Anda di halaman 1dari 27

Tindakan Puskesmas

terhadap Kekerasan
Anak
Ega Meilyta A.P
1310211105

Definisi
Kekerasan
adalah
istilah
yang
dipergunakan bagi terjadinya cidera
mental atau fisik. Kekerasan diartikan
sebagai sebuah ancaman, usaha atau
penggunaan fisik yang dilakukan oleh
seseorang yang dapat menimbulkan
luka baik secara fisik maupun non fisik
terhadap orang lain.

Sedangkan yang dimaksud anak


disini menurut Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menurut Pasal 1 angka 1
menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Dalam
hal ini anak juga mempunyai hak asasi
yang melekat pada dirinya yang harus
dilindungi dan juga dihormati.

Prevalensi
- Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) dalam empat tahun terakhir kasus
kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013
dengan jumlah kasus sebanyak 1.615.
- Pada tahun 2011 sebanyak 261 kasus dan
pada 2012 sebanyak 426 kasus.
- Tahun 2014 yang 8 masuk dari Januari
sampai Agustus sebanyak 622 kasus yang
terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis
dan
kekerasan
seksual.Untuk
kasus
kekerasan fisik sendiri lebih dari 94
kasus,kekerasan psikis sebanyak 12 kasus
dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus.

Karakteristik Kekerasan Terhadap Anak


WHO membedakan kekerasan anak sebagai
berikut :
1. Kekerasan fisik adalah tindakan yang
menyebabkan rasa sakit atau potensi
menyebabkan sakit yang dilakukan oleh
orang lain, dapat terjadi sekali atau
berulang kali. Kekerasan fisik misalnya :
dipukul, ditendang, dijewer atau dicubit.
2. Kekerasan seksual adalah keterlibatan anak
dalam kegiatan seksual yang tidak
dipahaminya. Kekerasan seksual dapat
berupa perlakuan tidak senonoh dari orang

3. Kekerasan emosional adalah segala sesuatu yang


dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan
emosional anak. Hal ini dapat berupa katakata yang
mengancam atau menakut-nakuti anak.
4. Kegiatan pengabaian dan penelantaran adalah ketidak
pedulian orang tua atau orang yang bertanggung
jawab atas anak pada kebutuhan mereka, seperti
pengabaian kesehatan anak, pendidikan anak, terlalu
mengekang anak dan sebagainya.
5. Kekerasan ekonomi (eksploitasi komersial) adalah
penyalah gunaan tenaga anak untuk bekerja dan
kegiatan lainnya demi keuntungan orang tuanya atau
orang lain. Seperti menyuruh anak bekerja secara
seharian dan menjuruskan anak pada pekerjaanpekerjaan yang seharusnya belum dijalaninya.

Peranan Puskesmas dalam


Tatalaksana Kekerasan Anak
Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan
dasar atau primer dapat menerima, menangani
kasus kekerasan terhadap anak atau apabila
diperlukan merujuk ke Rumah Sakit atau institusi
terkait lainnya untuk penanganan lebih lanjut.
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan
kesehatan
berperan
dalam
melaksanakan
pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan
terhadap anak, untuk itu puskesmas harus mampu
dalam menajemen pengenmbangan untuk menjadi
Puskesmas mampu tatalaksana kasus kekerasan
terhadap anak.

Fungsi manajemen di tingkat Puskesmas


dalam tatalaksana kasus kekerasan
terhadap anak meliputi :
1. Perencanaan terdiri dari proses mengumpulkan
data dan informasi, melakukan pemetaan,
penyusunan
rencana
kerja,
pelaksanaan
sosialisasi,
menyiapkan
tenaga
kesehatan
pelaksana
penanganan
kasus
kekerasan
terhadap anak.
2. Pelaksanaan
Pemeriksaan
kesehatan
yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan umum dan
pemeriksaan khusus termasuk pemeriksaan
medikolegal untuk mengumpulkan barangbarang bukti yang dituangkan dalam bentuk
Visum et Repertum (VeR) untuk mengetahui
adanya indikasi kekerasan. Kemudian baru

Dalam
pelaksanaan
kasus
kekerasan
terhadap anak dapat dilakukan rujukan
apabila puskesmas tidak mampu menangani.
Wawancara
dan
konseling,
penyuluhan,
kunjungan rumah juga merupakan tugas
puskesmas
dalam
tatalaksana
kasus
kekerasan terhadap anak.
3. Pengawasan dan Pengendalian Monitoring
dan evaluasi dilakukan Puskesmas untuk
menentukan program selanjutnya dalam
tatalaksana kasus kekerasan terhadap anak.

Agar anak korban kekerasan terhadap


anak memperoleh pelayanan secara
komprehensif, maka tenaga kesehatan
dibawah
tanggungjawab
pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan wajib
melaporkan kasus dugaan kekerasan
terhadap anak.
Pelaporan dilakukan sesegera mungkin
setelah dugaan akibat kekerasan telah
ditemukan dan ditujukan kepada instansi
kepolisian di wilayah tempat kejadian,
baik secara lisan, pertelepon, maupun
secara tertulis.

Dalam hal rujukan anak yang menjadi korban


kekerasan dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
dan rujukan psikososial, maka isi laporan perlu
dicantumkan alamat rujukan yang dituju. Untuk
memastikan keselamatan anak korban kekerasan,
tenaga kesehatan dapat meminta pengamanan
kepolisian.
Jika orang tua atau pendamping korban menolak
anaknya dilaporkan ke kepolisian, tenaga kesehatan
wajib menjelaskan pentingnya pelaporan tersebut
dinilai dari aspek sosial, hukum dan hak-hak korban
seperti hak untuk memperoleh rehabilitasi medis,
rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi
sosial, serta bantuan hukum termasuk mendapatkan
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan
harta bendanya serta bebas dari ancaman.

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan dengan auto dan hetero
anamnesis
- Perhatikan sikap/perilaku korban dan pengantar,
apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan
dalam memberikan jawaban.
- Apabila memungkinkan, anamnesa terhadap
korban dan pengantar dilakukan secara terpisah.
- Nilai kemungkinan adanya ketidaksesuaian yang
muncul antara penuturan pengantar dan/orang
tualpengasuh dan korban dengan temuan medis.
- Perhatikan sikap/perilaku korban dan pengantar,
apakah korban terlihat takut, cemas, ragu-ragu
dan tidak konsisten dalam memberikan jawaban.

Khusus untuk korban anak:


Gali informasi: adakah perubahan perilaku anak
setelah mengalami trauma, seperti ngompol,
mimpi buruk, susah tidur, menjadi manja, suka
menyendiri, murung, atau agresif.
Observasi:
Adanya ketidaksesuaian antara tingkat kepedulian
orang tua dengan beratnya trauma yang dialami
anak.
Interaksi yang tidak waJar antara
orangtua/pengasuh dengan anak, seperti adanya
pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang
tidak memadai atalt perilaku marah yang i!llpulsif
dan tidak menyadari kebutuhan anak.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Harus ada pendamping yang dipercaya anak berada di
ruang pemeriksaan.
2. Informed Consent menggunakan istilah anak-anak.
3. Jika anak tidak dapat tenang karena nyeri, dapat
diberikan parasetamol atau obat nyeri sederhana
lainnya.
4. Jangan memaksa dengan menakuti anak untuk
menyelesaikan pemeriksaan. Paksaan bagian dari
pelecehan seksual, jika digunakan akan meningkatkan
ketakutan dan kecemasan anak dan memperburuk
dampak psikologis kekerasan.
5. Anak kecil dapat diperiksa di pangkuan ibunya,
sedangkan yang lebih tua dapat diberikan pilihan
duduk di kursi, di pangkuan ibu atau berbaring di
tempat tidur.

6. Periksa dan catatlah keadaan gizi (tinggi badan, berat badan


dan usianya), higiene dan tumbuh kembang si anak.
7. Periksa dan catatlah keadaan umum si anak, seperti
kesadaran, kooperatif atau iritabel, kejang, arnoe dan syok.
8. Buatlah daftar dan plot pada diagram topografi jenis
perlukaan.
9. Apakah ada memar, fraktur, luka bakar atau jaringan parut.
Deskripsikan tentang :
a. Letaknya (deskripsikan tempat kelainan dengan
b. Serta koordinatnya (jarak terhadap garis pertengahan
tubuh bagian
depan (GPD) atau garis pertengahan
tubuh bagian belakang (GPB)
c. Ukurannya
d. Bentuknya
e. Serta warnanya
10.Harus juga diperhatikan daerah mata (termasuk retina), daun
telinga, rongga mulut dan alat kelamin untuk mendeteksi
adanya tanda-tanda perlukaan terselubung (occult trauma).

10.Pada kasus-kasus berat, pemotretan berwarna


dapatmembantu.
11.Raba semua tulang terutama tulang-tulang panjang
adakah nyeri tulang saat palpasi dilakukan, serta
lakukan uji sendi dengan melakukan gerakan
rentang sendi, adakah keterbatasan gerakan sendi.
12.Jika korban tidak bisa tenang sedangkan
pemeriksaan sangat dibutuhkan, pemeriksaan
dapat dilakukan dibawah pengaruh bius,
menggunakan obat :
-. diazepam, oral, 0,15 mg/KgBB, maksimum 10 mg
-. atau, promethazine hydrochloride, syrup, oral, 2-5
thn : 1520 mg, 5-10 thn: 20-25 mg
Obat sedasi oral akan bekerja 1-2 jam untuk efek
yang kuat. Sementara waktu biarkan anak intirahat di
ruangan yang tenang.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam wawancara


psikiatrik pada anak korban:
1. Gunakan cara dan teknik yang sesuai dengan tahapan perkembangan
anak sehingga anak merasa nyaman dan dapat mengekspresikan apa
yang dirasakan dan dialaminya.
2. Kalau memungkinkan lakukan wawancara anak tersendiri/terpisah, jika
anak masih kecil bisa didampingi oleh orang tua atau anggota keluarga
dekat lainnya. Kalau perlu gunakan boneka/mainanlmedia gambar untuk
membentuk relasi yang optimal dengan pemeriksa.
3. Mampu menangkap ekspresilbahasa tubuhltingkah laku anak dan katakata kunci (kata-kata yang sering diulang, diucapkan secara emosional)
yang diucapkan tanpa disadari.
4. Ulangi jawaban anak untuk meyakinkan bahwa pemeriksa mengerti apa
yang dikemukakan anak, sekaligus untuk mencegah kebohongan.
5. Penampilan anak seringkali tidak menggambarkan beratnya trauma yang
dial ami. Namun ekspresi wajah, gerak-gerik bahasa tubuhnya seringkali
dapat mengungkapkan adanya kesedihan, keraguan diri, kebingungan,
kecemasan, ketakutan atau amarah yang terpendam, yang merupakan
indikasi adanya gangguan mental emosional.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lakukan pemeriksaan darah tepi lengkap dan
bila diperlukan periksa waktu perdarahan, PT
dan PTT. Pada trauma abdomen : darah tepi
lengkap, urinalisis, fungsi hati dan amilase.
2. Lakukan pemeriksaan urin dan fases rutin bila
dianggap perIu.
3. Pemeriksaan usap vagina dilakukan pada kasus
yang
diduga memperoleh perlakual salah
secara seksual.
4. Pada kasus yang disangka merupakan kasus
prisicial abuse, lakukan pemeriksaan rontgen
sebagai berikut :
a. Anak dengan usia < 2 tahun seharusnya
dilakukan bone survey.
b. Anak berusia 2 5 tahun dengan perlukaan yang

c. Anak diatas 5 tahun dengan nyeri tulang pada


pemeriksaan atau dengan keterbatasan gerak sendi
seharusnya dilakukan pemeriksaan rontgen pada
daerah yang dicurigai saja.
d. Anak dengan trauma kepala : CT Scan dan MRl bila
perIu.
e. Anak dengan trauma abdomen: Radiologis abdomen.
f. Tes untuk PMS dilakukan kasus per kasus dan jika
ada indikasi kuat :
-. ada tanda-tanda dan gejala PMS pada anak
-. pelaku diketahui menderita PMS atau resiko tinggi
PMS
-. ada prevalensi PMS yang tinggi di komunitas
-. anak atau orangtua meminta tes

PEMERIKSAAN PADA DUGAAN ADANYA


PENGANIAYAAN SEKSUAL
1. Khusus pada pemeriksaan luar genitalia:
a. Adakah tanda trauma dan duh (sekrit) vagina.
b. Adakah larerasi atau jaringan parut yang meluas sampai
dinding vagina.
c. Adakah jaringan himen atau selaput dara yang berkurang.
d. Adakah eritema atau undern setempat.
e. Adakah jaringan ikat pada fourchette posterior.
2.

Cek himen dengan memegang tepi labia posterior antara


jari telunjuk dan ibu jari secara perlahan dorong keluar
dan kebawah. Catat lokasi robekan baru atau lama dan
mukosa vagina. Jumlah jaringan himen dan ukuran lubang
vagina bukan indikator penetrasi.

3.

Gunakan kaca pembesar kolposkop atau otoskop untuk


memeriksa keadaan selaput dara.

4. Jangan
lakukan
pemeriksaan
memasukan jari ke vagma.

dengan

5. Lihat cairan vagina. Pada gadis yang belum


puber spesimen vagina dapat dikumpulkan
dengan swab kapas kering.
6. Jangan gunakan spekulum untuk memeriksa
gadis prepubertal karena menyakitkan dan
dapat menimbulkan luka serius. Spekulum
hanya digunakan jika diduga ada luka penetrasi
vagina dan perdarahan internal serta dilakukan
biasanya dibawah anestesi umum.

Penanganan
Dengan memperhatikan PMS, HIV, hepatitis B
dan tetanus, anak mendapat pencegahan dan
pengobatan yang sarna walau dosisnya berbeda.
Pencegahan PMS rutin tidak direkomendasikan
untuk anak-anak.
Tindak lanjut
Tindak lanjut kasus sama dengan korban
dewasa.
Jika infeksi vagina berlanjut pertimbangkan
kemungkinan adanya benda asing atau
kekerasan seksual berlanjut.

ASPEK PSIKOSOSIAL
Aspek psikososial terdiri dari penanganan
krisis, konseling, pendampingan, kunjungan
rumah dan rumah aman bagi korban.
Kegiatan ini merupakan pelayanan nonmedis
yang perlu diketahui oleh tenaga kesehatan
walaupun bukan menjadi tugas utama.
Dalam hal ini tenaga kesehatan harus
bekerjasama melalui jejaring. Apabila di tingkat
kecamatan belum terbentuk jejaring maka
dapat dirujuk ke jejaring di tingkat kab/kota
melalui dinas kesehatan.

SISTEM RUJUKAN DI
PUSKESMAS

Kasus-kasus yang memerlukan rujukan antara lain:

Pemeriksaan dalam (anogenital) untuk kasus perkosaan (anak dan perempuan) atau
kekerasan seksual anak (kecuali Puskesmas Mampu Tatalaksana)
Perlukaan berat disertai perdarahan berat
Fraktur/patah tulang multiple
luka bakar sedang-berat
Stres berat
Menunjukkan tanda-tanda gawat darurat medik

Sedangkan yang dapat ditangani di puskesmas adalah kasus kekerasan


terhadap anak yang memiliki derajat ringan, antara lain:

Luka ringan
Cidera sederhana (luka bakar nngan, laserasi superficial I lebam)
Cidera ringan linfeksi pada organ Isaluran reproduksi
Cidera ringan linfeksi pada anus
Fraktur/patah tulang tertutup Iterbuka ringan yang perlu tindakan P3K
Trauma psikis ringan
Malnutrisi

PENCATATAN DAN
PELAPORAN
Pencatatan
dilakukan
terhadap
semua
informasi
dalam
pelaksanaan
pelayanan
terhadap korban KtP/A.
Sistim pencatatan dan pelaporan yang tersedia
di Puskesmas saat ini belum mengakomodasi
pencatatan dan pelaporan penanggulangan
korban
KtP/A
sehingga
Kemenkes
mengembangkan "Format Pencatatan dan
Pelaporan Pelayanan Kesehatan Korban Tindak
Kekerasan terhadap Perempuan, Anak dan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

REFERENSI
Eprints.undip.ac.id
Prosedur Standar Operasional
Pelaksanaan SPM bidang layanan
terpadu bagi perempuan dan anak
korban kekerasan (Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI) 2010

Anda mungkin juga menyukai