CIGS menuntun kepada penyelesaian tiga fase CIGS berikutnya pada area tempat LoGICA bekerja.

48

Tantangan
Minat perorangan. Beberapa orang mencoba mengambil keuntungan pribadi dari proyek. Dinamika ini sangat memengaruhi kualitas dan kuantitas pekerjaan publik. Bantuan dan pengawasan yang melibatkan masyarakat secara menyeluruh memberikan hasil yang lebih baik untuk masyarakat dan mengurangi korupsi. Persediaan yang terganggu. Persediaan bahan dan tenaga kerja proyek yang tidak menentu merupakan tantangan yang selalu ada dalam proyekproyek CIGS. Hambatan secara geografis, persediaan bahan, peralatan, dan tenaga kerja merupakan alasan umum keterlambatan proyek. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketergantungan terhadap sumber daya manusia dan sumber alam lokal, serta kesediaannya bagi proyek. Keberagaman ini harus dimasukkan ke dalam jadwal pada program seperti CIGS. Perselisihan. Sebagai tambahan, pembuatan keputusan yang konsultatif dan matang membutuhkan waktu. Diskusi yang panjang dan resolusi konflik telah menjadi rintangan utama yang mengacaukan kemajuan proyek.
Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

49

Hikmah Ajar
Proyek yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Penyebaran informasi yang transparan kepada warga tentang kemajuan proyek, terutama fakta dan figur, termasuk kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan dan keluhan, membantu mengamankan penerimaan dan dukungan publik bagi proyekproyek CIGS. Pendekatan ini menginspirasikan masyarakat untuk menuntut keterbukaan dan pertanggungjawaban yang lebih lagi bila berkenaan dengan berbagai proyek lokal lainnya. Proses pembelajaran. Kemampuan manajemen yang telah terbangun yang diperoleh melalui CIGS secara positif memengaruhi administrasi desa untuk menjadi lebih efisien, menyeluruh, dan bertanggung jawab. Kepemilikan prasarana. Dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan proyekproyek prasarana, program CIGS telah membantu perkembangan kepemilikan dalam prasarana atau gedung yang telah dikonstruksi. Rasa percaya diri. Program ini meningkatkan rasa percaya diri masyarakat akan kemampuan mereka. Ketika proyek hampir selesai, mereka telah mampu mengatur berbagai kegiatan konstruksi, baik secara teknis maupun finansial. Kontribusi masyarakat. Sumbangan masyarakat kepada proyek ini dalam hal tanah, bahan bangunan, dan tenaga sangat penting bagi keberhasilan proyekproyek CIGS.

United Nations Development Program (UNDP)

50

Menciptakan Aceh yang Lebih Aman Melalui Pengurangan Risiko Bencana pada Pembangunan Memelihara Pembangunan lewat Peningkatan Risiko Bencana Aceh

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Isu

sejarah, di Indonesia termasuk Aceh, pengurangan dampak bencana terhadap masyarakat adalah pemikiran normal seharihari. Hal ini tercermin dari desain bangunan, perencanaan penggunaan lahan, atau keputusan sederhana keluarga dan kelompok terkait pembangunan rumah, desain Masjid baru atau perluasan sebuah desa. Sayangnya, praktik ini dirusak oleh bisnis tidak bermoral, pertumbuhan penduduk, pencarian lahan murah, pengaplikasian teknologi baru yang tidak layak untuk konstruksi dan produksi pertanian. Untungnya, sebuah perubahan sedang dijalankan untuk membangun kembali pola pikir semacam ini ke dalam proses perencanaan pengembangan masa depan Aceh. Beberapa tahun belakangan, Pemerintah Indonesia mengambil beberapa langkah sangat penting untuk membangun kebijakan dan peraturanperaturan yang diperlukan mengenai lingkungan, yang mulai membentuk fondasi yang dibutuhkan untuk mendorong masyarakat berinvestasi pada keselamatan dirinya sendiri dengan mengurangi risiko kerusakan bencana. Hal ini dimulai dengan peluncuran perundang undangan baru dan inovatif terkait Manajemen Bencana Nasional (Pengurangan Risiko) yang kini telah siap dilaksanakan. Pemerintah juga mencetuskan dialog antara anggota pemerintahan, publik maupun privat, untuk menjalankan Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana berdasarkan Rancangan Strategi Internasional PBB untuk kerangka kerja Hyogo dalam Pengurangan Bencana. Daerahdaerah rawan gempa seperti

MENURUT

Di Aceh, pemerintah provinsi mengambil langkah awal yang penting segera setelah pelantikannya pada Februari 2007. Sejak awal, gubernur dan para pegawainya berjanji membuat reformasi fundamental bagi badanbadan pemerintahan provinsi dan kabupaten. Reformasi ini memasukkan DRR sebagai salah satu prioritas utama pembangunan. Komitmen ini kemudian dituangkan dalam susunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi NAD untuk periode 20072012. RPJM secara resmi menjadikan DRR sebagai satu dari sembilan strategi pembangunan di Provinsi NAD. Namun masih ada banyak hal yang mesti dilakukan.

Prakarsa
Pendekatan strategis proyek DRRAceh dimaksudkan untuk memicu akar sistematis dampak bencana yang pada saat ini belum ditangani Pemerintah Aceh dan Proses Perencanaan Pembangunan. Untuk melakukan hal ini, proyek akan mendukung Pemerintah Aceh dan usahausahanya yang sedang berlangsung untuk membangun rencana kerja DRR yang komprehensif, diarahkan pemerintah, dan lintas sektor seperti diidentifikasi dalam penyesuaian yang dilakukan Pemerintah Indonesia, United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), Kerangka Kerja Hyogo untuk Aksi (Hyogo Framework for Action, HFA) atas Pengurangan Risiko Bencana pada 20052010 (www.unisdr.org/eng/hfa/hfa.htm). Ada lima prioritas utama aksi DRR yang diamanatkan dalam HFA, yakni: 1) menjamin adanya prioritas daerah dan nasional dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya; 2) mengidentifikasi, menilai, dan mengawasi risiko bencana serta memperbaiki peringatan dini; 3) menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun budaya aman, serta ketahanan di semua tingkatan; 4) mengurangi faktorfaktor risiko yang mendasar; 5) memperkuat kesiapan terhadap bencana untuk respon yang efektif di semua tingkatan. Bila aksi utama dan subaksi pentingnya telah berjalan, hampir semua bagian DRR akan, menjadi pertimbangan integral yang dapat ditanamkan dalam semua praktik dan pembuatan keputusan pembangunan pemerintah. HFA akan diaplikasikan Pemerintah Aceh sebagai alat pengukur kemajuan dalam menciptakan Aceh yang lebih aman terhadap bencana. Singkatnya, hal ini berarti menempatkan kumpulan inisiatif yang terintegrasi yang memungkinkan pemerintah provinsi dan masyarakatnya untuk bekerja sama dalam menyiapkan dan menghimpun aksiaksi untuk mencegah atau meminimalkan kerusakan dari potensi bencana alam yang dapat mengancam keselamatan masyarakat.

Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Aceh, Jawa Tengah, dan Yogyakarta telah mendahului pemerintah daerah di seluruh dunia dengan mempersiapkan Rencana Aksi Daerah untuk Risiko Pengurangan Bencana (disaster risk reduction, DDR). Dalam dua tahun terakhir, Rencana Kerja Tahunan Pemerintah memasukkan anggaran substansial untuk programprogram pengurangan risiko pra bencana.

51

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Sebagai bagian kegiatan awal proyek, Pemerintah Aceh telah memulai proses ini melalui Rapat Lokakarya mereka barubaru ini, sebuah seri pertemuan yang dipimpin Pemerintah untuk menganalisis siapa yang mengerjakan apa dalam pemrograman DRR, serta wilayah operasinya di Aceh. Hasil awal lokakarya ini akan menjadi bagian penting Rencana Aksi Daerah Aceh untuk Pengurangan Risiko Bencana yang akan disusun dan diaplikasikan dengan cara yang sama dengan Rencana Aksi Nasional, sebagai alat untuk menganalisis kemajuan, jarak, dan kebutuhan DRR di seluruh provinsi. Analisis awal menunjukkan adanya angka yang tidak proposional dari proyekproyek yang manangani HFA Prioritas 3 Kesadaran Publik dan HFA Prioritas 5 Perencanaan Kesiapan dan Tanggap Bencana. Juga terlihat bahwa, sejauh ini, kebanyakan proyek cenderung berbasis di Banda Aceh saja. Ketika keseluruhan kegiatan proyek dimulai, mereka akan memasukkan: 1) membangun kelembagaan dan peraturan yang memampukan lingkungan yang diperlukan untuk memfasilitasi keikutsertaan dan pelaksanaan terkonsentrasi dari prosedur DRR; 2) mendemonstrasikan proyek di beberapa lokasi terpilih untuk menguji dan memperbaiki prosedur pengurangan risiko bencana alam; 3) memperkuat Pusat Riset Mitigasi Bencana dan Tsunami (Tsunami and Disaster Mitigation Research Center) yang baru di Aceh serta Universitas Syiah Kuala, sehingga dapat melayani provinsi dengan menyediakan informasi ilmiah, dukungan layanan dan pengetahuan bagi pemerintah provinsi dan mitra DRR lain dalam menjalankan aktivitas DRR mereka; 4) mendukung kewaspadaan masyarakat atas DRR dan programprogram pendidikan yang dilaksanakan untuk mempromosikan Budaya Keselamatan di antara orangorang dan lembaga di Aceh. Pada akhir proyek diharapkan DRR akan terintegrasi menjadi satu bagian normal dari semua aspek perencanaan pengembangan dan proses kepemerintahan di Aceh dan penekanan historis budaya tradisional yang ditempatkan masyarakat Aceh dalam persiapan terhadap bencana. Upaya membuat Aceh menjadi tempat lebih aman untuk hidup dan bekerja akan direvitalisasi.

52

Tantangan
Tantangan sosial utama dalam menjadikan DRR sebagai prioritas pembangunan di Aceh, atau untuk kasus ini di seluruh wilayah di Indonesia, adalah kepercayaan fatalistis yang diterima secara luas bahwa bencana alam adalah kejadian yang tidak dapat dikendalikan atau kehendak Tuhan yang tidak dapat dicegah. Untungnya, di pusat Islam yang sangat kuat dan bersejarah seperti Aceh, fatalisme seperti itu dapat dikembalikan kepada referensi keagamaan dan pengajaran integral ke dalam kurikulum pendidikan dan lewat kesadaran masyarakat. Belum lama ini, Pemerintah Provinsi mengambil manfaat dari hal ini pada saat simulasi tsunami pertama di Aceh, dengan menyisipkan pesan di dalam doa yang, pada saat simulasi, dikumandangkan dengan keras ke seluruh Aceh dan

melalui pesawat radio. Inti pesan tersebut adalah oh Tuhan, kami telah melakukan segala cara upaya untuk mencegah bencana ini, namun kini bencana datang atas kami, kami memasrahkan hidup kami ke dalam tanganMu. Tantangan terbesar kelembagaan adalah komitmen Pemerintah Provinsi Aceh untuk mengalokasikan anggaran pembangunan, pembuatan keputusan, dan proses perencanaan pada tempatnya yang akan mendukung proses perencanaan pembangunan nyata dan dipimpin masyarakat di mana komponen pengurangan risiko bencana akan diintegrasikan. Pemerintah juga berkomitmen bekerja sama, tidak hanya dengan masyarakat desa dan kecamatannya namun juga dengan dan melalui mitra LSM dan organisasi komunitas di Aceh. Untuk mewujudkan hal ini, lembaga pemerintah harus mengubah praktikpraktik pengembangan yang telah sekian lama berlaku, yang a) hampir tidak pernah dikonsultasikan kepada masyarakat; b) kemungkinan atas risiko bencana yang hampir tidak pernah dianggap; c) LSM dan organisasi berbasis komunitas jarang diakui sebagai mitra kerja yang berkembang .
Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

53

Melaksanakan Praktikpraktik Terbaik


Perubahan dari cara yang lebih sempit dan terfokus pada tanggap darurat, tanggapan dan pemulihan pascabencana, umumnya seperti pada periode 5060 tahun terakhir, berkonsentrasi terhadap upaya dan kesiapan DRR sebelum bencana terjadi, mewakili kembalinya caracara tradisional yang kadang terlupakan atau terabaikan dalam dorongan modernisasi. Perubahan ini berdasar pada sejarah panjang DRR di Indonesia dan Aceh yang tertanam di dalam peribahasa Islami kuno yang sangat pragmatis, Percaya pada Allah, tapi jangan lupa mengikat untamu. Barubaru ini, pola pikir tradisional tersebut dibuktikan dengan baik oleh rumahrumah berusia 100 tahun, yang dibangun untuk bertahan pada medan rawan gempa, yang tetap berdiri tegap di antara rumahrumah kontemporer yang runtuh akibat bencana tersebut. Cara pikir ini ditanamkan pula ke dalam masyarakat Aceh dan para pemimpinnya yang bersamasama mengakui bahwa tanggap darurat, penanggulangan, dan pemulihan membangun menjadi lebih baik pascabencana hanya menangani sebagian isu pengurangan dampak bencana di masa mendatang, membawa pada pengakuan jelas bahwa praktik pembangunan prabencana yang baik lebih efektif dalam mengurangi kehilangan SDM, fisik, dan kehidupan ekonomi akibat bencana. Ingatan penting akan hubungan antara pembangunan dan bencana ini keputusan pengembangan itu sendiri dapat meningkatkan ataupun mengurangi risiko bencana di masa depan adalah penting, bahkan esensial bagi masyarakat di daerah rawan bencana seperti Aceh, atau di banyak provinsi lain di Indonesia yang memiliki risiko bencana serupa.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pada kenyataannya, proses kembali, secara perlahan, kepada pola pikir tradisional yang lebih bijak tentang bagaimana hidup dengan bencana alam adalah dengan mempelaajri bagaimana membangun rumah dan sekolahsekolah yang tahan gempa. Hal ini juga berarti mempromosikan proses perencanaan yang menghasilkan desa, kota, wilayah, atau provinsi yang lebih kuat dalam menghadapi banjir tahunan atau bencana lain yang mungkin terjadi. Hal ini juga berarti menilai imbas dari degradasi lingkungan, amblasnya lahan akibat tsunami, dan perubahan naiknya permukaan laut akibat perubahan iklim terhadap daerah pesisir pantai Aceh. Dan juga berarti mempersiapkan prasarana standar tahan bencana sebelum bencana terjadi, sehingga investasi pada programprogram rekonstruksi prasarana tidak perlu dilakukan kembali pada bencana berikutnya. Aspek paling praktis pendekatan ini bagi masyarakt adalah cara termurah menghadapi bencana. Kajian internasional menunjukkan, setiap dollar yang digunakan untuk pengurangan risiko dalam pembuatan keputusan pembangunan prabencana, dua sampai empat dollar dapat dihemat dari biaya untuk tanggap darurat, pemulihan, dan rekonstruksi. Pengurangan biaya tanggap darurat, penanggulangan, dan pemulihan menekankan hasil lebih penting yang pada akhirnya akan ada pengurangan terkait atas penderitaan umat manusia dan hilangnya nyawa ketika bencana menyerang dan, kita tahu hal ini juga akan berlaku di Indonesia.

54

United Nations Development Program (UNDP)


Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Program Pengelolaan Limbah Pemulihan Tsunami

55

Inisiatif
Januari 2005, Program Pengelolaan Limbah Pemulihan Tsunami (Tsunami Recovery Waste Management Programme, TRWMP) disusun untuk memberi tanggapan terkoordinasi dan pragmatis atas kesehatan masyarakat dan permasalahan lingkungan terkait pengelolaan reruntuhan tsunami/gempa dan sampah padat kotapraja selama rehabilitasi dan pemulihan Aceh dan Nias pascagempa dan tsunami pada 2004. Saat ini, proses tersebut dilaksanakan bekerja sama dengan Dinas Kebersihan Kota di 13 kabupaten/kota: Banda Aceh, Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Besar, Nias, Nias Selatan, Lhokseumawe, Aceh Utara, Bireuen, Sabang, dan Simeulue. Tujuan jangka pendek proyek ini adalah pemulihan bencana, termasuk pembersihan puingpuing, memulai kembali layanan utama pengelolaan sampah padat, dengan segera menciptakan lapangan kerja sementara, dan pemulihan bahanbahan yang dapat didaur ulang untuk digunakan kembali dalam rekonstruksi. Tujuan jangka pendek ini telah diselesaikan dan kini digantikan dengan tujuan jangka panjang: memperbaiki dan menyokong lingkungan Aceh dan Nias melalui penguatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) pemerintah daerah untuk melaksanakan pengumpulan yang efektif dan efisien, pemulihan, dan pembuangan sampah tsunami kotapraja, rehabilitasi infrastruktur pengelolaan pembuangan sampah yang sangat penting, dan mendukung para pengusaha setempat dalam membangun kembali kesempatan kerja pada masa pemulihan, mengolah dan mendaur ulang sampah, serta pembersihan dan rehabilitasi lahan pertanian yang terkena dampak tsunami.

PADA

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

56

Recycled Tsunami Wood Furniture Project, Banda Aceh. Foto: Dokumentasi UNDP

Sejak September 2005, TRWMP telah mendanai tiga fase dengan total bantuan sebesar US$39,4 juta dari Multi Donor Fund (MDF). TRWMP juga menerima kontribusi Palang Merah Perancis sebesar US$600.000. Total anggaran TRWMP kini mencapai US$40 juta. Pelaksanaan TRWMP (pengelolaan, pengawasan, dan supervisi) dilaksanakan UNDP melalui Program Pemulihan Transisi dan Tanggap Darurat (Emergency Response and Transitional Recovery Programme, ERTR). Pelaksanaannya dilakukan melalui kerja sama dengan Dinas Kebersihan Kota/Kabupaten dengan Surat Perjanjian, juga melalui kontrak dengan perusahaanperusahaan swasta dan LSM. Tim inti TRWMP terdiri dari tiga penasihat teknis internasional dan sembilan pegawai negeri yang menyediakan pengawasan setiap hari, dukungan teknis, dan pengelolaan program.

Dampak dan hasil


Pembangunan kapasitas SDM pemerintah daerah; pemulihan, pengumpulan, dan pengolahan sampah tsunami serta sampah padat pemerintah kotapraja
Bantuan dan program pengembangan kapasitas SDM pada 13 Dinas Kebersihan Pemerintah Kabupaten termasuk bantuan keuangan sementara untuk operasi pengumpulan sampah dan sistem pembuangan, rehabilitasi/rekonstruksi lahan

pembuangan sementara, pengembangan kapasitas SDM pegawai Pemerintah Kabupaten (Dinas) melalui pelatihan, dukungan keuangan, dukungan rekan kepegawaian di lapangan, dan program kesadaran publik. TRWMP menggunakan peralatan berat sewaan dan sekitar 400.000 pekerja harian sementara untuk melaksanakan pembersihan yang diperlukan dan pekerjaan konstruksi selama masa pemulihan, termasuk pembersihan lebih dari satu juta meter kubik sampah tsunami di wilayah perkotaan, bersama dengan pemulihan bahanbahan daur ulang yang digunakan untuk merehabilitasi jalan sepanjang 100 km, mengerjakan cakupan lahan pembuangan akhir seluas 50 hektare per hari dan membuat 10.000 unit perabotan kayu; pembersihan sekitar 900 hektare lahan pertanian yang terkena dampak tsunami yang kini telah kembali aktif berproduksi bagi sekitar 1.400 keluarga; penghancuran 550 bangunan yang rusak akibat tsunami dan gempa bumi; bantuan untuk pembersihan jalan dan drainase; serta penyediaan kendaraan pengumpul sampah sementara sampai kendaraan permanen disediakan mitra UNDP. UNDP terus mendukung proyek pembersihan lahan pertanian (target 3.000 hektare) dan menyediakan dukungan teknis di 13 kabupaten untuk kegiatan pengumpulan sampah (>1.000 m3/hari) seraya mengembangkan strategi pengelolaan sampah wilayah yang terintegrasi dan berkesinambungan bersama Dinas Kebersihan setempat.

Collection, recycling, & safe disposal of tsunami waste, Banda Aceh. Foto: Dokumentasi UNDP

Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

57

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

58

Farmers Working Land Cleared by TRWMP. Foto: Dokumentasi UNDP

Pemugaran dan penciptaan lapangan kerja dalam pengelolaan sampah


Pada Mei 2007, proyek ini mulai menciptakan serta memperkuat sektor swasta Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terkait usaha yang berhubungan dengan sampah, termasuk pengumpulan dan pengolahan sampah daur ulang, menciptakan pendapatan, dan mengurangi jumlah sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Saat ini, 10 LSM, 12 Kelompok Masyarakat, dan 120 UKM didukung berbagai kegiatan termasuk pembuatan pupuk kompos, produksi jamur, pengumpulan, pemilihan, dan pemindahan sampah daur ulang termasuk plastik, besi, gelas, dan kertas, mengolah bahanbahan daur ulang seperti produksi plastik daur ulang, deterjen organik, dan biogas berskala kecil dari produksi sampah. Pada Agustus 2008, angka keseluruhan dari para penerima manfaat secara langsung sebagai mata pencarian bagi 1.829 orang (1.655 lakilaki dan 174 perempuan), maupun tak langsung sebagai pemasukan bagi 6.664 orang (3.548 lakilaki dan 3.116 perempuan). Selain distribusi peralatan kerja, bantuan kecil pun didistribusikan, dengan jumlah saat ini Rp 1,3 miliar.

Persiapan, rancangan, dan konstruksi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Permanen


TRWMP mendukung kajian kelayakan, desain, dan konstruksi TPA di tiga belas kabupaten. Pada September 2008, proyek tersebut telah mencapai konstruksi/rehabilitasi sepuluh TPA sementara (25 hektare petak pembuangan). TPA sementara ini menyediakan lokasi pembuangan sampah yang aman dan terkendali bagi delapan wilayah TRWMP dengan kapasitas penyimpanan mencapai lima tahun, cukup untuk memungkinkan pembangunan lokasi permanen. Lebih jauh lagi, proyek ini telah menyelesaikan desain, kajian sosial dan lingkungan, serta barubaru ini menyelesaikan konstruksi (oleh BRR) perluasan TPA Gampong Jawa, Banda Aceh, serta pelaksanaan lokakarya mekanik baru (oleh TRWMP); pemilihan lokasi, penaksiran dampak lingkungan, pengadaan lahan dan proses persetujuan desain teknis yang terperinci/pelembagaan untuk TPA Blang Bintang bagi wilayah Kabupaten Aceh Besar; dan belum lama ini terlibat dalam pelaksanaan kajian kelayakan/pencarian lokasi/ desain yang berkesinambungan, dan pengadaan sarana TPA permanen untuk sebelas kabupaten yang direncanakan harus selesai pada akhir 2009.

Pabrik plastik daur ulang, Nias Foto: Dokumentasi UNDP

Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

59

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

60

Construction of KM23 Landfill, Pidie. Foto: Dokumentasi UNDP

Hikmah Ajar
Peka gender. Interaksi reguler antara masyarakat setempat dengan para pekerja internasional/eksternal selama dua tahun terakhir ini telah menghasilkan pendekatan lebih adaptif bagi masyarakat setempat terhadap isu gender. Kesadaran yang meningkat ini secara tidak langsung ikut menyumbangkan keberhasilan pada proyek dalam melaksanakan strategi pengarusutamaan gender. Namun, beberapa wilayah perbaikan tetap masuk dalam laporan proyek. Kepeminpinan pemerintah. Kepemimpinan yang kuat dari Kepala Dinas Kebersihan dalam memberikan arahan dan mengelola pelaksanaan melalui sejumlah besar Surat Perjanjian sangat penting bagi keberhasilan proyek secara keseluruhan. Tanpa komitmen dan kepemimpinan yang kuat terhadap proyek ini di dalam tubuh kepemerintahan, kemampuan para pegawai proyek untuk menjalankan kegiatankegiatan proyek ini secara efektif dan efisien dapat terhambat. Dampaknya negatif, hal ini dapat menjadi penghalang dan merusak hasil proyek. Koordinasi dengan masyarakat internasional. Kerja sama yang erat dengan lembagalembaga lain seperti GTZ dan IREP telah meningkatkan efektivitas kegiatan program dan mencegah duplikasi kegiatan. Hal ini terbukti pada efisiensi pelaksanaan

program dan koordinasi sektoral yang efektif dan nyata, yang dapat dan perlu diterapkan di sektor lain dalam situasi tanggap darurat/awal pemulihan.
Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Tantangan
Kesenjangan kapasitas. Beberapa daerah yang lebih kecil/pedesaan (seperti Nias Selatan) tidak memiliki dinas kebersihan. Kurangnya kapasitas SDM dan dana kegiatan pengelolaan limbah memengaruhi efektivitas. Lebih jauh lagi, banyak Dinas Kebersihan Kabupaten kekurangan kapasitas SDM dalam mempersiapkan Rencana Kerja Tahunan dan aplikasi anggaran (DIPA). Akibatnya, mereka tidak sadar akan dana kebersihan yang dialokasikan untuk mereka. Faktor budaya. Terdapat pelambatan yang terlihat pada aktivitas di seluruh bidang selama bulan Ramadhan. Walau demikian, hal ini telah dipahami dan hanya memiliki dampak jangka pendek. Rekomendasi untuk masa mendatang adalah menyesuaikan rencana kerja per triwulan untuk menyertakan hari libur keagamaan yang ternyata memiliki dampak menentukan bagi ketepatan waktu pelaksanaan proyek.

61

PETA AREA KERJA WILAYAH TRWMP

United Nations Childrens Fund (UNICEF)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

62

SDN 51: Sekolah Baru yang Membawa Perubahan

Pengantar
enam bulan setelah diresmikannya sekolah baru SDN 51di Banda Aceh. Saya suka sekolah baru ini, kata Sinda, pelajar kelas dua di SDN 51. Sinda, yang juga juru bicara utama di kelasnya tersenyum sambil menatap ruang belajarnya yang baru. Sekolah ini dulu panas sekali, lagi pula sempit. Sinda mengungkapkan, sekarang belajar menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Sekolah ini jauh lebih bagus daripada yang dulu, kata Sinda lagi sebelum melanjutkan latihan pelajaran matematikanya. Bangunan asli SDN 51 rusak oleh gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Meski demikian, pelajaran tetap dilangsungkan di sekitar gedung itu. Kami bahkan juga menampung pelajarpelajar dari tiga sekolah dasar lain yang gedungnya hancur total, kata Ibu Cut Aji, kepala sekolah. Ibu Aji ingin memperbaiki kondisi belajarmengajar bagi 214 muridnya. Ketika ia mendengar UNICEF sedang membangun sejumlah sekolah, ia menghubungi badan anak anak PBB tersebut dan meminta bantuan secara langsung. Untuk mempermudah, Ibu Aji menyiapkan semua dokumentasi yang diperlukan guna memastikan sekolah barunya akan memiliki sebidang tanah sendiri. Ketika sisa reruntuhan gedung dihancurkan dan pembangunan sekolah baru dimulai, para pengurus SDN 51 memindahkan kegiatan sekolah ke gedung sekolah lain yang

HAMPIR

Saya memonitor kemajuan konstruksi setiap bulan sehingga bisa menceritakan perkembangannya kepada para guru lain dan muridmurid. Mereka sangat ingin tahu mengenai segalanya! Ibu Aji mengenang. Pada Juli 2008, bangunan baru SDN 51 selesai dibangun. Ibu Aji tidak akan melupakan saat ketika pagar bangunan sekolah pada akhirnya dibuka dan ia bisa melihat keseluruhan gedung baru bertingkat dua, sekolah barunya. Itulah saat yang luar biasa, ungkapnya. Saya melihatnya dan merasa sangat bahagia dan bangga. Demikian pula para guru dan muridmurid SDN 51. Para guru dan murid berdatangan memeriksa setiap sudut gedung baru itu, tak sabar untuk menempatinya. Dan mereka pun pindah ke gedung baru sekolah mereka. Para guru berkata perubahan sikap para murid sangat luar biasa. Mereka amat gembira dan bersemangat belajar di sini, kata Ibu Yuliatik, yang mengajar kelas 6 pada semester itu. Mereka datang tepat waktu, tingkat kehadiran nyaris sempurna, mereka juga sangat aktif di kelas, ringkasnya, mereka lebih bahagia sekarang! SDN 51adalah satu dari 346 gedung sekolah tahan gempa serta ramahanak yang dibangun UNICEF di Aceh dan Nias. Dengan dana program konstruksi sekolah senilai 90 juta US dollar, UNICEF telah menetapkan standar baru di Aceh. Berkaitan dengan kerja sama yang dekat dengan BRR serta pemerintah daerah, sekolahsekolah UNICEF telah dianggap sebagai contoh bagi bangunan sekolah, termasuk untuk pembangunan sekolah di masa depan. Sejak awal, UNICEF tidak berkompromi dalam menetapkan standar keamanan dan ramahanak. Seluruh gedung sekolah UNICEF dibangun tahan gempa. Selain ruangruang kelas yang luas, diterangi sumber cahaya yang baik serta berventilasi, ada juga perpustakaan, ruang serba guna, ruang kantor guru, serta sarana toilet yang terpisah bagi pelajar perempuan dan lakilaki. Halaman yang luas memberikan kenyamanan dan keamanan bagi anakanak saat bermain atau melakukan olah raga.

Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

terdekat, di sana mereka harus mengadakan pelajaran di siang hari. Bagi kami, para guru, mengajar di kelas siang hari bukan masalah besar. Tapi murid murid kelas satu dan dua harus berusaha keras, karena pelajaran berlangsung pada jam saat mereka biasanya tidur siang, kata Ibu Yuliatik, salah satu guru. Namun, semua pihak berhasil bertahan, sambil memperhatikan proses pembangunan kembali gedung sekolah baru mereka.

63

Membangun Kembali Menjadi Lebih Baik, Sejarah Program Pembangunan Sekolah UNICEF
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

64

Meskipun UNICEF tidak selalu terlibat di dalam proyekproyek konstruksi, tampak jelas setelah tsunami dan gempa bumi sekolahsekolah baru sangat perlu dilengkapi dengan sarana yang bisa menjamin lingkungan belajar yang aman dan permanen bagi anakanak. Pada Mei 2005, UNICEF dan pemerintah RI mengembangkan rencana untuk membangun kembali 300 dan merehabilitasi 200 gedung sekolah sebagai bagian dari investasi dana sebesar US$90 juta. Rangkaian survei yang dilakukan UNICEF dan badan pelaksananya, the United Nations office of Project Services (UNoPS), memperlihatkan, rehabilitasi bukanlah pilihan, karena sejumlah besar gedung sekolah telah rusak terlalu parah atau memang sejak awal tidak dibangun dengan baik. Alhasil, UNICEF, Kementerian Pendidikan Nasional, dan BRR memutuskan lebih aman membangun kembali seluruh gedung sekolah dan menggunakan anggaran yang awalnya direncanakan untuk merehabilitasi dipakai untuk merekonstruksi 67 gedung sekolah. Sehingga, secara total, UNICEF membangun 346 gedung sekolah di Aceh dan Nias. Sejak awal, UNICEF memiliki komitmen menetapkan standar baru yang lebih baik dalam pembangunan kembali sekolahsekolah dengan membangun kembali menjadi lebih baik melalui penyediaan sekolahsekolah tahan gempa serta ramahanak, sebuah konsep baru bagi Indonesia. Setelah penandatanganan perjanjian damai di Aceh pada Agustus 2005, UNICEF mengusulkan pembangunan sejumlah sekolah yang terbakar atau rusak di kawasan kawasan yang terdampak konflik bersenjata selama 32 tahun di Aceh di mana kebutuhan akan adanya prasarana sekolah bagi sejumlah besar anakanak sudah diidentifikasi. Pada Agustus 2006, pemerintah menyetujui proyek pembangunan sekolah UNICEF juga mencakup kawasankawasan tersebut.

Struktur Sekolah
Umumnya, sebuah sekolah UNICEF memiliki enam ruang kelas bagi setiap tingkat dengan aliran udara (ventilasi) dan cahaya memadai, sebuah kantor guru dengan ruang kepala sekolah, sebuah perpustakaan dan lapangan bermain untuk menyediakan tempat bermain yang aman bagi muridmurid. Sekolah juga menyediakan toilet terpisah bagi anak perempuan dan anak lakilaki. Pijakan khusus yang berfungsi seperti tangga untuk mencapai lantai lebih tinggi atau lebih rendah serta pintupintu lebar disiapkan bagi anakanak penyandang cacat, sehingga tidak ada murid tersisihkan dari pendidikan. Paling tidak terdapat dua ruang kelas yang bisa dipisahkan dengan dinding dorong, memungkinkan para guru atau masyarakat menggabungkan kedua ruangan itu dan memanfaatkannya sebagai ruang serba guna.

Dengan mengganti struktur ruang kelas, terbuka kesempatan untuk memperbaiki aliran udara, sumber cahaya, dan tentunya meningkatkan rasa nyaman. Sebagai bagian rancangan baru, juga disediakan lampulampu di langitlangit ruang sehingga memungkinkan cahaya alami secara tidak langsung menebar dari langitlangit untuk mengurangi bagianbagian gelap di ruang kelas. Secara umum, UNICEF telah memberi komitmen untuk membangun 346 sekolah di Aceh dan Nias. Sejauh ini, 175 telah tuntas, sementara sisanya masih dibangun.

Mengatasi Tantangan
Hikmah ajar pembangunan gedunggedung sekolah permanen amat berharga bagi UNICEF, terutama pengalaman yang diperoleh pada tahun pertama kegiatan. Hambatan besar harus diatasi, termasuk menentukan penyebaran geografis sekolah yang akan dibangun, mendirikan sekolahsekolah darurat dan mengubahnya ke struktur permanen, hambatan dana serta inflasi, kapasitas kontraktor yang kurang memadai, juga kurangnya tenaga yang mampu/berpengalaman, kurangnya bahanbahan bangunan yang diperlukan, hambatan dari kurangnya sarana transportasi.

Pemilihan Lokasi
Memastikan adanya penyebaran sekolah secara geografis dianggap sangat penting. Kesempatan memperoleh pendidikan bagi anakanak tidak hilang hanya karena mereka tinggal di daerah terpencil. Untuk alasan ini UNICEF telah membangun sekolahsekolah di lokasilokasi yang mudah dan sulit diakses. Salah satu masalah dalam menentukan lokasi pembangunan sekolah adalah banyak lokasi yang diajukan hanya memiliki sedikit jumlah anak usia sekolah yang menetap di sana, sehingga menyulitkan pencairan dana bantuan untuk membangun gedung sekolah permanen bila tidak ada tandatanda akan adanya populasi yang kembali menetap di kawasan itu dalam waktu dekat. Situssitus lain juga menghadirkan sejumlah tantangan, seperti adanya bukitbukit, rawarawa, tumpukan batu sehingga kawasankawasan tersebut sulit dijangkau transportasi yang mengangkut bahanbahan bangunan. Isu tanah, perselisihan kepemilikan, dan tantangantantangan lain juga memerlukan sejumlah diskusi, menghasilkan perubahan lokasi dan perubahan rancangan rencana konstruksi.

Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Rancangan yang lebih mungkin diterapkan, mengingat keterbatasan dana UNICEF, namun tetap mempertahankan prinsip ramahanak, difinalisasikan pada 2007. Termasuk di dalam desain baru ini adalah mengubah beranda yang dibuat dari bata dan semen menjadi struktur ringan dari baja dan menonjolkan jalan setapak yang menghubungkan seluruh gedung. Pintu darurat disediakan di bagian belakang gedung guna memfasilitasi proses evakuasi bila diperlukan.

65

Dari Status Sementara ke Permanen


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Dalam banyak kasus, sekolahsekolah permanen dibangun di tempattempat di mana UNICEF sudah mendirikan sekolahsekolah semi permanen setelah bencana di Aceh dan Nias. Untuk meyakinkan semua anak yang terdampak gempa dan tsunami di Aceh serta gempa di Nias memiliki akses untuk memperoleh pendidikan dasar, lebih dari 1.000 sekolah tenda dibangun UNICEF dalam beberapa minggu setelah bencana. Perubahan cepat ini mengawali kembali kegiatankegiatan sekolah, membantu mengembalikan kehidupan anakanak yang wajar. Sehubungan dengan cuaca ekstrem di Sumatera Utara, jelas tendatenda itu merupakan solusi sementara jangka pendek dan menengah. Jelas pula bangunan sekolahsekolah permanen akan memakan waktu beberapa tahun, sehingga UNICEF dengan mitra pelaksana IoM, memulai proyek sekolah semi permanen. Sejumlah 235 unit sekolah berkapasitas tiga kelas/166 sekolah dituntaskan sebelum akhir 2006. Akhir pembangunan sekolah semi permanen, SDN Bawalia di Nias, diserahterimakan secara resmi pada 26 Januari 2007. Pendekatan gedung sekolah dwi fungsi merupakan tambahan dan menawarkan keberlanjutan bagi keberadaan masyarakat setempat. UNICEF dengan giat mendukung partisipasi masyarakat guna melakukan pemilihan lokasi dan rancangan sekolah; untuk jangka panjang, perlu kepastian sekolahsekolah itu dikelola dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat setempat. Keahlian dan pengetahuan baru juga diberikan dalam mengembangkan kemampuan yang diperlukan.

66

StandarStandar Kaku
Membangun gedunggedung tahan gempa membutuhkan waktu yang lebih panjang daripada untuk membangun gedung biasa. Setiap tahap pembangunan gedung memerlukan pengawasan dari dekat dan ujicoba berkelanjutan untuk memenuhi standar. Kompetensi kontraktor setempat, yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan konstruksi, diukur terlalu tinggi, artinya identifikasi, persiapan lokasi, dan pelatihan pekerja memerlukan waktu lebih panjang daripada perkiraan semula. UNICEF tidak berkompromi dalam hal keselamatan dan kualitas lingkungan belajarnya. Namun, bila memungkinkan, sejumlah langkah diambil untuk mempercepat proses. Terbukti sulit menemukan perusahaan konstruksi dengan pengalaman cukup untuk bisa mengatasi luas lingkup dan kualitas yang diperlukan untuk membangun sekolah sekolah permanen dengan biaya bersaing. Sebagai akibatnya proses tender juga memerlukan waktu yang lebih panjang daripada yang diperkirakan. Sebagai tambahan, kurangnya tenaga kerja terlatih terhadap metode konstruksi baru berstandar tinggi, serta UNoPS yang harus melatih para pekerjanya dan menjaga hubungan baik serta proses pengawasan terus menerus, semua itu memerlukan tambahan tenaga dan keahlian.

Pada pertengahan2006, UNICEF membentuk Unit Konstruksi mereka sendiri guna mengawasi proyek pembangunan sekolah permanen. Sebagai tambahan bagi UNoPS, UNICEF mengontrak beberapa perusahaan desain dan penyelia.

Hambatan Dana
Inflasi di Indonesia, terutama di Aceh, telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Pemotongan subsidi bahan bakar menyebabkan meningkatnya harga bensin sebesar lebih dari 120 persen pada 2006. Hal ini ditambah fluktuasi nilai tukar (kontribusi donor dilakukan dalam US dollar dan pembayaran dilakukan dalam rupiah), memengaruhi anggaran UNICEF. Ketika program pembangunan sekolah dilaksanakan dan diperluas, tuntutan ketersediaan pasokan dalam industri bangunan juga meningkat. Muncul tekanan akan meningkatnya harga. UNICEF mengatasi hal ini dengan: Melakukan survei pasar untuk memastikan perolehan harga terbaik Memaksimalkan skala efisiensi guna memperoleh kemungkinan harga terbaik untuk membangun Memperhatikan harga bayar organisasi lain yang sedang membangun sekolah sekolah untuk menyamakan standar Mencari kemungkinan lain memperoleh bahan bangunan yang juga menawarkan jenis bahan yang sama bahkan dengan kualitas yang lebih baik dengan harga bersaing Membangun rancangan modul untuk mengurangi waktu merancang dan persiapan tender

Masalah Pasokan
Sejumlah besar jaringan jalan raya Aceh rusak dan sejumlah besar bagian belum diperbaiki, menyebabkan akses untuk mencapai sejumlah lokasi menjadi sulit. Mengingat materi gedung dalam jumlah besar harus didatangkan, hal ini juga menimbulkan masalah terutama di lokasilokasi yang jauh dari wilayah perkotaan, tantangan sangat besar terutama di Pulau Nias. Sebagai konsekuensi, UNoPS dan UNICEF menggunakan rancangan modul serta bahan bangunan alternatif sebagai cara lebih fleksibel untuk memenuhi persyaratan yang spesifik dan mempermudah tantangan transportasi. Karena kesulitankesulitan tak terbayangkan sebelumnya ini, UNoPS membuat modulmodul standar desain sekolah yang terdiri dari 2 hingga 3 ruang belajar untuk menyederhanakan proses pembangunan dan bisa dilakukan dengan menggunakan bahanbahan bangunan alternatif, seperti rangka baja yang ringan dan struktur penunjang dari campuran semen dan pasir untuk memudahkan transportasi bahan bahan ini ke lokasilokasi yang sulit dicapai.

Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

67

Harapan
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Harapan yang tidak bisa dikelola berkaitan dengan pembangunan sekolah dengan cepat berubah menjadi kekecewaan. Berbagai pemangku kepentingan mempertanyakan mengapa proses pembangunan memakan waktu lama. Seleksi lokasi meningkatkan harapan di dalam masyarakat. Harapan masyarakat bahwa sekolah akan bisa dibangun dalam satu malam sangat kontras dengan kenyataan bahwa ia telah lebih dari setahun berlalu sejak pemilihan lokasi pertama hingga tuntasnya pembangunan sekolah pertama. Komunikasi yang lebih baik tak hanya akan mengurangi kekecewaan tersebut, namun juga menggugah para pemangku kepentingan untuk mencari solusi.

Pemeliharaan
Tantangan yang muncul dan siap diamati adalah isu pemeliharaan. Kurangnya rasa memiliki tampak di sebagian masyarakat dan tak ada ukuran memadai yang bisa ditempatkan di dalam masyarakat dan kewenangan setempat guna memastikan adanya pemeliharaan gedunggedung tersebut. Amat dianjurkan untuk bekerja dan memberi advokasi kepada masyarakat serta pihak yang berwenang mengenai pemeliharaan dan kepemilikan dari awal, sementara proses konstruksi berjalan dan tidak menunggu hingga sekolah tuntas dan diserahterimakan.

68

United Nations Childrens Fund (UNICEF)


Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Pembentukan Kelompok Kerja Program WASH

69

PRoGRAM Water, Sanitation and Hygiene (WASH) adalah isu multisektor dengan
tanggung jawab pengerjaan yang bersandar pada sejumlah kementerian berkaitan dengan Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, dan Kantor Pemberdayaan Masyarakat. Sejak 2007, UNICEF mulai membina pemerintah dalam upaya membangun badan yang dipimpin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) bersama sejumlah departemen lain sebagai anggota. Sebelum Maret 2008, Gubernur Provinsi Aceh telah meresmikan program Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Aceh (Pokja AMPL). Sebelum penghujung 2008, program ini telah berlangsung di enam kabupaten: Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bener Meriah, Aceh Tamiang, Aceh Barat, dan Aceh Barat Daya. Beragam kegiatan telah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas para anggota guna membuat mereka memahami program pengadaan air, sanitasi, dan kebersihan berbasis masyarakat. Pelatihanpelatihan ini menyiapkan mereka dalam membuat perencanaan, koordinasi, pengawasan, dan evaluasi. Dukungan berkelanjutan dan pendekatan strategis diperlukan untuk memobilisasi kesediaan dan komitmen pemerintah dalam sektor pembangunan.

Pengantar
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Koordinasi pada sektor air, sanitasi, dan kebersihan berawal pada 2005 di masa tanggap darurat dipimpin UNICEF dan oXFAM. Tanggung jawab melakukan koordinasi saat itu diserahterimakan kepada Departemen Tenaga Kerja dan dilanjutkan BRR. Awal 2008, koordinasi diberikan kepada Bappeda provinsi dan difasilitasi BRR, UNICEF, dan sejumlah organisasi lain. Dalam fase pembangunan, penting untuk memiliki koordinasi yang baik dan perencanaan terintegrasi, karena WASH adalah tanggung jawab multisektor. Hal ini telah diamati secara global melalui intervensi di lapangan dan penelitian akademis selama beberapa tahun. tingkat pemerintah pusat, program pokja AMPL sudah diluncurkan selama beberapa tahun dan telah diperkenalkan di sejumlah provinsi dan kabupaten. Namun, program ini belum pernah diadakan di Aceh karena sejumlah alasan. Tujuan mendirikan kelompok kerja ini terutama untuk memperkuat kapasitas pemerintah setempat dalam membuat perencanaan, koordinasi, monitoring, dan evaluasi untuk mencapai MDG 2015. Contohnya, mengurangi hingga setengah dari jumlah populasi yang tidak memiliki akses terhadap pasokan air minum serta sanitasi.

70

Pembangunan dan Pelaksanaan


Pengenalan Konsep di Aceh
Di akhir 2007, UNICEF mendanai lokakarya konsultasi yang diadakan Bappeda Provinsi. Program nasional Pokja AMPL mempresentasikan tinjauan perkembangan program, hikmah ajar, kesempatan, dan kendala kepada pegawai pemerintah terkait di tingkat provinsi dan kabupaten di Aceh. Lokakarya ini juga memperkenalkan serta menyebarkan kebijakan nasional program AMPL berbasis masyarakat.

Konsultasi Teknis dan Tinjauan Konsep Dekrit


Pemerintah Provinsi Aceh telah menyatakan komitmen mereka untuk mendirikan kelompok kerja (Pokja) WASH. Divisi infrastruktur Bappeda menyiapkan konsep dekrit bagi Pokja ini dan membagi gagasan tersebut ke dalam 14 dinas terkait di tingkat provinsi. Pada awal 2008, UNICEF diundang untuk kembali mempresentasikan strategi koordinasi, perkembangan, dan pengembangan kapasitas kelompok tersebut, yang kemudian diikuti diskusi usulan dekrit.

Pengesahan Dekrit dan Asosiasi di Tingkat Kabupaten


Dekrit gubernur untuk mendirikan AMPL pada tingkat provinsi ditandatangani secara resmi pada 31 Maret 2008. Dokumen tersebut dipresentasikan kepada anggota Pokja AMPL di tingkat provinsi dan kepada mitra organisasi nonpemerintah yang bekerja pada area air dan sanitasi.

Fungsi utama Pokja WASH adalah bertindak selaku koordinator bagi sektor pembangunan air, sanitasi, dan kebersihan. Kelompok koordinasi WASH memiliki sejumlah fungsi antara lain: (a) pemberdayaan masyarakat dan pengembangan organisasi; (b) kesehatan, kebersihan, dan sanitasi; (c) penyediaan air minum dan fasilitas infrastruktur; (d) pengembangan penghasilan dan produktivitas masyarakat pedesaan; dan (e) pengelolaan komponen proyek di area air, sanitasi, dan kebersihan. Dekrit gubernur bagi pembentukan Pokja WASH di Provinsi Aceh diresmikan pada 12 Juni 2008 oleh Gubernur Aceh, didukung GTZ, BRR, dan UNICEF. Lebih dari 80 partisipan tingkat provinsi dan kabupaten menghadiri pelatihan, termasuk Wali Kota Banda Aceh dan Bupati Aceh Barat, serta perwakilan lain dari kabupaten. Sebagai hasil sosialisasi, pemerintah kabupaten membentuk Pokja WASH di kabupaten masingmasing. Secara keseluruhan kini terdapat tujuh Pokja WASH di Aceh.

Perkenalan Kelompok Kerja Kepada Program Berbasis Masyarakat WASH


Pada pertengahan Agustus 2008, 12 pegawai pemerintah dari Bappeda, Dinas Kesehatan Provinsi, Kantor Gubernur, Departemen Pertambangan, dan Kantor Pemberdayan Masyarakat diperkenalkan pada proyek penyediaan air yang berhasil di Nagan Raya, dengan tujuan meningkatkan kapasitas pemerintah dalam proyek pengadaan air berbasis masyarakat di kawasan pedesaan. Mereka diperkenalkan kepada pengelolaan keuangan di proyekproyek pengadaan air berbasis masyarakat, mobilisasi dan partisipasi masyarakat, mekanisme operasi dan pemeliharaan, serta peran pemerintah dalam proyek berbasis masyarakat.

Pelatihan Perencanaan Strategis dan Manfaatnya


Sebagai bagian dari komitmen pemerintah terhadap proyek WASH, pada 1721 November, Bappeda Provinsi Aceh didukung UNICEF mengadakan pelatihan perencanaan strategis bagi pemerintah tingkat provinsi dan lima kabupaten lain. Pelatihan ini dihadiri wakilwakil Bappeda, Dinas Kesehatan Provinsi, Departemen Tenaga Kerja, Kantor Pemberdayaan Masyarakat, Perusahaan Air milik negara dan Departemen Lingkungan Hidup, dan Departemen Pendidikan.

Bagian 2. Infrastruktur dan Pemeliharaan

Pokja WASH dikoordinasi Bappeda tingkat provinsi sebagai departemen yang mengetuai koordinasi, perencanaan, pengawasan, dan evaluasi di Provinsi Aceh, serta melapor langsung ke Gubernur Aceh. Lebih dari 13 badan pemerintah tercatat sebagai anggota Pokja ini termasuk Departemen Kesejahteraan Rakyat, Departemen Komunikasi dan Informasi, Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga kerja, Departemen Pendidikan, Kantor Gubernur, Kantor Pemberdayaan Masyarakat, Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Lingkungan Hidup, dan Asosiasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Provinsi Aceh.

71

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Delapan belas usulan diajukan sepanjang pelatihan termasuk survei awal mengenai kondisi air, sanitasi, dan kebersihan di provinsi, pengembangan perencanan bagi proyek pengadaan air, sanitasi, dan kebersihan untuk sekolah dan pengadaan fasilitator WASH di tingkat desa. Bagi setiap usulan, ada sejumlah kegiatan yang diajukan sepanjang periode 20092013 untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals, MDG) 2015 di wilayah WASH.

Hikmah Ajar
Pertama, komitmen pemerintah dalam memimpin pengembangan program WASH melalui AMPL sangat penting. Pemerintah memiliki otoritas dan kekuasaan penuh untuk mengendalikan dan mengawasi pembangunan WASH di provinsi. Kedua, perencanaan strategis pemerintah di lokasi WASH harus tersedia. Perencanaan strategis harus dirancang berdasarkan kondisi Provinsi Aceh, didukung survei awal mengenai WASH dan dibangun secara sistimatis untuk mencapai target MDG sebelum 2015, baik di sekolahsekolah maupun masyarakat. Ketiga, beragam departemen pemerintah perlu untuk berbagi informasi dan bekerja sama. Sejumlah badan pemerintah yang terlibat di WASH termasuk yang ada di sektor sekolah, karena itu kesediaan untuk berkoordinasi dan bekerja sama amat penting. Keempat, alokasi dana pemerintah untuk WASH harus ditingkatkan. Hal ini akan menjawab keprihatinan terkait air, sanitasi, dan kebersihan di masyarakat dan sekolah sekolah. Koordinasi juga harus melibatkan LSM serta partisipan lain dalam upaya menjawab keprihatinan soal WASH di kalangan masyarakat. Kelima, untuk mencapai MDG 2015, pemerintah Provinsi Aceh tidak bisa bersandar semata pada alokasi anggaran pemerintah. Tanpa keterlibatan serta partisipasi publik, target MDG 2015 di sektor WASH tak akan tercapai.

72

Ekonomi dan Usaha


ERAT kaitannya dengan rekonstruksi pada sektor perumahan, permukiman, dan prasarana, sektor ini difokuskan pada pengembangan mata pencarian. Meski ekonomi makro tetap menjadi prakarsa pembangunan berjangka panjang, dalam jangka pendek pemampuan para penerima manfaat sangat penting. Tujuannya adalah agar hidup keluarga mereka, dan pada akhirnya masyarakat, terjaga kelangsungannya. Jika digabungkan dengan program prasarana berskala kecil dan penyediaan keuangan mikro, banyak dari tujuan ini yang telah tercapai, seperti dipaparkan di dalam 10 studi kasus yang tercatat pada sektor ini. Dari studistudi kasus ini7 dicetak dan 3 di dalam CD Seri Buku BRR sebuah perspektif mengenai dukungan terhadap usahausaha kecil dan menengah disediakan.

Sebagian besar masyarakat kini sudah memiliki tempat usaha dan modal kerja, seperti tampak pada aktifitas rumahtoko di Pasar Singkil, Aceh Singkil, 20 Desember 2008, ini. Kebangkitan berwirausaha, tak semuanya merupakan hasil dari bantuan langsung, terkadang malah merupakan dampak berganda (multiplier effect). Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Ekonomi dan Usaha

75

Forum Bangun Aceh (FBA)

76

Mewujudkan Pembangunan Masyarakat yang Berkesinambungan Melalui Kredit Mikro

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

PENERAPAN program kredit mikro pascabencana menuai banyak tantangan,


termasuk banyaknya hibah yang tersedia melalui LSM lain. Meski demikian, pengalaman LSM lokal Forum Bangun Aceh (FBA) membuktikan efektivitas kredit mikro dalam membantu rakyat membangun kembali usaha mereka dan membangun masyarakat. Keberhasilan ini berawal dari perubahan pendekatan dari modalitas dukungan ke dana rotasi, dan ikut sertanya masyarakat setempat menyeleksi pelamar peminjam dan mengatasi masalah kegagalan pembayaran kembali. FBA melihat kesinambungan program sebagai prioritas untuk pengembangan masyarakat. Sampai saat ini, 900 usaha mikro di Aceh telah menerima manfaat dari program kredit mikro FBA.

Pengantar
Pengalaman FBA dalam kredit mikro menunjukkan tanggapan kemanusiaan sebuah LSM lokal yang kecil saat bencana terjadi dan bagaimana FBA menyesuaikan programnya untuk mengakomodasi kebutuhan dan harapan masyarakat yang makin meningkat. Program tersebut tidak saja menolong masyarakat membangun kembali usaha mereka tetapi memberikan dampak sangat besar terhadap pengembangan masyarakat di Aceh. Sifat program jangka panjang yang berkesinambungan menjadi prioritas utama. FBA dibentuk sebagai reaksi spontan untuk berbuat sesuatu bagi penyintas bencana tsunami pada Desember 2004. Azwar Hasan, pemuda Banda Aceh yang tinggal di

community has their s seen in a shop the Singkil Market, , December 20, 2008. to focusing on rural evelopment, the ecovery revitalized small n large and small cities. Arif Ariadi

Jakarta ketika tsunami terjadi, langsung pulang ke kampung halaman untuk menjenguk keluarganya. Terkesiap oleh besarnya jumlah korban dan parahnya tingkat kerusakan, Azwar bertekad menemukan cara untuk memberikan bantuan secepat mungkin. Azwar menghubungi sepuluh orang kawannya di Jakarta untuk datang ke Banda Aceh dan tinggal bersama para penyintas tsunami serta membawakan barangbarang untuk kebutuhan para penyintas. Ia kemudian menghubungi sepuluh teman lagi dan memulai pendekatan perorangan sampai hari ini tetap menjadi dasar kerja FBA. Dengan kontribusi awal sebesar US$ 1.000, FBA membeli sebuah becak motor untuk Syarwan, seorang penyintas yang tinggal di sebuah gubuk yang dibuat dari reruntuhan bangunan, dan setiap hari bergumul dengan lumpur untuk mencari sesuatu guna menafkahi enam orang anggota keluarganya. Dengan becak untuk mencari nafkah, Syarwan dapat menghidupi diri dan keluarganya lagi, serta dalam tempo sebulan Syarwan membayar kembali sebesar US$50 ke Azwar, supaya bisa menolong orang lain, sebuah sikap yang mengesankan mengingat Syarwan masih berjuang untuk menghidupi keluarganya. Tak lama kemudian bantuan dana berdatangan dari organisasi internasional dan pendonor individu yang memungkinkan pendekatan perorangan dilembagakan menjadi sebuah organisasi bernama Forum Bangun Aceh. FBA memprioritaskan kesinambungan keuangan untuk memastikan keberlangsungan program jangka panjang. Keberhasilan ini menunjukkan, FBA mampu menyalurkan program kredit mikro secara efektif.

Garis Besar Program: Kredit Mikro dalam Praktek terbaiknya


FBA dimulai dari kelompok kecil kawankawan Azwar yang bermingguminggu tinggal dan bekerja di dalam masyarakat pascatsunami. Setiap minggu, kelompok sukarelawan yang penuh dedikasi ini bertemu untuk mendiskusikan prioritas dan kebutuhan penyintas. Dana yang berasal dari individu dan organisasi dipakai untuk membeli aset atau barang, agar pengusaha memulai kembali usaha skala kecil mereka, sehingga upaya dapat segera dijalankan untuk mengembalikan situasi normal dan penyintas mempunyai nafkah lagi. Cara bersahaja ini memungkinkan bantuan perorangan dengan segera tanpa birokrasi dan formalitas yang biasanya terdapat pada proyek pemulihan kemanusiaan berskala besar. Dari harihari pertama sampai sekarang, misi dan struktur FBA mencerminkan keyakinan bahwa masyarakat sendirilah yang paling mengetahui kebutuhan mereka untuk memperbaiki kehidupan mereka. Pengusaha dan pegawai di Aceh telah menunjukkan minat dan kebutuhan yang besar untuk memperbaiki mata pencarian mereka dan menjadi mandiri, FBA menolong mereka mewujudkan hal ini.

Bagian 3. Ekonomi dan Usaha

77

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Setelah menolong banyak pengusaha kecil, nyata bahwa kebutuhan mereka sangat banyak karena tak habishabisnya orang datang meminta bantuan dari para sukarelawan FBA. Pada tahap awal, FBA adalah satu dari sedikit kelompok dalam masyarakat yang memberi dukungan usaha dalam jumlah kecil dengan segera, sehingga penyintas dapat menafkahi keluarganya dan masyarakat. Ketika Syarwan dengan senang hati membayar angsuran pertama sebesar $50, nyata bahwa rakyat sebenarnya ingin saling menolong karena pengembalian hutang itu dapat digunakan untuk menolong yang lain. Pada saat inilah Azwar memutuskan mengubah cara kerja dari pemberian hibah ke dana rotasi, yang memungkinkan dana bantuan menciptakan kesinambungan mata pencarian bagi masyarakat Aceh. FBA secara resmi berdiri pada Maret 2005, fokusnya adalah membangun Aceh dari dalam, selangkah demi selangkah, FBA sangat yakin bahwa sesuatu yang kecil mampu membuat perbedaan. Berhadapan dengan dahsyatnya tsunami, kesadaran bahwa sumbangan kecil mampu berbuat banyak, terus menyemangati FBA. Dana rotasi kemudian dikembangkan, mensyaratkan penerima manfaat untuk membayar kembali pinjaman mereka tanpa bunga, sehingga dana bantuan tersebut dapat diberikan kepada pengusaha kecil lain. Pendekatan ini menarik pengusaha pengusaha kecil yang serius dan terdorong untuk menjalankan dan mempertahankan usaha mikro mereka, karena persyaratan tersebut memicu rasa tanggungjawab mereka. Penekanan program tetap pada pemulihan usaha kecil dan FBA membantu sebanyak mungkin pengusaha kecil yang dapat memberikan bukti bahwa mereka benar mempunyai usaha dengan pasar tetap, dan usaha yang dijalani berguna bagi masyarakat, keluarga, dan/atau orang yang menggantungkan hidup pada mereka. Walaupun pinjaman segera diberikan, meski tanpa rujukan profil lengkap dari pengusaha, sebagai akibat perubahan yang cepat, situasi beberapa klien berubah. Beberapa pindah ke rumah permanen yang jauh dari tempat usaha mereka, berganti usaha dan/atau menutup usahanya karena hutang yang bertambah, dan ada penerima manfaat yang tidak mau atau tidak dapat membayar kembali hutang mereka. Pada 2007, FBA mengganti fokus perhatiannya dari pemulihan usaha kecil ke pengembangan ekonomi berkesinambungan. FBA mengharuskan rujukan profil lengkap dari calon peminjam, menetapkan bunga rendah terhadap pinjaman mikro yang berasal dari dana rotasi, dan memberi dukungan pengembangan bagi pengusaha kecil termasuk pelatihan untuk usaha kecil, dukungan saran terkait akses pasar, dan penguatan motivasi bulanan melalui Motivator Lokal (ML) yang ditempatkan di daerah. Hal ini memungkinkan FBA memperbaiki programnya dan menarik hanya pengusaha kecil yang serius, yang punya motivasi dan dorongan untuk melakukan usaha yang berhasil, memberikan dampak pada pendapatan yang lebih baik untuk mereka sendiri dan stabilitas ekonomi masyarakat.

78

Melalui monitoring dan evaluasi, FBA memodifikasi proses seleksi kredit mikro, sehingga risiko yang ada berkurang. Dengan pengembalian dana ke dana rotasi, pinjaman untuk usaha mikro yang lain terjamin. Sekarang, seorang pengusaha yang ingin mendirikan atau memperluas usaha kecil mereka, datang ke FBA dengan membawa proposal berisi kebutuhan usahanya. Setelah disetujui, FBA membeli aset yang diperlukan. Jadwal pembayaran kembali dan besarnya bunga disetujui sesuai skala usaha, besaran pinjaman, dan periode pinjaman. Sesudah masa tenggang dua bulan, pemilik mencicil pengembalian setiap bulan ke FBA melalui ML di daerahnya, dan pembayaran tersebut masuk lagi ke dana rotasi sehingga uang tersebut dapat digunakan untuk peminjam berikutnya. FBA mendukung dan memantau usaha mikro tersebut setiap bulan sampai akhir periode pinjaman. Strategi ini memastikan usaha kecil berjalan sesuai dengan perjanjian dan mengurangi risiko usaha seperti kebangkrutan. Sampai Desember 2008, FBA telah membantu lebih dari 900 usaha kecil dan menengah di wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara; dan dengan bangga melaporkan bahwa 30 persen dari dana pinjaman telah membantu pengusaha perempuan.

Foto:Dokumentasi FBA

Bagian 3. Ekonomi dan Usaha

79

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

FBA mempromosikan pertumbuhan dan mendorong pengusaha kecil untuk memanfaatkan pinjaman berjenjang ketika usaha kecil mereka berkembang, dengan tiap pinjaman lebih besar dari yang sebelumnya. Pendekatan ini mendukung pertumbuhan dan kesinambungan usaha jangka panjang dengan kemungkinan memperkerjakan anggota keluarga atau anggota masyarakat mereka. Hasil monitoring dan evaluasi bulanan menjadi dasar bagi usaha kecil untuk meminta pinjaman kedua. FBA sudah memakai dana rotasi untuk mencairkan pinjaman kedua atau ketiga kepada pengusaha kecil yang memenuhi persyaratan pembayaran kembali, menerapkan tata buku, dan prosedur usaha kecil, serta telah menunjukkan arah dan pertumbuhan usaha mikro mereka.

80

Masalah dan Tantangan


Model kredit mikro FBA menghadapi tantangan dari dana bantuan yang dibagikan LSM lain. Pada awalnya calon klien FBA beralih ke LSM yang memberikan dana bantuan. Tetapi, kesinambungan dana bantuan tersebut sekarang dipertanyakan ketika pendanaan habis. oleh karenanya, konsistensi dan kesinambungan merupakan isu penting dalam mengelola kredit mikro. Soal lain yang dihadapi adalah gagalnya pembayaran kembali oleh klien dan pemakaian kredit mikro untuk tujuantujuan tidak produktif seperti untuk pemenuhan kebutuhan seharihari. Masalah ini pada awalnya mengancam kesinambungan program FBA. FBA meminimalkan kegagalan pembayaran kembali dengan memperkenalkan Motivator Lokal (ML) serta memonitor dan mengevaluasi kinerja penerima kredit mikro secara berkala. Lebih lanjut, FBA juga melakukan pelatihan untuk mengembangkan kapasitas SDM para ML dan klien. Strategi ini tidak saja mengurangi kegagalan pembayaran kembali, tetapi juga memperkuat modal sosial, yang memberi dampak nyata pada pembangunan masyarakat.

Analisis
Hikmah ajar pertama yang dapat dipetik adalah sesuatu yang kecil mampu membuat perbedaan. Dana bantuan yang diterima para individu dan organisasi diberikan langsung dalam bentuk materi dan aset ke pengusaha kecil yang perlu bantuan segera. Pendekatan perorangan memungkinkan dana bantuan diberikan dalam wujud peralatan yang diperlukan atau produkproduk untuk menghidupkan dan menjalankan usaha. Ini juga sangat mengurangi kemungkinan pemfaatan uang yang tidak pada tempatnya.

Ketika penerima dana bantuan berinisiatif membayar kembali aset tersebut ke FBA supaya anggota lain bisa terbantu, FBA memutuskan untuk bekerja dengan siseim dana rotasi agar dapat membantu lebih banyak orang. Dengan bekerja sama dan mendengarkan masyarakat, disimpulkan bahwa dana bantuan tidak selalu menjawab permasalahan, terutama dalam menciptakan ekonomi yang berkesinambungan.
Bagian 3. Ekonomi dan Usaha

Pada 20052006, FBA memfokuskan diri pada pemulihan usaha kecil, sehingga pemeriksaan atas rujukan profil peminjam tidak dilakukan dengan teliti, akibatnya terdapat beberapa usaha kecil yang tidak berhasil atau bertahan yang berarti pembayaran kembali tidak masuk ke dana rotasi. Lewat monitoring dan evaluasi yang teratur melalui ML yang ditempatkan di daerah, FBA memodifikasi proses seleksi kredit mikro sehingga mengurangi risiko kegagalan secara drastis dan memastikan dana mereka masuk kembali ke dana rotasi. Program kredit mikro FBA sangat sederhana dan merupakan program yang efektif untuk mendorong rakyat Aceh membangun dari dalam melalui praktikpraktik ekonomi mikro yang berkesinambungan. Program ini tidak saja menolong rakyat untuk membangun kembali usaha mereka, tetapi juga sangat berdampak pada pembangunan masyarakat setempat.

81

Kesimpulan
Program kredit mikro FBA berjalan karena konsistensi dan manajemen yang tepat. Lebih lanjut, dengan memastikan kesinambungan keuangan, program keuangan mikro mempunyai dampak lebih luas dalam arti jangkauannya, sehingga FBA dapat tetap fokus pada masalah kesejahteraan sosial. Kesinambungan keuangan, jangkauan, dan kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama dari pengembangan keuangan mikro.

Humanistisch Instituut voor Ontwikkelingssamenwerking (Hivos)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

82

Merajut Kesinambungan Kehidupan Melalui Pengembangan Teknologi Terapan Pedesaan Institut JINGKI, Lhokseumawe

LANGKANYA ketersediaan teknologi yang prokaum papa mengakibatkan


terbatasnya kesempatan masyarakat dalam memanfaatkan kekayaan alam di Aceh Utara. Institut JINGKI memperkenalkan dua program utama untuk pemulihan mata pencarian di Aceh Utara melalui teknologi terapan pertanian: program asap cair di sebuah desa nelayan dan produksi pakan skala kecil untuk peternakan ayam. Di desa Bangka Jaya, ikanikan diawetkan dengan zatzat kimia seperti formalin dan natrium benzoat. Bahanbahan kimia tersebut banyak dipakai pada makanan seperti mi, tempe, dan bakso karena praktis dan mudah didapat. Kebanyakan nelayan tidak sadar bahwa pengawetan dengan bahan kimia berdampak buruk pada kesehatan, sedangkan pengawet alami tidak ada di pasar. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bernama Institut JINGKI, dengan dukungan Hivos, bermaksud memulihkan kehidupan masyarakat melalui pengembangan teknologi terapan pedesaan dengan memperkenalkan produksi asap cair di desa Bangka Jaya. Asap cair adalah pengawet alami yang dapat menggantikan formalin. Asap cair dibuat dari batok kelapa yang dibakar pada temperatur tinggi kemudian dikondensasi. Bahan ini dapat digunakan sebagai pengawet alami untuk makanan dan ikan. Penerima manfaat dapat menggunakan asap cair untuk mengawetkan ikan mereka sendiri atau dijual untuk menambah penghasilan. Asap cair juga dapat digunakan untuk membekukan karet. JINGKI bekerja sama dengan para pemuda masyarakat nelayan di desa Bangka Jaya. Mereka berpartisipasi dalam program ini karena alasanalasan seperti

kekurangan modal, keahlian, dan akses informasi, serta ketergantungan pada teknologi padat modal. Desa lain di mana JINGKI beroperasi adalah desa Paloh Raya di Aceh Utara. Banyak penduduk di desa ini bekerja sebagai peternak ayam tradisional. Mereka bertahuntahun menggantungkan hidup dengan memroses pakan ternak ayam. Dalam studi tentang kebutuhan daging ayam di Aceh bagian utara, JINGKI menemukan bahwa permintaan daging ayam di sepuluh pasar adalah sebanyak 1.650 ayam (3.300 kg), suatu angka yang tidak dapat dipenuhi para peternak ayam tradisional karena keterbatasan akan pengetahuan dan teknologi.

Programprogram
JINGKI menyusun program untuk mendukung mata pencarian dengan menerapkan teknologi pedesaan yang menggunakan bahan mentah guna mengembangkan produk. Untuk melaksanakan program ini, Institut JINGKI bekerja sama dengan LSM Belanda Hivos pada periode Meioktober 2007 yang kemudian diperpanjang sampai Desember 2007. Proyek ini bertujuan memberi prioritas kepada penerima manfaat untuk mengembangkan teknologi terapan guna memastikan kemandirian mereka dengan memakai bahan mentah secara berkesinambungan dan mendirikan pusat studi dan aplikasi dari teknologi terapan di Aceh Utara. Terdapat tiga subprogram yang diterapkan, yaitu produksi asap cair, produksi pakan ternak dalam skala kecil, dan penerbitan buletin tentang teknologi pedesaan. Pada program asap cair, didirikan sebuah kelompok masyarakat bernama JALA yang terdiri dari tiga anggota perempuan dan 13 anggota pria. Kelompok ini dibekali pembinaan dan fasilitas teknis. Dua staf JINGKI melakukan kunjungan lapangan ke Yogyakarta untuk meninjau pusat penghasil kelapa dan membangun jaringan serta mempelajari produksi asap cair dari kelapa dan pemakaiannya dalam pengawetan makanan. Pengetahuan yang diperoleh disebarluaskan kepada kelompok masyarakat JALA dalam produksi pembuatan asap cair. Dalam program produksi skala kecil, sebuah kelompok masyarakat untuk produksi pakan ternak ayam bernama Ikat Hatee yang terdiri dari 10 wanita dan 15 pria didirikan dan didukung dengan bantuan teknik. Kelompok ini siap memproduksi pakan ternak ayam. Tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan penduduk desa Paloh Raya. Potensi pasar untuk pakan ternak ayam di Aceh Utara mampu memberi kesempatan pada usaha berskala kecil untuk meningkatkan produksi dan pendapatan mereka. Sementara itu, tiga edisi buletin teknologi pedesaan Su JINGKI diterbitkan antara Juli dan Desember 2007. Selain artikelartikel tentang teknologi terapan pedesaan, isuisu yang juga dibahas pada penerbitan berikutnya adalah produksi asap cair dan pengalaman penerima manfaat dalam proyek asap cair mereka dengan Hivos. Setiap edisi dicetak 500 buletin untuk disebarkan ke kantorkantor pemerintah daerah di Aceh Utara, LSM lokal, LSM internasional, universitas, dan individu.

Bagian 3. Ekonomi dan Usaha

83

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Beberapa program sedang dalam tahap penggodokan, antara lain, bahan bakar nabati (biofuel), biogas, peternakan terpadu, pertanian organik, dan produksi briket batok kelapa. Seorang periset bioethanol dari Institut JINGKI mengikuti pelatihan tentang produksi dan pengelolaan energi bioethanol di Pusat Riset Surfactant dan BioEnergy di Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Setelah itu mereka mengadakan workshop untuk koperasi petani terpadu di Cisarua, agar mereka dapat belajar tentang peternakan terpadu berbasis masyarakat, biogas, dan pengelolaan pertanian organik.

Kendala Waktu
Pendekatan terpadu dipilih Hivos dalam melaksanakan program melalui dana pinjaman dan penawaran bantuan teknis intensif. Hal ini mencerminkan banyaknya waktu, tenaga, dan usaha yang dicurahkan untuk memastikan tercapainya hasil yang diinginkan. Pinjaman dengan masa tenggang delapan bulan ternyata terlalu pendek bagi program JINGKI, sehingga tidak cukup efektif. Karena itu intervensi serupa di masa mendatang seharusnya memastikan waktu yang cukup dan sumber daya manusia yang memadai, yang pada gilirannya akan membuat program berkesinambungan bagi mitra dan penerima manfaat. Terbatasnya jangka waktu peminjaman dan bidang pekerjaan dengan teknologi terapan yang masih terhitung baru bagi para mitra dapat menyebabkan terganggunya kesinambungan program. Kompetensi mitra yang minim dalam menyusun intervensi intervensi strategis untuk memastikan dukungan jangka panjang juga mempertinggi tingkat risiko. Para mitra lokal juga perlu mendesain intervensi yang tepat serta menyediakan dana bantuan bagi programprogram jangka panjang (setidaknya pada periode dua sampai lima tahun). Hal ini membutuhkan penguatan organisasi di bidang pertanian dan pembangunan pedesaan, termasuk aspekaspek teknisnya. Perlunya mengalokasikan lebih banyak waktu untuk mendesain dan melaksanakan proyekproyek mitra juga terkait kenyataan bahwa mitra maupun penerima manfaat yang ditargetkan masih asing terhadap penggunaan teknologi yang diperkenalkan staf ahli Hivos. Waktu yang cukup harus dialokasikan untuk, setahap demi setahap, memperkenalkan teknologi tersebut dan menanamkan kesadaran bahwa keberhasilan tidak bisa diperoleh dalam semalam.

84

Pendekatan Terpadu dan Kompetensi organisasi


Beberapa proyek teknologi terapan pedesaan yang diterapkan JINGKI di desadesa di Aceh Utara berdampak positif bagi penerima manfaat maupun JINGKI sendiri. Di kalangan mitra, bersama pusat informasi setempat JINGKI memfasilitasi penggunaan teknologi terapan pedesaan oleh pengusaha kecil dan pelatihan komunitas untuk membuka usaha kecil secara efektif. Hal ini membuka kesempatan bagi JINGKI untuk mempromosikan penggunaan teknologi terapan pedesaan. Upaya lain adalah mengubah cara berpikir penerima manfaat tentang penggunaan teknologi terapan pedesaan dengan memanfaatkan SDM setempat untuk memperbaiki mata pencarian dan meningkatkan pendapatan keluarga dan masyarakat. Terlebih lagi, penerima manfaat memperoleh tambahan pengetahuan dan keahlian dalam teknologi terapan pedesaan yang dapat mereka sebarluaskan kepada masyarakat luas. Terdapat tantangan dalam pendekatan terpadu dan kompetensi organisasi yang membuat program kurang efektif. Meski panjangnya waktu yang tersedia untuk menyiiapkan proyek termasuk penelitian lapangan sesuai dengan tema proyek serta pencarian mitra yang potensial, masih terdapat kendala terkait kurangnya ketelitian dalam melakukan seleksi penerima manfaat. Hal ini terkait kurangnya perhatian yang diberikan pada analisis mendalam dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik pada situasi geografis daerah target dan lemahnya analisis risiko potensial dalam pelaksanaan proyek di tingkat mitra. Di masa mendatang, hal ini harus diperhatikan dengan memastikan penelitian lebih mendalam. Kesenjangan juga ditemui pada aspekaspek yang berhubungan dengan pengelolaan organisasi dan siklus pengelolaan program. Agar mitra lokal dapat menjalankan peran sebagai bagian dari proses rekonstruksi Aceh, programprogram mendatang harus memperhitungkan perlunya memperkuat kompetensi mitra. Dengan memerhatikan hal ini, program bantuan serupa di masa mendatang akan lebih bermanfaat untuk penguatan masyarakat madani di Aceh. Waktu, dana, tenaga, dan kesabaran diperlukan untuk mewujudkan harapan JINGKI membuat teknologi bagi kaum terpinggirkan. Misalnya, mengembangkan teknologi terapan pedesaan dengan memberikan dana bantuan bagi organisasi lokal digabung dengan bantuan teknis untuk memperkuat kompetensi mitra yang sudah diseleksi. Pendekatan yang sudah dilaksanakan Hivos dapat diterapkan organisasiorganisasi lain ke dalam aktivitas pemulihan dan rehabilitasi mereka.
Bagian 3. Ekonomi dan Usaha

85

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

86

Memperkuat Kaum Miskin Melalui Lembaga Kredit Mikro Berbasis Kelompok

Penambahan pendapatan melalui lembaga kredit mikro adalah sebuah solusi dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Dengan menggunakan strategi berbasis kelompok, LoGICA membantu kelompok kaum papa dan perempuan untuk mendaftarkan diri sendiri ke dalam lembaga kredit mikro, sehingga dapat memulai usaha kecil. Studi kasus ini membahas keberhasilan upaya individu untuk memulai dan mejalankan lembaga kredit mikro mereka sendiri. Kemandirian dan kepercayaan antarsesama merupakan faktor inti keberhasilan ini.

Latar Belakang
Penghidupan kembali ekonomi pascatsunami sangatl penting untuk memperbaiki kualitas kehidupan, khususnya bagi kelompokkelompok yang rapuh secara ekonomi, misalnya kaum papa dan perempuan. Pendekatan yang biasa dilakukan para donor, LSM, dan badanbadan pembangunan untuk menggiatkan kembali kehidupan ekonomi dan menciptakan berbagai lapangan pekerjaan adalah dalam bentukbentuk program penambahan pendapatan, di mana, program kredit mikro terbukti sebagai bentuk paling digemari dan diterima karena dianggap cocok untuk kelompok dengan pendapatan rendah di dalam masyarakat termasuk kaum perempuan. Pada masa pascatsunami, kaum perempuan Aceh terpaksa menanggung bagian terbesar dari beban ekonomi, terutama dalam rumah tangga: biaya sekolah, layanan kesehatan, segala keperluan seharihari, serta tanggung jawab lain. Untuk membiayai

keluarga, banyak perempuan bekerja sebagai buruh tani atau kuli harian. Terlihat kebutuhan nyata bagi kaum perempuan untuk menghasilkan pendapatan lebih besar dari yang biasa mereka dapatkan pada sektorsektor ini. Secara keseluruhan, tidak mudah bagi kaum perempuan mendapatkan pinjaman dan sumber keuangan lain untuk memulai usaha mereka sendiri. Kaum perempuan biasanya hanya memiliki sedikit (atau bahkan tidak sama sekali) jaminan seperti didefinisikan praktik bank pada umumnya, dan bank serta lembaga keuangan lain secara tradisional mendiskriminasikan peminjaman untuk kaum perempuan karena dianggap berisiko tinggi. Hal ini menghalangi kaum perempuan memperoleh kredit. Di bawah keadaan seperti ini, kaum perempuan (dan lakilaki yang berada dalam situasi yang sama, umumnya kaum papa) biasanya bergantung pada sumber keuangan lain seperti para lintah darat (yang mengambil bunga jauh lebih tinggi dari umumnya), keluarga, atau subsidi pemerintah bila ada. Maka, usaha para perempuan dan kaum papa memiliki risiko kegagalan lebih besar akibat kurangnya sumber dana. Karena itu, para pengusaha ini jarang sekali berhasil dalam memecahkan lingkaran kemiskinan. LoGICA diberi mandat mengembangkan program kredit mikro yang secara spesifik membantu kaum perempuan dan kaum papa.

Apa yang Terjadi dan Mengapa Hal ini Penting?


LoGICA memulai inisiatif kredit mikro pada tiga kabupaten yakni Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Proses dimulai dengan melaksanakan pertemuan masyarakat yang difasilitasi Fasilitator Desa dari LoGICA. Kaum perempuan dan kaum papa turut diundang. Dalam pertemuan ini, para peserta didorong membentuk sebuah lembaga kredit mikro. Setelah para peserta setuju, disusun rencana aksi yang terdiri dari butirbutir yang telah ditetapkan dan disetujui bersama oleh para anggota kelompok: (1) tiap anggota harus menyimpan sejumlah uang dalam rekening individual; (2) semua anggota harus terlebih dahulu menunjukkan mereka mampu menabung sebelum akhirnya mendapatkan akses pada pinjaman dari lembaga; (3) semua anggota bertanggung jawab atas pengelolaan aktivitas kelompok. Sesuai tiga peraturan ini, para anggota hanya dapat melakukan peminjaman bila mereka mencapai jumlah minimum simpanan yang telah disepakati. Besarnya pinjaman individual ditetapkan oleh kelompok peminjam itu sendiri, dengan tetap berpegang pada modal yang tersedia dalam lembaga. Karena itu, besarnya pinjaman divariasikan berdasarkan penilaian kelompok atas kebutuhan peminjam dan kemampuan membayar kembali. Tenggat waktu peminjaman berkisar antara satu hingga maksimal sepuluh bulan, sebagai gantinya, para anggota lain dapat meminjam dana yang kembali secara bergantian. Penetapan suku bunga dan pembagian hasil ditentukan bersama. Walaupun difasilitasi dengan pegawai LoGICA dan koperasi setempat, pada akhirnya kelompok peminjam tetap bertanggung jawab dalam menentukan prosedur dan prinsip dasar mereka.

Bagian 3. Ekonomi dan Usaha

87

Tiap lembaga kredit mikro mengadakan pertemuan tahunan, di mana semua anggota berkumpul untuk mendengarkan laporan Komite Eksekutif perihal kinerja lembaga dan pengumuman keuntungan untuk dibagikan kepada seluruh anggota. Kesempatan ini juga digunakan para anggota untuk memilih Komite Eksekutif periode berikutnya.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Menurut pengalaman LoGICA, kebanyakan lembaga kredit mikro ini tumbuh pesat. Kemajuan lembagalembaga tersebut menarik perhatian masyarakat sejalan dengan semakin luasnya jangkauan dan baiknya kinerja yang ditunjukkan. LoGICA membantu lembaga yang dikelola dengan baik untuk mendapatkan kepastian hukum dari Dinas Koperasi. Dengan memperoleh status sah dari Koperasi Daerah, lembagalembaga ini memenuhi syarat untuk mendapatkan berbagai sumber dan/atau membangun kerja sama dengan lembaga keuangan lain seperti Permodalan Nasional Madani dan donor lain serta dapat menggunakan sumbersumber tersebut untuk bertumbuhkembang. Pada Desember 2008, terdapat dua belas lembaga kreditmikro, tujuh di antaranya telah terdaftar secara hukum sebagai koperasi, melayani lebih dari 800 rumah tangga miskin dalam 21 desa kurang berkembang di seluruh wilayah Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Dari tujuh lembaga yang terdaftar, empat di antaranya lembaga keuangan mikro untuk perempuan dan tiga lainnya koperasi untuk perempuan. Kini, modal total dalam perputaran tiap bulan mencapai Rp 75 juta dengan tingkat kegagalan 10%.

88

Tantangan
Lembagalembaga kredit mikro berbasis kelompok harus berkonfrontasi dan menangani sejumlah tantangan dalam mencapai pertumbuhan yang mengesankan: 1. Pertumbuhan yang lamban dan terbatasnya dana kredit. Karena usaha mikro secara keseluruhan bergantung pada dana internal, lembagalembaga kredit mikro dengan jumlah anggota yang lebih sedikit dan usaha yang lebih kecil sering kali memiliki modal terbatas (simpanan) untuk diberikan. Hal ini menuntun pada berlanjutnya tingkat pertumbuhan yang rendah dan perputaran keuangan dalam lembaga kredit mikro, membatasi kapasitas usaha para anggota, dan karena itu, juga membatasi lembaga kredit mikro untuk berkembang. 2. Pasar yang terbatas. Usaha mikro sering kali memiliki keterbatasan dalam hal sumber, kemampuan, modal, dan bahan mentah, sehingga hanya dapat melayani pasar yang sangat membutuhkan. Pasar nonlokal yang lebih besar lagi berada jauh di luar jangkauan dan kemampuan sumber mereka. Sebagai konsekuensinya, usaha mikro sangat jarang meraih pertumbuhan pesat dan berkembang menjadi usaha lebih besar. 3. Berbagai batasan sosial dan budaya yang dihadapi kaum perempuan. Batasan sosial dan budaya sering kali menghalangi kemampuan kaum perempuan dalam memajukan usaha mereka. Sebagai pengasuh keluarga, kaum perempuan tidak dapat dengan mudah meninggalkan rumah untuk menjalankan usaha. Hal ini semakin

Hikmah Ajar
Benarlah jika dikatakan lembaga kredit mikro berbasis kelompok mewakili berbagai cara paling efektif untuk menguatkan kembali kelompokkelompok yang kurang beruntung. Belajar dari pengalaman yang disebutkan di awal laporan ini, faktor kunci kesuksesan memberdayakan kaum miskin sebagai berikut: 1. Kemandirian Institusional. Lembaga kredit mikro dapat beroperasi dengan baik hanya jika menggunakan sumber daya manusia dan sumber keuangan dari anggota yang telah ada. Faktor kuncinya adalah kemandirian, didukung penetapan peraturan yang pantas ke dalam lembaga, sehingga dapat menjamin para anggota bekerja sesuai kemampuan mereka, dan karena itu pula menjamin kesinambungan lembaga. 2. Memulai dengan kebutuhan, bukan keinginan. Lembaga kredit mikro yang efektif beroperasi berdasarkan kebutuhan para anggotanya, bukan kemauan. Hal ini meningkatkan kemungkinan pembayaran kembali dan aliran dana yang pasti, serta memperkuat kemandirian bersama yang telah dibangun lembagalembaga kredit mikro.

Bagian 3. Ekonomi dan Usaha

menyulitkan kaum perempuan untuk mendapatkan pelanggan dan mengembangkan usaha mereka. 4. Tingkat pendidikan dan keterampilan perempuan yang lebih rendah. Pada dasarnya, buta huruf dan kurangnya keterampilan adalah tantangan sangat penting bagi kaum perempuan dalam mengembangkan usaha mikro. Secara keseluruhan, biasanya kaum perempuan memiliki tingkat kualifikasi resmi yang lebih rendah dari lakilaki akibat banyaknya rintangan yang dihadapi dalam mengejar pendidikan dan gelar. Para perempuan harus mengambil sendiri kursus tata buku dan keterampilan manajemen dasar lain; kurangnya berbagai keterampilan ini juga menghambat kaum perempuan dalam memegang posisi penting di lembaga kredit mikro.

89

Pendidikan, Kesehatan dan Pemberdayaan Perempuan


BERToLAK dari segala jerih payah membangun kembali AcehNias

menjadi lebih baik dan lebih sentosa, terdapat suatu kebutuhan untuk memastikan tersedianya pendidikan bagi generasi mendatang dan juga sarana kesehatan. Dibandingkan dengan sektor lain, kebutuhan fundamental dan vital ini, digabung dengan pentingnya peranan perempuan yang terkait dengan hal tersebut, dapat dikatakan mampu menyedot perhatian terbesar. Keprihatinan terhadapnya tecermin di dalam 20 studi kasus: 9 tercetak dan 11 di dalam CD Seri Buku BRR. Seperti dijabarkan dalam ke20 studi kasus itu, pembangunan pendidikan dan pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat membutuhkan inovasi dan keterlibatan masyarakat itu sendiri. Terkait dengan implementasi tujuan pendidikan dan praktik pelayanan kesehatan, arti penting perempuan sebagai pemelihara utama keluarga pun didiskusikan.

Ruang rawatinap bersalin di RSU Gunungsitoli, Nias, 14 November 2007, ini telah terbangun apik. Pascagempa 2008, mutu layanan kesehatan di Kepulauan Nias meningkat pesat, terutama dengan semakin banyaknya (pra)sarana kesehatan yang dibangun secara memadai dan terintegrasi satu sama lain. Foto: BRR/Bodi CH

Australia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

92

Penerapan PAKEM

MUTU pendidikan dasar terkait erat dengan keterlibatan orang tua dan masyarakat
dalam proses pendidikan. AustraliaIndonesia Partnership Communities and Education Program in Aceh (Kemitraan IndonesiaAustralia Program Pendidikan dan Masyarakat di Aceh, AIPCEPA) menggandeng pemerintah daerah (Pemda) setempat guna meningkatkan hal tersebut. Beberapa upayanya adalah dengan membangun gedunggedung sekolah dan menyelenggarakan pelatihan keterampilan. Kebutuhan dana untuk ini diperkirakan mencapai sekitar Rp 2 milyar. Dana itu dimanfaatkan untuk mendirikan serta memperbaiki 78 unit sekolah di masingmasing kecamatan. Sebagian dana lainnya dimanfaatkan pula untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para guru agar menguasi teknik Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). AIPCEPA berfokus di Bireuen, Aceh Utara dan Pidie Jaya. Di ketiga kabupaten itu AIP CEPA mendukung sejumlah kegiatan di 43 sekolah dasar (SD) negeri dan 8 SD Islam, selain juga mendukung sarana pendidikan di 150 desa. Program AIPCEPA diadakan dalam dua tahap. Tahap pertama berlangsung sejak Februari 2006 Agustus 2007 dan terdiri dari proyek percontohan di Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen. Tahap kedua dijadwalkan berlangsung September 2007 September 2009. Meningkatkan mutu pendidikan, tidak cukup hanya dengan membangun sekolah, melainkan juga harus diimbangi dengan peningkatan keterampilan mengajar serta pengelolaan sekolah secara layak.

ty ward at the li hospital, Nias, 4, 2007. Since the 28 earthquake, health he islands of Nias ignificantly improved, terms of developing health services. gsitoli hospital is a pital for the islands. Bodi CH

Para guru memainkan peran penting dalam proses belajarmengajar. Mereka adalah penggerak utama bagi keberhasilan sekolah tempat mereka bekerja. Mereka, guruguru SD itu, adalah peletak dasar pendidikan bagi penerus bangsa. PAKEM diresmikan oleh Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan pengalaman belajarmengajar secara menyenangkan di sekolah. AIPCEPA bersamasama dengan Pemda setempat bertujuan memperbaiki sistem pendidikan di Aceh, terutama di wilayah pascakonflik. Teknik PAKEM diajarkan kepada para guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, serta wakilwakil masyarakat. Para guru diajarkan untuk memantau kegiatan para murid secara aktif, memberikan umpanbalik. Selain itu, mereka juga dilatih untuk terbiasa dalam mengajukan pertanyaan yang menantang, mengeksplorasi kegiatan para murid, dan secara kreatif terus mengembangkan alat bantu ajar. Pelatihan pengantar PAKEM diberikan kepada para perwakilan masyarakat serta komite sekolah guna memberikan gambaran akan pentingnya peranserta, dukungan, dan bantuan dana masyarakat dalam meningkatkan mutu proses belajarmengajar. Pelatihan PAKEM bagi pengawas sekolah menambah pengetahuan serta keterampilan yang diperlukan guna mengawasi proses belajarmengajar secara efektif. Para murid diajarkan untuk aktif bertanya, mengungkapkan pendapat mereka, serta mendebat pendapat orang lain. Pelatihan PAKEM untuk peningkatan pengetahuan serta keterampilan para guru itu, sayangnya, tidak berdampak langsung pada penerapannya di sekolahsekolah. Sejumlah guru kurang memiliki komitmen serta antusiasme dalam menerapkan PAKEM di kelas kelas mereka. Para guru tersebut menghadapi sejumlah hambatan karena kurangnya alat bantu ajar serta dukungan para orang tua murid. Mereka juga menghadapi kesulitan dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan yang diperolehnya dari pelatihan ke ruang kelas ketika mengajar. Untuk menanggulangi kesulitankesulitan dalam penerapan PAKEM, AIPCEPA menggunakan dua metode, yakni revitalisasi Kelompok Kerja Guru (KKG) sebagai medium bagi pengembangan guru, dan memberikan pendampingan melalui program program latihan kerja. Programprogram latihan kerja KKG dilaksanakan dengan cara memberdayakan sejumlah tutor dan instruktur dari masingmasing kelompok, serta dengan melibatkan pengawas sekolah/madrasah dan pelatih/fasilitator kabupaten.

Penerapan PAKEM
Sepanjang tahap penerapan PAKEM, AIPCEPA menghadapi sejumlah kendala. Kendala itu antara lain, kurangnya motivasi dari para guru yang lebih terbiasa dengan metode pengajaran konvensional, sehingga menjadikan mereka enggan mencoba hal baru. Sejumlah KKG tidak memiliki ruang untuk mengadakan pertemuan atau untuk menyimpan peranti bantu pengajaran yang mereka ciptakan, sehingga membawa dampak negatif pada program ini.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

93

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Ditemukan juga faktor kurang memadainya sejumlah tutor, fasilitator, dan instruktur dalam hal kemampuan alihpengetahuan; belum lagi dukungan dana yang kurang memadai untuk mendukung dan memastikan penerapan KKG di sekolahsekolah. Anggaran sejumlah Rp 5 juta per kelompok disediakan oleh Pemda pada 2007, kemudian dikurangi menjadi Rp 2,5 juta per kelompok pada 2008. Sementara untuk 2009, tak ada lagi alokasi anggaran untuk kegiatan ini.

Hikmah Ajar
PAKEM adalah sebuah inovasi yang penerapannya hanya bisa dipastikan bila kesadaran para guru, kepala sekolah, orang tua, serta masyarakat terhadap manfaatnya dibangun. PAKEM akan berhasil bila Pemda berkomitmen kuat untuk meneruskan dan mereplikasikan program ini ke tempattempat lain. Berdasarkan pengalaman di sejumlah provinsi di Indonesia, perlu sedikitnya tiga tahun untuk membina kesadaran dari Pemda serta orang tua agar PAKEM sungguhsungguh terdukung.

94

Australia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA)

Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Manajemen Pendidikan pada Masa Pascakonflik

Pendahuluan
, manajemen pendidikan, terutama terkait perencanaan dan pelaksanaannya pada pada wilayah konflik, hanya melibatkan sedikit komunitas sekolah. oleh karena itu, banyak program pendidikan pemerintah yang gagal mendapatkan respons positif dari publik. Rendahnya tingkat partisipasi dan kepedulian masyarakat atas manajemen pendidikan berakar dari persepsi bahwa masalah pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan bukan urusan mereka. Perilaku ini diperburuk oleh kenyataan bahwa pada situasi konflik, di mana orangorang hidup dalam ketakutan, pendidikan merupakan prioritas terakhir. Sementara itu, pihak sekolah mengatakan bahwa masyarakat tidak memiliki keinginan atau kemampuan berpartisipasi dalam manajemen sekolah yang mendidik anakanak mereka sendiri. Kampanye pendidikan meningkatkan kesadaran bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan sangatlah penting. Tujuannya, agar masyarakat yakin bahwa mereka dapat turut ambil bagian dalam mengusahakan pendidikan bermutu yang dapat menghasilkan anakanak pintar bermasa depan cerah.

KINI

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

95

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Sayangnya, praktik manajemen pendidikan yang lama telah gagal mengatasi kebutuhan dan kondisi setempat. Meski demikian, ia tetap mendarahdaging dalam masyarakat, sehingga makin sulit untuk meyakinkan masyarakat agar turut terlibat (melalui berbagai komite sekolah) secara maksimal. Dibutuhkan banyak waktu dan kampanye layanan masyarakat untuk mengubah perilaku sosial yang beruratberakar atas manajemen yang layak untuk sistem pendidikan. Selain itu, dibutuhkan pula upaya penanaman ide bahwa masyarakat juga dapat menjalankan peran pentingnya dalam memperbaiki sistem dan memastikan mutu pendidikan. Gerakan kesadaran pendidikan publik diharapkan akan meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap sekolah beserta sistem pendidikannya, sehingga dapat menuntun keterlibatan yang lebih mendalam para orang tua dan anggota masyarakat pada programprogram sekolah. Rasa memiliki ini, sebagai bagian dari sistem, akan meningkat bila masyarakat terlibat seutuhnya dalam manajemen pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengendalian sistem dan programprogram pendidikan. Para orang tua dan anggota masyarakat yang tertarik untuk memperbaiki pendidikan, dalam programprogram pembangunan pemerintah, mereka bukan lah merupakan obyek (sumber dana), namun subyek.

96

Pelaksanaan Strategi
1. Perlombaan Menggambar dan Pertemuan Orang Tua Salah satu langkah utama dan penting untuk melibatkan para orang tua dalam manajemen pendidikan anakanak mereka adalah dengan mendirikan berbagai program penarik perhatian agar mereka datang berpartisipasi dalam sistem pendidikan. Salah satu cara yang efektif adalah dengan mengadakan lomba menggambar untuk murid sekolah dasar (SD) atau madrasah. Dalam acara ini, AustraliaIndonesia Partnership Communities and Education Program in Aceh (Kemitraan IndonesiaAustralia Program Pendidikan dan Masyarakat di Aceh, AIPCEPA), bekerja sama dengan administrasi sekolah, mengundang para orang tua untuk menyaksikan anakanak mereka berkompetisi dalam perlombaan. Dalam ajang itu, mereka diperlakukan bukan hanya sebagai tamu, melainkan juga moderator. Dan responsnya, sungguh sangat positif, karena baru kali ini lah mereka dilibatkan dalam acara serupa. Pada tahap awal dari acara yang berlangsung selama dua hari itu, anakanak mulai mengembangkan rasa percaya diri mereka. Acara hari pertama adalah perlombaan. Acara hari kedua adalah penilaian gambargambar diikuti dengan diskusi antara orang tua dan penyelenggara acara. Sejumlah diskusi ini memberikan kesempatan untuk mengakrabkan para orang tua dengan sekolah sekaligus programprogram pendidikannya. Dengan mengundang para orang tua, mereka akan melihat dengan matakepalanya sendiri tentang bagaimana kondisi sekolah dan anakanaknya ketika menuntut ilmu di sana.

Kebanyakan orang tua jarang atau bahkan belum pernah mengunjungi gedung sekolah, alihalih memberikan sedikit perhatian terhadap sekolah. Acaraacara semacam ini membuat para orang tua dapat mengetahui bagian mana yang perlu diperbaiki atau ditambah. Mereka akan dapat melihat apa yang perlu dilakukan untuk membuat sekolahsekolah menjadi tempat belajar yang lebih nyaman bagi anakanak mereka. Mereka akan melihat keadaan bangku dan meja yang memprihatinkan, dinding yang kotor, jumlah buku yang kurang memadai, atap yang bocor, kamar mandi yang buruk. Mereka bahkan akan berjumpa dengan anakanak yang tidak berseragam sekolah atau bersepatu karena tidak mampu. Mereka akan menjadi lebih awas akan tidak cukupnya jumlah guru sehingga banyak murid yang berkeliaran di halaman sekolah, dan lainlain, selain menyadari betapa jauhnya jarak sekolah dari rumah. Jadi, hal terpentingnya adalah bahwa, para orang tua memiliki kesempatan untuk mengenal sekolah, para gurunya, kepala sekolah, dan anggota komite sekolah. Acara ini biasanya menuntun pada evaluasi awal dari kondisi fisik sekolah oleh para orang tua. Mereka dapat melihat, setidaknya, apa yang perlu diperbaiki atau ditambahkan, juga berbagai aspek profesional dari manajemen pendidikan. Pada tahap ini, para orang tua diharapkan untuk mengembangkan rasa memiliki akan sekolah sehingga semangat tanggung jawab dan kerja tim muncul di antara mereka, para guru, kepala sekolah, maupun anggota komite sekolah. 2. Pembentukkan Komite Pengembangan Sekolah Program bantuan ini berlangsung sepanjang 2009. Pelaksanaan program ini dilakukan oleh Komite Pengembangan Sekolah (KPS). Anggota komite terdiri dari para guru, komite sekolah, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta wakil masyarakat yang terpilih secara demokratis. Para pemimpin masyarakat itu, termasuk juga eksanggota GAMpada pascakonflik, mereka disebut Komite Peralihan Aceh (KPA). Sebelum memulai kegiatan mereka, para anggota KPS akan mengikuti pelatihan selama enam bulan tentang halhal berikut: pengenalan tentang AIPCEPA; manajemen berbasis sekolah; fasilitasi dan hubungan masyarakat; Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM); rencana pengembangan sekolah; proposal aplikasi hibah; pengawasan mutu konstruksi; manajemen hibah untuk KPS; manajemen keuangan sekolah .

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

97

Pengembangan
1. Program AIPCEPA telah terbukti berhasil. Dari 51 SD dalam program ini, sekitar 70 persen orang tua kini telah aktif membantu anakanak mereka dalam mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan rumah. Mereka juga membentuk kelompokkelompok belajar dalam masyarakat. 2. Gedung sekolah kini memiliki pagar dan dirawat secara baik. Ruangruang kelas berada dalam kondisi yang baik, sementara 51 persen orang tua pada 51 SD dalam program ini kini telah turut membantu dalam memperbaiki kondisi fisik gedung gedung sekolah. 3. Sekitar 35 persen komite sekolah pada 51 SD yang turut dalam program ini mengadakan pertemuan orang tua tahunan untuk menggalang bantuan bagi berbagai kegiatan tahunan sekolah. 4. Pembelajaran kasus di Kecamatan Jeunieb: pada area yang sebelumnya rawan konflik ini, tingkat kelulusan sekarang sangat tinggi. Dari 539 siswa kelas VI SD yang mengikuti ujian nasional, 534 siswa lulusitu sama artinya dengan 99 persen tingkat keberhasilan. 5. Pada kelompok Jeunieb, dari 21 gedung SD yang dibangun antara tahun 1910 dan 1985, sebanyak 9 unit tidak memerlukan rehabilitasi dan 12 unit direhabilitasi dengan dana pemerintah pada 1985.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

98

Hikmah Ajar
1. Pengangkatan para wakil masyarakat menjadi anggota KPS membangkitkan rasa memiliki dan tanggung jawab di antara orang tua terhadap pentingnya pendidikan dasar bagi anakanak mereka. Anggota masyarakat ikut terlibat dalam perencanaan dan pengawasan konstruksi sekolah dan menyediakan lahan untuk sejumlah sekolah baru. 2. Para pemimpin masyarakat menyatakan bahwa masyarakat ingin memberikan awal yang baru bagi anakanak mereka dengan menyediakan sekolah dan masa depan yang lebih baik melalui pendidikan. Mereka menyatakan, Sekolah bermutu, selain menjadi tempat bagi anakanak kami menerima pendidikan bermutu tinggi, juga menjadi tempat masyarakat untuk berkumpul. 3. AIPCEPA menyelenggarakan sejumlah strategi yang menyeluruhterpadu untuk menjamin dukungan masyarakat pada pendidikan. AIPCEPA bahkan mengitegrasikan sebuah strategi untuk membangun kepercayaan masyarakat dalam pemerintahan melalui pelaksanaan Sistem Menajemen Berbasis Sekolah. 4. Pelatihan untuk para anggota KPS sangat berguna bagi pekerjaan mereka di lapangan; contohnya, dalam rangka memonitor konstruksi sekolah secara lebih efektif, mereka menghadiri Pelatihan Pengawasan Konstruksi.

5. Di tempattempat di mana mutu dan standar pendidikan telah dipengaruhi oleh kaum separatis selama beberapa dekade, AIPCEPA menyatukan masyarakat yang terpisah dengan isu pendidikan. Pendekatan ini, alihalih meningkatkan kehadiran para guru dan murid, juga telah mempererat tali silaturahmi di desa dan menciptakan pengambilan keputusan yang inklusif. Program ini, secara tak langsung, juga telah membantu menciptakan lingkungan desa yang stabil dan damai. 6. Masa depan Aceh menjadi lebih cerah setelah konflik 30 tahun. Masyarakat kini dapat bepergian dengan aman ke mana pun di seluruh provinsi. Menurut seorang mantan aktivis, Sekarang, adalah masa terbaik bagi Aceh dalam 30 tahun terakhir. 7. AIPCEPA juga mengupayakan perbaikan partisipasi kaum perempuan pada posisi pembuatan keputusan di dalam komite sekolah. Hasilnya sangat memuaskan: jumlah perempuan yang berpartisipasi pada komite sekolah telah meningkat sebanyak hampir 40 persen. Penelitian menunjukkan bahwa, peranserta kaum perempuan dalam lembagalembaga sosial serupa dapat mengurangi konflik dan meningkatkan fokus pada perbaikan mutu pendidikan. Komposisi kaum perempuan di dalam komitekomite sekolah adalah 21 persen dari keseluruhan 407 anggota.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

99

Australia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

100

Pelaksanaan AIP-CEPA melalui Pendekatan Peka-Konflik dalam Kondisi Pascakonflik

BERBAGAI rintangan serius dapat menghalangi implementasi program di


berbagai daerah pascakonflik, khususnya bila pendekatan yang diterapkan tidak peka konflik. Banyak program bantuan kurang berhatihati sehingga menciptakan masalah baru dalam masyarakat selama pelaksanaannya. Terkadang malah harus dihentikan karena tidak mencapai tujuan awalnya, yaitu memperkenalkan dan melakukan perubahan yang positif. AIPCEPA menerapkan pendekatan pekakonflik dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi programprogramnya. Analisis konflik telah dilakukan di tingkat desa tempat bantuan akan diberikan guna mengumpulkan informasi penting tentang dinamika masyarakat yang ada. Hasil dari analisis ini digunakan sebagai acuan untuk melakukan intervensi strategis dalam pelbagai pelaksanaan kegiatan program (terutama terkait keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan) serta solusi damai terhadap tiap masalah yang timbul. Solusi yang berdasarkan pemahaman akan berbagai kondisi terdahulu dan pemahaman mutakhir atas potensi konflik yang mungkin timbul dalam area kerja program, membawa pencapaian optimal dari tujuan program.

Tantangan terbesar yang dihadapi program ini adalah: situasi yang kurang menguntungkan dalam masyarakat akibat kekerasan berkepanjangan. Hal ini menemukan momentumnya terutama bila berhubungan dengan tantangan pelaksanaan hukum, yakni mematuhi prinsipprinsip demokratis dari keterlibatan masyarakat yang partisipatif, inklusif, transparans, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam rangka menangani berbagai tantangan ini, dibutuhkan lah pelaksanaan sebuah pendekatan tiga fase (pendahuluan/promosi, pembelajaran, dan pelatihan, serta penekananan prinsip) dalam setiap intervensi menuju pencapaian tujuan program.

Kendala
Salah satu permasalahan utama yang kerap ditemui adalah tradisi warisan era konflik, yakni pengutipan biaya ilegal antara 25 persen dari total jumlah bantuan. Besaran biaya selalu tidak menentu, tergantung negosiasi dua pihak yang terlibat. Tujuan biayanya pun tidak jelas. Kasus ini sebenarnya telah lama telah lama berlangsung dan beruratakar di semua proyek di Aceh, baik yang didanai oleh pemerintah maupun donor. Untuk itulah, AIPCEPA, mencoba menggunakan pendekatan pekakonflik dalam programprogramnya. Padanya, budaya lokal serta para pemimpin masyarakat dan agama yang bertindak sebagai mediator dan penyeimbang, dilibatkan. Melalui cara ini, hukum haram terhadap penyalahgunaan dana muncul dan berkembang. Hasilnya adalah, tiada lagi beban dan pengeluaran biaya yang ilegal. Masyarakat juga menjadi yakin akan pentingnya pendidikan bagi anakanak mereka. Ketika masyarakat mencapai tingkat kesadaran ini, maka pelaksanaan programprogram AIPCEPA menjadi lebih mudah, yakni melalui Komite Pengembangan Sekolah. Program ini merupakan sebuah usaha berbasis masyarakat yang menargetkan pengembangan kapasitas untuk mencapai tujuan bersama. Keberhasilan program ini juga ditunjukkan oleh manajemen yang transparans dan bertanggung jawab terhadap dana bantuan, sebagaimana telah terbukti dalam pembasmian pungutan liar yang sering terjadi selama konflik berlangsung.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

101

Hikmah Ajar
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Sensitivitas terhadap kondisi setempat membuka awal kemungkinan bagi sebuah perubahan pada area tempat program AIPCEPA diimplementasikan. Hal yang penting dilakukan terkait terkait dana bantuan untuk pengembangan sekolah adalah, mewarnai budaya lokal untuk berpegang pada batasbatas koridor hukum haram atau laku tak terpuji. Alhasil, masyarakat dapat terbuka matanya bahwa, pungutan liar atas segala bentuk dana bantuan haram hukumnya, dan dengan demikian, mereka menolak untuk melanjutkan praktik itu. Pengangkatan para wakil masyarakat menjadi anggota Komite Pengembangan Sekolah, tak terkecuali anggota Komite Peralihan Aceh (KPA, organisasi eksanggota GAM), telah menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab antaranggota masyarakat terhadap pendidikan anakanak mereka. Mereka mulai berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan dan pengendalian proses konstruksi untuk sejumlah sekolah baru, dan bahkan menyumbangkan tanah mereka untuk tujuan konstruksi. Pemberdayaan masyarakat mengembalikan rasa percaya diri mereka dan sekaligus kepercayaan atas sistem pendidikan mereka. Banyak eksanggota GAM kini terlibat dalam perencanaan konstruksi sekolahsekolah baru bagi anakanak mereka. Secara psikologis, oleh karena mereka memiliki rasa memiliki terhadap gedunggedung sekolah yang mereka bangun dan mereka renovasi sendiri, maka gedunggedung tersebut akan terus dijaga dan dirawat.

102

Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ)

Belajar Sepanjang Hayat: Kode Etik Peningkat Mutu Pendidikan Sekolah Kejuruan di Aceh

Pendahuluan
tsunami meluluhlantakkan Aceh, 116.000an unit rumah dan bangunan hancur. Kehidupan terasa berhenti. Untuk membangunkembali provinsi ini, rekonstruksi yang biasabiasa saja tentu tidaklah memadai. Dibutuhkan pula imbangan berupa rekonstruksi psikis masyarakat yang sangat penting artinya. Pendidikan untuk generasi muda yang menjadi penyintas, adalah faktor utama bagi pembangunankembali. Atas pertimbangan kondisi di atas, Pemerintah Jerman memutuskan untuk mendukung, antara lain dengan melaksanakan berbagai proyek pembangunankembali 6 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Aceh and 2 SMK di Nias, pulau tetangga yang termasuk dalam wilayah Sumatera Utara. Semua sekolah sekarang dalam tahap akhir rekonstruksi. Semua program yang sedang berjalan dibiaya oleh Lembaga Kerja sama Teknis Jerman (GTZ) dan Bank Jerman KFW. Semua sekolah dilengkapi dengan peralatan modern dan kelengkapan sarana belajarmengajar demi meningkatkan mutu pendidikan. Di antara berbagai kegiatan yang didukung oleh GTZ adalah Technical and Vocational Education and Training (Pendidikan Kejuruan Teknis, TVET) yang telah melatih 500 orang kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi. Selama pelatihan dan lokakarya (workshop), timbul pertanyaan, bagaimana memelihara peralatan teknis untuk pendidikan khusus ini. Masyarakat harus diberitahu dan didorong kesadarannya tentang kesempatan yang unik ini dan jangan sampai momentum ini

KETIKA

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

103

104

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Para murid Jurusan Manajemen Pemasaran SMK Negeri 1 Banda Aceh sedang belajar bersama. Berkat adanya kode etik yang baru, kini muridmurid perempuan bisa juga mempelajari mata pelajaran teknik, sementara para murid lakilaki mendapat pelajaran ekonomi rumah tangga. Foto: Dolumenttasi GTZ

melayang, ujar Mr. Heinz Dieter Harbers, pimpinan proyek GTZTVET. Pendapat serupa juga disampaikan oleh kepala dinas pendidikan provinsi, kepala sekolah, orang tua, pimpinan masyarakat bahwa, seyogianya ada ketentuan yang jelas untuk meningkatkan interaksi antara administratur, guru, dan siswa, maupun dengan masyarakat luar sekolah. oleh sebab itu, mereka menghubungi staf GTZ dan bekerja sama dalam menyusun draft kode etik untuk pengelola sekolah, guru, dan siswa SMK. Diskusi tentang panduan baru ini difokuskan pada transparansi yang lebih luas dalam menajemen sekolah, pelatihan yang lebih bermutu, peningkatan pendapatan para guru, dan kesetaraan gender di antara para guru dan siswa. Untuk menjawab tuntutan ini, konsultan GTZ mengadakan survei singkat untuk mengetahui apakah telah ada kode etik yang dimaksudkan tersebut di Indonesia. Hasil survei menunjukkan bahwa, terdapat sebuah kode etik yang sangat umum dan singkat untuk semua sekolah di Indonesia. Sayangnya, kode etik tersebut belum pernah dipublikasikan alihalih dilaksanakan. GTZ lalu mengambil inisiatif dan membuat draft kode etik untuk SMK Negeri 1, 2 dan 3 Banda Aceh. Program yang pelaksanaannya dibantu pula oleh German Development Services ini dapat pula diterapkan untuk SMK di Bireuen, Blang Pidie, dan Sinabang.

Penulisan dan Pelaksanaan


Langkah pertama yang dilakukan adalah menyusun draft yang berkaitan dengan sekolah. Persyaratan ketentuan dari hasil surveI pendahuluan harus dikaji secara seksama serta disesuaikan dengan kebutuhan siswa, guru, budaya setempat, dan agama. Untuk menemukan kode etik yang sesuai dengan situasi di Acehsatusatunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariat Islamtenaga ahli GTZ harus berkonsultasi dengan dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, pimpinan sekolah, orangtua, komite sekolah, guru, siswa, serta dan para tokoh masyarakat dan agama di sekitarnya. Draft pertama yang telah disusun dibandingkan dengan kode etik milik sejumlah negara. Bersamaan dengan penilaian, wawancara, dan kajian literatur, tenaga ahli GTZ telah menyusun draft kedua untuk dipresentasikan dalam seminar sehari yang dihadiri 150an undangan. Mereka adalah pengelola sekolah, guru, orangtua, dan siswa. Saya berasumsi bahwa mereka hanya akan datang untuk mendengarkan presentasi kami, dan setelah itu sebagian besar akan pulang, anggapan Qismullah Yusuf, salah seorang senior national advisor GTZ. Namun herannya, setelah presentasi, semua masih betah untuk bertanya dan melayangkan komentar. Semua kembali hadir dalam sesi kerja kelompok pada sore harinya minus satu orang. Setelah makan siang, sebagian peserta malah telah membuat catatan tertulis tentang saransaran penting yang perlu mereka sampaikan. Pihak GTZTVET senang dengan minat peserta yang begitu besar itu. Salah satu isu yang menarik minat mereka adalah tentang kesadaran gender dan kesempatan belajar yang setara di SMK, antara siswa dan siswi. Sebelum tsunami, banyak SMK di Aceh mengkhususkan diri bagi siswa atau siswi. Namun, sekarang semakin banyak SMK yang dulu hanya diminati oleh siswi, mulai diminati para siswa. Lebih dari separuh peserta seminar adalah perempuan, dan mereka memberikan komentar tentang isu gender, kenang Qismullah takjub. Pada pengujung seminar, semua saran dan pendapat peserta dikumpulkan dalam sebuah draft. Bersamasama dengan konsultan GTZTVET, para peserta menyusun kerangka kerja kode etik tersebut. Draft yang telah disempurnakan, kemudian, didistribusikan kepada dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota, pengelola sekolah, kepala sekolah, dan guru, untuk kepentingan penghimpunan saran dan komentar. Untuk mencapai konsensus dengan cakupan yang lebih luas, semua pihak yang dihubungi itu diajak untuk menyusun draft akhir kode etik. Tanggapan juga diterima dari dua persatuan guru terbesar di Aceh, yakni Persatuan Guru Republik Indonesia dan KobarGB. Gubernur Aceh, serta Walikota Banda Aceh dan para bupati, tak luput memberikan masukan. Buku panduan ini akhirnya disetujui formulasinya, yakni berupa tanggung jawab dan kewajiban pimpinan sekolah dan guru beserta hakhak dan tanggung jawabnya. Di samping bertujuan untuk meningkatkan mutu pengajaran, beberapa ketentuan

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

105

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

ditetapkan. Ketentuan itu misalnya, bagaimana seorang guru harus berpakaian dan bersikap layak di depan kelas. Pengelola sekolah juga diharuskan bertanggung jawab untuk menetapkan standar kesehatan dan sanitasi. Selain itu, ditanamkan pula kebiasaan hidup bersih dan jujur untuk meningkatkan kesadaran lingkungan dan integritas tinggi di sekolah. Pelaksanaan kode etik ini agaknya akan menambah beban guru pada khususnya. Buku panduan ini juga mengatur bahwa para guru tidak hanya mengajar, akan tetapi juga bertindak selaku pembimbing, konselor, dan role model bagi anak didiknya, serta sebagai administrator dan mediator antara sekolah dan orangtua. Di samping itu, semua pihak ikut terlibat dan bekerja sama untuk meningkatkan mutu pendidikan di SMK. Selanjutnya, kode etik juga memperjelas hakhak profesi guru, termasuk hak untuk menerima uang lembur terhadap kerja di luar jam kerja mereka. Di Indonesia, para guru mesti mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai keluarga mereka. Salah satu tujuan pembuatan kode etik ini adalah, untuk meningkatkan kesejahtaran dan kenyamanan para guru. Sebaliknya, para guru juga dituntut untuk meningkatkan mutu pengajaran sesuai dinamika teknologi maupun metodologi pengajaran dan pendidikan. Pembiayaan sekolah adalah hal lain yang menjadi perhatian kode etik ini. Dari workshop, terlihat bahwa banyak peserta (terutama masyarakat) tidak mendapat informasi tentang berapa biaya untuk menjalankan sebuah sekolah, biaya pendaftaran yang diterima, atau biaya pemeliharaan sekolah. Kode etik juga memperjelas tentang bagaimana memanfaatkan pendapatan sekolah melalui unit produksipada masa lalu dan di beberapa sekolah, unit produksi adalah sumber yang dapat dimanipulasi dan menjadi lahan korupsi. Bersamaan dengan pembuatan draft kode etik, staf GTZTVET pun terlibat dalam penyusunan Rencana Strategis Pendidikan Aceh. Tujuannya, untuk menetapkan strategi pada semua sektor dan jenjang pendidikan Aceh 20082012, termasuk SMK. Tantangan yang ada adalah, bagaimana menggabungkan rasionalisasi penyusunan Rencana Strategis Pendidikan Aceh dengan kode etik yang samasama harus menjamin dimasukkannya nilainilai adat dan Islam. Dalam hal ini, kesadaran gender menjadi isu yang patut dipertimbangkan.

106

Belajar dari Pengalaman


Setelah tsunami yang menyapu wilayah pantai di Aceh dan meninggalkan kerusakan hebat, sebagian besar dari bantuan datang dari luar Indonesia. Bantuan itu umumnya difokuskan untuk rekonstruksi fisik dan sumberdaya manusia. Hal yang sama terjadi untuk proyek TVET. Pada tahap awal, waktu yang tersedia tidak lah cukup mengingat rekonstruksi dan upaya bangkitkembali harus segera dilaksanakan. Tujuan utamanya adalah agar secepat mungkin membawa guru dan siswanya kembali

ke sekolah. oleh sebab itu, perencanaan pembangunan sekolah, perencanaan mata pelajaran, maupun metode pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi baru. Di samping itu, para guru harus dilatih bagaimana menggunakan peralatan moderen yang akan mereka terima. Sedikit perhatian juga diberikan pada bagaimana mengendalikan dan mengontrol mutu. Hal yang penting adalah bahwa GTZTVET menggunakan pendekatan yang berazas pendekatan dari bawah ke atas serta kerja sama yang erat antara mitra proyek dan masyarakat terkait. Saling memberi informasi yang berkesinambunganbaik secara formal maupun informaldan berani menyampaikan apa yang sebenarnya mereka butuhkan, telah meningkatkan kesepahaman antarmitra. Sekolah bukan melulu merupakan lembaga tempat guru membantu muridnya menyalurkan potensi akademik. Sekolah adalah juga tempat watak seseorang dibentuk, tulis Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Muhammad Ilyas, dalam sebuah kata sambutan. Ilyas meminta agar para siswa tidak hanya memiliki kemahiran intelektual, akan tetapi juga mampu menerapkan nilainilai moral dalam kehidupan seharihari, misalnya dengan ikhlas menolong dan berkorban demi orang lain. Patut dicatat dalam hal ini bahwa, prosedur, diskusi, dan draft akhir kode etik, telah menyumbangkan kontribusi sangat besar dalam menghargai nilainilai budaya, agama,

Para murid Jurusan Teknik Perdagangan SMK Negeri 2 Banda Aceh sedang berbaris di halaman depan sekolahnya. Berdasarkan kode etik yang baru, pihak manajemen sekolah serta para guru, murid, dan orang tua harus bekerja sama dan saling mendukung untuk mewujudkan terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat di sekolah. Foto: Dokumentasi GTZ

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

107

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

dan perbedaan pendapat dari semua pihak yang terlibat. Bagaimanapun, siapapun tak bisa menutup mata bahwa telah terjadi pergeseran ketabuan, misalnya terhadap bidang bidang yang berbasis gender. Pada awal 2007, semakin ramai siswi yang menekuni bidang teknik di SMK, dan mulai banyak siswa mulai mengambil bidangbidang yang dulunya merupakan kegemaran siswi, seperti pendidikan kesejahteraan keluarga dan kosmetik. Meskipun kode etik tidak sederajat dengan hukum, namun setidaknya upaya ini akan menstimulasi kesadaran terhadap isuisu sosial. Akhirnya, proyek ini bukan hanya akan mengakomodir kebutuhan lokal semata, melainkan tetapi juga regional. Gubernur Aceh, Walikota Banda Aceh, dan kepala dinas pendidikan propinsi Aceh telah mendorong agar kode etik yang telah disusun GTZTVET ini dapat diadopsi oleh semua sekolah seAceh maupun di provinsi lain di Indonesia. Terdapat ketentuan baru dari Departemen Pendidikan Nasional yang menyarankan agar kode etik dikembangterapkan sebagai standar untuk memperoleh pengesahan ISo bagi sebuah sekolah. Ini penting, apalagi ketika sebuah SMK akan ditingkatkan menjadi sebuah Sekolah Berstandar Internasional, sekolah itu akan diawasi langsung oleh Departemen Pendidikan Nasional dan karenanya akan dikucuri dana khusus dari departemen.

108

Pemerintah Jepang

RSU Gunungsitoli dan Koordinasi Proyek

RSU Gunungsitoli dan Koordinasi Proyek


Sakit Umum (RSU) Gunungsitoli rusak parah ketika gempa berkekuatan 8,4 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. RSU ini adalah satu satunya rumah sakit rujukan di kepulauan berpenduduk 700.000an jiwa itu. Sedemikian rupa sehingga perbaikan, pengembangan, dan peran medisnya amat diperlukan bagi pelayanan kesehatan, terutama pada saat pascabencana. Proyek berskala besar ini membutuhkan pendekatan yang menyeluruh dalam hal rekonstruksi, sumberdaya manusia (SDM), dan sistim medis yang efisien. Pasalnya, banyak organisasi yang terlibat untuk menormalisasi beroperasinya kembali prasarana medis itu. Keberhasilan rekonstruksi RSU Gunungsitoli merupakan hasil kerja sama organisasi yang terlibat dan dari fleksibilitas skema bantuan sehingga memungkinkan koordinasi yang efektif.

RUMAH

Pengembangan dan Pelaksanaan


Rekonstruksi dan dibukanya kembali pelayanan kesehatan di RSU Gunungsitoli adalah fokus utama sektor kesehatan di Nias oleh Pemerintah Indonesia. Pendapat dan kebijakan ini juga disetujui oleh organisasiorganisasi seperti BRR, Departemen Kesehatan Sumatra Utara, dan Kepolisian Kabupaten Nias.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

109

Banyak organisasi yang terlibat karena proyek ini, yakni meliputi pelatihan SDM dan pengenalan pada sistem operasional yang efisien serta rekonstruksi prasarana. Misalnya, satu beasiswa dialokasikan untuk melatih para dokter dari Nias. Terlebih lagi, rencana induk rekonstruksi RSU ini dibuat oleh MercyMalaysia bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Sumatra Utara berdasarkan sistem kesehatan di Indonesia, di bawah arahan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan organisasi Kesehatan Dunia (WHo), dan juga bantuan dana dan teknis. Sebagai tambahan, dibentuk pula sebuah kelompok kerja yang terdiri dari Pemerintah Indonesia, WHo, MercyMalaysia, BRR, UNICEF, dan Melteser International. Jepang mengambil tanggung jawab untuk faseIII yang meliputi pembangunan ruangan untuk pasien berobat jalan, kamar jenazah, akses jalan, dan pembangkit tenaga listrik untuk gedung, serta pengadaan alatalat kesehatan sesuai permintaan dari Indonesia. FaseI dan II didanai oleh pendonor lain; pekerjaan tersebut sudah dimulai. FaseIV didanai oleh pendonor lain. Meskipun beberapa proyek konstruksi dikerjakan bersama oleh beberapa donor untuk proyek yang sama, tidak dijumpai masalah berkat perencanaan dan koordinasi yang efektif. Dalam mengerjakan sebuah proyek hibah, biasanya Jepang akan menentukan prosedur berdasarkan permintaan, survei dasar, dan studi konstruksi yang mendetail sesuai dengan peraturan dan pedoman Jepang. Namun, dalam proyek ini, MercyMalaysia yang melakukan studi, berkoordinasi dengan pihak pelaksana dan pedonor lainnya. Adapun pihak Jepang, hanya terlibat dalam konstruksi faseI dan II, dan sebelum tahap desain enjinering faseIII, terutama pada tahap seleksi dan pengadaan barang/jasa perusahaan konstruksi dan manajemen proyek pada konstruksi faseIII. Kendati kebanyakan proyek membutuhkan koordinasi lebih dengan organisasi lainnya serta pelaksanaan parsial khusus bagi bantuan hibah Jepang yang konvensional, fleksibilitas dari Hibah Bantuan NonProyek Jepang membuat hal ini menjadi mungkin. Selebihnya, hal ini berkontribusi pada upaya rekonstruksi serta beroperasinya pusat kesehatan dan aktifitasnya di Nias.

110

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Hikmah Ajar
Berkat koordinasi dengan banyak organisasi yang relevan dan adanya skema bantuan besar yang fleksibel, RSU Gunungsitoli berhasil kembali ke fungsinya sebagai satusatunya rumah sakit rujukan di Nias dan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi penduduk di pulau tersebut. Sebagai tambahan, peralatan yang diperlukan untuk pengobatan medis di RSU ini berhasil diperoleh alihalih tingkat pelayanan kesehatannya tertingkatkan. Dari sudut pandang Jepang, sebagai salah satu pendonor proyek ini, kunci keberhasilannya terletak pada fleksibilitas Bantuan Hibah Nonproyek Jepang. Fleksibilitas ini memungkinkan pencairan dana menjadi sesuai dengan kebutuhan proyek rekonstruksi di Nias maupun Aceh. Skema bantuan dana hibah bisa mengatasi tantangan yang disebabkan oleh terbatasnya waktu untuk melakukan studi menyeluruh dalam situasi darurat yang dinamis dari hari ke hari. Jadi, proyek ini memerlukan skema yang fleksibel.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

111

Pemerintah Jepang
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

112

Bantuan Layanan Kesehatan Darurat oleh Jepang

PADA 27 Desember 2004, sehari setelah tsunami, Pemerintah Jepang segera


mengambil langkah untuk memberikan dukungan kepada rakyat Aceh. Dukungan itu antara lain berupa pengiriman barang dan peralatan yang diperlukan (tenda, pembangkit tenaga listrik, selimut, dll.), serta tim survei ke Aceh untuk mengumpulkan informasi demi mempelajari kemungkinan kerja sama pada masa tanggap darurat. Pada 28 Desember 2004, Pemerintah Jepang mengumumkan dana bantuan darurat sebesar US$1,5 juta untuk Indonesia berupa makanan dan peralatan kesehatan. Pada 30 Desember 2004, Pemerintah Jepang mengirimkan tim kesehatan darurat (3 dokter dan 7 perawat) ke Aceh yang tinggal di sana sampai 12 Januari 2005. Tim ini adalah bagian dari tim kesehatan gelombang pertama yang masuk ke Aceh. Pada 8 Januari 2005, Pemerintah Jepang sekali lagi mengirim tim kesehatan darurat ke Aceh untuk tinggal selama dua minggu. Tugas tim kedua ini adalah untuk mengambilalih tugas tim pertama dalam menyediakan pelayanan kesehatan dan merawat yang terluka. Pada 18 Januari 2005, Pemerintah Jepang mengirim tim ketiga. Tugas tim ini bukan saja mengobati yang terluka tetapi juga memberi kerja sama teknik dalam hal sanitasi masyarakat dan memperhatikan penyakitpenyakit menular.

Pada Januari 2005 saja, sebanyak 64 personel kesehatan (dokter, perawat, ahli penyakit menular) dikirim dalam tiga gelombang dan melayani 2.758 orang pasien di Aceh. Selain itu, 28 personel kesehatan (dibagi dalam dua tim) dikirim ke Nias pada April 2005 dan melayani 1.953 pasien dengan dukungan peralatan kesehatan senilai 15 juta.

Hikmah Ajar
Satu alasan mengapa Pemerintah Jepang dapat bertindak sedemikian sigap dalam memberi pertolongan pascabencana adalah keputusan yang cepat untuk mengirim tim survei, yang tiba sehari setelah bencana. Sebagai negara yang sering dilanda bencana alam, Jepang memiliki banyak pengalaman dalam menangani bencana dan paham betapa pentingnya memberi dukungan kepada negaranegara lain yang dilanda bencana. Dari hasil peninjauan tim survei terhadap kerusakan akibat tsunami, Pemerintah Jepang dapat memahami situasi umum di Aceh. Bukan hanya itu, Pemerintah Jepang juga mengumpulkan informasi untuk dukungan darurat atas pelayanan kesehatan dan rekonstruksi di Aceh. Jepang telah menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia selama 50 tahun dan telah melakukan perjanjian kerja sama selama lebih dari 30 tahun. Dalam kurun waktu itu telah banyak orang Indonesia yang menjadi bagian dalam kerja sama bilateral. Berkat hal ini, Tim Kesehatan Darurat Jepang dapat mengumpulkan informasi yang berguna tentang apaapa saja yang diperlukan dan berkoordinasi dengan organisasi organisasi yang relevan untuk berkomunikasi dengan para penyintas.

Seorang pria (kiri) berperan sebagai penerjemah bagi seorang tenaga medis Jepang yang berkomunikasi dengan seorang ibu dan anaknya. Foto: Dokumentasi Pemerintah Jepang

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

113

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

114

Suara Masyarakat Sebagai Dasar Perbaikan Mutu Layanan Kesehatan: Studi Kasus Pusat Kesehatan Masyarakat di Meureubo

PUSAT Kesehatan Masyarakat (Puskemas) merupakan layanan kesehatan sangat


penting bagi masyarakat setempat, terutama bagi kaum ekonomi lemah di pedesaan. Namun, kualitas layanan yang diberikan sering kali masih mengundang keluhan. Pembaruan layanan Puskesmas yang difasilitasi AIPRDLoGICA, membantu memperbaiki kualitas layanan Puskesmas dan, dengan dukungan para relawan kesehatan, yang dikenal dengan sebutan duta kesehatan, menyokong berbagai usaha pencegahan dilalaikannya tindakan layanan kesehatan. Studi kasus ini membahas peran dari sistem tanggapan pengembangan publik dan usaha para duta kesehatan dalam Pembaruan Puskesmas, yang menghasilkan perbaikan kualitas layanan.

Latar Belakang
Sistem Puskesmas awalnya didirikan Pemerintah Pusat untuk menjadi titik penghubung utama bagi layanan kesehatan masyarakat, sebuah elemen kunci dalam menangani masalah kesehatan masyarakat. Puskesmas juga membidik masalahmasalah kesehatan yang spesifik sebagai targetnya, program pencegahan penyakit yang terus diupayakan, dan penyediaan obatobatan di Puskesmas tingkat kabupaten. Terdapat banyak Puskesmas di Aceh, salah satunya adalah Puskesmas di Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, yang mengandalkan persediaan obatobatan dari anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk layanan kesehatan lain di dalam mandat mereka. Alhasil,

standar kesehatan masyarakat setempat mengambang. Mayoritas kader kesehatan yang membantu Puskesmas Meureubo, yang dulu merupakan tenaga sukarela, bekerja di bawah kompetensi yang mereka miliki. Mereka cenderung aktif hanya ketika petugas Puskesmas rajin berkunjung. Bila tidak, mereka biasanya pasif. Situasi bahkan lebih buruk pada Pos Layanan Terpadu (Posyandu) tingkat desa. Pada Juli 2007, bidan Ena Herisna, yang dulunya petugas Puskesmas, ditunjuk sebagai pemimpin baru Puskesmas Meureubo. Ia telah mendapat pengetahuan langsung tentang kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan yang sangat memprihatinkan di sana. Disiplin para petugas sangat buruk dengan tingkat kehadiran rendah, di samping jam kerja resmi dari pukul 08:0014:00. Muncul juga konflik antarpetugas dan ketidakpastian yang disebabkan kurang jelasnya pembagian kerja dan pencerminan tanggung jawab. Program pendidikan tentang pencegahan penyakit jarang dilaksanakan dan tidak ada rencana yang terkoordinasi. Para kader kesehatan sangat bergantung pada panduan Puskesmas. Puskesmas Meureubo dipilih untuk berpartisipasi dalam program Pembaruan Kesehatan dari LoGICA, karena komitmen yang berhasil ditunjukkan di bawah kepemimpinan Herisna demi memperbaiki pelayanan kesehatan. Sebelumnya, LoGICA telah menilai beberapa Puskesmas di Aceh Barat untuk mengidentifikasi tingkat komitmen, ketersediaan alatalat kesehatan dan petugas, serta kualitas pemberian layanan kesehatan. Herisna memimpin proses pembaruan, memotivasi para petugas untuk berpartisipasi dalam segala aspek seperti membangun kembali kerja sama dengan para kader kesehatan, camat, dan pemimpin desa (informal), serta menyebarkan pengetahuan akan pembaruan ini kepada masyarakat, kepala Dinas Kesehatan Kabupaten, bupati, dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK).

PeristiwaPeristiwa Penting
AIPRDLoGICA memulai proses pembaruan dengan memfasilitasi berbagai pertemuan antara petugas Puskesmas dan masyarakat untuk memetakan masalah yang ada dalam pemberian layanan. Lembarlembar pertanyaan didstribusikan para kader layanan kesehatan untuk mendapatkan tanggapan mengenai layanan kesehatan yang ada dari para pengguna jasa Puskesmas. Hasil survei mengungkap sepuluh keluhan yang paling sering terjadi, beserta solusi yang ditawarkan. Keluhan berkisar seputar permasalahan kondisi bangunan Puskesmas secara fisik, kurangnya petugas ahli dan profesional, serta kurang jelasnya prosedur layanan klien. Solusi yang ditawarkan dibagi menjadi solusi internal, yakni yang dapat dilaksanakan petugas dan sumbersumber Puskesmas yang telah ada serta solusi eksternal, yakni yang membutuhkan bantuan pihak lain seperti Dinas Kesehatan Kabupaten, administrasi daerah, dan DPRK.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

115

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Puskesmas berjanji memperbaiki layanan masyarakat dan produktivitasnya. Puskesmas bekerja sama dengan AIPRDLoGICA melaksanakan beberapa kegiatan, seperti lokakarya tentang penanganan keluhankeluhan, pelatihan prosedur operasi standar, pengembangan kerangka acuan kerja yang lebih jelas, termasuk perbaikan dalam pembagian beban kerja, merancang ulang tata letak ruangan, dan memperbaiki pengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) bagi para kader kesehatan. Solusi eksternal juga dijalankan melalui diskusi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten, administrasi kabupaten, dan DPRK menyangkut pembangunan Puskesmas baru. Usahausaha ini membantu pembaruan pelaksanaan layanan Puskesmas. Dengan mengikuti berbagai kegiatan pelatihan, para petugas Puskesmas menjadi lebih termotivasi dan dapat memenuhi janji perbaikan pelayanannya. Hasilnya segera terlihat. Tingkat kehadiran para petugas meningkat, mereka pun menjadi lebih ramah terhadap para pasien, dan lebih disiplin dalam mengikuti prosedur. Demikian pula penyebaran informasi pada masyarakat menjadi lebih efektif. Tata letak ruang Puskesmas pun diatur kembali demi memperbaiki fungsi dan meningkatkan kenyamanan pasien. Ruangruang kantor dibatasi dan tempat resepsionis diperbaiki. Ruang tunggu pasien diperluas dan ruang administrasi ditambahkan. Perbaikan internal Puskesmas juga memberi energi kepada para kader kesehatan dalam konteks kecakapan. Setelah berpartisipasi dalam lokakarya dan pelatihan yang dilaksanakan di Puskesmas itu sendiri, atas saran dan fasilitas LoGICA, kader kesehatan menyusun peran dan rencana baru untuk dapat lebih aktif lagi dalam pemberian layanan kesehatan di desa dengan menjadi duta kesehatan. Tanggung jawab para duta kesehatan merupakan sebuah langkah maju dari para kader kesehatan untuk bekerja lebih aktif lagi di desadesa. Mereka menjadi katalisator bagi perbaikan layanan kesehatan dan penyebaran informasi. Mereka juga memberikan masukan dan saran bagi Puskesmas berdasarkan pengalaman mereka dan tanggapan masyarakat. Para duta kesehatan bekerja sama dengan Puskesmas memastikan bahwa panduan kesehatan dan konseling dapat mencapai desa paling terpencil di kecamatan Meureubo. Hasil dari konseling tentang kesehatan ibu adalah berkurangnya tingkat kematian ibu hamil. Sebagai tambahan, para duta kesehatan mengadakan pertemuan bulanan untuk berbagi dan memonitor hasi kerja masingmasing. Para duta juga aktif dalam pertemuanpertemuan musyawarah desa, memberikan saran mengenai halhal yang behubungan dengan kesehatan. Mereka juga memberikan tanggapan sangat berharga kepada Puskesmas dalam mengevaluasi kinerjanya. Ditambah lagi, lokakarya bulanan dan triwulan yang dilaksanakan para duta kesehatan dan administrasi kecamatan,

116

melaksanakan pengawasan kesehatan dan siklus evaluasi berkesinambungan di dalam sistem baru tersebut. Pertemuanpertemuan ini memberi umpan balik berharga terhadap operasi yang berlangsung. Sistem perbaikan layanan kesehatan berpusat pada Puskesmas berhasil melobi administrasi kabupaten untuk menyediakan layanan kesehatan gigi pada tingkat Puskesmas untuk pertama kali. Administrasi kabupaten memberikan tanggapan positif setelah berkunjung ke Puskesmas Meureubo dengan menyarankan agar Puskesmas lain di kabupaten itu mengikuti pembaruan yang telah dilakukan Puskesmas Meureubo. Menghadapi keterbatasan dana, Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat mengalokasikan dana pada anggaran 2009 untuk perbaikan layanan serupa di enam Puskesmas terpilih lain. Penunjukan Puskesmas Meureubo sebagai Puskesmas teladan oleh Layanan Kesehatan Aceh Barat menyemangati para petugas untuk memperbaiki layanan kesehatan mereka lebih lanjut. Hingga kini, para petugas Puskesmas Meureubo telah berhasil menangani sepuluh keluhan penting pada survei awal terhadap layanan kesehatan masyaraka, dan telah berlanjut menangani dua puluh dua keluhan lainnya.

Tantangan
1. Mengembalikan Puskesmas pada fungsi utamanya. Walaupun layanan standar telah mengalami perbaikan, perhatian yang dicurahkan Puskesmas sering kali hanya pada penyediaan obatobatan dan hanya sedikit pada kesadaran masyarakat akan kesehatan dan pencegahan. Area ini sejalan terhadap filosofi awal di balik pembentukan Puskesmas. Upaya lebih besar harus difokuskan pada pencegahan dan peningkatan. 2. Mempertahankan konsistensi para duta kesehatan. Para duta kesehatan adalah tenaga sukarela dan fokus mereka pada pekerjaan layanan kesehatan sering kali goyah di antara tanggung jawab dan tuntutan lain. Dinas Kesehatan Kabupaten perlu meningkatkan usaha untuk membangun kemampuan mereka dan meningkatkan upah yang dapat diperoleh dari dana bantuan desa oleh administrasi kabupaten. 3. Umpan balik dan dukungan kewenangan pemerintah yang lebih tinggi. Administrasi kabupaten perlu memonitor kinerja, memberi umpan balik, dan menyediakan insentif untuk memperbaiki layanan masyarakat pada titik penghubung seperti Puskesmas. Dukungan semacam ini harus terdiri dari peraturan, pengawasan, dan mekanisme evaluasi, serta alokasi dana yang cukup. Hal ini akan memicu motivasi para petugas dan memperbaiki layanan masyarakat.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

117

Hikmah Ajar
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

1. Layanan yang berorientasi pada pelanggan. Upaya perbaikan pelaksanaan layanan masyarakat harus sejajar dengan kebutuhan para penerimanya. Dengan mendengarkan tuntutan masyarakat, Puskesmas Meureubo berhasil memperbaiki kualitas layanannya. Puskesmas Meureubo menjalankan pertemuanpertemuan reguler dengan anggota masyarakat guna mengumpulkan masukan dan saran untuk mendapatkan dukungan masyarakat bagi perbaikan layanan kesehatan yang mereka harapkan.

118

2. Menangani inisiatif secara sistematis. Pembaruan Puskesmas Meureubo diprakarsai seorang pemimpin baru. Mendengarkan masalah masyarakat adalah dasar dari pembaruan yang dimulai dan sangat bergantung pada komitmen pemimpinnya. Untuk menjamin agar perbaikan ini tidak bergantung pada satu orang saja, dan dapat direplikasi di Puskesmas lain, prosedur dan peraturan yang mendukung perbaikan ini harus memiliki struktur sistematis dan kemudian diterapkan secara konsisten di Puskesmas lain. Berkenaan dengan hal ini, alokasi dana pada Anggaran Kesehatan untuk Puskesmas dan inisiatif masyarakat terkait juga perlu ditingkatkan. 3. Para pemimpin yang berkomitmen adalah kunci menuju pembaruan layanan. Banyak aparat pemerintah melihat pembaruan sebagai ancaman bagi posisi dan budaya kerja mereka. Karena itu, sangat penting untuk memiliki pemimpin yang berkomitmen, bersedia mengambil inisiatif, dan mampu menyediakan panduan bagi para petugasnya dengan menunjukkan bahwa pembaruan akan membawa hasil positif bukan hanya bagi masyarakat namun juga bagi lembaga mereka.

PLAN International

Laporan CTAS tentang Program Keterlibatan

Pengantar
Perubahan Komunitas (Community Transformation Agents, CTA) mewajibkan anggota kelompok mereka berinteraksi langsung dengan para penyintas. Mereka terdiri dari penduduk Aceh yang tidak terkena dampak langsung tsunami, meski, tentu saja mereka memiliki keprihatinan besar terhadap para penyintas lain. Setiap CTA memiliki tanggung jawab memerhatikan dan bersedia membantu desadesa dampingan. Ada sejumlah 15 CTA yang menetap di 15 desa di tiga kecamatan dari Kabupaten Aceh Besar.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Lhok Nga Lhok Nga Lhok Nga Lhok Nga Mesjid Raya Mesjid Raya Mesjid Raya Mesjid Raya Mesjid Raya Mesjid Raya Kecamatan Lampaya Lam Kruet Lambaro (Neujid) Mon Ikeun Meunasah Mon Ladong Lamnga Durung Meunasah Kulam Neuheun Desa Dampingan

AGEN

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

119

120

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

No.

Kecamatan Peukan Bada Peukan Bada Peukan Bada Peukan Bada Peukan Bada Lam Hasan

Desa Dampingan Lam Geu Eu Lam Awe Lampisang

11. 12. 13. 14. 15.

Keuneue

Para CTA menetap di desadesa dampingan, melebur dan menjadi bagian masyarakat, agar bisa merasakan dan memahami masalahmasalah yang ada atau potensi dampak programprogram serta kegiatan lain terhadap anakanak. Keterlibatan merupakan bagian dari pendekatan pengembangan masyarakat yang berpusat pada anak (child centered community development, CCCD) yang mewajibkan petugas lapangan menetap di komunitas desa dampingan. Satu tahun setelah tsunami, kondisi sosial telah berubah dan relatif normal kecuali di beberapa kawasan yang masih memerlukan intervensi bantuan. Mengingat perubahan situasi, strategi dan pendekatan baru diperlukan agar upaya menjadi lebih efektif dan efisien. PLAN Aceh lalu mengambil alih perubahan strategi menyangkut perencanaan program yang terkait dengan program-program mereka dalam tiga tahun ke depan.

Penilaian Berdasarkan Situasi


Saat ini, situasi bisa digambarkan sebagai berikut: 1. Sejumlah LSM internasional dan organisasiorganisasi PBB telah memberikan uang tunai kepada para penyintas untuk tujuan yang beragam, seperti modal usaha kecil bagi pemulihan ekonomi rumah tangga, bantuan untuk mengawali industri rumah, dan sebagainya. Sejumlah bantuan dicairkan dengan asumsi para penyintas tidak memiliki uang untuk bisa bertahan. 2. Pasokan makanan dan air masih disediakan LSM internasional dan badanbadan PBB untuk tempat penampungan sementara/barak bagi para penyintas. 3. Berbagai LSM masih mengadakan survei sebagai dasar atas pengembangan programprogram bantuan. 4. Diperoleh laporan sejumlah penyintas tidak menempati rumahrumah yang baru dibangun dan sebagian dari mereka menyewakan rumahrumah tersebut kepada para pekerja bangunan dari Medan (kota terdekat, 12 jam perjalanan mobil dari Banda Aceh) dan Pulau Jawa (5 hari perjalanan dengan mobil dari Banda Aceh). 5. Pembangunan rumah terus berlangsung meskipun sebagian rumah diberikan kepada para penerima yang tidak tepat atau ada juga satu rumah tangga yang memperoleh lebih dari satu rumah bantuan. 6. Jarangnya ketersediaan tenaga kerja ahli yang bisa terlibat secara efektif dalam proses pembangunan kembali. 7. Tingkat partisipasi masyarakat yang rendah. 8. MoU Helsinki antara pemerintah RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) memungkinkan adanya situasi damai dan kondusif bagi keterlibatan para anggota GAM dalam kehidupan keseharian masyarakat mereka dan mengubah dinamika interaksi masyarakat.

Pendekatan CCCD
Sepanjang periode pemulihan, pembentukan CTA merupakan langkah awal dalam penerapan CCCD yang melibatkan kader lokal, relawan, dan agenagen lokal. Program CTA menyediakan program pengembangan kemampuan yang memungkinkan peserta menjadi fasilitator guna mengembangkan komunitas mereka sendiri. Anak terlatih untuk Anak ( trained childtochild, CTC) memegang peran penting dalam meningkatkan partisipasi anakanak pada kegiatankegiatan yang berlangsung sepanjang fase

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

121

pemulihan. CCCD terus dilangsungkan di antara para kader dan anggota masyarakat, sehingga pembangunan yang berorientasi pada anakanak menjadi lebih kuat dan dipahami masyarakat. Tradisi patriarkal budaya lokal yang mengakar, di mana kaum pria mendominasi dalam mengarahkan kegiatankegiatan yang berkaitan dengan pengembangan program pemulihan, menempatkan anakanak dan perempuan pada posisi lebih lemah. CTA lalu melibatkan diri secara penuh dalam masyarakat, agar bisa mengambil alih kegiatan kegiatan mereka dan melakukan bersama semua kegiatan kemasyarakatan yang ada di dalam komunitas.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pencarian Fakta
Sejumlah isu berikut menjadi semakin jelas saat CTA setempat mulai mengumpulkan informasi dan melaksanakan program untuk kepentingan komunitas lokal: 1. Para penduduk desa cenderung mencurigai pendatang yang berasal dari luar tempat mereka. Bila seorang pendatang (staf LSM, dan lainnya) tampak tidak langsung menawarkan manfaat bagi masyarakat, penduduk setempat cenderung lebih memilih bila si pendatang itu pergi. Mereka berkata, LSM hanya mengumpulkan data dan mengumbar janji. 2. Para penyintas dengan cepat memahami bantuan mana yang lebih menguntungkan mereka secara individual. Ada yang berupaya menyalahgunakan proses penilaian atau survei demi keuntungan mereka sendiri. Bila LSM membagikan kapal dan peralatan memancing, ada oknum petugas yang terkadang memasukkan nama keluarga atau temanteman dekat mereka sebagai calon penerima manfaat dan mengaku orangorang itu sebagai nelayan. Atau, siapapun di desa itu akan mengaku sebagai nelayan bila ada LSM yang menawarkan bantuan dana tunai. Seorang CTA berujar, Saya bingung mengapa bisa setiap rumah tangga di sini menerima bantuan yang sama persis; bagaimana mungkin in terjadi? 3. Banyak di antara para penyintas tidak bersedia meninggalkan tempat penampungan sementara/barak meski rumahrumah mereka telah selesai dibangun, karena di barak mereka menerima keuntungan seperti bantuan beras dan uang bulanan dari pemerintah, serta dana bantuan dalam bentuk uang dari LSM internasional, pasokan air bersih, perangkat rumah tangga, perangkat kerja, dan sebagainya; sementara mereka yang pindah kembali ke rumah baru hanya memperoleh pelatihan. 4. Berlanjutnya pemberian dana bantuan tunai, meski masa awal krisis sudah lewat, telah menciptakan ketergantungan di antara masyarakat. Penduduk desa jadi terbiasa hanya mau menghadiri pertemuan dan ambil bagian dalam kegiatan kegiatan bila disediakan uang transpor. Penduduk Aceh adalah orangorang yang mandiri. Bantuan dari PBB, LSM setempat, dan LSM internasional dalam bentuk

122

5.

6.

7.

8.

dukungan dana tunai telah memperkenalkan paradigma baru yang menciptakan ketergantungan. Paradigma ini juga memengaruhi anakanak, karena orangtua mereka dan para orang dewasa di dalam komunitas mereka mengajarkan anakanak itu untuk menerima uang. orientasi pada uang ini, ditambah kurangnya pengalaman dan keahlian, juga menjadi penyebab rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pemulihan. Penduduk setempat amat curiga terhadap sejumlah tenaga LSM asing yang dituduh membawa pandangan agama berbeda kepada penduduk setempat yang sebagian besar beragama Islam. Juga muncul asumsi, pengumpulan data oleh LSM lokal akan digunakan bagi kepentingan LSM, bukan komunitas, terutama disebabkan tidak adanya tindak lanjut kegiatan LSM. Masyarakat terkadang memberikan data tidak tepat kepada LSM, kecuali bila ada bantuan langsung yang diberikan dalam waktu segera.

Suara AnakAnak
Komentar berikut disampaikan sejumlah anak muda dari berbargai desa di mana CTA bekerja di lapangan. Pendapatpendapat ini dibuat berdasarkan pandangan mereka akan keuntungan/kerugian terhadap kehadiran LSM dan LSM internasional, serta apa yang akan dilakukan anakanak itu apabila mereka bekerja bagi LSM lokal atau internasional.

(a) Keuntungan:
Mereka telah membangun kembali rumahrumah yang rusak. Mereka telah membantu pengadaan bahan pangan dasar yang mendukung kehidupan seharisehari kami. (Saddam Husein, lelaki, 15 tahun, Desa Lamhasan, murid SMK 1 Banda Aceh). Para pekerja LSM adalah utusan Allah yang dikirim untuk membantu penyintas. Mereka sudah membantu saya memulihkan kehidupan, terutama pendidikan saya. Saya hanya berharap kehadiran LSM tidak akan membuat orangorang Aceh menjadi malas bekerja untuk memperoleh penghasilan. (Safrina, perempuan, 17 tahun, Desa Keuneu Eu, murid SMA 1 Lhok Nga). LSM telah mendukung anakanak dalam memulihkan keadaan setelah bencana dan LSM bisa membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan. (Hidayani, perempuan, 16 tahun, Desa Lamhasan, murid SMA 1 Peukan Bada). Mereka sudah membantu mengatasi trauma akibat tsunami dan mereka membantu orangorang yang paling miskin. (Sarah Nadia Febrina, perempuan, 12 tahun, Desa Lampaya, murid SLTPN 1 Lhok Nga). Mereka membantu mengurangi beban masyarakat. Mereka mengadakan sejumlah kegiatan positif untuk anakanak dan remaja. (Azhari, lelaki, 16 tahun, Desa Lampisang, murid SMA Peukan Bada).

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

123

Mereka membawa bantuan dari luar negeri. (Muksal Mina, lelaki, 13 tahun, Desa Lampisang, murid MTsN). Mereka bisa mempercepat proses pemulihan dan rehabilitasi di kawasankawasan landaan tsunami. (Lisa Rahmadani, perempuan, 16 tahun, Desa Neuheun, murid SMUN 4 Banda Aceh). Saya bisa sekolah lagi karena LSM telah membangun kembali sekolah saya. (Khairul Rizal Fahmi, lelaki, 14 tahun, Desa Beurandeh, murid MTsN Krueng Raya). Kami menerima beasiswa dan bantuan bahan makanan dasar. (Achlia, perempuan, 16 tahun, Desa Lamgeueu, murid SMA 1 Peukan Bada). Menambah motivasi pergi ke sekolah bagi anak-anak. (Nur Hakimah, perempuan, 12 tahun, Desa Meunasah Kulam, murid MTs Krueng Raya). Saya bisa kembali bersekolah karena LSM sudah membangun kembali sekolah saya. (Khairul Rizal Fahmi, lelaki, 14 tahun, Desa Beurandeh, murid MTsN Krueng Raya). Mengurangi beban hidup para penyintas dan mengurangi pengangguran. (Khisnati, perempuan, 18 tahun, Desa Lampaya, mahasiswa Politeknik Kesehatan Aceh).
(b) Kerugian:

124

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Tidak ada.(Sri Yunita Lestari, perempuan, 12 tahun, Desa Neuheun, murid SMPN 2 Neuheun).
Masyarakat menjadi sangat manja. Mereka tidak perlu bekerja karena LSM mendukung dengan bantuan. (Dahlia Ananda, perempuan, 15 tahun, Desa Keuneu Eu, murid MAN Model Banda Aceh). Masyarakat menjadi malas karena mereka berharap memperoleh bantuan dari LSM. (Sittati Zainiah, perempuan, 14 tahun, Desa Keuneu Eu, murid MTsN Meuraxa). Penduduk menjadi lebih pemalas sekarang, karena terlalu banyak yang memberikan bantuan. Sebelum tsunami, banyak perempuan yang mau mencuci untuk memperoleh uang, kini mereka tidak bekerja lagi. (Hidayani, perempuan, 16 tahun, Desa Lamhasan, murid SMA 1 Peukan Bada). Ada ketergantungan dari masyarakat terhadap LSM. (Fatimawati, perempuan, 15 tahun, Desa Ladong, murid SMPN 2 Neuheun). Pembagian bantuan yang tidak merata di antara masyarakat telah menyebabkan kecemburuan serta perselisihan di antara tetangga. (Irfan Syukri, lelaki, 14 tahun, Desa Lamreh, murid MtsN Krueng Raya).

Sejumlah pengajar mulai bekerja untuk LSM dan ini menimbulkan kerugian bagi pendidikan siswa. (Khisnati, 18 tahun, Desa Lampaya, mahasiswa Politeknik Kesehatan Aceh). Banyak remaja seusia saya tidak mematuhi aturan berpakaian muslimah lagi setelah bergaul dengan para pendatang/orang asing. (Rahmatina S., 17 tahun, desa Lamgeu Eu, murid SMAN 1 Peukan Bada). Masyarakat tidak perduli terhadap kegiatankegiatan desa. Mereka tidak perduli menjaga kebersihan sarana publik. Tingkat keikutsertaan sangat rendah di dalam kegiatan pemulihan LSM.(Chaerul Riedzal, lelaki, 13 tahun, desa Durung, murid MtsN Krueng Raya.) Setelah mengumpulkan data populasi dari Pak Geuchik (kepala desa), LSM berkata akan memenuhi janji pemberian bantuan mereka. Namun faktanya, mereka tidak melakukan apaapa dan kami menanti. Apa meraka hanya mengumpulkan data lalu melarikan bantuan untuk kepentingan mereka sendiri? (Safrina, perempuan, 17 tahun, desa Keuneu Eu, murid SMA 1 Lhok Nga). Sebagian besar staf LSM enggan terlibat langsung di lapangan dan menyebabkan data tidak akurat. (Nana Ahzarina, perempuan, 18 tahun, desa Keuneu Eu, mahasiswa Unsyiah, Banda Aceh). (c) Jawaban atas Pertanyaan: Apa yang akan Kamu Lakukan Bila Kamu Bekerja untuk LSM? Saya akan membantu masyarakat tanpa pamrih dan mencoba membangun Aceh kembali. (Safrina, perempuan, 17 tahun, Desa Keuneu Eu, murid SMA 1 Lhok Nga). Saya ingin memulihkan desa saya. (Saddam Husein, lelaki, 15 tahun, Desa Lamhasan, murid SMK 1 Banda Aceh). Saya akan bekerja sesuai permintaan masyarakat. (Sittati Zainiah, 14 tahun, Desa Keuneu Eu, murid MTsN Meuraxa). Saya hanya akan mengerjakan proyek atau program yang benarbenar dibutuhkan masyarakat desa. (Lisa Rahmadani, perempuan, 16 tahun, Desa Neuheun, murid SMUN 4 Banda Aceh). Kalau saya pekerja LSM, saya akan mendekati masyarakat dengan sikap positif. Ketika kami sudah dekat, kami akan memperoleh kepercayaan sehingga semua upaya akan menjadi lancar dan memperoleh dukungan positif dari masyarakat. (Nanda Mariska, perempuan, 15 tahun, Desa Keuneu Eu, murid SMAN 3 BNA). Saya akan mencoba memperoleh dukungan penuh dari komunitas, sehingga komunitas tidak merasa asing dengan kehadiran LSM. (Nana Ahzarina, perempuan, 18 tahun, Desa Keuneu Eu, mahasiswa Unsyiah).

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

125

Saya ingin membangun kembali desa dengan segala upaya, sehingga masyarakat memperoleh dukungan secara adil. (Marzuki, lelaki, 17 tahun, Desa Lampisang, murid SMA 1 Peukan Bada).

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Saya ingin mengajar anak-anak yang lebih muda usia. (Azhari, lelaki, 16 tahun, Desa Lampisang, murid SMA Peukan Bada). Saya ingin memberikan pasokan kebutuhan dasar dan membuat lapangan bola di desa saya. (Rizal Fahmi, lelaki, 13 tahun, Desa Meunasah Keude, murid MTsN Krueng Raya).
(d) Jawaban atas Pertanyaan: Program Apa yang Paling Bermanfaat Bagi Komunitasmu? Beragam lomba, bekerja sama, proyekproyek pertanian, dan pelatihan keterampilan/ keahlian hidup. (Safrina, perempuan, 17 tahun, Desa Keuneu Eu, murid SMA 1 Lhok Nga). Balee Anak.(Wan Surya, lelaki, 14 tahun, Desa Lamgeueu, murid MTsN 1). Program pendidikan dan pertanian, karena masyarakat di sini tidak cukup serius soal fakta bahwa pendidikan dan pertanian adalah kunci menuju kehidupan yang lebih baik bagi mereka. (Dahlia Ananda, 15tahun, Desa Keuneu Eu, murid MAN Model Banda Aceh). Perpustakaan untuk membuka jendela terhadap dunia global. (Nindi Mariski, perempuan, 14 tahun, Desa Keuneu Eu, SMPN 7 Banda Aceh). Bekerja sama dalam persatuan, agar desa menjadi bersih. Membaca AlQuran setelah salat subuh, sehingga kami bisa belajar dan memahami agama kami. (Bahrizal, lelaki, 13 tahun, Desa Ladong, murid SMPN 2 Neuheun). Program rehabilitasi jalan dan prasarana karena fasilitas ini akan digunakan oleh semua orang guna mengakses transportasi. (Ita Purnama Dewi, perempuan, 16tahun, Desa Lamtengoh, murid SMAN 1 Peukan Bada). Rekonstruksi rumahrumah agar kami kembali punya rumah. (Rahmatina S, perempuan, 17 tahun, Desa Lamgeu Eu, murid SMAN 1 Peukan Bada). Pelatihan dan bantuan modal usaha kecil bagi para pengangguran. (Ika, perempuan, 14 tahun, Desa Lamgeu Eu, murid MTsN 1).

126

Membersihkan desa, agar lingkungan menjadi sehat dan bersih, guna mencegah diare dan kolera. (Cut Kemalahayati, perempuan, 13 tahun, Desa Meunasah Kulam, murid MTs Krueng Raya). Kelompok belajar. (M.Syubban, lelaki, 14 tahun, Desa Lam Kruet, murid SMP Lhok Nga). Kegiatan kelompok bermain karena bisa memperbaiki kualitas seseorang sejak dini di masa pertumbuhan anakanak. (Ida Lailyani, perempuan, 18 tahun, Desa Lam Kruet, mahasiswi Akademi Kebidanan). Perawatan kesehatan dan pengobatan gratis bagi penyintas, dan mengadakan pendidikan bagi anakanak miskin. (Qusnila, perempuan, 14 tahun, Desa Lampaya, murid SLTP Fajar Hidayah). (e) Jawaban atas Pertanyaan: Program Apa yang Paling Tidak Berguna dan Menganggu di Komunitasmu? Saya pikir, tidak ada program yang tidak berguna. Syukurlah, semua program bermanfaat bagi kami. (Dahlia Ananda, perempuan, 15 tahun, Desa Keuneu Eu, murid MAN Model Banda Aceh). Tak ada. Setiap kegiatan di desa saya bermanfaat. (Safrina, 17 tahun, Desa Keuneu Eu, SMA 1 Lhok Nga). Apapun yang tidak mendidik. (Nanda Mariska, perempuan, 15 tahun, Desa Keuneu Eu, murid SMAN 3 BNA). Bantuan dana tunai untuk mendukung usaha kecil. (Khairul, lelaki, 17 tahun, Desa Neuheun, murid SMK 2 Banda Aceh). ...membagi bantuan tidak merata yang menyebabkan perselisihan di antara anggota masyarakat. (Liswatun Husna, perempuan, 15 tahun, Desa Lampisang, murid MAN 2 ). Rapatrapat yang tidak berguna, seperti rapat yang tidak kami pahami. Contohnya, rapat LSM di meunasah (musala). (Ita Purnama Dewi, perempuan, 16 tahun, Desa Lamtengoh, murid SMAN 1 Peukan Bada). Kegiatankegiatan tidak terencana, seperti memberikan mesin jahit kepada seseorang yang tidak bisa menjahit. (Meutia Diana, perempuan, 14 tahun, Desa Lamgeu Eu, putus sekolah).

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

127

Hikmah Ajar dan Saran


1. Penilaian dasar harus dilakukan secara serentak dan melibatkan koordinasi dengan pemerintah untuk mencegah kebingungan dan data yang tumpan tindih. 2. Penilaian lanjutan harus dilakukan melalui keterlibatan atau pengalaman hidup di dalam masyarakat penyintas, sehingga kita memahami betul apa yang diperlukan, jumlah, dan bagaimana menerapkan bantuan sebaik mungkin dengan melibatkan masyarakat secara integral guna memastikan pelaksanaan program secara efektif dan efisien. 3. Lebih baik mengadakan pasokan daripada memberikan uang tunai sepanjang waktu tanggap darurat dan pemulihan. 4. Dukungan dana tunai harus diberikan sejarang mungkin dan dengan hatihati berdasarkan kebutuhan dan tujuan yang jelas. Pencairan dana yang tidak tepat menyebabkan inflasi dan ketergantungan yang membuat masyarakat menjadi malas dan tergantung. 5. Saling pengertian di antara donor, LSM, badanbadan, dan masyarakat tentang tujuan pemberian bantuan adalah penting untuk memastikan bantuan yang efektif. 6. orientasi dari tanggap darurat harus digeser dari bantuan berupa uang tunai ke bantuan yang terfokus pada pelatihan yang bisa meningkatkan kemampuan hidup dan pengetahuan para penyintas, agar bisa menciptakan sumber nafkah dan memfasilitasi dukungan dalam bentuk industri niaga berskala kecil yang produktif/ industri rumah. 7. Masyarakat harus dilibatkan secara langsung dalam proses pemulihan demi memastikan kesinambungan programprogram dan membawa dampak jangka panjang yang positif.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

128

Save the Children

Partisipasi Anak-Anak dalam Perencanaan Pengembangan Sekolah

PRoGRAM pendidikan Sekolah Dasar Save the Children bekerja untuk


memperbaiki akses anakanak kepada pendidikan berkualitas. Hal ini termasuk merekonstruksi sekolahsekolah yang rusak akibat tsunami dan konflik, menyediakan pengembangan kapasitas bagi para guru, serta mengajak anggota masyarakat dan anakanak dalam rencana pengembangan sekolah. Save the Children juga melaksanakan berbagai program yang terfokus pada Pengembangan Anakanak Usia Dini (early childhood development, ECD), keterampilan seharihari bagi kaum remaja, kesehatan dan nutrisi di sekolah, serta mempromosikan pendidikan bagi anakanak cacat. Pada tiap awal tahun ajaran, sekolahsekolah menerima subsidi dari pemerintah yang dikenal dengan Bantuan operasi Sekolah. Pemberian dana ini bertujuan meringankan beban pendidikan para murid dan memperbaiki kualitas belajar mereka, seperti pendaftaran awal tahun ajaran, menjalankan kegiatan olah raga, kesenian, penulisan ilmiah, Pramuka, Palang Merah, atau kegiatan ekstrakurikuler lain; membiayai ulangan harian, ujian bulanan dan ujian akhir, bantuan pengajaran, membantu muridmurid yang kurang beruntung dalam hal biaya transportasi, dan sebagainya. Agar sekolah dapat memperoleh persetujuan untuk menggunakan dana bantuan ini dan dana bantuan lain untuk kegiatan perbaikan sekolah, sekolah bersama dengan komite sekolah harus menyusun Rencana Anggaran dan Pengembangan Sekolah. Pada praktiknya, kebanyakan kepala sekolah mengembangkan sendiri rencana ini tanpa melibatkan komite sekolah. Untuk mengesahkannya, kepala sekolah hanya tinggal

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

129

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

meminta komite sekolah menandatangani rancangan kasarnya. Para guru, orangtua, dan murid tidak diwakilkan secara keseluruhan. Alhasil, dana yang tersedia sering kali tidak digunakan untuk perbaikan sekolah melainkan untuk kepentingan kepala sekolah, seperti membeli mebel atau televisi untuk sekolah, membiayai perjalanan, dan lainnya. Pada banyak kasus, hanya sedikit bantuan yang dipakai untuk kepentingan para murid. Peraturan Departemen Pendidikan No. 44/2002 tentang pendidikan dan komite sekolah menetapkan bahwa setiap sekolah harus memiliki komite sekolah. Komite sekolah didefinisikan sebagai badan independen yang berguna untuk memfasilitasi peran komunitas dalam rangka memperbaiki kualitas, bahkan efisiensi distribusi, dan manajemen pendidikan di sekolah. Komite ini terdiri dari orangtua, tokoh masyarakat, pengusaha, organisasi perofesional, guru dan para wakil murid, serta alumni. Komite sekolah bertujuan memfasilitasi dan menyalurkan aspirasi maupun peran para murid dalam menghasilkan kebijakan operasional dan program pendidikan pada tingkat sekolah. Komite sekolah berperan sebagai badan penasihat dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pendidikan di sekolah, badan pendukung dalam hal keuangan, ide dan bantuan fisik dalam menjalankan misi pendidikan, serta sebagai badan pengawas untuk mendorong dan mempromoskan keterbukaan dan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan pendidikan dan hasilnya.

130

Pengalaman
Kecurangan yang dilakukan beberapa kepala sekolah terkait rencana pengembangan sekolah melecehkan hak anak. Menurut hukum Indonesia terutama UndangUndang No 23/2002 tentang hak anak akan perlindungan, dengan jelas dinyatakan bahwa setiap anak di bawah usia 18 tahun memiliki hak untuk didengar dan mengekspresikan suaranya, terutama dalam area yang menyangkut hak asasi, seperti hak akan pendidikan. Dalam proses pengembangan rencana sekolah, Save the Children melihat kesempatan di mana anakanak dapat aktif melaksanakan dan menggunakan hak mereka untuk berpartisipasi dan didengar. Melalui keterlibatan mereka, mereka dapat membentuk sendiri masa depan mereka dan memberi sumbangsih pada perbaikan pendidikan. Kesempatan ini secara khusus relevan, sejak rencana pengembangan sekolah ditetapkan sebagai dokumen hukum, diketahui pemerintah, dan dapat menjamin bahwa suara anak anak didengar. Pada Desember 2008, Save the Children melibatkan lebih dari 140 pelajar dari 14 Sekolah Dasar percontohan dalam pengembangan rencana sekolah. Guna mengamalkan modul yang dikembangkan oleh program Save the Children, para staf mengundang murid kelas 3, 4, dan 5 untuk mengikuti lokakarya selama lima hari setiap pulang sekolah. Melalui lokakarya ini, para murid berkesempatan mengekspresikan opini mereka lewat gambar, surat, puisi, atau cerita.

Masukan mereka terfokus pada dua aspek, yakni perbaikan kegiatan belajarmengajar dan partisipasi orangtua serta masyarakat dalam pendidikan. Hampir semua rekomendasi konkrit dari anakanak digabungkan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (school development plan, SDP). Gagasangagasan mereka termasuk bekerja sama dengan masyarakat untuk membersihkan kamar mandi sekolah, memperbaiki mebel yang rusak, belajar di luar kelas dengan metode pengajaran baru, dan sebagainya. Di bawah ini dua komentar yang diberikan anakanak selama lokakarya: 1. Seorang pelajar SDN10 Simeulue Tengah: Saya ingin agar warga desa dan orangtua saya dapat bekerja di sekolah untuk bergotongroyong membuat bangunan sekolah saya lebih bagus dan lebih cantik daripada yang dulu jelek dan banyak sampah berserakan. 2. Seorang pelajar SDN 4 Simeulue Tengah: Yang kami inginkan ada perpustakaan, saya ingin guru yang baik, saya mau halaman tetap bersih, setiap jam pelajaran olahraga harus keluar dan belajar, saya ingin ada tempat bermain komputer. Apa yang diekspresikan anakanak setiap hari disalin dalam satu halaman dan dibagikan pada mereka pada akhir hari. Setelah lima hari selesai, semua ringkasan dikumpulkan untuk menghasilkan rekomendasi SDP dari anakanak, yang kemudian diberikan ke kepala sekolah dan komite sekolah selama lokakarya SDP bagi orang dewasa.

Tantangan
Setelah mengadakan lokakarya SDP bagi anakanak dan mencoba menyatukan rekomendasi mereka dengan gagasan para orang dewasa, masih sulit bagi orang orang dewasa untuk membiasakan diri berbagi ide atau kewenangan dan mengambil keputusan dengan anakanak. Tantangan lain adalah meyakinkan para pemangku kepentingan sekolah, seperti para guru dan kepala sekolah, untuk terus memfasilitasi lokakarya SDP anakanak di masa depan. Memberi ceramah dan instruksi satu arah adalah yang biasa dilakukan para guru, sehingga membiasakan diri dengan pendekatan interaktif dan konsultatif sedikit memakan waktu. Sebagai tambahan, anggota komite sekolah masih kurang mengerti akan peran dan fungsi mereka dalam mempersiapkan dan mengembangkan rencana rencana pengembangan sekolah. Pada tingkat pelaksanaan SDP, kepala sekolah dan komite sekolah perlu berkomitmen pada dokumen yang mereka kembangkan. Untuk mendorong komitmen ini, Save the

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

131

Children menjalankan kegiatan pengawasan yang kuat dan terusmenerus. Pengawas sekolah di tingkat kecamatan dan para staf Save the Children secara rutin mengunjungi sekolah untuk memeriksa, apakah SDP dijalankan dengan baik sesuai jadwal.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Hikmah Ajar
Partisipasi anakanak dalam proses SDP merupakan cara untuk mendengar suara mereka. Hal ini juga menunjukkan, SDP dapat memperlihatkan kebutuhan dan keinginan mereka. Upaya untuk memberi kesempatan bagi anakanak untuk berpartisipasi dan didengar dapat pula dilakukan dengan mengakrabkan semua pemangku kepentingan sekolah terhadap peran dan fungsi komite sekolah menurut Peraturan Departemen Pendidikan No. 44/2002 tentang persiapan Rencana Pengembangan Sekolah. Sementara beberapa orang dewasa kesulitan mengubah kebiasaan mereka dan mengambil keputusan bersama anakanak, sebagian orang merasa kagum akan banyaknya ide menarik yang disumbangkan anakanak melalui dorongan dan eksplorasi yang tepat. Lewat proses ini, dapat dipelajari bahwa anakanak sangat kristis dan mampu memberi sumbangsih terhadap urusan orang dewasa dalam mengembangkan rencana sekolah. Lebih jauh lagi, anakanak yang terlibat langsung dalam proses perencanaan menjadi para pendukung yang gencar dalam perlombaan bersama kawankawan mereka untuk mencari dukungan para guru, kepala sekolah, dan orangtua mereka dalam mewujudkan SDP.

132

United Nations Childrens Fund (UNICEF)

Menciptakan Masyarkat Peduli Pendidikan Anak (MPPA) Meningkatkan Kualitas Pendidikan

PRoGRAM Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (MPPA) dimulai


di Indonesia pada 1999, menyusul perubahan sistem pendidikan yang mengarah pada desentralisasi dan demokratisasi sistem pedagogi. Sekolahsekolah berhak membuat keputusan, sementara pemerintah pusat melanjutkan penyediaan sumber daya. Ketika desentralisasi terjadi dengan cepat di bidang pendidikan, terdapat sederetan isu yang tidak terselesaikan, seperti kebiasaan dan praktikpraktik yang sudah mengakar. Isu mengenai definisi peran, tanggung jawab pendanaan, standar kualitas, akuntabilitas, pendidikan informasi manajemen, dan keuangan publik juga belum dibicarakan lengkap. Program MPPA bertujuan mendorong perbaikan pada praktik belajar dan mengajar, tata kelola berbasis sekolah, dan partisipasi masyarakat di sekolahsekolah sasaran dan kabupatenkabupaten. Untuk mencapai semua tujuan dan memastikan sistem pendidikan bermanfaat bagi masyarakat dan memberikan kontribusi pada Rencana Aksi Nasional di bidang pendidikan 20052009, maka Pemerintah RI mencari bantuan dari pihak luar. Model yang dihasilkan akan dijadikan contoh untuk kabupatenkabupaten dan provinsiprovinsi lainnya. Salah satu tujuan program MPPA adalah melembagakan praktik pendidikan yang baik di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Hal ini memerlukan kerja sama erat dengan setiap guru, kepala sekolah, dan komunitas sekolah melalui contoh praktik yang baik, terutama di kabupatenkabupaten yang tertinggal.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

133

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Kerja berkelanjutan di sekolahsekolah dan kelompok dimaksudkan memberikan gambaran tentang perencanaan dan pelaksanaan program dengan baik, agar membawa dampak positif pada para murid dan memberikan sumbangsih pada strategi guna mengembangkan pendekatan lebih sistematis terhadap struktur yang sudah ada. Juga untuk memberdayakan masyarakat, guna membentuk kepemimpinan dan sistem untuk mengelola dan mengoordinasikan tata kelola berbasis sekolah dan proses belajar mengajar yang terpusat pada murid. Untuk mencapai hal tersebut, diberikan bantuan peningkatan kapasitas yang menghasilkan praktik yang baik dan berkelanjutan. Ketika provinsiprovinsi dan kabupatenkabupaten memperlihatkan komitmen dan landasan untuk melakukan peningkatan kapasitas, maka titik perhatian lebih besar diberikan pada lembagalembaga yang mendukung sekolahsekolah daripada ke sekolahsekolah itu sendiri. Program ini tidak dirancang untuk menjadikan tata kelola berbasis sekolah di kabupaten dan provinsi sebagai milik program, tapi menjadi bagian dari jaringan pendukung guna memberdayakan lembagalembaga yang ada dan secara hukum bertanggung jawab atas manajemen. Upaya ini dilakukan bekerja sama dengan insiatif inisiatif lain yang dirancang untuk mendukung manajemen berbasis sekolah, berbagi pengalaman belajar untuk menjamin koordinasi ini akan menghasilkan kesatuan tujuan dan mengharmonisasikan kegiatankegiatan. Dukungan ini berbentuk antara lain: Arahan kebijakan berkualitas tinggi pada tingkatan kabupaten, provinsi, dan pusat; Pengembangan tenaga profesional di tingkatan yang lebih tinggi ditujukan pada personelpersonel utama di lembagalembaga yang bertanggung jawab untuk mendukung pengembangan praktik pendidikan yang baik, dan Mengembangkan praktik pemantauan dan evaluasi untuk menginformasikan para pembuat keputusan di bidang pendidikan mengenai hasil yang dicapai sebagai dasar pembuatan keputusan yang baik di masa mendatang untuk memaksimalkan pemanfaatan efektif dari sumber daya yang terbatas. Dalam menyediakan dukungan yang efektif, program MPPA menata ulang praktik tata kelola dan manajemen, sehingga bisa memantau dan mengevaluasi pencapaian persyaratan hasil akhir dan menerapkan perubahanperubahan yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan. Sasaran strategis adalah meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Indonesia dengan memberikan kontribusi meningkatkan akses yang setara akan kualitas lebih tinggi dan tata kelola, serta manajemen pelayanan pendidikan dasar di kabupatenkabupaten yang menjadi target program MPPA. Tujuan program MPPA ditargetkan dicapai melalui lima obyektif komponen yang saling berkaitan. Komponen pertama adalah kelanjutan fokus tiga pilar MPPA untuk mendukung:

134

(a) Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) di sekolahsekolah yang menjadi sasaran programprogram MPPA (b) Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan (c) Partisipasi masyarakat. Komponen kedua dan ketiga berhubungan dengan membangun kapasitas organisasi organisasi pemerintah di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan untuk mengelola dan mengoordinasikan manfaat PAKEM, MBS, dan partisipasi masyarakat bagi para siswa, sehingga bisa dilembagakan dan dipertahankan. Komponen keempat untuk menjamin pemantauan pendidikan yang baik dan evaluasi kerangka kerja guna memungkinkan mitramitra program memperoleh informasi capaian kualitas pelajar sebagai bagian dari proses tinjauan berkelanjutan dan basis bagi pembuatan keputusan berdasarkan informasi yang cukup di masa mendatang. Komponen kelima adalah mengembangkan pendekatan satu program bagi MPPA di mana tata kelola yang baik dan manajemen akan memungkinkan efisiensi maksimal dalam penggunaan dana bantuan program. Setiap komponen ini memiliki sasaran yang telah dirumuskan, persyaratan hasil akhir, indikatorindikator utama capaian hasil akhir, dan gambaran alat/perangkat untuk mengukur capaian indikatorindikator utama. Konsep MPPA mengawasi dan mengevaluasi kerangka kerja yang dibuat berdasarkan inisiatif dan dilaksanakan sepanjang fase 1 program dan menyederhanakan keseluruhan proses. Kertas kerja ini didasari empat prinsip fundamental: Kesederhanaan Partisipasi dan kepemilikan Peningkatan kapasitas Kesinambungan dan pelembagaan

Kerangka kerja menitikberatkan perhatian pada mekanisme untuk mengawasi dan mengelola risiko yang bisa dikenali dan dialami terkait rancangan program dengan dua tanggung jawab yang saling berkaitan, saat memantau dan mengevaluasi program program pendidikan: Dukungan terhadap pengelolaan dan kinerja program Mengintepretasikan dampak ikutan pendidikan yang terkait dengan pelaksanaan program Evaluasi program yang berhubungan dengan manajemen program dilakukan dalam bentuk laporan standar kepada Komite Pelaksana Program. Evaluasi kinerja pendidikan menyangkut pelaksanaan program dilakukan melalui laporan kemajuan tahunan dibandingkan dengan indikatorindikator utama pendidikan. Laporan dilakukan berdasarkan definisi yang jelas dan dampak ikutan yang dirumuskan serta indikatorindikator seperti digariskan di dalam Dokumen Desain Program.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

135

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Semua laporan program dibuat melalui kolaborasi dengan pihak terkait dan disusun sedemikian rupa secara terstruktur, agar kapasitas dan sistem setempat (lokal) bisa dikembangkan. Di manapun mungkin dan dianggap layak, hikmah ajar, strukturstruktur yang ada, organisasi, dan lembaga dimanfaatkan untuk memfasilitasi keberlanjutan dan pelembagaan proses pemantauan dan evaluasi. Selain Kementerian Pendidikan Nasional, para pemangku kepentingan program ini di Aceh dan Nias adalah Kementerian Agama dan Exxon Mobile Corporation. Exxon Mobile Corporation bertindak sebagai donor.

Pembangunan dan Pelaksanaan


MPPA diterapkan di seluruh 23 kabupaten di Provinsi Aceh dan dua kabupaten di Sumatera Utara (Nias dan Nias Selatan). Dukungan teknis dan keuangan dari kantor UNICEF Aceh mencakup lebih dari 1.000 Sekolah Dasar di 147 kelompok sekolah yang terdiri dari 118 kelompok sekolah di Aceh dan 29 kelompok sekolah di Nias. Hambatan yang ditemui sepanjang pelaksanaan berhubungan dengan ketersediaan sumber daya manusia. Keprihatinan utama pelembagaan dan keberlanjutan program program MPPA adalah tidak adanya rencana strategis untuk mengungkapkan isuisu ini di tingkat kabupaten. Sementara itu, faktor keterbatasan kapasitas mitra pemerintah dan masyarakat untuk menerapkan proyekproyek pendidikan berkaitan dengan kenaikan anggaran tahun 2008 dan tingginya pergantian pejabat pemerintah yang berwenang atas programprogram pendidikan yang didukung UNICEF, menyebabkan keterlambatan dalam penerapan program. Hambatanhambatan lain yang berhubungan dengan distribusi tak merata sumber daya dan prosedur administratif juga menyebabkan keterlambatan pentransferan dana bantuan. Untuk menanggulangi hambatanhambatan tersebut, UNICEF bermaksud memperkenalkan sejumlah tolok ukur seperti: 1. Penetapan fokus pada dukungan teknis dan peningkatan kapasitas terhadap pihak pihak yang berwenang di tingkat provinsi dan pemerintah kabupaten/kecamatan, terutama dalam pengembangan kebijakan. 2. Pengembangan model yang bisa digandakan, berkesinambungan, dan terintegrasi dari intervensi yang digabungkan dengan programprogram lain (air dan sanitasi, kesehatan dan nutrisi, perlindungan anak). 3. Pengembangan mekanisme pemantauan, evaluasi, dan koordinasi antara UNICEF, mitra pemerintah dan mitramitra lain.

136

4. Advokasi untuk distribusi sumber daya yang lebih baik antara kawasan perkotaan dan pedesaan, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. 5. Advokasi untuk menambah alokasi anggaran bagi peningkatan kualitas pendidikan dengan fokus pada kawasan konflik dan pedesaan. 6. Dukungan pemerintah untuk membuat strategi dan menggunakan tambahan dana besar untuk pendidikan secara efektif, mengawasi serta mengevaluasi desain dan perangkat. 7. Mengaktifkan basis data pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai alat perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Per 5 November 2008, capaian utama tahunan sebagai berikut: 1. 60.000 pelajar Sekolah Dasar direncanakan untuk dimasukkan dalam rencana kerja pendidikan tahunan pada 2008; sejumlah 53.820 pelajar memiliki akses terhadap perbaikan kualitas pendidikan. 2. 2.000 guru ditargetkan di dalam rencana kerja tahunan; 1.239 guru telah melaksanakan praktik belajarmengajar yang lebih baik. 3. 286 kepala sekolah yang menjadi target rencana kerja tahunan, 229 kepala sekolah telah dilatih dan menerapkan praktik tata kelola berbasis sekolah. Sebagai tambahan, 226 kepala sekolah lain telah menerima pelatihan sehubungan dengan dimasukkannya sekolahsekolah yang dibangun UNICEF ke dalam program MPPA. Sementara, 129 pengawas juga telah mengikuti pelatihan MPPA. 4. 458 wakil masyarakat telah dilatih dan menerapkan tata kelola berbasis sekolah, termasuk sekolahsekolah yang dibangun UNICEF. Wakilwakil masyarakat sasaran pada 2008 berjumlah total 572 orang. Sementara, 92 pejabat pemerintah memberikan komitmen untuk mendukung dan melanjutkan pelembagaan program MPPA. Sejumlah program MBS beroperasi untuk mendukung pendidikan dasar di tingkat Sekolah Dasar. Programprogram ini kerap tidak terkoordinasi, meskipun terdapat sejumlah indikator positif pada hal ini, serta pernah ada diskusi terhadap Pendekatan Menyeluruh Sektoral (sector wide approach, SWAp). Sebuah kerangka kerja operasional untuk koordinasi antara program MPPA dan programprogram MBS lain sangat penting sebagai persyaratan, guna menghindari tumpang tindih dan upaya memperoleh manfaat bagi semua pihak. Pemerintah Indonesia juga mengupayakan koordinasi dan harmonisasi terhadap programprogram MBS, baik yang didanai donor, pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

137

Hikmah Ajar
Hikmah ajar penerapan programprogram MPPA antara lain: 1. Pentingnya koordinasi donor yang baik dan menjalin kemitraan dengan pemerintah, karena bisa memfasilitasi diterapkannya SWAp pertama di Aceh. 2. Pentingnya melembagakan dan memformalisasikan kemajuan proyek/program untuk menyimpan data dan informasi sepanjang pergantian pejabat pemerintah yang berlangsung cepat. Hal ini akan mencegah keterlambatan atau diberhentikannya perencanaan dan pelatihan program. 3. Setelah perencanaan berdasarkan bukti berhasil dikembangkan dan diperkenalkan, kapasitas lokal membaik demikian pula kepemilikan lokal. Hal ini bisa memastikan adanya kesinambungan program. 4. Komitmen yang kuat dari para pejabat pemerintah untuk memimpin perencanaan, pembuatan anggaran, pemantauan, dan evaluasi pada bidang kerja mereka masing masing, bisa meningkatkan serta mempertahankan kualitas pendidikan.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

138

United Nations Childrens Fund (UNICEF)

Program WASH di Sekolah Kerja Sama dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten

KESEHATAN, nutrisi, dan pertumbuhan yang baik, serta perilaku bersih pada
beberapa tahun pertama menetapkankan tahap selanjutnya bagi potensi pembelajaran. Menghemat air, sanitasi, dan praktik layanan bersih merupakan elemen penting dalam menjamin anakanak untuk memperoleh awal yang baik dalam hidup sehat dan siap belajar untuk memasuki tahap sekolah. Program WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) di sekolah dilaksanakan sebagai bagian dari strategi UNICEF untuk air, lingkungan, dan sanitasi setelah fase tanggap darurat di Aceh berakhir. UNICEF bersama rekanrekan pemerintah, membangun fasilitas air dan sanitasi serta menjalankan promosi kebersihan di banyak sekolah sementara. UNICEF juga memprakarsai proyek konstruksi fasilitas air dan sanitasi dengan LSM lokal pada 160 sekolah yang telah berdiri dan tidak mengalami kerusakan terlalu parah pada saat tsunami. Kegiatan serupa juga diprakarsai berbagai LSM lain. Kerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengembangkan Program WASH di Sekolah dimulai pada akhir 2006, sedangkan perencanaan dan pelaksanaannya dimulai pada 2007. Tujuan kerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten adalah mengembangkan Program WASH di Sekolah untuk menjamin pelembagaan program ini serta menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat setempat. Paket lengkap peranti lunak dan peranti keras akan dikembangkan dan dilaksanakan dengan tujuan perubahan perilaku dan pertumbuhan yang sehat dari anakanak sekolah.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

139

Konsep dan Koordinasi


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Kerja sama formal antara UNICEF dan Pemerintah Provinsi Aceh melalui Tim Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (TPUKS) dimulai pada Desember 2006 dalam pertemuan koordinasi Program WASH/TPUKS. Persyaratan bagi TPUKS untuk memasukkan WASH dalam kelompok kerja program sekolah kemudian ditinjau kembali dan disahkan. Seluruh kabupaten juga diminta melakukan hal yang sama pada tingkatnya. Sejumlah badan pemerintahan adalah anggota WASH dalam kelompok kerja program sekolah di bawah koordinasi Penasihat Tim Provinsi Usaha Kesehatan Sekolah, yang dilaporkan langsung kepada Gubernur Aceh, Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota (Bappeda), dan Departemen Agama.

140

Pembukaan Kelompok Kerja Program WASH di Sekolah


Pada Maret 2007, Program WASH di Sekolah diluncurkan secara resmi. Pada oktober 2007, sepuluh anggota pemerintahan, yang merupakan anggota penting TPUKS provinsi, disorot karena keberhasilan mereka dalam Program WASH di Sekolah di Vietnam. Anggota TPUKS diperkenalkan pada pentingnya air, sanitasi, dan kebersihan di sekolah. Mereka juga menyaksikan kerja sama yang lancar antara badanbadan pemerintah pada program WASH, target pemerintah pada sektor WASH, dan rencana kerja tahunan untuk mencapai target WASH. Belajar dari keberhasilan Program WASH di Sekolah di Vietnam, anggota TPUKS Aceh berkomitmen mengembangkan program pendidikan sanitasi dan kebersihan sekolah yang lebih baik, dengan pertimbangan Aceh memiliki sumbersumber yang lebih baik dalam hal dana, para ahli, SDM, dan fasilitas lain yang dibutuhkan untuk memperbaiki program tersebut.

Proyek Percontohan Gabungan Pemerintah/ UNICEF


Pada 2008, UNICEF dan TPUKS Aceh berkomitmen mengalokasikan dana sebesar US$120.000 untuk membantu proyek percontohan pemerintah dalam Program WASH di Sekolah. Pemerintah Aceh, melalui Dinas Pendidikan Provinsi sebagai pemimpin TPUKS, mengalokasikan sekitar US$60.000 untuk membangun enam kamar mandi di enam kabupaten, sementara UNICEF mengalokasikan US$60.000 untuk pengembangan peranti lunak, seperti pelatihan, desain teknik, pengembangan materi informasi, pendidikan, dan komunikasi pada proyek percontohan yang sama.

Di tingkat kabupaten, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara mengalokasikan lebih dari US$600.000 pada pembangunan 157 kamar mandi sekolah di berbagai kabupaten di Aceh Utara, sementara kabupaten Aceh Tengah mengalokasikan dana untuk membangun 13 kamar mandi sekolah. Hal ini menggambarkan perhatian pemerintah pada Program WASH di Sekolah telah meningkat, tidak hanya pada tingkat provinsi namun juga pada tingkat kabupaten.

Proyekproyek WASH yang Didukung UNICEF dan Dilaksanakan LSM Sejalan dengan Program UNICEF/Pemerintah
UNICEF terikat kontrak dengan beberapa rekan LSM, seperti Universitas John Hopkins (60 Pendidikan Sanitasi dan Kebersihan Sekolah), United Methodist Committee on Relief (konstruksi fasilitas air dan sanitasi serta Pendidikan Sanitasi dan Kebersihan Sekolah), International Relief for Development, Project Concern International, dan lain. Rekanrekan LSM ini merupakan peserta pertemuan perencanaan tahunan dan tinjauan dari program kerja sama UNICEF/pemerintah, dan fasilitator untuk program pertukaran pengalaman proyek pemerintah. Banyak badan dan LSM lain berkonsultasi dan berkomunikasi dengan UNICEF dalam hal pengembangan program, meminta materi yang diperlukan seperti paketpaket pelatihan, materi IEC, dan perlengkapan kebersihan. Mereka mengikutsertakan Save the Children, Plan International, Mercy Corps, IoM dan CEPA.

Hasil
Program WASH di Sekolah menghasilkan perbaikan kondisi pada sekolahsekolah di Aceh. Capaian yang diraih program ini, yakni: Berbagai fasilitas WASH dibangun dan program Pendidikan Sanitasi dan Kebersihan Sekolah dilaksanakan di 231 sekolah. 2.074 anakanak sekolah (mentor sebaya) dilatih dalam School Sanitation and Hygiene Education (SSHE), dan 777 guru dilatih dalam hal SSHE dan pengembangan kurikulum. Sekolahsekolah mengembangkan kurikulum untuk pendidikan rutin terkait air, sanitasi, dan kebersihan. Mekanisme pemeliharaan diciptakan di sekolah untuk berbagai fasilitas WASH, kompleks sekolah dan ruang kelas dengan melibatkan anakanak, pegawai sekolah, dan masyarakat. Materi IEC dan perlengkapan kebersihan pribadi dikembangkan, didistribusikan, serta digunakan sebagai alat pembelajaran dan komunikasi. Lebih dari 25.000 peralatan kebersihan pribadi didistribusikan pada anakanak sekolah termasuk juga poster, flipchart, brosur, selebaran, stiker, permainan tekateki, papan ular tangga, buku pengawasan, dan lainnya.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

141

Penelitian tentang pengetahuan, perilaku, dan praktik WASH dirancang dan dilaksanakan dalam beberpa proyek.
Parameter STUDI KASUS: Manik-manik Terserak Pengetahuan tentang Diare Mencuci tangan dengan sabun di saat tertentu (setelah buang air besar dan sebelum makan) Hasil Survei Awal Jumlah murid yang dapat menyebutkan nama gejala diare adalah 29% Persentase murid yang mencuci tangan dengan sabun sekitar 14% Hasil Survei Akhir Sekitar 62% total responden dapat menyebutkan gejalagejala utama diare Persentase murid yang mencuci tangan dengan sabun mencapai 85,5%
Sumber: JHU CCP Laporan Akhir

142

Parameter

Hasil Survei Awal Persentase guru dan pegawai lain yang mempunyai pengetahuan tentang air, lingkungan, dan sanitasi adalah 81% Presentase murid yang mencuci tangan mereka dengan sabun sebelum dan setelah makan adalah 62%

Hasil Survei Akhir Setelah program WASH, jumlah murid, guru, dan pegawai lainnya yang mempunyai pengetahuan tentang air, lingkungan, dan sanitasi adalah 91% Persentase murid yang mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah makan adalah 75%
Sumber: UMCOP Laporan AKhir

Pengetahuan tentang WASH

Mencuci tangan dengan sabun pada saat yang tepat

Pedoman pelatihan untuk pengembangan kurikulum dan pendidikan rutin dikembangkan bagi pengajar dan pelatihan guru tetap. Komite sekolah dibentuk di semua sekolah yang memiliki program SSHE. Jumlahnya melebihi 100 sekolah di Banda Aceh, Aceh Besar, Bireuen, Aceh Barat, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Simeuleu, Aceh Tengah dan Bener Meriah, Pidie, serta Aceh Tamiang, total 13 kabupaten.

Sejumlah TPUKS didirikan dan/atau diperkuat dengan bantuan teknis dan persediaan.

Hikmah Ajar
Pengenalan programprogram dan ide baru kepada pemerintah dan masyarakat setempat harus dilakukan melalui sorotan kepada model yang riil, dan dengan menyediakan dampingan teknis untuk membangun sendiri model mereka. Komitmen pemerintah untuk memimpin program WASH sangat penting. Pemerintah memiliki kewenangan dan kuasa untuk mengendalikan dan mengawasi perkembangan program WASH di Aceh. Baik pemerintahan provinsi maupun kabupaten bertanggung jawab mengerahkan semua sumber untuk melaksanakan pendidikan sanitasi, dan kebersihan sekolah. Advokasi yang baik dan dilakukan secara rutin diperlukan untuk memelihara kesadaran dan perhatian pemerintah terhadap pendidikan sanitasi, dan kebersihan sekolah. Berbagai program LSM harus didokumentasikan dan dicatat sebagai pembelajaran untuk dimasukkan dalam rencana program di masa mendatang. Keterlibatan kewenangan pemerintah pada semua tingkat sangat penting, terutama keterlibatan para legislator karena mereka yang mengendalikan pengalokasian dana pemerintah. Pelaksanaan Program WASH di Sekolah juga dibutuhkan untuk membawa para murid bersama masyarakat saling berinteraksi, sehingga program dapat memiliki dampak yang optimal bagi perbaikan secara keseluruhan di dalam masyarakat. Hal ini dapat dicapai melalui pendirian komite sekolah yang baik dan kegiatan ekstrakurikuler pendidikan kebersihan yang diadakan secara rutin.

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan

143

Pembangunan Sosial
PEMBANGUNAN nonfisik masyarakatagama, budaya, tradisi sekalipun acap dianggap tak sekonkret pembangunan fisik, merupakan aspek penting dari program rehabilitasi dan rekonstruksi AcehNias. Mengingat pentingnya aspekaspek ini dalam kehidupan keseharian, banyak pelaku pemulihan yang memfokuskan diri pada pembangunan sosial. Pembangunan sosial adalah jembatan untuk memperkuat masyarakat dan keterlibatannya dalam proses pemulihan beserta kesinambungan capaian fisik dan sosialnya. Total terdapat 15 studi kasus: 10 dicetak dan 5 di dalam CD Seri Buku BRR. Masingmasing menyajikan pemahaman yang mendalam mengenai arti penting dan kompleksitas pembangunan kembali struktur agama, sosial, dan budaya.

Berolahraga di Taman Internasional Aceh Thanks the World, Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, menjadi aktivitas baru bagi masyarakat sekitar, 20 Februari 2009. Sepanjang pembangunannya, keterlibatan para geuchik setempat, pemilik lahan, Pemda dan dinas terkait, bahkan eksponen Kodam Iskandar Muda, benarbenar tergalang. Alhasil, rasa memiliki menjadi yang tumbuh, menjadi jaminan bagi kesinambungan pemeliharaannya kelak. Foto: BRR/Arif Ariadi

Pemerintah Jepang
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

146

Proyek Jaring Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di Aceh

BRR meluncurkan sebuah proyek jaring pemberdayaan masyarakat mandiri di Aceh,


yakni Activity for Community Empowerment (Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat, ACE). Pada dasarnya, ACE adalah komponen utama dari proyek tersebut yang dirumuskan atas pertimbangan untuk: (a) mengubah, secara bertahap, pekerjaan rekonstruksi ke arah kemandirian yang berbasis masyarakat daripada mengusahakan bantuan eksternal; (b) memberikan tanggung jawab kepada warga dan pemerintahan, seperti pembagian biaya, sumbangan tenaga melalui proses partisipasi; (c) mempromosikan sebuah proyek yang berorientasi masyarakatkeuntungan proyek dapat dibagikan secara sama rata ke seluruh wargaketimbang proyek yang berasal dari atasan untuk bawahannya; (d) menekankan metode dukungan, seperti masukan dari ahli teknik, daripada menyediakan investasi langsung untuk kegiatan masyarakat dalam rangka menjamin kelangsungan; serta, (e) memperluas pemberdayaan proyekproyek masyarakat ke bagian lain dari area proyek. Area proyek meliputi tujuh wilayah administratif, yaitu 6 kabupaten (Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bireuen, Aceh Tengah) dan 1 kota (Banda Aceh). Proyek ini dirancang untuk jangka waktu 26 bulan (Februari 2007 Maret 2009), termasuk tahap persiapan sejak Februari hingga Maret 2007.

Japan International Cooperation Agency (Badan Jepang untuk Kerja sama Internasional, JICA) memperpanjang kerja sama teknis sepanjang masa pelaksanaan proyek dengan mengutus sebuah tim yang terdiri dari JICA Expert Team. Bertujuan untuk mengoordinasi dan membuat ACE tersedia bagi sebanyak mungkin orang, Joint Coordinating Committee (Komite Koordinasi Bersama, JCC) dibentuk oleh para wakil BRR, berbagai organisasi dan para pegawai pemerintah daerah yang peduli tentang masalah ini, Kantor JICA Indonesia, serta tim ahli JICA. Asistensi teknis sendiri diperpanjang untuk ACE selama Maret 2007 Maret 2009. Proyek ini juga memperpanjang bantuan untuk tiga kelompok model ACE di Ulee Lheue, Banda Aceh, yang didirikan oleh Kantor JICA Indonesia pada oktober 2007.

ACE
ACE dirancang untuk meningkatkan pendapatan penduduk melalui usaha mikro yang berbasis masyarakat. Selain itu, ACE juga dimaksudkan untuk berkontribusi pada percepatan penyatuan masyarakat yang terpecahbelah pascakonflik dan menguatkan kapasitas untuk menghadapi kemungkinan bencana pada masa mendatang. Tiap kelompok masyarakat dapat berpartisipasi dalam proyek ACE, atau dengan kata lain, setiap kelompok ACE dibentuk atas prakarsa anggota masyarakat itu sendiri. Masingmasing merencanakan dan melaksanakan sebuah usaha mikro yang cocok dan berkesinambungan. (Tim Ahli) JICA hanya membantu dalam hal persyaratan yang diperlukan untuk realisasi sesungguhnya dari permintaan usaha mikro yang diajukan. JICA juga memberikan dukungan teknis dalam pembentukan kelompok ACE dan rencana bagi setiap usaha mikro yang diajukan. Tim ahli JICA mengaryakan sejumlah tenaga ahli dari Indonesia untuk bekerja sama dengan tim dan sekaligus bertindak sebagai konsultan. Hal ini ditujukan untuk melakukan alihpengetahuan akan teknologi ACE dari tim ahli JICA kepada para ahli dari Indonesia. Terlebih Second Generation lagi, tenaga ahli dari Indonesia itu berperan dalam menetapkan tuntutan dan kebutuhan yang sebenarnya dari masyarakat untuk Expansion of ACE Group memperbaiki mata pencaharian.

Third Generation

Support from GoI 1) Advice and monitoring 2) Group purchase 3) Sales promotion

Mekanisme ACE
Desain konsep ACE adalah sebagai berikut: Melalui pelaksanaan proyek ini, 21 kelompok awal ACE dibentuk. Proyeksi dari pembentukan

Support from JICA 21 ACE Groups (First Generation)

Minimum support from JICA 1) Formulation of ACE 2) Start-up of ACE groups and build-up of business 3) Full-implementation of business and monitoring of ACE groups

Bagian 5. Pembangunan Sosial

147

kelompok awal ini adalah, agar berbagai kegiatan dan kinerja ACE sedianya dapat disebarluaskan secara perlahan kepada sebanyak mungkin masyarakat.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Jaringan ACE
Jaringan ACE bermaksud mempertautkan seluruh kelompok ACE demi menyediakan kesempatan bagi pertukaran ide masyarakat. Dengan demikian, jaringan ACE turut menyumbang pada penyatuankembali orangorang yang terpecahbelah dan memperluas kegiatankegiatan ACE.

Metode Pelaksanaan
oleh karena anggota masyarakat dan pegawai Pemda setempat belum akrab dengan program ACE, maka tim ahli JICA mengajukan metode pelaksanaan pada JCC dan kemudian pelaksanaan yang sesungguhnya sebagaimana ditunjukkan dalam tabel.
Tabel Langkah Perumusan, Pelaksanaan, dan Pengawasan 21 kelompok ACE

148

Fase No
I

Langkah Awal
Formulasi ACE

Langkah ke1

Kerangka

Kegiatan Utama
Survei terhadap proyek yang sama Pengumpulan data dasar setiap kabupaten/kota Distribusi 21 kelompok ACE di 7 kabupaten/kota Survei kebutuhan dari institusi Pemda Survei kebutuhan masyarakat Pertemuan konsultasi masyarakat Survey terhadap industri daerah dan industri rumah Rencana persiapan ACE Pengembangan rencana bisnis untuk kelompok ACE yang berpotensi Estimasi perlengkapan yang dibutuhkan dan dana awal Seleksi akhir dari kelompok ACE Penetapan prosedur operasi Pengembangan dari rencana operasi Pengadaan perlengkapan Suntikan dana awal

Metode Pelaksanaan
Konsultan lokal Konsensus antara JICA Expert Team dan JCC

Survei dasar

Seleksi pertama dari ACE (seleksi kecamatan)

Seleksi kedua dari ACE (grup ACE berpontesi)

Konsultan lokal

II

Seleksi akhir (evaluasi dari rencana usaha)

Kerja sama antara tim ahli JICA dan konsultan lokal, serta konsensus pada JCC

Pendirian kelompok ACE dan pengembangan usaha

Persiapan pendirian dari kelompok ACE

Konsultan lokal

Fase No Langkah Awal


Pelaksanaan penuh dari usaha dan pengawasan kelompok ACE

Langkah ke-

Kerangka

Kegiatan Utama
Pelaksanaan penuh (skala produksi penuh) Pengawasan aktivitas ACE Saran terhadap perbaikan usaha, pengembangan dari panduan operasi Festival ACE Lokakarya ACE Penyelesaian nota kesepahaman terkait penjembatananan tim ahli JICA, Pemda, dan konsultan lokal Lokakarya operasi penjembatanan ACE

Metode Pelaksanaan

III

Formulasi dari jaring ACE

Kerja sama antara tim ahli dan konsultan lokal

Menjembatani kelompok ACE dengan Pemda

JICA expert team

21 Kelompok ACE Terpilih


Dalam perumusan kelompokkelompok ACE, sejumlah besar calon kelompok ACE diidentifikasi dan/atau diajukan. Setelah menilai semua proposal, dilakukan permintaan finansial dan kekuatan usaha, distribusi kelompokkelompok ACE dalam area proyek, dan kemudian 21 kelompok ACE dipilih untuk melaksanaan dan dilaporkan pada JCC.

Panduan ACE
Tim ahli JICA mempersiapkan panduan ACE guna memfasilitasi masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk mendukung kegiatankegiatan pemberdayaan masyarakat. Salinan panduan ini didistribusikan ke berbagai organisasi internasional dan pengunjung. Sebanyak 194 salinan dalam bahasa Indonesia dibagikan ke organisasi organisasi.

Lokakarya ACE
Karena perumusan dan pelaksanaan ACE melibatkan banyak organisasi Pemda, NGo, dan masyarakat, JICA expert team menjalankan sejumlah lokakarya di berbagai lokasi. Tujuannya, untuk menyebarkan informasi dan memperluas program ACE di seputar area proyek. Secara keseluruhan, empat lokakarya yang melibatkan 176 peserta dilaksanakan pada periode pelaksanaan.

Menjembatani Operasi Kelompok ACE dengan Pemda

Bagian 5. Pembangunan Sosial

Pelaksanaan penuh dari usaha dan pengawasan

Konsultan lokal

149

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Kerja sama teknis dari JICA selesai pada Maret 2009, sehingga semua kegiatan ACE yang ada dipindahkan kepada administrasi daerah. Tiga lokakarya yang berbeda diadakan untuk para pegawai Pemda untuk menjamin kelangsungan kegiatan dan program ACE. Kegiatankegiatan lokakarya tersebut antara lain, kunjungan kelompok ACE untuk kegiatan pengamatan, pengembangan rencana usaha, serta pengawasan kegiatan dan manajemen keuangan. Sebanyak 311 anggota pegawai turut ambil bagian dalam ketiga lokakarya tersebut.

Festival ACE
Untuk mengembangkan jaringan ACE dan penyebaran informasi tentang program ACE kepada sebanyak mungkin orang, Festival ACE yang berlangsung selama dua hari diadakan di empat kota. Masingmasing adalah Banda Aceh (Februari 2008), Bireuen (Juni 2008), Meulaboh (Agustus 2008), dan Desa Lambung, Banda Aceh (pada November 2008). Pada tiap festival, wakil dari masingmasing kelompok ACE yang sudah dibentuk, terlebih dahulu berkumpul dan menjual produk mereka pada pengunjung. Lembar pertanyaan disebarkan pada para pengunjung guna mengumpulkan komentar tentang produk dan pelaksanaan program ACE. Kelompokkelompok ACE kemudian saling berbagi komentar yang diperoleh. Untuk kemudian, mereka memikirkan perbaikan mutu dan kemasan produk, serta kegiatan pada tahap selanjutnya.

150

Program Siaran Radio


Selama Juli 2005 Januari 2009, JICA mendukung Program Siaran Radio melalui Radio Republik Indonesia. Program yang melibatkan interaksi dengan para pendengar lewat telefon itu mengudara secara live seminggu sekali selama satu jam. Awalnya, program ini lebih banyak membahas perihal tsunami, progres Pemulihan oleh BRR, dan dukungan untuk mengatasi trauma bagi para penyintas. Pada tahap selanjutnya, program mulai berfokus pada penyatuan masyarakat pascaMoU Helsinki serta penyebaran informasi tentang program ACE, termasuk siaran live festival ACE.

Latihan Manajemen Bencana


Salah satu sasaran program ACE adalah untuk menekankan kembali kemampuan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan bencana pada masa datang. Tim ahli JICA bekerja sama dengan Palang Merah Jepang mengorgansasi Pelatihan Manajemen Bencana di Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh, 24 Agustus 2008, dengan tujuan: (a) membentuk satuan tugas (Satgas) organisasi manajemen bencana di setiap desa sasaran; (b) memfasilitasi kerja sama antar desa; (c) meningkatkan kesadaran akan manajemen bencana; serta, (d) menjamin bahwa gedunggedung dan perlengkapan masyarakat yang disediakan

sebagai bantuan dari pemerintah Jepang, dimanfaatkan dan dipelihara dengan sebaikbaiknya.

Perluasan KelompokKelompok ACE


produksi kopi di Banda Aceh (5 anggota), produksi kopra di Aceh Besar (6 anggota), pembuat kue tradisional di Aceh Besar (6 anggota), di Bireuen (3 anggota), di Aceh Tengah (5 anggota), dan di Aceh Barat (6 anggota). pembuat emping melinjo di Pidie (3 anggota), pembuat jebakan tikus di Bireuen (5 anggota), petani singkong di Bireuen (5 anggota), Kebanyakan dari 21 kelompok awal ACE, menghasilkan uang melalui berbagai kegiatan dan mendistribusikan sebagian kepada anggota kelompok. Keberhasilan tersebut, belakangan merangsang terbentuknya kelompokkelompok baru.
Bagian 5. Pembangunan Sosial

Terdapat peningkatan bertahap pada jumlah kelompok ACE. Semuanya dibentuk atas prakarsa anggota masyarakat dengan bantuan dari kelompok ACE yang telah berdiri. Pada Januari 2009, kelompokkelompok ACE yang baru terbentuk adalah kelompok:

151

Kesimpulan
Program ACE dilaksanakan selama lebih dari dua tahun dengan kerja sama teknis JICA dan panduan kebijakan BRR. Ia memiliki pendekatan daribawahkeatas untuk memperbaiki mata pencaharian penduduk dalam tujuh area administratif. Dengan kerja sama antara area administratif lokal yang peduli dengan BRR, 21 kelompok ACE dengan seluruh anggota sebanyak 232 didirikan pada tahap awal. Itu semua pada dasarnya merupakan tambahan dari 4 kelompok yang telah eksis di Meuraksa (Banda Aceh) yang dibentuk sebagai proyek percontohan pada 2006. Program ACE sangat efektif dalam memperbaiki mata pencaharian penduduk di dalam kelompokkelompok yang telah berdiri. Program tersebut kemudian menciptakan kelompokkelompok ACE baru atas prakarsa mereka sendiri dan mengalokasikan sebagian dari penghasilannya kepada mereka.

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

152

Membangun Solidaritas Kaum Perempuan untuk Membuat Perubahan pada Pemerintahan Desa: Kasus Forum Perempuan Dewan Desa di Aceh Barat

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

MEMASTIKAN bahwa semua segmen di dalam masyarakat memiliki akses


yang sama pada partisipasi, sangatlah penting bagi pembangunan. Hal ini penting untuk menjamin bahwa kelompok marjinal dalam masyarakat, seperti kaum perempuan, dapat terlibat dalam programprogram pembangunan. Ketika kaum perempuan diberdayakan, mereka dapat menyumbang perubahan sosial yang penting dalam masyarakat mereka. Solidaritas yang dibangun oleh kaum perempuan melalui jaringan atau organisasi merupakan sebuah mekanisme yang efektif. Mekanisme itu berperan dalam mengonsolidasikan kekuatan dan mengilhami mereka dengan semangat untuk secara bersamasama memberi kontribusi bagi perubahan sosial pada komunitas mereka. Forum Tuha Peut Perempuan Gampong merupakan contoh bagaimana sebuah jaringan membantu mengubah anggota forum menjadi perwakilan dan pendukung publik yang berpengaruh bagi komunitas mereka.

Latar Belakang
Pada pratsunami, 30an tahun konflik politik menyebabkan kerusakan yang besar pada kehidupan sosial masyarakat Aceh. Kaum perempuan menderita hebat akibat berbagai tekanan sosial dan konflik bersenjata. Sedemikian sulitnya terlibat dalam berbagai kegiatan masyarakat selama konflik berlangsung, membuat mereka tak pernah ikut berpartisipasi. Konflik memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dari berbagai segmen. Kehidupan sosial dan perkumpulan masyarakat yang aktif tidaklah mungkin.

PeristiwaPeristiwa Penting
Secara keseluruhan, Unit Gender LoGICA mendukung kesamaan dan kesetaraan hak dengan pengarusutamaan atau penyatuan berbagai persoalan gender di seluruh kegiatan programprogram LoGICA. Hal ini terutama dapat dicapai berkat pelaksanaan pelatihan bagi para pegawai LoGICA terhadap isu kesamaan hak dan kesetaraan gender. Prinsipprinsip gender termasuk sebagai elemen integral dari semua program pelatihan yang dijalankan oleh para pegawai LoGICA bersama pemangku kepentingan lainnya. LoGICA juga memberikan perhatian khusus untuk menjamin kaum perempuan mendapatkan posisi yang lebih kuat dalam bidang politik, seperti menjadi anggota Dewan Desa. Unit Gender mendukung kebijakan aksi afirmatif yang disusun pada pemerintahan kabupaten, memastikan 30 persen kuota untuk perwakilan perempuan di Dewan Desa, dan melakukan kampanye kesadaran publik terkait pentingnya partisipasi kaum perempuan dalam proses pembuatan keputusan. Unit ini juga melakukan pengembangan kapasitas kaum perempuan yang terlibat dalam pemerintahan desa melalui pelatihan, lokakarya, maupun diskusi grup fokus (focus group discussion, FGD). Inisiatif hukum/qanun pemerintahan kabupaten merupakan dasar yang penting bagi berbagai kebijakan aksi afirmatif yang lebih luas lagi. Namun demikian, kehadiran hukum aksi afirmatif tidak akan cukup untuk mengefektifkan pelaksanaan tanpa kesadaran publik yang lebih besar dari hukum tersebut di dalam masyarakat, yang dilaksanakan oleh para fasilitator desa LoGICA. Proses kesadaran masyarakat ini termasuk pembelaan informal terhadap kelompokkelompok perempuan oleh para staf Unit Gender dan fasilitator LoGICA. Pembelaan informal itu mendorong mereka agar terlibat aktif dalam programprogram pembangunan dan peranan dalam pembuatan keputusan. Unit Gender LoGICA memfasilitasi anggota perempuan di Dewan Desa untuk berkonsolidasi ke dalam sebuah forum bernama Forum Tuha Peut Perempuan Gampong di tiga kabupaten, yaitu Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Dengan mengonsolidasi potensi para anggota perempuan Dewan Desa untuk memberikan kontribusi pada perbaikan bagi diri sendiri dan masyarakatnya, forum ini menjadi amat berpengaruh secara politis. Partisipasi aktif mereka telah secara khusus memengaruhi rasa tanggung

Bagian 5. Pembangunan Sosial

Pascatsunami, tak sedikit norma sosial tinggalan masa konflik masih terus berlangsung, termasuk kurangnya partisipasi kaum perempuan dalam kehidupan sosial dan sipil. Kekacauan politik di Aceh kini telah berakhir, namun kendala dalam hal partisipasi tetap ada. Kaum perempuan perlu kekuatan dan keberanian sebelum terlibat dalam kegiatan publik dan politik. Mereka terus berjuang demi kesamaan hak dan keadilan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi pada masyarakat Aceh yang patriarkhis itu. Terdapat kebutuhan akan dukungan yang berkelanjutan bagi kaum perempuan di Aceh melalui berbagai program yang dirancang untuk mempromosikan kewaspadaan, penguatan, dan pengembangan kapasitasnya.

153

jawab yang lebih baik dalam menjalankan pemerintahan desa, sekaligus memajukan kualitas dan kesetaraan gender. Kaum perempuan di Aceh, sepanjang catatan sejarahnya, belum pernah berpartisipasi dalam Dewan Desa di Aceh. oleh karena merupakan fenomena baru, maka hal ini menimbulkan penolakan dari beberapa elemen masyarakat. Forum ini telah menjalankan sejumlah kegiatan, termasuk pertemuan rutin bulanan dengan seluruh anggota dan mendirikan koperasi perempuan untuk memperkuat kehidupan ekonomi, terutama di Aceh Barat. Berkat partisipasi yang antusias dari anggota forum, berbagai kegiatan ini membantu perkembangan solidaritas kaum perempuan alihalih menunjukkan bahwa mereka sanggup saling mendukung dalam sebuah wadah yang baik dan cara yang mandiri. Yang lebih penting lagi adalah bahwa, kaum perempuan dapat menunjukkan kontribusi mereka yang signifikan dalam politik dan pemerintahan lokal. Di bawah ini adalah contoh yang berkaitan: Pada salah satu pertemuan Forum, berkat upaya anggota Dewan Desa tertentu, mereka menemukan bahwa administrasi desa di kecamatan Panton Reu (Kabupatan Aceh Barat), tak mengalokasikan seluruh anggarannya. Anggota Forum Perempuan Dewan Desa dari desa itu kemudian memutuskan untuk mencari tahu tentang raibnya dana bantuan tersebut. Dan jawaban atas kegigihannya adalah, semua anggota Forum sangat mendorong dan memberinya dukungan penuh. Kekuatan dan kebulatan tekadnya menginsipirasi anggota lain untuk turut mengambil bagian dalam usaha ini. Semangat mereka akhirnya membuktikan bahwa, terjadi praktik korupsi pada anggaran tersebut, sehingga tindakan korektif sangat diperlukan. Kepala desa, yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan kontrol pelaksanaan anggaran dan penyusunan, diberhentikan atas dakwaan Dewan Desa. Pemicunya adalah hasil investigasi yang diprakarsai para anggota Dewan Desa kuatnya tuntutan akan transparansi dan pertanggungjawaban publik dalam pemerintahan desa. (Ibu Ratna Karmila, Fasilitator Pemerintahan Desa) Perlu dicatat bahwa, berbagai perubahan itu merupakan hasil langsung dari partisipasi kaum perempuan pada kehidupan politik lokal. Hal ini mustahil terjadi tanpa dukungan bersama yang terorganisir dan solid di antara kaum perempuan yang difasilitasi oleh Forum Tuha Peut Perempuan Gampong. Perubahanperubahan tersebut telah menandaskan bahwa kaum perempuan, secara tradisional, dapat mematahkan penghalang sejarah budaya dan berpartisipasi aktif dalam, dan memengaruhi, kehidupan politik dan pengembangan masyarakatnya.

154

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Tantangan
Kaum perempuan menyadari potensi mereka. Pada awalnya, adalah sebuah tantangan untuk meyakinkan masyarakat dan kaum perempuan sendiri akan pentingnya kesetaraan gender dalam pemerintahan desa dan pembuatan keputusan

masyarakat. Banyak waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan kaum perempuan tentang kepentingan dan keuntungan dari sebuah forum solidaritas seperti Forum Tuha Peut Perempuan Gampong. Keberhasilan yang belakangan terbuktikan sendiri oleh kaum perempuandalam memengaruhi proses pembuatan keputusan dan kepemerintahan desamembantu mereka untuk menyadari bahwa pengaruhnya penting dan potensial dalam forumforum semacam ini. Penolakan lokal terhadap kaum perempuan dalam kehidupan publik. Penolakan dari anggota Dewan Desa, khususnya kaum lakilaki, merupakan bagian dari pola pikir budaya terdahulu yang menganggap perempuan tak layak dan tak mampu menduduki posisi publik. Kini, kaum perempuan telah menunjukkan kemampuan mereka untuk memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemerintahan desa. Mereka telah membuktikan bahwa ternyata kaum perempuan malah lebih dari mampu untuk berkiprah dalam posisi publik tersebut. Kapasitas individual kaum perempuan. Dalam sejarah, oleh sebab kaum perempuan telah didiskriminasi dalam hal pemegangan posisi penting pada kehidupan umum, kaum lakilaki secara keseluruhan lebih berkesempatan untuk beroleh kualifikasi yang lebih tinggi. Kaum perempuan harus bekerja lebih keras dalam menjembatani kesenjangan empiris ini. Mereka memerlukan dukungan terus menerus dari pemerintah dan badanbadan nonpemerintah. Dukungan itu diarahkan untuk membantu mereka dalam mengembangkan kapasitas dan menyadari potensinya. Adalah sebuah tantangan yang terus berlangsung untuk memastikan bahwa, kaum perempuan mampu dalam hal kepemimpinan dan keterampilan bernegosiasi. Lebih dari itu, komunitas mereka dan birokrasi akan mendukung dalam hal pemenuhan potensi dan pekerjaannya.

Hikmah Ajar
Peningkatan kapasitas SDM yang relevan. Mengembangkan kaum perempuan melalui peningkatan kapasitas SDM yang relevan, termasuk keterampilan berbicara di muka umum dan pelatihan dalam hal motivasi dan kepemimpinan, cukup membantu dalam memaksimalkan potensi mereka. Kapasitas yang meningkat dalam hal memengaruhi pembuatan keputusan Dewan Desa (kesetaraan hak dalam ranah hukum), memastikan bahwa kaum perempuan dapat memaksimalkan pengaruhnya sebagai anggota Dewan Desa. Menciptakan jaringan perempuan untuk pemberdayaan. Mendukung kaum perempuan yang telah menduduki posisi di kantor pemerintahan atau yang berpengaruh untuk membangun jaringan dan forum tempat solidaritas dan pemberdayaan dapat dijalankan, amat dianjurkan bagi programprogram mendatang. Sejalan dengan itu, mereka diarahkan untuk meraih keberhasilan yang lebih besar dalam memengaruhi perubahan di komunitas mereka.

Bagian 5. Pembangunan Sosial

155

United Nations Development Fund for Women (UNIFEM)

156

Pemerintahan Peka-Gender, serta Penguatan Hak-hak Perempuan dan Aksesnya terhadap Keadilan di Aceh

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

UNIFEM telah bekerja sama dengan sejumlah mitra di Aceh dalam rangka
menguatkan hakhak hukum dan akses terhadap keadilan bagi para perempuan. Salah satunya adalah dengan mengarusutamakan gender ke dalam UndangUndang tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan melalui proses penyusunan peraturan daerah atau qanun. Fokus UNIFEM selama ini terletak pada pengembangan kapasitas advokasi terkait gender untuk memasukkan isu gender ke dalam qanun, dan melalui pembangunan pengetahuan dasar akan materi kesetaraan gender dan syariat Islam di Aceh.

Pendahuluan
Berdasarkan UUPA dan UU 18/2001 mengenai otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh memiliki hak untuk menyusun dan mengesahkan qanun, sebuah qanun, yang dilandasi oleh hukum syariah. Masa ini adalah masa genting bagi Aceh untuk memastikan bahwa proses penyusunan qanun ini pekagender dan tidak mendiskriminasi perempuan. UNIFEM memfokuskan diri pada pengarusutamaan perspektif kesetaraan gender ke dalam pengembangan peraturan. UNIFEM juga berupaya memperkuat institusi kunci dan grup inti pada sebuah advokasi yang diposisikan secara strategis untuk mempromosikan hakhak perempuan dalam konteks reformasi hukum Aceh. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan melalui peningkatan kesadaran dan penerapan Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, CEDAW) yang diratifikasi oleh Indonesia pada 1984. Mengingat terbatasnya keterlibatan perempuan dalam proses menuju penandatanganan MoU, kelompok perempuan bergerak untuk memastikan kebutuhan dan aspirasi mereka agar tertampung dengan lebih baik di dalam UUPA. Dipimpin oleh Jaringan Perempuan untuk Kebijakan (JPuK), advokasi gender, dan didukung UNIFEM, draft alternatif disusun dengan beragam rekomendasi untuk memperkuat perundangan yang mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Enam rekomendasi disisipkan ke dalam UUPAmencakup lingkup ekonomi, sosial, dan politikmembuat UUPA menjadi legislasi yang lebih kuat dan adil. Pada masa reformasi hukum di Aceh ini, terdapat banyak kesempatan untuk meningkatkan hakhak hukum perempuan. Dengan mengambil contoh jaringan yang sudah ada atas advokasi gender yang berlaku, UNIFEM berencana mereplikasi model advokasi ini ke dalam UUPA untuk terlibat dalam berbagai qanun penting yang membawa pengaruh besar bagi kehidupan para perempuan di Aceh. Para pemangku kepentingan dan pemicu di balik proyek ini adalah petugas pemerintah, aktivis, kalangan akademisi, dan pekerja hukum yang terus bertambah. Mereka semua adalah rangorang yang peduli dan mau berupaya bagi hadirnya legislasi yang pekagender dan hakhak perempuan di Aceh.

Perkembangan dan Pelaksanaan


Peraturan hukum dan akses terhadap keadilan, penting adanya untuk mewujudkan perdamaian dan tatakelola kepemerintahan yang baik di Aceh. Menyadari hal ini, UNIFEM mendukung advokasi gender di Aceh untuk mengarusutamakan perspektif kesetaraan gender ke dalam pernyusunan qanun. Untuk memastikan akses para perempuan terhadap keadilan, UNIFEM telah bekerja sama erat dengan grup inti advokasi dari pemerintah, organisasi Masyarakat Sipil (oMS), lembaga hukun, dan kalangan akademisi untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menyusun draft perundangan, CEDAW, dan prinsip keadilan gender dalam Islam. Dibekali pengetahuan dasar yang terus bertambah menyangkut gender dan Islam di Aceh, advokasi gender bekerja sama dengan UNIFEM memasukan qanun kunci ke dalam reformasi legislatif di Aceh. UNIFEM menandai tiga komponen penting untuk mencapai tujuan dalam rangka memperkuat hakhak hukum dan akses terhadap keadilan bagi para perempuan di Aceh. Ketiganya adalah: 1. qanun yang pekagender; 2. peningkatan kepemimpinan dan kapasitasnya di antara advokasi kesetaraan gender serta institusi pengarusutama guna mendukung perempuan dalam menuntut haknya; 3. Penguatan kelembagaan terhadap pengetahuan dasar akan CEDAW dan syariat Islam yang diaplikasikan ke dalam hakhak hukum perempuan dalam Islam.

Bagian 5. Pembangunan Sosial

157

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Guna mencapai tujuantujuan ini, UNIFEM mendorong para mitranya untuk terlibat dalam proses penyusunan qanun, tergabung dalam tim formulasi draft, terlibat dalam komite peninjau draft, menghadiri diskusi publik, serta mengadvokasi anggota DPRA secara langsung. Beberapa qanun telah ditandai sebagai prioritas bagi tujuan kesetaraan gender. Qanun itu antara lain Qanun Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Hakhak Perempuan, Qanun Pelaksanaan Pemilu, dan Qanun Himpunan Hukum Jinayat. Para mitra UNIFEM terlibat melalui pelbagai cara dalam lingkupan legislasi lainnya, menghadiri diskusi publik, menjadi anggota komite perancangan dan peninjauan, serta mendiskusikan pentingnya legislasi pekagender di dalam forum publik, media, dan juga dengan para pemimpin masyarakat dan para pengambil keputusan. Proses advokasi ke dalam qanun terstruktur dan terencana. Demi koordinasi dan keterpaduan, para mitra UNIFEM telah mencapai konsensus mengenai mitra mana yang akan memimpin intervensi ke dalam qanun yang diprioritaskan, dan mitra mana yang akan membawahi kampanye advokasi. Kesepakatan resmi ditandatangani oleh Biro Hukum dan mitra terkait. Peningkatan kapasitas adalah komponen penting proyek ini. Hal ini dikarenakan misi dari memasukkan isu gender ke dalam qanun memerlukan keahlian khusus. Keahlian itu antara lain dalam hal merancang perundangan, pengetahuan khusus tentang CEDAW, prinsipprinsip kesetaraan gender dalam Islam, dan bagaimana halhal ini dapat diaplikasikan ke dalam konteks reformasi perundangan di Aceh. Untuk mendukung mitra yang terlibat dalam reformasi qanun, UNIFEM menerapkan program dinamis bagi pembangungan kapasitas menyangkut CEDAW, perundangan pekagender dalam konteks Islami, dan keahlian terkait rancangan perundangan. UNIFEM juga memfasilitasi sosialisasi CEDAW secara meluas bagi pegawai pemerintah, wartawan, mantan inong balee (perempuan ekskombatan GAM), dan kelompok berbasis masyarakat. Berangkat dari berbagai aktivitas ini, para mitra membentuk suatu kerangka kerja analisis perundangan untuk mendukung advokasi berdasarkan perpaduan CEDAW dan prinsip kesetaraan gender dalam Islam. Dalam jangka waktu yang cukup singkat, proyek ini telah mencapai hasil yang nyata dan langgeng. Hakhak politik perempuan berhasil dilebur ke dalam qanun Pelaksanaan Pemilu di Aceh dengan penyertaan kuota anggota perempuan 30 persen dalam Komisi Independen Pemilu (KIP) tingkat provinsi, Komisi Pemilu (KP) tingkat kabupaten, dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh. Qanun Partai Politik Lokal menyertakan kuota kandidat perempuan sebesar 30 persen. Hal ini menempatkan perundangan Aceh sejalan dengan komitmen nasional, sebuah perundangan yang progresif dibandingkan dengan propinsi lainnya. Para mitra UNIFEM telah merancang Qanun Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Hakhak Perempuansebuah perundangan yang mutunya menunjukkan peningkatan berarti dalam keahlian perancangan perundangan dan keahlian beradvokasi di antara para mitra tersebut.

158

Pelatihan CEDAW telah memberikan saya keahlian untuk menganalisis sistem hukum di Aceh, terutama sistem hukum syariah sebagaimana yang sejalan dengan prinsip CEDAW... Semakin lama, semakin kami meliha bahwa, betapa Islam dan CEDAW sebenarnya memiliki nilainilai dan prinsip yang serupa. Soraya Devy (Pusat Studi Wanita IAIN ar-Raniry, Banda Aceh) Landasan usaha ini adalah CEDAW yang memberikan panduan jelas akan definisi kesetaraan, diskriminasi, dan upaya khusus sementara. Pemanfaatan CEDAW telah membantu dalam penggunaan ketepatan istilah dan pengertian bersama akan diskriminasi dan kesetaraan. Hal ini amata bermakna terutama bagi grup inti advokat yang datang dari berbagai latarbelakang pendidikan dan pengalaman serta sudut pandang ideologi. Dengan telah diratifikasinya CEDAW oleh Pemerintah Indonesia, dengan demikian, dapat diandalkan oleh para mitra UNIFEM dalam menguatkan wewenang mengadvokasi hakhak perempuan. Dampak jangka panjang usaha ini memang belum akan dirasakan sampai bertahun tahun ke depan. Akan tetapi, terdapat indikasi bahwa, tumbuh kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan melalui peningkatan kesadaran dan penerapan CEDAW, UUPA, dan qanun. Kesemuanya ini tentu akan membangun landasan yang kuat bagi sistem hukum dan keadilan di Aceh untuk memperkokoh hakhak hukum dan akses terhadap keadilan bagi perempuan pada masamasa mendatang. Indikator dampak awal dari advokasi ini antara lain: (a) Peningkatan status Biro Pemberdayaan Perempuan Aceh menjadi suatu Badan. Hal ini memperlihatkan suatu komitmen yang serius dari pemerintah terhadap pemberdayaan perempuan. (b) Permintaan akan masukan bagi proses pendraftan qanun terhadap para mitra UNIFEM di berbagai kabupaten/kota. Terjadi peningkatan jumlah undangan yang diterima mitra proyek dari badanbadan pemerintah dan hukum untuk menghadiri diskusi menyangkut kebijaksanaan, termasuk di antaranya konsultasi yang difasilitasi oleh Biro Hukum untuk mendapatkan masukan dari advokasi gender menyangkut qanun. (c) Terhimpunnya sejumlah advokasi kesetaraan gender yang dibekali dengan keahlian menyangkut CEDAW dan Islam, serta keahlian merancang perundangan yang peka gender. (d) Dua landasan hukum pokok tentang pemilu di Aceh (Qanun Pelaksanaan Pemilu di Aceh dan Qanun Partai Politik Lokal) telah menetapkan bahwa perempuan diwakilkan

Bagian 5. Pembangunan Sosial

Mereka yang berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan kapasitas melaporkan adanya peningkatan kemampuan dalam menggunakan CEDAW sebagai suatu instrumen analisis dan advokasi. CEDAW juga digunakan sebagai suatu rangka bagi peninjauan dan perancangan qanun. Materi dan instrumen yang dihasilkan untuk menganalisis gender dan Islam di Aceh sangat besar sumbangannya bagi bidang penelitian yang berkembang ini.

159

di dalam Komisi Pemilu Independen (KPI), serta, bagi perempuan yang ingin mengikuti pemilu, di dalam semua partai lokal.

Hikmah Ajar
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

160

Kekuatan proyek ini terletak pada posisi CEDAW terkait pengontekstualisasian dan penempatan prinsip CEDAW tentang kesetaraan gender dalam Islam tanpa kehilangan sifat universalnya. Semua advokasi di Aceh harus mempertimbangkan konteks sosial budaya dan peran Islam dalam masyarakat. Dengan demikian, perpaduan prinsip kesetaraan gender di dalam Islam dan CEDAW menyediakan kerangka untuk memajukan hakhak hukum perempuan di Aceh. Usaha untuk mendefinisikan perpaduan ini telah dilakukan di berbagai belahan duniaMoroko, Afrika Selatan, Malaysiadan akan mendukung usaha advokat gender di Aceh. Diharapkan, mereka kelak akan menyumbangkan penemuan mereka sendiri ke dalam lingkup usaha kesetaraan gender di dalam Islam secara global. Selama ini, penting adanya bagi proyek ini untuk menghilangkan persepsi CEDAW sebagai hal barat. Satu proses yang telah bermanfaat adalah membandingkan prinsip kesetaraan gender dan hakhak asasi di dalam CEDAW visavis Islam, serta membedakan prinsipprinsip Islam dari praktek budaya dan praktik keagamaan seharihari yang memarjinalisasi perempuan. Saya percaya akan prinsipprinsip yang terkandung di dalam CEDAW. Saya percaya bahwa nilai yang dikandungnya selaras dengan prinsipprinsip Islam dalam konteks Aceh. CEDAW memiliki tujuan menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Nilai ini juga dimiliki oleh masyarakat Islam yang ingin menciptakan masa depan yang lebih baik bagi para perempuan. Nursiti Amin (Sekretaris Genderal Balai Syura Ureung Inong Aceh) Salah satu kekuatan tak ternilai dari proyek ini adalah pendekatan pemangku kepentingan majemuk. Bekerja sama dengan beragam pemangku kepentingan, termasuk dengan badan pemerintahan terkait, institusi hukum, institusi agama, oMS, dan institusi akademik, telah memastikan adanya ragam pandangan dan pengalaman yang terepresentasikan dalam dialog. Pada akhirnya, hal ini memperkuat kualitas diskusi mengenai kebijaksanaan dan membangun hubungan yang akan bertahan lebih lama dari jangka waktu proyek ini selain memperkuat jaringan advokasi hakhak perempuan. Kepercayaan penuh dari para pemangku kepentingan, penting bagi pelaksanaan proyek ini, terutama di dalam dialog dan relasi dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya menyangkut keterkaitan antara Islam dan CEDAW. Membangun kepercayaan dan memelihara kerja sama dengan para pemangku kepentingan, akan membuka ruang di mana dialog ini dapat dimulai.

Pendekatan ini memperlebar ruang gerak, serta menunjukkan bahwa kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan melalui pengokohan hakhak hukum mempengaruhi seluruh masyarakat secara positif, bukan hanya pada para perempuan. Di tengah budaya patriarkhi Aceh yang kuat, seorang lakilaki yang berbicara mengenai pentingnya kesetaraan gender memiliki pengaruh yang penting di dalam masyarakat. Proyek ini telah memelihara rasa memiliki dan kesinambungan melalui hubungan dengan mitra terpilih berdasarkan peran yang dapat dimainkan oleh tiap sektor dan pemangku kepentingan, serta melalui keterlibatan aktif para mitra di dalam perancangan dan pelaksanaan proyek ini. Mitra proyek termasuk badanbadan dan institusi kunci pemerintah yang terlibat dalam penyusunan qanun. Proyek ini juga bekerjasama dengan LSM yang berpengalaman dalam pengarusutamaan gender ke dalam reformasi hukum di Aceh, serta dengan institusi akademik. Tantangan yang pernah dialami program ini termasuk saat para mitra organisasi mengambil terlalu banyak proyek dari berbagai donor, sehingga menurunkan kapasitas mereka dalam memenuhi tenggat waktu dan mengerjakan tugas yang dibebankan. Antusiasme dan kemauan untuk terlibat dalam proyek ini harus diimbangi dengan kapasitas dan sumberdaya manusia yang bersungguhsungguh. Metode advokasi, di mana pembentukan jaringan, pengembangan keahlian, dan kerangka kerja untuk analisis didukung dan dibentuk, dapat dicontoh pada berbagai macam lingkup lainnya. Model yang digunakan oleh UNIFEM menyeimbangkan dengan baik tantangan yang ada bagi keberhasilan advokasi dengan menyediakan landasan jaringan advokat yang kuat dan berkesinambungan agar usaha ini dapat berkesinambungan. Jaringan advokasi yang berkesinambungan penting bagi usaha yang dapat bertahan selama bertahuntahun untuk dapat memperlihatkan dampak jangka panjangnya. Terkait upaya replikasi program ini di Aceh, telah disiapkan beberapa landasan penting, yakni: (a) memperkokoh kapasitas institusi semacam Badan Pemberdayaan Perempuan; (b) meningkatkan kepemimpinan dan advokasi di antara para advokat; (c) pemertautan dan pembentukan hubungan yang lebih baik di antara kelompok kelompok yang peduli pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (d) data berdasarkan isu gender (genderdisaggregated data) untuk memberi masukan bagi perencanaan maupun kebijakan yang berdasarkan bukti;

Bagian 5. Pembangunan Sosial

Penting bagi keberhasilan proyek ini adalah bahwa, UNIFEM memelihara kerja sama dengan mitra lakilaki. Sejak awal mula proyek ini, UNIFEM telah berkonsultasi dan membangun hubungan dengan mitra kunci lakilaki yang memiliki kekuatan dan bidang keahlian yang berbedabeda. Kebanyakan tokoh kunci dalam reformasi hukum Aceh adalah lakilaki, dan dengan demikian, aliansi strategis dengan siapapun dari para lakilaki ini menciptakan ruang yang lebih luas bagi keterlibatan.

161

(e) landasan pengetahuan dasar yang berkembang, serta materi yang dapat disebarluaskan dan dikembangkan untuk kepentingan intervensi pada masa mendatang. Faktorfaktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan model ini ke dalam situasi lain antara lain berupa investasi dalam pengembangan kapasitas serta pertimbangan intervensi sebagai awal dari proses panjang yang memerlukan usaha berkesinambungan. Kesadaran terhadap konteks sosialbudaya Aceh telah berperan penting dan telah membentuk arah gerak proyek ini dengan sangat besar. Segala upaya replikasi aktivitas tersebut seyogianya melakukan upaya serupa pula.

162

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) for Aceh and Nias
Bagian 5. Pembangunan Sosial

Membangun Perdamaian Berlatar Belakang Pascatsunami

163

SEJARAH Aceh belakangan dipengaruhi oleh dua peristiwa besar: tsunami 2004
dan Nota Kesepahaman (MoU) 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia. Meski perundingan perdamaian dimungkinkan oleh berbagai perubahan politik di Indonesia prakedua peristiwa tersebut, kita tahu bahwa bencanabencana 20042005 tealah membuka peluang bagi masuknya aktivitas kemanusiaan dan diplomatik. Hal itu diperlukan untuk keberlanjutan perundingan perdamaian yang pada akhirnya berujung pada penandatanganan MoU Helsinki. Ketegaran dalam melalui dua peristiwa tersebutselain pemulihan pascatsunami berskala luar biasa dan kemenangan eksanggota GAM dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2006 tingkat provinsi dan kabupaten di Acehmenumbuhkan persepsi yang kurang tepat bahwa perdamaian di Aceh telah sepenuhnya tercapai. Karena itu, sedikit perhatian yang diberikan pada pemulihan pascakonflik dan pembangunan perdamaian jangka panjang.

Kesepakatan Institusional
Sebagai kelanjutan pelaksanaan MoU Helsinki, Badan ReintegrasiDamai Aceh (BRA) yang baru didirikan, beserta Forum Komunikasi dan Koordinasi, ditugasi untuk melaksanakan syaratsyarat dari MoU Helsinki di tingkat provinsi.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Terkait pelaksanaan MoU Helsinki, proses perdamaian secara eksklusif dipahami sebagai sebuah proses yang dikawal oleh dua pihak penandatangan. Waktu dan tenaga dicurahkan untuk proses perancangan UndangUndang tentang Pemerintahan Aceh. Upaya ini adalah sebagai langkah awal untuk menerjemahkan MoU Helsinki ke dalam ranah praksis dan menyinambungkan isuisu fundamental ke dalam pemerintahan Aceh jangka panjang beserta pengembangan ekonominya. Secara bersamaan, dana bantuan pemerintah pusat yang substansial (diperkirakan sebesar US$250 juta) dialokasikan pada periode Agustus 2005 sampai 2008 untuk skema ad hoc reintegrasi. Dalam praktiknya, atas kesepakatan pendanaan institusional, BRA seringkali dilimpahi tugas sulit untuk membagikan anggaran tahunan mereka dalam jangka waktu tiga bulan. Dengan demikian, pada kuartal terakhir 2008, sejumlah 3.000an ekskombatan GAM, 6.200 eksnonkombatan GAM, dan 3.204 anggota GAM yang telah menyerah praMoU Helsinki, menerima bantuan. Demikian pula dengan 77 persen dari 6.500an anggota milisi. Meski demikian, hanya 65 persen dari 33.424 orang penerima manfaat yang telah menerima kompensasi, dan hanya 3.075 dari 31.187 unit rumah telah dibangun kembali.

164

Dukungan yang Terfragmentasi untuk Proses Perdamaian


Dalam front internasional, langkahlangkah awal untuk pelaksanaan MoU Helsinki didukung oleh Aceh Monitoring Mission (AMM). AMM adalah sebuah prakarsa gabungan Uni Eropa dan Perhimpunan NegaraNegara Asia Tenggara (ASEAN) yang menyediakan bantuan penting dalam membangun kepercayaan antara pihakpihak penandatangan MoU Helsinki. Terlepas dari hal ini, AMM, sedikit prematur, menarik dirinya pada Desember 2006, dan memperkuat kesalahpahaman bahwa perdamaian di Aceh sudah sepenuhnya tercapai. Terlebih lagi, dalam kepemimpinan pemerintahan yang kuat, usaha usaha yang dilakukan oleh organisasi internasional untuk mendukung proses perdamaian secara umum dibatasi hanya pada aktivitas fungsionalnya sajadibatasi dalam arti jangkauan dan cakupan geografis.

Menerapkan Hikmah Ajar dari Seluruh Penjuru Dunia


Seperti telah disebutkan, kebanyakan Mitra Pemulihan yang bekerja di Aceh ada yang sama sekali mengabaikan isu pascakonflik, atau hanya melihat hal tersebut dalam marjin program tsunami mereka semata. Sebagian, ada pula yang beranggapan bahwa mereka kekurangan tenaga ahli yang dibutuhkan untuk terlibat dalam kegiatan pascakonflik atau menyatakan bahwa hal tersebut adalah di luar mandat mereka. Sementara yang lain merasa terhambat oleh tuntutan donor terhadap kelayakan dan tekanan untuk memberikan hasil nyata di lapangan.

Alhasil, operasi pascatsunami dan pascakonflik dipilah secara mendalam. Masing masing operasi pemulihannya berkembang dalam dua garis sejajar tapi terpisah: US$230an juta untuk bantuan pascakonflik yang jumlahnya terlihat lebih sedikit dengan dijanjikannya sejumlah US$7,2 miliar bagi pemulihan pascatsunami. Lebih dari itu, meningkatnya kesenjangan dalam penetapan bantuan mulai menguakkan jalan bagi munculnya konflik di tingkat lokal. Sejak Maret 2007, Bank Dunia, dalam laporan pascakonflik mereka, mencatat terdapat 30an konflik terjadi pada setiap bulannya. Konsekuensinya adalah, hilangnya kesempatan untuk membangunkembali secara lebih baik (buid back better), dengan lebih cepat. operasi pemulihan pascatsunami sebesar US$8 miliar dapat mencapai hasil yang lebih banyak lagi bila saja para Mitra Pemulihan menyematkan kacamata pekakonflik sedari awal. Para organisasi tersebut terbiasa pada pelatihan yang terorganisasi dengan prinsip do no harm untuk para staf proyek atau membuat perubahan operasional berdasarkan analisis dari para ahli. Di samping beberapa inisiatif positif ini, pekakonflik perlu diterapkan pada skala yang lebih luas oleh segenap Mitra Pemulihan, baik di tingkat pelaksanaan maupun kebijakan, demi menggapai hasil yang optimal.

Dari MoU Helsinki Menuju Pendekatan yang Lebih Beragam untuk Proses Perdamaian
Tiga tahun pascatsunami dan MoU Helsinki, Aceh memasuki masa sulit. Indikasinya terlihat dari semakin dekatnya akhir masa tugas BRR dan pemilihan umum 2009. Keuntungan transisi dari gelembung ekonomi (economic bubble) dan eforia rekonstruksi pascatsunami, diikuti oleh pilkada 2006 yang membawa para pemimpin GAM ke posisi puncak administratur daerah, kini telah memudar. Terlebih lagi, naiknya tingkat kekerasan politik menunjukkan bagaimana ketidakmerataan distribusi dari bantuan pemulihan telah menggoyang proses perdamaian di sejumlah wilayah miskin di Aceh. Aceh juga menghadapi paradoks terkait banyaknya sumberdaya manusia yang tersedia sampai kurun 25 tahun ke depanhampir mencapai US$1,7 miliar per tahun. Untuk memanfaatkan sumbersumber demi mencapai perkembangan yang berarti, kemampuan mereka masih terbatas. Sementara itu, dana Pemulihan pascatsunami telah melempangkan jalan menuju Aceh yang lebih baik, dan MoU Helsinki telah mengubah Aceh menjadi provinsi percontohan di Indonesia terkait proses reformasi fundamental: desentralisasi kepemerintahan, perkembangan ekonomi, dan resolusi konflik. oleh karena itu, pergantian dari skema gantirugi dan kompensasi menuju konsolidasi perdamaian jangka panjang melalui penguatan ekonomi dan gesekan sosial, sangat dibutuhkan. Untuk mengawasi masa peralihan ini, dua mekanisme yang strategis dan inklusif telah dikembangkan: Kerangkakerja Pemulihan Aceh (ARF) dan Forum Pemulihan Kabupaten/Kota (KRF).

Bagian 5. Pembangunan Sosial

165

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

ARF adalah pedoman terhadap tantangantantangan kunci yang harus diselesaikan pada 20082011 oleh Gubernur. Perdamaian dan Reintegrasidikenal sebagai enam kelompok pertamadibangun pada strategi BRA dalam rangka mengembangkan kapasitas perdamaian dan menyorot tuntutantuntutan pascakonflik yang harus segera dipenuhi sebagaimana tertera dalam MoU Helsinki. KRF dirancang untuk membantu koordinasi tingkat kabupaten/kota, yang akan dijadikan sebagai alat dalam mempromosikan peningkatan kapasitas perdamaian dari pemangku kepentingan tingkat kabupaten/kota, serta mempromosikan prinsip do no harm di antara para anggotanya.

Tindak Lanjut dari Kerangka Kerja MoU Helsinki: Rencana Aksi yang Beragam
Sementara MoU Helsinki tetap menjadi fondasi untuk menerjemahkan perdamaian ke dalam praktik, sebenarnya sistem pengembangan kapasitas perdamaian adalah sesuatu yang lebih luas dan rumit. Hal ini melibatkan serangkaian kegiatan yang berkaitan satu sama lain, yang bekerja untuk mencegah agar perselisihan tidak tumbuh atau memburuk menjadi konflik kekerasan. Caranya, dengan menangani dampaknya dan akar permasalahan dari konflik tersebut dengan segera. Dengan mengingat hal ini, pada kuartal terakhir 2007, BRA mengusulkan sebuah pendekatan tiga pilar yang baru dan komprehensif bagi pemulihan pascakonflik dan pembangunan perdamaian. Tiga pilar yang dikemas dalam slogan pascatsunami membangun kembali secara lebih baik itu mencakup: rekonstruksi dan reintegrasi: membantu para penyintas konflik, membangun kembali lingkungan menjadi hunian yang (ny)aman; kebenaran, rekonsiliasi, dan gesekan sosial: membantu individu korban konflik, membangun kembali masyarakat yang damai, hal ini ditanamkan ke dalam nilai nilai kepercayaan dan penghormatan bersama; konsolidasi perdamaian dan pencegahan konflik: membangun perdamaian yang berkesinambungan dengan menangani akar permasalahan dari konflik dan mengintegrasikan pekakonflik pada tingkat kebijakan dan operasional; Garis besar tahapan rencana aksi untuk menjalankan strategi: memperkuat dan memperluas kemitraan strategis: membangun berdasarkan pengalaman BRR, pemerintah akan memimpin suatu jalinan kerja sama yang lebih luas dan menitikberatkan pada hasil yang bergantung pada dana dan keahlian yang mencukupi di tingkat nasional dan internasional; mengembangkan peralatan dan prosedur untuk pemantauan yang lebih baik bagi kontribusi dan perkembangan para mitra dalam menangani kebutuhan para penyintas:

166

Tujuan Umum: Kemitraan Perdamaian dan Efektivitas Bantuan dalam Praktiknya


Dengan kerangka kerja ini, konsepkonsep berikut akan membantu pembuatan program dan kebijaksanaan pada masa mendatang. 1. Informasi yang membaik dan manajemen pengetahuan penelitian akademis atas Aceh dan proses perdamaian serta keahlian global pada reintegrasi pascakonflik yang lebih menyeluruh akan diintegrasikan ke dalam penyusunan kebijakan dan pemprograman. Laman Kantor PBB untuk Koordinator Pemulihan AcehNias (UNoRC) akan memuat laman pascakonflik sebagai sumber informasi dan perangkat stock taking. Akses intranet juga akan mendukung kolaborasi operasional dan penyebaran informasi secara informal. Solutions Exchange (Pertukaran Solusi) adalah komunitas dating (online) yang terdiri dari para ahli yang menyediakan forum untuk mendiskusikan isu pascakonflik. Saat ini rencana sedang dalam proses mengembangkan praktik masyarakat yang diperuntukkan bagi perdamaian dan reintegrasi. The Aceh Recovery Newsletter akan menjadi perangkat yang penting untuk mengadvokasi dan menginformasikan pembacanya tentang isuisu penting berisiko dalam proses perdamaian Aceh 2. Membangun di atas pengalaman dari praktik menuju kebijakan, dan sebaliknya MultiStakeholder Review (MSR) membangun di atas prakarsa sebelumnya dan melakukan analisis tambahan untuk menyediakan dasar bagi pembuatan keputusan yang bermanfaat atas program pascakonflik. IoM Meta Analysis adalah sebuah contoh bagus dari analisis pascakonflik yang menginformasikan kerangka perdamaian BRA. Analisis tersebut menyoroti semua jarak dan efektivitas secara keseluruhan dari bantuan IoM sampai 2007 dan mengevaluasi kerja sama selama tiga tahun terakhir antara Pemerintah Indonesia, masyarakat Aceh, GAM, dan para tokoh internasional.

Bagian 5. Pembangunan Sosial

matriks berbasis hasil (result based matrix/RBM) menerjemahkan strategi menjadi hal yang terencana, dengan indikator berbasis hasil untuk memastikan perdamaian jangka panjang. RBM akan membantu manajemen informasi dan pemantauan perkembangan. database kemitraan pascakonflik telah disesuaikan untuk menyediakan informasi yang akurat dan tepatwaktu atas kontribusi para mitra. Nilai tambah dari pangkalandata adalah untuk memfasilitasi dialog dan advokasi di tingkat kebijakan, mencatat semua upaya yang sedang berlangsung, mengidentifikasi kekosongan, serta mempromosikan efektivitas bantuan. menjembatani jarak antara kebijakan dan praktiknya: memahami bahwa hasil proyek akan tetap sedikit bila proses perdamaian gagal menangani secara lengkap kerumitan yang luas, isuisu yang saling berhubungan, dan berisiko.

167

3. Dialog Perdamaian dan Koordinasi Forbes Damai adalah sebuah forum yang membawa baik rekan kerja nasional maupun internasional untuk mendiskusikan isuisu pascakonflik. Forum ini membantu pengelolaan data, pemantauan dan evaluasi, serta mempromosikan strategi pemulihan yang lebih teratur dan logis di Aceh. Komisi untuk perdamaian yang berkelanjutan di Aceh menjalankan pertemuan bulanan, membawa para wakil dari Pemerintah Indonesia dan eksGAM untuk bersama sama berjuang dalam diskusi terkait masalah keamanan. Hal ini telah terbukti berguna untuk mencegah meluasnya kekerasan di beberapa kejadian.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Kesimpulan
Pada pertengahan periode transisi pascatsunami, memahami keadaan pascakonflik di Aceh menjadi lebih penting dari sebelumnya. Pemulihan pascakonflik dan konsolidasi perdamaian sangatlah penting bagi kesinambungan manfaat dari investasi miliaran dolar yang sebelumnya belum pernah terjadi dan membuka jalan bagi pembangunan jangka panjang. Kerangkakerja perdamaian yang komprehensif dan rencana aksi yang berkembang melalui BRA menyediakan kejelasan pada langkahlangkah yang diambil sampai saat ini. Pun demikian dengan agenda tentang bagaimana terlibat secara efektif pada pembangunan perdamaian pada masa mendatang. Kerangkakerja tersebut juga menyediakan sebuah landasan untuk diskusi advokasi dan kebijakan lebihlanjut. Prakarsa untuk memperbaiki manajemen informasi dan struktur koordinasi, lebih lanjut akan membantu para mitra untuk membangun pengalaman positif di Aceh dan menyumbangkan manfat tentang keahlian pascakonflik di Indonesia dan di manapun juga.

168

World Vision Indonesia

Penyuluhan pada Masa Pemulihan: Pengalaman Aceh

Pendahuluan
organisasi kemanusiaan internasional seperti World Vision, kesetaraan gender dan partisipasi adalah salah satu komponen kunci kesuksesan dalam melaksanakan program bantuan. Pendekatan World Vision terutama berdasarkan penekanan yang kuat pada partisipasi masyarakat, di mana lakilaki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk turut menyumbang bagi proses pembangunan. World Vision percaya bahwa pendekatan ini efektif dalam menangani kemiskinan, mempromosikan keterlibatan masyarakat sipil, dan memperkokoh masyarakat. Pendekatan ini telah digunakan pada masa krisis di Aceh yang bukan hanya hancur akibat gempa bertsunami, melainkan juga karena konflik. Pada situasi konflik dan bencana, kaum perempuan menjadi rentan terhadap pelanggaran hak azasi manusia (HAM). oleh karena itu, penting untuk menjadikan kebutuhan khusus para perempuan di Aceh sebagai fokus perencanaan bagi semua program bantuan kemanusiaan. Bila kebutuhan penyintas tidak dianalisis dengan sungguhsungguh dalam konteks gender, program bantuan kemanusiaan mana pun hanya akan tertuju kebutuhan segmen masyarakat tertentu saja, yang di antaranya terdapat kaum perempuan sebagai elemen terbesar. Pascatsunami, kaum perempuan, khususnya janda dari desadesa dan daerah terpencil, mengalami kesulitan dalam mendapatkan bantuan kemanusiaan. Hal ini biasanya akibat ketidakmampuan mereka untuk menjangkau tempattempat

BAGI

Bagian 5. Pembangunan Sosial

169

pendistribusian bantuan serta kepercayaan yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak pantas pergi ke tempat yang banyak lelakinya untuk meminta bantuan. Banyak perempuan kehilangan harta benda, termasuk pakaian dan jilbab. Trauma karena kehilangan orangorang terkasih membuat mereka semakin merasa tidak aman di tengahtengah masyarakat konservatif yang menerapkan aturan yang secara spesifik menggariskan perbedaan antara kaum lakilaki dan perempuan. Dalam konteks ini, permasalahan gender yang populer harus menjadi pendekatan yang fundamental. Kaum perempuan dilihat sebagai elemen yang penting, yang harus dipandang dan dimasukan ke dalam semua rencana dan prosedur penanganan bencana.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pengembangan dan Pelaksanaan


Demi menjamin partisipasi dan perlindungan untuk segmen yang lemah dalam populasi, Respon Tsunami Indonesia dari World Vision membentuk Satuan Pelindungan Kemanusiaan. Departemen ini bertanggung jawab menjamin keperluan kemanusiaan yang muncul dari para penyintas yang ditangani dengan selayaknya dalam program program World Vision, dan bahwa bantuan kemanusiaan diberikan tanpa memandang gender dan menjamin partisipasi semua pihak. Tim Perlindungan Kemanusiaan menjalankan beberapa penilaian yang partisipatif untuk menyorot kebutuhan darurat seperti tempat tinggal, air, dan sanitasi. Sebanyak 58 unit transitional living center (pusat hunian sementara, TLC) yang dibangun World Vision dipantau oleh para petugas perlindungan kemanusiaan di Banda Aceh. Penilaian ini menghasilkan data terpilih tentang para penyintas (lakilaki atau perempuan, anak lakilaki atau anak perempuan, serta perbedaan dalam kebutuhan mereka). Menyortir data sangatlah penting untuk penentuan dan perancangan jenis bantuan yang diperlukan karena mereka memiliki kebutuhan utama, misalnya, kebutuhan kesehatan dan ekonomi. Kendati demikian, dalam situasi tanggap darurat apapun, akan menjadi sulit untuk menentukan kebutuhan yang tepat bagi kaum perempuan. Pada pascatsunami, kaum perempuan jarang terlihat menghadiri pertemuan masyarakat dan sesi pelatihan. Pada awalnya, mayoritas orang, termasuk tokoh masyarakat, dan beberapa pegawai LSM berasumsi bahwa melibatkan kaum perempuan dalam berbagai usaha hanya akan buangbuang waktu. Mereka merasa yakin bahwa sulit meyakinkan masyarakat agar mau mengijinkan kaum perempuan berpartisipasi. Salah satu kendalanya adalah penolakan dari tokohtokoh masyarakat, khususnya para pemimpin agama, yang merasa terancam dengan pendekatan cara Barat yang dapat mengacaukan peran pembuatan keputusan dan nilainilai yang berlaku dalam masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa focus group discussions (FGD) dan pertemuan pertemuan informal dilaksanakan khusus bagi kaum perempuandipimpin oleh

170

pegawai perempuan untuk menjamin kerahasiaannya. Kegiatan ini diselenggarakan untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka dan kemudian menginformasikannya kepada World Vision tentang bagaimana programprogram itu dapat dirancang kembali menurut rekomendasi kaum perempuan. Mereka menyoroti pentingnya sumber pencaharian, karena, selama pascatsunami, kebanyakan dari mereka terpaksa menjadi kepala keluarga. Namun demikian, mereka tidak memiliki ketrampilan, terlatih, atau modal yang dibutuhkan untuk mengembangkan usaha atau mendapatkan pekerjaan. Para perempuan juga menyatakan bahwa banyak NGo yang mendorong mereka untuk ikut berpartisipasi namun tidak menyediakan program mata pencaharian apa pun bagi mereka. Bahwa partisipasi tanpa kehidupan ekonomi yang independen, belumlah cukup. Sebagai jawaban dari hal ini, prakarsa ekonomi yang dijalankan oleh World Vision mengganti orientasinya untuk memenuhi kebutuhan kaum perempuan. Proyek World Visions Female Friendly Spaces juga mengganti fokusnya untuk menyertakan program program inovatif yang tetap menghormati budaya setempat serta mempromosikan kegiatan pembaharuan penghasilan bagi kaum perempuan, baik secara tradisional maupun nontradisional. Dalam waktu beberapa bulan, skenario ini berubah secara signifikan. Para perempuan berpartisipasi aktif di tingkattingkat yang berbeda pada bantuan kemanusiaan dan proses pemulihan. Pada kebanyakan masyarakat, perempuan, meski terbatas secara budaya, namun penting perannya. Pada banyak kasus, kaum perempuan menjadi yang pertama dalam menyampaikan pendapat dan secara terbuka mendiskusikan masalah masalah yang dihadapi oleh diri maupun masyarakatnya. World Vision dan sejumlah LSM yang bekerja di Aceh membantu menciptakan perubahan yang signifikan pada partisipasi kaum perempuan melalui pengembangan kapasitas SDM agar mereka dapat aktif terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian, tantangan besar pun menunggu, terutama dalam usaha menuju integrasi yang lebih efektif terhadap perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan kemanusiaan dan program pemerintah. Banyak organisasi berasumsi bahwa partisipasi gender akan menjadi lebih adil bila terdapat keseimbangan jumlah peserta lakilaki dan perempuan yang hadir dalam suatu pertemuan masyarakat. Namun demikian, usaha untuk menjamin bahwa jumlah peserta perempuan sebanyak lakilaki hanya sebagai langkah awal yang penting menuju penjaminan kesetaraan gender dalam program bantuan kemanusiaan. Tanpa strategi khusus yang bertitik pusat pada penguatan kaum perempuan dalam rangka membangkitkan kembali rasa percaya dirinya, mustahil mereka akan berani berbicara alihalih terpenuhi kebutuhannya. oleh karena itu, World Vision merasa perlu merancang sebuah strategi yang dapat melibatkan kaum perempuan dalam proses pemberian bantuan kemanusiaan dan berbagai kegiatan sosial, sembari tetap mengakomodasi normanorma sosial, budaya, dan agama.

Bagian 5. Pembangunan Sosial

171

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Isu ekonomi, merupakan hal primer yang sering diungkapkan oleh kaum perempuan pada berbagai FGD. Pasalnya, seluruh infrastruktur ekonomi masyarakat di sepanjang pesisir Aceh telah tersapu tsunami, tanpa menyisakan sedikitpun sumber penghasilan bagi mereka. Sebagai jawabannya, di samping perumahan, kebutuhan dasar yang utama bagi penduduk setelah tsunami adalah kesempatan kerja. Meski demikian, dalam hal mata pencaharian, kaum perempuan kembali secara khusus menghadapi tantangan ketika mereka mencoba mencari pekerjaan. Situasi ini terutama disebabkan oleh budaya patriakhis masyarakat Aceh: kaum lelaki adalah kepala rumah tangga dan harus mendapat prioritas dalam hal pencarian pekerjaan. Sebetulnya, dalam keadaan darurat dan situasi pemulihan, tak sedikit kaum perempuan yang menjanda terpaksa menjadi kepala keluarga. Mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali harus terus berusaha mempertahankan dan mendapatkan sumber penghasilan mereka. Sayangnya, program pemerintah dan lembaga kemanusiaan mengabaikan hal ini. Program cash for work dirancang untuk memecahkan masalah di atas. Program program ini diharapkan dapat menyediakan kesempatan berharga bagi kaum perempuan untuk menghasilkan pendapatan seharihari melalui berbagai pekerjaan sementara. Meski demikian pekerjaan itu, antara lain berupa membersihkan puingpuing rumah yang terkena tsunami, tetap saja belum mampu menyediakan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan sebuah usaha yang berkesinambungan. World Vision, karena tidak ingin kaum perempuan terabaikan setelah program cash for work berakhir, merancang sebuah program yang inovatif dan tetap menghormati norma norma yang berlaku. Kegiatan program mata pencaharian ini dijalankan dengan hatihati, terutama dalam mengakomodasi kebutuhan khusus kaum perempuan. Kebutuhan yang diakomodasi itu seperti tempat yang aman untuk melakukan berbagai kegiatan serta pengaturan jadwal pelatihan yang memperhatikan tanggung jawab tugas rumah tangga mereka. Program mata pencaharian ini dirancang untuk menyediakan kesempatan bagi kaum perempuan untuk bekerja dalam kegiatan mikroekonomi yang spesifik. Walaupun masalah ekonomi merupakan fokus utama bagi kaum perempuan, kepedulian Unit Perlindungan Kemanusiaan juga memperhatikan keselamatan dan keamanan mereka. Unit ini berusaha menjamin kekerasan terhadap kaum perempuan tidak terjadi di dalam lingkungan TLC. Jumlah yang terlalu banyak, kurangnya bahan makanan dan air bersih, pencahayaan yang buruk, dan dampak psikologis akibat terasingkan, menjadi masalahmasalah utama yang dialami oleh penyintas bencana. Bagi kaum perempuan, khususnya, pelecehan gender semakin memperburuk penderitaan.

172

Penduduk desa yang tinggal di tempattempat penampungan datang dari berbagai komunitas. Kebanyakan dari mereka, sebelum tsunami, tidak memiliki hubungan sosial satu sama lain. Meski demikian, mereka tertuntut untuk terus melanjutkan hidup di sana. Kurangnya pencahayaan yang memadai, khususnya di sekitar kamar mandi dan dapur, menuntun pada situasi yang rentan bagi kelompok yang lebih lemah, seperti kaum perempuan dan anakanak. Mereka merupakan sasaran empuk bagi segala bentuk kekerasan fisik, termasuk pelecehan seksual, atau penyerangan. World Vision tidak memiliki pilihan selain mengambil tindakan pencegahan terhadap kekerasan gender di pusatpusat penampungan. Sebuah sistem keamanan yang berbasis masyarakat didirikan melalui diskusi dengan para penduduk yang tinggal di sana. Usaha ini melibatkan baik kaum lakilaki maupun perempuan agar mereka semua merasa bertanggung jawab menjaga keamanan di penampungan. Pada pertemuanpertemuan informal ini, selalu ditekankan bahwa pencegahan terhadap segala bentuk pelecehan dan kekerasan sangatlah penting. Bila masalah serupa muncul, World Vision akan melibatkan baik kaum lakilaki maupun perempuan dalam pertemuan untuk mencegah terjadinya aksi kriminal atau perluasannya.

Analisis
Karena semua yang menghuni tempat penampungan mengalami tingkat kesulitan dan ketidaknyamanan yang sama, perlu diusahakan agar kaum perempuan tidak dianggap diistimewakan atau diberi pelayanan yang lebih. Beberapa orang malah menganggap bahwa keluhankeluhan yang disampaikan kaum perempuan hanyalah sebuah cara untuk mencari perhatian. Pemikiran seperti ini cenderung memusnahkan pentingnya kesadaran gender dalam dasar pemikiran awal untuk penanganan bencana. Berbagai pengalaman yang muncul dalam usaha memasukkan isu gender dalam perencanaan bantuan di Aceh memberikan pelajaran yang berharga, yakni: 1. Analisis bantuan kemanusiaan yang berbasis gender mengindikasikan bahwa kebutuhan dasar kaum lakilaki berbeda dari lawan jenisnya. oleh karena itu, penyortiran data tentang jenis kelamin para pengungsi sangat membantu dalam perencanaan bantuan; 2. Lakilaki dan perempuan memiliki kelemahan yang berbeda dalam matra keagamaan, budaya, dan normanorma sosial; begitu pula dengan usia. oleh karena itu, lakilaki dan perempuan memiliki permasalahan sendiri selama tinggal dalam penampungan; 3. Program mata pencaharian, seperti cash for work, tidak selalu sepenuhnya menguntungkan kaum perempuan karena perilaku sosial yang cenderung membuat mereka tak terlihat.

Bagian 5. Pembangunan Sosial

173

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Guna menentukan kebutuhan kaum perempuan yang spesifik dan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan masa transisi di Aceh, perlu disadari bahwa efektifitas tidak akan ditemui bila membawa kaum lakilaki dan perempuan duduk bersama dalam berbagai pertemuan informal maupun kelompok diskusi. Budaya Aceh mengharuskan kegiatan untuk kaum lakilaki dan perempuan diadakan secara terpisah. oleh karena itu, perlu diadakan FGD khusus perempuan. Para perempuan ini hanya mengumpulkan data yang berharga dan informasi tentang berbagai hal yang tidak akan berlaku bila ada kaum pria. Namun demikian, bukan berarti bahwa penanganan pascabencana sematamata difokuskan pada baik lakilaki maupun perempuan. Pengarusutamaan gender, justru memasukkan keduanya dalam upaya untuk menjamin keadilan dalam proses pemulihan pascabencana.

174

Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia


KESINAMBUNGAN pemulihan hanya dapat diraih jika kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM)nya terbangun baik. Mengingat pemerintah daerah terkait kelak merupakan pengambil alih dan penyinambung pekerjaan yang telah dirintis sebelumnya oleh para pelaku pemulihan, banyak sudah program peningkatan kapasitas SDM setempat yang diimplementasikan. Programprogram itu, beberapa di antaranya termaktub di dalam 9 studi kasus sektor ini, telah memperkenalkan beragam cara dan metode berbeda untuk memastikan bahwa pemerintah daerah setempat terlibat dalam usaha pemulihan. Dari 9 studi kasus yang ada4 tercetak dan sisanya di dalam CD Seri Buku BRR proyekproyek lintas sektoral menjabarkan cara bagaimana peningkatan kapasitas itu dicapai.

Pusat Data Geospasial Aceh (AGDC), secara bertahap mengambil alih peran SIMC BRR dalam penyimpanan, pengelolaan, dan pendistribusian data geospasial. Dalam rangka itu, AGDC mengumpulkan staf dari 14 instansi Pemprov untuk dilatih mengoperasikan GIS, seperti aktivitas mereka di AGDC yang beroperasi di gedung Bappeda Aceh, Banda Aceh, 27 Oktober 2008, ini. Foto: BRR/Arif Ariadi

Canada Aceh Local Government Assistance Program (CALGAP)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

178

Pengembangan Layanan Pemerintah melalui Pendekatan Proyek Percontohan: Proyek Pembuatan Pupuk Kompos di Kota Banda Aceh

PADA Februari 2005, Canadian International Development Agency (CIDA)


mengundang Federation of Canadian Municipalities (FCM) untuk berpartisipasi dalam sebuah misi bagi Indonesia. Misi itu adalah, bagaimana menentukan bantuan apa yang dapat diberikan oleh mitra Kanada bagi proses Pemulihan AcehNias. April 2006, CIDA menyetujui proposal FCM untuk Canada/Aceh Local Government Assistance Program (CALGAP), yang kemudian mulai beroperasi pada bulan berikutnya. Dalam hal penyediaan bantuan bagi seluruh kota, aset Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) masih terbatas. Sekalipun demikian, berbekal kepemimpinan yang berdedikasi, DKP berupaya keras untuk memberikan pelayanan umum secara sungguh sungguh. Kurangnya penyebarluasan dan kegiatan outreach publik yang terkoordinasi pada isu pengelolaan samaph dan prakarsa pengalihan limbah, mengarahkan fokusnya pada upaya membangun pengumpulan limbah dan tempat pembuangan akhir (TPA). Pihak swasta sendiri, meski belum terorganisir sepenuhnya, sebenarnya telah mencetuskan beberapa kegiatan daurulang sampah. Limbah berupa botol plastik, baja, kaca, dan aluminium yang dikumpulkan oleh para pemulung dan masyarakat, telah membentuk jejaring daurulang informal. Terkait dengan diperolehnya pendapatan dari penjualan barangbarang tersebut, jejaring itu tentu bermanfaat. Sebuah audit limbah rumah tangga yang diselenggarakan pada Juni 2006 memperkirakan bahwa 70 persen jumlah limbah organik ditemukan dan dikumpukan pada produksi limbah.

Berangkat dari reaksi atas faktorfaktor tersebut, staf CALGAP dan mitra bekerja sama dengan DKP lantas menginisiasi sebuah proyek: Pengembangan Industri Rumah Tangga Pembuatan Kompos di Pidie, Aceh Jaya, dan Banda Aceh. Tim proyek, bekerja sama dengan para pemangku kepentingan utama di Banda Aceh, menetapkan prioritas, tujuan, dan objektivitas dari proyek tersebut. Guna menyediakan sebuah solusi yang praktis bagi dilema pengelolaan limbah kota, program pembuatan kompos halaman belakang menunjukkan bahwa, betapa melalui manajemen korporat yang baik, pemerintah kabupaten/kota dapat bekerja sama dengan masyarakat. Kerja sama itu, tentunya, adalah dalam rangka memperbaiki layananlayanan yang disediakan oleh pemerintah, yang pada akhirnya, akan memperbaiki kualitas kehidupan dan kesehatan warga.

Pendekatan CALGAP untuk Pengembangan Kapasitas SDM


Selama Juni 2006 hingga Mei 2007, FCM menjalankan enam misi bantuan teknis bagi pengembangan prakarsa ini di Banda Aceh. Misi pertama, untuk membangun kemampuan para pegawai DKP dalam hal ketrampilan praktis sehubungan dengan perencanaan serta penyelenggaraan program pengalihan limbah di daerah. Adapun bagi warga, hal tersebut dapat memasyarakatkan musyawarah dan keterbukaan di masyarakat. Misi itu juga bermaksud untuk membantu implementasi proyek perdana industri rumah tangga pembuatan kompos beserta pengembangannya di desa landaan tsunami (Gampong Jawa) dan di dua sekolah setempat (SMPN 12 dan Madrasah Babun Naja). Proyek ini bertujuan untuk menyediakan berbagai solusi praktis terkait problem pengelolaan limbah serta merangsang tumbuhnya kepedulian. Misi ini terarah pada pencarian berbagai kesempatan yang inovatif serta pemasaran pupuk kompos yang sudah siap. Perlunya, agar dapat memberikan kontribusi pada restorasi, pembangunan kembali, dan pemolesan proyek setempat lainnya, sambil menyediakan sumber penghasilan potensial bagi warga setempat. Perhatian juga diberikan terhadap kemungkinan perpanjangan proyek percontohan bagi desadesa lain dan pada akhirnya, bagi seluruh Banda Aceh. Selama permulaan misi, tim CALGAP melakukan penilaian pada operasi pengelolaan limbah yang ada (termasuk TPA yang dikelola kota), program daurulang oleh sektor swasta, serta rumah industri kompos percontohan yang didanai NGo. Atas bantuan DKP, tim CALGAP mengunjungi Gampong Jawa, SMPN 12, dan Madrasah Babun Naja. Mereka juga mengidentifikasi para pemimpin masyarakat yang tertarik membantu proyek percontohan tersebut. Serangkaian lokakarya diberikan kepada para pegawai DKP untuk membagi pengalaman langsung tentang teknologi pembuatan kompos. Akhirnya, para pegawai CALGAP dan DKP berkolaborasi untuk menyelesaikan penelitian komposisi limbah di daerah percontohan demi menentukan garis besarnya.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

179

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Selama misi kedua, tim proyek Kanada dan pegawai DKP meneliti sejumlah pemasok lokal untuk pengadaan alat pembuatan kompos. Tim bertemu dengan administrator sekolah, para guru, anakanak, dan penduduk desa untuk mendiskusikan proyek tersebut serta mengumpulkan masukan tentang ukuran maupun jenis wadah yang diinginkan. Pendidikan merupakan fokus utama dalam misi ini, antara lain melalui peluncuran logo pembuatan kompos dan berbagai kompetisi penulisan esai di sekolahsekolah. Tim juga berkonsultasi dengan sekolahsekolah tentang pengembangan buku catatan pembuatan kompos untuk dipakai sebagai bagian dari kurikulum. Selain itu, tim memimpin lokakarya pengembangan kapasitas SDM dengan para pegawai DKP, wakil desa dan sekolah, menanamkan saran teknis pengelolaan limbah dan berbagi pendekatan masyarakat Kanada untuk konsultasi publik maupun keterlibatan masyarakat. Persiapan yang intensif dibutuhkan untuk misi ketiga, di mana program pembuatan kompos percontohan diluncurkan. DKP menjalin kerja sama yang erat dengan para pemimpin setempat, kantor walikota, dan tim proyek CALGAP untuk mengoordinir peluncuran, mendistribusikan undangan, dan materi pendidikan. Ember dan wadah untuk pembuatan kompos diperiksa dengan seksama dan diantarkan ke rumahrumah tangga yang berpartisipasi. Para pegawai bekerja sama membuat dua alat pembuat pupuk kompos berukuran besar bagi sekolahsekolah percontohan. Proyek yang diluncurkan pada 11 Februari 2007 ini disambut antusias oleh masyarakat. Dukungan yang kuat tergalang dari para pegawai, masyarakat lokal, serta masyarakat internasional yang bekerja pada sektor limbah di Aceh. Kunjungan dari pintu ke pintu setelah peluncuran memungkinkan tim menjawab pertanyaan, memecahkan masalah, dan meneliti proses selanjutnya. Misi keempat dan kelima digunakan untuk merencanakan serta memulai perpanjangan proyek percontohan ke seluruh Kota Banda Aceh. Adapun misi terakhir, adalah melakukan tindaklanjut dan evaluasi proyek bersama dengan DKP dan sejumlah pemangku kepentingan. Proyek audit limbah dilaksanakan di desa dan sekolahsekolah sehingga tim dapat melihat keberhasilannya dengan membandingkannya terhadap jumlah garis besar komposisi limbah. Tim terus melakukan investigasi terhadap kesempatan pemasaran kompos yang telah siap kepada para pengembang properti untuk kebutuhan landscape mereka. Berangkat dari keberhasilan proyek percontohan, sebuah rencana untuk memperluas program pembuatan pupuk kompos dikembangkan bersama dengan DKP.

180

Hasil Proyek Percontohan


Peluncuran proyek dihadiri oleh 1.200an orang dan diulas oleh berbagai media cetak, televisi, dan radio. Pembukaan acara ditandai dengan slogan Banda Aceh yang Bersih dan Indah, yang turut menyumbang dalam peningkatan kepedulian masyarakat akan persoalan pengelolaan dan pengalihan limbah. Pada desa perdana, Gampong Jawa, evaluasi yang telah dilaksanakan menunjukkan, 75 dari 350 (atau sekitar 21 persen) rumah tangga berpartisipasi dalam proyek ini. Namun demikian, penyeleksian limbah desa, yang dijalankan tiga bulan setelah proyek percontohan dimulai, menunjukkan penurunan dalam persentase limbah organik pada produksi limbah. Hanya 17 persen dari limbah yang telah dipilih yang cocok untuk bahan pembuatan komposdibandingkan dengan 70 persen jumlah garis besar yang diukur pada proyek percontohan. Capaian yang mengesankan ini dijelaskan oleh kenyataan bahwa rumah tangga yang membuat kompos adalah yang memiliki banyak anggota. Proyek ini kemudian berhasil menarik para penggerak utama dari limbah organik. Di SMPN 12 dan Madrasah Babun Naja, dua perkumpulan pembuatan kompos dibentuk untuk bertanggung jawab atas pengaturan limbah organik sekolah. Sebanyak 10 siswa dan 10 siswisejalan dengan prinsip kesetaraan jenderdari kelas sains berpartisipasi dalam perkumpulan ini. Tanggung jawab pengelolaan limbah di antara para pegawai dan pelajar beralih ke area lainnya, sehingga menelurkan perbaikan dalam hal kebersihan halaman sekolah. Kompos yang telah siap, juga digunakan untuk perawatan taman sekolah. Proyek ini telah berhasil mengembangkan pengetahuan dan keterampilan para pegawai DKP dalam aspek teknis pembuatan kompos dan audit limbah. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan mereka dalam operasi reguler dari departemen. Pegawai DKP juga mengembangkan kemampuan mereka dalam melaksanakan konsultasi publik, melibatkan masyarakat, serta melaksanakan berbagai program pendidikan seperti pendaurulangan kertas. Akhirnya, melalui persiapan aplikasi pendanaan dan anggaran untuk perpanjangan program percontohan, DKP mampu memperkuat pengelolaan proyek dan usul pengembangan kemampuan, secara bersamaan mengambil langkah menuju integritas CALGAP yang telah dimandatkan dan pertanggungjawaban keuangan. Setelah peluncuran proyek percontohan, DKP menerima sejumlah permintaan untuk alat pembuatan pupuk kompos dari penduduk desa lain. DKP segera mengorganisir pertemuan masyarakat di 3 desa dan melaksanakan berbagai pelatihan dengan sekitar 30 keluarga dari tiap desa. Para politiisi di Banda Aceh pun memberikan dukungan besar pada pengembangan program pembuatan pupuk kompos. Sebagai tanggapannya, CALGAP mengembangkan sebuah rencana kerja yang luas untuk mengembangkan industri rumah tangga pembuatan kompos seBanda Aceh. Perpanjangan proyek percontohan ini antara lain mencakup bantuan teknis yang berlanjut, pelatihan ad hoc, pendistribusian bahanbahan, pengawasan program, serta strategi promosi dan pendidikan.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

181

Alat untuk Mengembangkan Program Pembuatan Kompos Masyarakat


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Alat 1: Audit Limbah


Sebuah proses audit limbah menyediakan sebuah solusi teknologi rendah untuk mengerti isu pengelolaan limbah, sambil memanfaatkan peralatan yang sudah ada, prasarana, dan SDM. Proses audit limbah merupakan proses yang terstruktur untuk mencatat jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan dalam hitungan satuan. objektivitas penyeleksian sangat penting dalam penentuan jenis limbah dan lokasi fisik yang perlu diaudit. Sangatlah berguna bertemu dengan mereka yang terlibat dalam pengumpulan limbah, insinyur, dan petugas kesehatan masyarakat untuk memeriksaulang protokol, terminologi, dan bentuk yang akan digunakan dalam proyek ini. Penting sekali untuk melatih dan mendidik para pekerja agar mereka mampu menangani bahanbahan yang berbahaya dengan baik dan semua langkah keselamatan yang penting.

182

Merencanakan dan Menjalankan Audit Limbah


1. Merencanakan dengan baik atas proses audit yang seksama dan menentukan area kajian: mendapatkan dukungan manajemen, menetapkan objektivitas audit, menentukan area kajian dan pendekatannya, menyusun kategori untuk penyortiran limbah, mengorganisir orangorang, dan lainlain. Para pekerja juga harus dilatih agar dapat mengenali berbagai kategori limbah yang akan digunakan dalam audit. Hal ini akan memakan waktu, namun semua usaha akan terbayar ketika proses audit telah berjalan. 2. Mengumpulkan dan menyortir limbah dari area kajian: tataruang tempat penyortiran harus ditetapkan. Isinya harus dibersihkan hingga menjadi dataran yang bersih dan rata sehingga para pekerja dapat menilai muatannya dan mengidentifikasi komponen limbah yang utama. Semua bahan disortir ke dalam keranjang menurut kategori yang telah ditentukan. Setiap kategori kemudian ditimbang satu per satu dan dicatat pada formulir sebelum dicetak. Area menjadi bersih dan limbah yang telah disortir atau disisihkan. 3. Menganalisis data dan mencatat hasil: ketika semua limbah telah disortir, lembaran data dikumpulkan sehingga dapat menunjukkan kuantitas limbah menurut kategori bahan yang dihasilkan pada tiap area yang dijadikan contoh. Jumlahjumlah ini dapat diubah ke dalam persentase dari jumlah total limbah yang telah dikumpulkan untuk sampel. Data tersebut kemudian dipertimbangkan dan dianalisis secara seksama dan hasilnya dapat dicatat dan rekomendasi pun dapat disusun.

Analisis
Proses audit hanya memerlukan sedikit pegawai dan sumber, serta mudah ditempatkan sebagai operasi reguler. Sebuah proses yang sederhana, berkala, dan dilaksanakan dengan baik dapat tercipta dan dikembangkan dalam kerumitan. Hal tersebut adalah untuk menyediakan informasi yang lebih rinci terhadap kategori limbah yang spesifik (dengan membagi lagi kategori awal) atau sumber pembaharuan limbah (dengan mengambil lokasilokasi yang lebih spesifik sebagai sasaran). Audit limbah dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk membuat prioritas atas prakarsa pengalihan limbah setempat yang praktis. Ia juga dapat mendukung pengawasan dan evaluasi kinerja berbagai operasi, program, dan proyek terkait limbah. Ia juga memungkinkan pemerintah daerah untuk memasukkan data dan elemen rasional lainnya ke dalam proses pembuatan keputusan. Dukungan manajemen sangat penting untuk menjamin pelaksanaan audit yang mulus, dan bahwa segala temuan dan rekomendasi akan selalu dipertimbangkan dan dilaksanakan. Prakarsa seperti ini juga berguna untuk pelatihan dan pengembangan kapasitas SDM para pegawai kota agar dapat menangani proyekproyek pengalihan limbah pada masa depan. Selain itu, prakarsa tersebut juga membantu mengembangkan upaya kolaboratif untuk memecahkan isuisu pengelolaan limbah.

Alat 2: Teknik Pembuatan Kompos


Alat yang praktis ini menjelaskan pokok dan kegunaan dari teknik pembuatan kompos dan tantangan utama dalam menerapkan modelnya. Pembuatan kompos dapat diterapkan di semua kota. Hal ini juga dapat dilakukan oleh seluruh sektor dalam masyarakat, baik tua atau muda, baik lakilaki maupun perempuan, serta dapat pula dikembangkan melalui outreach masyarakat yang sederhana dan prakarsa pendidikan. Semua limbah organik, baik sisa makanan, dedaunan, potongan rumput, atau bahanbahan lainnya, akan secara natural hancur oleh cacing tanah, bakteri, dan mikroorganisme. Pembuatan kompos mempercepat proses alam ini dengan menciptakan kondisi optimal untuk pembusukkan. Kompos yang telah siap dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk memperbaiki kinerja taman rumah mereka atau dijual sebagai produk pengganti pupuk buatan.

Analisis
Pembuatan kompos menyediakan solusi berteknologi rendah untuk mengatur limbah rumah tangga dalam jumlah besar dengan cara yang ramah lingkungan. Industri rumah tangga pembuatan kompos memiliki keuntungan bagi pengurangan limbah rumah tangga dalam persentase besar dari produksi limbah, meringankan beban para pemungut sampah , tanah, dan lingkungan sekitarnya.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

183

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Membuat kompos dari nutrisi daurulang dan bahan organik dan mengembalikannya pada tanah akan memperbaiki kerapuhan dan kualitas tanah. Terutama pada area yang rusak akibat tsunami, pengomposan ini berpotensi memindahkan garam dari tanah yang asin akibat bencana. Kompos juga dapat digunakan untuk menghidupkan kembali perkebunan sayur rumah tangga yang menyediakan sumber makanan dan membantu sejumlah proyek tata taman untuk memperindah lingkungan.

Alat 3: Rencana Pelibatan Masyarakat


Tujuannya adalah untuk meningkatkan kepedulian atas program pembuatan pupuk kompos pada masyarakat, menyebarluaskan pengetahuan, dan membangun konsensus. Kegiatan pelibatan masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan proyek, antara lain: 1. memulai rencana pelibatan masyarakat dengan mendirikan sebuah jaringan pemangku kepentingan yang dapat berkontribusi untuk proyek; 2. pada tingkat perencanaan, akan didapatkan sebanyak mungkin informasi tentang populasi sasaran dari proyek; 3. menentukan pesanpesan utama yang perlu disebarkan kepada para pemangku kepentingan; 4. menetapkan cara terbaik untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan anggota masyarakat.

184

Analisis
Pendekatan keterlibatan masyarakat dan promosi partisipasi sukarela merupakan elemen penting dari keberhasilan proyek. Kegiatan outreach mengidentifikasi para pemangku kepentingan yang utama dan para pendukung, antara lain kaum politisi, pegawai sipil senior, dan anggota masyarakat. Pelatihan pegawai DKP dengan metode konsultasi publik memungkinkan seluruh masyarakat terlibat dalam proses perencanaan hingga pembuatan keputusan. Materi promosi menggabungkan berbagai ide dan karya seni dari anakanak sekolah, menyatukannya ke dalam proses serta membantu penguatan rasa tanggung jawab. Departemen Pendidikan tertarik untuk menginterpretasikan pendekatan pelibatan masyarakat ke program lainnya dalam upaya membangun semangat serupa pada masyarakat.

Hikmah Ajar
(a) Membangun kapasitas SDM kota melalui prakarsa setempat yang berulang. Tujuan utama pendekatan proyek percontohan adalah untuk mengembangkan kapasitas para pegawai DKP dalam memperkenalkan program pembuatan pupuk kompos masyarakat ke dalam layanan umum dinas tersebut. Hal itu ditempuh sambil memastikan bahwa potensi keuntungan, biaya, dan hambatan dapat dipahami dan

(b)

(c)

(d)

(e)

ditangani sebelum program berskala penuh diluncurkan. Proyek dilaksanakan oleh sebuah regu kecil yang terdiri atas anggota DKP yang berdedikasi dan berhak milik pada proyek tersebut. Pendekatan ini membantu memastikan transfer kapasitas SDM bagi DKP, selain memberikan kontribusi bagi kesinambungan program pembuatan kompos. Kepemilikan proyek juga memungkinkan pegawai DKP menyebarkan kapasitas mereka kepada area lain di dalam DKP, yang ditunjukkan dengan mengembangkan kegiatan outreach pendukung daurulang kertas. Harus dicatat pula, prakarsa ini merupakan bagian dari pemikiran ulang terkait layanan pengelolaan limbah yang diperlukan di Banda Aceh. Ia menyediakan informasi nyata bagi para tokoh daerah yang dapat membantu membentuk kebijakan mereka di lapangan, khususnya tatkala mereka mempersiapkan strategi pengelolaan limbah. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan. Pertemuan pertemuan awal dan komunikasi yang berlanjut dengan masyarakat dan para pemimpin sekolah, juga organisasi donor lainnya yang bekerja di area tersebut, membantu mempromosikan berbagai usaha yang terkoordinir dan menghindarkan penggandaan layanan atau sumber. Sejumlah pertemuan reguler antara semua pemangku kepentingan juga berarti bahwa pemutakhiran yang konstan disediakan untuk mengembangkan kebutuhan perlengkapan, anggota, dan dana. Keterlibatan positif antara DKP dan sejumlah sekolah untuk mempromosikan kesadaran akan lingkungan. Berkenaan dengan keterlibatan sejumlah sekolah dalam proyek, para pegawai DKP sangat berhasil dalam memicu antusiasme di SMPN 12 dan Madrasah Babun Naja. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa setelah beberapa bulan dan pada saat tahun ajaran baru, mekanisme untuk memelihara dan memperbaharui komitmen para murid perlu dilakukan. Sebagai konsekuensinya, mereka memutuskan untuk lebih sering memonitor sekolahsekolah serta menginvestasikan lebih banyak waktu dalam pelatihan guruguru yang dapat bertahan dari tahun ke tahun. Mereka juga mengadaptasi materi pendidikan mereka kepada beberapa kelompok usia tertentu agar informasi yang disebarkan dapat berkembang bersamaan dengan tumbuhnya anakanak. Langkah antikorupsi. Berkenaan dengan tema lintassektor antikorupsi CALGAP, tim mencatat perlunya menjamin keterbukaan dalam pembelian jasa/produk dari para penjual lokal. Para pegawai negeri berkomitmen pada biaya belanja terencana melalui rencana proyek dan anggaran rinci yang dapat menunjukkan tujuan yang jelas di dalam anggaran belanja wilayah. Demikian juga dengan memperbaiki transparansi pada tahap perencanaan dan dalam melaporkan capaian, sangatlah penting untuk menyampaikan tujuan pembangunan perdamaian dan antikorupsi. Menyampaikan isu kesetaraan jender. Berkenaan dengan tema lintassektor kesetaraan jender dari CALGAP, menjadi jelas bahwa selama fase proyek percontohan, kaum perempuan lebih banyak terlibat daripada kaum lakilaki. Bagi beberapa orang, hal ini merupakan contoh kesuksesan dari pengarusutamaan jender. Karena, faktanya kaum perempuan lazim terlibat dalam proyek ini dengan peran tradisional

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

185

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

mereka sebagai ibu rumah tanggabertanggungjawab mengatur limbah rumah tangga. Kaum lakilaki tidak banyak terlibat karena pengolahan limbah dianggap pekerjaan perempuan. Untuk mengimbangi kerancuan ini, sangat dianjurkan untuk mengembangkan, pada awal proyek, sebuah rencana pemasaranuntuk meningkatkan partisipasi kaum lelaki dan mempromosikan pentingnya pembuatan kompos untuk seluruh anggota masyarakat dan lingkungan. Hal ini dapat memasukkan ide baru untuk pengenalan pekerjaan yang telah diselesaikan oleh peserta namun juga menemukan orangorang yang dikenal untuk mempromosikan pembuatan kompos pada setting yang lebih maskulin. Sebagaimana halnya di tenda kopi atau lapangan sepak bola, misalnya, upaya promosi tersebut telah direncanakan dan berhasil dilaksanakan pada fase perpanjangan.

186

Kesinambungan dan Kemampuan Mereplikasi


Setelah beberapa bulan, proyek lalu dinilai oleh masyarakat. Mereka mengidentifikasi kekuatan dan permasalahannya, kemudian mendiskusikan berbagai perbaikan yang mungkin dilakukan. Begitu pula yang ditempuh pada rencana penyebaran program ke seluruh Aceh, gagasan untuk menjadikannya sebagai layanan regular sebagaimana diusulkan oleh DKP kemudian disahkan. Komitmen DKP kepada program ini meningkat setelah proyek percontohan. Hal ini diilustrasikan oleh penunjukkan empat pegawai permanen dan konsultan jangka pendek untuk mendukung prakarsa pembuatan pupuk kompos. DKP juga mulai menggelar program dengan dananya sendiri, dengan membeli sejumlah alat pembuat kompos. Sebagai tambahan, pembuatan kompos menjadi sebuah komponen penting dari strategi lingkungan mereka yang telah disiapkan. DKP juga menyampaikan keinginan untuk menerapkan pendekatan pelibatan masyarakat untuk membangun semangat penduduk pada program lainnya di kantor dinas. Para pegawai DKP bertanggung jawab terhadap pendistribusian unit alat pembuat kompos kepada 90 desa dan sekolah di Banda Aceh. Tiap desa, pada awalnya, ditetapkan untuk menerima 1020 buah alat pembuat kompos, dalam rangka memfasilitasi pembangunan kesadaran dan proses pelatihan. Pegawai DKP akan memonitor kemajuannya dan dapat menyediakan hingga 50 unit alat pembuat kompos kepada desa desa yang bekerja dengan baik. Program pengawasan juga dapat menilai kualitas kompos tahap akhir yang dihasilkan pada tiap rumah tangga dan desa, serta mengalokasikan pelatihan pelaksanaan pada area dengan kualitas yang rendah.

Penyebaran proyek percontohan merupakan hasil langsung dari keberhasilan program percontohan, sebagaimana terlihat bahwa, penduduk dari desa lain mulai menghubungi DKP dan menyatakan keinginannya untuk mendapatkan alat pembuat kompos itu. Penyebarluasan ke desadesa lainnya terjadi secara massif sebagai hasil dari upaya outreach oleh para pemimpin perempuan dengan dibantu promosi yang giat dan beragam strategi yang mendidik. Kampanye komunikasi akan menjaga kesinambungan ketertarikan dalam program dan memfasilitasi penyebarluasannya ke desadesa lain. Fokus CALGAP pada sekolahsekolah dan pelajar telah dengan baik menandai penyebaran serta perluasan prakarsa pembuatan pupuk kompos di Banda Aceh. Kepala sekolah SMPN 12 dan Pimpinan Madrasah Babun Naja sangat mendukung program ini dan bertindak sebagai duta besar; mengundang sekolah lain untuk ikut dalam perluasan proyek. Pun demikian dengan pegawai DKP yang bertemu dengan kepala Departemen Pendidikan berkenaan dengan integrasi pembuatan kompos ke dalam kurikulum sekolah negeri. Ia menandaskan bahwa, kurikulum pembuatan kompos percontohan diujicobakan di tiga sekolah pada tahun berikutnya.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

187

Canada Aceh Local Government Assistance Program (CALGAP)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

188

Memperbaiki Hubungan Antar-Pemerintah


FoRUM Komunikasi Pemerintahan Kabupaten/Kota seAceh (FKKA) bertujuan
memperbaiki hubungan antarpemerintah dan kerja sama antara kota/kabupaten dengan mementingkan kerangka kerja otonomi daerah. Atas asistensi teknis dari Federation of Canadian Municipalities (FCM) melalui Canada/Aceh Local Government Assistance Program (CALGAP) yang didanai Canadian International Development Agency (CIDA), pemangku administratif kabupaten/kota di Aceh berinisiatif mendirikan FKKA guna memfasilitasi kerja sama yang lebih luas antarsesama mereka dan juga dengan pemerintah provinsi (Pemprov). Konsultasi diadakan dengan beragam pemangku kepentingan, termasuk dengan Asosiasi Pemprov Seluruh Indonesia (APPSI). APPSI beranggotakan Asosiasi Pemerintah Kota seIndonesia (Apkasi), Asosiasi Pemerintah Kabupaten seIndonesia (Apeksi), Asosiasi DPRD Kota seIndonesia (Adkasi), Asosiasi DPRD Kabupaten seIndonesia (Adeksi) di bawah Kementrian Dalam Negeri, BRR, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Pada 89 Maret 2008, seluruh daerah kabupaten/kota seAceh, beserta para pemangku kepentingan lainnya, mengadakan pertemuan di Banda Aceh untuk pelaksanaan konferensi pembentukan FKKA. Dalam dekritnya, FKKA menyatakan bahwa mereka akan mendukung dan mempercepat pelaksanaan UndangUndang 11/2006 tentang Pemerintah Aceh serta tersinambungkannya perdamaian di Aceh. Selain itu, FKKA juga berperan sebagai mediator bagi kabupaten/kota terhadap Pemprov dan pemerintah pusat, menjalin kerja sama internal antarkabupaten/kota demi memberdayakan para anggotanya, serta kerja sama eksternal FKKA dengan memfasilitasi hubungan kabupaten/ kota lainnya di luar Aceh.

Pendirian FKKA
Para bupati/walikotasebagian besar baru terpilih pada pilkada 2007tak terlalu kenal dengan organisasi asosiasi pemerintah daerah (Pemda) dan bagaimana asosiasi/ fasilitasi semacam dapat sangat berperan/berpengaruh. Mereka meragukan keuntungan dari pembentukan sebuah persatuan Pemda. Sekretariat gabungan ApeksiAdeksi awalnya merekomendasikan agar FKKA menjadi bagian dari APPSI. Namun demikian, sebagian besar dari walikota kurang menganggap bahwa ide tersebut sebagai pendekatan yang bermanfaat untuk mewakili kepentingan mereka. Pada Juli 2007, konferensi kerja menghasilkan konsensus pembentukan sebuah forum komunikasi yang berbasis di Aceh. Pergerakan politik di Aceh, khususnya pada isu pembentukan dua provinsi baru bagian Pantai Barat dan Tengahserta kombinasi keanggotaan (kabupaten dengan kota, badan eksekutif dengan badan legislatif), memengaruhi pembentukan forum itu. Guna menyelesaikan isu dari perimbangan perwakilan dalam dewan pimpinan, akhirnya segenap peserta konferensi menyetujui bahwa dewan pimpinan seharusnya mewakili keseluruhan elemen geografis (Utara, Pantai Timur, Pantai Barat, dan Tengah). Pun demikian dengan jenis kepemerintahan (kota maupun kabupaten), serta badan kepemerintahan (eksekutif maupun legislatif).

Struktur Organisasi Forum KKA


Dewan Pengawas dan Dewan Penasihat
Dewan Penasihat 1. Gubernur 2. Juru Bicara DPRA

Anggota Dewan Pimpinan (13 anggota)

Koordinator

Sekretaris Eksekutif Lembaga Pendukung/Donor

Koordinator Program

Koordinator Administrasi/Keuangan

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

189

Badan Eksekutif

Prakarsa Kunci FKKA


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Sejak pembentukan FKKA, beberapa prakarsa penting telah dilaksanakan. Salah satu prakarsa prioritas pada periode ini adalah advokasi dari modalitas transfer yang efektif untuk Dana otonomi Khusus (Dana otsus) dan Dana Bagi Hasil (DBH) tambahan dari Pemprov kepada kabupaten/kota. Sekretariat FKKA melaksanakan berbagai kegiatan terkait Dana otsus dan DBH. Penelitian dilakukan di kabupaten terpilih yang mewakili keempat wilayah di Aceh, tujuannya adalah untuk memahami dan mengumpulkan perspektif dari berbagai anggota FKKA. Temuan dan rekomendasi yang dikeluarkan Dewan Pimpinan FKKA disampaikan kepada anggota forum melalui serangkaian rapat wilayah. Rekomendasi itu lalu disampaikan kepada Pemprov. Koordinator FKKA, anggota dewan pimpinan, dan sekretaris eksekutif melakukan pertemuan dengan gubernur, wakil gubernur, dan pimpinan lainnya dari Pemprov, seperti sekretaris daerah, para kepala dinas provinsi, dan perwakilan dari DPRA. FKKA didirikan untuk mempercepat pembangunan Aceh dan juga untuk menyelaraskan kerja sama di antara berbagai tingkat kepemerintahan di Aceh. FKKA berhasil di area ini dengan membentuk sebuah komite terkait isu keuangan Pemda, khususnya terkait pemercepatan advokasi Dana otsus dan DBH. Komite keuangan Pemda terdiri atas, bupati (deputi bupati), walikota (wakil walikota), dan juru bicara (deputi juru bicara) dari tiga belas kabupaten/kota. Tujuan awal dari komite tersebut adalah untuk membahas kebijakan dari Dana otsus dan DBH, serta untuk mencerminkan sudut pandang dari anggota FKKA untuk pengadaptasian kebijakan Dana otsus dan DBH. Komite tersebut didukung oleh tim teknis yang terdiri atas para perjabat tinggi Pemprov dari enam kabupaten/kota di Aceh. Fungsi utama dari tim teknis adalah untuk membantu komite keuangan Pemda sehubungan dengan isu keuangan Pemda. Sekretariat FKKA juga melaksanakan kegiatan outreach bersama para anggotanya di empat wilayah di Aceh. Upaya ini adalah dalam rangka mengidentifikasi kebutuhan anggota dan memperkenalkan peran forum dalam membantu dan melayani para anggotanya. Sekretariat FKKA membekali para mitranya dengan alat dan metodologi pengidentifikasi prioritas isu/kebutuhan dari kabupaten/kota serta membantu mengonsolidasi dan memprioritaskan isu/kebutuhan agar FKKA dapat lebih baik dalam mengekspresikan poinpoin advokasi kepada Pemprov. Alihalih menyampaikan permintaan kabupaten/kota secara individual kepada Pemprov, FKKA mengumpulkan secara efektifefisientantangan dan kebutuhan pembangunan kabupaten/kota, yang kemudian diadvokasikan oleh FKKA kepada Pemprov.

190

Pada 2008, prakarsa lain yang dilaksanakan FKKA adalah penyebaran informasi dan pengembangan kapasitas SDM. FKKA memfasilitasi pertukaran informasi melalui berbagai cara, seperti publikasi rutin newsletter dan buletin. Newsletter menjadi wahana bagi FKKA untuk menginformasikan kepada para anggotanya terkait kegiatan yang telah, tengah, dan akan berlangsung. Melaluinya, para anggota dapat menyampaikan ide dan saran. Sekretariat FKKA terlibat dalam proses menentukan cara mendukung anggotanya atas isu pengadaan barang/jasa pemerintah. Setelah serangkaian konsultasi awal, sekretariat menetapkan sebuah rencana kerja sama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan Aceh serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Keduanya digandeng untuk mengadakan pelatihan dalam pengadaan barang/jasa bagi pegawai Pemda pada masa mendatang.

Capaian
(a) Hubungan antara wilayah administratif kabupaten/kota telah digiatkan melalui berbagai prakarsa FKKA. opini dari para anggota FKKA diartikulasikan lebih baik dan diekspresikan kepada Pemprov melalui forum. Kuatnya relasi antarPemda kabupaten/kota serta Pemprovberhasil dicanangkan sebagaimana terlihat pada serangkaian rapat teknis antara Pemprov dan FKKA. Untuk menghadiri rapat, Pemprov mengutus kepala dinas untuk mendiskusikan isu penting dengan Sekretariat FKKA. Komunikasi yang kuat di antara kabupaten/kota untuk membahas kebutuhan dan tantangan juga dilakukan lebih sering. Selain itu, presentasi, rapat komite, dan rapat tim teknis semakin meningkatkan kapasitas SDM anggota FKKA. (b) Pada advokasi untuk Dana otsus dan DBH, FKKA berhasil memengaruhi Pemprov untuk memastikan manajemen pelaksanaan Dana otsus dan DBH dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sejak 2009 dan seterusnya. FKKA juga berhasil meraih capaian luar biasa dalam memperbaiki hubungan pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, terutama dengan terlaksananya penandatanganan nota kesepahaman pelaksanaan Dana otsus dan DBH. (c) Sekretariat FKKA juga melaksanakan persetujuan untuk kerja sama dengan APPSI demi menyebarluaskan praktikpraktik terbaik dari pelaksanaan layanan masyarakat di Aceh. Berbagai diskusi sedang berlangsung untuk menentukan peran FKKA dalam menyediakan orientasi dan program pelatihan kepada para anggota legislatif terpilih pada pilkada Aceh 2009. (d) FKKA juga merencanakan pertukaran pengetahuan dengan Kementerian Dalam Negeri megenai isu terkait operasi dari persatuan Pemda, jumlah dari anggota persatuan, dan otoritas Pemda terhadap berbagai tanggung jawab, dan lainnya.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

191

Faktor Kesuksesan
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

FKKA adalah satusatunya organisasi kabupaten/kota yang ada pada tingkat provinsi. Pada tingkat nasional, terdapat empat asosiasi Pemda yang memiliki format perwakilan daerah yang tidak tetap. Mereka itu adalah Apkasi, Apeksi, Adkasi, dan Adeksi. FKKA adalah model unik dari asosiasi pemerintahan daerah untuk Indonesia. Anggota FKKA terdiri atas pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh, dan juga badan legislatif. Dewan Anggota FKKA terdiri atas tiga belas orang. Walikota, wakil walikota, bupati, wakil bupati, dan juru bicara atau Deputi Juru Bicara, semuanya terwakili di dalam forum. Berdasarkan dekrit forum, bupati, wakil walikota, dan juru bicara dapat mengisi posisi koordinator dan deputi koordinator. FKKA adalah asosiasi Pemda pertama di Indonesia yang terdiri atas anggota dari kabupaten/kota yang mewakili badan eksekutif dan legislatif. FKKA merasa bahwa membawa dua elemen ini ke dalam satu asosiasi Pemda adalah sangat penting karena semua Pemda di Aceh menghadapi tantangan pembangunan serupa. Diyakini bahwa jika pemerintah dan DPRD di Aceh dapat bekerja sama pada satu isu yang sama, hal tersebut tentu akan membantu menguatkan relasi antara perwakilan badan eksekutif dan legislatif di kabupaten/kotatempat konfrontasi sering terjadi. Rusaknya prasarana dan hilangnya para pegawai pemerintah akibat bencana mengharuskan Pemulihan Aceh bukan semata memperhatikan aspek fisiknya, namun juga pengembangan kapasitas SDM dari seluruh pegawai negeri sipil demi perbaikan sistem dalam Pemda. Sejak terpilihnya eksaktivis GAM dalam pilkada Aceh 2007 dan desentralisasi yang terjadi pada tingkat daerah di dalam kerangka kerja otonomi khusus, jelas sudah bahwa kebutuhan atas perbaikan dan penyesuaian dalam hubungan pemerintah adalah penting.

192

Tantangan
FKKA menghadapi beberapa tantangan. Sementara para anggota dewan pimpinan, mendapatkan pengalaman dan paham bagaimana mengimbangi fungsi dan tugas mereka dalam mengelola urusan umum kepemerintahan daerahmeski menciptakan organisasi yang sesuai untuk FKKA masih sulit. Akan tetapi, asistensi teknis yang diberikan CALGAP sehubungan isu terkait, dimanfaatkan secara khusus untuk memperkuat kapasitas dewan anggota di area ini. Kurangnya SDM yang memadai untuk mendukung dan menindaklanjuti kegiatan FKKA bersama para anggota dianggap sebagai faktor menantang. Fungsi analisis dan formulasi kebijakan memerlukan kualifikasi tinggi serta pegawai berpengalamanmelihat kondisi keuangan forum, hal ini agak sulit dilakukan. FKKA harus mempekerjakan pegawai dengan kualitas tinggi agar dapat berperan sebagai pemimpin yang efektif di sektornya.

Membina komunikasi yang lebih efektif di antara dewan anggota dan anggota FKKA dari Pemda adalah kemajuan yang sedang diupayakan. Forum terus mengadakan kegiatan outreach untuk mendidik para anggota dan mengupayakan apresiasi kebutuhan agar organisasi dapat mewakili setiap wilayah di Aceh secara lebih akurat. Dalam jangka panjang, kesinambungan keuangan dari FKKA bergantung pada iuran yang dibayarkan oleh para anggota. Demikian juga yang terjadi dengan kemampuan organisasi dalam memperoleh pemasukan dari sumber lainnya, seperti pelatihan, hibah, dan lainnya. Salah satu tantangan eksternal adalah mendamaikan perpecahan antara eksaktivis GAM, eksaktivis GAM yang terpilih dalam pilkada, serta elemen eksekutif dan legislatif terpilih yang ditengarai cenderung nasionalis. Pilkada April 2009 untuk pemilihan wakil legislatif kabupaten/kota sepertinya akan lebih menambah ketegangan ini, setidaknya selama periode kampanye.

Manfaat Aktual dan Potensial FKKA


(a) Tercipta komunikasi yang lebih baik dan efisien. FKKA membentuk sebuah jalur untuk dialog antarkabupaten/kota serta Pemprov. Alihalih berkomuniasi secara individual dengan setiap kabupaten/kota, sekarang provinsi bisa langsung berkomunikasi dengan FKKA untuk membahas perkembangan kebutuhan yang sama bagi seluruh kabupaten/kota di Aceh. (b) Kabupaten/kota yang bersatu dapat berperan dalam mengadvokasi kebijakan dan program yang efektif. Berdasarkan pengalaman mereka dan pelaksanaan riil, kabupaten/kota dapat menyediakan masukan berharga untuk mengembangkan kebijakan yang efektif, memperbaiki sinergi di antara upaya dari pemerintah kabupaten/kota dan Pemprov. (c) Menciptakan potensi replikatif. FKKA berpontensi menjadi model untuk direplikasikan kepada provinsi lain di Indonesia. Seperti yang tertulis pada UU 32/2004 (tentang otonomi) dan PP 38/2007 (tentang otoritas kabupaten/kota), kabupaten/kota diperbolehkan untuk mengembangkan sebuah asosiasi Pemda di tiap provinsi. Aceh seharusnya dipandang sebagai kasus khusus. Atmosfer pascakonflik dan pascatsunami memberikan kepada kabupaten/kota satu kesempatan unik untuk menata diri di dalam sebuah organisasi inovatif, dan baru, demi tanggapan yang lebih baik atas kebutuhan masyarakatnya.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

193

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

194

Mendekat ke Masyarakat: Layanan Satu Pintu pada Tingkat Kecamatan

dengan program desentralisasi nasional Indonesia, tatausaha kecamatan telah meminta tenaga tambahan dan pergantian kewenangan dari pemerintah kabupaten. oleh karenanya, beberapa kewenangan dan tanggung jawab layanan publik telah dialihkan ke tingkat kecamatan agar lebih mudah diakses masyarakat. Pelaksanaan Layanan Satu Pintu di kecamatankecamatan di Acehdibantu LoGICAtelah memperbaiki kualitas pelayanan untuk masyarakat, proses dasar standar menjadi lebih mudah, cepat dan terbuka. Penelitian kasus ini mempelajari caranya.

SEJALAN

Latar Belakang
Pemerintahan tingkat kecamatan di Indonesia memberikan banyak layanan bagi masyarakat. Dan, sebagaimana layaknya kebanyakan kecamatan di Indonesia, layanan masyarakat di Aceh pun sangat memprihatinkan. Indikator menunjukkan bahwa para pegawai tidak memenuhi standar jam kerja, arogan, dan lemah dalam menerapkan prosedur standar. Kurangnya dukungan peraturan untuk kecamatan oleh pemerintah kabupaten dan provinsi juga merupakan salah satu penyebab buruknya kondisi pelayanan masyarakat pada kantorkantor kecamatan. Berbagai permasalahan di Aceh secara keseluruhan lebih buruk daripada area lain akibat berlarutlarutnya konflik separatis. Lemahnya mutu layanan publik kemudian memburuk secara drastis akibat tsunami 2004, terutama akibat meninggalnya para abdi masyarakat serta hancurnya kantorkantor pemerintahan dan infrastruktur lainnya.

Masyarakat di seluruh provinsi memiliki banyak keluhan terhadap perihal layanan. Pada pascatsunami, muncul banyak kebutuhan masyarakat tambahan terkait kantorkantor kecamatan. Keluhan itu antara lain aplikasi untuk surat pengesahan hakim sehubungan dengan kepemilikan harta dari orang yang telah meninggal guna menarik uang dari bank, serta aplikasi untuk kartu identitas, atau surat keterangan miskin. Tatausaha kecamatan secara keseluruhan belum sanggup menyediakan layanan ini secara efisien. Penduduk acapkali pulang dengan kecewa setelah menyampaikan masalah mereka pada kantor kecamatan. Alasan paling umumnya adalah, absennya kepala kantor (kurangnya delegasi dari pihak yang berwenang) dan ketidakpastian perihal biaya. Kualitas pelayanan yang buruk ini membuat publik menganggap kantor kecamatan tak lebih sebagai badan pemerintahan yang tidak efektif dan tidak terpercaya.

PeristiwaPeristiwa Penting
Demi pertimbangan itulah maka LoGICA bekerja sama dengan kantor pemerintah kecamatan di beberapa kabupaten di Aceh, mencoba memperbaiki pemberian pelayanan di kecamatan. Empat kecamatan di kabupaten Aceh Besar dan Aceh Barat terpilih sebagai proyek percontohan. Langkah pertama adalah mengetahui dengan pasti persepsi masyarakat akan layanan publik pada tingkat kecamatan melaui survei. Survei ini kemudian mengidentifikasi banyak kelemahan. Berbagai kelemahan ini biasanya ada hubungannya dengan operasi layanan, seperti prosedur yang tidak jelas, tidak tersedianya daftar biaya layanan, penghantaran layanan yang lamban, dan diskriminasi. Hasil survei kemudian dilaksanakan dalam bentuk kontrak antara kantor kecamatan dan masyarakat. Intinya, pihak kantor kecamatan bersedia memperbaiki layanan guna menyesuaikan kemampuan mereka sendiri dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Kantorkantor kecamatan lalu menyusun berbagai visi layanan masyarakat dalam rangka melaksanakan kontrak dengan cara terefektif. Banyak yang harus dikerjakan. Standard operating procedures (SoP), disusun. Deskripsi kerja didistribusikan kepada para pegawai kecamatan sembari menyediakan pelatihan mengenai kode etik layanan. Manfaat pangkalandata (database) layanan masyarakat untuk mempercepat penghantaran layanan, dipromosikan. Belakangan, tempuhan upaya ini akhirnya mencuatkan gagasan: perlu diciptakan sebuah layanan satu pintu untuk masyarakat di kantorkantor kecamatan. Secara fundamental, sistem layanan satu pintu ini akan mengubah kebiasaan layanan pemerintah dari ketergantungannya terhadap kepala kantor kecamatan, terutama yang bersangkutan dengan penyetujuan layananlayanan standar. Sistem ini memanfaatkan sebuah bagian tunggal: semua layanan disediakan secara transparan dan efisien.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

195

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Layanan satu pintu berhasil dalam membuat siapapun yang bertandang ke kantor disambut oleh petugas dan mengisi buku tamu. Akses informasi tentang semua layanan yang ditawarkan, termasuk syaratsyaratnya, biaya standar, dan jangka waktu penghantaran layanan, disediakan. Klien diantar ke pos layanan untuk menyerahkan dokumen yang diperlukan. Mereka dapat menunggu di ruang tunggu sambil membaca koran atau menonton televisi. Waktu pengantaran layanan kini telah jelas ditentukan. Pegawai yang bertugas pada divisi pengumpulan dokumen akan memanggil nama klien serta menyebutkan biaya pembayaran layanan. Sebagai tambahan, tak perlu lagi kekhawatiran mengenai apakah biaya yang mereka keluarkan akan jatuh ke kantor keuangan daerah atau menghilang karena prosedur yang buruk atau korup. Sementara itu, untuk mempercepat kinerja pelayanan, formulir berbasis peranti lunak komputer termutakhir, digunakan para petugas kecamatantak perlu lagi mengetik secara manual. Praktis yang dibutuhkan hanya: mengisi data pada komputer dan langsung mencetaknya. Hal serupa berlaku pula dalam hal penyimpanan dokumen. Pelaksanaan sistem layanan satu pintu telah menghasilkan layanan yang lebih cepat dan efisien. Proses beberapa hari, bisa dipercepat menjadi hanya satu jam. SoP dan jadwal biaya dipasang di tempat yang mudah terlihat. Masyarakat juga diminta untuk menuliskan segala keluhan berkenaan dengan pelayanan dan menempatkannya pada kotak keluhan. Isi beserta tindaklanjutnya, kemudian ditangani oleh pegawai kecamatan bersangkutan. Testimoni masyarakat kebanyakan bernada puas atas drastisnya perbaikan layanan pada kantorkantor kecamatan melalui sistem layanan satu pintu. Tak pelak, oleh karenanya, kepercayaan masyarakat, alihalih kepercayaan pada diri kantor kecamatan sendiri, menjadi terbangun. Pemerintah kabupaten telah menerapkan model percontohan pada kantorkantor kecamatan lainnya dan memperluas sistem ini, dari 4 menjadi 40 kecamatan. Hal tersebut secara langsung juga telah mengalokasikan sebagian dana dari anggaran 2008 kabupaten untuk pelaksanaan SWS di kantorkantor kecamatan. Hingga kini, pelaksanaan layanan satu pintu di kabupaten Aceh Besar telah menunjukan hasil menggembirakan. Pemerintah provinsi Aceh memberikan penghargaan kepada tiga kepala kecamatan untuk praktik terbaiknya dalam menjalankan layanan satu pintu. Sistem ini, kini sedang diperbincangkan oleh Departemen Dalam Negeri sebagai model yang potensial untuk layanan publik terintegrasi bagi kantor kantor kecamatan seIndonesia.

196

Tantangan
1. Penghargaan dan sanksi. Hingga kini, pemerintah kabupaten Aceh Besar menyamaratakan perlakuan kepada hampir semua kantor kecamatan, apakah mereka bekerja dengan baik atau pun tidak. Dalam jangka panjang, hal ini akan berpotensi dalam memengaruhi motivasi para pegawai yang bekerja dengan baik namun tak bergaji setara dengan usahanya dalam memperbaiki pelayanannya. Sebuah bentuk penghargaan dan sanksi bagi kinerja yang tinggi maupun rendah untuk kantorkantor kecamatan sangat disarankan untuk menjamin keberhasilan yang berkesinambungan dari sistem tersebut. 2. Pengawasan dan evaluasi. Disadari, kantor kecamatan adalah wajah sebenarnya dari kantor pemerintahan di mata masyarakat. Demi mengurangi kecenderungan pemerintah kabupaten untuk berpikir bahwa semua kebutuhan layanan masyarakat telah terpenuhi karena layanan satu pintu telah terlaksana, perhatian yang terus menerus untuk mengembangkan kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan melalui pengawasan dan evaluasi. Artikulasinya terletak pada potensi yang kuat untuk perbaikan mutu pemberian layanan masyarakat. 3. Perekrutan pegawai kantor kecamatan. Satu anggapan umum yang perlu diubah dari carapikir para pegawai negeri adalah, pekerjaan dan layanan kantor kecamatan tidaklah sepenting pekerjaan dan layanan di kantor kabupaten. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi mekanisme perekrutan pegawai (termasuk kepala kantor kecamatan), memastikan surat rekomendasi serta kualifikasi teknis yang relevan dari mereka. 4. Delegasi kewenangan kepada kantor-kantor kecamatan. Pegawai pemerintahan kabupaten secara keseluruhan enggan mendelegasikan kewenangan kepada kantor kecamatan. Namun bila mereka mengijinkan persoalan yang berskala kecil untuk ditangani oleh kantor kecamatan, terkait sejumlah layanan masyarakat, mereka akan dapat lebih berkonsentrasi pada permasahan strategis yang skalanya lebih besar dan berdampak pada wilayah mereka.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

197

Hikmah Ajar
1. Perubahan yang berangsur-angsur. Pelaksanaan pelayanan masyarakat pada tingkat kecamatan melibatkan sebuah proses yang panjang dan durasi yang tidak sebentar. Perubahan yang efektif dan tahan lama harus dijalankan tanpa terburuburu melalui pendekatan yang melibatkan para pegawai, baik pada kantor kabupaten maupun kecamatan. Perubahan juga memerlukan konsultasi terusmenerus dengan publik guna menjamin respons kepada permasalahan masyarakat dan pegawai serta niat baik, yang merupakan dasar dari semua perubahan. 2. Dukungan dari pihak atas. Inisiatif perbaikan layanan masyarakat mustahil terlaksana tanpa dukungan dari tingkat yang lebih tinggi. oleh karenanya, motivasi kantorkantor kecamatan harus didukung oleh pemerintah kabupaten dalam bentuk peraturan kebijakan, dukungan keuangan, dan penghargaan. 3. Meninggikan harapan. oleh karena telah mengalami sendiri pelayanan yang lebih baik dari kantor kecamatan, maka masyarakat juga berharap menerima pelayanan serupa dari layanan satu pintu di kantor pemerintahan kabupaten. Harapan ini perlu dihidupkan melalui dukungan terusmenerus kepada pemerintahan kabupaten dan provinsi. Dukungan itu antara lain adalah, bagaimana memperpendek penghantaran layanan masyarakat antarkantor dan mempromosikan kegunaan, serta dialog maupun prakarsa yang jelasjelas telah berhasil pada tingkat lain di pemerintahan.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

198

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Pembaharuan Berbasis Komputer: Layanan yang Lebih Andal dan Bermutu di Kantor Kecamatan

SISTEM manajemen informasi berbasis komputer yang dapat diandalkan memacu


kinerja kantor kecamatan dalam memberikan layanan pada warganya. Kemajuan terlihat jelas: berkat sistem penyimpanan dan pengunduhan data yang semakin modern, waktu tunggu untuk mendapatkan kartu identitas, perijinan, dan surat persetujuan dari kantor kecamatan paling lama kini hanya satu jam. Bayangkan, padahal biasanya dibutuhkan waktu tiga hari untuk itu. Sistem, juga telah sangat mengurangi biaya serta keluhan.

Latar Belakang
Keadaan kantor administrasi pemerintah kecamatan selama konflik dan setelah tsunami sangat memprihatinkan. Penyimpanan data dilakukan secara serampangan. Pengambilan data arsip tidak dapat diandalkan; sistem pengarsipan yang tidak terorganisir, prosedur yang tidak jelas, dan duplikasi. Hal ini menyebabkan meluasnya ketidakpuasan masyarakat serta menciptakan berbagai proses yang malah banyak memakan waktu. Ditambah lagi, kurang jelasnya biaya yang ditetapkan bagi layanan masyarakat. Proses administratif yang berlarutlarut dan biaya yang tidak masuk akal, tak pelak, telah menghancurkan kepercayaan masyarakat dan menciptakan iklim usaha dan investasi yang kurang bergairah. Masyarakat, NGo, dan pelbagai kalangan swasta mengeluhkan buruknya mutu pelayanan dan kinerja kantor kecamatan.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

199

Demi mengatasi ketidakefisienan itu, pada sepanjang 20052008, LoGICA telah membantu 50 kantor kecamatan melalui program perbaikan pangkalandatanya. Membangun sistem manajemen pangkalandata yang andal, alihalih vital bagi perbaikan layanan kepada masyarakat, pun bagi penumbuhan iklim usaha dan investasi.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Apa yang Terjadi dan Mengapa Penting?


Sistem informasi berbasis komputer, dahulu, belumlah dianggap sebuah budaya bagi kantor kecamatan, lebihlebih di Aceh. Program pembaharuan berbasis komputer dari LoGICA bertujuan untuk: (a) lebih mengefisienkan bagi layanan masyarakat melalui pemudahan proses, perbaikan akses publik, serta pengurangan masa tunggu (dari tiga hari menjadi satu jam); (b) membangun satuan tugas yang terdiri dari para pegawai pemerintah untuk menyediakan asistensi teknis bagi kantor kecamatan; serta, (c) menyediakan komputer dan pelatihan manajemen bagi para petugas kantor kecamatan agar dapat melaksanakan perbaikan ini. Pada 2005, LoGICA memulai program tersebut melalui asesmen total terhadap proses administratif di sejumlah kantor kecamatan. Asesmen itu mencakup SDM, perlengkapan kantor, maupun standar yang ditetapkan. Diskusi intensif diadakan, baik dengan para pegawai negeri maupun warga, melalui berbagai lokakarya internal dan umum, sesuai kebutuhan dan prioritas. Informasi yang dihasilkan, digunakan sebagai bahan untuk merancang sistem pangkalandata baru berbasis komputer bagi kantor kecamatan. Setelah itu, para fasilitator dari LoGICA mengatur pertemuan dan lokakarya untuk memperkenalkan sistem pangkalandata yang baru kepada para petugas kantor kecamatan. Lokakarya menekankan penerapan sistem berbasis komputer ini. LoGICA menyediakan pelatihan tentang prosedur operasi teknis. Kemudian, sejumlah fasilitator terampil ditugasi untuk membiasakan para petugas kantor kecamatan akan sistem yang baru dan membantu mereka memecahkan masalah. Dengan sistem baru ini, pelayanan pegawai kantor kecamatan menjadi lebih cepat dan menghemat biaya. Pegawai dapat menggunakan format yang sudah ada untuk formulir dan tidak perlu menulis huruf satu per satu seperti dulu. Sistem baru ini juga menyediakan pengarsipan yang lebih sistematis, efisien. Sifatnya yang komputerisasi, menghemat ruangan. Bagi warga, sistem ini tentu dapat menghemat biaya fotokopi dan biaya transportasi, karena mereka tidak perlu berulangkali datang ke kantor kecamatan. Masatunggu klien yang menurun drastis, berbanding terbalik dengan tingkat kepuasannya. Pangkalandata terbukti penting dalam menyediakan layanan umum secara lebih baik.

200

Pada Desember 2008, 4 kantor kecamatan di 5 kabupaten (Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Bireuen) telah berpartisipasi dalam usaha memperbarui pangkalandata atas dukungan masyarakat. Sistem pangkalandata dasar disesuaikan melalui konsultasi internal kantor kecamatan dan konsultasi masyarakat terhadap persyaratan khusus dari dinas kecamatan. Model pangkalandata LoGICA telah mendapatkan sorotan, baik dari dalam maupun luar Aceh. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah menyatakan ketertarikannya untuk mengaplikasi sistem tersebut.

Tantangan
(a) Buta komputer. Pada awalnya, kebanyakan petugas kantor kecamatan buta terhadap teknologi komputer dan terus menghadapi masalah setelah pelatihan awal. Bila dihadapkan pada masalah teknis yang relatif kecil, pegawai seringkali langsung kembal bekerja secara manual. (b) Gagal-listrik. Selama listrik padam, para pegawai harus bekerja secara manual. Banyak di antara mereka yang enggan memasukkan kembali data ketika listrik menyala kembali, sehingga menimbulkan masalah pada keakuratan dan keabsahan data. (c) Kurangnya dukungan kantor-kantor pemerintahan kabupaten. Dinasdinas kabupaten tak selalu mendukung sistem pangkalandata dijital ini. Mereka malah kerap mengirim laporan dengan format yang tak sesuai dengan ketetapan sistem kantor kecamatan. Para pegawai yang terpengaruh oleh kewenangan administrasi kabupaten untuk mengabaikan ketetapan sistem dan memilih mengikuti formatnya, menimbulkan ketidakefisienan.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

201

Hikmah Ajar
(a) Memberi kesempatan pada para pegawai untuk menunjukkan kemampuan mereka. Petugas pemerintahan acap bekerja tanpa mampu menunjukkan kompetensi mereka yang sebenarnya akibat lingkungan kerja yang nirefisien. Pembaharuan program pangkalandata menyediakan kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan demi perbaikan mutu layanan masyarakat. Baik pegawai kantor kecamatan maupun kolega mereka pada satuan tugas bantuan teknis, mereka merasa senang karena menjadi lebih inovatif, efektif, dan efisien di tempat kerja mereka. Kepuasan terhadap tempat kerja dan kebanggaan dalam pekerjaan yang dilakukan juga menuntun pada perbaikan kualitas layanan dan kepuasan klien. (b) Perbaikan atas kerumitan proses kantor yang diperoleh melalui sistem pangkalan-data baru berarti bahwa, pegawai kantor kecamatan memiliki waktu lebih untuk melakukan kegiatan lain. Waktu proses yang lebih singkat dan efisien membuat para pegawai memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan lain. Kegiatan itu antara lain memperbaharui informasi di pangkalan data, kunjungan ke masyarakat untuk menjelaskan visimisi pemerintah tentang berbagai isu (seperti kepemilikan tanah dan pengalokasian dana), berkoordiansi dengan petugas pemerintahan desa, atau mengumpulkan umpanbalik dari klien/ masyarakat akan kepraktisan pelayanan. (c) Bantuan teknis dan pengawasan, sangat penting. Kontribusi asistensi teknis penting dalam pelaksanaan dan kesinambungan sistem pangkalandata yang baru pada kantor kecamatan. Ke depan, dukungan tersebut dibutuhkan untuk modifikasi dan perbaikan berkelanjutan dari pangkalandata, begitu pula dengan dukungan tiap harinya. (d) Pembaharuan ini membantu dukungan Layanan Satu Atap untuk perijinan bisnis yang efisien, yang kemudian membantu pengembangan ekonomi daerah.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

202

United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) for Aceh and Nias
Penguatan Administratur Daerah melalui Kompetensi Teknis dan Koordinasi untuk Pemulihan dan Pembangunan Berkesinambungan: Pengalaman KRF

PASCAGEMPA bertsunami, salah satu tantangan penting yang dihadapi


masyarakat Aceh adalah, bagaimana membangun rancangan kerja pemerintahan yang baik dan demokratis; sementara pada sisi lain, dalam perspektif martial law, dampak konflik masih kental terasa. Tantangan tersebut, selain merupakan pekerjaan yang sulit dan masih berlangsung, juga akan menguras lebih banyak waktu untuk menyempurnakan sistem pemerintahan yang baik, khususnya pada tingkat kabupaten/ kota di AcehNias. Salah satu lembaga penting yang dibentuk untuk memfasilitasi proses itu adalah Kabupaten/Kota Recovery Forum (Forum Pemulihan Kabupaten/Kota, KRF)sebuah badan independen yang didirikan dan dikembangkan di bawah United Nations office of the Recovery Coordinator for Aceh and Nias (UNoRC). Sebagai informasi, secara keseluruhan, di seluruh AcehNias, terdapat 20 kabupaten dan 5 kota. Kelima kota, yakni Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, Subulussalam, dan Sabang, semua berada di Aceh. KRF telah merancang dan menjalankan sejumlah kegiatan dan menetapkan sasaran yang jelas untuk memfasilitasi proses pengembangan pemerintahan yang lebih baik pada tingkat kabupaten/kota. Beberapa capaian KRF antara lain, membaiknya penyusunan prioritas serta perencanaan strategis pada tingkat kabupaten/kota, membaiknya kemampuan kelembagaan, meningkatnya level informasi dan pemahaman terhadap manajemen yang baik, serta semakin efektifnya koordinasi.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

203

Latar Belakang
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pemerintah Aceh melaksanakan transformasi yang luar biasa setelah penandatanganan MoU Helsinki serta penyelesaian yang efektif dari pilkada kabupaten dan provinsi. Hal itu telah memampangkan hasil pada permulaan yang efektif dari proses demokratisasi yang tengah berlangsung. Para bupati/walikota terpilih kemudian menghadapi tantangan besar untuk memecahkan permasalahan pascakonflik dan pascatsunami di masingmasing wilayah mereka. Proses ini kemudian terganggu oleh tantangan yang muncul dari hilangnya sekian banyak jiwa dan kemiskinan yang disebabkan gempa bumi di Nias, sebuah wilayah yang terkenal miskin sejak lama. Administratur daerah merasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk pembangunan mekanisme pemerintahan yang lebih baik, efektif, dan efisien dalam konteks pemulihan dan penguatan bagi AcehNias. Atas desakan para bupati/walikota, KRF diluncurkan untuk memfasilitasi proses itu. KRF dimulai pada saatsaat kritis ketika kesempatan utama menuju tatakelola pemerintahan yang baik diperlukan oleh para pemimpin daerah baru. Kala itu, untuk kali pertama, momentum keterpilihan mereka secara demokratis telah menunjukkan kolaborasi yang lebih besar di antara para pemangku kepentingan dalam rangka membangun kembali menjadi lebih baik. Dengan keadaan proses pemulihan yang rumit setelah gempa dan tsunami dalam konteks konflik berkepanjangan dan keterbengkalaian pembangunan yang dialami keduanya, sangatlah penting untuk melaksanakan pembangunankembali yang merangkul masyarakat AcehNias. Perangkulan itu disertai dengan kekuatan yang memberikan bayangan akan pengembangan jangka panjang mereka yang terusmenerus. objektivitas utama KRF adalah, menguatkan administratur daerah beserta para pemangku kepentingan terkait, melalui pembangunan kapasitas teknis dan koordinasi menuju pemulihan yang kuat, selain juga pengembangan seluruh kabupaten/kota. Dalam konteks ini, lembaga mulai merancang berbagai cara untuk mempromosikan perencanaan yang transparans, terkoordinasi, dan kolektif. Ini penting demi menjamin bahwa semua kebijakan, perencanaan, dan anggaran yang berhubungan dengan ketentuan bantuan dan rencana pemulihan sejalan dengan masyarakat daerah dan para pemangku kepentingan di bawah pimpinan para bupati/walikota yang dipilih secara demokratis itu.
Diagram alur perkembangan kerja KRF

204

Struktur KRF

Prinsip Panduan KRF

Hasil KRF

Menggalang Dukungan Lapangan


Pada awal 2007, segenap kantor lapangan UNoRC (di Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe, dan Nias), telah bekerja sama dengan administratur lokal dan kantor kantor perwakilan dan distrik BRR. Begitu pula dengan rekan kerja lokal dan internasional, mereka diminta untuk mendukung dan memfasilitasi pendirian KRF. Selain itu, mereka juga diminta menyediakan asistensi teknis bagi semua usaha dan operasinya menuju kesadaran akan tujuannya, yakni pemerintahan yang baik dan demokratisasi yang lebih luas lagi. Pada medio 2008, beberapa kantor lapangan tambahan didirikan di Subulussalam dan Takengon guna memperluas jangkauan KRF ke segenap pemangku kepentingan setempat. Sebuah tim baru yang terdiri dari 50 orang bertugas memfasilitasi KRF. Berbagai asosiasi fasilitasi disebarkan pada sekretariatsekretariat KRF di masingmasing kabupaten untuk memberikan bantuan fasilitasi, koordinasi, perencanaan, dan dukungan. Tim fasilitasi KRF dilantik pada April 2008, pada saat lokakarya tujuh hari. Di sana, mereka kenyang berdiskusi tentang hasil yang diharapkan. Selama lokakarya itu, tim fasilitasi KRF menerima pelatihan tentang koordinasi, pembangunan tim, dan ketrampilan kepemimpinan. Secara khusus, para peserta menerima masukan terkait tentang bagaimana memperbaiki keterampilan fasilitasi, kemampuan mengambil inisiatif, dan fungsi kerja mereka.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

205

206

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Sebagai tambahan, pada aspek teknis dari pengoperasian KRF, induksi yang berstruktur keras dan tinggi, menjamin bahwa tim fasilitasi KRF mampu menyediakan sejumlah bantuan. Bantuan yang dimaksud adalah yang terkait dengan berbagai permasalahan yang berbeda, prioritas kota, mauapun kebutuhan pemulihan yang mendesak dalam berbagai forum di bawah kepemimpinan bupati/walikota.

Peluncuran KRF
Pada Februari 2007, KRF pertama didirikan di Kabupaten Aceh Timur sebagai proyek percontohan. Selanjutnya, pada November 2007, menyusul didirikan KRF pertama di Kota Banda Aceh. Kini, 20 buah kantor KRF seAcehNias KRF telah didirikan. Cakupan kerjanya meliputi pula kerangka kerja sah dari administratur kabupaten/kota melalui ketetapan yang ditandatangani oleh bupati/walikota.

Pertemuan-Pertemuan KRF
Pascapeluncuran, pada tiap kabupaten/kota, sebuah pertemuan KRF yang bersifat mengukuhkan digelar untuk menentukan sektorsektor prioritas dari masingmasing kabupaten/kota. Pertemuan ini, yang diwakili oleh semua pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang, baik secara individual maupun kelompok, termasuk ekseksponen GAM, perwakilan dari semua departemen pemerintah, organisasi

domestik, organisasi internasional, serta berbagai asosiasi perempuan dan kaum muda, memprioritaskan berbagai sektor berdasarkan kebutuhan kabupaten/kota. Secara keseluruhan, setelah pelaksanaan pertemuanpertemuan yang bersifat melantik dan sejumlah pertemuan secara berturutturut, 120 prioritas telah diidentifikasi di seluruh 25 kabupaten/kota. Berbagai prioritas itu termasuk Infrastruktur dan Layanan Dasar, Pengembangan Ekonomi dan Mata Pencaharian, Lingkungan, Agrikultur, Perhutanan dan Penanaman, Pendidikan dan Kesehatan, Urusan Maritim dan Perikanan, Pariwisata, Warisan Budaya dan Agama, Perdagangan, Manajemen Aset, Perlindungan Anak serta Tatakelola Pemerintahan yang Baik. Beberapa kantor KRF juga memprioritaskan Penyiapan jika Bencana Terjadi, Pengarusutamaan Jender, dan Reintegrasi, sebagai permasalahan lintassektor. Dari kesemua prioritas yang telah ditetapkan, Infrastruktur dan Layanan Dasar, Pengembangan Ekonomi, Pendidikan dan Kesehatan, serta Tatakelola Pemerintahan yang baik dianggap sebagai hal yang terpenting. KRF aktif mengadakan konsultasi Aceh Recovery Framework (Kerangkakerja Pemulihan Aceh, KRF) yang selesai pada Juni 2008. Konsultasikonsultasi ini menjadi penting

!
Diagram tujuh prinsip panduan KRF

7 Prinsip Panduan KRF


!
1. Kepemimpinan yang demokratis 5. Pembuatan keputusan yang partsipatif

(1) Mengenali berbagai kesempatan baru untuk keberlanjutan, perwakilan, dan pemerintahan yang sah di AcehNias dan memanfaatkan hal ini di area pemulihan melalui mekanisme KRF (2) pada akhirnya masyarakat lah yang bertanggung jawab untuk menekankan prinsip kesinambungan dan kesesuain untuk bantuan pemulihan dan untuk menetapkan prioritas pemulihan dan pembangunan kabupaten

(5) menjadi tuan rumah bagi modal sosial dengan melibatkan semua pemangku kepentingan karena adanya korelasi kuat dan positif di antara pembuatan keputusan yang partisipatif dan pemulihan yang sukses.

!
(6) Mempromosikan keterbukaan yang lebih besar dan tanggung jawab para administrator setempat dengan berbagi informasi, serta memfasilitasi diskusi terbuka yang partisipatif.

2. Pemulihan berbasis community driven

6. Transparans dan bertanggung jawab

!
(3) menjamin bahwa suara kaum perempuan, masyarakat di area terpencil, tetua, dan kaum lemah didengar, diwakilkan, dan dimasukan dalam diskusi pengembangan prioritas dalam kabupaten.

3. Dukungan bagi 7. Respons yang kelompok lemah terkoordinasi 4. Memahami konteks lokalsolusi lokal

(7) menutup kesenjangan koordinasi pada tingkat kabupaten/kota. Menyingkirkan ketumpangtindihan dan mempromosikan perencanaan yang kolektif dan terkoordinir dengan mendirikan hubungan vertikal yang jelas antara mekanisme koordinasi lateral dan bermacam-macam tingkatan.

(4) menjamin keahlian dan rencana kabupaten dari administratur lokal dan Mitra internasional dapat membantu untuk secara kritis memberikan informasi dan penguatan pada inisiatif pemulihan local. Selain itu, tidak menyusul dan menyudutkan mereka, karena hal ini dapat menghancurkan pemberdayaan masyarakat dan pemulihan berkesinambungan.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

207

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

dalam memastikan bahwa strategistrategi provinsial dipandang telah cukup mewakili kebutuhan pada tingkat kabupaten/kota. KRF juga telah secara signifikan mengeksplor pengembangan kapasitas SDM para pemangku kepentingan dan menjawab berbagai kebutuhan dengan membangun kerja sama dengan rekanrekan kerja domestik dan internasional, berbagai perusahaan swasta, BRR, dan administratur daerah. KRF telah berhasil menjadi penengah terhadap berbagai perbedaan, dengan mengadakan diskusi yang konstruktifsolutif. Pada beberapa kabupaten, KRF menjadi sangat penting dalam merespons secara aktif pada bencana lokal dan menyediakan kepemimpinan daerah dalam menangani berbagai kebutuhan darurat.

Hasil ke-1: Prioritas dan strategi Pemulihan kabupaten/kota


Dalam rangka menyusun prioritas dan strategi untuk pemulihan tingkat kabupaten/ kota dan kecamatan, KRF mengembangkan beberapa strategi melalui pendekatan multisektoral murni. Pendekatan itu diharapkan dapat mengidentifikasi berbagai tantangan, prioritas, dan respons yang spesifik secara simultan dan berbagai intervensi pemulihan berkesinambungan. Di bawah kepemimpinan para bupati/walikota, kebanyakan Kantor KRF telah mempersiapkan rancangan strategi pemulihan kabupaten/kota untuk setidaknya tiga sektor pada daerah masingmasing. Strategistrategi ini lalu didiskusikan, disahkan, dan disaring dengan melibatkan pemangku kepentingan KRF berdasarkan tanggapan yang diterima selama pertemuan sektoral. Guna mendukung program ini, Sekretariat KRF, didukung para ahli lokal maupun internasional, dengan proaktif menyusun rancangan strategi pemulihan kabupaten/kota. Setelah strategistrategi itu disusun, KRF menentukan beberapa prioritas yang pantas untuk kabupaten/kota, yang kemudian akan disetujui oleh para pemangku kepentingan KRF. Setelah disahkan, sejumlah strategi ini kemudian diamalkan sebagai visi pada tingkat kabupaten/kota untuk diterjemahkan ke dalam rencana transisional 20082012. Rencana transisional ini setiap tahunnya diperbarui melalui partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan KRF. Lebih jauh lagi, KRF terlibat dalam penyusunan profilprofil data kabupaten/kota, yang akan ditunjuk oleh para administrator kabupaten/kota, perencana dan mitra kerja perencanaan, penandaan, dan pengawasan kegiatan pemulihan di kabupaten/kota.

208

Hasil ke-2: Pembangunan kemampuan


KRF juga telah mendirikan Cyber Resource Center (CRC) pada kantorkantor bupati/ walikota di 25 titik. CRC didirikan dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan kemampuan, serta menyediakan pengetahuan dan informasi yang siapakses bagi para pegawai negeri dan pemangku kepentingan KRF. Dengan CRC, para petugas pemerintahan dan pemangku kepentingan KRF dimungkinkan untuk selalu terhubung dengan jejaring para ahli pemulihan yang lebih luas via mekanisme Solution Exchange.

CRC milik KRF telah menjadi tuan rumah bagi beberapa program pelatihan di bidang Microfinance, operasi Dasar Komputer, Akuntasi dan Pembukuan, Masalah Sensitif Gender, IMS, Manajemen Database, Laporan Pertanggungjawaban, dan GIS yang telah berhasil dalam memperbaiki ketrampilan para pemangku kepentingan. Programprogram pelatihan ini diadakan dalam kerja sama dengan perusahaanperusahaan swasta, rekan kerja domestik dan internasional, BRR, serta administratur lokal. Untuk menjamin kelanjutannya, CRC juga akan mengadakan inisiatif Egovernance untuk menjamin hubungan yang efektif di antara kantorkantor pemerintahan, untuk memperbaiki penghantaran informasi dan layanan. Selain itu, juga untuk merangsang partisipasi warga terkait pembuatan keputusan dalam rangka membuat pemerintah lebih bertanggung jawab, terbuka, dan efektif.

Hasil ke-3: Pengelolaan informasi dan pengetahuan


KRF juga mengambil inisiatif melakukan pemetaan di kabupaten/kota masing masing untuk mengembangkan sebuah pangkalandata dan memperbaharui informasi tentang aktivitas mitra mereka. Pemetaan aktivitas ini penting untuk membantu dalam menyinkronisasikan strategi pemulihan yang disusun oleh para pemangku kepentingan KRF dengan berbagai kegiatan proyek dari mitra kerja mereka yang beragam itu. KRF juga membantu BRR dengan Housing Audit and Analysis Project NADNias (HAAP) yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan dalam mekanisme pelaporan terdahulu. Selain itu, juga untuk mencatat penilaian kualitatif dari proyekproyek dan mengatur pangkalandata yang akurat dari kemajuan pembangunan rumah. Kerja sama ini serta audit dan pemeriksaan lapangan tingkat kabupaten/kota membantu BRR dalam menjamin penggunaan sumber secara efisien, mengurangi penumpukan, dan menangani banyak masalah pada sektor pembangunan rumah. KRF, pada seluruh badannya, juga telah mendokumentasikan praktikpraktik terbaik yang dapat dimanfaatkan dalam pemulihan ke depan dan sekaligus proses desentralisasi. Para pemangku kepentingan KRF juga membuka jalur komunikasi dengan mengamalkan Solution Exchange dalam rangka memfasilitasi tantangan lokal yang bermunculan. KRF juga memberikan kontribusi secara reguler dari berbagai kabupaten/kota untuk Koran Pemulihan Aceh terkait dukungan terhadap publikasi ini dan untuk menjamin kelanjutannya. Secara individual, KRF juga memublikasikan pamflet dan lembaran informasi lainnya tentang kegiatankegiatan organisasi, kemajuan, dan perkembangan bagi para pemangku kepentingan.

Hasil ke-4: Koordinasi yang efektif


Mediasi yang sukses untuk mengatasi kesenjangan lokal di berbagai kabupaten/kota terlihat dari sejumlah contoh spesifik dari beberapa kantor KRF. Secara keseluruhan, konflik dan perselisihan diatasi dengan penyampaian permasalahan yang ada dan pengamalan modal sosial untuk meraih solusi yang efektif.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

209

KRF Aceh Jaya secara efektif memediasi sebuah perselisihan dengan menyatukan para kontraktor dan petugas lokal serta para legislator untuk mendiskusikan masalah yang penuh perdebatan ini. Hasilnya adalah sebuah konsensus untuk memonitor konstruksi infrastruktur masyarakat demi menjamin pelaksanaan yang baik dan tepat waktu.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Demikian pula dengan KRF Aceh Tenggara yang memimpin diskusi produktif terntang berbagai masalah mulai dari banjir hingga pembayaran yang tidak sesuai untuk kaum tani. Pada kedua kasus tersebut, diskusi yang difasilitasi KRF sangat membantu dalam menunjukkan dengan tepat akar permasalahan dan jalan untuk mengatasinya, serta memuaskan seluruh pemangku kepentingan. KRF mendorong pembuatan keputusan yang partisipatif dalam pelaksanaan proyek. KRF Aceh Singkil, misalnya, melalui koordinasinya dalam sektor infrastruktur, mampu memfasilitasi pembangunan sebuah jalan baru yang akan menghubungkan Aceh Singkil dengan Aceh Tenggara. Bupati beranggapan bahwa usaha ini bermakna bagi efisiensi birokrasi lokal. KRF juga secara efektif mengatasi permasalahan lokal dengan mengadakan diskusi dengan badanbadan administratif lokal. Di Bireuen, ketika para pemangku kepentingan mengajukan keluhan tentang tambak ikan yang terbengkalai, Sekretariat KRF langsung mengadakan inspeksi lapangan dan menemukan 44,2 hektare tambak ikan terimbas tsunami namun belum kunjung menerima bantuan. Sebagai hasilnya, Dinas Perikanan Bireuen berjanji untuk memasukkan tambak ikan dalam anggaran rehabilitasi. Dalam pola yang mirip, KRF Aceh Barat Daya mengambil inisiatif untuk menganalisis kebutuhan darurat pada sektor perikanan. Belakangan, langkah ini menuntun pada pengucuran dana pemulihan pada sektor maritim dan perikanan sebesar Rp3 milyar oleh Wakil Gubernur Aceh. Terkait berakhirnya tugas BRR, pada akhir masa operasi yang dimandatkan, KRF di seluruh kabupaten/kota mengambilalih aset bersama administratur lokal dan BRR untuk bekerja bersama para Mitra domestik maupun internasional.

210

Pengalaman dan Jalan ke Depan


KRF di seluruh kabupaten/kota mengambilalih kepemimpinan dengan administratur lokal dan BRR untuk bekerja sama dengan rekan kerja domestik dan internasional dalam mentrasfer aset yang berhubungan dengan exit strategy BRR. Terkait dengan itu, KRF telah meletakkan dasar bagi sambutan dan kepemilikan oleh administratur lokal terhadap jaminan bahwa seluruh kebijakan dan kegiatan berasal serta menjunjung tinggi aspirasi masyarakat. KRF telah mendirikan serta memperluas mekanisme inovatif yang memberikan kontribusi lebh jauh lagi bagi pembangunan daerah, seperti egovernance, program pengembangan kapasitas SDM yang dijalankan melalui CRC, mengembangkan kapasitas SDM dan kemampuan komputer agar dapat meningkatkan dukungan yang tersedia untuk egovernance dan Solution Exchange. KRF juga memastikan apakah anggaran tahunan yang disiapkan administratur lokal dapat disahkan sebelumnya melalui diskusi para pemangku kepentingan dengan hasil bahwa prioritas lokal berada pada urutan teratas pada daftar rencana pemerintah. Hal ini juga menjamin bahwa pembangunan jangka panjang dari kabupaten/kota didasarkan atas aspirasi dan keutuhan darurat dari masyarakat. operasi KRF yang didanai oleh anggaran masingmasing administratur daerah, telah menjamin kepemilikan lokalnya sejak awal. Telah dipertimbangkan pula bahwa para donor, begitu pula dengan badanbadan bantuan dan pengembangan, akan melihat KRF sebagai layanan satu atap bagi proyek mereka selanjutnya. Hal tersebut karena KRF dapat diandalkan dan informasi yang dibuat tersedia dalam kebutuhan darurat dan berjangka panjang. Terlebih lagi, prioritas yang dipunyainya mengakar pada konsensus publik. KRF juga memiliki peralatan yang lengkap untuk membantu pengembangan usaha dengan menyediakan peta jalan yang konsultatif bagi para investor tentang potensi dan tantangan yang menarik pada masingmasing daerah. Diharapkan, transparansi dan tanggung jawab yang membaik akan mendorong lebih banyak lagi investasi dari luar provinsi, sehingga dapat membawa provinsi ini pada kehidupan ekonomi yang lebih kuat dan pembangunan yang lebih berkelanjutan. KRF membuktikan bahwa, penyusunan keputusan yang desentralisatif dan selalu diinformasikan oleh kepemimpinan daerah, sangatlah penting bagi keberhasilan proses pemulihan dan pembangunan. Sebagai hasil dari kerja sama dengan KRF, penyusunan keputusan oleh badanbadan pemerintah dan pemangku kepentingan telah berubah menjadi penyusunan keputusan yang partisipatif dan terinformasi secara baik.

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

211

212
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pendanaan, Operasi dan Pengawasan


TATA kelola pemulihan ternyata tak semudah memenuhi kebutuhan administratif. Ia lebih merupakan sebuah faktor penting bagi keberhasilan. Mengingat besarnya skala kehancuran, jumlah badan yang berpartisipasi, serta dana bantuan yang tersedia, penting untuk memperkenalkan beragam mekanisme untuk menata program pemulihan kala itu. Beberapa mekanisme telah dimaktubkan dalam 8 studi kasus di sektor ini. Di dalamnya5 dicetak dan 3 di dalam CD Seri Buku BRRdeskripsi tentang sekian prosedur yang diimplementasikan oleh lembaga partisipan terkait disediakan. Tujuannya: prosedur yang unik menyangkut situasi di Aceh Nias, penggalian kemungkinan tentang diterapkannya mekanisme mekanisme tersebut, serta apropriasi mereka untuk replikasi dapat digambarkan.

Ruang Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) BRR, dalam sebuah aktivitasnya, Banda Aceh, 25 Juli 2007. Lingkup kerja unit yang dibentuk pada tahun kedua Pemulihan ini mencakup bidang dukungan teknis dan prasarana teknologi informasi, pengembangan sistem aplikasi, manajemen data, serta data geospasial. Foto: BRR/Arif Ariadi

Asian Development Bank (ADB)

214

Pengamanan Terdesentralisasi: Penyaringan, Tinjauan, dan Pengawasan atas Subproyek

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pengantar
internasional yang baik mengharuskan lembaga pembangunan dan pemerintah untuk memastikan agar proyekproyek yang mereka kerjakan tidak menyebabkan atau setidaknya meminimalkan kerusakan jangka pendek yang tidak semestinya ditanggung masyarakat maupun lingkungan. Sehubungan dengan hal ini, kebijakan Pengamanan lingkungan dan sosial diintegrasikan ke dalam kebijakan serta prosedur utama oleh lembaga bantuan internasional maupun lembaga keuangan dalam mengarahkan perencanaan dan pelaksanaan proyek pembangunan. Akan tetapi, dalam rehabilitasi bencana di mana kerja darurat rehabilitasi dan pembangunan kembali prasarana infrastruktur utama, pelayanan sosial, dan mata pencarian sangat dibutuhkan. Memastikan pemenuhan pembuatan standar pengamanan dan praktik adalah sebuah tantangan akibat lemahnya institusi dan lembaga setempat. Hikmah ajar proyek Earthquake and Tsunami Emergency Support Project (ETESP) bisa digunakan sebagai acuan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di masa mendatang, khususnya tentang bagaimana menjawab masalahmasalah sosial dan lingkungan selama rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana.

PRAKTIK

Latar Belakang
Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Perjanjian hibah ETESP mewajibkan semua subproyek yang dibiayai ETESP menerapkan pengujian lingkungan tahap awal (Initial Environmental Examination, IEE), kecuali kegiatankegiatan murni terkait peningkatan kapasitas dan pemerintah, serta diajukan untuk ditinjau dan mendapatkan persetujuan Badan Pengenalan Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) juga ADB. Juga diharuskan implementasi langkah langkah mitigasi lingkungan seperti dijabarkan dalam IEE. Perjanjian hibah juga mewajibkan penyaringan terhadap semua subproyek terkait dampak perjanjian tersebut dengan akuisisi tanah, permukiman kembali akibat penggusuran, dan penduduk asli. Rencana Akuisisi Tanah dan Permukiman kembali yang selaras dengan kebijakan ADB disiapkan dan diterapkan untuk subproyek yang melibatkan akuisisi tanah atau permukiman kembali akibat penggusuran. Aksi khusus bagi penduduk asli digunakan untuk subproyek yang berpotensi membawa dampak terhadap penduduk asli. Perjanjian Hibah ini juga mewajibkan adanya pengawasan dan pelaporan tentang permukiman. Kebijakan ADB menegaskan agar penilaian lingkungan yang dipersiapkan untuk proyek/subproyek yang dibiayai ADB dengan dampak terbatas (Kategori B) dikaji oleh pakar lingkungan di departemen terkait. Demikian pula halnya rencana permukiman kembali untuk subproyek Kategori B yang harus dikaji oleh pakar permukiman kembali dari departemen yang sama. Subproyek yang memiliki dampak signifikan juga dikaji dan disetujui Chief Compliance officer ADB (CCo). Karena itu, tantangan bagi ETESP adalah bagaimana memfasilitasi kajian, persetujuan, dan penerapan subproyek sehingga dapat merespon kebutuhan masyarakat yang sifatnya mendesak dengan lebih cepat lagi, seraya memastikan intervensi lewat subproyek tersebut mematuhi kebijakan dan prosedur Pengamanan ADB serta memiliki kesinambungan sosial dan lingkungan jangka panjang.

215

Pengembangan dan Penerapan


Pendekatan ADB untuk:
1. mengupayakan proses kajian dan pengamanan yang lebih terdesentralisasi, 2. menyediakan pakar di bidang terkait untuk: (a) memberikan saran dan melatih Konsultan Persiapan dan Pelaksanaan (PIU) serta Pemerintah Daerah tentang syarat dan standar pengamanan untuk ETESP, (b) membantu perluasan misi untuk Sumatera (Extended Mission for Sumatera, EMS) dan Departemen Regional ADB Asia Tenggara (Southeast Asia Regional Department, SERD) dalam kajian pengamanan atas subproyek, (c) mengawasi pemantauan pengamanan subproyek, serta (d) menjalin hubungan dengan lembaga pemerintah terkait (contoh BPN, BAPEDALDA).

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

EMS mengembangkan sistem harmonisasi untuk mengkaji subproyek dengan cara (a) memperkenalkan pendekatan umum serta nomenklatur untuk semua sektor ETESP; (b) memangkas periode penilaian untuk setiap intervensi di bawah ETESP; (c) memungkinkan dilakukannya deteksi dini terhadap intervensi yang bisa diterapkan dan intervensi yang tidak layak diterapkan; serta (d) mengidentifikasi persetujuan yang diberikan di tingkatan EMS dan Kantor Pusat ADB. Sistem ini merupakan proses tinjauan yang terdiri dari dua tahap yaitu, Laporan Penilaian Subproyek (Subproject Appraisal Report, SPAR), dan tahap Laporan Persiapan Subproyek (Subproject Preparation Report, SPPR). Pada tahap tinjauan SPAR, penyaringan subproyek dilakukan berdasarkan potensi masalah di bidang pengamanan sosial dan lingkungan untuk kemudian dikategorisasikan. Berdasarkan kajian SPAR, EMS mengeluarkan surat tanda tidak berkeberatan (No Objection Letter, NoL) terhadap masuknya subproyek ke dalam ETESP. Hal ini memicu mulainya persiapan subproyek secara lebih rinci dan intensif. Subproyek yang ditetapkan berpotensi melibatkan akuisisi tanah, konsolidasi tanah/bloking ulang, kerugian struktur atau aset, adanya orang mengungsi dari perumahan atau hilangnya mata pencarian; diharuskan menyiapkan dokumendokumen rencana permukiman kembali yang sesuai pada tahap kajian SPPR. Semua subproyek yang melibatkan pekerjaan umum juga wajib menerapkan IEE. Berdasarkan kajian SPPR (termasuk instrumen rencana pengamanan), EMS mengeluarkan surat tanda tidak berkeberatan untuk memulai pekerjaan umum. Dua penasihat pengamanan sosial (satu internasional dan satu nasional), yang bekerja di kantor EMS di Banda Aceh, dikerahkan pada November 2005. Langkah selanjutnya adalah merekrut dua penasihat pengamanan lingkungan. Berdasarkan konsultasi dengan pakar Pengamanan SERD, penasihat EMS melakukan penyaringan subproyek, meninjau penilaian pengamanan, dan dokumen perencanaan (LARAP, CAP, IEE), memberikan masukan/mentoring terhadap konsultan sektor/unit pelaksana/pemerintah daerah tentang masalahmasalah dan kebijakankebijakan pengamanan lingkungan/sosial, melakukan kunjungan lapangan dan membentuk pemantauan pengamanan subproyek. Untuk memfasilitasi kajian IEE, EMS bekerja sama dengan BAPEDALDA mengadakan kajian kelayakan lingkungan bersama terhadap subproyek ETESP. Dimulai pada November 2006, EMS juga terlibat dalam proses penilaian terhadap petugas kelayakan lingkungan di NAD dan Nias dalam mengulas seta mengawasi subproyeksubproyek ETESP. Per Agustus 2008, sejumlah 246 subproyek ETESP telah melalui pengujian kelayakan lingkungan. EMS dan BAPELDADA bersamasama mengadakan pengawasan lapangan terhadap penerapan pengurangan dampak lingkungan dan peningkatan tindakan di subproyeksubproyek ini. Dalam konteks pengamanan sosial, 80 subproyek dinyatakan memiliki potensi dampak minor terhadap kemungkinan terjadinya akusisi, permukiman kembali akibat penggusuran, dan satu subproyek dinyatakan memiliki potensi dampak yang signifikan. Rencana permukiman kembali pada subproyeksubproyek ini termasuk mendukung pendokumentasian, telah diuji dan dinyatakan lulus oleh ADB. Selain itu, pada Juli

216

Hasil
Peninjauan dan penyaringan dalam dua tahap yang terdesentralisasi ini memungkinkan pelaksanaan darurat atas kegiatankegiatan yang tidak memiliki isu pengamanan, serta memungkinkan PIU untuk mengintegrasikan rencana pengamanan dan penerapannya dalam rencana kegiatan subproyek secara rinci. Hal ini juga membuka kesempatan untuk mengarusutamakan langkahlangkah perbaikan lingkungan hidup dalam sejumlah subproyek. Sebagai contoh, untuk sektor perikanan ETESP, rehabilitasi zona hijau di kawasan pesisir, penanaman pohon bakau, mempromosikan lingkungan akuakultur yang berkesinambungan dan metode penangkapan ikan, serta perbaikan pengelolaan tempat tempat pendaratan ikan dan pengisian bahan bakar mendapatkan penekanan utama. Di sektor pertanian, kegiatan mencakup pemulihan kawasan pertanian yang rusak akibat tsunami yang rentan secara ekologis dan perbaikan fasilitas mata pencarian yang rusak; serta pada sektor perumahan penekanan yang cukup diberikan untuk memastikan agar rumahrumah tersebut dilengkapi dengan sistem sanitasi yang sesuai dengan peraturan bangunan nasional dan Panduan Sanitasi Berkesinambungan dari BRR. Alhasil, sebagian besar subproyek ETESP memberikan manfaat lingkungan yang berarti dan memitigasi dampak berpotensi negatif. Koordinasi awal antara EMS dan BAPEDALDA tentang kajian serta pengawasan subproyek dan penyediaan penasihat untuk BAPEDALDA juga (a) memungkinkan ETESP untuk patuh pada persyaratan lingkungan baik dari ADB maupun pemerintah Indonesia, (b) mempercepat pengkajian dan persetujuan BAPEDALDA, dan (c) memperbaiki pengawasan lingkungan eksternal terhadap subproyeksubproyek ETESP. Pengerahan penasihat pengamanan pada EMS membantu (a) memperkecil kesenjangan kapasitas antara PIU dan tim konsultan, (b) meningkatkan kemampuan identifikasi solusi untuk masalahmasalah pengamanan, (c) memfasilitasi pengkajian pengamanan dan pemantauan subproyeksubproyek ADB SERD, dan (d) memungkinkan persetujuan bertahap terhadap pekerjaan yang melibatkan pekerjaan umum, seraya terus menerus melibatkan pemerintah guna mengambil keputusan terhadap isu serta masalah pengamanan yang tertunda.

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

2007, EMS melibatkan Univeritas Syiah Kuala untuk mengadakan pemantauan eksternal terhadap permukiman kembali (External Resettlement Monitoring, ERM). Kesenjangan yang tercatat dalam proses itu didiskusikan dengan BRR untuk pengambilan tindakan yang tepat. Setelah pengkajian, laporan ERM dimuat di situs ADB agar bisa diakses publik.

217

Tantangan
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Tantangan awal yang dihadapi ETESP berkisar pada (a) kurangnya pemahaman PIU, pemerintah daerah, dan tim konsultan terhadap kebijakan, persyaratan, dan prosedur pengamanan lingkungan dan sosial ADB, dan (b) terbatasnya kapasitas institusi institusi yang berperan melakukan penilaian lingkungan hidup dan akuisisi tanah serta permukiman kembali. Dalam berbagai tingkatan, hal ini diatasi dengan mempertemukan penasihat pengamanan di EMS dengan spesialis ADB yang ada di SERD. Interaksi berkala antara penasihat pengamanan EMS dengan PIU, konsultankonsultan sektor, pemerintah daerah serta badanbadan lain memungkinkan terjadinya pelatihan langsung, upaya klarifikasi jika ada masalah, serta pemantauan atas kepatuhan. Meskipun berhasil meraih capaiancapaian yang direncanakan, ada sejumlah tantangan dalam hal pengamanan lingkungan dan sosial yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu: Pengadaan material bangunan pekerjaan umum yang tahan lama untuk kebutuhan material bangunan memicu berkembangnya perburuan tanpa terkendali dan ilegal serta pengedukan materi dari dasar sungai secara ekstensif dan pembalakan. Pemantauan lingkungan subproyek: pemantauan lingkungan tidak dapat mengikuti kecepatan laju kegiatan subproyek. Meski ada pemantauan, tindak lanjut tetap terbatas. Keengganan menerapkan standar serta hak yang diterima dalam ETESP yang berbeda dengan praktik setempat berkaitan dengan orangorang yang terkena dampak namun bukan pemilik rumah serta keinginan mendapatkan kompensasi tinggi menghambat penyelesaian masalahmasalah akusisi tanah/permukiman kembali. Tantangan ini semakin besar seiring berakhirnya tugas BRR. Keterbukaan atas hak yang diterima korban dalam ETESP terbatas, sehingga menimbulkan keraguan atas kebenaran akan sumbangan tanah yang diberikan sebagian korban.

218

Hikmah Ajar
Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Pendekatan ETESP terhadap pengamanan berhasil meningkatkan kualitas subproyek subproyek yang dibiayai dana hibah dan membantu menghindari/meminimalisasi dampak besar terhadap masyarakat dan lingkungan. Pengalaman ETESP menunjukkan, pengawasan yang ketat tetap bisa diterapkan pada pekerjaanpekerjaan yang dilakukan pada rehabilitasi/rekonstruksi pascabencana. Pengalaman mengajarkan, pengamanan lingkungan dan sosial selama rehabilitasi dan rekonstruksi bisa diperbaiki bila: (a) Pengembangan kerangka kerja pengamanan terintegrasi yang mendapatkan persetujuan pemerintah (EA, IA dan pemerintah daerah), donor, dan lembaga lembaga mitra dilakukan sesegera mungkin; (b) Pakar pengamanan bekerja sama erat dengan unitunit implementasi, konsultan di tahap persiapan dan lembagalembaga mitra, juga melakukan kunjungan lapangan secara berkala; (c) Keterkaitan antara mitramitra pembangunan dengan kegiatankegiatan atau program pelengkap dibangun; (d) Kelompok pengamanan dikerahkan di EA untuk memberikan arahan harian kepada Satker dalam tahap persiapan serta penerapan subproyeksubproyek; (e) Dilakukan penilaian atas kemampuan badanbadan yang terlibat di dalam pengawasan (BAPEDALDA, pemerintah kabupaten) yang dilakukan di tahap awal dan perbaikan yang dilakukan dengan memberikan asistensi; (f) Dukungan resmi pemerintah kabupaten terhadap panduan dan prinsip yang digunakan dalam melakukan akuisisi tanah dan permukiman kembali (terutama yang terlibat dengan nonpemilik rumah AP, dan pengujian atas aset/kepemilikan) yang diterapkan pada proyek yang diperoleh sebelum memulai prosedur akuisisi tanah; dan (g) Dana akuisisi tanah dan permukiman kembali tersedia sejak awal proses.

219

United Nations-Human Settlements Programme (UN-HABITAT)


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

220

Pemantauan Pemulihan Permukiman: Tinjauan Akhir

Pengantar
Pemerintah Indonesia membentuk badan rekonstruksi pascatsunami, BRR NADNias, pada April 2005, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas ditekankan sebagai prinsipprinsip utama dengan didukung pemantauan dan evaluasi. Seperti peristiwa peristiwa penting yang berkembang pada awal 2005, masih belum jelas bagaimana upaya pembangunan kembali akan dilakukan. Pada pertengahan 2005, meskipun hanya prosedurprosedur dasar yang telah dibuat, tidak diduga banyak organisasi pelaksana yang bergerak untuk membangun rumahrumah baru. Pada Agustus 2005, UNHABITAT mengambil peran selaku pendukung Direktorat Perumahan dan Permukiman BRR. Direktorat yang baru dibentuk BRR ini memerlukan bantuan dalam mengembangkan sistem tata kelola informasi dan tata kelola kepatuhan. Kemudian, semacam bantuan dalam memantau dan mengevaluasi juga dirasa perlu ada, meskipun bentuk maupun isinya belum didefinisikan. BRR telah membuat kerangka kerja dalam tata kelola informasi secara umum dengan memperkenalkan Nota Konsep Proyek. Nota ini lalu berkembang menjadi sistem pelacakan proyek yang baik, dan lalu dikenal sebagai basis data pemulihan AcehNias (Recovery AcehNias Database, RANDatabase). Namun, baru pada akhir 2006, RANDatabase berhasil menghasilkan data pelacakan yang handal.

KETIKA

Kenyataannya tentu berbeda. Sejumlah hal harus saling berkaitan dan beberapa pihak harus bekerja sama. Contohnya dewan desa, pejabat kecamatan, kontraktor, sejumlah lembaga yang berkaitan dengan isu tanah, perusahaan peralatan, pejabat setempat yang berwenang dalam membenahi prasarana dan irigasi, serta departemen pendidikan yang membangun kembali gedunggedung sekolah. Secara lebih sederhana, pemulihan permukiman kembali di Aceh bisa digambarkan sebagai sebuah proses dengan dua dimensi. Dimensi pertama, menyangkut pemulihan permukiman itu sendiri, di mana sejumlah pekerjaan harus dituntaskan: serpihan serpihan dibersihkan, tanah dipetakan, pemetaan desa diselesaikan, dan prasarana serta kebutuhan lain harus dibangun. Dimensi lain lagi adalah pemulihan perumahan dan rumahrumah baru yang dibutuhkan atau perbaikan rumah harus dimulai, serta sejumlah kemajuan harus dituntaskan. Kegiatankegiatan tersebut seperti sebuah daftar kerja panjang yang seluruhnya harus diselesaikan. Pemulihan permukiman dilakukan setelah proses rekonstruksi perumahan berjalan baik, sehingga program pemantauan perumahan juga harus menyertakan halhal yang menyangkut permukiman kembali dan masalahmasalah terkait. Seluruh daftar kerja harus dilacak. Lebih dari itu, terdapat asumsi bahwa semakin banyak yang bisa dicapai di tahap awal, semakin besar kemungkinan untuk menuntaskan pemulihan perumahan dan permukiman kembali dengan utuh. Prinsipprinsip rekonstruksi lain seperti diuraikan dalam Rencana Induk, keterlibatan masyarakat, kesinambungan, pendekatan holistik, integrasi, dan penetapan prioritas masyarakat rentan, juga harus dipantau dengan mempertimbangkan dimensidimensi terkait pemulihan permukiman kembali dan pemulihan perumahan. Keterlibatan masyarakat dibutuhan, baik dalam kaitan dengan isuisu permukiman maupun upaya membangun kembali untuk masyarakat. Lebih jauh, jelas bahwa pemulihan permukiman juga melintasi isuisu yang melebihi program pemulihan penampungan sementara yang sempit: restorasi dan penguatan pemerintah setempat, perlunya perencanaan yang menyeluruh dan koordinasi (horisontal dan vertikal), pemulihan mata pencarian dan isu isu keamanan lingkungan, serta mediasi kembali. UNHABITAT mengembangkan program pemantauan bagi pemulihan perumahan yang juga memberikan kontribusi atas pemantauan pemulihan permukiman yang sejalan dengan harapan Rencana Induk. Program pemantauan dibangun atas rancangan dan pelaksanaan yang spesifik, serta peranti pelaporan seperti kartu nilai pantauan.

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Awalnya, masalah utama bagi proses pemantauan berkaitan dengan pertanyaan apa yang akan dipantau? Sejumlah pembuat kebijakan tidak terlalu punya pemahaman mengenai perumahan dan tidak mengira akan ada dampak yang membingungkan dari operasi perumahan yang berkaitan dengan lingkungan strategis rekonstruksi secara keseluruhan. Isuisu perumahan kerap dikurangi atau disederhanakan menjadi sejumlah pertanyaan yang terbatas: janji tentang unit rumah, jumlah rumah yang secara efektif mulai dibangun, dan jumlah rumah yang tuntas dibangun.

221

Pembentukan Program Pemantauan


STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Sebelum 2008, BRR membuat sejumlah sistem pemantauan. RANDatabase telah menjadi alat pelacak utama dan alat penghitung bagi seluruh program badan pelaksana serta Pemerintah Indonesia. Pada pertengahan 2008, UNoRC menghitung ulang semua rumah baru dengan bantuan kantorkantor di lapangan yang terus bertambah. Proses ini mengonfirmasi data BRR. Sistem informasi geografis juga dibuat di dalam BRR, berfungsi sebagai laporan bagi seluruh rumah yang dibangun, baik dengan cara onbudget maupun yang dibangun oleh lembaga pelaksana. Tentu saja, di awal 2005, keadaan sangat berbeda. Sistem Informasi Kemanusiaan telah memiliki perangkat cukup memadai yang disebut dengan perangkat data 3W (Who does What Where), yang dicetak di atas peta Aceh yang benar. Tapi informasi ini hanya melacak bantuan masa darurat. Sebelum April 2005, sistem ini terhenti akibat penggeseran terhadap UNHCR oleh Pemerintah Indonesia dan kurangnya mandat yang jelas dari oCHA.1 Pemerintah ingin mengambil alih koordinasi, namun tertunda akibat dari gempa bumi di Nias dan mendesaknya waktu untuk mendirikan BRR. Shelter Working Group, yang dibentuk pada fase darurat, melanjutkan pertemuan di Banda Aceh dan lokasilokasi kunci lainnya pada bulan April dan sesudahnya. Tapi secara umum, kepemimpinan sangat lemah, termasuk dari UNHABITAT. Saat bekerja sama dengan Departemen Perumahan dan Permukiman Aceh, Kimpraswil, UNHABITAT mengumpulkan perkiraan daftar janji, dari segi nilai maupun unit. Jumlah janji senantiasa berubah sehingga menjadi sangat tidak pasti. Untungnya, sebelum pertengahan 2005, situasi koordinasi telah membaik secara signifikan. BRR, Bank Dunia, dan UNHABITAT telah membentuk kelompok kerja bagi rekonstruksi perumahan. UNHABITAT dengan tegas memimpin Shelter Work Group sejak September 2005. BRR mendukung survei komprehensif, melacak janji pembangunan rumah dan pembangunan rumah yang sudah dimulai di lapangan, bersama dengan organisasi Aceh Garansi serta pejabat setempat yang berwenang.2 Sementara itu, Koordinator Pemulihan PBB yang baru ditunjuk dan IFRC masih tetap berusaha mengatasi masalah mengenai tenda dan kebutuhan penampungan sementara. Namun, keadaan data keseluruhan masih dianggap tidak handal. Meski survei Garansi , pertama dilaksanakan pada September selanjutnya pada November, telah mencatat angka dari janji perumahan yang berkesan di desadesa tertentu dan sejumlah pembangunan perumahan yang sudah dimulai; persepsi keseluruhan adalah data ini bisa menunjukkan janji yang lemah dan mengimplikasikan awal yang salah. Kepercayaan pada janjijanji LSM berkurang sebelum akhir 2005. Hambatan pada pelaksanaan dianggap terlalu banyak, jaminan tanah, ketersediaan kayu, kualitas bangunan yang buruk, biaya yang tidak pasti, dan lainnya, serta lingkungan strategis pun tidak pasti. Lebih dari 200.000 unit perumahan sudah dijanjikan, sementara yang dibutuhkan hanya 100.000.

222

Kemajuan pada tahaptahap persiapan tampak pada bagaimana badan pelaksana mengatasi hambatanhambatan awal. Bila kegiatan pemulihan permukiman berskala kecil sedang dilakukan, seperti pemetaan tanah dan penyeleksian penerima manfaat, maka diasumsikan pemulihan perumahan juga akan mengalami kemajuan dan berhasil. Tahap awal dibuat oleh sejumlah organisasi, seperti oxfam, UNHABITAT, UPLINK, dan beberapa organisasi lain menjadikan asumsi ini masuk akal. Pertama, anggota kelompok di dalam Shelter Working Group diharapkan mengumpulkan informasi dari lapangan mengenai kemajuan proses pemetaan tanah, perencanaan desa dan penyeleksian penerima manfaat, serta memasukkan data ini ke dalam modul pemantauan tambahan pada RANDatabase. Namun, upaya untuk menyatukan informasi tambahan ke dalam RANDatabase dibatalkan. Masalahmasalah teknologi informasi RANDatabase, baik menyangkut peranti keras maupun lunak, ternyata cukup besar. Sebagai hasilnya, pengadaan mekanisme pemantauan mandiri yang diupayakan. Pemisahan hubungan dari pengembangan upaya pemantauan dengan pengembangan RANDatabase memiliki implikasi kedua. Kebutuhan pengumpulan data tidak lagi menjadi keharusan swapelaporan oleh para lembaga pelaksana. Hal ini telah menjadi bagian modul RANDatabase sejak awal. Namun, masalah awal RANDatabase dan kurangnya disiplin dalam mengumpulkan laporan oleh para lembaga yang jumlahnya sangat banyak, menambah keruwetan yang berakibat pada kurangnya laporan yang baik hingga tahun 2006. Kinerja pelacakan awal dan kemajuan melalui swapelaporan bisa dianggap sangat kurang berhasil. Untuk mengatasi ancaman ini, UNHABITAT mengundang jurusan arsitektur Universitas Negeri Syiah Kuala (Unsyiah) , Banda Aceh, guna melakukan pemantauan. Meskipun kapasitas jurusan itu sangat terbatas, pilihan ini membawa sejumlah keuntungan. Jurusan ini bisa menyediakan pemantauan oleh penduduk Aceh sendiri guna memenuhi harapan dari pemantau pihak ketiga dan akuntabilitas, hal ini sesuai dengan tujuan strategis BRR. Lebih jauh lagi, kuesioner dirancang dalam bekerja sama dengan tim pengajar dan mahasiswa, memberikan kesempatan untuk menyerap pengetahuan lokal serta rasa sensitivitas dalam pelaksanaan program pemantauan. Pada akhirnya, kerja sama ini membuka peluang bagi terbentuknya kerja sama antara lembagalembaga lokal.

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Dalam kondisi tidak adanya data yang bisa diandalkan, UNHABITAT mengusulkan kepada Shelter Working Group untuk secara kolektif lebih terlibat di dalam pelacakan yang rinci. Dasar asumsi bahwa RANDatabase yang baru dibuat tidak bisa memberikan gambaran yang dinamis akan kemajuan, karena hanya mengemukakan permohonan janji bantuan dan kemajuan fisik. Seperti telah disebutkan di awal, persiapan yang terus dilangsungkan, seperti halnya pemetaan tanah dan perencanaan desa sebetulnya merupakan indikasi bahwa proses pemulihan permukiman dan perumahan telah dimulai di suatu masyarakat.

223

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

UNHABITAT membawa pengalamannya di bidang pemantauan profesional dengan pemahaman mengenai beragam keadaan di berbagai negara. Sebelum akhir 2006, para pemantau Unsyiah yang paling berpengalaman diangkat menjadi staf di UNHABITAT, namun pemantauan lapangan terus menarik minat para mahasiswa di universitas tersebut. Kuesioner awal dibuat pada oktober 2005 dan diuji pada November. Hasil yang pertama kali dipublikasikan, dirilis pada awal Februari 2006. Program ini berlanjut hingga pertengahan 2008. Putaran pemantauan penting dilakukan pada awal 2006, pertengahan 2006, dan pertengahan 2007. Sebagai tambahan, putaran pemantauan khusus dilakukan secara khusus bagi program perumahan Palang Merah yang berlokasi di Aceh Jaya dan bagi semua rumah yang dibangun atau dituntaskan UNHABITAT.
Tabel 1 Program Pemantauan UN-HABITAT Unsyiah Waktu dan Lokasi.

224

Pemantauan Putaran 1 (percobaan) Putaran 2

Bulan Nov 05 Jan - Mar 06

Kabupaten Banda Aceh Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Barat and Pidie Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Jaya, Nagan Raya, Pidie, Bireuen, Lhokseumawe and Aceh Utara

Organisasi 16 34 66

Jumlah Desa

Putaran 3

Mei - Jul 06

50

75

Perumahan UNHABITAT Perumahan Aceh Jaya (beragam organisasi Palang Merah) Perumahan UNHABITAT Perumahan UNHABITAT

Okt- Nov 06 Nias and Nias Selatan

Nov Des 06 Des 06 Feb 07 Apr 07

Aceh Jaya

12

Aceh Besar, Banda Aceh and Pidie Simeulue Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe and Aceh Utara Simeulue

17 3

Putaran 4

Agus - Sep 07

43

73

Perumahan UNHABITAT

Awal 2008

Program pemantauan dimulai dengan tujuan menguji kemajuan di lapangan pada bulanbulan pertama berdasarkan informasi yang terbatas seperti jumlah pertemuan yang diadakan, pemetaan tanah yang sedang berlangsung, dan kemajuan dalam konstruksi dari beberapa prakarsa rumah yang belum tuntas. Sejak awal, asumsi dasar yang dipakai adalah pemulihan permukiman dengan cara yang lebih komprehensif harus dipikirkan, terutama dalam tahap persiapan ketika perjanjian dengan desa tempat pembangunan rumah kembali ditandatangani, pemetaan tanah dan perencanaan desa yang diperlukan, serta identifikasi para penerima manfaat. Data tambahan bisa memberikan informasi lebih banyak tentang kemungkinan/ kelayakan perjanjian pemulihan permukiman dan pembangunan perumahan: adakah bantuan lain yang mencapai ke desa serta lingkungan tersebut, termasuk dukungan sosial, kesehatan, dan pendidikan; adakah bantuan khusus bagi kelompok yang rentan; adakah kegiatan khusus seperti pemetaan tanah yang dilakukan atau dituntaskan dengan penandatanganan dokumen; apakah halhal penting seperti penyediaan air minum dijanjikan/diberikan? Sebagai tambahan, program pemantauan diperlukan untuk mengevaluasi sejauh mana proses rekonstruksi bisa memenuhi tujuan Rencana Induk secara komprehensif. Pertanyaanpertanyaan yang jelas serta pragmatis adalah poinpoin awal: Apakah pembangunan permukiman kembali menjawab kebutuhan di lapangan dan apakah penduduk setempat berperan pada pembuatan keputusan penting mengenai apa yang harus diprioritaskan dan bagaimana melaksanakannya? Apakah kegiatan sesuai proses termasuk pemetaan tanah dan perencanaan desa? Apakah pemulihan memadai secara holistik, mencakup bantuan mengenai masalah mata pencarian, kesehatan, dan pendidikan serta apakah mencakup semua penduduk yang ada di masyarakat masingmasing? Perangkat prasarana apa yang diperlukan serta apakah halhal tersebut direncanakan dan disiapkan? Secara keseluruhan, sistem pemantauan dibangun menjadi peranti strategis, mengukur kinerja, kualitas, kepuasan, dan kemajuan. Pada tingkatan strategis, terdapat pertanyaan kritis yaitu apakah pemantauan harus dilakukan dalam kaitan pengukuran kinerja dibandingkan standar, mempertanyakan kepatuhandibandingkanstandar. Bagi rekonstruksi perumahan, pertanyaan ini tampaknya mudah, karena standar biasanya merupakan Pedoman Pembangunan Gedung, di mana kualitas konstruksi harus patuh pada persyaratan atau bahkan melebihi syarat. Bantuan kemanusiaan juga diarahkan sesuai standar, seperti diuraikan di dalam SPHERE.3

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Pemantauan Kepatuhan terhadap Standar dan PrinsipPrinsip

225

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Kenyataan pemulihan setelah bencana yang amat rumit bisa tidak secara utuh mengurangi kepatuhandibandingkanstandar, meskipun yang kedua ini selalu penting. Seperti juga lazim diketahui bahwa di dalam proses sosial yang rumit di mana tidak ada partisipan yang memegang kendali penuh, kesalahan, penyalahgunaan kesempatan, dan kecurangan bisa saja terjadi tanpa terdeteksi, sehingga menempatkan lingkungan kolektif dalam satu risiko, kerap tanpa diketahui. Membuat peraturan lingkungan semakin rumit kerap tidak membuat tanggapan para partisipan menjadi lebih rasional, malah lebih sering meningkatkan kemungkinan menghindari terjadinya risiko yang ekstrem atau runtuhnya komunikasi dan evaluasi kolektif. Perbaikan yang kerap diberikan di balik label memajukan kepatuhan pada budaya adalah mengadakan pengujian risiko serta kontinu, membentuk lingkungan yang terbuka yang memungkinkan terdeteksinya tandatanda awal kegagalan dan memperkenalkan komunikasi tanpa rasa takut. Halhal ini lah yang menjadi tolak ukur akuntabilitas modern. Sebagai peranti strategis, sistem pemantauan harus mengejar tujuantujuan yang saling melengkapi menyangkut kepatuhan. Program ini mengukur kualitas konstruksi dibandingkan dengan Pedoman Pembangunan Gedung, sebagai indikasi kepatuhan dibandingkanstandar. Di waktu yang sama, hal ini juga menyediakan indikator kualitatif mengenai kepuasan penerima manfaat, transparansi proses, dan pelaporan kinerja relatif sepanjang penerapan dibandingkan dengan lembaga penerapan lain, sebagai sebuah ukuran keberhasilan atau kegagalan awal. Indikatorindikator ini sangat bermanfaat untuk mengarahkan para pembuat keputusan dan organisasiorganisasi dalam membuat keputusan penting. Sebelum 2007, penekanan bergeser dari pelaporan kinerja ke pemulihan yang berkelanjutan. Kualitas konstruksi, kepuasan, dan transparansi dengan program penampungan hanya tinggal menjadi subindikator. Kategorikategori tambahan diberi penekanan, termasuk kemajuan dan kualitas relatif perencanaan serta penyediaan bahan bahan/keperluan dasar, pengobatan lingkungan, pemulihan mata pencarian. Hal ini akan dijelaskan lebih jauh lagi pada bagian berikut mengenai rancangan survei pemantauan dan alatalat pelaporan.

226

Rancangan Program Pemantauan


Unit Contoh dan Pemilihannya
Program pemantauan mengambil sampel acak dari desadesa kecil atau permukiman atau bagian dari mereka di mana terdapat organisasi kemanusiaan atau program pemerintah yang spesifik menyediakan rumahrumah baru. Sebuah sampel yang memenuhi syarat adalah lokasi proyek suatu organisasi di mana para pelaku survei bisa berhubungan dengan para penerima manfaat dari setidaknya lima rumah di mana proses konstruksi sedang berlangsung.

Rancangan program pemantauan secara fundamental menunjukkan bahwa pemulihan permukiman adalah proses yang makan waktu. Pendekatan pemantauan harus menangkap proses yang terurai ini dan harus memerhatikan setiap aspek proses rekonstruksi. Sebagai contoh, metodologi, UN-HABITAT atas Aceh-Nias settlement support programme (ANSSP) menunjukkan bahwa pembangunan permukiman hanya merupakan satu fase di dalam proses yang amat panjang..

UN-HABITAT sangat merekomendasikan pendekatan permukiman yang holistik. Pandangan mengenai permukiman mengacu pada aspek lebih luas dari tempat tinggal, termasuk perpindahan, gaya hidup, dan pola mata pencarian. Pemantauan permukiman memerlukan adanya fokus pada komposisi demografis rumah tangga, termasuk identifikasi kelompok-kelompok yang rentan. Program ini melihat tingkat kemampuan membaca, kesejahteraan rumah tangga, dan kondisi perumahan serta harapan rumah tangga. Pola migrasi dan permukiman kembali bagi pemantauan permukiman, termasuk perbedaan antara pola permukiman perkotaan dan pedesaan. Konsep pemantauan juga mempertimbangkan keadaan pascabencana, termasuk perpindahan di luar rencana, pergeseran, dan perubahan drastis di dalam gaya hidup dan pencarian mata pencarian, juga kesediaan prasarana fisik termasuk perawatan kesehatan dan pendidikan. Persediaan air bersih dan sanitasi juga menjadi keprihatinan utama. Pada Oktober 2005, 80% dari penyintas menetap di rumah-rumah penampungan, barak, atau tenda dengan pasokan air dari tangki. Tantangan besar untuk menghubungkan semua hal tersebut guna meningkatkan kualitas air minum dan meningkatkan sarana sanitasi saat mereka pindah ke permukiman permanen. Keprihatinan UN-HABITAT akan kesinambungan menyusup ke semua tingkat proses rekonstruksi. Permukiman

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Prinsip Partisipasi, Kesinambungan, Pengurangan Risiko, dan Pengurangan Kemiskinan

227

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

yang berkesinambungan harus menawarkan dasar solid untuk kehidupan yang sejahtera dengan kesempatan setara bagi semua orang. Proses pemulihan yang berkelanjutan harus membangun ketahanan terhadap bencana. Sebagai bagian dari itu, rumah-rumah harus bisa pulih seutuhnya dari bencana dengan cara berkelanjutan. Kesinambungan permukiman harus lebih dari sekadar keamanan struktur bangunan. Perlindungan terhadap elemen-elemen harus dipastikan, permukiman yang terlalu padat harus dihindari, kepemilikan harus terjamin, baik manusia maupun aset harus terlindungi. Integritas struktural harus memasukkan perhitungan risiko terhadap bencana, dengan prioritas melindungi orang-orang agar tidak disakiti atau terbunuh akibat bencana yang besar. Dengan pemantauannya, UN-HABITAT bertujuan memberikan kontribusi guna mencapai Tujuan Pembangunan Milenium PBB (MDG) lebih tepatnya MDG 1, 7, 10 dan 11. Bertindak dalam semangat MDG, Badan Pelaksana UN-HABITAT meratifikasi Pedoman bagi Penyelamatan dan Rekonstruksi yang Berkesinambungan pada 2005 , mempertimbangkan prinsip-prinsip yang direkomendasikan dari pengalaman para praktisi . Arahan itu menyebutkan, bencana bisa membuka peluang bagi pembangunan yang berkelanjutan apabila upaya pemulihan diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan jangka panjang. Kesinambungan memerlukan hubungan yang tetap antara masa tanggap darurat dan rekonstruksi di satu sisi, serta pengembangan kemampuan pemerintah daerah di sisi lain. Lebih jauh lagi, hal tersebut memerlukan kegiatankegiatan ekonomi yang produktif, pengembangan rekonstruksi berbasis luas dan rekonstruksi jangka panjang, serta strategi tempat penampungan, perlindungan terhadap tanah dan hak-hak kepemilikan, serta solusi jangka panjang bagi perdebatan atas tanah dan kepemilikan tempat tinggal. Lebih lanjut, pengurangan kerentanan dan tata kelola bencana, terjaminnya kepemilikan, sejalan dengan Prinsip-prinsip Pinheiro , dan penekanan pada kesetaraan hak bagi perempuan, amat penting. Terakhir, pembentukan kemitraan serta sekutu yang strategis di semua tingkatan harus diupayakan. Masyarakat internasional menjadi sadar akan perlunya menggeser prioritas dari tata kelola bencana menjadi pendekatan pengurangan risiko bencana di dalam kerangka kerja pembangunan yang berkelanjutan. Upaya pengurangan bencana yang terintegrasi harus merupakan hasil penciptaan yang sistematis dan penerapan sejumlah kebijakan, strategi, dan praktik yang meminimalkan kerentanan sehingga bisa mengurangi kerugian dan kepekaan masyarakat terhadap dampak bencana. Seperti disyaratkan Kerangka Kerja Tindakan Hyogo mengenai pengurangan risiko bencana dan tanggapan-tanggapan pemulihan, pengurangan kerentanan dan tata kelola bencana harus diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan lokal serta pengurangan kemiskinan . Lebih jauh lagi, gagasan untuk mengurangi kemiskinan di pusat proses pemulihan berarti menyadari bahwa kalangan miskin adalah yang paling rentan terhadap bencana besar dan paling sering terkena dampak bencanabencana kecil yang berulang seperti banjir, tanah longsor, runtuhnya gedung-gedung yang dibangun dengan buruk, dan lainnya. Sebelum tsunami di Aceh, baik kalangan miskin maupun kaya, bertempat tinggal di lokasi-lokasi rawan bencana. Meski demikian, keluarga miskin rata-rata di kota Banda Aceh menetap di kawasan yang lebih rendah dari ketinggian permukaan laut dan tenggelam lebih dalam lagi setelah gempa bumi dan tsunami. Dalam waktu dekat, bencana berskala kecil seperti banjir rutin yang pelan-pelan dapat menghancurkan daya tahan rumah di permukiman dengan sistem pengairan tidak layak dan tingkat kemiskinan para penghuninya yang kemungkinan hanya sedikit memiliki tabungan untuk merawat rumah-rumah mereka. Bagi UN-HABITAT, isu pemetaan permukiman adalah mandat utama dalam upaya lembaga ini mendukung masyarakat dan lembaga lain yang bertujuan memperbaiki praktik tata kelola lingkungan perumahan dan permukiman. Pengenalan sektor perkotaan, mengenali praktik yang paling baik, dan memungkinkan terbentuknya tolok ukur melalui pembuatan basis data standar, seperti tujuan insiatif Global Urban Observatory, hanya merupakan beberapa cara dalam menetapkan dukungan yang dimaksud. Khususnya bagi tanggapan terhadap bencana dan pemulihan, arahan Kesinambungan Penyelamatan dan Rekonstruksi (sustainable relief and reconstruction, SRR) telah diformulasikan dan dilengkapi dengan satu set peranti indikator. Peranti ini digunakan untuk membuat kerangka ulang format laporan kerangka kerja pemantauan Aceh, bergerak dari kinerja penetapan standar ke gambaran SRR mengenai penampungan dan pemulihan permukiman. Kartu penilaian dibuat berdasarkan format laporan.

