Anda di halaman 1dari 8

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Seorang anak membutuhkan bebas dari penyakit agar dapat bertumbuh dan

berkembang dengan baik. Tuntutan hak azasi anak untuk bebas dari penyakit dan menjadi sehat seringkali terabaikan, akibat kurangnya perhatian terhadap penyakit yang tidak menimbulkan gejala yang dramatikal, seperti infeksi Soil Transmitted Helminths (STHs) atau infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah (WHO, 2003). Anak usia 6-15 tahun adalah penderita terbanyak infeksi STHs. Anak-anak ini berada pada puncak pertumbuhan, sementara infeksi cacing yang terjadi dapat memperburuk tingkat malnutrisi dan anemia yang berpotensi memperlambat pertumbuhan dan menjadi rentan terhadap penyakit lain. Akibatnya pertumbuhan yang terputus tidak terelakkan lagi, dan akan segera dimulai (WHO, 2003). Lebih lanjut Sur (2003) menyatakan, lima puluh sembilan juta atau 5% dari 30% penduduk dunia yang menderita infeksi cacing, termasuk diantaranya 51 juta anak usia kurang dari 15 tahun (86,4%) akan berisiko untuk mengalami gangguan pertumbuhan dan mengalami penurunan kemampuan fisik. Diestimasi 1,5 juta atau 2,5% dari anak-anak tersebut akan mengalami kegagalan pertumbuhan. Efek tersembunyi dari infeksi kronis diestimasi akan terjadi pada 11,5 juta (19,5%) dari anak-anak tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Awastni et.al, (2003) juga menyatakan infeksi cacing memiliki efek yang tersembunyi pada pertumbuhan dan perkembangan. Efek yang ditimbulkan bersifat kronis dan menginfeksi lebih dari 33,3% penduduk dunia yang akan terinfeksi seumur hidup. Diperkirakan infeksi cacing menimbulkan 12% dari total beban penyakit/disease burden. Menurut Bethony et.al, (2006) infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang utama di negara miskin atau negara berkembang, dan menempati urutan tertinggi pada angka kesakitan yang ditimbulkan pada anak usia sekolah. Terjadinya infeksi tidak hanya bergantung pada kondisi lingkungan ekologi suatu wilayah saja, tetapi juga bergantung pada standar sosioekonomi masyarakat setempat. Penderita infeksi cacing yang mengalami infeksi yang berat pada akhirnya dapat mengalami defisiensi nutrisi. Di samping itu infeksi cacing juga telah menunjukkan efek negatif pada perkembangan fisik dan kemampuan kognitif anak. Obstruksi intestinal, anemia, malnutrisi, sindrom disentri, demam, dehidrasi, muntah, dan colitis merupakan komplikasi utama akibat infeksi cacing (Bethony et.al, 2006). Menurut WHO tahun 2003, ascariasis dapat menyebabkan malabsorpsi vitamin A, memperburuk tingkat malnutrisi, anemia, dan berkontribusi pada pertumbuhan yang terlambat, berakibat negatif terhadap nafsu makan dan kemampuan fisik anak-anak, mempengaruhi kemampuan kognitif anak-anak, dan aktivasi imun yang tetap dan panjang akibat infeksi cacing menurunkan kapasitas tubuh untuk bertahan terhadap infeksi lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Anak usia prasekolah sangat mudah mengalami defisiensi akibat infeksi cacing, sementara mereka berada dalam masa perkembangan mental dan fisik yang maksimum/cepat dan terutama sekali sangat membutuhkan vitamin dan mikronutrient yang hilang akibat infeksi cacing (WHO, 2003). Beberapa studi telah menunjukkan terjadi retardasi pertumbuhan dengan derajat berbeda akibat infeksi cacing (Sur, 2003). Terdapat 2 (dua) milyar atau lebih dari 1/3 populasi penduduk dunia, terinfeksi STHs, dan 12,5% diantaranya mengalami infeksi berat dengan 50% kasus terjadi pada anak usia sekolah (WHO, 2003). Diperkirakan 1,47 milyar penduduk dunia menderita ascariasis, dengan morbidity rate 23,7% dan mortality rate 0,02%. Penderita trichuriasis diperkirakan 1,3 milyar penduduk dunia, dengan morbidity rate 20,9% dan mortality rate 0,005%, sementara 1,3 milyar penduduk dunia menderita infeksi hookworms dengan morbidity rate 12,3% dan mortality rate 0,04% (Sur, 2003 dan Mascie, 2006). Prevalensi infeksi cacing STHs mencapai 50-75% di banyak negara di Asia (Sur, 2003). Prevalensi infeksi di Indonesia, menurut beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang relatif tinggi, lebih dari 60-70%, dan prevalensi terbesar ditemukan pada anak balita dan anak usia sekolah dasar (Judarwanto, 2005). Hasil survei cacingan di sekolah dasar di beberapa propinsi pada tahun 19861991 menunjukkan prevalensi 60-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar 4060%. Hasil survei Subdit Diare Depkes RI pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 propinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2-96,3% (Depkes, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Laporan Broker (2002) menyebutkan distribusi infeksi cacing di Indonesia secara geografis menunjukkan prevalensi yang berbeda. Prevalensi tertinggi di Irian Jaya dan Sumatera Utara, sementara prevalensi terendah ditemukan di Jawa Timur. Hasil penelitian di beberapa SD di Bandung menunjukkan prevalensi infeksi 58,3 96,8% (Bali Post, 2005). Penelitian Wachidanijah (2002) pada anak SD di Kebumen menunjukkan prevalensi 70,6% dan 58,4% diantaranya pada anak berusia 11-13 tahun. Prevalensi ascariasis di Sumatera Utara diperkirakan 5079,9%, trichuriasis 80-100%, dan infeksi hookworms 50-79,9% (Broker, 2002). Penelitian Sri Alemina, tahun 2002 prevalensi infeksi pada anak SD di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo mencapai 70%. Beberapa penelitian di Kabupaten Deli Serdang menunjukkan prevalensi infeksi cacing sebesar 87% (Tiangsa, 1995), sementara prevalensi infeksi berdasarkan cacing yang menginfeksi, yaitu prevalensi ascariasis 76,2%, trichuriasis 77,2%, dan infeksi cacing tambang 10,9% (Alemina, 2002). Prevalensi infeksi cacing yang mencapai 60-80 % di Indonesia, diperkirakan menyebabkan kerugian ratusan miliar rupiah dan miliaran liter darah dalam setahun. Prevalensi ascariasis 70%, diasumsikan menimbulkan kehilangan karbohidrat per hari sekitar 125, 244 ton setara dengan 156,555 ton beras, kerugian yang ditimbulkan per tahun diperkirakan sebesar Rp. 285,8 miliar akibat tercurinya karbohidrat oleh infeksi cacing tersebut, diluar jumlah protein yang ikut tercuri. Prevalensi trichuriasis di Indonesia diperkirakan 75%, diasumsikan selama 5 tahun dapat terjadi kehilangan

Universitas Sumatera Utara

darah 77.745.000 liter. Infeksi hookworms di Indonesia diperkirakan 45%, dan dalam 6 tahun diasumsikan terjadi kehilangan darah sebesar 1,7 milyar liter (Mahiswaty, 2005). Terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam tingginya prevalensi infeksi cacing STHs, antara lain faktor sosiodemografi dan faktor tindakan pengobatan yang dilakukan. Faktor geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perbedaan tingkat infeksi, dan secara geografis Sumatera Utara adalah salah satu wilayah dengan distribusi infeksi cacing tertinggi di Indonesia. Perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan dan perilaku, serta faktor sosioekonomi juga erat kaitannya dengan prevalensi infeksi cacing. Pekerjaan di bidang pertanian merupakan faktor pendukung terhadap meningkatnya intensitas infeksi. Pengetahuan dan perilaku seorang anak dan orang tua khususnya ibu erat kaitannya dengan tingkat infeksi berhubungan dengan epidemiologi penyakit. Perilaku hidup sehat dan bersih seorang anak sangat berpotensi untuk mencegah terjadinya infeksi cacing. Faktor sosioekonomi sebuah keluarga dapat menjadi faktor pendukung meningkatnya derajat infeksi dalam kaitannya dengan keterbatasan penyediaan sarana dan prasarana yang sehat dan layak yang dimiliki oleh keluarga yang memiliki status sosioekonomi yang rendah. Pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap mekanisme penularan infeksi cacing dapat mendorong untuk mengambil sebuah tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memutuskan rantai

Universitas Sumatera Utara

penularan infeksi cacing adalah melalui tindakan pengobatan. Efek negatif yang ditimbulkan oleh infeksi cacing terhadap pertumbuhan atau satus gizi seorang anak dapat diperbaiki setelah diberikan tindakan pengobatan yang sesuai.

1.2.

Permasalahan Tingginya prevalensi infeksi cacing soil transmitted helminths (STHs)

di Indonesia khususnya di Sumatera Utara, antara lain di Kabupaten Deli Serdang terutama pada anak usia sekolah dasar, untuk itu perlu diketahui distribusi infeksi cacing STHs pada anak sekolah dasar dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

1.3.

Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis prevalensi infeksi cacing berdasarkan jenisnya pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

2. Untuk menganalisis hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, status gizi anak, personal hygiene anak, tindakan anak, sosioekonomi, sanitasi lingkungan, tindakan ibu, dan pengetahuan ibu) terhadap infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang. 3. Untuk menganalisis hubungan faktor tindakan pengobatan terhadap infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

Universitas Sumatera Utara

1.4.

Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ada hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, status gizi anak, personal hygiene anak, tindakan anak, sosioekonomi, sanitasi lingkungan, pengetahuan ibu, dan tindakan ibu) dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang. 2. Ada hubungan tindakan pengobatan dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

1.5.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, bagi berbagai pihak

sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan: 1. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi cacing dan dampaknya terhadap status gizi anak. 2. Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pengetahuan kepada institusi pendidikan sekolah dasar khususnya, sebagai bahan pertimbangan di dalam menetapkan program penanggulangan infeksi cacing di sekolah.

Universitas Sumatera Utara

3. Bagi Pemerintah Setempat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat informasi epidemiologi kepada pemerintah daerah setempat untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam menetapkan kebijakan penanggulangan infeksi cacing di daerahnya. 4. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti, dan sebagai informasi bagi penelitian lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai