Anda di halaman 1dari 89

Human Immunodeficiency

Virus pada Anak


pembimbing :
dr. Ernie Setyawati, SpA,
M.Kes
Patricia Lestari
406148093

HIV (Human Immunodeficiency


Virus )
Definisi :
HIV: adalah penyakit yang
diakibatkan oleh infeksi virus HIV
(human Immunodeficiency Virus).
AIDS: adalah penyakit yang
menunjukan adanya sindrom
defisiensi imun selularnya sebagai
akibat infeksi HIV.

Epidemiologi HIV
AIDS pada anak pertama kali
dilaporkan oleh Oleske, Rubinstein
dan Amman pada tahun 1983 di
Amerika Serika.
Di Asia Tenggara, Thailand yang
pertama kali melaporkan AIDS pada
anak tahun 1988.
Negara dengan tingkat infeksi
tertinggi adalah India, Thailand,
Myanmar dan Indonesia.

Etiologi
penyebab AIDS adalah HIV yaitu
virus yang tergolong retrovirus
sekelompok lentivirus.
Lentivirus mampu menyebabkan
edek sitopatik yang singkat dan
infeksi laten dalam jangka panjang,
juga menyebabkan penyakit
progresif dan fatal termasuk
wasting syndrom dan degenerasi
sumsum saraf pusat.

HIV-retrovirus
Virus ini pertama kali di temukan oleh
Montagnier dari Perancis pada tahun
1983 dan oleh Gallo dari Amerika pada
tahun 1984.
Ada 2 tipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV -2
berbeda secara genomik dan
antigenesitasnya akan tetapi manifestasi
klinisnya sulit di bedakan

Secara epidemiologis, HIV -1 terdapat pada AIDS di


Afrika Tengahm Haiti, Eropa Barat dan Amerika
HIV-2 prevalensinya lebih rendah dan terdapat
secara endemis di Afrika Barat, Eropa, Brazil dan
baru-baru ini di Amerika.
dinamakan Retrovirus karena virus ini dapat
membentuk DNA dan RNA sebab mempunyai enzim

Human Immunodeficiency
Virus

Narkotika
suntik

Cara Penularan
Transmisi vertikal dari ibu ke janin
Transmisi langsung ke peredaran
darah melalui transfusi atau jarum
suntik
Transmisi melalui mukosa genital
(pada anak kontak seksual dini
seperti pada perlakuan slah seksual
atau perkosaan anak oleh penderita
HIV atau prostitusi anak )

Ibu hamil dengan HIV (+)


Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menular
melalui virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya.
Cara transmisi ini dinamakan juga trans misi
secara vertikal.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta
intrauterin, yaitu pada waktu bayi terpapar
dengan darah ibu ayai sekret genitalia yang
mengandung HIV selama proses kelahiran. Post
partum melalui AIS
Transmisi dapat terjadi pada 20-50% kasus

Faktor prediktor penularan adalah


Stadium infeksi ibu
Kadar limfosit T-CD4
Jumlah virus pada tubuh ibu
Penyakit ko infeksi hepatitis B, CMV atau
penyakit enular seksual lain pada ibu.
Ibu yang tidak minum ARV selam hamil
Proses inpartum yang sulit juga akan
meningkatkan transmisi, yaitu lamanya
ketuban pecah, persalinan pervaginam dan
dilakukan ivasif pada bayi
Selain itu prematuritas akan meningkatkan
angka transmisi HIV pada bayi

Resiko tertular HIV melalui ASI


adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari
ibu HIV(+) dan mendapat ASI tidak
semuanya tertular HIV, hingga kini
belum didapatkan jawaban pasti;
tetapi di duga IgA yang terlarut
berperan dalam proses pengurangan
antigen.

Faktor resiko
faktor resiko seorang bayi atau anak dapat tertular
HIV adalah
1. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual
2. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan bergantiganti
3. bayi yang lahir dari ibu atau pasangan
penyalahguna obat intravena
4. bayi atau anak yang mendapat transfusi darah
atau produk darah berulang
5. anak yang terpapar pada infeksi HIV dari
ekkerasan seksual (perlakuan salah seksual)
6. anak remaja dengan hubungan seksual bergantiganti pasangan.

Cara paling efisien untuk menangulangi infeksi HIV pada


ana secara universal adalah dengan mengurangi
penularan dari ibu ke anaknya (modther to-child
transmission /MTCT)
Dilakukan 4 strategi yaitu:
1. mencegah penularan transmisi HIV pada wanita usia
subur
2. mencegah kehamilan yang tidak di rencakan pada
wanita HIV
3. mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak
yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan
4. layanan dan perawatan berkesinambungan bagi
pengidap HIV

Patogenesis

Infeksi primer HIV pada fetus dan


neonatus terjasi pada situasi sitem imun
imatur.
patogenesis secara umum, setelah virus
masuk dalam beberapa hari setelah
paparam pertama dengan HIV, repilikasi
virus dalam jumlah banyak dapat
dideteksi ke kelenjar getah bening.
replikasi akan menyebabkan viremia
dengan sindrom HIV akut (gejala dan
tanda non spesidik seperti infeksi virus
lainnya)

Virus akan menyebar keseluruh tubuh


dan menginfeksi Sel T subset CD4 atau
T-helper, makrofag, dan sel dendrit di
jaringan limfoid perifer.
Setelah penyebaran virus, terjadi
respon imun adaptif baik humoral
maupun seluler terhadap anitigen
virus. Respon imun dapat mengontrol
sebagian dari infeksi dan produksi
virus, yang menyebabkan
berkurangnya viremia dalam 12
minggu setelah paparan pertama.

Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua


dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi
sel.
Pada tahap ini imun masih kompeten
mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan
belum muncum manifestasi klinis indeksi
HIV, sehingga fase ini di sebut juga masa
laten klinis (clinical Latency period).
penghancuran sel T-CD4 dalam jaringan
limfosid terus berlangsung dan jumlah sel TCD4 yang bersirkulasi semakin berkurang.

Pada fase kronis progresif, pasien rentan


terhadap infeksi lain, respon imun terhadap
infeksi tersebut akan menstimulasi produksi
HIV dan destruksi jarinngan limfoid.
transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh
stimulus yang mengaktifkan sel T, seperti
antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF)
yang di produksi sistem imun alamiah sebagai
respon terhadap infeksi mikroba, sangat efektif
untuk memacu produksi HIV. Jika, pada saat
sistem imun berusaha menghancurkan mikroba
lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem
imun HIV.

Penyakit HIV berjalan trus ke fase


akhir dan letal yang disebut AIDS
dimana terjadi destruksi seluruh
jaringan limfoid perifer, jumlah sel TCD4 dalam darah kurang dari 200
sel/mm3, viremia HIV meningkat
drastris. pasienAIDS menderita
infeksi oportunistik, neoplasma,
kaheksia (HIV wasting syndrom),
gagal ginjal (nefropati HIV), dan
degenerasi susunan saraf pusat.

Manifestasi klinis infeksi HIV


Fase Penyakit

Manifestasi klinis

Penyakit HIV Akut

Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan


faringitis, limfadenopati generalisata, eritema

Masa laten klinis

Berkurangnya jumlah sel T-CD4

AIDS

Infeksi oportunistik
protozoa ( Penumocystis carinii,
Cryptosporidium )
Bakteri ( toxoplasma, myvobacterium avium,
nocardia, salmonela )
Jamur ( candida, cryptococcus neoformans,
coccidioides immitis, histoplasma capsulatum)
virus ( cytomegalovirus, herpes simplex,
varicella zoster )
Tumor
limfoma (termasuk limfima sel B yang
berhubungan dengan EBV)
Sarkoma kaposi
Karsinoma servikal
Ensefalopati
Wasting syndrom

Masa inkubasi
Masa inkubasi pada orang dewasa 3 bulan
sampai terbentuk antibodi anti HIV.
Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat
maupun bertahun tahun kemudian.
Khusus pada bayi dibawah umur 1 tahun,
diketahui bahwa viremia sudah dapat di
deteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi
klinis infeksi oportunistik sudah dapat
dilihat ketika usia 2 bulan.

Gambaran klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak
bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit
berat yang dinamakan AIDS.
AIDS pada anak terutama terjadi pada umur
muda karena sebagian besar (> 80%) AIDS pada
anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak
50% kasus AIDS anak berumur< 1 tahun dan
82% berumur < 3 tahun.
Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi
HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala
AIDS pada umur 10 tahun.

Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya


infeksi oleh mikroorganisme yang ada di
lingkugan anak. Oleh karena itu, manifestasinya
pun berupa manifestasi nonspesifik berupa
gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia,
panas berulang, limfadenopati dan
hepatosplenomegali.
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya
infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman,
parasit, jamur atau protozoa. Karena
adanya penurunan fungsi imun, terutama
imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit
bila terpajan organisme tersebut, dan biasanya
lebih lama, lebih berat dan sering berulang.

Penyakit tersebut antara lain kandidiasisi


mulut yang dapat menyebar ke esofagus,
radang paru karna pneumocystis carinii,
radang paru karena mikrobakterium atipik,
atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang
Mycobacterium tuberculosis, penyakit akan
berjalan berat.
Anak sering juga menderita diare berulang
Manifestasi lainnya adalah pneumonia
interstisial limfositik, kelianan yang mungkin
disebabkan oleh HIV langsung pada jaringan
paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia,
sesak nafas, jari tabuh dan limfadenopati.

Manifestasi klinis yang lebih berat


adalah ensefalopati kronik yang
mengakibatkan hambatan
perkembangan atau kemundruan
ketrampilan motorik dan daya
intelektual, sehingga terjadi retardasi
mental dan motorik.

Klasifikasi WHO mengenai penyakit


yang berhubungan dengan HIV

Klasifikasi

Stadium klinis WHO

Asimtomatik

Ringan

Sedang

Berat

Stadium klinis WHO untuk Bayi dan


anak yang terinfeksi HIV

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan assy antibodi dapat mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Tetapi karena antibodi maternal di
transfer secara pasif selama kehamilan dan dapat
dideteksi hingga usia 18 bulan, maka adanya antibodi
postifi pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta
merta menajdikan seorang akan pasti terinfeksi HIV
Maka di perluka uji laboratorium untuk mendeteksi
virus dan komponennya seperti
Assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma
Assay untuk mendetksi RNA HIV dari plasma
Assay untuk mendeteksi antigen P24 Immune Complex
Dissociated(ICD)

Meskipun uji deteksi antibodi tidak


dapt digunakan untuk menegakan
diagnosis definitif HIV pada anak
yangberumur kurang dari 18 bulan,
antibodi HIV dapat di gunakan untuk
mengekslusi infkesi HIV, pada usia 9
bulan samapi 12bulan pada bayi
yang tidak mendapat ASI atau sudah
dihentikan ASI sekurang-kurangnya 6
minggu untuk dilakukan ui antibodi.
Dasarnya antibodi maternal akan
sudah menghilang dari tubuh anak
pada usia 12 bulan.

Pada anak yang berumur lebih dari


18 bulan uji antibodi termasuk uji
cepat (rapid test) dapat digunakan
untuk mendiagnosis infeksi HIV
seperti orang dewasa

Diagnosis
Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV
berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat di
tegakan dengan uji virologik, hasil +
memastikan adanya infeksi HIV.
Satu hasil + uji virologik pada usia berapapun
dianggap diagnostik pasti. Namun
direkomendasikan untuk melakukan uji ulang
pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak
mungkin 2x maka harus dipastikan kehandalan
laboratorium penguji. Dan harus dilakukan uji
anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.

Diagnosis infeksi HIV pada Bayi yang


medapat Asi
bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia
akan terus beresiko tertular HIV slama masa
pemberian ASI, karena uji virologik negatif pada
bayi yang terus mendapat ASI tidak
menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV.
Anjurannya ui virologik dilakukan setelah bayi
tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6
minggu
Bila usia bayi 9-12 bulan saat penghentian ASI,
maka uji antobodi dapat dilakukan sebelum
dilakukan uji virologik. Bila hasil uji antibodi +,
mak uji virologik diperlukan untuk diagnosis
pasti.

Bayi dan anak yang terpapar HIV dan


memiliki gejala klinis
Bila uji virologik tidak dapat dilakukan, semua
bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV
dan menunjukan gejala dan tanda infeksi HIV
harus di rujuk untuk uji virologik. Hasil + pada
stdium apapun menunjukan + infeksi HIV.

Bayi dan anak yang terpapar HIV


asimtomatik
Pada usia 12 bulan bayi yang terpapar sudah
tidak lagi memiliki antibodi maternal. Hasil uji
antibodi yang positif pada usia ini dapat di
anggap indikasi tertulat (94,5% seroreversi
pada usia 12 bulan, spesifitas usia 18 bulan)

Diagnosis infeksi HIV setelah ibu atau bayi


mendapat ARV untuk program pencegahan

PMTCT= prevention of mother to


child transmition
Secara umum waktu pendeteksi tidak
berbeda, assay DNA dapat dimulai
diperiksa pada usai 48 jam. Pemakaian
ARV pada ibu dan bayinya PMTCT tidak
akan mempengaruhi hasil. DNA HIV
teetap terdeteksi pada sel mononuklear
darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan
sudah mendapat ARV meskipun hasil
RNA virus tidak terdeteksi.

Anak yang berumur lebih dari 18


bulan
Diagnosis definitif infeksi HIV pada
anak yang berusia lebih dari 18
bulan dapat menggunakan antibodi,
sesuai diagnosis orang dewasa.
Konfirmasi hasil yang + harus
mengikuti algoritma standar
nasional, paling tidak menggunakan
regimen uji antibodi yang berbeda

Diagnosis klinis presumtif infeksi


HIV
Dalam situasi sulit diperbolehkan
menggunakan dasar klinis untuk
memulai terapi pengobatan ARV
pada anak kurang dari 18 bulan dan
terpapar HIV yang berada dalam
kondisi sakit berat. Penegakan
diagnosis Berdasarkan klinis yang di
kombinasikan dengan pemeriksaan
CD4 atau parameter lain saat ini
belum terbukti sebagi alat diagnosis

Anak yang berusia kurang dari 18


bulan
Uji virologik tidak mungkin dilakukan,
terdapat gejala sugestif infeksi HIV,
diagnosis persumtif infeks HIV secara
klinis dapat dibuat. Diagnosis ini
menjadi dasar apakah perlu pemberian
ARV segera.

Anak yang berusia lebih dari 18


bulan
pada anak yang berumur lebih dari
18 bulan dengan gejala dan tanda
sugestif infeksi HIV, dapat dilakukan

Metode yang direkomendasikan untuk


mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
metode

rekomendasi

Uji virologik (DNA, RNA, ICD)

Untuk mendiagnosis infeksi pada


bayi < 18 bulan, uji inisial
direkomendasikan mulai umur 6-8
minggu

Uji antibodi anti HIV

Untuk mendiagnosis infeksi HIV


pada ibu atau identifikasi paparan
pada bayi
Untuk mendiagnosis infeksi pada
anak > 18 bulan
Untuk mendiagnosis infeksi pada
umur < 18 bulan dengan
kemungkinan besar HIV positif

Pengobatan
Tatalaksana pada penderita HIV harus
lengkap berkaitan dengan tumbuh
kembang, nutrisi, imunitas, tatalaksana
medikasmentosa, tatalaksana psikologis
dan penanganan sisi sosia yang akan
berperan pada kepatuhan program
pemantauan dan terapi.
pemberian imunisasi harus
mempertimbangkan situasi klinis, status
imunologis serta panduan yang berlaku

Panduan WHO untuk imunisasi anak pengidap


HIV adalah selama asimtomatik, semua jenis
vaksin dapat diberikan termasuk vaksin hidup,
tetapi bisa simptomatik maka pemberian
vaksin polio oral dan BCG sebaiknya dihindari.
Pengobatan medikamentosa mencakup
pemberian obat profilaksis infeksi opoetunistik
yang tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi.
Pemberian kortimoksasol pada penderita yang
berusia < 12 bulan dan siapapun yang
memiliki kadar CD4 < 15% hingga di pastikan
bahaya infeksi oportunistik

Pengobatan penting adalah pemberian


antiretrovirus (ARV).
Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang
menggunakan paling tidak 3kelas antivirus.
Obat pertama yang di temukan tahun 1990,
Azidithymidine (AZT), suatu analog nukleosid
deoksitimidin yang berkerja pada tahap
penghambatan kerja enzim trasnkriptase.
Prinsip dasar ARV bukan menyembuhkan,
tetapi digunakan untuk perbaikan kualitas
hidup.

Tujuan pengobatan yang ingin di


capai
1. Memperpanjang usia hidup anak yang
terinfeksi
2. mencapai tumbuh dan kembang yang optimal
3. menjaga, menguatkan dan memperbaiki
sistem imun dan mengurangi infeksi
opoertunistik
4. menekan replikasi virus HIV dan mencegah
pogresivitas penyakit
5. Mengurangi morbiditas anak-anak dan
meningkatkan kualitas hidup.

Obat ARV dasarnya ada 5 jenis :


NRTI (nucleoside Reverse Trnasncriptase
Inhibitor)
NNRTI (non- nucleoside Reverse Trnasncriptase
Inhibitor)
PI ( protease inhibitor)
Fusion Inhibitor
Anti Integrase

Pemakaian NRTI+NNRTI+PI dikenal sebagai


Highly Active Anti Retroviral Therapy
(HAART), karena peningkatan, pengurangan
kemungkinana infeksi oportunistik dan
komplikasi lain, peningkata kualitas hidup.

Penurunan viremia sebagi efek dari pemberian


ARV dibagi dalam 3 fase:
fase pertama adalah penurunan jumlah virus dalam
plasma secara cepat dengan waktu paruh kurang
dari 1 hari
Fse kedua penurunan HIV plasma dengan waktu
paruh 2 minggu menyebabkan jumlah virus dalam
plasma berkurang hingga di bawah ambang deteksi.
Fase ketiga yang sangat lambat menunjukan
terdapat penyimpanan virus di sel T- memori yang
terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang
panjang dari sel memori, diperlukan berpuluh-puluh
tahun untuk menghilangkan reservoir virus ini.

Prinsip ARV
ARV adalah bagian dari pelayanan HIV komperhensif.
Sebelum memutuskan ARV perlu diperhatikan bahwa :
- jangan mulai memberi ARV terlalu dini ketika hitung
CD4 masih normal, atau terlambat ketika sistem imun
sudah terlanjur rusak.
- pemilihan jenis obat harus memperhitungkan bukti
efikasi, sedikit efek samping dan kemudahan
pemberian
- pertimbangkan kemampuan daya beli dan
ketersediaan obat
- harus ada pemantauan dan dukungan para pasien
dan keluarganya untuk meningkatkan kepatuhan
berobat (adherence)

Kelemahan ARV adalah digunakan


obat multipel, juga dengan obat
bukan aRV, maka bahaya interaksi
obat dan resistensi akan menurunkan
potensi ARV. Selain itu mungkin
timbul reaksi saming serius.

Kapan mulai pengobatan


ARV
keputusan untuk memulai terapi ARV pada
bayi dana anak tergantung penilaian klinis dan
imunologis, serta situasi sosial sperti pemilihan
PMO, asupan nutrisi dan kelompok pendukung
keluarga
Dalam penilaian klinis memungkinkan ARV
diberikan pada anak yang didiagnosis secara
persumtif melalui gejala klinis
Bila mungkin di gunakan nilai hitung CD4
sebelum mempertimbangkan pengobatan,
terutama pada anak yang sakitnya lebih ringan

Sebagai patokan memutuskan


pemberian ARV
Bila ada data PCR RNA, kadar virus
mendekati 100.000kopi/ mL
Hitung absolut atau presentase CD4
menurun dengan cepat ke ambang
defisiensi imun berat.
Muncul gejala klinis
kemampuan orang tua atau pengasuh
utnutk memenuhi ketentuan pemberian
ARV

Berdasarkan penilaian klinis


Stadium klinis di tetapkan setelah infeksi di tegakan
melalui bukti serologis atau virologis. Penggunaan
stadium ini berguna sebagi data dasar dan untuk
digunakan sebagai penuntun apakah profilaksis infeksi
oportunistik perlu diberikan pada anak umur > 1 thn.
Bila digunakan sebagai dasar untuk memulai pengobatan
ARV, prinsip umum yang di gunakan sebaagi patokan
adalah :
1. Terapi ARV direkomendasikan untuk bayi <12 bulan
yang memiliki gejala infeksi HIV, tanpa melihat stadium
klinis, jumlah virus maupun nilai CD4
2. Terapi ARV direkomendasikan untuk bayi <12 bulan
yang tergolong stadium I dan kadar CD4 <15%.

Berdasarkan penilaian imunologis


anak yang terinfeksi HIV
Parameter yang digunakan untuk
menilai imunodefisiensi, untuk
memulai pemberian ARV, dan
penggunaan harus bersamaan
dengan penilaian klinis.
Hitung absolut CD4 dan total limfosit
pada bayi, pada bayi sehat jauh lebih
tinggu dari orang dewasa, dan
menurun sampai mencapai nilai
orang dewasa pada usia 6 thn

Klasifikasi WHO tentang immunodefisiensi


HIV menggunakan CD4
Imunodefisien Nilai CD4 menurut umur
si
<11
12-35 bln
36-59 bln
bln
(%)
(%)
(%)

> 5thn (sel/mm3)

Tidak ada

> 35

>30

>25

>500

Ringan

3035

25-30

20-25

350-499

Sedang

2530

20-25

15-20

200-349

berat

<25

<20

<15

<200/ <15%

Berdasarkan diagnosis klinis


presumtif infeksi HIV berat
Diagnosis presumtif infeksi HIV:
Pemeriksaan antibodi menunjukan hasil positif
DNA
Ditegakkan diagnosis penyakit klinis yang
memenuhi kriteria AIDS, atau
Bayi memiliki 2 gejala baik itu kandidiasis oral,
pneumonia berat atau sepsis berat.

Faktor pendukung lain ditegakannya


diagnosis presumtif adalah apabila terdapat
kematian ibu karena HIV atau ibu menderita
AIDS dengan hitungan CD4< 20%

Pemilihan ARV
Pemberian ARV terpilih untuk anak
adalah penggunaan paling tidak 3
obat dan minimal digunakan 2 kelas
obat yang berbeda.
Rekomendasi WHO lini pertama
adalah
2 kelas obat : 2NRTI +NNRTI/ PI
- Anak > 3 thn, pilihan pertama 2NRTI
+Efaviren
Pilihan kedua 2 NRTI +Nevirapin

Pemantauan selama pemberian ARV


Pemantauan berkala pada kepatuhan
obat
Indikator laboratorium (darah tepi,
enzim trasaminase hati, dan kadar
CD4) paling tidak 3 bulan sekali
Kondisi klini harus dilakukan

Kegagalan pemberian ARV perlu dipikirkan


nila:
Tidak ada penurunan kadar virus dalam plasma
Tidak ada peningkatan jumlah / persentase CD4
Gejala klinis bertambah atau memburuk
timbul toksisitas / intoleransi ARV
Ketidak patuhan minum obat

Keberhasilan ARV diperlukan waktu 6 bulan.


Kegagalan supresi ini mungkin memiliki pola
Jumlah virus yang tidak bisa diturunkan
virus yang kembali bertambah banyak serelah
sebelumnya berhasil di tekan (viral rebound)

Menentukan kegagalan terapi dilihat


dari :
Klinis
Respon imun d
Virologik

Pikirkan pula sindrom pulih imun

IRIS/ sindrom pulih imun


Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS)
atau Sindrom Pulih Imun (SPI) perburukan kondisi klinis
respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan
respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral.
Sindrom pulih imun
Unmasking Pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak
mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan langsung
mendapatkan terapi ARV-nya.
Paradoksikal pasien telah mendapatkan pengobatan untuk
infeksi oportunistiknya dan setelah mendapatkan ARV
perburukan klinis infeksinya tersebut.

Penggantian lini kedua


Evaluasi kepatuhan obat, dosis dan infeksi
oportunistik yang belum berhasil diatasi
Faktor yang perlu diperhatikan adalah
resitensi silang
Kegagalan terapi rejimen NNRTI atau 3 TC
hampir tejadi resitensi terhadap seluruh NNRTI
dan 3TC.
AZT dan d4T hampir selalu bereaksi silang dan
mempunya pola resitensi yang sama
Rekomedasi lini ke 2 : 2NRTI baru +PI

2 NRTI
NRTI LINI PERTAMA

NRTI LINI KEDUA

AZT atau d4T +3TC

ddI+ABC

ABC +#TC

ddI=AZT

1 PI

Prognosis
prognosis pada anak yang mengidap HIV berbedabeda sesui stadium klinis dan terutama presentase
CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV
Secara umum mencapai stadium AIDS lebih cepat
pada anak di banding dewasa, walapun ada anak
hingga usia 8 tahun tidak memiliki gejala infeksi HIV
dan kadar CD4 yang normal.
Tetapi lebih banyak anak terinfeksi HIV yang sebelum
usia 1 tahun sudah memerlukan terapi ARV
Dengan perkembangan riset oba ARV pada anak dan
pencegahan transmisi dari ibu HIV, diharapkan angka
keberhasilan hidup anak HIV lebih tinggi kedepannya.

TERIMA KASIH

Catatan:
1. Menurut definisi Integrated Management of Childhood Illness
(IMCI):
a. Oral thrush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa
yang normal atau kemerahan (pseudomembran), atau bercak
merah di lidah, langit-langit mulut atau tepi mulut, disertai rasa
nyeri. Tidak bereaksi dengan pengobatan antifungal topikal.
b. Pneumonia adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan
gambaran chest indrawing, stridor atau tanda bahaya seperti
letargik atau penurunan kesadaran, tidak dapat minum atau
menyusu, muntah, dan adanya kejang selama episode sakit
sekarang. Membaik dengan pengobatan antibiotik.
c. Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan
tanda yang berat seperti bernapas cepat, chest indrawing, ubunubun besar membonjol, letargi, gerakan berkurang, tidak mau
minum atau menyusu, kejang, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test) dengan hasil reaktif harus
dilanjutkan dengan 2 tes serologi yang lain.
3. Bila hasil pemeriksaan tes serologi lanjutan tetap reaktif, pasien
harus segera mendapat obat ARV

III.3. Penghentian terapi profilaksis


Profilaksis kotrimoksasol dapat dihentikan bila:
1. Untuk bayi dan anak yang terpajan HIV saja dan
tidak terinfeksi (dibuktikan dengan pemeriksaan
laboratorium, baik PCR 2 kali atau antibodi pada
usia sesuai), profilaksis dapat dihentikan sesudah
status ditetapkan (sesingkatnya umur 6 bulan atau
sampai umur 1 tahun)
2. Untuk anak yang terinfeksi HIV:
a. Umur < 1 tahun profilaksis diberikan hingga
umur 5 tahun atau diteruskan seumur hidup tanpa
penghentian
b. Umur 1 sampai 5 tahun profilaksis diberikan
seumur hidup.
c. Umur > 5 tahun bila dimulai pada stadium
berapa saja dan CD4< 350 sel, maka dapat
diteruskan seumur hidup atau dihentikan bila
CD4>350 sel/ml setelah minurm ARV 6 bulan. Bila
dimulai pada stadium 3 dan 4 maka profilaksis
dihentikan jika CD4 > 200 sel/ml.

Catatan:
Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan
stadium klinis 3 atau 4, sehingga harus segera dimulai
terapi ARV.
Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan
memiliki risiko paling tinggi untuk menjadi progresif
atau mati pada nilai CD4 normal.
Nilai CD4 dapat berfluktuasi menurut individu dan
penyakit yang dideritanya. Bila mungkin harus ada 2
nilai CD4 di bawah ambang batas sebelum ARV
dimulai.
Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi
klinis dan nilai CD4 setiap 3-6 bulan sekali, atau lebih
sering pada anak dan bayi yang lebih muda.

a. Anemia berat adalah Hb < 7,5 g/dl dan neutropenia berat


dengan hitung neutrofil < 500/mm3. Singkirkan kemungkinan
malaria pada daerah endemis.
b. Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter dan
berat yang dapat menghalangi minum obat ARV (mual dan
muntah persisten).
c. ABC dipilih pada kondisi ini, tetapi bila ABC tidak tersedia
boleh digunakan AZT.
d. Substitusi d4T umumnya tidak akan menghilangkan lipoatrofi.
Pada anak ABC atau AZT dapat dianggap sebagai alternatif.
e. Pankreatitis yang dikaitkan dengan 3TC/emtricitabine(FTC)
dilaporkan pada orang dewasa, namun sangat jarang pada
anak.
Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak
f. Batasannya adalah toksisitas SSP yang berat seperti
halusinasi persisten atau psikosis.
g. Toksisitas hati yang dihubungkan dengan pemakaian NVP
jarang terjadi pada anak terinfeksi HIV yang belum mencapai
usia remaja.
h. EFV saat ini belum direkomendasikan pada anak < 3 tahun,
dan sebaiknya tidak boleh diberikan pada remaja putri yang
hamil trimester I atau aktif secara seksual tanpa dilindungi oleh
kontrasepsi yang memadai.
i. Lesi kulit yang berat didefinisikan sebagai lesi luas dengan

Catatan:
Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada
mereka yang mengalami kegagalan terapi (berdasarkan
penilaian klinis atau CD4). Resistensi terjadi karena HIV terus
berproliferasi meskipun dalam pengobatan ART. Jika kegagalan
terapi terjadi dengan pemakaian NNRTI atau 3TC, hampir pasti
terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Memilih
meneruskan NNRTI pada kondisi ini tidak ada gunanya, tetapi
meneruskan pemberian 3TC mungkin dapat menurunkan
ketahanan virus HIV.
AZT dan d4T hampir selalu bereaksi silang dan mempunyai
pola resistensi yang sama, sehingga tidak dianjurkan mengganti
satu dengan yang lainnya.
Prinsip pemilihan paduan lini kedua:
o Pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin.
o Bila kelas yang sama akan dipilih, pilih obat yang sama sekali
belum dipilih sebelumnya.
Tujuan pemberian paduan lini kedua adalah untuk mencapai
respons klinis dan imunologis (CD4), tetapi responsnya tidak
sebaik pada paduan lini pertama karena sudah terjadi resistensi
silang di antara obat ARV.
Sebelum pindah ke paduan lini kedua, kepatuhan berobat
harus benar-benar dinilai.
Anak yang dengan paduan lini kedua pun gagal, terapi

Anda mungkin juga menyukai