228

Lima rumah yang terpilih itu diasumsikan mewakili sampel kerja konstruksi yang masih berlangsung dan difasilitasi organisasi pelaksana di lokasi tertentu. Tak pernah diragukan, tantangan penerapan akan menyebabkan keragaman kualitas serta masalah dari satu lingkungan ke yang lain, bahkan bagi satu organisasi penerapan yang sama. Karena itu, diupayakan memilih sampel lebih banyak terhadap sebuah badan yang sama bagi skala program. Hal tersebut tentu tidak selalu dimungkinkan. Sebagai contoh, putaran survei program pemantauan yang menargetkan satu kabupaten per sekali survei, di mana hal ini menentukan lokasi tujuan tim Unsyiah. Ditemukan, ternyata sejumlah besar organisasi pelaksana belum memulai proyek mereka di kabupaten tertentu pada saat survei berlangsung, sementara saat bantuan perumahan di kabupaten lain yang bukan merupakan target pemantauan justru tengah berlangsung. Pemilihan lima rumah ini memungkinkan apresiasi pragmatis terhadap kualitas konstruksi rumahrumah yang baru dibangun oleh sebuah program di desa terentu. Biasanya, sebuah program bisa menyediakan antara 25 hingga 100 rumah sekaligus. Pemilihan lima rumah saja tidak mewakili inspeksi bangunan dalam rangka membebaskan organisasi dari kewajiban kontraktor mereka. Namun, hal tersebut hanya menunjukkan indikasi kemungkinan kualitas yang dihasilkan organisasi pelaksana. Dengan cara yang sama, para penerima manfaat dari kelima rumah itu mewakili sebuah kelompok fokus yang bisa memberikan informasi para pemantau mengenai keragaman isu yang berhubungan dengan pemulihan penampungan dan permukiman di lingkungan mereka serta memberi kesaksian tentang isu kepuasan dan transparansi. Sebuah metodologi sederhana digunakan dengan mempertimbangkan lokasi sampel. Informasi yang diperoleh dari survei Garansi, RANDatabase, dan pengumpulan data di Shelter Workgroup diuji untuk membuat daftar panjang kegiatankegiatan pelaksanaan. Kabupatenkabupaten diseleksi berdasarkan ketersediaan lokasi di mana konstruksi perumahan secara fisik terlihat kemajuannya, meskipun hanya dalam jumlah kecil. Di awal 2006, keterjangkauan juga menjadi isu yang dipertimbangkan. Setelah publikasi putaran dua, jelaslah bahwa proses informasi dan seleksi memberikan gambaran umum yang cukup memadai. Sejumlah besar organisasi sepakat umpan balik yang diperoleh bisa disetujui, meskipun laporan atas hasil yang tidak memuaskan diterima dengan setengah hati. Sejumlah organisasi seperti Terre des Hommes Netherlands dan Habitat for Humanity Indonesia menyelidiki informasi ini dan memulai program perbaikan.

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Definisi unit sampel mempertimbangkan, rumahrumah kebanyakan dibangun di atas tataran yang terdiri dari lima rumah atau lebih, namun jumlah kelompok kecil penerima manfaat tersebut hanya diperlukan sepanjang waktu pemantauan terhadap rumah rumah yang belum tuntas dibangun.

229

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Isu yang lebih serius adalah program pemantauan condong kepada kawasankawasan di mana rekonstruksi telah menanggulangi permasalahan tanah, potensi permukiman kembali dan seleksi penerima manfaat, serta lokasi di mana pembangunan sudah dimulai. Akibatnya, kawasan di mana tidak ada kegiatan tersebut, seperti di Aceh Jaya, sepanjang pantai selatan, dan Simeulue, merupakan kawasan dengan kesenjangan tinggi dalam arti kebutuhan. Meskipun persiapan terus berlangsung di kawasankawasan tersebut seperti pemetaan tanah dan pendaftaran penerima manfaat, program pemantauan tidak bisa dilacak karena program hanya bisa dimulai secara efisien dengan mensurvei kemajuan di kawasankawasan di mana terdapat pembangunan rumah yang bertambah. Untunglah, pengalaman pemantauan mahasiswa yang dikembangkan sepanjang 2006 sangat membantu, sehingga misi pemantauan khusus atas permintaan BRR bisa dilaksanakan di Aceh Jaya guna melihat masalah yang menjadi penyebab keterlambatan atas program program Palang Merah Kanada serta memetakan isu permukiman dari desadesa yang sejauh ini baru permukiman sementara saja yang dibangun.

230

Kuesioner
Untuk menggambarkan kemajuan dan isu berkaitan dengan pemulihan permukiman, dibuat kuesioner yang panjang. Rancangan kuesioner ini mengharapkan kontribusi dari partisipan. Proses ini dimulai dengan sesi lokakarya dengan pengajar dan mahasiswa Unsyiah . Saat mereka menguji kuesioner, ditambahkan pula sejumlah masukan dari anggotaanggota masyarakat. 4 Partisipasi aktif dalam perancangan kuesioner menghasilkan rasa memiliki atas proses ini antara sesama pemantau. Hasilnya berupa kuesioner yang terdiri atas lima bagian kunci: pematokan kebutuhan dan tanggapan permukiman di desa; kemajuan pekerjaan persiapan dari pemetaan tanah dan perencanaan desa; kebutuhan serta tanggapan dalam kaitan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi permukiman dan prasarana desa serta kebutuhan dasar yang diperlukan, rincian mengenai program perumahan itu sendiri; dan umpan balik akan kualitas pekerjaan konstruksi yang masih berlangsung. Format tambahan menyediakan informasi tentang lokasi, kelima responden dari penerima manfaat, dan organisasi yang menyediakan bantuan pengadaan perumahan. Kuesioner ini amat panjang. Sejumlah 250 pertanyaan harus dijawab baik oleh kelompok fokus atau kelima penerima manfaat, dalam kaitan dengan pembangunan kembali lingkungan atas bantuan organisasi pelaksana pembangunan perumahan yang memberi bantuan, atau atas bantuan kepala desa bagi pertanyaanpertanyaan mengenai penampungan dan pemulihan permukiman di desa secara keseluruhan. Sejumlah 70 pertanyaan lain digunakan untuk mengarahkan pemantauan oleh mahasiswa melalui sebuah sesi pengamatan terlihat dari fiturfitur dan kualitas konstruksi kelima rumah. Secara keseluruhan, kuesioner berisi lebih dari 1.000 kotak jawaban harus dipikirkan. Sejumlah besar pertanyaan memerlukan jawaban sederhana pilihan berganda.

Sebagai tambahan, pemantau mahasiswa diminta membuat rencana dasar (floor plan) dan peningkatan jumlah rumahrumah baru, serta membuat sketsa tata letak desa kecil, sehingga rumahrumah yang dijadikan target bisa dikenali. Tak ada identifikasi GPS atau pemetaan satelit yang digunakan dalam hal ini. Kelompok pemantau lapangan terdiri dari satu pengajar dan tiga hingga empat mahasiswa. Sepanjang program, pemantau berpengalamanan dipertahankan dan mahasiswa baru ditambahkan ke dalam kelompok. Pelatihan para pemantau bersamaan dengan pengujian lapangan terhadap kuesioner. 5 Pembagian kerja pun dibuat. Dua anggota kelompok akan melakukan diskusi kelompok fokus, sementara yang lain akan mewawancarai kepala desa. Mahasiswa jurusan teknik, sesuai minatnya, lebih suka melakukan pengamatan terhadap konstruksi. Sementara mahasiswa jurusan arsitektur membuat sketsa. Biasanya, satu kelompok akan mengkaji dua sampel, entah itu berupa dua program pelaksana pembangunan perumahan yang berbeda dan tengah berlangsung di desa yang sama atau dua program yang sedang berlangsung di desadesa berdekatan. Sore hari, kelompok akan duduk bersama dan memeriksa tanggapan terhadap kuesioner. Pekerjaan siang hari yang kadang dilakukan adalah mengatasi masalah apabila sebuah kelompok fokus tidak dimungkinkan berdiskusi dengan kelima penerima manfaat secara bersamaan. Kegiatan tersebut dilakukan secara berkala dengan berbagai alasan, seperti ketika pengisi kuesioner lakilaki dan perempuan tidak mau duduk bersama dalam satu kelompok fokus. Para pemantau lalu berpencar mengisi kuesioner dengan kelima responden secara terpisah. Di penghujung hari, mereka akan menguji satu tanggapan final bagi kluster, berdasarkan jawaban paling menonjol dari setiap pertanyaan. Setelah kembali ke Banda Aceh, jawabanjawaban ditransfer ke basis data. Sebagai tambahan, kelompokkelompok akan menyediakan arsip foto lengkap dari rumahrumah yang disurvei dan lingkungan mereka. Setelah beberapa putaran pemeriksaan kualitas yang disebut pembersihan basis data untuk pemeriksaan ulang dan pengoreksian kesalahan tulis serta ketidakkonsistenan data, barulah data dirilis.

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Sementara sebagian besar pertanyaan memuat tanggapantanggapan yang paling mungkin dan memungkinkan adanya informasi tambahan, seperti nama organisasi yang membantu pemetaan tanah, penyediaan air minum, bantuan pendidikan, atau dukungan mata pencarian. Tanggapantanggapan yang berkaitan dengan konstruksi perumahan disusun berdasarkan standar yang ditentukan Pedoman Pembangunan Gedung. Satu dari sejumlah jawaban akan sesuai dengan standar di dalam kode, sementara yang lain mungkin berada melewati standar atau di bawah standar.

231

IndikatorIndikator
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Arus data awal yang diperoleh sebagai hasil proses pemantauan tahap kedua sudah cukup komprehensif, namun jelas bahwa proses evaluasi sangat ketat karena sejumlah alasan. Luas lingkup kuesioner juga jelas merupakan tantangan. Namun tingkat kemajuan yang berbeda membuat perbandingan menjadi sulit. Alhasil, sejumlah indikator dikembangkan, sehingga memungkinkan pengungkapan hasil lokasi sampel ke dalam satu set yang terdiri dari tiga angka penilaian: kualitas konstruksi, kepuasan, dan transparansi.

Nilai Kualitas Konstruksi


Kualitas konstruksi diukur berdasarkan Pedoman Pembangunan Gedung yang resmi. Metodologi penilaian dilakukan dalam beberapa langkah: Sepanjang survei, para pemantau tidak diizinkan mempertimbangkan angka penilaian. Sebagai mahasiswa, mereka hanya diminta melakukan pengamatan visual, memberi tanda pada kotak yang mengidentifikasi apakah konstruksi berada di bawah standar, memenuhi, atau melebihi standar. Setelah proses tabulasi, hasilhasil ini diuji dengan algoritma yang secara otomatis menghitung nilai. Penguji hanya perlu menyebutkan secara spesifik tipe konstruksi (bata seluruhnya, separuh bata separuh kayu, atau lainnya) dan zona gempa bumi di mana sampel berada. (Rekonstruksi di Aceh dan Nias menyebar ke lebih dari tiga zona gempa bumi, dengan standar konstruksi berbedabeda bagi setiap kawasan). Algoritma didasarkan pada nilainilai yang ditetapkan untuk setiap jawaban, berkisar antara 1 hingga 4; angka 3 berarti memenuhi (standar), 4 melebihi, sementara 2 berarti di bawah standar, dan 1 atau kurang berarti jauh di bawah standar. Pertanyaanpertanyaan dikelompokkan ke dalam sejumlah isu, untuk menghitung nilai sementara, sehubungan dengan dasar, struktur, dan pilihan materi bangunan (baik untuk pembuatan struktur maupun penyelesaian tahap akhir) dan penerapan ikatan/perekatan, dua hal penting untuk membuat bangunan lebih tahan gempa. Penilaian akhir dilakukan dari subnilai, dengan penurunan diterapkan bila salah satu subnilai amat rendah. Sistem nilai dianggap kontroversial, mengingat sebagian besar organisasi lebih suka membangun struktur semen dan bata, sedikit yang berhasil membangun sesuai Pedoman Pembangunan Gedung. Standar itu sendiri memang sangat menuntut sementara pemahaman pekerja bangunan di Aceh masih sangat terbatas. Maka, rancangan atau konstruksi harus melampaui standar Pedoman Pembangunan Gedung secara signifikan untuk memastikan sedikit kesalahan pada pelaksanaan tidak menimbulkan masalah atau fungsi pengawasan harus sangat ketat. Kedua hal itu samasama tidak mungkin diterapkan pada 2006, bagi sejumlah besar organisasi. Sebagian bisa mencapainya pada 2007 dan sesudahnya, namun setelah anggaran ditingkatkan sebanyak dua kali lipat.

232

Pendekatan ini, gagal bagi kawasan perkotaan Banda Aceh, di mana standar konstruksi harus lebih tinggi untuk memastikan perlindungan lebih besar. Meski demikian, secara keseluruhan, program penerapan kurang berhasil di sini. Perubahan sederhana pada sistem penilaian bisa menghasilkan indikasi lebih baik dengan membuat batasan bagi kualitas bisa diterima secara umum yang lebih peka terhadap kepadatan penduduk.

Indikator kualitas konstruksi memberikan nilai rata-rata antara 0 dan 4 kepada setiap kluster dari 5 rumah yang disampel. Tabel pertama memperlihatkan arti setiap nilai. Perbedaan harus dibuat antara rumah kayu dan rumah tembok (bata). Kode Gedung menguraikan dengan spesifik bahwa kayu harus memiliki kelas dan kekuatan tertentu, tapi tidak harus kayu terbaik. Hal ini memiliki implikasi adanya harapan untuk membangun konstruksi yang bisa bertahan selamanya. Sederhananya: konstruksi yang terbuat dari bata dan mengikuti syarat Pedoman Pembangunan Gedung akan dengan mudah bertahan selama lebih dari 20 tahun, sementara bangunan kayu yang mematuhi kode belum tentu bertahan 10 hingga 15 tahun. Nilai pemantauan meletakkan angka 3 hanya pada bangunan kayu dengan kualitas baik, yang bisa dibandingkan setara dengan bangunan bata.
Matriks Penilaian Kualitas Konstruksi

TIPE BANGUNAN
Skor 4
bata, beton, besi LEBIH BAIK DARI PEDOMAN PEMBANGUNAN GEDUNG setengah bata, soft-infill, kayu SESUAI DENGAN PEDOMAN PEMBANGUNAN GEDUNG, DAN TAHAN LAMA SESUAI DENGAN PEDOMAN PEMBANGUNAN GEDUNG, DAN LEBIH TAHAN LAMA

Lebih baik dari persyaratan 3 >2,5 <2,5 2 1 0


SESUAI PEDOMAN PEMBANGUNAN GEDUNG

Dapat diterima secara luas dapat diterima, mungkin diperlukan inspeksi untuk pembenahan DI BAWAH PEDOMAN PEMBANGUNAN GEDUNG KRITIS, DI BAWAH PEDOMAN PEMBANGUNAN GEDUNG tidak dapat diterima SESUAI PEDOMAN PEMBANGUNAN GEDUNG DI BAWAH PEDOMAN PEMBANGUNAN GEDUNG kritis, di bawah pedoman pembangunan gedung

Buruk, harus diganti atau dibenahi Berbahaya, harus segera diganti

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Program pemantauan lalu menerapkan sikap pragmatis: memahami bahwa Pedoman Pembangunan Gedung dirancang berlebihan untuk beberapa hal (baja yang disyaratkan lebih besar satu ukuran daripada hasil perhitungan para insinyur), penilaian harus mengindikasikan sejauh mana struktur yang disurvei mendekati harapan Pedoman Pembangunan Gedung. Bila ini masalahnya, maka harapan untuk mengurangi risiko terhadap kehilangan jiwa skala besar bisa dipenuhi. Meskipun hal ini tetap membahayakan struktur risiko gempa bumi, namun bisa mengurangi risiko secara keseluruhan sebagai bagian kebijakan publik. Hal ini merupakan pertimbangan penting, karena sebagian besar konstruksi bertempat di kawasan yang tidak padat.

233

Namun pada tingkatan yang lebih luas, hal tersebut juga memberi peringatan atas pengalaman tidak dapat diterapkan yang diperoleh di Aceh dan Nias, seperti juga di sebagian besar lokasi pascabencana terkait tanggapan pascabencana yang lebih rumit yang diperlukan di kawasan perkotaan yang luas.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Nilai Kepuasan
Isu penting rekonstruksi AcehNias adalah pendekatan yang beriorientasi pada masyarakat dan partisipasi masyarakat. Sistem pemantauan konstruksi yang umum biasanya berkisar seputar fakta seperti biaya, kualitas, dan penuntasan yang tepat waktu. Untuk penampungan dan pemulihan permukiman, indikasi adanya keterlibatan masyarakat amat penting.
Tabel berikut memperlihatkan daftar indikator yang menjadi dasar penilaian. Isu-isu penting adalah yang perlu dipenuhi setiap konstruksi. Isu-isu keadaan bisa mengarah pada persyaratan berbeda dari isu-isu penting. Contohnya, tidak semua tipe tanah sesuai menjadi dasar fondasi bangunan. Dan, tidak semua tipe kayu memenuhi syarat sebagai bahan bangunan.

234

Parameter Penilaian
Kategori Indikator Isu-Isu Kritis Materi fondasi, luas fondasi dasar, bahan untuk fondasi dasar dan alas tie beam, dimensi fondasi dasar, komposisi cor, diameter struktur penunjang, jarak pijakan Jenis semen, jenis keseluruhan, kelas kayu struktur, kelas kayu non-struktur, diameter penunjang struktur, diameter penunjang non-struktur, sumber air dan kualitas cor, materi dinding, materi lantai, materi struktur atap Jenis semen, jenis keseluruhan, kelas kayu struktur, kelas kayu non-struktur, diameter penunjang struktur, diameter penunjang non-struktur, sumber air dan kualitas cor, materi dinding, materi lantai, materi struktur atap Penggunaan jangkar yang menghubungkan tembok dan kolom ke struktur atap, jenis jangkar termasuk jangkar angin, yang memperkuat pintu dan jendela ke kerangka dinding Bahan lantai, komposisi semen untuk penyelesaian akhir, jenis semen Kriteria Syarat Jenis tanah, jenis fondasi, kelas kayu struktur, jenis penunjang, jarak antara dua kolom, zona aman gempa Materi pintu utama, materi pintu kamar mandi, materi jendela, pasir, kualitas, jenis penunjang, zona aman gempa Materi pintu utama, materi pintu kamar mandi, materi jendela, pasir, kualitas, jenis penunjang, zona aman gempa

Fondasi

Struktur

Pilihan Materi

Siku-siku/ Jangkar Kualitas Akhir

Zona aman gempa

Hal paling sulit untuk mengukur kualitas keterlibatan masyarakat adalah interaksi yang tidak kontinu (terputus) dan kerumitan interaksi masyarakat dengan organisasi pelaksana perumahan. Masyarakat biasanya terlibat secara intens pada tahap awal komunikasi mengenai pemetaan tanah dan seleksi penerima manfaat. Setelah itu, organisasi kerap kembali ke tahap persiapan untuk desain dan pembangunan, anggaran, serta kontrak. Ada sejumlah anggota masyarakat tidak dihubungi selama berbulanbulan setelah proses awal, terutama pada 2005 dan pertengahan pertama 2006. Masyarakat kecewa. Selain itu, kemungkinan bahwa organisasi tersebut, akibat birokrasi internal, pendanaan atau masalah kompetensi, tidak mengikuti konstruksi perumahan yang sesungguhnya, mengurangi komitmen atau kembali dengan pertanyaan tambahan sangatlah penting. Hasilnya, sejumlah masyarakat berhubungan dengan lebih dari satu organisasi dalam waktu yang sama, entah terkait penampungan sementara dan tentu berkaitan dengan keperluan lain. Menunjuk keterlibatan masyarakat dan kepuasan dalam kaitan dengan satu program perumahan saja tidak mudah dan indikator tunggal yang indikatif. Seleksi sederhana dan pragmatis lalu dibuat, menghasilkan sembilan pertanyaan di mana jawabanjawaban dinilai dengan angka 1, 0 atau 1. Nilai kumulatif antara 3 dan 9 disebut sebagai hijau/puas. Angka di bawah 3 dianggap merah / tidak puas. Setengahsetengah (antara puas dan tidak) ditandai warna kuning. Kesembilan pertanyaan tersebut: Apakah rumah baru (tampaknya) nyaman? Apakah organisasi perumahan secara umum bekerja dengan baik? Apakah Anda akan merekomendasikan organisasi pelaksana tersebut mengerjakan programnya di desadesa lain? Apakah organisasi telah membangun prasrana dan sarana yang baik? Apakah organisasi (atau organisasi apa pun) menyediakan tempat peribadatan atau menjanjikan akan membuatnya? Apakah organisasi (atau organisasi apa pun) menyediakan sebuah sekolah atau menjanjikan akan membuatnya? Apakah organisasi terus menginformasikan masyarakat? Apakah organisasi memenuhi permintaan masyarakat? Apakah organisasi memenuhi harapan masyarakat?

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Kuesioner memiliki pertanyaan terkait informasi faktual dan umpan balik subyektif dari para penerima manfaat. Partisipasi masyarakat bisa ditanyakan secara langsung maupun tak langsung. Pertanyaanpertanyaan yang mudah biasanya mengenai frekuensi pertemuan masyarakat dan tingkat partisipasi perempuan. Indikasi tak langsung bisa diperoleh dengan menanyakan informasi faktual seperti saat pemantau menanyakan pada kelompok fokus apakah proses pemetaan telah selesai dan ditandatangani, jawaban saya tidak tahu bisa menunjukkan kurangnya keterlibatan masyarakat, terutama bila jawaban ini sama terhadap sejumlah pertanyaan lainnya.

235

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pertanyaanpertanyaan sederhana ini menanyakan sejumlah isu: pertama, tiga pertanyaan pertama menanyakan apresiasi umum terhadap program, dalam arti, apakah penduduk menyukai rumah mereka dan memuji pekerjaan organisasi; sementara tiga pertanyaan berikutnya menanyakan apakah organisasi menyediakan lebih dari bantuan penampungan sementara; dan tiga pertanyaan terakhir menanyakan tanggapan umum organisasi dibandingkan tanggapan masyarakat. Umpan balik melalui program pemantauan telah memvalidasi pilihan pertanyaan pertanyaan ini. Mendapatkan rumah yang baik amat penting bagi penduduk, tanpa mempertimbangkan cara rumah itu disediakan. Namun secara tidak langsung, prasarana dan halhal penting yang disediakan serta badan/organisasi perumahan dianggap sebagai penyedia bantuan terakhir. Bila pemulihan permukiman gagal, namun rumah rumah bisa dibangun, maka organisasi pelaksana perumahan akan menjadi pihak yang disalahkan, sering kali dengan tuduhan lebih jauh seperti kurangnya keinginan organisasi untuk memenuhi harapan masyarakat. Ringkasnya, nilai kepuasan mensyaratkan organisasiorganisasi untuk membuat rumahrumah berkualitas baik, tetapi juga berinisiatif mendampingi pemulihan holistik dan berkesinambungan dari permukiman sebagai suatu kesatuan. Tingkat kepuasan yang rendah tidak hanya memperlihatkan kurangnya kompetensi organisasi, tetapi juga perumusan masalah program penampungan dan kebijakan tanggapan sektoral bermasalah yang ditangani BRR, sejumlah organisasi kemanusiaan, dan sejumlah donor.

236

Matriks Kualitas Kepuasan


Pengembangan dari kedua indeks memungkinkan matriks pembanding kinerja disatukan. Hal ini disebut Matriks Kualitas Kepuasan. Matriks ini didaftarkan sebagai hasil sampel, menyediakan kartu penilaian yang memperlihatkan organisasi yang bekerja dengan baik pada kedua nilai di lokasi tertentu, atau organisasi yang memperoleh nilai buruk untuk kedua indeks. Matriks kinerja bermanfaat sebagai umpan balik yang cepat, tanpa membuat referensi tidak langsung mengenai adanya hubungan timbal balik antara kepuasan dan kualitas. Analisis statistik di tahap awal mengindikasikan pentingnya mencari sebab sederhana dan dampak hubungan pada sejumlah isu di proses pemulihan penampungan dan permukiman. Hal ini juga didukung analisis yang mempertahankan bahwa identifikasi penjelasan yang sederhana atau perbaikanperbaikan yang sederhana tidak mungkin. Matriks lengkap pertama dibuat berdasarkan hasil putaran kedua. Hasil ini dipresentasikan dengan tujuan strategis: hijau dipilih untuk programprogram yang menghasilkan tempat tinggal lebih baik yang berhubungan dengan Pedoman Pembangunan Gedung meskipun tidak sepenuhnya mematuhi persyaratan. Beberapa organisasi yang sepenuhnya patuh atau melewati persyaratan Pedoman Pembangunan Gedung ditandai dengan warna biru. Mereka yang memperoleh nilai mendekati 2 memperoleh status berwarna kuning. Satu organisasi memperoleh label merah. Kriteria yang mengarahkan pengkodean dengan warna adalah kualitas konstruksi. Posisi relatif

Lebih dari itu, sejumlah program yang lebih besar memiliki lebih dari satu sampel di dalam matriks dan memperoleh nilai yang terkadang baik namun di lokasilokasi lain kerap buruk. Matriks ini lalu menyebut dan membuat malu organisasiorganisasi yang bekerja dengan buruk. Tapi matriks ini juga mengeluarkan pendapat bahwa tidak ada orang suci atau pun pendosa di dalam rekonstruksi Aceh dan Nias. organisasiorganisasi bisa saja memiliki program yang layak, namun tetap bermasalah di beberapa kabupaten atau lokasi atau dengan masyarakat tertentu.

Nilai Transparansi atau Tanggung Jawab


Ketika pada Februari 2005, ada kabar selentingan tentang penyelidikan program program beberapa LSM oleh kantor pusat mereka sendiri atas dugaan adanya tindak korupsi, para tim pemantau segera menganalisis database putaran kedua yang baru dikompilasikan dan ditetapkan dalam Indeks Akuntabilitas. Saatnya amat tepat untuk memberi masukan bagi kebijakan: programprogram beberapa LSM tersebut memperlihatkan hasil buruk terkait sejumlah pertanyaan yang menyangkut aspek transparansi dari proses. Alhasil, para penerima manfaat yang dipilih secara acak menarik kesimpulan yang sama dengan para pengaudit di kantor pusat kedua lembaga itu. Namun, masalah dari kedua organisasi ini sebetulnya lebih merupakan cerminan kegagalan program, bukan merupakan cerminan keseluruhan. Nilai transparansi dihitung berdasarkan pada dua pertanyaan: apakah para penerima manfaat berpikir bahwa proses perolehan rumahrumah baru, termasuk seleksi penerima manfaat, dilakukan dengan terbuka dan jujur, dan apakah tenaga kerja serta bahan bangunan dibeli dengan cara yang adil tanpa korupsi? Delapan puluh persen dari nilai dihubungkan ke pertanyaan pertanyaan ini, sementara sisanya berdasarkan beberapa pertanyaan penyesuaian yang mempertanyakan kepuasan secara umum terhadap organisasi pelaksana perumahan. Nilai dari 8 hingga 10 diklasifikasikan sebagai hijau/transparan. Di bawah angka 5 diberi warna merah, merujuk pada adanya masalah cukup serius atau serius sekali. Antara 5 dan 8 diberi warna jingga dan berarti adanya indikasi masalah. Hal yang diprihatinkan selalu menyangkut masalah akuntabilitas yang bukan disebabkan oleh atau berkaitan dengan pelaksanaan program serta organisasi pelaksana program. Contoh, sejumlah bentuk pelanggaran (mengecoh peraturan, kolusi, dan lainnya) bisa disebabkan oleh masyarakat, pemimpin masyarakat itu sendiri. Akibatnya, indeks memperlihatkan kemungkinan proses berlangsung dengan tidak seharusnya di mana proses itu melibatkan organisasi pelaksana program. Program yang dikelola dengan amat ketat dan dipimpin sejumlah kontraktor dari beberapa organisasi Palang Merah, serta mampu menghasilkan sejumlah rumah berbiaya tinggi dan juga berkualitas tinggi yang dibuat sejumlah kontraktor handal dengan pengawasan ketat, secara umum dinilai para penerima manfaat sebagai transaparan dan akuntabel. Sementara, program

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

organisasi, dengan seperempat organisasi dari total keseluruhan berakhir di kotak kualitas lebih rendah dan kepuasan lebih rendah, merupakan indikasi dari kinerja yang lemah.

237

program yang dikelola dengan baik namun dimotori masyarakat, bisa menghasilkan hasil setara lebih cepat, meski di bawah tekanan, dengan biaya lebih rendah pada awal 2006.

Keterbatasan Program
Sejumlah hal telah disebutkan di atas: keseimbangan antara pemantauan kepatuhan dibandingstandar dan memajukan kepatuhan dan kinerja budaya, penggunaan pemantauan oleh mahasiswa, pemilihan sampel berdasarkan proges dan intepretasi sederhana tentang asal mula masalah yang cenderung dianggap selalu berasal dari organisasi pelaksana perumahan yang tidak bekerja dengan baik. Wilayah keprihatinan lain adalah pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan metode pilihan berganda sebagai diskusi kelompok fokus. Selain itu, juga terjadi kelima rumah yang dipilih ternyata tidak mewakili keadaan masyarakat. Masalahmasalah langsung seperti penerima dana bantuan melebihlebihkan kebutuhan mereka serta rasa frustrasi juga umum terjadi. Hal lain menyangkut pelembagaan informasi umpan balik yang terbukti sulit setelah beberapa tahun. Terdapat sejumlah alasan yang sahih. Seperti lazimnya banyak pekerjaan setelah tsunami, pendekatan yang digunakan cenderung mengarah pada cara pandang mikro yang eksklusif. Pengadaan perlindungan terhadap bahan pangan, tata kelola sumber air, adanya jasajasa perkotaan yang baik serta halhal lain kerap tidak dikelola pada tingkatan permukiman, namun oleh mekanisme administrasi di tingkatan kecamatan dan kabupaten. Alasan lain sehubungan kurangnya pelembagaan adalah kegagalan membuat program riset berbasis permukiman, karena tidak adanya fakultas atau jurusan perencanaan tata ruang serta tata kelola perkotaan. Ketika telah jelas bahwa program rekonstruksi secara keseluruhan bisa dianggap berhasil, program pemantauan dalam formatnya sekarang, yang menekankan pada kinerja dan peringatan awal, mulai kehilangan nilainilai strategisnya. BRR yang memerlukan audit terhadap aset, membuat daftar seluruh pekerjaan yang tuntas dan bukan mengevaluasi dinamika yang tengah berlangsung. Keterbatasan ini juga berarti program telah usai.
STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

238

Peranti Pelaporan
Pelaporan Kualitas, Kepuasan, dan Isu Transparansi
Untuk pelaporan hasilhasil pemantauan, UNHABITAT menggunakan beberapa cara: Shelter Work Group, pembagian compact disk (CD), pertemuan dengan pihakpihak berwenang, website, newsletter, dokumen kebijakan, seminar, serta lokakarya nasional dan internasional. Penyebarannya akan dimulai dengan pertemuan ulang untuk kembali menjelaskan sesi diskusi dengan para pemantau Unsyiah setelah database lengkap. Kemudian, hasilhasil

Penerapan yang penting adalah adanya newsletter elektronik UNHABITAT untuk rekonstruksi permukiman Aceh dan Nias. Newsletter elektronik ini dikirim ke 800 alamat email, termasuk ke United Nations Special Envoy for the Tsunami Reconstruction. Newsletter ini memberi ulasan ringan tentang isuisu penting berkaitan dengan akuntabilitas dan isuisu tanah. Sebagai tambahan, pertemuan kebijakan untuk Aceh dan Nias juga dipublikasikan dengan meluas terutama di bulanbulan penting pada semester pertama 2006. Website www.unhabitatindonesia.org menyediakan arsip lengkap seluruh peranti pelaporan.

Melebihi Kualitas, Kepuasan, dan Tanggung-Jawab: Kartu Penilaian SRR


Seperti telah diindikasikan di awal, kebutuhan untuk mengangkat laporan melebihi isuisu yang tampak langsung terlihat pada kinerja dan penggunaan sistem pemantauan untuk mengindikasikan dampak ikutan hasil akhir seluruh kegiatan. Hal ini terbukti masih merupakan kerja yang terus berlanjut. Sebuah kartu penilaian dikembangkan guna menyatukan beragam kategori informasi yang berkaitan dengan pemulihan penampungan dan permukiman, termasuk di antaranya: (1) prasarana penting dan sarana, (2) penggunaan tanah, isuisu perencanaan dan kepemilikan, (3) remedi lingkungan, dan (4) pemulihan mata pencarian. Sejumlah kartu penilaian dengan sampelsampel yang dipilih secara tematis mencakup hal berikut: Realisasi programprogram besar pada 2006 dan 2007 berturutturut; Realisasi programprogram kecil LSM pada 2006 dan 2007 berturutturut; Realisasi programprogram yang dimotori masyarakat pada 2006 dan 2007 berturut turut; Realisasi bangunan yang dibuat kontraktor; Realisasi programprogram BRR, juga LSM Indonesia (20062007) dan dari kegiatan filantropis yang dibuat perusahaanperusahaan Indonesia; Programprogram Palang Merah; Realisasi UNHABITAT; dan Hasilhasil program rekonstruksi pemerintah di Jawa Tengah (Kabupaten Klaten) dan Yogyakarta (Kabupaten Bantul).

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

dipresentasikan dan didiskusikan bersama Shelter Work Group. CD dibagikan kepada semua organisasi yang berminat. Menjelang September 2006, 40 CD dibagikan melalui presentasi pemerintah, 9 keping diberikan kepada donor dan sekitar 60 keping disimpan organisasiorganisasi kemanusiaan. Para penerima harus menandatangani deklarasi yang menyatakan mereka tidak boleh mendekati para responden yang terdiri dari para penerima manfaat apabila hasil penelitian terbukti buruk.

239

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Kartukartu penilaian ini memungkinkan ulasan realistis mengenai capaian bantuan pascatsunami di Aceh dan Nias. Dan hasilhasil capaian ini seharusnya bisa digunakan sebagai dasar evaluasi di masa datang. Pemantauan dan evaluasi seharusnya terus berlangsung di Aceh dan Nias. Demi jumlah dana kemanusiaan yang diinvestasikan bagi pemulihan permukiman, evaluasi yang berulangkali dan pembelajaran sepanjang waktu bukanlah kemewahan. Pemantauan dan evaluasi memberi kesempatan untuk menoleh ke belakang, sementara memberi bantuan di masa mendatang bagi pembangunan dan upaya perdamaian. Pembangunan Aceh kembali masih terus berlangsung, terutama pembangunan kembali prasarana dan ekonomi. Kesinambungan pembangunan kembali permukiman belum pasti saat ini.

(Endnotes)
1

240

Tulisan ini mengambil beberapa segmen laporan sebelumnya: Post-Tsunami Settlement Recovery Monitoring in Aceh by UN-HABITAT and Syiah Kuala University, oleh Francesca Campagnoli, Bruno Dercon, Tito Syahjanuar, dan Daniel Timme, Laporan pendahuluan dipresentasikan pada Konferensi TRIAMS 2, Bangkok, dan 22 Maret 2007.

Pada status UNHCR. 2 Survei yang diadakan pada September dan November 2005, diterbitkan oleh Garansi Surveys. Upaya ini mengalami masalah dan dihentikan. BRR memutuskan menanam investasi lebih pada sistem pelacakan RAN-Database, sementara Badan Pusat Statistik (BPS) lebih melakukan pengumpulan data komprehensif semacam sensus. Namun, penghimpunan data menjembatani jarak antara pengumpulan data statistik BPS dan produksi data terbatas oleh organisasi pelaksana juga masih dibutuhkan. Pada 2006, Direktorat Perumahan dan Permukiman BRR mengadakan pengumpulan data tambahan sendiri, seperti membuat daftar semua penerima dana bantuan. Memerlukan waktu hampir dua tahun hingga akhir 2007, sampai data yang berdiri sendiri ini memproduksi hasil-hasil yang bisa diverifikasi. 3 SPHERE Humanitarian Charter and Minimum Standards in Disaster Response, the Sphere Project, 2004 4 Sebagai akibatnya, ada tambahan pertanyaan di dalam kuesioner di putaran 3 untuk melakukan survei sebanyak 97 kasus yang dibandingkan dengan kuesioner yang digunakan untuk survei 74 kluster pada putaran 2. Putaran 3 melengkapi basis data dari 171 kluster yang beredar di akhir September 2006 dan didasari pada kuesioner yang lebih luas: karena itu kluster yang disurvei di putaran 2 memiliki bagian baru, yaitu pertanyaan yang diisi dengan jawaban bebas. 5 Training series: two day on the field led by Robin Willison in October 2005; one evening seminar led by Elisabeth Hausler at UN-Habitats ANSSP in May 2006.

Multi Donor Fund (MDF)


Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Menjamin Kualitas Pekerjaan Rekonstruksi

241

MULTI Donor Fund (MDF) terbukti menjadi kerangka kerja yang kuat dalam
merealisasi tujuantujuan Deklarasi Paris untuk Efektivitas Bantuan Kemanusiaan dalam konteks pemulihan. Hal tersebut juga menjadi dasar dialog kebijakan lebih luas dengan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses rekonstruksi1. Portofolio MDF mengaplikasikan lima Komitmen Kemitraan Deklarasi Paris untuk Efektivitas Bantuan Kemanusiaan, yaitu, kepemilikan, keselarasan, harmonisasi, hasil, dan pertanggungjawaban bersama.2 Tujuan umum MDF adalah berkontribusi secara efisien dan efektif pada usaha rekonstruksi Aceh dan Nias pascagempa dan tsunami. Dalam konteks Aceh dan Nias menjadi lebih baik, artinya bukan hanya memperbaiki prasarana sejalan dengan Rencana Induk Pemerintah, melainkan juga menjawab masalahmasalah sosial seperti pengentasan kemiskinan, perbaikan mata pencarian, dan peningkatan kesetaraan. Tujuan keseluruhan dapat dicapai dengan3: Mengumpulkan sumber dana untuk mendukung portofolio proyek dan program yang disetujui bersama;
1 2 3 Review of Post-Crisis Multidonor Trust Funds, Laporan Akhir disiapkan oleh the Scanteam, Februari 2007; Tahun Pertama dari Membangun Bersama: Hasil, Tantangan dan Kesempatan: Laporan Hasil Hikmah Ajar, Mei 2006 Deklarasi Paris untuk Efektivitas Bantuan Kemanusiaan kepemilikan, keselarasan, harmoni, hasil, dan pertanggungjawaban bersama; Februari-Maret 2005. Kebijakan Bantuan Pemulihan; MDFTANS, 2005

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Bekerja melalui dan sesuai Rencana Induk Pemerintah untuk pemulihan; Mempromosikan prakarsa dari bawah ke atas (bottomup) dan prakarsa pembangunan berdasarkan prinsip dorongan kebutuhan yang layak dibiayai; Bermitra dengan badanbadan pemerintah dan nonpemerintah; Berperan sebagai forum untuk koordinasi donor Mendukung dialog kebijakan antara masyarakat internasional, masyarakat sipil, dan pemerintah tentang kemajuan yang dicapai dalam proses pemulihan; Menyalurkan dana melalui anggaran pemerintah jika dirasa efektif, dan di luar anggaran bila Komite Pengarah berpendapat cara ini lebih efektif. Mendorong kegiatan yang peka gender; Mencari kesempatan mendukung proses perdamaian (peka konflik); dan Mencegah memburuknya kesenjangan wilayah. Dalam mencapai tujuan MDF seperti ditetapkan pada Kebijakan Bantuan Pemulihan (MDFTANS, 2005), hasil yang diharapkan untuk Aceh dan Nias digariskan sebagai berikut: Regenerasi prasarana masyarakat Perbaikan prasarana berskala besar Memulai kembali mata pencarian dan kemiskinan berkurang Membangun kembali tata kelola pemerintahan Lingkungan yang berkesinambungan

242

MDF menekankan segi kualitas pelaksanaan portofolio semua proyek. Ini dicapai melalui pendekatan di berbagai bidang, termasuk formulasi dan penggunaan Kerangka Hasil Kerja MDF, pengaplikasian Sistem Informasi Manajemen (SIM) untuk melacak status pelaksanaan semua proyek, serta berpartisipasi memfasilitasi berbagai kunjungan dan misi ke lapangan yang mempromosikan dan memastikan pengetahuan langsung atas kondisikondisi dan pekerjaan proyekproyek portofolio MDF. Proses persetujuan MDF memastikan bahwa portofolio proyek sejalan dengan prioritas rekonstruksi. MDF menerima proposal proyek yang telah mendapat persetujuan pendanaan BRR. Komite Pengarah mempelajari dan menyetujui proposalproposal tersebut dibantu Panitia Pemantau Teknis yang anggotanya termasuk perwakilan pemerintah, para donor, Bank Dunia, dan PBB sebagai peninjau. Bank Dunia dan beberapa badan lain berperan sebagai Lembagalembaga Mitra4, bertanggung jawab menilai dan menyelia proyekproyek, termasuk memberikan dana hibah untuk badan badan pemerintah dan nonpemerintah. Sebagian besar dana MDF (75 persen) disalurkan melalui anggaran pemerintah dan dilaksanakan badanbadan nasional.

Kerangka Hasil Kerja MDF


Untuk mengetahui apakah tujuan dan hasil yang diinginkan tercapai, MDF membuat kerangka hasil kerja logis yang menyeluruh. Menetapkan indikator makro, nilainilai
4 Approved Partner Agencies of the Multi Donor Fund are the UNDP, World Food Program and World Bank

Lembagalembaga Mitra tersebut, seperti yang dijelaskan dalam persetujuan menyeluruh antara trustee MDF dan Lembagalembaga Mitra, menyampaikan laporan kepada MDF yang mereka buat berdasarkan persyaratan pelaporan internal mereka sendiri., tidak dengan cara spesifik yang ditentukan MDF. Hal ini menjadi tantangan besar dalam persiapan kerangka kerja penelusuran capaian, dan terus menciptakan kerumitan dalam kegiatan pengawasan dan pelaporannya. Namun demikian, kerangka kerja ini ternyata dapat mencakup indikatorindikator kualitatif dan kuantitatif yang jelas untuk mengukur hasil yang diharapkan dan juga memakai format standar, sehingga pemangku kepentingan dengan mudah mempelajari, merujuk, memonitor, dan mengevaluasinya. Kerangka kerja ini menempatkan kebijakan dalam konteks yang lebih luas: Terfokus pada hasil yang dapat diperiksa, baik dalam capaian segera, maupun efek dan dampak jangka panjangnya. Menyoroti asumsi dan risikorisiko. Memungkinkan untuk memeriksa kembali dan menilai kebijakan, menyadari bahwa modifikasi kebijakan perlu dilakukan secara berkala. Pemulihan kondisi dan perbaikan prasarana masyarakat diterlusuri melalui beragam cara dengan fokus pada pengembalian kepemilikan tanah, perumahan, dan prasarana masyarakat yang meningkatkan harkat hidup. Ini termasuk jumlah sertifikat tanah yang tercatat, jumlah keluarga yang menempati rumah baru atau rumah yang sudah diperbaiki, dan juga capaian kualitatif yang dikaitkan dengan tingkat kepuasan penerima manfaat terkait dengan proses perencanaan dan hasil akhir (misalnya rumahrumah). Dalam mengawasi pemulihan prasarana berskala besar, kualitas rehabilitasi, rekonstruksi, dan pemeliharaan prasarana kelas satu dan kelas dua diukur melalui indikator kualitatif dan kuantitatif. Penyelesaian desain dan komponenkomponen infrastruktur juga diukur, termasuk kepuasan pemakainya. Dalam mengukur perbaikan kualitas kepemerintahan dan layanan umum, persentase subproyek (dalam nilai dan angka) yang dikelola pemerintah setempat, demikian juga proporsi proyekproyek oleh pemerintah setempat yang menerapkan praktik sesuai selama perancangan dan pelaksanaan proyek sangat dipertimbangkan. Indikator capaian kualitiatif memasukkan aspek tingkat kepuasan penerima manfaat atas pelayanan yang diberikan.

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

dasar, produksi, dan hasil yang bisa dicapai untuk memastikan penelusuran capaian yang efektif dan efisien menjadi tantangan tersendiri karena sifat proyek yang rumit dan beragam dalam portofolio MDF. Kerumitan merumuskan kerangka hasil kerja logis yang cocok untuk mencakup hasil yang diharapkan pada portofolio yang beragam tersebut disebabkan mekanisme pendanaan onbudget dan offbudget pada portofolio, serta Lembagalembaga Mitra yang berbedabeda dalam melaksanakan aktivitas pengawasan.

243

Pengawasan atas kesinambungan lingkungan dalam proses rekonstruksi diukur dari pelaksanaan kelestarian lingkungan dalam proyek serta akses lebih besar pada sistem pengelolaan limbah yang efektif oleh masyarakat dan juga pembersihan limbah tsunami. Dalam melacak efektivitas dan efisiensi proses pemulihan, kerangka kerja capaian menghitung peningkatan kapasitas BRR dalam rencana strategis, pengembangan kebijakan, pelaksanaan dan kualitas pengawasan, serta pengawasan atas keluhan. Kerangka kerja yang logis sudah ditinjau kembali dan dibarui secara berkala untuk memastikan kecocokannya dengan portofolio MDF yang dinamis. Dengan berubahnya fokus upaya rekonstruksi pada pemulihan ekonomi jangka panjang dan kemungkinan pemerintah provinsi memanfaatkan asetnya dengan lebih baik, kerangka kerja yang logis akan diperiksa kembali untuk lebih merefleksikan perkembanganperkembangan penting ini. Proyekproyek dalam portofolio MDF mempunyai kerangka hasil kerja individual atau sistem penelusuran setara berdasarkan persyaratan dan model dari Lembaga Mitra. Kerangka kerja ini adalah persyaratan penyampaian pada tahap penilaian dokumen.

244

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pelaporan MDF dan Pengelolaan Umpan Balik


Sebagai bagian kegiatan pengawasan MDF untuk memastikan kualitas portofolio, sekretariat MDF membuat laporan secara berkala kepada Komite Pengarah dan masyarakat terkait status dan kemajuan proyekproyek dan portofolionya. Sekretariat MDF juga menggunakan berbagai laporan internal untuk memfasilitasi penelusuran portofolio. Laporan keuangan triwulan disiapkan, yang memuat angka terkini pencairan dana, belanja proyek, dan komitmen (pledge) yang diterima dari pendonor. Kecepatan pencairan dana untuk proyek merupakan indikator penting dari kemajuan proyek. Laporan semester keuangan disiapkan pula dan diserahkan kepada Komite Pengarah. Laporan ini memuat data terkini semua hasil proyek. Selanjutnya, kemajuan portofolio secara keseluruhan disampaikan dengan menggarisbawahi capaiannya, tantangan tantangannya, dan hasil yang diharapkan. Dengan demikian, kualitas dan kemajuan portofolio MDF dibarui secara berkala bagi pendonor MDF dan pemangku kepentingan lainnya. Laporan tahunan dibuat agar masyarakat mengetahui kemajuan mutakhir pada seluruh bagian portofolio. Dengan demikian MDF menunjukkan tanggung jawabnya kepada para penerima manfaat dan masyarakat luas. Laporan internal status pelaksanaan MDF memungkinkan Sekretariat mengawasi kemajuan semua proyek secara efisien. Ini adalah peranti penelusuran sangat penting yang dibarui secara berkala dan meliputi semua proyek dalam portofolio.

Pengelolaan umpan balik berperan pada kualitas portofolio. Pertanyaan ditangani langsung oleh Sekretariat MDF atau dikirimkan kepada proyek masingmasing untuk mendapat tanggapan. Semua proyek dalam portofolio MDF diminta untuk membuat Rencana Aksi AntiKorupsi dalam manajemen proyeknya. Salah satu aktivitas yang membantu Rencana Aksi AntiKorupsi adalah Unit Penanganan Keluhan. Keluhankeluhan yang masuk biasanya menyangkut halhal umum, penyalahgunaan dana, pendekatan dan metode penyelesaian kasus, dan isu pemenuhan pelaksanaan pekerjaan.

Evaluasi dan Misi Lapangan


MDF mendukung berbagai misi ke lokasilokasi pelaksanaan proyek, demikian juga evaluasi portofolio sebagai bagian tanggung jawabnya untuk memastikan kualitas portofolionya. Ini termasuk kunjungan lapangan ke berbagai proyek sebagai bagian dari Misi Supervisi untuk Pelaksanaan Proyek Bank Dunia, European Commission Results oriented Monitoring (EC RoM) ,dan Komisi untuk Evaluasi Independen. Bank Dunia sebagai Lembaga Mitra mensyaratkan misi pengawasan diadakan setiap enam bulan. Misimisi ini mengevaluasi kinerja proyekproyek, mengidentifikasi masalah masalah, dan membuat rekomendasi ke depan. Perwakilan sekretariat MDF hadir sebagai pemantau. UNDP mengadakan kunjungan lapangan berkala untuk memeriksa semua proyeknya. Hasil, persoalan yang belum diselesaikan, dan rekomendasi dalam laporan yang dihasilkan misi ini dimasukkan ke dalam laporan MDF yang disiapkan oleh Sekretariat Komite Pengarah. Sektor khusus yang perlu mendapatkan perhatian diajukan kepada pemangku kepentingan. Misi EC RoM diadakan secara teratur untuk mengevaluasi proyekproyek berdasarkan Kriteria Bantuan Pembangunan dari organization for Economic Cooperation and Development (oECD). Kriteria tersebut berupa seperangkat tindakan menyeluruh dan seimbang yang digunakan untuk menilai pembangunan. Kriterianya adalah efisiensi, efektivitas, dampak, kesinambungan, dan relevansi. MDF barubaru ini melakukan Tinjauan Kesinambungan Sosial dan Kesinambungan Lingkungan. Kedua tinjauan ini juga dimasukkan dalam Tinjauan Paruh Waktu dari portofolio MDF yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan. Tinjauan ini menggarisbawahi komitmen MDF pada kualitas portofolio.

Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

Laporan kemajuan diserahkan oleh proyek secara berkala, yang memungkinkan MDF melacak dan melaporkan pelaksanaan proyek, capaian, tantangan, dan hasilnya. Laporan laporan ini dibuat berdasarkan laporan standar Lembaga Mitra terkait. Pada kasus Bank Dunia, ini termasuk Aide Memoires dan Laporan Status Pelaksanaan, sedangkan UNDP membuat laporan triwulan. Pendonor dan Sekretariat MDF secara teratur mengikuti misi penyelia Bank Dunia untuk mendapat gambaran langsung kemajuan dan capaian pelaksanaan proyek.

245

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Tujuan Tinjauan Kesinambungan Lingkungan ini untuk menetapkan kualitas proyek MDF dalam konteks kerja sama dan penerapan praktik yang baik serta hasil yang telah dicapai hingga saat ini dalam pelaksanaan proyek,. Tinjauan ini menilai aplikasi pelaksanaan yang mendukung kesinambungan lingkungan di dalam MDF, mengevaluasi kelayakan dan penerapan praktik di dalam proyek, pemenuhan praktik yang baik di dalam proyek, serta portofolio secara keseluruhan. Dampak positif dan negatif, baik disengaja maupun tidak disengaja, serta keuntungan yang terkait pada kesinambungan lingkungan diidentifikasi dan, bila sesuai, rekomendasi bagi perbaikan kinerja proyek dan portofolio secara keseluruhan disediakan. Kemudian, indikatorindikator yang ada ditinjau kembali dan rekomendasi diberikan untuk pengawasan dan evaluasi portofolio. Isu lintas sektor di portofolio dan konteks rekonstruksi juga diperiksa. Hikmah ajar diidentifikasi dan tantangan tema pengarusutamaan lintas sektor dalam konteks rekonstruksi diperiksa. Rekomendasi diberikan untuk ditambahkan ke dalam Tinjauan Paruh Waktu bersama temuan dan rekomendasinya. Tujuan tinjauan kesinambungan sosial adalah menilai penerapan dan pelaksanaan praktik yang berkontribusi dalam memperbaiki kesinambungan sosial melalui proyek MDF, kualitas pelaksanaannya, memeriksa ulang hasil di lapangan, dan menganalisis perspektif penerima manfaat terhadap penciptaan kesinambungan sosial melalui aktivitas MDF dan keuntungan/ hasil. Berdasarkan analisis ini, rekomendasi disiapkan untuk memperbaiki proyek yang sedang berjalan, bila sesuai, mempertimbangkan pengarusutamaan kesinambungan sosial di dalam portofolio MDF selama sisa periode pelaksanaannya. Tinjauan Paruh Waktu mengukur kinerja MDF di dua tempat. Pertama, mengukur kemajuan portofolio dalam mencapai tujuan MDF dan status portofolio terkait dengan relevansi, efisiensi, efektivitas, kesinambungan, dan dampaknya, termasuk dampak penggabungan dana bantuan untuk pemulihan. Bagian kedua adalah kinerja operasional terkait dengan relevansi dan efektivitas mekanisme tata kelola dan manajemen MDF, serta sejauh mana MDF mengikuti hukum dan peraturan yang dibuat Lembagalembaga Mitra. Dengan meletakkan Tinjauan Paruh Waktu pada dua tingkatan ini, peninjauan dimaksudkan tidak hanya memberi rekomendasi demi meningkatkan kualitas portofolio proyek, tetapi juga memasukkannya dalam diskusi internasional yang lebih luas dari MDF sebagai alat rekonstruksi pascakrisis dan berkontribusi pada kemampuan Bank Dunia terhadap prosedur operasional pengelolaan MDF yang efektif.5

246

Pencatatan besar-besaran dilakukan selama 2006/07 dan menghasilkan Review for Post-Crisis Multi Donor Trust Funds, Februari 2007. Scanteam. Lihat terutama Annex E: The Indonesia Multi Donor Fund untuk analisa MDF yang mendalam.

Penutup
Bagian 7. Pendanaan, Operasi, dan Pengawasan

MDF sangat menekankan segi kualitas pekerjaan dalam upaya rekonstruksi. Mengelola proyek dengan dana besar memerlukan usaha lebih besar untuk memastikan kualitas proyek. Sebuah proyek dana perwalian hanya perlu kerangka akhir yang berfokus pada satu segi. Tetapi pada MDF, menetapkan indikatorindikator makro, nilainilai dasar, hasil, dan pendapatan yang dicapai untuk menelusuri capaian bisa sangat menantang karena sifat proyek MDF yang beragam dan rumit. Jadi, untuk memicu upaya, pendekatan lain juga diterapkan yaitu, laporan proyek, supervisi misi, misi yang didanai donor, tinjauan independen (di tingkat sosial, lingkungan, dan portofolio), serta mengelola umpan balik dari penerima manfaat, dan sebagainya. Hikmah ajar pengalaman Multi Donor Fund dapat dipakai bukan saja untuk memicu pekerjaan untuk portofolio MDF sendiri, melainkan juga dapat disebarluaskan kepada siapa saja, supaya rekomendasi yang berpandangan jauh ke depan tersebut dapat meningkatkan kualitas upaya rekonstruksi dalam konteks berbeda.

247

Anda mungkin juga menyukai