Anda di halaman 1dari 13

UU NO.

1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

Nama kelompok :
Lia Mitha Effendi
Nurul Adhari
Syifa Fauziyah
1. Pengertian Perkawinan
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Tujuan Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkawinan
adalah Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Hikmah Perkawinan

Hikmah dari suatu perkawinan sebagaimana tercantum di dalam UU no 1 Tahun 1974,


ialah terciptanya sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah, terjalinnya tali
persaudaraan antara pihak mempelai pria serta mempelai wanita, serta terciptanya sebuah
keluarga baru dalam sebagai pelaksanaan Ibadah kepada Allah SWT, menjalankan Sunnah

Nabinya.

4. Prinsip Perkawinan
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masuk
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan
yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami istri
yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan
masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa atas umur yang lebih rendah bagi seorang
wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.
Lanjutan.

Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk menikah
baik pria maupun bagi wanita, ialah 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam
belas) bagi wanita.

5. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan


Pencegahan perkawinan merupakan upaya untuk menghalangi suatu perkawinan
antara calon pasangan suami-istri yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila calon suami istri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhisyarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan menurut hukum islamdan peraturan perundang-undangan Pencegahan
perkawinan diatur dalam ketentuan berikut ini, yaitu:

Pasal 13 sampai dengan Pasal 21 UU Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 59 sampai dengan pasal 70 KUH Perdata

Pasal 37 PP Nomor 9 Tahun 1975


Lanjutan.

Orang yang dapat melakukan pencegahan perkawinan :

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;

Saudara;

Wali nikah;

Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan;

Ayah kandung;

Suami atau istri yang masih terkait dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri
atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan;

Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan.


6. Larangan Perkawinan
Larangan untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 12
UU Nomor 1 Tahun 1974. Ada larangan perkawinan antara laki dan wanita, yaitu:

Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas.

Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara
seseorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri

Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan
bibi/paman sususan

Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain

Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seseorang suami beristri lebih dari seorang
7. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 139 sampai
dengan pasal 154 KUH Perdata. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon
pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur
akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka akan dilangsungkan perkawinan.
Perjanjian kawin itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaries. Tujuannya adalah :
Keabsahan perkawinan
Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perkawinan itu
untuk seumur hidup.
Demi kepastian hukum
Alat bukti yang sah
Mencegah adanya penyelundupan hukum
8. Akibat Perkawinan
Di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, terdapat tiga
akibat perkawinan, yaitu:

Adanya hubungan suami-istri

Hubungan orang tua dengan anak

Masalah harta kekayaan

Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan oleh suami maka istri dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan. Di dalam pasal 103 KUH Perdata juga diatur tentang hak dan kewajiban suami-
istri. Hak dan kewajiban suami-istri sebagai berikut:

Suami adalah kepala rumah tangga

Suami harus membantu istri

Suami harus mengurus harta bawaan istri

Suami harus mengurus harta seperti bapak rumah tangga yang baik

Suami tidak boleh menbebankan/memiliki harta bawaan istri.


Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU
Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah sebagai berikut:

Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sensiri (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU nomor 1
Tahun1974)

Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 1974)

Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal 46 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974)

Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kuasa orang tua
(Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974)

Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974)

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali
kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 48 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 sampai dengan
pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu dibedakan antara
harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang
diperoleh selama perkawinan, sedangkan yang diartikan dengan harta
bawaan masing-masing suami-istri adalah harta yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan.
Harta warisan itu berada di bawah penguasaan masing-masing pihak,
sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1
Tahun 1974). Apabila perkawinan antara suami-istri putus karena perceraian,
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta bersama itu
dibagi sama rata antara suami-istri.
9. Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina
oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti
kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan
menjadi empat macam, yaitu:
Kematian salah satu pihak;
Tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru;
Adanya putusan hakim;
Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata).
10. Akibat Putusnya Perkawinan
Bila perkawinan putus karena perceraian, bekas suami-istri yang
bersangkutan yang merupakan ayah dan ibu dari anak-anaknya, tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata untuk
kepentingan anaknya. Bila terjadi perselisihan mengenai anak-anak tersebut,
pengadilan memberikan keputusan ikut bersama siapa anak-anak itu (Pasal 1
ayat 1).
Meskipun anak-anak itu ikut bersama ibunya, tetapi ayahnya bertanggung
jawab sepenuhnya atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-
anaknya. Kecuali bilamana ayah dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut (Pasal 4 ayat 2).
Pengadilan dapat juga mewajibkan bekas suami untuk memberi biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya
(Pasal 41 ayat 3).
Kemudian mengenai harta bersama akibat putusya perkawinan,
sebagaimana telah diterangkan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal
37 menyerahkan pengaturannya kepada masing-masing yaitu hukum agama,
hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai