Dasar Penghapus Pidana
Dasar Penghapus Pidana
Penghapus Pidana
Surastini Fitriasih-2008
Pengertian
Hal-hal atau keadaan yang
dapat mengakibatkan tidak
dijatuhkanya pidana pada
seseorang yang telah melakukan
perbuatan yang dengan tegas
dilarang & diancam dengan
sanksi pidana oleh UU
Dasar Penghapus
Khusus
1. Pasal 166 KUHP
2. Pasal 221 KUHP
Berlaku Khusus:
Hak mengawasi dan mendidik
Hak jabatan: dokter
Ijin korban: olah raga bela diri
tinju, karate; pasien yang dioperasi
Berlaku Umum:
Tiada sifat melawan hukum dalam
arti materiil
Tiada kesalahan dalam arti materiil
(AVAS)
Dasar Pemaaf
dihapuskan
Dalam hal ini perbuatan pelaku
dianggap tidak melawan
hukum, walaupun perbuatan
itu dilarang dan diancam
hukuman oleh UU/KUHP.
Jadi dlm hal ini perbuatan
pelaku
dibenarkan/dibolehkan,
sehingga kesalahan pun tidak
ada:
a. Pasal 48 KUHP (perluasan)
b. Pasal 49 ayat (1)
c. Pasal 50
d. Pasal 51 ayat (1)
dihapuskan
Dalam hal ini perbuatan
pelaku tetap dianggap
melawan hukum, namun
unsur kesalahannya
dihapuskan (dimaafkan):
a. Pasal 44 KUHP
b. Pasal 48 (sempit)
c. Pasal 49 ayat (2) KUHP
d. Pasal 51 ayat (2)
Eksternal
Pasal 48 KUHP
Pasal 49 KUHP
Pasal 50 KUHP
Pasal 51 KUHP
Tidak Personal
(Non-Pribadi)
Yang merupakan
dasar pembenar
Pasal 44 KUHP
Perkembangan Kejiwaan yang tidak sempurna
atau Gangguan Kejiwaan
Hal yang harus diteliti dan diputuskan oleh
hakim:
1.Apakah pelaku menunjukkan perkembangan
kejiwaan yang tidak sempurna atau mengalami
gangguan kejiwaan?
2.Apakah tindak pidana yang dilakukannya
merupakan akibat dari hal dalam no.1; adakah
hubungan kausal antara penyakit dan tindakan?
3.Apakah atas dasar hal-hal tsb. di atas,
pertanggung- jawaban pidana pelaku atas TP
yang dilakukannya harus dikesampingkan?
Konsep Kemampuan
Bertanggungjawab
Dapat diminta pertanggungjawaban
pidana (Van Hamel):
1.Memahami arah tujuan faktual dari
tindakannya
2.Menyadari bahwa tindakan tsb. secara
sosial dilarang
3.Tindakan tsb. dilakukan tanpa
tekanan/paksaan dari orang lain
(dilakukan berdasarkan kehendak
bebasnya)
Pasal 48 KUHP
Overmacht
(daya paksa dalam arti
relatif/sempit)
Noodtoestand
(perluasan daya paksa; disebut
keadaan darurat)
Overmacht
Dorongan/kekuatan/paksaan yg tidak bisa
dilawan, baik psikis maupun fisik dari
manusia
Paksaan:
a. Vis Absoluta (paksaan absolut- manus
ministra, pelaku hanya sebagai alat belaka)
b. Vis Compulsiva (paksaan relatif berupa
psikis) diatur dalam Psl. 48 KUHP.
Proporsionalitas
Keseimbangan antara
paksaan/dorongan yang dialami
dengan tindak pidana yang dilakukan.
Noodtoestand
(Keadaan Darurat)
Dorongan/paksaan/kekuatan dari luar
yang membuat seseorang terjepit,
sehingga terpaksa melakukan suatu
delik, karena terjadi:
1. Pertentangan antar kepentingan
hukum
2. Pertentangan antar kewajiban hukum
3. Pertentangan antara kepentingan
hukum dengan kewajiban hukum
Yurisprudensi di Belanda
Memperluas pengertian noodtoestand
sehingga mencakup situasi di mana pelaku TP
yang sebenarnya tidak mendapat tekanan
psikis, tapi dianggap mempunyai dasar
pembenar yang layak untuk melanggar UU:
Dengan melakukan TP dan memperhitungkan
situasi genting aktual yang dihadapi, ia telah
melindungi kepentingan yang dilindungi oleh
UU; atau
Dengan melakukan TP, pelaku justru
memenuhi kewajiban sosialnya (sebenarnya
merupakan pertentangan kepentingan)
Pasal 49 KUHP
Pasal 49 ayat (1)
Noodweer Bela Paksa
Pasal 49 ayat (2)
Noodweer Excess
Bela Paksa Lampau Batas
Syarat pembelaan:
1.Seketika/langsung
2.Memenuhi asas subsidiaritas &
proporsionalitas
Putatief Noodweer
Keliru mengira dirinya berada dalam
keadaan bela paksa
Terutama terjadi dalam keliru mengira
bahwa telah ada serangan yang
melawan hukum
Pasal 50 KUHP
Melaksanakan perintah UU
contoh: algojo, eksekutor
hukuman mati, dsb.
Pasal 50 KUHP
Ketentuan PerUUan:
Mencakup setiap ketentuan yang
mengatur atau memberikan kewenangan
tertentu, yang diterbitkan oleh penguasa
yang memiliki kewenangan legislatif
berdasarkan UU atau UUD
Persyaratan:
1. Harus dengan tindakan tindakan yang
(secara logika) memang dianggap perlu
2. Ada keseimbangan antara tujuan yang
hendak dicapai dengan sarana-sarana
yang dipakai untuk pencapaian tujuan
..lanjutan
Pasal 51 KUHP
Pasal 51 ayat (1) KUHP :
Perintah yg dikeluarkan oleh pejabat
yg sah dan berwenang.
Perintahnya adalah perintah yang
sah.
contoh: juru sita pengadilan,
penangkapan/penyitaan/penahanan
yang sah yang dilakukan oleh polisi
Pasal 51 KUHP
Pasal 51 ayat (2) KUHP:
Perintah yg dikeluarkan oleh pejabat/atasan
yg tidak berwenang, jadi perintahnya tidak
sah:
1.Yang diperintah sama sekali tidak tahu
bahwa perintah yang dikeluarkan adalah
perintah yang tidak sah
2.Dalam batas-batas lingkungan yg
diperintah
3.Ada hubungan antara atasan dan
bawahan
2 Syarat
Penggunaan Pasal 51 ayat (2)
Syarat Subyektif:
dengan itikad baik dia mengira bahwa
perintah itu adalah sah
Syarat Obyektif:
pada kenyataannya pelaksanaan perintah
itu masuk dalam bidang tugas
pekerjaannya
Kedua syarat ini bersifat kumulatif- imperatif
Syarat Subyektif
Terletak pada sikap batin penerima
perintah, yaitu mengira bahwa perintah
itu sah
Alasan sikap batin tsb. Harus berdasarkan
hal-hal yang masuk akal
Untuk dapat diterima bahwa ia mengira
perintah itu sah, harus dipenuhi 2 syarat:
- pejabat yang memberi perintah itu
disadarinya adalah benar dan berhak
- hal yang diperintahkan disadarinya
memang masuk lingkup kewenangan yang
memberi perintah
Syarat Obyektif
Hal yang diperintahkan harus menjadi
bidang pelaksanaan tugasnya
Ada hubungan antara jabatannya dan
tugas pekerjaan suatau jabatan
Ingat:
Pada jabatan-jabatan publik terdapat
tugas-tugas jabatan tertentu, baik
merupakan pelaksanaan hak jabatan dan
atau pelaksanaan kewajiban jabatan
lanjutan
Contoh:
Pejabat Penyidik Pembantu
Atas dasar perintah penyidik dia
berwenang melakukan penangkapan,
yang sekaligus merupakan kewajiban
untuk melaksanakan perintah tsb.
Permasalahan
Apakah perintah harus dalam bentuk
konkrit tertentu? Harus tertulis?
Arrest Hoge Raad (7-12-1899):
Pasal 51 tidak perlu perintah konkrit,
tetapi termasuk juga instruksi umum
Perintah tidak perlu langsung diterima
oleh pelaksana perintah (bisa melalui
sarana komunikasi)
Berwenang: artinya luas, mencakup
kompetensi yang memberi perintah
dan keabsahan seluruh perintah