Anda di halaman 1dari 12

Program penanggulangan TB di

Indonesia

Disusun Oleh Kelompok 3:

Abdurrahman Nata Negara

Annisa Nur Ichsan

Ferdita Debi Kurniawati

Jacky Alfredo Dama

Jayanti Bastara Dewi

Rofiqoh Khalidazia
Visi, Misi, Tujuan dan
Kebijakan

Visi :
Tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan di
masyarakat
Misi :
Menetapkan kebijakan, memberikan panduan serta
membuat evaluasi secara tepat, benar dan lengkap.
Menciptakan iklim kemitraan dan transparansi pada upaya
penanggulangan penyakit tuberkulosis
Mempermudah akses pelayanan penderita TB untuk
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar
mutu
Tujuan :

a. Jangka panjang

Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian dengan cara

memutus rantai penularan.

b. Jangka pendekTercapainya angka kesembuhan minimal 85%

dari semua penderita TB

Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap


Kebijakan Operasional :
Dilaksanakan secara desentralisasi
Dilaksanakan di seluruh unit pelayanan kesehatan
Prioritas ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, penggunaan obat rasional dan paduan obat
sesuai dengan strategi DOTS
Target program pengobatan intensif minimal 80%,
angka kesembuhan minimal 80%
Pemeriksaan dahak yang bermutu
OAT secara cuma-Cuma
Pemantauan, supervisi, dan evaluasi program
Menggalang kerjasama dan kemitraan dengan
program terkait, sektor pemerintah, dan swasta
Pengendalian TB
Nasional

Sejarah Pengendalian TB Nasional

Inisiasi pengendalian TB di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa

pra-kemerdekaan. Terdapat empat tonggak penting yang

menandai perkembangan implementasi dan pencapaian program

pengendalian TB
Organisasi Program
Pengendalian TB
Nasional

Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di


Indonesia secara administratif berada di bawah dua
Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan, yaitu Bina
Upaya Kesehatan, dan P2PL (Subdit Tuberkulosis yang
bernaung di bawah Ditjen P2PL). Pembinaan Puskesmas
berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan
merupakan tulang punggung layanan TB dengan arahan
dari subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah
sakit berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan.
Pelayanan TB juga diselenggarakan di praktik swasta, rutan/lapas,
militer dan perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak
berada di dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian
kerja sama antar Ditjen dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB
sangat diperlukan dalam menerapkan program pengendalian TB
yang terpadu.
Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang
punggung dalam program pengendalian TB. Setiap
kabupaten/kota memiliki sejumlah FPK primer berbentuk
Puskesmas, terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM),
Puskesmas Satelit (PS) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM).
Pada saat ini Indonesia memiliki 1.649 PRM, 4.140 PS dan 1.632
PPM.
Kemitraan

Mitra TB adalah setiap orang atau kelompok yang memiliki


kepedulian, kemauan, kemampuan dan komitmen yang
tinggi untuk memberikan dukungan serta kontribusi pada
pengendalian TB dengan berperan sesuai potensinya.
Potensi tersebut dimanfaatkan secara optimal untuk
keberhasilan pengendalian TB. Setiap mitra harus memiliki
pemahaman yang sama akan tujuan kemitraan TB, yakni
terlaksananya upaya percepatan pengendalian TB secara
efektif, efisien dan berkesinambungan.
Pembiayaan dan Regulasi Dalam
Pengendalian TB

Komitmen pemerintah dalam pembiayaan kesehatan untuk


program TB semakin meningkat. Pada tahun 2009, alokasi
anggaran kesehatan pemerintah untuk operasional program
TB sebesar 145 milyar rupiah, meningkat 7,1%
dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 135 milyar rupiah.
Meskipun meningkat, akan tetapi kontribusi pemerintah
tersebut hanya mencukupi 23,4% dari total kebutuhan satu
tahun sebesar 621,5 milyar rupiah
Peningkatan kebutuhan anggaran untuk program
pengendalian TB di Indonesia dipicu oleh keinginan untuk
percepatan dalam pencapaian target pembangunan
milenium
Manajemen Program
Pengendalian TB

Keberhasilan ekspansi strategi DOTS di Indonesia membutuhkan


dukungan manajerial yang kuat. Desentralisasi pelayanan
kesehatan berpengaruh negatif terhadap kapasitas sumber daya
manusia dan pengembangan program pengendalian TB.
Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih
kurang 24% staf TB di rumah sakit telah dilatih, program TB
harus tetap melakukan pengembangan sumber daya manusia
mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi.
Tantangan baru yang harus dihadapi oleh program TB
meningkatkan kebutuhan akan pelatihan strategi DOTS maupun
kebutuhan akan pelatihan dengan topik baru seperti halnya tata
laksana MDR-TB, PAL, PPI TB, dan lainnya
Riset Operasional
TB

Salah satu pencapaian pada kurun waktu 2006-2010 adalah


kegiatan operational research dan kelompok kerja riset operasional
TB, sosialisasi riset operasional TB ke berbagai pihak pemangku
kepentingan, pelatihan dan lokakarya riset operasional TB secara
intensif, baik untuk pengembangan proposal maupun penulisan
laporan penelitian, serta kajian dan telaah berbagai proposal riset
operasional TB.
. Tantangan utama dalam riset operasional TB adalah menyusun
agenda prioritas riset operasional TB serta mendorong
pemanfaatan informasi yang dihasilkan secara strategis dalam
proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam
program pengendalian TB nasional.

Anda mungkin juga menyukai