• Epidemiologi
• Diagnosis
• Tatalaksana
• Strategi penanggulangan KLB
Epidemiologi
Difteria adalah penyebab utama kesakitan dan kematian
pada anak
• Epidemik pertama 6 SM
• Hippocrates menggambarkan pertama pada 5 SM
• Tahun 1921: 206,000 kasus, kematian sebelum
ditemukan tatalaksana difteria, >50% meninggal
• Tahun 1990-1996: KLB di Rusia
– Angka kematian 3-23%
– CFR di USSR 1990-1997: 4.000 dari 150.000 kasus
– >60% usia >14 tahun
• KLB difteri telah terjadi sejak tahun 2009 di provinsi Jawa
Timur
SEBARAN KLB DIFTERI KLINIS
TAHUN 2017
MAPPING RUMOR KLB MAPPING VERIFIKASI KLB
APAKAH PASIEN YANG DIHADAPI
ADALAH PASIEN DIFTERI?
Penyebab Difteria
• Difteria disebabkan Corynebacterium diphtheriae
• Korynee: club-shaped bacteria; diphtheria=leather hide
looking pharyngeal membrane
– 4 tipe C. diphtheriae berdasarkan bentuk yang tumbuh
pada media tellurite:
• Mitis – koloni hitam dengan keabuan di pinggir
• Gravis – besar, koloni keabuan
• Intermedius – koloni kecil, berwarna abu sampai
kehitaman
• Belfanti
– Ditumbuhkan pada suhu 35-370C selama 24 jam dan 3
tipe dapat menghasilkan toksin
DIFTERIA: DEFINISI-1
• Kasus suspek
– Faringitis, nasofaringitis, tonsilitis, laringitis,
trakeitis (atau kombinasi diantaranya), tanpa
demam atau subfebris
– Putih Keabu-abuan pseudomembran
hijau atau kehitaman yang terdapat pada
salah satu atau kedua tonsil
– Membran berdarah, jika dimanipulasi atau
terlepas
Check List for Assessing a Patient with Suspected Diphtheria
CDC-WHO, 2014
DIFTERIA: DEFINISI-2
• Kasus Probable: Kriteria kasus suspek + 1 or
lebih:
- Kontak (<2 minggu)
- Stridor dengan kasus/karier
- Bull-neck (edema servikal) - Status imunisasi untuk
difteria tidak lengkap,
- Kolaps sirkulasi toksik termasuk belum
- Acute kidney injury dilakukan booster
TONSILITIS
NONDIFTERIA
DIAGNOSIS BANDING FAUCIAL DIFTERIA
• Faringitis membranosa:
– Nyeri tenggorokan streptococcus berat, Vincent’s
angina, atau demam glandular, faringitis
streptococcus dan infeksi mononucleosis
• Laringitis difteri:
– Epiglotitis Haemophilus influenzae tipe b, croup
spasmodik, atau adanya benda asing,
laringotrakeobronkitis, abses peritonsilar, abses
retrofaring
CDC Protocol-03/26/2014-Revised
BULL NECK
• Edema jaringan lunak yang menyebabkan
tampilan ‘bull neck’ pada kasus berat
• Bila meluas hingga sudut dagu sehingga batas
m. sternokleidomastoid dan batas tengah
klavikula menghilang, disebut edema erasure
• Pada kasus tanpa komplikasi, tampilan ‘bull
neck’ menghilang dalam waktu 2 minggu
BULLNECK
• Pasien bayi, umumnya difteria kulit di nasal atau konjungtivitis
• Tercium bau busuk, sekret serosanguinis/purulen
• Ulkus dangkal pada hidung dan bibir atas
KOMPLIKASI
• Pertumbuhan mikroorganisme terlokalisir,
namun eksotoksin diabsorbsi dan masuk ke
dalam darah sehingga menyebabkan kelainan
sistemik yang berat. Menyebabkan kelainan
pada organ yang jauh:
– 1-2 minggu setelah awitan untuk miokarditi
– 1-2 minggu setelah untuk neuritis
– Jarang: gagal ginjal
• Pneumonia karena infeksi bakteri sekunder
• Artritis septik difteria
CDC Protocol-03/26/2014-Revised
KOMPLIKASI JANTUNG
• Miokarditis defiteri
– 1/3 pasien, biasanya 1 – 2 minggu pasca awitan gejala
saluran pernapasan
– Berkorelasi dengan luas dan beratnya bull neck dan luas
pseudomembran menutupi tonsil
– Perubahan EKG memprediksi angka kematian 3 – 4 kali
lebih tinggi
• Pada sebuah penelitian terdiri dari 102 pasien yang
meninggal akibat difteri (d1-8), didapatkan proses
nekrosis-distrofi pada jantung
• Gagal jantung kongestif dan kolaps sirkulasi
• Endokarditis
Diphtheria. Feigin and Cherry’s. textbook of pediatric
infectious diseases. 7th ed. 2014: 1301
JID 2000;181 (Suppl 1)
KOMPLIKASI NEUROLOGIS
• 75% pasien dengan derajat penyakit berat
mengalami beberapa bentuk neuropati
• Neuropati dapat mengenai palatum lunak,
dinding faring posterior dan saraf kranial,
menyebabkan regurgitasi atau aspirasi dan
paralisis nervus okulomotor dan siliaris
• Neuritis perifer terjadi pada fase lanjut, 10
hari – 3 bulan setelah awitan kelainan
orofaring
N. R. Adler. Internal Medicine Journal · February 2013
JID 2000;181 (Suppl 1)
LABORATORIUM
• Sampel:
– Dicurigai infeksi difteri tenggorokan atau nasofaring
(atau keduanya)
– Kelainan kulit: luka atau lesi kulit
• Diambil sampel dibawah membran
• Spesimen harus langsung ditransportasikan ke
laboratorium (media transportasi Amie’s)
• Diagnosis difeteri berdasarka pemeriksaan
mikroskopis tidak dapat dipercaya karena baik
false-positive dan false-negative dapat terjadi
N. R. Adler. Internal Medicine Journal · February 2013
Androulla Efstratiou. The Journal of Infectious Diseases 2000;181(Suppl 1):S138
HASIL PEMERIKSAAN APUS TENGGOROK:
“unreliable”
Corynebacterium diphtheriae
Diwarnai dengan teknik Gram Corynebacterium diphtheriae
Tidak terdapat drum stick Diwarnai dengan teknik Albert's
Karakteristik “Aksara Cina”
Terbaik sebelum pemberian antibiotik
PENTINGNYA MELAKUKAN PEMERIKSAAN
KULTUR PADA DIFTERI
CDC Protocol-03/26/2014-Revised
Journal of Clinical Microbiology 2014;52: 4381
Indian J Med Res 126, December 2007, pp 545
CDC WHO 15 Januari 2016:
TATALAKSANA DIFTERIA
• Dokter memutuskan diagosis difteria
berdasarkan tanda dan gejala.
Terpenting:
mulai tatalaksana antitoksin dan antibiotik apabila
dokter mendiagnosis suspek difteria tanpa perlu
konfirmasi laboratorium.
TATALAKSANA
1. Pemberian antitoksin diferi secepat mungkin
setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap
serum kuda; pemberian antitoksin secara dini
sangat penting dalam hal kesintasan
2. Menegakkan diagnosis melalui kultur bakteri
yang tepat
3. Pemberian antibiotik
4. Perawatan suportif termasuk perhatian khusus
untuk mempertahankan patensi saluran napas
bila terdapat membran laring atau faring
ekstensif dan melakukan observasi jantung
CDC Protocol-03/26/2014-Revised
TATALAKSANA
• Lakukan penilaian apakah ditemukan keadaan gawat
napas akibat obstruksi saluran napas karena
membran dan edema perifaringeal trakeostomi
• Lakukan klasifikasi kasus
• Pemberian ADS (antidifteria serum) berdasarkan
diagnosis klinis untuk menetralisasi toksin bebas
– dosis tunggal dalam 100-200 mL dekstrosa i.v. selama 30-
60 menit, sebelumnya dilakukan uji kepekaan.
– Uji kepekaan dengan pemberian 1 tetes antitoksin
pengenceran 1:10 pada konjungtiva atau 0,02 mL
penyuntikan intradermal pengenceran 1:1000
ADS/Diphtheria Antitoxin
• Antitoksin difteri pertama kali diproduksi pada
1890an dan masih diproduksi menggunakan
serum kuda yang dihiperimunisasi dengan
toksoid difteri.
• Angka kematian untuk difteri klinis seringnya
melebihi 50% pada era sebelum adanya
antitoksin
• Pemberian:
– 24-48 jam kematian : 4%
– Hari ke-3 kematian : 16.1%
– >3 hari kematian : 29.9%
CDC Protocol-03/26/2014-Revised
Pemberian Antitoksin Difteri
Berikut menunjukkan peningkatan risiko reaksi
Kemungkinan Efek Samping anafilaksis pasca pemberian antitoksin difteri
CDC Protocol-03/26/2014-Revised
PEMBERIAN ANTITOKSIN
PADA PENGOBATAN DIFTERIA
Demam
Reaksi lokal : bengkak, nyeri pada bekas suntikan
Menamgis lebih dari 3 jam
Episode Hypotonic Hyporesponsive
Kejang demam
KONTRA INDIKASI
Jarang sekali > 1/10,000 - < 1/1,000 > 0.01% - < 0.1%
BCG 90 – 95 % - -
Hib 5 – 15 % 2 – 10 % -
Hep B Dws: 15 % ; Anak: 5 % - 1–6 %
Measles/ ~10 % 5 – 15 % 5 % ruam
MMR
Polio - <1% < 1 %**
(OPV)
~10 %* ~10 % ~25 %
DTP Sampai 50 % Sampai 50 % Sampai 55 %
(pertusis)
* Kejadian (rate) reaksi lokal mungkin meningkat pd booster, bisa sampai 50-85%
** Gejala: diare, sakit kepala, dan/ atau nyeri otot.
Reaksi Berat
Jarang – Sangat jarang sekali
3
1 2 4
Reaksi yang
Reaksi yang Reaksi yang Reaksi yang 5
berhubungan
berhubungan berhubungan berhubungan
dengan Koinsiden
dengan dengan defek dengan
kesalahan
produk vaksin kualitas vaksin kecemasan
prosedur
CONTOH
CONTOH
Kegagalan CONTOH
CONTOH Demam
pabrik vaksin
CONTOH Transmisi Vasovagal setelah
untuk
Trombositope infeksi syncope imunisasi
menginaktiva
-nia pasca melalui vial pada (hubungan
si secara
pemberian multidosis seorang sementara)
komplit suatu
vaksin yang dewasa dan parasit
lot vaksin IPV
campak terkontami- muda malaria
yang
nasi setelah yang
menyebabka
imunisasi. diisolasi
n polio
dari darah.
paralitik