Anda di halaman 1dari 5

Naufal Alif Firdausy – 25 –XII IPA 4

Kerajaan Singasari

Negeri Indonesia, negeri yang menyimpan banyak sekali sejarah. Pada


dasarnya, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari lebih 1000 pulau
dan Indonesia kental akan tradisi budayanya yang turun menurun hingga
sekarang. Diceritakan pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan. Kerajaan itu
bernama ‘Kerajaan Singasari’. Dalam kerajaan, seorang raja menjadi pemimpin
kerajaan. Kerajaan ini dirajai oleh Ken Arok yang biasa dipanggil Ken Angrok. Ia
lahir tahun 1182 di Jawa timur. Ketika memimpin kerajaan Singhasari, ia
memperoleh gelar “Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.” Ketika
beranjak dewasa, ia mempunyai seorang istri. Istrinya merupakan seorang janda
yang bernama Ken Dedes dan dikaruniai seorang anak yang bernama Anusapati.
Selang beberapa waktu, Ken Arok dan Ken Dedes kemudian dikaruniani anak
lagi. Dan anak itu diberi nama Mahisa Wongateleng. Hari demi hari berlalu, Ken
Arok pun menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik nan rupawan. Wanita
itu bernama Ken Umang. Ken Arok dan Ken Umang dikaruniai 4 anak laki-laki,
yaitu: Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi.

Pada suatu hari Ken Arok dibunuh oleh seorang pengalasan atas perintah
Anusapati. Akibat ia meninggal, maka ia hanya memerintah selama 5 tahun di
Kerajaan Singhasari. Untuk mengenang jadadnya, ia didharmakan di Kagenengan
dalam bangunan suci agama Siwa dan Buddha. Bangunan itu terletak disebelah
selatan Singasari. Tak berapa lama, diikuti oleh meninggalnya Ken Dedes.
Anusapati memerintah Singasari sebagai pengganti ayah tirinya. Lambat laun
berita tentang pembunuhan Ken Arok sampai pula ke telinga Tohjaya. Tohjaya
pun marah besar dan seakan tidak terima bahawa ayahnya telah dibunuh secara
mengenaskan.
“Berani beraninya Anusapati membunuh ayahku! Akan kubalaskan
dendamku padamu!” Sambil melempar-lemparkan batu didepan halaman
rumahnya.

Ia kemudian berusaha untuk membalas kematian ayahnya. Ia telah


merencanakan untuk menyabung ayam dengan Anusapati.

“Aku harus membalaskan dendam kepada Anusapati yang telah


membunuh ayahku! Walaupun itu hanya ayah tiriku!” Gumam Tohjaya dalam
hatinya.

Dengan keyakinan yang kauat dan niat yang mantap. Akhirnya Tohjaya
berhasil membunuh Anusapati saat mereka sedang meenyabung ayam. Dan untuk
mengenang jasad Anusapati, ia didharmakan di Candi Kidal, sebelah tenggara
kota Malang.

Setelah membunuh Anusapati, Tohjaya menjadi raja Singasari. Ia


memerintah selama beberapa bulan saja. Ranggawuni, anak dari Anusapati, ingin
membalas kematian ayahnya.

“Anusapati ialah ayah kesayanganku, aku tidak terima bila ayahku meti
terbunuh begitu saja! Kita harus melakukan penyerangan kepada Tohjaya!”
Perintah Ranggawuni berbicara kepada prajuritnya.

“Baik kanjeng, saya akan memberi tahu prajurit lain untuk segera bergegas
untuk melakukan penyerangan kepada Tohjaya” Jawab di prajurit.

Dengan persiapan yang matang, ia menyerang kraton Singasari dengan


bantuan para pengikutnya. Namun sayang sekali, dalam serangan ini Tohjaya
berhasil melarikan diri.

“Prajurit, mungkin aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi, salaah satu
prajurit Ranggawuni menembakkan anak panahnya tepat dijantungku.” Teriak
Tohjaya kepada prajurit yang berada di sampingnya.
“Bersabarlah paduka, aku sedang berusaha untuk mengobati paduka.”
Jawab di prajurit sambil mengobati Tohjaya dan mencoba menghentikan
pendarahan yang terus mengalir dari dada Tohjaya.

Namun nasib malang datang pada Tohjaya, ia tidak mampu bertahan dan
meninggal di Katang Lumbang akibat luka yang dideritanya. Ranggawuni
kemudian menjadi Raja di Singasari dengan mendapat gelar “Sri Jaya
Wisnuwardhana.”

Dalam pemerintahannya, ia didampingi oleh Mahisa Campaka, yaitu anak


dari Mahisa wongateleng atau cucu dari Ken Arok.

Mahisa Campaka menjabat sebagai Ratu Angabhaya dengan gelar


“Narasinghamurti.” Ranggawuni mengangkat derajat Kertanegara, yang
merupakan anak dari Ranggawuni. Ia diangkat sebagai seorang raja muda.
Ranggawuni tetap memerintah sebagai wali Kertanegara sampai Kertanegara
tumbuh dewasa dan sanggup untuk memerintah sendiri.

“Prajurit, Kerajaan ini perli pertahanan baru. Apakah kau setuju dengan
pendapatku?” Tanya Ranggawuni pada salah satu prajuritnya.

“Menurut saya juga demikian Kanjeng Ratu, kita memerlukan pertahanan


baru agar lebih siap menghadapi serangan dari kerajaan lain yang datang
menyerang.” Jawab prajurit pada Ranggawuni.

Seminggu berlalu, Ranggawuni mendirikan sebuah pertahanan di Canggu


Lor sehingga selama pemerintahannya keadaan Singasari aman dan tenteram.
Ranggawuni telah meninggal. Ia didharmakan sebagai Siwa di Waleri dan sebagai
Buddha Amoghapasa di Jajaghu. Tidak lama kemudian Mahisa Campaka juga
meninggal. Ia didharmakan di Kumeper dan di Wudi Kuncir.

Kertanegara naik takhta jadi raja Singasari. Dan ia mendapatkan gelar


sebagai “Sri Maharajadhiraja Sri Kertanegara.” Dalam pemerintahannya, ia
dibantu oleh 3 orang Mahamantri, yaitu: Hino, Sirikan, dan Halu. Mereka
mengatur dan meneruskan perintah raja melalui menteri pelaksana. Lalu, terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Bhayaraja. Dan pada akhirnya,
pemberontakan ini dapat dipadamkan. 10 tahun telah berlalu, terjadilah
pemberontakan lagi yang dipimpin oleh Mahisa Rangkah. Dan lagi lagi
pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Kerajaan Singasari

Sementara itu Jayakatwang, raja yang sangat tunduk kepada Kertanegara


berhasil dihasut oleh patihnya. Patihnya itu mengatakan bahwa dahulu buyut
Jayakatwang adalah Kertajaya. Kertajaya dibunuh oleh buyut kertanegara, yaitu
Ken Arok. Setelah mendengar hal itu, tentu saja menjadikan Jayakatwang marah
kepada Kertanegara. Ditambah lagi patihnya mengatakan bahwa dharma seorang
ksatria ialah harus menghapus malu yang diderita oleh moyangnya. Sebab itulah
yang membuat Jayakatwang semakin marah hingga membenci Kertanegara. Lalu,
Jayakatwang menceritakan itu semua kepada para pengikutnya. Ia berencana
merebut kekuasaan Singasari.

“Wahai pengikutku, mari kita serang Singasari!” seru raja dengan


kerasnya kepada pengikutnya.
“Iya, ayo!” seru komandan.

“Ayo,” jawab pengikut Jayakatwang dengan serentak.

Di samping itu juga, Jawakatwang juga bersekutu dengan Arya Wiraraja,


yang saat itu sedang menjabat sebagai Bupati dari Kabupaten Sumenep dan yang
selalu mematai Kertanegara.

Dengan perginya tentara Singasari, dan lama belum kembali ditambah


dengan terjadinya bentrokan dengan Cina merupakan kesempatan terbaik untuk
menggulingkan Kertanegara. Jayakatwang melancarkan serangan dari 2 jurusan.
Sebagian kecil tentaranya membuat kekacauan dari arah utara. Sedangkan
sebagian lagi dengan diam-diam bergerak dari arah selatan.

Saat Kertanegara melihat ada serangan dari arah utara, segeralah ia


mengarahkan seluruh tentaranya yang dipimpin oleh Raden Wijaya dan Ardharaja
yang tak lain dan tak bukan adalah anak Jayakatwang untuk menghadapi musuh.
Dengan mudah tentara Kertanegara memukul mundur serangan dari arah utara.
Sementara tentara yang datang dari selatan tiba-tiba memasuki kota dan
melakukan serangan besar-besaran. Tentara Singasari tidak sanggup menahan
serangan tiba-tiba itu. Pada waktu itu raja Kertanegara dan para pendeta
terkemuka serta para pembesar lainnya sedang melaksanakan upacara keagamaan
dari aliran Tantrayana. Mereka makan-makan dan minum-minum sampai menjadi
mabuk. Akibat serangan dari pasukan Jayakatwang, akhirnya mereka semua pun
telah tewas di tempat.

Dengan gugurnya raja Kertanegara, kerajaan Singasari dikuasai oleh


Jayakatwang. Kertanegara didharmakan sebagai Siwa Buddha di Candi Jawi.
Lalu, di Sagala bersama-sama dengan permaisurinya diwujudkan sebagai
Wairocana-Locana dan sebagai Bairawa di Candi Singasari. Inilah akhir dari
kerajaan Singasari.

Anda mungkin juga menyukai