Anda di halaman 1dari 79

CSS

DIFTERI, PERTUSIS, TETANUS

Preeptor:
dr Zulmansyah., Sp.A ., M.kes

Rezi Nurul Ilman Maulani 12100116228


DIFTERI
Definisi :
Suatu penyakit infeksi akut yang sangat
menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae
dengan ditandai pembentukan pseudo-membran
pada kulit dan/atau mukosa.
Etiologi
Corynebacterium diphteriae :
Batang Gram-positif
Tidak bergerak dan tidak berkapsul
Tidak membentuk spora
Tahan dalam keadaan beku dan kering
Tumbuh secara aerob
3 Tipe C. Diphtheriae :
Tipe Gravis
Tipe Intermedius
Tipe Mitis
Ciri khas C. diphtheriae : kemampuan memproduksi
eksotoksin baik in vivo maupun in vitro.
Kemampuan suatu strain untuk membentuk toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag.
Epidemiologi
Difteria tersebar luas di dunia, angka kejadian
menurun setelah penggunaan toksoid difteria.
80% kasus terjadi dibawah 15 tahun.
Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat,
nutrisi yang jelek, faktor penting terjadinya
penyakit ini.
Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan
pasien atau karier melalui droplet ketika batuk,
bersin, atau berbicara.
Patogenesis dan Patofisiologi
C. Diphtheriae ditularkan melalui kontak langsung melalui
batuk, bersin, dan berbicara atau kontak tidak langsung
melalui debu dan baju yang terkontaminasi masuk ke
dalam hidung atau mulut bertumbuh dan berkembang
pada mukosa saluran napas atas (tonsil, konjungtiva) basil
kemudian memproduksi eksotoksin menyebar ke sekeliling
mukosa ( masa inkubasi 2-6 hari) toksin ke pembuluh limfe
dan pembuluh darah ( ke seluruh tubuh), sebelum toksin
terfiksasi di dalam sel terdapat masa laten sebelum gejala
muncul seperti miokarditis (10-14 hari) dan gangguan ke
saraf (3-7 minggu)
Patogenesis dan Patofisiologi
Efek toksin menghambat pembentukan protein dalam sel
mula2 menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B selanjutnya fragmen A akan masuk
mengakibatkan inaktivasi enzim translokaseproses
translokasi tidak berjalan tidak terbentuk rangkaian
polipeptida sel akan mati (nekrosis tampak jelas di
kolonisasi kuman) respon tubuh terjadi inflamasi lokal
bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat produksi toksin semakin banyak dan daerah infeksi
semakin lebar dan terbentuk eksudat fibrin selainn fibrin,
membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit, dan epitel
bila dipaksa melepaskan membran terjadi perdarahan
membran dapat terlepas sendiri pada masa penyembuhan
Manifestasi Klinis
Manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari
asimptomatik sampai simptomatik yang hipertoksik
serta fatal.
Sebagai faktor primer : imunitas pejamu terhadap
toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
Diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin),
dan lokasi penyakit secara anatomi.
Demam jarang > 38,9 C
Keluhan serta gejala lain tergantung lokalisasi
penyakit difteria.
Difteria Hidung
Awalnya menyerupai common cold,
gejala pilek ringan tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan.
Sekret hidung menjadi
serosanguinus dan kemudian
mukopurulen, sehingga lecet pada
nares dan bibir atas
Membran putih pada septum nasi.
Gejala sistemik yang timbul tidak
nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat.
Difteria Tonsil Faring
Anoreksi dan Malaise
Demam ringan
Nyeri menelan
1-2 hari : membran yang melekat, berwarna putih-
kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring,
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah
laring dan trakea.
Limfadenetis servikalis dan submandibularis.
Bullneck : limfadenitis dan edema jaringan lunak
terjadi secara bersamaan.
Cont..
Kasus ringan
Membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan terjadi
penyembuhan sempurna.
Kasus sedang
Penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa
disertai miokarditis atau neuritis.
Kasus berat : kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral,
disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.
Stupor, koma, kematian bisa terjadi pada 7-10 hari.
Difteria Laring
Perluasan difteria faring.
Nafas berbunyi.
Stridor yang progresif.
Suara parau dan batuk kering.
Obstruksi laring : terdapat retraksi suprasternal,
interkostal, dan supraklavikular.
Kasus berat : dapat meluas ke percabangan
trakeobrankial.
Difteria kulit, vulvovaginal,
konjungtiva dan telinga
Tipe difteria yang tidak lazim (unusual).
Difteria kulit : tukak di kulit, tepi jelas, dan terdapat
membran pada dasarnya.
Difteria mata : lesi konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan lesi pada konjungtiva palpebra.
Difteria telinga : otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau.
Diagnosis
Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis.
Isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada
media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenisitas secara in vivo (marmut) dan in vitro
(tes eflek).
Diagnosis Banding
Difteria Hidung : rhinorrhea ( common cold, sinusitis,
adenoiditis) dan benda asing dalam hidung.
Difteria Faring : Tonsilitis membranosa akut e.c
Streptokokus ( tonsilitis akut, septic sore throat) dan
tonsilitis membranosa non-bakterial.
Difteria Laring : gejala difteria laring menyerupai
laringitis, infectious croups yaitu spasmodic croups.
Difteria Kulit : impetigo dan dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.
Pengobatan
Tujuan : Menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeleminasi C.
diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Pengobatan
Umum :
Pasien tetap di isolasi selama 2-3 minggu
Istirahat tirah baring selama 2-3 minggu

Pemberian cairan serta diet yang adekuat

Khusus pada difteria laring, dijaga agar nafas tetap


bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier
Pengobatan
Khusus
Antitoksin : Anti diphtheria serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah ditegakan
difteria
Sebelum pemberian ADS dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, mencegah terjadi reaksi anafilaksis.
Uji kulit : 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1000 secara intrakutan. Hasil (+) 20 menit terjadi
indurasi > 20 menit.
Uji mata : meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam
nacl fisiologis. (+) 20 menit terdapat hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi.
Dosis ADS dan Cara Pemberian

Difteria Hidung 40.000 Intramuscular


Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 100.000-120.000
Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 100.000-120.000
Pengobatan
Khusus
Antibiotik

Untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi


toksin.
Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/KgBB/hari
selama 10 hari.
Jika hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin
40mg/KgBB/hari
Pengobatan
Khusus
Kortikosteroid

Jika disertai gejala :


Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai/tidak
bullneck)
Prednison 2mg/kgBB/ hari selama 2 minggu kemudian di
turunkan dosisnya bertahap
Pengobatan
Pengobatan kontak
Biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria.
Pengobatan karier
Karier : tidak menunjukan keluhan, mempunyai uji Schick
(-), tapi terdapat basil difteria dalam nasofaring.
Penisilin 100mg/kgBB/hari oral/suntikan atau

Eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu


Pencegahan
Umum
Menjaga kebersihan
Edukasi tentang bahaya difteria bagi anak dan
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah
sehingga perlu imunisasi
Khusus
Imunisasi DPT dan pengobatan karier.
Pencegahan
Komplikasi
Infeksi sekunder pada anak. Panas tinggi terutama didapatkan
pada penderita difteri dengan infeksi sekunder dengan
streptokokus.
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas
oleh membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil,
faring, daerah submandibular dan servical.
Miokardiopati toksik terjadi pada sekitar 10-25% penderita
dengan difteri dan menyebabkan 50-60% kematian.
Neuropati toksik, Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai
radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal
palatum molle.
Prognosis
Prognosis setelah ditemukannya ADS dan antibiotik
lebih baik dari sebelumnya
Menurut krugman, kematian mendadak karena
Obstruksi jalan nafas mendadak akibat terlepasnya
membran difteria
Miokarditis dan gagal jantung

Paralisis diafragma akibat neuritis nervus nefrikus


Imunisasi
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari
ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan.
Suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-
3 minggu.
Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif
yang nyata (inapparent infection) serta imunisasi
toksoid.
Imunitas terhadap difteri dapat di ukur dengan uji
schick.
Imunitas
Uji kepekaan schick untuk menentukan kerentanan
(suseptibilitas) seseorang terhadap difteria.
Menyuntikan toksin difteria yang dilemahkan secara
intrakutan.
Bila tidak terdapat kekebalan (tidak mempunyai
antitoksin, toksin akan menimbulkan nekrosis
jaringan. Maka hasil positif (+).
Bila terdapat antitoksin, tidak menimbulkan reaksi,
hasil negatif (-).
Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

Biakan Uji Schick Tindakan

Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar


(-) (-)
diberikan booster toksoid difteria
Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
(+) (-) oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1
minggu
Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin
(+) (+)
40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status
(-) (+)
imunisasi
Tetanus
Definisi :
Penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran.
Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,
tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin)
yang dihasilkan oleh kuman pada :
sinapsganglion sambungan sumsum tulang belakang
Neuromuskular junction
Saraf autonom
Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin yaitu Clostridium
tetani:
Kuman berbentuk batang
Basil gram positif dengan spora pada ujungnya

Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila dalam


lingkungan anaerob) dan bergerak menggunakan
flagel
Menghasilkan eksotoksin yang kuat

Membentuk spora yang mampu bertahan dalam suhu


tinggi, kekeringan dan desinfektan.
Epidemiologi
Tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal
Tingkat pencemaran biologik lingkungan
peternakan / pertanian
Adanya luka pada kulit dan mukosa
Angka kejadian laki-laki > perempuan, akibat
perbedaan aktivitas fisiknya
Spora kuman Cl. Tetani yang tahan terhadap
kekeringan dapat bertebaran di debu jalanan.
Port dentry tidak selalu dapat diketahui dengan
pasti, namun diduga melalui :
Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan
binatang, luka bakar yang luas.
Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridement)
dengan baik.
Otitis media, karies gigi.

Pemotongan tali pusat yang tidak steril.


Patogenesis
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam
lingkungan anaerobik menjadi bentuk vegetatif dan
berbiak cepat sambil menghasilkan toksin dalam jaringan
anaerob terdapat penurunan potential oksidasi reduksi
jaringan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya
nanah, nekrosis jaringan, atau akibat adanya benda asing
(bambu, pecahan kaca).
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat
luka lewat motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke
kornu anterior sumsum belakang dan menyebar ke seluruh SSP.
Patogenesis
Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama
serabut motor reseptor khusus pada ganglion
menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat
melalui proses perlekatan dan internalisasi toksin diangkut
ke arah sel secara ekstra aksional perubahan potensial
membran dan gangguan enzim kolin esterase tidak aktif
kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang
terkena toksin yang menyebabkan blokade menyalurkan
impuls pada tonus otot tonus otot menjadi meningkat dan
menimbulkan kekakuan.
Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan kejang.
Dampak Toksin
Pada otak, toksin yang menempel pada cerebral
gangliosides menyebabkan kekakuan dan kejang
yang khas pada tetanus.
Pada saraf autonom, terutama mengenai saraf
simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang
berlebih, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia.
Pada sumsum tulang belakang, eksotoksin memblok
sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan
dan koordinasi impuls sehingga tonus otot
meningkat dan otot menjadi kaku.
Diagnosis
Anamnesis :
Dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang
terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang?
Pernah keluar nanah dari telinga?

Menderita gigi berlobang?

Sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan


imunisasi yang terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama
(trismus atau spasme lokal) dengan kejang yang
pertama (period of onset)
Diagnosis
Pemeriksaan fisis
Trismus

Risus sardonicus
Opistotonus

Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti


papan
Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang umum
yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang
misalnya dicubit, terkena sinar yang kuat. Lambat laun
masa istirahat kejang makin pendek sehingga anak
jatuh dalam status konvulsivus.
Tetanus Ringan
Kekakuan yang tampak jelas hanya trismus, tanpa
disertai kejang rangsang.
Tetanus Sedang
Anak kaku tanpa kejang spontan tetapi masih dijumpai
kejang rangsang)
Tetanus Berat
Anak kaku dan kejang spontan (kejang terjadi tanpa
rangsangan).
Pemeriksaan Lab
Hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas;
Likuor serebrospinal normal;

Jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat.


Diagnosis Banding
Meningitis, Tetani :
meningoensefalitis, karena hipokalsemia,
ensefalitis. klinis spasme karpopedal
Pada ketiga diagnosis
tersebut tidak dijumpai
trismus, risus sardonikus,
dijumpai gangguan
kesadaran dan kelainan
liquor serebrospinal.
Diagnosis Banding
Rabies : Trismus karena proses
Anamnesis diketahui lokal, biasanya asimetris.
digigit binatang pada seperti :
waktu epidemi, gejala Mastoiditis,
hidrophobia dan OMSK,
kesukaran menelan. abses tonsilar,
Pengobatan
Umum :
Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi.
Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang
berat perlu trakeostomi.
Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).

Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port


dentree, diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT.
Mengurangi spasme dan mengatasi kejang.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa
menekan pusat kortikal.
Dosis : 0,1-0,3 mg/KgBB iv dengan interval 2-4 jam.
Diazepam per rectal :
BB < 10 kg = 5mg atau BB > 10kg = 10 mg.
Rumatan :
setelah kejang berhenti dilanjutkan dosis rumatan sesuai dengan
kondisi klinis pasien.
Alternatif lain, untuk bayi dosis inisial 0,1-0,2 mg/KgBB iv untuk
menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-
40mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diturunkan 5-10 mg/
hari.
Pengobatan
Khusus
Antibiotik
Lini pertama : metronidazol iv/oral dengan dosis inisial 15
mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan
interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Lini kedua : penisilin prokain 50.000-100.000/ kgBB/ hari
selama 7-10 hari, jika hipersensitifitas dapat diberikan
tetrasiklin 50mg /kgBB/ hari (untuk anak berumur > 8
tahun)
Anti Serum
Dosis ATS dianjurkan 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan
50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi
anafilaksis.
Menajemen Tetanus
Eradikasi bakteri penyebab Pembersihan Luka
Antibiotik - Metronidazol 15-30 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis
(maks 2gr/hari), selama 7-10 hari. Alternatif :
- Penisilin G 100.000-250.000 IU/KgBB/hari i.v. atau
i.m terbagi 4, eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol,
dan klindamisin

Antitoksin Antitoksin kuda atau manusia - Human tetanus immune globulin (100-300 IU/KgBB
Netralisasi terhadap luka i.m)
- Antitetanus serum (ATS) 50.000-100.000 IU, i.m
dan i.v (terlebih dahulu dilakukan tes kulit)

Terapi suportif selama fase akut Kontrol spasme otot - Diazepam (i.v bolus) 0,1-0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap
2-4 jam
- Dosis maksimal adalah 40mg/KgBB/hari
- Dalam keadaan berat diazepam drip 20
mg/kgBB/hari dirawat di PICU
- Dosis pemeliharaan 8 mg/KgBB/hari p.o. dibagi
dalam 6-8 dosis.
- Midazolam (i.v. infus/bolus)
Pemeliharaan jalan napas Trakeostomi
Pemeliharaan hemodinamik Penggantian volume yang cukup
Bila terjadi aktivitas simpatis berlebihan diberikan beta
blocker seperti propanolol atau dan bloker labetolol

Rehabilitasi Nutrisi
Fisioterapi
Imunisasi Terapi penuh dari tetanus
Desensitisasi cara Bedreskad

Pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif


terhadap penyuntikan langsung, tetapi tidak dapat
diberi HTIG karena suatu hal.
Dalam hal ini wajib memberikan ATS dengan
pertimbangan kemungkinan terjadinya tetanus
pada luka besar. Pada cara Bedreska ini,
pengawasan dilakukan bertahap. Bila timbul
reaksi hebat, pemberian tidak boleh diteruskan.
Desensitisasi cara Bedreskad

Cara pemberiannya sebagai berikut :


1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 %
disuntikkan secara subkutan tunggulah selama 30 menit.
2. Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5
cc akuades atau NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah
30 menit. Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda tanda
penderita hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik),
hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta
kortikosteroid. Rawat penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa
serum dapat disuntikkan secara intramuskuler.
Desensitisasi cara Bedreskad

Cara pemberiannya sebagai berikut :


1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 %
disuntikkan secara subkutan tunggulah selama 30 menit.
2. Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5
cc akuades atau NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah
30 menit. Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda tanda
penderita hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik),
hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta
kortikosteroid. Rawat penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa
serum dapat disuntikkan secara intramuskuler.
Profilaksis

Mendapat IA yang lengkap


Jenis Luka Belum IA atau sebagian
1 5 tahun 5 10 tahun > 10 tahun

Ringan, bersih Mulai atau melengkapi IA Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc


toks. 0,5 cc hingga lengkap

Berat, bersih, atau ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
cenderung tetanus
Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc

Cenderung tetanus, ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
debrimen terlambat,m atau
Toks. 0,5 cc ABT Toks. 0,5 cc
tidak bersih
Hingga lengkap ABT ABT
Profilaksis
Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus
Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak anak dosis ATS = dosis
dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai
untuk Clostridium tetani
Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,
bronkopneumonia dan sepsis.
Komplikasi terjadi karena gangguan pada sistem respirasi
antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya
karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak.
Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi
pneumonia atau atelektasis.
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi,
bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan
syok.
Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis.
Prognosis
Prognosis ditentukan oleh masa inkubasi, period of
onset, jenis luka, dan keadaan status imunitas
pasien.
Makin pendek masa inkubasi makin buruk
prognosis, makin pendek period of onset makin
buruk prognosis.
Letak, luas kerusakan jaringan dan jenis luka
menentukan prognosis.
Sistem skoring bleck
Skor 1 Skor 0
Masa inkubasi 7 hari 7 hari
Awitan penyakit 48 jam 48 jam
Tempat masuk Tali pusat, Uterus, Fraktur terbuka, Selain tempat tersebut
post operatif, bekas suntikan IM
(+)
Spasme 38,4 ( 40) (-)
Panas badan (per rektal) 120x/menit 38,4 ( 40)
Takikardi dewasa 150x/menit 120x/menit
Takikardi neonates 150x/menit

Tingkat Skor Prognosis (%)


Ringan 0-1
Sedang 2-3 10-20
Berat 4 20-40
Sangat berat 5-6 50
Pencegahan
Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada
luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar
dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob.
Pemberian ATS dan toksoid
Profilaksis
dengan pemberian ATS hanya efektif pada
luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus dilanjutkan
dengan imunisasi aktif.
Imunisasi aktif
DPT, DT atau toksoid tetanus.
Pertusis
Definisi
Penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak
yang belum di imunisasi atau orang dewasa dengan
kekebalan yang kuat.
Whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di
Cina disebut batuk seratus hari.
Whooping cough : batuk bersifat spasmodik dan
paroksismal disertai nada yang meninggi, karena
pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga
pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas.
Etiologi
Penyebab pertusis Bordetella pertussis
Kokobasilus;

Gram negatif;
Kecil, ovoid;

Panjang 0,5-1 m dan diameter 0,2-0,3 m;

Tidak bergerak dan tidak berspora.


Epidemiologi
Penyakit yang paling menular dan menimbulkan
attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan.
Ditularkan melalui udara secara kontak langsung
yang berasal dari droplet penderita selama batuk.
Penyakit endemik.
Di amerika serikat :
35% kasus terjadi pada usia < 6 bulan;
45% kasus terjadi pada usia < 1 tahun;

66% kasus terjadi pada usia < 5 tahun.


Patogenesis
Bordtella pertussis ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
melekat pada silia epitel saluran pernafasan
bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel
saluran pernafasan menghasilkan toksin (pertussis toxin)
whooping cough toksin pertusis sub unit a menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi
peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid peri
bronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan
silia fungsi silia terganggu mudah terjadi infeksi sekunder
(Streptococcus pneumoniae, H. Influenzae, Staphylococcus
aureus) penumpukan mukus menimbulkan plug obstruksi
dan kolaps paru hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh
gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan
apnea saat terserang batuk.
Gejala klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari;
Perjalanan penyakit berlangsung antara 6-8
minggu atau lebih.
Perjalanan klinis dalam 3 stadium :
Stadium kataralis (prodormal, preparoksimal);
Stadium akut paroksismal ( paroksismal, spasmodik);

Stadium konvalesens.
Gejala Klinis
Gejala pada anak < 2 Gejala pada anak > 2
tahun : tahun atau yang lebih
Batuk paroksismal (100%); besar :
Whoops (60-70%); Lebih ringan dan lama sakit
Emesis (66-80%); lebih pendek;
Dispnea (70-80%); Kejang jarang pada anak
> 2 tahun;
Kejang (20-25%).
Suhu jarang > 38,4C
Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal :
Rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih;
Injeksi pada konjungtiva;

Lakrimasi;

Batuk ringan;

Panas tidak begitu tinggi;

Stadium ini diagnosis belum dapat ditegakkan karena


susah dibedakan dengan common cold.
Stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam
inti droplet dan anak sangat infeksius.
Stadium paroksismal / spasmodik
(2-4 minggu)
Frekuensi dan derajat Selama serangan :
batuk bertambah; Muka merah dan
Khas terdapat sianosis;
pengulangan 5-10 kali Mata menonjol;

batuk kuat selama Lidah menjulur;

ekspirasi yang diikuti Lakrimasi dan salivasi ;

oleh usaha inspirasi Peteki di wajah


masif yang mendadak (terutama di konjungtiva
dan menimbulkan bunyi bulbi).
melengking (whoop);
Stadium paroksismal / spasmodik
(2-4 minggu)
Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas;
Apatis;
Berat badan menurun;
Batuk mudah dibangkitkan dengan stress emosional
(menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik.
Stadium Konvalesen (1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai :
Berhentinya
whoop dan muntah;
Serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun.

Batuk masih menetap dan menghilang 2-3 minggu;


Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa
bulan.
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat kontak dengan pasien pertusis;
Serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop
yang jelas;
Riwayat imunisasi.

Pemeriksaan fisis
Tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
Pemeriksaan Lab
Leukositosis 20.000-50.000 / UI
Diagnosis
Biakan positif pada : IgG tokin pertusis
stadium kataral 95- Tes yang paling sensitif
100%; dan spesifik untuk
Stadium paroksismal mengetahui infeksi alami
94% pada minggu ke-3. dan tidak tampak
setelah imunisasi pertusis.
Serologi terhadap
antibodi toksin pertusis : Foto thoraks
Untuk stadium lanjut. Infiltrat
perihiler,
atalektasis/empiema.
Diagnosis Banding
Batuk spasmodik pada bayi :
Bronkiolitis;

Penumonia bakterial;
Sistik fibrosis;

Tuberkulosis;

Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan


adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.
pertussis.
Pengobatan
Pemberian antibiotik Terapi suportif untuk
tidak memperpendek menghindari faktor
stadium paroksismal. yang menimbulkan
Eritromisin serangan batuk,
(50mg/KgBB/hari) atau mengatur hidrasi, dan
ampisilin nutrisi.
(100mg/kgBB/hari) Oksigen pada distress
dapat meng-eliminasi pernafasan yang akut
organisme dari dan kronik.
nasofaring dalam 3-4
hari.
Pengobatan
Eritromisin dapat mengeleminasi pertusis bila
diberikan pada pasien dalam stadium kataral
sehingga memperpendek periode penularan.
Rekomendasi Pemberian Antimikrob dan Profikasis Pertusis

Usia Eritromisin Azitromisin Klaritromisin Alternative: Trimetoprim,


Sulfametosazol
Remaja 2g/hari terbagi 4 500mg dosis 1g/hari terbagi 2 dosis TMP 300mg/kgBB/hari
dosis selama 14 hari tunggal pada hari selama 7 hari SMX 1600mg/kgBB/hari
ke-1, kemudian terbagi 2 dosis selama 14
250mg dosis hari
tunggal pada hari
ke-2-5
Usia Eritromisin Azitromisin Klaritromisin Alternative: Trimetoprim,
Sulfametosazol
1 bulan - 10mg/kgBB/hari Tidak Kontraindikasi untuk usia
dosis tunggal selama direkomendasikan 2 bulan
5 hari

1-5 bulan 40-50mg/kgBB/hari s.d.a 15mg/kgBB/hari Usia 2 bulan: TMP


terbagi 4 dosis terbagi 2 dosis selama 8mg/kgBB/hari;SMX
selama 14 hari 7 hari 40mg/kgBB/hari terbagi 2
dosis selama 14 hari

6 bulan s.d.a (maks. 2g/hari) 10mg/kgBB dosis s.d.a s.d.a


tunggal pada hari
ke-1(maks. 500mg);
kemudian
5mg/kgBB/hari dosis
tunggal pada hari
ke-2-5 (maks.
250mg/hari)
Komplikasi
B.Pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder
(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90%
kematian pada anak-anak.
Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan
mukus yang kental.
Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur
alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks.
Otitis media oleh S.pneumonia.
Perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,
perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis
dan inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.
Pencegahan
Imunisasi aktif Jika prevalensi pertusis di
Diberikan vaksin pertusis masyarakat tinggi,
dari kuman B. Pertusis imunisasi dapat dimulai
yang telah dimatikan pada umur 2 minggu
untuk mendapatkan dengan jarak 4 minggu.
kekebalan aktif. Kontraindikasi :
Dosis imunisasi dasar Anak yang mengalami
dianjurkan 12 IU dan ensefalopati dalam 7 hari
diberikan 3 kali sejak sebelum imunisasi;
umur 2 bulan, dengan Kejang demam atau
jarak 8 minggu. kejang tanpa demam
dalam 3 hari sebelum
imunisasi.
Pencegahan
Eritromisin efektif untuk Booster tidak
pencegahan pertusis diperlukan jika telah
pada bayi baru lahir imunisasi dalam 6
dari ibu dengan bulan terakhir, juga
pertusis; diberikan eritromisin
Kontak erat pada 50 mg/kgBB/24 jam
anak usia < 7 tahun dalam 2-4 dosis
yang sebelumnya telah selama 14 hari; Kontak
diberikan imunisasi erat pada usia >7
hendaknya diberi tahun diberikan
booster; eritromisin sebagai
profilaksis.
Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua
mempunyai prognosis lebih baik.
Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan
ensefalopati.
Pada observasi jangka panjang, apneu atau kejang
akan menyebabkan gangguan intelektual di
kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai