Anda di halaman 1dari 20

Kerajaa Singasari

Kelompok : Ferdian Bobi Dwianto


Muhammad Toyiba Fitrianto
Andi Triono Sitohang
Muhammad Asdar
Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur yang
didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang
diperkirakan di daerah Singosari, Malang. Kerajaan Singasari hanya sempat
bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota di
Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel
hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan
Kadiri dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dibunuh
oleh Ken Arok yang merupakan pengawalnya.
Keberadaan Kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak
ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui
kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama
karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di
Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang
penuh keajaiban. Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau
dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat
diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu
(Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena
tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan
melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh
Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta
perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken
Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada
pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja
Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Singasari adalah nama dari sebuah daerah yang terletak di sebelah timur
Gunung Kawi di hulu sungai Brantas. Saat ini daerah tersebut termasuk ke
dalam wilayah Kabupaten Malang di Propinsi Jawa Timur Indonesia. Pada abad
ke-13, Singasari hanya merupakan sebuah desa kecil yang tidak berarti.
Keadaan ini lambat laun berubah bertepatan dengan munculnya seorang
pemuda bernama Ken Arok dari desa Pangkur, yang berhasil merebut daerah
tersebut dari wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri yang saat itu diperintah oleh
Raja Kertajaya pada tahun 1222 Masehi. Sejak saat itu ia mendirikan kerajaan
yang berpusat di desa Kutaraja serta mengambil nama gelar kebangsawanan
sebagai Rajasa Sang Amurwabhumi. Baru kemudian pada tahun 1254 Masehi,
wilayah tersebut diganti nama dengan nama Singasari oleh cucunya yang
bergelar Jaya Wisnuwardhana. Singasari menjadi kota kerajaan yang
menguasai wilayah Jawa bagian Timur dari tahun 1222 sampai 1292 Masehi.

Kerajaan Singasari memiliki keterkaitan dengan kerajaan Majapahit yang


didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya pada tahun 1293 Masehi.
Sanggramawijaya atau yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai Raden
Wijaya adalah cucu dari Narasingamurti dan menantu dari Raja Kertanegara.
Kertanegara adalah raja Singasari terakhir yang meninggal terbunuh dalam
peperangan melawan tentara pemberontak yang mengatas namakan Kerajaan
Kediri di bawah pimpinan Jayakatwang. Raden Wijaya secara resmi menjadi
raja Majapahit setelah berhasil mengalahkan tentara Jayakatwang yang telah
merebut Singasari. Raden Wijaya melakukannya dengan bantuan tentara
Tartar dari China yang awalnya datang ke Jawa untuk tujuan menaklukkan
Singasari yang ternyata sudah terlebih dahulu diruntuhkan oleh Jayakatwang.
Kisah tentang kerajaan Singasari, pertama kali disiarkan dalam karya J.L.A.
Brandes, Pararaton of het boek der konigen van Tumapel en van Majapahit
uitgegeven en toegelicht, di tahun 1896. Dalam karya tersebut J.L.A. Brandes
membahas tentang kisah pendiri Singasari sebagaimana tertulis di dalam Serat
Pararaton atau yang juga disebut sebagai Katuturanira Ken Arok. Dimulai
dengan cerita tentang Ken Arok yang kemudian menjadi pendiri kerajaan
Tumapel dan mengambil nama abhiseka Rajasa Sang Amurwabhumi setelah
mengalahkan Raja Kertajaya dari Kediri. Sejak saat itu, cerita Ken Arok mulai
dikenal di lingkungan kesejarahan Indonesia.

Pararaton adalah manuskrip jawa kuno yang ditulis dalam bentuk dongeng
yang berbeda dengan bentuk tulisan sejarah. Oleh karena itu beberapa ahli
sejarah menolak kebenaran naskah tersebut. Namun, perlu diperhatikan
bahwa cerita itu tidak diperuntukkan bagi para ahli sejarah, melainkan bagi
masyarakat Jawa Kuno yang pada saat itu banyak mendapat pengaruh dari
kepercayaan Hindu. Maka dengan sendirinya, manuskrip tersebut dikisahkan
sesuai dengan alam pikiran masyarakat yang membacanya. Ajaran hinduisme,
meliputi diantaranya dewa-dewa, titisan, karma dan yoga. Ajaran itu
mempengaruhi alam pikiran masyarakat Jawa dan kesusasteraannya.
Pararaton adalah hasil sastra dari zaman itu, maka dengan sendirinya sastra
Pararaton juga bersudut pandang ajaran Hinduisme.

Berikut ini adalah ringkasan cerita tentang Ken Arok sebagaimana tertulis di
dalam naskah Pararaton.

Bhatara Brahma berjinak-jinak dengan Ken Ndok di lading Lalateng,


kemudian berpesan agar Ken Ndok jangan lagi berkumpul dengan suaminya.
Larangan Dewa Brahma itu mengakibatkan perceraian dengan suaminya Ken
Ndok, Gajah Para. Ken Ndok pulang ke Desa Pangkur, diseberang utara sungai;
Gajah Para kembali ke Desa Campara, di seberang selatan. Lima hari kemudian,
Gajah Para meninggal, konon karena ia melanggar larangan Dewa Brahma dan
karena anak yang masih di dalam kandungan. Setelah sampai bulannya, Ken
Ndok melahirkan bayi laki-laki, yang segera dibuang di kuburan akibat
menanggung malu. Pada malam harinya, seorang pencuri bernama Lembong
tercengang melihat sinar berpancaran di kuburan tersebut. Saat sinar itu
didekatinya nampaklah seorang bayi sedang menangis. Karena kasihan maka
bayi tersebut dibawanya pulang. Segera tersiar kabar bahwa Lembong
mempunyai anak pungut berasal dari kuburan. Mendengar kabar itu, Ken Ndok
dating mengunjungi Lembong dan mengaku bayi itu anaknya, lahir dari
kekuasaan Bhatara Brahma. Anak itu diberi nama Ken Arok.

Ken Arok tinggal di desa Pangkur sampai dapat menggembalakan kerbau,


namun ia suka berjudi. Harta kekayaan Ayah pungutnya habis diperjudikan.
Ketika ia disuruh menggembalakan kerbau kepala desa Lebak, kerbau itupun
diperjudikannya juga. Akibatnya ayah pungutnya harus membayar uang ganti
rugi. Karena kesal, Ken Arok pun diusir dari rumah. Ditengah jalan ia bertemu
dengan Bango Samparan, penjudi dari Desa Karuman. Ken Arok dibawa ke
tempat perjudian. Pada waktu itu Bango Samparan menang; menurut
anggapannya berkat kehadiran Ken Arok. Oleh karena itu Ken Arok diajaknya
pulang dan dijadikan anak pungut istri tua Bango Samparan yang kebetulan
mandul. Di Karuman, Ken Arok merasa kesepian, karena ia tidak dapat bergaul
dengan anak-anak Tirtaja, istri muda Bango Samparan. Kemudian ia pergi dan
bertemu dengan Tita, anak Sahaja, kepala desa Siganggeng dan belajar
bersama pada seorang guru bernama Janggan. Di rumah Janggan, ia
menunjukkan kenakalannya. Buah jambu milik Janggan yang masih mentah
diambil dan diruntuhkan. Melihat perbuatan itu, Janggan marah. Ken Arok
tidak berani masuk rumah, lalu tidur di luar di atas timbunan jerami kering.
Ketika Janggan keluar di malam hari, ia terkejut melihat sinar berpancaran dari
timbunan jerami. Ketika didekatinya, ternyata sinar itu berasal dari Ken Arok.
Sejak saat itu Janggan sangat menyayangi Ken Arok.

Ken Arok dan Tita tinggal di sebuah pondok di sebelah timur Siganggeng
untuk menghadang para pedangang yang lewat, namun kenakalannya tidak
sampai disitu saja. Ia berani pula merampok dan merogol gadis penyadap di
Desa Kapundungan. Ken Arok menjadi perusuh yang mengganggu keamanan
wilayah Tumapel dan menjadi buruan Akuwu (Penguasa daerah). Ken Arok lari
dari satu tempat ke tempat lain. Tiap tempat yang didatanginya menjadi tidak
aman, namun ia selalu dapat lolos dari bahaya berkat perlindungan Bhatara
Brahma.

Ketika Ken Arok berguru kepada Mpu Palot di Turnyatapada, ia diutus untuk
mengambil emas pada kepala desa Kabalon. Orang-orang Kabalon tidak
percaya bahwa ia adalah utusan Mpu Palot. Karena marah, salah seorang
diantara mereka ditikamnya, lalu ia lari ke rumah kepala desa. Segenap
penduduk Desa Kabalon mengejarnya, masing-masing bersenjatakan golok
atau palu. Sekonyong-konyong terdengar suara dari langit yang berkata:
“Jangan kau bunuh orang itu. Ia adalah puteraku. Belum selesai tugasnya di
dunia!”. Mendengar suara itu para pengejarnya berhenti, lalu bubar.

Sementara itu, diketahui oleh orang-orang Daha (Kediri) bahwa Ken Arok
bersembunyi di Turnyatapada. Dalam kejaran orang-orang Daha, Ken Arok lari
ke Desa Tugaran, dari Tugaran ke Gunung Pustaka dan dari situ mengungsi ke
Desa Limbahan; dari Desa Limbahan ke Desa Rabut, akhirnya sampai Panitikan.
Atas nasihat seorang nenek ia bersembunyi di Gunung Lejar. Dalam
persembunyiannya di Gunung Lejar, ia mendengar keputusan para Dewa
bahwa ia telah ditakdirkan menjadi raja yang akan menguasai Pulau Jawa.
Brahmana Lohgawe datang dari India ke Pulau Jawa menumpang di atas tiga
helai daun kakatang, diutus oleh Bhatara Brahma untuk mencari orang yang
bernama Ken Arok. Ciri-cirinya: tanganya panjang melebihi lutut; rajah telapak
tangan kanannya ialah cakra, rajah telapak tangan kirinya bertanda cangkang
kerang. Kata Bhatara Brahma, ia adalah titisan Dewa Wisnu di suatu candi.
Dengan jelas diberitahukan kepadanya, Dewa Wisnu tidak ada lagi di candi
pemujaan, karena telah menitis pada orang yang bernama Ken Arok di Pulau
Jawa. Ia diperintahkan mencarinya di perjudian. Oleh karena itu, sesampainya
Brahmana Lohgawe di Pulau Jawa, ia segera menuju Desa Taloka bertemu
dengan Ken Arok.

Ken Arok dibawanya menghadap Akuwu Tumapel bernama Tunggul


Ametung. Setelah mendengar uraian pendeta Lohgawe bahwa ia baru saja
dating dari Jambudwipa dan maksud kedatangannya ialah untuk menitipkan
anak angkatnya, Ken Arok diterima oleh Tunggul Ametung sebagai pembantu.

Istri Tunggul Ametung sangat cantik bernama Ken Dedes, anak tunggal
seorang pendeta Budha di Panawijen bernama Mpu Purwa. Konon ketika
Tunggul Ametung datang di Panawijen untuk meminang Ken Dedes, kebetulan
Mpu Purwa sedang bertapa di tegal. Karena tidak dapat menahan nafsunya,
Ken Dedes dilarikan ke Tumapel dan dikawininya. Ketika Mpu Purwa pulang
dari pertapaan, mendapatkan rumahnya kosong, lalu menjatuhkan kutuk:
“Semoga yang melarikan anak saya tidak akan selamat hidupnya; semoga ia
mati kena tikaman keris. Semoga sumur dan sumber air di Panawijen
semuanya kering sebagai hukuman kepada para penduduknya, karena mereka
itu segan memberitahukan penculikan anak saya. Semoga anak saya yang
sudah mendapat wejangan karma amamadangi tetap selamat dan mendapat
bahagia!”.

Ketika Ken Arok datang di Tumapel, Ken Dedes telah hamil. Bersama
suaminya, ia naik kereta berpesiar ke taman Baboji. Pada waktu Ken Dedes
turun dari kereta, tersingkap kain dari betis sampai pahanya. Ken Arok
terpesona melihatnya karena rahasia Ken Dedes berpancaran sinar.
Sepulangnya dari taman, peristiwa itu diceritakan oleh Ken Arok kepada
pendeta Lohgawe. Jawab Lohgawe: “Wanita yang rahasianya menyala, adalah
wanita nareswari. Betapapun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan
menjadi raja besar.” Mendengar ujaran itu, Ken Arok terdiam. Timbul niatnya
untuk membunuh Tunggul Ametung, namun Lohgawe tidak setuju.

Ken Arok meminta izin untuk mengunjungi ayah angkatnya Bango


Samparan di Desa Karuman. Sesampainya disana, ia menceritakan
pengalamannya di taman Baboji kepada Bango Samparan dan menegaskan
niatnya untuk membunuh Tunggul Ametung serta kemudian mengawini Ken
Dedes. Bango Samparan member nasihat agar Ken Arok sebelum
melaksanakan niatnya supaya pergi dulu ke Lulumbang menemui pandai keris
bernama Mpu Gandring, ia adalah kawan karib Bango Samparan. Konon
barang siapa kena tikam keris buatannya pasti mati. Nasihatnya, supaya Ken
Arok memesan keris kepadanya. Hanya setelah keris pesanan itu selesai ia baru
boleh melaksanakan niatnya. Ken Arok berangkat ke Lulumbang dan memesan
keris kepada Mpu Gandring. Dalam waktu lima bulan, keris itu supaya sudah
selesai. Namun jawab Mpu Gandring, supaya ia diberi waktu setahun agar
matang pembuatannya. Ken Arok tetap pada permintaannya, lalu ia pergi.
Lima bulan kemudian, Ken Arok kembali ke Lulumbang untuk mengambil keris
pesanannya, namun keris itu sedang digerinda. Karena marahnya, keris itu
direbut dan ditikamkan pada Mpu Gandring, kemudian dilemparkan ke
lumpang pembebekan gerinda. Lumpang pun pecah terbelah. Dilemparkan lagi
ke landasan, namun landasan pun pecah berantakan. Ken Arok yakin bahwa
keris itu benar-benar ampuh. Sementara itu, Mpu Gandring yang sedang
berlelaku, mengumpat: “Hei Arok! Kamu dan anak cucumu sampai tujuh
keturunan akan mati karena keris itu juga!” setelah menjatuhkan umpat itu, ia
pun mati. Pikir Ken Arok: “Kalau kelak saya benar jadi orang besar, anak cucu
Gandring akan mendapat balas jasa,” lalu, Ken Arok pun pulang tergesa-gesa
ke Tumapel.

Di Tumapel, Ken Arok memiliki seorang sahabat karib bernama Kebo Hijo.
Kebo Hijo sangat dipercaya oleh Tunggul Ametung, tetapi wataknya suka
pamer. Ketika ia melihat keris Ken Arok yang berukiran kayu cangkring, ia
meminta Ken Arok untuk meminjamkan kepadanya. Memang itulah maksud
Ken Arok, keris kemudian dipinjamkan lalu dipamer-pamerkan Kebo Hijo
kepada orang banyak, sehingga segenap orang Tumapel tahu bahwa Kebo Hijo
mempunyai keris baru. Ken Arok menduga bahwa saat yang dinanti-
nantikannya telah tiba. Keris diambil oleh Ken Arok tanpa sepengetahuan Kebo
Hijo. Pada malam hari waktu telah sepi, Ken Arok masuk ke rumah Tunggul
Ametung, ia langsung menuju tempat tidur Tunggu Ametung yang sedang tidur
nyenyak, segera ditikamnya dengan keris Gandring. Baru keesokan harinya
diketahui bahwa Tunggul Ametung telah mati ditusuk dengan keris milik Kebo
Hijo yang masih tertancap di dadanya. Dengan serta merta, Kebo Hijo disergap
oleh sanak saudara Tunggul Ametung, dikeroyok dan ditusuki dengan keris
Gandring. Anaknya Kebo Randi menangisi kematian ayahnya. Melihat peristiwa
itu, iba hati Ken Arok dan berjanji akan mengambilnya sebagai pekatik (abdi).

Sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok menjadi akuwu di Tumapel dan


mengawini Ken Dedes. Di antara warga Tumapel, tidak ada seorangpun yang
berani menentang. Pada waktu itu Tumapel adalah daerah bawahan Daha
(Kediri), yang diperintah oleh Raja Kertajaya. Konon Raja Kertajaya juga disebut
sebagai Dandang Gendis. Ia sedang berselisih dengan para pendeta Siwa-
Budha, karena keinginannya untuk disembah sebagai Dewa. Keinginan itu
ditolak, karena belum pernah terjadi pendeta menyembah raja. Untuk
memperlihatkan kemampuannya, Kertajaya menancapkan tombaknya di tanah
dan duduk diatas ujungnya. Namun, para pendeta tetap pada pendiriannya.
Beberapa pendeta meninggalkan Daha dan pergi mencari perlindungan di
Tumapel. Hal ini menambah jumlah pengikut Ken Arok yang sudah agak besar.
Keturunan dan kerabat yang pernah berbuat baik kepada Ken Arok dipanggil ke
Tumapel untuk menerima balas jasa dan diminta untuk menetap disana. Oleh
para pengikutnya, Ken Arok diangkat sebagai raja dan mengambil nama
abhiseka sebagai Rajasa Sang Amurwabhumi. Sejak saat itu, Ken Arok tidak lagi
menghadap Raja Kertajaya di Daha. Hal itu menimbulkan rasa curiga pada
Kertajaya. Ken Arok diduga akan memberontak. Kertajaya bersumbar bahwa
Daha tidak akan dapat ditundukkan oleh siapa pun, kecuali oleh Bhatara Guru
(Dewa Siwa). Mendengar sesumbar itu, Ken Arok memanggil para pendeta dan
rakyatnya untuk menyaksikan bahwa ia mengambil nama sebagai Bhatara
Guru dan memerintahkan tentara Tumapel untuk bergerak menyerbu Daha.
Pertempuran sengit antara tentara Tumapel dan Daha berkobar di sebelah
utara Desa Ganter. Dalam pertempuran itu, Mahisa Walungan dan Gubar
Baleman, hulubalang Daha, tewas. Sehingga bala tentara Daha terpukul
mundur dan lari mencari perlindungan. Raja Kertajaya pun melarikan diri
mencari perlindungan di dalam candi. Daha pun jauh dalam kekuasaan
Tumapel pada tahun 1222 Masehi.

Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok memperoleh tiga orang
putera dan seorang puteri, yaitu Mahisa Wunga Teleng, Panji Saprang,
Agnibaya dan Dewi Rimbu. Dan perkawinan keduanya dengan Ken Umang, Ken
Arok juga mempunyai tiga putera dan seorang puteri yaitu Panji Tohjaya, Panji
Sudatu, Tuan Wregola dan Dewi Rambi. Putera sulung Ken Dedes keturunan
Tunggul Ametung bernama Anusapati.

Bertahun-tahun lamanya kisah pembunuhan Tunggul Ametung dirahasiakan


oleh Ken Dedes terhadap Anusapati. Namun, ketika Anusapati telah remaja
dan ia merasa diperlakukan lain daripada saudara-saudaranya oleh Sang
Amurwabhumi, muncullah rasa curiga di dalam hati Anusapati. Atas desakan
pengasuhnya, Anusapati bertanya kepada Ken Dedes, mengapa Sang
Amurwabhumi bersikap demikian. Jawab Ken Dedes, “Jika engkau ingin tahu,
ayahmu yang sebenarnya ialah mendiang Tunggul Ametung. Ayahmu telah
mati, ketika engkau masih di dalam kandungan. Pada waktu itu aku dikawini
oleh Sang Amurwabhumi.” Anusapati bertanya lagi, “Apa sebabnya ayah
meninggal?” Jawab Ken Dedes, “Dibunuh oleh Sang Amurwabhumi”. Pada saat
itu Ken Dedes terdiam, merasa telah membocorkan rahasia. Anusapati
bertanya lagi:”Ibunda, bolehkan saya melihat keris Gandring pusaka Sang
Amurwabhumi?” Keris pun diperlihatkan Ken Dedes kepada Anusapati.
Anusapati mempunyai seorang pengalasan berasal dari Desa Batil.
Pengalasan itu segera dipanggil dan diberi perintah untuk membunuh Sang
Amurwabhumi dengan keris Gandring. Tanpa membantah, pengalasan itu pun
pergi untuk membunuh Ken Arok. Dengan serta merta, Sang Amurwabhumi
yang sedang bersantap ditikam dari belakang, mati seketika itu juga. Ketika itu
hari Kamis Pon, wuku Landep, waktu senja matahari baru saja tenggelam,
tahun Saka 1169 (1297 Masehi). Setelah menikam, pengalasan itu pun lari
untuk member laporan kepada Anusapati. Anusapati kemudian memberinya
hadiah imbalan. Katanya:”Telah mati terbunuh, oleh hamba, ayah paduka!”
Dengan serta merta pula, pengalasan itu dihabisi hidupnya oleh Anusapati.
Karenanya tersiar kabar: “Sang Prabu mati kena amuk orang dari Desa Batil.
Anusapati telah membalaskan dendam dengan membunuh pengalasan itu:.
Rajasa Sang Amurwabhumi pun dicandikan di Kagenengan.

Anusapati mempunyai seorang pengalasan berasal dari Desa Batil.


Pengalasan itu segera dipanggil dan diberi perintah untuk membunuh Sang
Amurwabhumi dengan keris Gandring. Tanpa membantah, pengalasan itu pun
pergi untuk membunuh Ken Arok. Dengan serta merta, Sang Amurwabhumi
yang sedang bersantap ditikam dari belakang, mati seketika itu juga. Ketika itu
hari Kamis Pon, wuku Landep, waktu senja matahari baru saja tenggelam,
tahun Saka 1169 (1297 Masehi). Setelah menikam, pengalasan itu pun lari
untuk member laporan kepada Anusapati. Anusapati kemudian memberinya
hadiah imbalan. Katanya:”Telah mati terbunuh, oleh hamba, ayah paduka!”
Dengan serta merta pula, pengalasan itu dihabisi hidupnya oleh Anusapati.
Karenanya tersiar kabar: “Sang Prabu mati kena amuk orang dari Desa Batil.
Anusapati telah membalaskan dendam dengan membunuh pengalasan itu:.
Rajasa Sang Amurwabhumi pun dicandikan di Kagenengan.

A.SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASAR

Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel
ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari
Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan
Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M). Anusapati diganti
oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias
Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah Kertanegara yang
memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada versi
Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga Rajasa Sang
Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati, yang dilanjutkan
Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah Kertanagara (1254–1292 M).
Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.

1. Ken Arok (1222–1227 M


Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja
Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi.
Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya
suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra
(Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227
M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati
(anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan
Siwa–Buddha.

2. Anusapati (1227–1248 M
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke
tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama,
Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut
dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok
akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken
Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam
sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan
Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik
menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan
Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan
demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.

3. Tohjoyo (1248 M)
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh
Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab
anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian
ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya,
Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki
singgasana.

4. Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar
Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa
Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar
Narasinghamurti. Pemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan
kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat
putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan
maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada
tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau
Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.

5. Kertanegara (1268-1292 M)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai
cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268
dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia
dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i
halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan
Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti
Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di
Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan,
kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan
ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil
menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca
Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.
Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali,
Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga
menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa,dengan tujuan untuk
menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai
Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya
sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai muka utusannya
yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah
besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirimkan pasukannya ke
Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi
serangan Mongol maka Jayakatwang (Kediri) menggunakan kesempatan untuk
menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua arah, yakni dari arah utara
merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti.
Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan
berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para
pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam
serangan tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang),
sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura
dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas
bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi
kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah
Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka
Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya
kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya,
Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di Candi
Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang
berada di Taman Simpang, Surabaya.
B. KEHIDUPAN DI KERAJAAN SINGASARI
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun.
Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan
kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan
Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat
kurang mendapat perhatian karena ia larut dalam kegemarannya menyabung
ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai
diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan
masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari
pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.

Politik Dalam Negeri:

1. Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih


Raganata digantikan oleh Aragani.
2. Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra
Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi
menantunya.
3. Memperkuat angkatan perang.
Politik Luar Negeri:

1. Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu


serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
2. Menguasai Bali.
3. Menguasai Jawa Barat.
4. Menguasai Malaka dan Kalimantan.

Berdasarkan segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung


diantaranya candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan patung-
patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes sebagai Dewa
Prajnaparamita lambing kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam
wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga merupakan
perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik patung Joko Dolog
maupun Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama
Buddha beraliran Tantrayana).

C. RUNTUHNYA KERAJAAN SINGASARI


Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan
berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi
dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan.
Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke
luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam.
Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang,
yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara
sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya
Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri.
Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.

D. HUBUNGAN KERAJAAN SINGASARI DENGAN MAJAPAHIT


Pararaton, Nagarakretagama dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya,
cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanegara lolos dari maut.
Berkat bantuan Aria Wiararaja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian
diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada
tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk
menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan
Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat
cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya
kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singasari, dan
menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang
didirikan oleh Ken Arok.

1. Candi Singosari

Candi ini berlokasi di Kecamatan Singosari,Kabupaten Malang dan terletak


pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna. Berdasarkan
penyebutannya pada Kitab Negarakertagama serta Prasasti Gajah Mada yang
bertanggal 1351 M di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat
"pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang
mangkat(meninggal) pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-
gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah
selesai dibangun.
2. Candi Jago

Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Candi ini
cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut
cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan
Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan bangunan
candi ini tersusun atas bahan batu andesit.
3. Candi Sumberawan

Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di


Jawa Timur. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari, Candi ini
merupakan peninggalan Kerajaan Singasari dan digunakan oleh umat
Buddha pada masa itu. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah
karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan
inilah yang memberi nama Candi Rawan.

4. Arca Dwarapala

Arca ini berbentuk Monster dengan ukuran yang sangat besar. Menurut
penjaga situs sejarah ini, arca Dwarapala merupakan pertanda masuk ke
wilayah kotaraja, namun hingga saat ini tidak ditemukan secara pasti dimanan
letak kotaraja Singhasari.
5. Prasasti Manjusri

Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang dipahatkan pada bagian


belakang Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada awalnya ditempatkan di Candi
Jago dan sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta

6. Prasasti Mula Malurung

Prasasti Mula Malurung adalah piagam pengesahan penganugrahan desa


Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja. Prasasti ini berupa
lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun
1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya Wisnuwardhana raja
Singhasari.
Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung ditemukan pada dua waktu
yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan pada tahun 1975 di
dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali
ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari lokasi
penemuan sebelumnya. Keseluruhan lempeng prasasti saat ini disimpan di
Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
7. Prasastri Singosari

Prasasti Singosari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari,


Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah dan
ditulis dengan Aksara Jawa.
Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi
pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama
prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk
pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud
prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.

8. Candi Jawi

Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan -


Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat
pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan
tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari,
Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari.
Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat
peribadatan Raja Kertanegara.
9. Prasasti Wurare

Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang isinya memperingati penobatan


arca Mahaksobhya di sebuah tempat bernama Wurare (sehingga prasastinya
disebut Prasasti Wurare). Prasasti ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan
bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca tersebut sebagai
penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari,
yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina (Buddha Agung).
Sedangkan tulisan prasastinya ditulis melingkar pada bagian bawahnya.

10. Candi Kidal

Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini
dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua
dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian
Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan
kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai