Anda di halaman 1dari 9

BAB II.

TELAAH PUSTAKA

2.1.

Biodiesel Pengertian ilmiah paling umum dari istilah biodiesel mencakup sembarang (dan

semua) bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari sumber daya hayati atau biomassa. Sekalipun demikian, makalah ini akan menganut definisi yang pengertiannya lebih sempit tetapi telah diterima luas di dalam industri, yaitu bahwa biodiesel adalah bahan bakar mesin/motor diesel yang terdiri atas ester alkil dari asam-asam lemak (Soerawidjaja,2006). Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas. Pada zaman sekarang, biodiesel merupakan kandidat yang paling kuat untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia, karena merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur. Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja dari penjualan bahan bakar. Pertumbuhan SPBU membuat semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar. Pada skala kecil biodiesel dapat dibuat dengan bahan minyak goreng 1 liter yang baru ataupun bekas. Methanol sebanyak 200 ml atau 0.2 liter. Soda api atau NaOH 3,5 gram untuk minyak goreng bersih, jika minyak bekas diperlukan 4,5 gram atau mungkin lebih. Kelebihan ini diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas atau FFA yang banyak pada minyak goreng bekas. Dapat pula mempergunakan KOH namun mempunyai harga lebih mahal dan diperlukan 1,4 kali lebih banyak dari soda. Proses pembuatan; Soda api dilarutkan dalam Methanol dan kemudian dimasukan kedalam minyak dipanaskan sekitar 55 oC, diaduk dengan cepat selama 15-20 menit kemudian dibiarkan dalam keadaan dingin semalam. Maka akan diperoleh biodiesel pada bagian atas dengan warna jernih kekuningan dan sedikit bagian bawah campuran antara sabun dari FFA, sisa methanol yang tidak bereaksi dan glyserin

sekitar 79 ml. Biodiesel yang merupakan cairan kekuningan pada bagian atas dipisahkan dengan mudah dengan menuang dan menyingkirkan bagian bawah dari cairan. Untuk skala besar produk bagian bawah dapat dimurnikan untuk memperoleh gliserin yang berharga mahal, juga sabun dan sisa methanol yang tidak bereaksi. Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, mempunyai sifat fisik yang hampir sama dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang telah ada hampir tanpa modifikasi, dapat terdegradasi dengan mudah (biodegradable), memiliki angka cetana yang lebih baik dari minyak solar biasa, asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur dan senyawa aromatik sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan. Angka cetana adalah bilangan yang menunjukkan ukuran baik tidaknya kualitas solar berdasarkan sifat kecepatan bakar dalam ruang bakar mesin. Semakin tinggi bilangan cetana, semakin cepat pembakaran dan semakin baik efisiensi termodinamisnya.

2.2.

Biodiesel dari Minyak Nabati Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan, namun yang paling

umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah minyak nabati. Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke dalam kelas besar senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-asam lemak. Akan tetapi, minyak nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol, atau trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester asam-asam lemak dengan metanol. Perbedaan wujud molekuler ini memiliki beberapa konsekuensi penting dalam penilaian keduanya sebagai kandidat bahan bakar mesin diesel : 1. Minyak nabati (yaitu trigliserida) berberat molekul besar, jauh lebih besar dari biodiesel (yaitu ester metil). Akibatnya, trigliserida relatif mudah mengalami perengkahan (cracking) menjadi aneka molekul kecil, jika terpanaskan tanpa kontak dengan udara (oksigen). 2. Minyak nabati memiliki kekentalan (viskositas) yang jauh lebih besar dari minyak diesel/solar maupun biodiesel, sehingga pompa penginjeksi bahan bakar di dalam mesin diesel tak mampu menghasilkan pengkabutan (atomization) yang baik ketika minyak nabati disemprotkan ke dalam kamar pembakaran.

3. Molekul minyak nabati relatif lebih bercabang dibanding ester metil asam-asam lemak. Akibatnya, angka setana minyak nabati lebih rendah daripada angka setana ester metil. Angka setana adalah tolok ukur kemudahan menyala/terbakar dari suatu bahan bakar di dalam mesin diesel. Di luar perbedaan yang memiliki tiga konsekuensi penting di atas, minyak nabati dan biodiesel sama-sama berkomponen penyusun utama ( 90 %-berat) asam-asam lemak. Pada kenyataannya, proses transesterifikasi minyak nabati menjadi ester metil asam-asam lemak, memang bertujuan memodifikasi minyak nabati menjadi produk (yaitu biodiesel) yang berkekentalan mirip solar, berangka setana lebih tinggi, dan relatif lebih stabil terhadap perengkahan. Semua minyak nabati dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar namun dengan proses-proses pengolahan tertentu (Y.M Choo, 1994).

2.3. Makro Alga Acanthophora spicifera Alga adalah organisme berklorofil, tubuhnya merupakan thalus (uniselular dan multiselular), alat reproduksi pada umumnya berupa sel tunggal, meskipun ada juga alga yang alat reproduksinya tersusun dari banyak sel (Sulisetijono, 2009). Algae atau lebih dikenal sebagai rumput laut adalah tumbuhan laut yang hampir ditemui di seluruh pantai Indonesia. Algae sangat bernilai ekonomis terutama didapat dari algae bentik. Dalam dunia industri, algae merupakan bahan dasar pembuatan asam alginat, garam alginat, garam karraginan dan agar-agar. Zat-zat kimia ini merupakan bahan pokok maupun bahantambahan berbagai industri (Kadi, 1989), seperti industry makanan, tekstil, kosmetik dan farmasi (Indriani et al. 1992).

Gambar Spesies Acanthophora spicifera (Manoa, 2001).

2.3.1. Klasifikasi Biologi Makro Alga: Acanthophora spicifera Berdasarkan ukuran struktur tubuhnya, alga dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu makroalga, yaitu alga yang mempunyai bentuk dan ukuran tubuh makroskopik serta mikroalga, yaitu alga yang mempunyai bentuk dan ukuran tubuh mikroskopik. Makro Alga: Acanthophora spicifera memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Alga ini berwarna merah kekuningan, thallus bercabang banyak selang seling berbentuk silendrik agak kaku dengan bintil-bintil yang mencuat kesamping dengan permukaan yang kasar dan panjang antara 5 6 cm . Tumbuh melekat pada batu karang dan pecahan karang. Alga ini warnanya bervariasi dengan paparan sinar matahari, dari kuning di perairan dangkal terkena cahaya terang, menjadi hijau, merah atau coklat tua di daerah dengan radiasi yang lebih rendah. Thallus silinder, cabang berduri, cabang utama pendek. Acanthophora secara luas didistribusikan ke seluruh daerah tropis dan subtropis di zona pasang surut dan subtidal (Manoa, 2001). Klasifikasi spesimen menurut Manoa (2001), adalah: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : : : : : : : Plantae Rhodophyta Rhodophyceae Ceramiales Rhodomelaceae Acanthophora Acanthophora spicifera

2.3.2. Biodiversitas Makro Alga: Acanthophora spicifera di Sulawesi Utara Dalam penelitian inventarisasi makro algae yang dilaporkan oleh Kadi (2000) bahwa telah dilakukan dalam ekspedisi perairan Sulawesi Utara meliputi Kepulauan Kwandang (P. Ruang dan Otangala), Tiga (Tanjung Tungkup dan P. Paniki) dan Sangir (P. Ruang dan Pasige). Adapun jenis makro algae yang diperoleh meliputi kelompok makro algae hijau (Chlorophyta), coklat (Phaeophyta) dan merah (Rhodophyta). Makro algae di perairan Sulawesi Utara diperoleh dari pantai-pantai yang mempunyai paparan terumbu karang, di substrat batu vulkanik, pasir, pasir-lumpuran,kerikil karang (rubble), gravel dan batu karang. Makro algae tumbuh di daerah pasang smut (intertidal) dan daerah dangkal (subtidal)

terutama diwaktu smut rendah tidak mengalami kekeringan. Peran makro algae di perairan pantai sangat penting dalam ekosistem temmbu karang, terutamasebagai tempat berlindung bagi biota-biota kecil dan tempat asuhau bagi benih-benih ikan. Di perairan Sulawesi Utara diperoleh sebanyak 30 jenis. Penelitian terdahulu tentang jenis-jenis makro algae di Indonesia antara lain dilakukan oleh Ekspedisi Siboga (1888- 1889) yang melaporkan sekitar 55 jenis makro algae yang terdapat di perairan Indonesia (Weber 1928). Heyne (1922) danZeneveld (1955) menyebutkan 21 jenis makro algae yang telah dimanfaatkan di Indonesia, kemudian diperluas lagi menjadi 55 jenis. Penelitian inventarisasi makro algae di Indonesia yang telah dilakukan antara lain dalam Ekspedisi Rumphius III tahun 1977, Ekspedisi Rumphius IV tahun 1980 dan Ekspedisi Snellius II tahun 1984, serta penelitian sebaran biota di beberapa perairan laut di Indonesia. Tabel 1. Nilai kuantitatif alga makro di perairan Sulawesi Utara (Kadi (2000) : Infentarisasi Alga di Perairan Sulawesi Utara

Dari hasil penelusuran Kadi (2000) disimpulkan bahwa Algae yang diperoleh 30 jenis terdiri dari : Algae hijau 13 jenis, coklat 4 jenis dan merah 13 jenis. Dominasi tertinggi olah marga Acanthophora dengan nilai 83,35. 2.3.3. Kandungan Kimia Makro Alga Acanthophora spicifera Beberapa studi telah mengungkapkan bioaktivitas senyawa aktif yang diisolasi dari Acanthophora sp. seperti antibakteri, antioksidan, antivirus, antifouling. Steroid dan asam lemak dari Acanthophora spicifera menunjukan aktivitas antitumor yang kuat terhadap manusia maupun mikroorganisme (Zakaria et.al, 2011). Dalam penelitian yang dilaporkan oleh Zakaria et.al (2011) mengelompokan komponen volatil yang dibagi menjadi lima kelas, yaitu asam lemak, hidrokarbon, kolesterol, asam dikarboksilat aromatik ester dan lainnya. Tabel 2. Komposisi Senyawa Kimia dalam Acanthophora spicifera Melalui Ekstraksi Pelarut Heksan (Zakaria et.al (2011) : Phytochemical Composition and Antibacterial Potential of Hexane Extract from Malaysian Red Algae, Acanthophora spicifera (Vahl) Borgesen)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 RT 9.46 9.80 10.27 10.33 10.44 10.67 10.78 10.89 11.03 11.30 11.51 11.76 11.83 11.97 12.41 12.48 12.51 12.61 12.84 13.28 13.59 13.77 14.33 14.98 15.75 16.68 17.80 18.83 20.48 23.52 Area (%) 0.28 1.06 1.81 0.58 2.76 0.37 6.03 24.73 0.61 0.88 0.61 14.58 6.04 1.47 2.94 0.33 0.74 0.41 1.81 2.12 0.72 2.40 2.45 2.02 1.74 1.34 1.07 0.57 1.64 5.00 Compounds Heptadecane Tetradecanoic acid 2-Pentadecanone, 6,10,14-trimethyl Pentadecanoic acid 1,2-Benzenedicarboxylic acid, bis( 2 methylpropyl) ester Hexadecanoic acid, methyl ester Hexadecenoicacid, Z-11n-Hexadecanoicacid Eicosane Bromoacetic acid, octadecyl ester Heneicosane Oleic acid Octadecanoic acid Docosane 1-Heptadecene 1-Docosene 9-Tricosene, (Z)17-Pentatriacontene Tetracosane Pentacosane 1,2-Benzenedicarboxylic acid, diisooctyl ester Hexacosane Heptacosane Heneicosane Nonacosane Hexacosane Octadecane, 1-iodoCholesterol Cholest-4-en-3-one Cholestane-3,6-dione, (5",17",20S)-

Dalam penelitian Zakaria et.al (2011), senyawa utama yang terdeteksi adalah Asam oleat (14,58%) dan n-asam heksadekanoat(24,73%), beberapa senyawa yang terdeteksi dalam persentase yang adalah kecil asam oktadekanoat, heksadekanoat asam, Z-11-, kolestan-3 ,6dion, (5 ", 17", 20S) -, 1,2-benzenadikarboksilat asam, bis (2-metilpropill) ester, heneikosana, nonakosana dan heksakosana.

Tabel 3. The chemical class distribution of the volatile components of A. spicifera (Zakaria et.al (2011) : Phytochemical Composition and Antibacterial Potential of Hexane Extract from Malaysian Red Algae, Acanthophora spicifera (Vahl) Borgesen)

Compound class Fatty acids Hydrocarbons Cholesterol Aromatic dicarboxylic acid ester Others

Area (%) 54.27 21.93 7.21 3.48 1.81

Number of compounds 7 16 3 2 12

Analisis fitokimia komponen volatil pertama dilakukan dengan GC-MS dilaporkan untuk Acanthophora spicifera dari perairan Malaysia, Dalam studi ini, rantai hidrokarbon yang berkisar dari C 1 sampai C29. Berdasarkan analisis GC-MS, delapan dari konstituen fitokimia adalah asam lemak tak jenuh dan hidrokarbon, yang memberikan kontribusi terhadap efek penghambatan dan antioksidan dari heksana ekstrak. Sedangkan heptadekana dan heksadekana dilaporkan sebagai hidrokarbon yang umum ditemukan di rumput laut (Zakaria et.al, 2011). Hasil penelitian lain mengenai komposisi senyawa kimia Acanthophora spicifera dilaporkan oleh Laila (2003) dari Pakistan dalam hal dengan senyawa utama asam lemak terdeteksi, asam oktadekadienoat (36,05%) dan asam heksadekanoat (8.30%). Namun berbeda dengan komposisi asam lemak dari A. spicifera Bhaskar (2004) dari India

melaporkan bahwa asam palmitat, asam arakidonat dan asam eicosapentanoic sebagai asam lemak dominan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan kondisi iklim dan geografis dari mana alga itu dipanen. 2.4. Ekstraksi Minyak Alga Pengambilan minyak dari alga masih merupakan proses yang mahal sehingga masih harus dipertimbangkan untuk menggunakan alga sebagai sumber biodiesel. Terdapat beberapa metode terkenal untuk mengambil minyak dari alga, antara lain:

1. Pengepresan (Expeller/Press) Pada metode ini alga yang sudah siap panen dipanaskan dulu untuk menghilangkan air yang masih terkandung di dalamnya. Kemudian alga dipres dengan alat pengepres untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam alga. Dengan menggunakan alat pengepres ini, dapat diekstrasi sekitar 70 75% minyak yang terkandung dalam alga (Anonim, 20120). 2. Hexane solvent oil extraction Minyak dari alga dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia, misalnya dengan menggunakan benzen dan eter. Namum begitu, penggunaan larutan kimia heksan lebih banyak digunakan sebab harganya yang tidak terlalu mahal. Larutan heksan dapat digunakan langsung untuk mengekstaksi minyak dari alga atau dikombinasikan dengan alat pengepres. Cara kerjanya sebagai berikut: setelah minyak berhasil dikeluarkan dari alga dengan menggunakan alat pengepres, kemudian ampas alga dicampur dengan larutan sikloheksana untuk mengambil sisa minyak alga. Proses selanjutnya, ampas alga disaring dari larutan yang berisi minyak dan sikloheksana. Untuk memisahkan minyak dan sikloheksana dapat dilakukan proses distilasi. Kombinasi metode pengepresan dan larutan kimia dapat mengekstraksi lebih dari 95% minyak yang terkandung dalam alga. Sebagai catatan, penggunaan larutan kimia untuk mengekstraksi minyak dari tumbuhan sangat beresiko. Misalnya larutan benzen dapat menyebabkan penyakit kanker, dan beberapa larutan kimia juga mudah meledak (Anonim, 2012). 3. Supercritical Fluid Extraction Pada metode ini, CO2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian dipanaskan sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan gas. Pencairan fluida inilah yang bertindak sebagai larutan yang akan mengekstraksi minyak dari alga. Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100% minyak yang terkandung dalam alga. Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus untuk penahanan tekanan. Beberapa metode yang kurang terkena (Anonim, 2012) : 1. Osmotic Shock Dengan menggunakan osmotic shock maka tekanan osmotik dalam sel akan berkurang sehingga akan membuat sel pecah dan komponen di dalam sel akan keluar. Metode osmotic

shock memang banyak digunakan untuk mengeluarkan komponen-komponen dalam sel, seperti minyak alga ini. 2. Ultrasonic Extraction Pada reaktor ultrasonik, gelombang ultrasonik digunakan untuk membuat gelembung kavitasi (cavitation bubbles) pada material larutan. Ketika gelembung pecah dekat dengan dinding sel maka akan terbentuk gelombang kejut dan pancaran cairan (liquid jets) yang akan membuat dinding sel pecah. Pecahnya dinding sel akan membuat komponen di dalam sel keluar bercampur dengan larutan

Anda mungkin juga menyukai