Anda di halaman 1dari 69

Persiapan Obat dan Peralatan

Anestesi

Indra Sukmana Putra

Sumber :
Flood P, Rathmell JP, Shafer S. Stoelting's Pharmacology and
Physiology in Anesthetic Practice 5th Edition. USA: Wolters Kluwer
Health. 2015.
Persiapan Obat Anestesi
1. Anestetik inhalasi
2. Obat hipnotik-sedatif
3. Opioid
4. Anestetik lokal
5. Obat pelumpuh neuromuskular
6. Obat Antikolinesterase
7. Obat Antikolinergik
8. Simpatomimetik
1. Anestetik Inhalasi
yang umum digunakan secara klinis saat ini:
Gas inorganik: N2O (Nitrous Oxide)
Gas inert: Xenon
Cairan volatil: isofluran, desfluran, sevofluran
yang sudah jarang digunakan:
Cairan volatil: halotan, enfluran
Isofluran
Merupakan methyl ethyl ether yang
terhalogenasi
Berbau ether
Intermediate onset dan recovery solubilitas
(kelarutan) dalam darah tergolong
intermediate dengan potensi yang tinggi
Sevofluran
Merupakan fluorinated methyl isopropyl ether.
Karakteristik solubilitas (koefisien partisi darah:gas =
0.6 ) induksi cepat anestesia dan recovery yang
cepat pula setelah penghentiannya (dibandingkan
dengan isofluran, recovery dari sevofluran 3-4 menit
lebih cepat).
Berbau eter minimal, menimbulkan dilatasi bronkus
seperti pada isofluran, dan memiliki derajat iritasi
saluran napas paling keciil dibandingkan anastetik
inhalasi volatil lainnya bisa digunakan untuk induksi
inhalasi.
Tidak menyebabkan hepatotoksik, berbeda dengan
agen anestetik inhalasi lainnya.
Perbedaan karakteristik fisik dan kimia
anestetik inhalasi

Nitrous Oxide Halothane Enflurane Isoflurane Desflurane Sevoflurane


Berat molekul 44 197 184 184 168 200
Titik didih (C) 50.2 56.5 48.5 22.8 58.5
Tekanan uap
Gas 244 172 240 669 170
(mmHg; 20C)
Bau Manis Organik Eter Eter Eter Eter
Kebutuhan bahan
Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
kimia tambahan
Stabilitas dalam
Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak
soda (40C)
Blood:gas partition
coefficient 0.46 2.54 1.90 1.46 0.42 0.69
MAC (37C, 30 to
55 years old, PB 104 0.75 1.63 1.17 6.6 1.80
760 mmHg) (%)
2. Obat Hipnotik dan Sedatif
Intravena
o Tidak ada agen farmakologi lain yang bersifat lebih sentral
pada praktek anestesiologi selain agen hipnotik dan sedatif
intravena.
o Agen ini menyebabkan berbagai spektrum mulai dari
anxiolysis, sedasi ringan dan dalam, sampai kemudian
anestesia general.
o Sedatif: obat yang menginduksi keadaan tenang atau tidur.
o Hipnotik: obat yang menginduksi hipnosis atau tidur.
o Terdapat saling tumpang tindih antara pengertian sedatif dan
hipnotik, juga kebanyakan agen hipnotik pada akhirnya
menimbulkan efek samping sedatif, sehingga untuk tujuan
praktis, biasanya terminologi ini digabungkan dan ditujukan
untuk semua obat yang bersifat hipnotik-sedatif, yaitu obat
yang secara reversibel menyebabkan depresi aktivitas CNS.
Jenis Obat Hipnotik-Sedatif IV
Non-barbiturat: Propofol, Etomidate, Ketamin
Barbiturat: Tiopental, Tiamilal, Metohexital
Benzodiazepin: Midazolam, Diazepam,
Lorazepam, Oxazepam, Alprazolam, Clonazepam,
Flurazepam, Temazepan, Triazolam, Flumazenil
Propofol
Suatu subtitut isopropylphenol. Formula propofol:
larutan 1% dalam larutan aquous yang terdiri dari 10%
minyak kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2% fosfatida telur
murni, sehingga dapat mendukung pertumbuhan
bakteri bila digunakan dalam jangka waktu lama.
Pemberian IV: 1.5 2.5 mg/kg (= thiopental 4 5
mg/kg IV, atau methohexital 1.5 mg/kg IV) dalam
injeksi cepat (<15 detik), menimbulkan hilang
kesadaran dalam 30 detik.
Pemulihan kesadaran lebih cepat dan bersifat komplit
(tidak menimbulkan efek residual CNS) dibandingkan
dengan setelah induksi dengan obat anestesi lainnya
yang digunakan untuk induksi cepat IV.
Propofol (Cont..)
Campuran propofol dengan obat lain tidak
direkomendasikan, meskipun lidokain sering ditambahkan
pada propofol untuk mencegah nyeri akibat injeksi IV.
Pencampuran lidokain dan propofol dapat menyebabkan
koalesen droplet minyak resiko emboli pulmonal.
Mekanisme kerja: modulator selektif reseptor -
aminobutyric acid (GABAA), bekerja dengan meningkatkan
durasi aktivasi GABA melalui pembukaan kanan klorida
sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel.
Farmakokinetik: klirens propofol dalam plasma melalui
aliran darah hepar metabolisme hepatik oleh sitokrom
P450 menghasilkan metabolit sulfat dan asam
glukoronik diekskresikan melalui ginjal.
Propofol (Cont..)
Peggunaan klinis:
Induksi anestesia
1.5 2.5 mg/kg
Sedasi intravena
25 to 100 g/kg per menit IV menimbulkan efek analgesik
dan amnestik minimal
Maintenance anestesia
100 to 300 g/kg per menit IV
Terapi Non-hipnotik
Dosis subhipnotik: 10-15 mg IV
Antiemetik, antipruritus, aktivitas antikonvulsan, analgesia
Propofol (Cont..)
Efek samping:
Bradikardi
Reaksi Alergi
Asidosis laktat
Pertumbuhan bakteri
Nyeri injeksi
Ketamin
Merupakan derivat phencyclidine yang menyebabkan dissociative
anesthesia status kataleptik dimana mata tetap terbuka dengan
nistagmus lambat.
Memiliki manfaat dibanding propofol dalam kelarutannya terhadap
air dan dalam menghasilkan deep analgesia pada dosis
subanestetik.
Frekuensi kejadian delirium tinggi membatasi penggunaannya
secara klinis.
Mekanisme kerja: ketamin berikatan secara non-kompetitif pada
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) sehingga menghambat
aktivasinya. Selain itu juga berikatan dengan reseptor opioid
(antagonis reseptor dan agonis reseptor ), reseptor muskarinik
(efek antagonis > agonis), dan berikatan dengan kanal natrium
(berefek seperti anestetik lokal).
Ketamin (cont)
Farmakokinetik: rapid onset, durasi pendek, dan
kelarutan lemak tinggi (menghasilkan rapid
transfer melewati blood-brain barrier), serta
klirens hepatik yang tinggi.
Metabolisme: dengan enzim mikrosomal hepatik
(demetilasi ketamin oleh enzim sitokrom P-450)
membentuk norketamin (potensi 1/5 1/3 dari
ketamin). Metabolit aktif ini dapat menghasilkan
efek ketamin (analgesia) yang lama. Norketamin
akan dihidroksilasi dan dikonjugasi metabolit
inaktif glucuronida dieksresikan oleh ginjal.
Ketamin (cont)
Penggunaan Klinis:
Analgesia
analgesia kuat dapat diperoleh dengan dosis subanestetik ketamin 0.2 to 0.5
mg/kg IV.
Neuraxial Analgesia
Masih terbatas dan belum terbukti indikasinya.
Induksi Anestesia
1-2 mg/kg IV menghasilkan hilang kesadaran dalam 30-60 detik, atau 4-8
mg/kg IM dalam 2-4 menit. Pasien biasanya sadar dalam 10-20 menit setelah
pemberian ketamin, tapi untuk bisa sadar penuh dan berorientasi dibutuhkan
waktu 60-90 menit. Karena onsetnya yang cepat digunakan sebagai agen
induksi IM pada pasien anak dan pasien dengan gangguan mental yang sulit
dikontrol berapapun usianya.
Mengobati toleransi opioid
Dosis subanestetik ketamin efektif dalam mencegah dan mengobati toleransi
morfin
Memperbaiki depresi mental
Sebagai agonis NMDA, ketamin dalam dosis kecil dapat memperbaiki status
depresi postoperatif pada pasien dengan deptesi mental.
Ketamin (cont)
Efek samping
CNS: meningkatkan cerebral blood flow
Peningkatan tekanan intrakranial karena sifat ketamin
sebagai vasodilator serebral yang poten
Efek kardiovaskular yang mirip stimulasi sistem saraf
simpatis
Efek hemodinamik berupa peningkatan tekanan darah,
terutama sistolik 20-40 mmHg dalam 3-5 menit setelah
injeksi
Pada periode postoperatif, dapat terjadi ilusi visual,
auditorik, proprioseptif, yang dapat berkembang menjadi
delirium. Mimpi dan halusinasi dapat terjadi dalam 24 jam
setelah pemberian, dan biasanya menghilang setelah
beberapa jam.
Perbandingan karakteristik obat
induksi non-barbiturat
Elimination Volume of
Clearance Systemic
Half-time Distribution Heart Rate
(ml/kg/min) Blood
(hrs) (liters/kg)
Propofol 0.5-1.5 3.5-4.5 30-60 Decreased Decreased
Ketamine 2-3 2.5-3.5 16-18 Increased Increased
Midazolam
Merupakan benzodiazepin larut air dengan cincin
imidazol pada strukturnya yang menentukan
stabilitasnya pada larutan air dan rapid metabolisme.
Dibandingkan dengan diazepam, midazolam 2-3x lebih
poten.
Sama dengan benzodiazepin pada umumnya, efek
amnestik midazolam lebih poten daripada efek
sedatifnya.
Pasien dapat sadar setelah pemberian, namun tetap
amnesia tentang kejadian maupun percakapan selama
beberapa jam.
Midazolam (cont)
Farmakokinetik: rapid absorption pada GIT dan
memungkinkan melalui blood-brain barrier
dengan cepat, akan tetapi memiliki efek lebih
lambat pada site target sekitar 0,9 5,6 menit
dibandingkan dengan obat lain seperti propofol.
Metabolisme: oleh enzim sitokrom P-450 hepatik
dan usus kecil (CYP3A4) menjadi metabolit aktif
(1-hydroxymidazolam) dan inaktif.
Midazolam (cont)
Penggunaan klinis:
Medikasi preoperatif
Biasa digunakan per oral pada pasien anak, sediaan sirup (2 mg/mL)
efektif untuk menghasilkan sedasi dan anxiolysis pada dosis 0.25
mg/kg dengan efek minimal pada ventiasi dan saturasi oksigen
meskipun hingga 1 mg/kg (max 20 mg). Dosis rekomendasi 0.5 mg/kg
dapat diberikan per oral 30-20 menit sebelum induksi anestesia.
Sedasi Intravena
Pada dosis 1.0 to 2.5 mg IV (onset dalam 30 60 detik, waktu untuk
mencapai efek puncak antara 3 5 menit, durasi sedasi15 -80 menit)
efektif untuk sedasi pada anestesia regional, maupun prosedur
terapeutik yang cepat.
Induksi Anestesia
Sudah jarang, tapi 0.1 0.2 mg/kg IV dapat menghasilkan induksi
anestesia dalam 30 60 detik. Onset kehilangan kesadaran dalam 1-3
menit dapat difasilitasi ketika opioid dosis kecil (fentanyl, 50 -100 g
IV) diberikan lebih dahulu tepat sebelum injeksi midazolam.
Midazolam (cont)
Penggunaan klinis:
Maintenans Anestesia
Dapat diberikan sebagai suplemen dari opioids,
propofol, dan/atau anestetik inhalasi dalam maintenans
anestesia.
Sedasi postoperatif
Pemberian midazolam IV jangka panjang (loading dose
0.5 4 mg dan dosis maintenance 1 7 mg/jam) untuk
menimbulkan sedasi pada pasien yang terintubasi.
Gerakan plika vokalis paradoxical
Dosis 0.5 1 mg IV efektif untuk pengobatan Gerakan
plika vokalis paradoxical yang terjadi postoperatif.
Efek samping midazolam
Fatigue
Mengantuk
Penurunan koordinasi motorik
Anterograde amnesia
Interaksi obat
Efek sinergis dengan obat depresan CNS lain
Mengurangi kebutuhan anestetik
Menurunkan efek analgesik opioid
Potensiasi efek depresi ventilatori opioid
Supresi axis hypothalamic-pituitary adrenal
Ketergantungan
Menghambat agregasi platelet
3. Opioid
Opioid merupakan obat yang unik dalam
menimbulkan analgesia tanpa kehilangan
indera raba, proprioseptif, atau kesdaran.
Opioid terdiri atas 2 jenis:
Semisynthetic Opioid dari modifikasi sederhana
molekul morfin, misalnya heroin
Synthetic Opioids Fentanyl, sufentanil,
alfentanil, dan remifentanil digunakan secara luas
sebagai suplemen dalam general anestesia atau
sebagai obat anestetik utama dalam dosis sangat
tinggi pada operasi jantung.
Opioid
Mekanisme kerja: opioid bekerja sebagai
agonis pada reseptor opioid spesifik pada site
presinaptik dan postsinaptik di SSP (utamanya
batang otak dan medula spinalis), juga di
perifer. Normalnya reseptor tersebut diaktivasi
oleh opioid peptida endogen (enkephalin,
endorphin, dan dynorphin), yang mengaktivasi
sistem modulasi nyeri (antinociceptive).
Opioid Agonis & Antagonis
Opioids Opioid agonists-antagonists
Morphine Pentazocine
Morphine-6-glucuronide Butorphanol
Meperidine Nalbuphine
Sufentanil Buprenorphine
Fentanyl Nalorphine
Alfentanil Bremazocine
Remifentanil Dezocine
Codeine Meptazinol
Hydromorphone Opioid antagonists
Oxymorphone Naloxone
Oxycodone Naltrexone
Hydrocodone Nalmefene
Propoxyphene
Methadone
Tramadol
Heroin
Morfin
Merupakan prototipe agonis opioid dimana semua opioid
lainnya dibandingkan.
Morfin menmbulkan analgesia, euforia, sedasi, dan
berkurangnya kemampuan konsentrasi. Sensasi lainnya
termasuk nausea, perasaan tubuh hangat, ekstremitas
menjadi terasa berat, mulut kering, pruritus terutama pada
area cutaneous sekitar hidung.
Penyebab nyeri tetap ada, tetapi meskipun dalam dosis
rendah morfin mampu meningkatkan ambang batas nyeri
dan mengubah persepsi dari stimulasi noxious sehingga
tidak lagi dialami sebagai nyeri.
Pada kondisi nyeri tidak ada, morfin menyebabkan disforia
daripada euforia.
Morfin (cont)
Farmakokinetik: morfin biasanya diberikan secara IV
daam periode perioperatif. Efek puncak (waktu
equilibrasi antara darah dan otak) setelah pemberian IV
terlambat dibandingkan dengan opioid lain seperti
fentanyl, dan membutuhkan 15-30 menit. Konsentrasi
morfin plasma tidak berhubungan erat dengan aktivitas
farmakologik opioid, sehingga dari sini tampak
penundaan dalam penetrasi morfin melalui sawar
darah otak. Hanya sedikit morfin (<0.1%) mencapai
akses ke SSP setelah konsentrasi plasma mencapai
puncak. Morfin berakumulasi secara cepat di ginjal,
hepar, dan otot skelet.
Morfin (cont)
Metabolisme:
Jalur utama metabolisme morfin adalah melalui
konjugasi dengan asama glukoronik hepatik dan
ekstrahepatik, terutama ginjal.
Sekitar 75-85% dari dosis morfin diubah menjadi
morphine-3-glucuronide (metabolit inaktif), dan 5-
10% menjadi morphine-6-glucuronide (metabolit
aktif) yang dapat menimbulkan analgesia dan depresi
ventilasi melalui kerja agonisnya pada reseptor .
Metabolit morfin ini dieliminasi utamanya oleh gnjal,
dan hanya 1-7% melalui ekskresi biliaris.
Morfin (cont)
Eliminasi waktu paruh: pasien dengan gagal ginjal mennjukkan
konsentrasi morfin pada plasma dan CSF yang lebih tinggi
dibandingkan pasien normal.
Efek samping:
Pemberian morfin, bahkan dalam dosis besar (1 mg/kg IV), pada
pasien yang berbaring supine dan normovolemik patients biasanya
tidak menyebabkan efek depresi myocardial atau hipotensi secara
langsung. Namun hipotensi ortostatik dapat terjadi.
Pelepasan histamin
Depresi ventilasi langsung pada batang otak pada dosis tertentu yang
dicirikan dengan penurunan respon terhadap CO2. ter
Menekan batuk: misalnya codeine dan dextromethorphan.
Penggunaan morfin harus hati-hati pada pasien trauma kepala karena
efek insomnia, miosis, dan depresi ventilasi yang berhubungan dengan
peningkatan TIK jika PaCo2 meningkat.
Sedasi, nausea, dan vomitus
Morfin (cont)
Toleransi dan Ketergantungan
Dengan pemberian opioid berulang, toleransi dan
ketergantungan dapat terjadi dan merupakan kekurangan
utama dalam penggunaan klinis hampir semua agonis
opioid.
Toleransi merupakan perubahan kebutuhan untuk
meningkatkan dosis obat untuk mendapatkan efek yang
sama dengan dosis sebelumnya yang lebih rendah.
Ketergantungan fisik terhadap opioid biasana
membutuhkan waktu 25 hari untuk muncul, tetapi dapat
lebih cepat pada pasien yang tidak stabil secara emosional.
Penghentian obat akan memicu gejala withdrawal:
mengantuk, diaforesis, lakrimasi, coryza, insomnia,
abdominal cramp, diare, nausea, dan vomitus.
Meperidine (Petidin)
Merupakan agonis opioid sintetik pada reseptor dan
yang termasuk phenyl piperidine.
Meperidine memiliki beberapa struktur yang sama dengan
yang ada pada anestetik lokal (tertiary amine, ester, dan
lipophilic phenyl), sehingga pemberian intratekal dapat
memblok kanal natrium sampai pada tingkat yang dapat
dibandingkan dengan lidokain.
Secara struktural pun meperidine mirip dengan atropine,
sehingga memiliki efek antispasmodik ringan pada otot
polos.
Farmakologik: memiliki porensi 1/10 dari morfin
(pemberian meperidine 80 100 mg IM = 10 mg IM
morphine). Efeknya sama dengan morfin pada dosis
analgesik yang setara, namun meperidine diabsorbsi baik
dari GIT.
Meperidine (cont)
Metabolisme: utamanya metabolisme hepatik,
90% obat mengalami demethylation menjadi
normeperidine dan hydrolysis menjadi asam
meperidinic. Normeperidine merupakan
metabolit yang efeknya dari meperidine
sebagai analgesik tapi dapat menstimulasi SSP
(myoclonus, kejang), dengan waktu paruh 15
jam dan dapat terdeteksi di urin dalam 3 hari
setelah pemberian.
Meperidine (cont)
Penggunaan klinis:
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan
meperidin secara klinis sudah menurun.
Penggunaan utamanya biasanya untuk analgesia
pasien inpartu dan postoperatif. Kosentrasi meperidin
plasma 0.7 ug/mL dapat memberikan analgesia
postoperatif pada 95% pasien.
Efektif dalam menekan postoperative shivering yang
muncul akibat peningkatan negatif konsumsi oksigen
metabolik.
Tidak seperti morfin, meperidine tidak efektif sebagai
antitussive.
Fentanyl
Merupakan derivat phenyl piperidine yang sebagai
analgesik memiliki potensi lebih kuat 75 125 kali
daripada morfin.
Farmakokinetik: single dose fentanyl IV yang diberikan
memiliki onset lebih cepat dan durasi kerja lebih
pendek daripada morfin. Tetapi waktu paruh
eliminasinya lebih lama.
Metabolisme: fentanyl dimetabolisme oleh N-
demethylation menghasilkan norfentanyl yang
merupakan metabolit utama fentanyl. Metabolit ini
akan diekskresikan oleh ginjal dan dapat dideteksi
dalam urin selama 72 jam setelah pemberian single
dose fentanyl.
Fentanyl (Cont)
Penggunaan Klinis
Dosis rendah, 1 2 g/kg IV analgesia.
2 20 g/kg IV sebagai adjuvan pada anestetik inhalasi
dalam usaha untuk menumpulkan respon sirkulasi pada : (a)
direct laryngoscopy untuk intubasi trakea, atau (b) perubahan
cepat dalam level stimulasi operasi.
Dosis besar, 50 150 g/kg IV dapat digunakan secara sendiri
dalam surgical anesthesia.
Pemberian Intrathecal (manfaat maksimal didapatkan dengan
dosis 25 g) depat menghasilkan efek analgesia yang cepat dan
dalam pada pasien inpartu fase awal dengan efek samping
minimal.
Pemberian dalam preparat transmucosal (5 to 20 g/kg).
Transdermal fentanyl yang diberikan sebelum induksi anestesia
dan dibiarkan selama 24 jam dapat menurunkan jumlah
parenteral opioid yang dibutuhkan dalam analgesia postoperatif.
Fentanyl (Cont)
Efek samping
Depresi ventilasi persisten atau recurrent akibat
fentanyl berpotensi menjadi masalah postoperatif.
Bradikardia, penurunan tekanan darah dan cardiac
output.
Meningkatkan tekanan intrakranial (6 9 mm Hg),
yang biasanya diikuti dengan penurunan MAP
(mean arterial pressure) dan CPP (cerebral
perfusion pressure).
Tramadol
Merupakan analgesik yang bekerja secara
sentral yang memiliki afinitas sedang pada
reseptor opioid , dan lemah pada reseptor
dan , tetapi 5 10x kurang potent
dibandingkan morfin.
Dosis 3 mg/kg diberikan per oral, IV, atau IM
efektif untuk terapi nyeri sedang hingga
berat.
Perbedaan Karakteristik Opioid
Context Effect-Site
Percent Volume of
Protein Clearance Partition Elimination Sensitive Half- (Blood-Brain)
pK Nonionized Distribution
Binding (%) (ml/min) Coefficient Half-Time (hrs) Time 4-hour Equilibration
(pH 7.4) (liters)
Infusion (mins) Time (mins)

Morphine 7.9 23 35 1,050 224 1 1.7-3.3

Meperidine 8.5 7 70 1,020 305 32 3-5

Fentanyl 8.4 8.5 84 1,530 335 955 3.1-6.6 260 6.8

Sufentanil 8.0 20 93 900 123 1,727 2.2-4.6 30 6.2

Alfentanil 6.5 89 92 238 27 129 1.4-1.5 60 1.4

Remifentanil 7.3 58 66-93 4,000 30 0.17-0.33 4 1.1


4. Anestetik Lokal
Anestetik lokal terdiri atas bagian lipofilik dan hidrofilik
yang dipisahkan oleh rantai hidrokarbon. Bagian
lipofilik berperan penting dalam aktivitas anestetik.
Klasifikasi anestetik lokal adalah berdasarkan ikatan
yang menghubungkan rantai hidrokarbon dengan
rantai aromatik lipofilik, yaitu: ester (-CO-) atau amida
(-NHC-).
Anestetik lokal ester: procaine, chloroprocaine,
tetracaine.
Anestetik lokal amida: lidocaine, etidocaine, prilocaine,
mepivacaine, bupivacaine, ropivacaine,
levobupivacaine.
Anestetik Lokal (Cont)
Mekanisme kerja: anestetik lokal menghambat
transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat jalur ion natrium
menuju kanal ion selektif natrium pada
membran sel saraf. Gagalnya peningkatan
permeabilitas kanal ion natrium menurunkan
laju depolarisasi sehingga ambang potensial
tidak dapat dicapai dan menyebabkan tidak
terbentuknya potensial aksi.
Anestetik Lokal (Cont)
Farmakokinetik:
Anestetik lokal merupakan basa lemah yang memiliki nilai
pK di atas pH fisiologik. Acidosis pada lingkungan dimana
anestetik lokal akan diinjeksi (seperti pada infeksi jaringan)
akan meningkatkan fraksi obat terionisasi yang konsisten
dengan rendahnya kualitas anestetik lokal ketika
diinjeksikan pada area terinfeksi yang bersifat acidic.
Anestetik lokal yang memiliki pK lebih mendekati pH
fisiologis memiliki onset kerja lebih cepat, karena adanya
rasio optimal antara fraksi obat terionisasi dan tidak
terionisasi.
Aktivitas vasodilator intrinsik juga mempengaruhi potensi
dan durasi kerja. Peningkatan efek vasodilator lidokain
dibandingkan dengan mepivacaine menyebabkan absorbsi
sistemik lebih besar dan rusai kerja lebih pendek.
Anestetik Lokal (cont)
Metabolisme anestetik lokal amida mengalami
metabolisme melalui enzim mikrosomal yang berada
utamanya di hepar.
Prilocaine most rapid metabolisme
Lidocaine dan mepivacaine intermediate
Etidocaine, bupivacaine, dan ropivacaine slowest
metabolisme.
Dibandingkan dengan anestetik lokal ester, metabolisme
amida lebih kompleks dan lebih lambat.
Metabolisme yang lebih lambat berarti peningkatan
konsentrasi plasma dari anestetik lokal amida
dipertahankan sehingga toksisitas sistemik lebih dapat
terjadi.
Perbandingan beberapa anestetik lokal
Duration After Maximum Single Toxic Plasma
Protein
Classification Potency Onset Infiltration Dose for Concentration pK
Binding
(mins) Infiltration (mg) (g/ml)
Procaine 1 Slow 45-60 500 8.9 6
Chloroprocaine 4 Rapid 30-45 600 8.7
Tetracaine 16 Slow 60-180 100 (topical) 8.5 76
Lidocaine 1 Rapid 60-120 300 >5 7.9 70
Etidocaine 4 Slow 240-480 300 ~2 7.7 94
Prilocaine 1 Slow 60-120 400 >5 7.9 55
Mepivacaine 1 Slow 90-180 300 >5 7.6 77
Bupivacaine 4 Slow 240-480 175 >3 8.1 >97

Levobupivacaine 4 Slow 240-480 175 8.1 >97

Ropivacaine 4 Slow 240-480 200 >4 8.1 94


Penggunaan klinis anestetik lokal
Regional Anesthesia
Diklaifikasikan berdasarkan 6 tempat pemberian
anestetik lokal:
topical/surface anesthesia,
local infiltration,
peripheral nerve block,
intervenous regional anesthesia (Bier block),
epidural anesthesia,
spinal (subarachnoid) anesthesia.
Perbandingan Lidocaine dan Bupivacaine
Recommended
Duration
Clinical Use Concentration Onset Maximum Single
(min)
Dose (mg)
Lidocaine Topical 4 Fast 30-60 300
300 or 500 with
Infiltration 0.5-1 Fast 60-240
epinephrine
IVRA 0.25-0.5 Fast 30-60 300
300 or 500 with
PNB 1-1.5 Fast 60-180
epinephrine
300 or 500 with
Epidural 1.5-2 Fast 60-120
epinephrine
Spinal 1.5-5 Fast 30-60 100
175 or 225 with
Bupivacaine Infiltration 0.25 Fast 120-480
epinephrine
175 or 225 with
PNB 0.25-0.5 Slow 240-960
epinephrine
175 or 225 with
Epidural 0.5-0.75 Moderate 120-300
epinephrine
Spinal 0.5-0.75 Fast 60-240 20
Penggunaan klinis anestetik lokal
Analgesia
Lidokain konsentrasi 1-2 ug/mL menurunkan nyeri postoperatif dan
menurunkan kebutuhan opioid tanpa menimbulkan toksisitas sistemik
Supresi ventricular cardiac dysrhythmias
Pemberian lodacaine IV dapat meningkatkan ambang defibrilasi.
Supresi kejang tonic-klonic generalisata (grand mal)
Pemberian lidocaine atau mepivacaine dosis rendah
Efek antiinflamasi
Anestetik lokal dapat mengubah respon inflamasi dan bermanfaat
dalam menurunkan perioperative inflammatory injury.
Beberapa anestetik lokal memiliki efek antibakteri (tetracaine >
bupivacaine > lidocaine)
Bronkodilator
Lidocaine atau ropivacaine inhalasi menurunkan histamine-induced
bronchospasm.
Efek samping anestetik lokal
Reaksi alergi jarang terjadi (<1%)
Toksisitas sismetik akibat peningkatan konsentrasi plasma obat. Injeksi
IV langsung yang terjadi accidental dari anestetik lokal pada pemberian
anestesi peripheral nerve block atau anestesi epidural merupakan
mekanisme yang paling sering menyebabkan peningkatan konsentrasi
plasma anestetik lokal.
Gejala neurologik transien nyeri sedang hingga berat pada lower back,
buttocks, dan posterior thighs yang terjadi dalam 6 to 36 jam setelah
complete recovery dari single-shot spinal anesthesia.
Sindrom cauda equina sensory anesthesia, disfungsi sfingter bowel dan
bladder, dan paraplegia.
Hipotensi dan depresi miokardial pada konsentrasi plasma lidokain 5 to
10 g/mL dan konsentrasi yang equivalent oleh anestetik lokal lainnya.
Methemoglobinemia
Depresi respon ventilasi terhadap hipoksemia arterial
Hepatotoksisitas bupivacaine
Disforia
5. Obat Pelumpuh Neuromuskular
Efek farmakologik utama dari obat pelumpuh otot
adalah dalam memblok transmisi impuls saraf pada
neuromuscular junction.
Obat pelumpuh otot yang saat ini digunakan secara
klinis terbagi dalam dua jenis: non-depolarizing dan
depolarizing.
Non- depolarizing bekerja sebagai antagonis kompetitif
asetilkolin pada reseptor nikotinik asetilkolin di
postsinaps sehingga menghasilkan blokade
neuromuskular.
Depolarizing bekerja sebagai agonis asetilkolin pada
reseptor nikotinik asetilkolin di postsinaps yang
menyebabkan depolarisasi membran memanjang
sehingga menghasilkan blokade neuromuskular.
Skematik Neuromuscular Junction
Klasifikasi Obat Pelumpuh Otot
Clinical Classification Chemical Classification
Depolarizing
Succinylcholine
Nondepolarizing
Long-acting (>50 menit)
Pancuronium Aminosteroid
Doxacurium Aminosteroid
Pipecuronium Aminosteroid
Intermediate-acting (20-50 menit)
Atracurium Benzylisoquinoline
Vecuronium Aminosteroid
Rocuronium Aminosteroid
Cisatracurium Benzylisoquinoline
Short-acting (10-20 menit)
Mivacurium Benzylisoquinoline
Pelumpuh Otot Non-depolarizing
dengan Intermediate-Acting
Atracurium, vecuronium, dan rocuronium
diklasifikasikan sebagai obat pelumpuh otot
nondepolarizing yang bekerja intermediate.
Berbeda dengan pelumpuh otot long-acting
nondepolarizing, intermediate-acting memiliki
mekanisme klirens yang efisien dan cepat dari sirkulasi
yang meminimalkan efek kumulatif pada injeksi
berulang atau infus kontinyu.
Blokade neuromuskular yang dihasilkan secara
konsisten berefek antagonis dengan obat
Antikolinesterase (acetylcholinesterase inhibitor),
seringkali dalam 20 menit pemberian dosis paralisis
obat pelumpuh otot ini.
Faktor yang meningkatkan potensi pelumpuh otot
nondepolarizing:
Anestetik inhalasi pemanjangan durasi kerja relaksan
dan pemulihan dari pelumpuh otot.
Antibiotik aminoglikosida (polimixyn, lincomycin,
clindamicyn) meghambat pelepasan asetilkolin
prejunctional dan menekan sensitivitas reseptor nikotinik
asetilkolin postjunctional terhadap asetilkolin.
Konsentrasi magnesium yang tinggi
Anestetik lokal dalam dosis besar.
Obat antidisritmia seperti quinidin.
Faktor yang menurunkan potensi pelumpuh otot
nondepolarizing:
Terapi antikonvulsan kronik
Hiperkalsemia (pada pasien hiperparatiroidisme)
Perbandingan Farmakologi Pelumpuh
Otot Non-depolarizing yang
Intermediate-Acting

Onset to Duration to
Duration to
Intubating Maximum Return to Continuous
ED95 Return to
Dose Twitch Train-of- Infusion
(mg/kg) 25% Control
(mg/kg) Depression Four >0.9 (g/kg/min)
Twitch Height
(min) (min)
Atracurium 0.25 0.4-0.5 3-5 20-35 55-80 4-12

Vecuronium 0.05-0.06 0.08-0.1 3-5 20-35 50-80 1

Rocuronium 0.3 0.6-1.2 1-2 20-35 55-80 3-12


Volume of Renal Biliary Hepatic
Distribution Clearance Excretion (% Excretion (% Degradation Hydrolysis
(liters/kg) (ml/kg/min) Unchanged) Unchanged) (%) in Plasma
Atracurium 0.2 5.5 10 NS ? Yes*

Vecuronium 0.27 5.2 15-25 40-75 20-30 No

Rocuronium 0.3 4.0 10-25 50-70 10-20 No

Degradation Elimination Elimination Elimination Half-Time


Degradation
Dependent Dependent Dependent (min)
Dependent
on Body on Renal on Hepatic Kidney Hepatic
on Blood pH Normal
Temperature Function Function Failure Failure
Atracurium Yes Yes No No 21 18-25 20-25

Vecuronium Yes No Yes Yes 50-110 80-150 49-198

Rocuronium Yes No Yes Yes 87 97 97


6. Obat Antikolinesterase
= Asetilkolinesterase inhibitor
Obat Antikolinesterase (edrophonium,
neostigmine, pyridostigmine) seringkali
digunakan untuk menfasilitasi kecepatan recovery
otot skelet dati obat pelumpuh otot
nondepolarizing.
Pada neuromuscular junction, asetilkolinesterase
merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam
hidrolisis cepat pelepasan asetilkolin.
Antikolinesterase
Mekanisme kerja:
Recovery dari relaksaasi otot akibat obat pelumpuh otot
non-depolarizing bergantung pada eliminasi obat
pelumpuh otot tersebut dari dalam tubuh.
Asetilkolinesterasi inhibitor digunakan secara klinis sebagai
antagonis terhadap efek residual obat pelumpuh otot dan
mempercapat recovery.
Asetilkolin yang berakumulasi pada NMJ akan
berkompetisi dengan molekul residual obat pelumpuh
otot, dan pemberian antikolinesterase akan memastikan
ketersediaan asetilkolin dalam jumblah banyak. Setelah
asetilkolinesterase dihambat, pemberian ulangan
antikolinesterase tidak akan berguna karena jumlah
asetilkolin yang diproduksi terbatas.
Antikolinesterase
Antagonisme obat pelumpuh otot oleh
antikolinesterase bergantung pada:
Dalamnya blokade pelumpuh otot
Antikolinesterase yang dipilih
Dosis yang diberikan
Kecepatan klirens obat pelumpuh otot dari plasma
Pilihan dan kedalaman anestetik yang diberikan
Neostigmin: dosis max yang efektif 60-80 ug/kg
Edrophonium: 1 1,5 mg/kg
Farmakokinetik: klirens melalui ekskresi ginjal.
Perbandingan beberapa
antikolinesterase
Elimination Half- Volume of Clearance
Antikolinesterase Time (mins) Distribution (L/kg) (mL/kg/min)
Normal Anephric Normal Anephric Normal Anephric
Edrophonium (0.5 kg/kg) 110 206 1.1 0.7 9.6 2.7

Neostigmine (0.043 mg/kg) 77 181 0.7 1.6 9.2 7.8

Pyridostigmine (0.35 mg/kg) 112 379 1.1 1.0 8.6 2.1

Renal Antikolinergik Dose


Contribution to Speed of Duration Principal Site (g/kg)
Antikoliesterase
Total Clearance Onset (mins) of Action
Atropine Glycopyrrolate
(%)
Edrophonium Rapid
66 60 Presynaptic 7* NR
(0.5 mg/kg) (1-2 min)
Neostigmine Intermediate
54 54 Postsynaptic 20 10
(0.043 mg/kg) (7-11 min)
Pyridostigmine Delayed
76 76 Postsynaptic 20 10
(0.35 mg/kg) (16 min)
Efek samping antikolinesterase
Inhibisi asetilkollinesterase tidak hanya meningkatkan
konsentrasi asetilkolin di NMJ (nicotinic site) tetapi juga
sinaps lainnya yang menggunakan asetilkolin sebagai
transmitter.
Efek samping antikolinesterase merupakan efek
muskarinik.
Kardiovaskular: seperti bradycardia, dan hipotensi
Respiratorik: bronkokonstriksi,
GIT: hipersalivasi, peningkatan motilitas usus
SSP: confusion, ataxia, koma, kejang, depresi ventilasi
7. Obat Antikolinergik
Obat antikolinergik bersifat antagonis kompetitif
terhadap efek parasimpatis dari neurotransmitter
asetilkolin pada situs postganglionik kolinergik
pada reseptor muskarinik.
Jenis obat antikolinergik:
larut lemak: atropin, skopolamin
Kurang larut lemak: glycopyrrolate .
Farmakokinetik: pemberian antikolinergik IV atau
IM dapat menembus sawar darah otak terutama
atropine dan scopolamine yang larut lemak,
sehingga dapat menimbulkan efek pada SSP.
Perbedaan efek berbagai antikolinergik
Increase Relax Smooth
Sedation Antisialagogue
Heart Rate Muscle
Atropine + + +++ ++
Scopolamine +++ +++ + +
Glycopyrrolate 0 ++ ++ ++

Decrease
Prevent
Mydriasis, Gastric Alter Fetal
Motion-induced
Cycloplegia Hydrogen Heart Rate
Nausea
Ion Secretion
Atropine + + + 0
Scopolamine +++ +++ + ?
Glycopyrrolate 0 0 + 0
0, none; +, mild; ++, moderate; +++, marked.
Penggunaan Klinis Antikolinergik
Medikasi Preoperative
Tujuan terapeutik adalah untuk menghasilkan sedasi
dan atau efek antisialagogue.
Pengobatan Bradikardia
Atropine 15 to 70 g/kg IV efektif dalam mengobati
bradikardia intraoperatif yang terjadi akibat
meningkatnya aktivitas sistem saraf parasimpatis.
Kombinasi bersama obat antikolinesterase
Untuk mencegah efek parasimpatomimetik
Bronkodilator
8. Simpatomimetik
Simpatomimetik menimbulkan respon
fisiologis yang mirip dengan yang dihasilkan
oleh aktivitas endogen sistem saraf simpatis.
Mekanisme kerja: simpatomimetik bekerja
dengan mengaktivasi reseptor -adrenergic, -
adrenergic, atau dopaminergic (baik secara
langsung maupun tidak langsung).
Klasifikasi simpatomimetik
Natural catecholamines Synthetic
Epinephrine noncatecholamines
Norepinephrine Indirect-acting
Dopamine Ephedrine
Synthetic catecholamines Mephentermine
Isoproterenol Amphetamines
Dobutamine Metaraminol
Direct-acting
Phenylephrine
Methoxamine
Efek Farmakologis Simpatomimetik
Vasokonstriksi (terutama pada sirkulasi ginjal dan
kutaneus).
Vasodilatasi (otot skelet)
Bronkodilatasi
Stimulasi Cardiac (meningkatkan heart rate,
kontraktilitas myocardial)
Pelepasan asam lemak bebas
Glikogenolisis hepatik
Perubahan sekresi insulin, renin, dan hormon pituitari
Stimulasi SSP
Penggunaan Klinis Simpatomimetik
Agen inotropik positif
Vasopressors digunakan hanya ketika
penurunan aliran darah dapat berakibat
iskemia jaringan.
Terapi bronkospasme
Terapi reaksi alergi
Menurunkan absorbsi sistemik anestetik lokal
Efedrin
Merupakan simpatomimetik sintetik non-katekolamin
yang bekerja secara indirect (tidak langsung).
Mekanisme kerja: efedrin menstimulasi pelepasan
norepinefrin endogen yang kemudian menstmulasi
reseptor - dan -adrenergic.
Efek cardiovascular mirip dengan epinefrin, tetapi
respon peningkatan tekanan darah sistemik kurang
intens dan bertahan sekitar 10x lebih lama. Pemberian
efedrin IV meningkatkan tekanan darah sistolik dan
diastolik, heart rate, dan cardiac output, yang
menandakan adanya mediasi -receptor arteri
periferdan vasokonstriksi vena dan peningkatan
kontraktilitas miokardial karena aktivasi 1-receptors.
Penggunaan klinis efedrin
Terapi hipotensi (5 to 10 mg IV) yang
diakibatkan oleh blokade sistem saraf simpatis
oleh regional anesthesia atau anestetik
inhalasi atau injeksi.
Asma bronkiale (pemberian oral)
Decongestant nasal spray
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai