Anda di halaman 1dari 67

DIFTERI:

Tatalaksana serta Persiapan ORI

dr. Marte Robiul Sani, Sp.A, M.Kes


10 Januari 2018
Pembahasan

• Epidemiologi
• Diagnosis
• Tatalaksana
• Strategi penanggulangan KLB
Epidemiologi
Difteria adalah penyebab utama kesakitan dan kematian
pada anak
• Epidemik pertama 6 SM
• Hippocrates menggambarkan pertama pada 5 SM
• Tahun 1921: 206,000 kasus, kematian sebelum
ditemukan tatalaksana difteria, >50% meninggal
• Tahun 1990-1996: KLB di Rusia
– Angka kematian 3-23%
– CFR di USSR 1990-1997: 4.000 dari 150.000 kasus
– >60% usia >14 tahun
• KLB difteri telah terjadi sejak tahun 2009 di provinsi Jawa
Timur
SEBARAN KLB DIFTERI KLINIS
TAHUN 2017
MAPPING RUMOR KLB MAPPING VERIFIKASI KLB
APAKAH PASIEN YANG DIHADAPI
ADALAH PASIEN DIFTERI?
Penyebab Difteria
• Difteria disebabkan Corynebacterium diphtheriae
• Korynee: club-shaped bacteria; diphtheria=leather hide
looking pharyngeal membrane
– 4 tipe C. diphtheriae berdasarkan bentuk yang tumbuh
pada media tellurite:
• Mitis – koloni hitam dengan keabuan di pinggir
• Gravis – besar, koloni keabuan
• Intermedius – koloni kecil, berwarna abu sampai
kehitaman
• Belfanti
– Ditumbuhkan pada suhu 35-370C selama 24 jam dan 3
tipe dapat menghasilkan toksin
DIFTERIA: DEFINISI-1
• Kasus suspek
– Faringitis, nasofaringitis, tonsilitis, laringitis,
trakeitis (atau kombinasi diantaranya), tanpa
demam atau subfebris
– Putih  Keabu-abuan  pseudomembran
hijau atau kehitaman yang terdapat pada
salah satu atau kedua tonsil
– Membran berdarah, jika dimanipulasi atau
terlepas
Check List for Assessing a Patient with Suspected Diphtheria
CDC-WHO, 2014
DIFTERIA: DEFINISI-2
• Kasus Probable: Kriteria kasus suspek + 1 or
lebih:
- Kontak (<2 minggu)
- Stridor dengan kasus/karier
- Bull-neck (edema servikal) - Status imunisasi untuk
difteria tidak lengkap,
- Kolaps sirkulasi toksik termasuk belum
- Acute kidney injury dilakukan booster

- Ptekie pada submukosa/kulit


- Miokarditis
- Kematian
Check List for Assessing a Patient with Suspected Diphtheria
CDC-WHO, 2014
DIFTERIA: DEFINISI-3

Check List for Assessing a Patient with Suspected Diphtheria


CDC-WHO, 2014
DIAGNOSIS
Anamnesis
• Kontak dengan penderita difteria
– Definisi kontak: orang serumah dan teman bermain;
kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi mulut ke
mulut); individu seruang dengan penderita dalam waktu
>4 jam selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam
seminggu (a.l.: teman sekelas, teman mengaji, les).

• Suara serak dan disfagia


• Stridor, batuk menggonggong, “ngences”, dan tanda lain
obstruksi jalan napas
• Demam tidak begitu tinggi
• Riwayat imunisasi tidak lengkap
Pemeriksaan Fisis

• Tampak toksik dan sakit berat, padahal demam tidak


terlalu tinggi
• Muka pucat bahkan sampai sianosis
• Cari tanda-tanda syok
• Kesulitan bicara
• Penglihatan ganda
• Umumnya menunjukkan tanda tonsilitis dan
faringitis
• Terdapat membran pada tempat infeksi berwarna
putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat
Hati-hati pada masa KLB:
Lesi pada kulit dan konjungtivitis dapat dicurigai suatu difteria
Selalu periksa tenggorok apabila ada keluhan nyeri menelan
Apa yang dapat menyebabkan spot
pada tonsil?
Karakteristik tonsilitis Difteria
• Muncul cepat, akut • Pasien tampak toksik
• Tidak tampak toksik • Muka pucat, walaupun suhu
• Muka mungkin kemerahan, tubuh jarang >390C
dengan suhu tinggi hingga • Laju nadi cepat tetapi lemah
>390C
• Muncul berangsur-angsur
(2-3 hari)
• Sulit membedakan beslag
tonsilitis dan difteria apabila • Seringkali, beslag diteria
terjadi tonsilitis berat dengan hanya unilateral dengan
erosi yang dilapisi membran sekelilingnya kemerahan
abu dan coklat • Membran sulit diangkat
dan akan berdarah, serta
tampak dasarnya erosi
CDC Protocol-03/26/2014-Revised
TONSILITIS
DIFTERIA

TONSILITIS
NONDIFTERIA
DIAGNOSIS BANDING FAUCIAL DIFTERIA

• Faringitis membranosa:
– Nyeri tenggorokan streptococcus berat, Vincent’s
angina, atau demam glandular, faringitis
streptococcus dan infeksi mononucleosis

• Laringitis difteri:
– Epiglotitis Haemophilus influenzae tipe b, croup
spasmodik, atau adanya benda asing,
laringotrakeobronkitis, abses peritonsilar, abses
retrofaring

CDC Protocol-03/26/2014-Revised
BULL NECK
• Edema jaringan lunak yang menyebabkan
tampilan ‘bull neck’ pada kasus berat
• Bila meluas hingga sudut dagu sehingga batas
m. sternokleidomastoid dan batas tengah
klavikula menghilang, disebut edema erasure
• Pada kasus tanpa komplikasi, tampilan ‘bull
neck’ menghilang dalam waktu 2 minggu

N. R. Adler. Internal Medicine Journal ·


February 2013
ERASURE

BULLNECK
• Pasien bayi, umumnya difteria kulit di nasal atau konjungtivitis
• Tercium bau busuk, sekret serosanguinis/purulen
• Ulkus dangkal pada hidung dan bibir atas
KOMPLIKASI
• Pertumbuhan mikroorganisme terlokalisir,
namun eksotoksin diabsorbsi dan masuk ke
dalam darah sehingga menyebabkan kelainan
sistemik yang berat. Menyebabkan kelainan
pada organ yang jauh:
– 1-2 minggu setelah awitan untuk miokarditi
– 1-2 minggu setelah untuk neuritis
– Jarang: gagal ginjal
• Pneumonia karena infeksi bakteri sekunder
• Artritis septik difteria
CDC Protocol-03/26/2014-Revised
KOMPLIKASI JANTUNG
• Miokarditis defiteri
– 1/3 pasien, biasanya 1 – 2 minggu pasca awitan gejala
saluran pernapasan
– Berkorelasi dengan luas dan beratnya bull neck dan luas
pseudomembran menutupi tonsil
– Perubahan EKG memprediksi angka kematian 3 – 4 kali
lebih tinggi
• Pada sebuah penelitian terdiri dari 102 pasien yang
meninggal akibat difteri (d1-8), didapatkan proses
nekrosis-distrofi pada jantung
• Gagal jantung kongestif dan kolaps sirkulasi
• Endokarditis
Diphtheria. Feigin and Cherry’s. textbook of pediatric
infectious diseases. 7th ed. 2014: 1301
JID 2000;181 (Suppl 1)
KOMPLIKASI NEUROLOGIS
• 75% pasien dengan derajat penyakit berat
mengalami beberapa bentuk neuropati
• Neuropati dapat mengenai palatum lunak,
dinding faring posterior dan saraf kranial,
menyebabkan regurgitasi atau aspirasi dan
paralisis nervus okulomotor dan siliaris
• Neuritis perifer terjadi pada fase lanjut, 10
hari – 3 bulan setelah awitan kelainan
orofaring
N. R. Adler. Internal Medicine Journal · February 2013
JID 2000;181 (Suppl 1)
LABORATORIUM
• Sampel:
– Dicurigai infeksi difteri tenggorokan atau nasofaring
(atau keduanya)
– Kelainan kulit: luka atau lesi kulit
• Diambil sampel dibawah membran
• Spesimen harus langsung ditransportasikan ke
laboratorium (media transportasi Amie’s)
• Diagnosis difeteri berdasarka pemeriksaan
mikroskopis tidak dapat dipercaya karena baik
false-positive dan false-negative dapat terjadi
N. R. Adler. Internal Medicine Journal · February 2013
Androulla Efstratiou. The Journal of Infectious Diseases 2000;181(Suppl 1):S138
HASIL PEMERIKSAAN APUS TENGGOROK:
“unreliable”

Corynebacterium diphtheriae
Diwarnai dengan teknik Gram Corynebacterium diphtheriae
Tidak terdapat drum stick Diwarnai dengan teknik Albert's
Karakteristik “Aksara Cina”
Terbaik sebelum pemberian antibiotik
PENTINGNYA MELAKUKAN PEMERIKSAAN
KULTUR PADA DIFTERI

• Kultur dan tes Elek tetap menjadi baku emas


untuk diagnostik difteri

CDC Protocol-03/26/2014-Revised
Journal of Clinical Microbiology 2014;52: 4381
Indian J Med Res 126, December 2007, pp 545
CDC WHO 15 Januari 2016:
TATALAKSANA DIFTERIA
• Dokter memutuskan diagosis difteria
berdasarkan tanda dan gejala.
Terpenting:
mulai tatalaksana antitoksin dan antibiotik apabila
dokter mendiagnosis suspek difteria tanpa perlu
konfirmasi laboratorium.
TATALAKSANA
1. Pemberian antitoksin diferi secepat mungkin
setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap
serum kuda; pemberian antitoksin secara dini
sangat penting dalam hal kesintasan
2. Menegakkan diagnosis melalui kultur bakteri
yang tepat
3. Pemberian antibiotik
4. Perawatan suportif termasuk perhatian khusus
untuk mempertahankan patensi saluran napas
bila terdapat membran laring atau faring
ekstensif dan melakukan observasi jantung

CDC Protocol-03/26/2014-Revised
TATALAKSANA
• Lakukan penilaian apakah ditemukan keadaan gawat
napas akibat obstruksi saluran napas karena
membran dan edema perifaringeal  trakeostomi
• Lakukan klasifikasi kasus
• Pemberian ADS (antidifteria serum) berdasarkan
diagnosis klinis untuk menetralisasi toksin bebas
– dosis tunggal dalam 100-200 mL dekstrosa i.v. selama 30-
60 menit, sebelumnya dilakukan uji kepekaan.
– Uji kepekaan dengan pemberian 1 tetes antitoksin
pengenceran 1:10 pada konjungtiva atau 0,02 mL
penyuntikan intradermal pengenceran 1:1000
ADS/Diphtheria Antitoxin
• Antitoksin difteri pertama kali diproduksi pada
1890an dan masih diproduksi menggunakan
serum kuda yang dihiperimunisasi dengan
toksoid difteri.
• Angka kematian untuk difteri klinis seringnya
melebihi 50% pada era sebelum adanya
antitoksin
• Pemberian:
– 24-48 jam kematian : 4%
– Hari ke-3 kematian : 16.1%
– >3 hari kematian : 29.9%

CDC Protocol-03/26/2014-Revised
Pemberian Antitoksin Difteri
Berikut menunjukkan peningkatan risiko reaksi
Kemungkinan Efek Samping anafilaksis pasca pemberian antitoksin difteri

• Reaksi Anafilaksis (0,6%): • Asma, rinitis alergi, atau


Dalam beberapa menit urtikaria
pasca paparan antitoksin • Asma, rinitis alergi, atau
difteri urtikaria atau gejala
• Demam (4%): mengganggu lainnya ketika
20 menit – 1 jam dekat dengan kuda
• Serum Sickness (8,8%): • Riwayat penyuntikan serum
yang berasal dari kuda
7 - 10 hari (5 –24 hari)

CDC Protocol-03/26/2014-Revised
PEMBERIAN ANTITOKSIN
PADA PENGOBATAN DIFTERIA

Dosis anak dan dewasa: tidak berbeda


CDC Protocol-03/26/2014-Revised dan Krugman, 1992 dengan modifikasi
TERAPI ANTIMIKROBIAL

• Corynebacterium diphtheriae biasanya sensitif


terhadap penisilin
• Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk
eradikasi karier difteria nasofaring.

Eritromisin 40-50 mg/kgbb/hari, maks. 2 g/hari) selama


14 hari, atau
procaine penicillin G 1x/hari (300,000 U/day <10kg dan
600,000 U/day >10kg) selama 14 hari.
Tonsilofaringitis difteri
+ imunisasi tidak lengkap
SETELAH PEMBERIAN ERITROMISIN

Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6

Hari 7 Hari 8 Hari 9 Hari 10


PROGNOSIS
• Virulensi organisme
• Tempat pada tubuh terjadinya infeksi
– Pada difteria faring umumnya berat dan toksik
• Usia <5 tahun
• Status imunisasi: belum/tidak lengkap
• Kecepatan pemberian antitoksin
• Obstruksi mekanik laring atau difteria bull-neck

Walaupun dilakukan pengobatan, 1 dari 10 pasien difteria


kemungkinan meninggal.
Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteria akan meninggal
CDC WHO, 15 Januari 2016:

• Pasien difteria diisolasi sampai tidak menular


– yaitu 48 jam setelah pemberian antibiotik.
– Namun tetap dilakukan kultur setelah 14 hari
pemberian antibiotik
• Pada orang sakit yang tidak diberi antibiotik:
inkubasi sd 2 minggu setelah munculnya gejala (sd
6 minggu)
Tata Cara Pencegahan Tertular Difteria

• Pemberian antibiotik profilaksis


– Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk
eradikasi karier difteria nasofaring.
– Eritromisin p.o. 7 hari (40 mg/kg/day untuk anak dan
1g/hari untuk dewasa)
– Terutama untuk kontak erat
• Apabila ada masalah, sehingga surveilans tidak
optimal pada karier dan kontak erat:
– Identifikasi karier dan kontak erat
– Tetap berikan antibiotik profilaksis
– Isolasi bagi karier sampai hasil kultur negatif
Klasifikasi Lapangan KIPI, WHO 1999
1. Reaksi vaksin
2. Kesalahan program / teknik pelaksanaan
imunisasi
3. Reaksi suntikan
4. Faktor kebetulan (Koinsidens)
5. Tidak diketahui

Klasifikasi lapangan dipakai pada


pencatatan & pelaporan KIPI
KIPI
KIPI

 Demam
 Reaksi lokal : bengkak, nyeri pada bekas suntikan
 Menamgis lebih dari 3 jam
 Episode Hypotonic Hyporesponsive
 Kejang demam
KONTRA INDIKASI

 Hipersensitif terhadap komponen vaksin


 Kejang atau gejala kelainan otak merupakan
kontraindikasi terhadap komponen pertusis  ganti DT
 Demam
Definisi KIPI (WHO)
• KIPI adalah setiap kejadian medis yang tidak
diinginkan yang terjadi setelah pemberian
imunisasi, kejadian ikutan ini tidaklah harus
memiliki hubungan sebab akibat dengan vaksin.
• Kejadian ikutan dapat berupa gejala yang
membuat tidak nyaman atau tanda klinis penyakit
tertentu, atau hasil laboratorium yang tidak
normal
Sumber: WHO. Causality Assessment of an Adverse Event Following Immunization (AEFI): user
manual for the revised WHO classification. 2013; p.2. Dapat diakses pada: http://in.vaccine-safety-
training.org/
Klasifikasi KIPI
• Klasifikasi Lapangan
 untuk petugas kesehatan di lapangan
• Klasifikasi Kausalitas KIPI
 untuk telaah komnas dan komda KIPI
– Kausalitas WHO 2009
– Kausalitas WHO 2013
Klasifikasi Lapangan KIPI, WHO 1999
1. Reaksi vaksin
2. Kesalahan program / teknik pelaksanaan
imunisasi
3. Reaksi suntikan
4. Faktor kebetulan (Koinsidens)
5. Tidak diketahui

Klasifikasi lapangan dipakai pada


pencatatan & pelaporan KIPI
Komposisi Vaksin
•Bahan aktif = Antigen
•Sebagai tambahan, vaksin juga mengandung: antara lain :

Komponen Fungsi Contoh


Adjuvan Meningkatkan respon imun terhadap Garam aluminium
vaksin

Pengawet Mencegah kontaminasi bakteri atau jamur Thiomersal


terhadap vaksin

Aditif/ tambahan Mestabilkan vaksin dari kondisi Gelatine


merugikan seperti freeze-drying atau
panas, untuk menjaga potensi vaksin

Residual dari Agen peng-non-aktif Formaldehide


proses
Antibiotik – mencegah kontaminasi Neomycin, streptomycin,
pembuatan
bakteri selama proses pembuatan polymyxin B
Protein telur – beberapa virus vaksin Influenza, yYllow fever
tumbuh di sel embrio ayam
Vaksin HepB
Ragi protein
Immunisation Department, Centre for
Infections
Komponen Aktif

Komponen aktif vaksin Antigen

Ada beberapa mekanisme untuk mendapatkan


komponen aktif
 Melemahkan virus atau bakteri
Varicella, rotavirus, MMR

 Membunuh virus atau bakteri


 Dibunuh dengan bahan kimia seperti formaldehid
 Hepatitis A, influenza
PENYEBAB KIPI: Komponen dan Cara
Pemberian
Komponen Vaksin:
• Antigen: Viral-Bacteria (live-attenuated/ hidup dilemahkan,
inaktif), subunit, toxoid
• Stabilizer: MgCl2 MgSO4
• Adjuvan: Al
• Antibiotik: neomycin
• Pengawet: Thiomersal, Formaldehyde, derivat Phenol

PENANGANAN RUTE PEMBERIAN:


VAKSIN • Oral KIPI
• Intradermal
• Subkutan
• Intramuskular
REAKSI YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PRODUK VAKSIN
Frekuensi Reaksi Vaksin

Sering sekali * > 1/10 > 10%

Sering > 1/100 - < 1/10 > 1.0 % - < 10%

Jarang > 1/1,000 - < 1/100 > 0.1 % - < 1 %

Jarang sekali > 1/10,000 - < 1/1,000 > 0.01% - < 0.1%

Sangat jarang < 1/10,000 < 0.01%


sekali *

Global Manual Surveillance AEFI. WHO 2014


Reaksi Ringan
Sering – Sering sekali
Vaksin Reaksi lokal Demam >38oC Rewel, tdk
(nyeri,pembengkakan, enak badan &
kemerahan) gejala sistemik

BCG 90 – 95 % - -
Hib 5 – 15 % 2 – 10 % -
Hep B Dws: 15 % ; Anak: 5 % - 1–6 %
Measles/ ~10 % 5 – 15 % 5 % ruam
MMR
Polio - <1% < 1 %**
(OPV)
~10 %* ~10 % ~25 %
DTP Sampai 50 % Sampai 50 % Sampai 55 %
(pertusis)
* Kejadian (rate) reaksi lokal mungkin meningkat pd booster, bisa sampai 50-85%
** Gejala: diare, sakit kepala, dan/ atau nyeri otot.
Reaksi Berat
Jarang – Sangat jarang sekali

Vaksin Reaksi Interval awitan Rate per sejuta


dosis
BCG Lymfadenitis Supuratif 2-6 bulan 100-1000
BCG osteitis 1-12 bulan 1-700
BCG Diseminata 1-12 bulan 2
Hib Tidak diketahui -
Hep B Anafilaksis 0-1 jam 1-2
Sindrom Guillain Barré 1-6 minggu 5
Measles/ Kejang demam 5-12 hari 333
MMR Trombositopenia 15-35 hari 33
Anafilaksis 0-1 jam 1-50
Ensefalopati - <1
Polio (OPV) Vaccine-associated paralytic 4-30 hari 0.76-1.3
poliomyelitis (VAPP) (dosispertama)
Risiko meningkat pada dosis 0.17 (dosis
pertama, dewasa, dan berikutnya)
penderita imunokompromais 0.15 (kontak)
Reaksi Berat (2)
Jarang – Sangat jarang sekali

Vaksin Reaksi Interval awitan Rate per sejuta


dosis
Tetanus Neuritis brakial 2-28 hari 5-10
Anafilaksis 0-1 jam 1-6
Abses steril 1-6 minggu 6-10
Tetanus- Sepert reaksi tetanus -
difteri
DTP Persisten inconsolable 0-24 jam 1000 - 60 000
screaming (>3 jam) 0-3 hari 570
Kejang
Hypotonic,hyporesponsive 0-24 jam 570
episode (HHE) 0-1 jam 20
Anafilaksis / renjatan 0-3 hari 0-1
Ensefalopati
REAKSI YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KESALAHAN PROSEDUR
Kesalahan Program (1)
Kesalahan Program Perkiraan KIPI
Tidak steril Infeksi
• Pemakaian ulang alat suntik / • Abses lokal di daerah suntikan
jarum • Sepsis, sindrom syok toksik
• Sterilisasi tidak sempurna • Infeksi penyakit yang ditularkan
• Vaksin / pelarut terkontaminasi lewat darah: hepatitis, HIV
• Pemakaian sisa vaksin utk • Abses lokal karena kurang kocok
beberapa sesi vaksinasi • Efek negatif obat, mis. insulin
• Kematian
Salah pakai pelarut vaksin • Vaksin tidak efektif
• Pemakaian pelarut vaksin yg salah
• Memakai obat sbg vaksin atau
pelarut vaksin
Kesalahan Program (2)
Kesalahan Program Perkiraan KIPI
Penyuntikan salah tempat • Reaksi lokal / abses
• BCG subkutan • Reaksi lokal / abses
• DPT/DT/TT kurang dalam • Kerusakan Nervus Isiadikus
• Suntikan di bokong
• Reaksi lokal akibat vaksin
beku
Transportasi / penyimpanan • Vaksin tidak aktif (tidak
vaksin tidak benar potent)
• Tidak terhindar dari reaksi
yang berat
Mengabaikan indikasi kontra
Pentingnya Mengenal Indikasi Kontra
• Mengabaikan indikasi kontra  muncul reaksi
vaksin yang sebetulnya dapat dihindari
– Diperlukan pengetahuan bagi pelaksana imunisasi untuk
memperhatikan instruksi penggunaan vaksin yang benar,
Contoh Indikasi Kontra
(Kebijakan Imunisasi WHO 2002)
Vaksin Indikasi Kontra
SEMUA vaksin Reaksi anafilaksis terhadap vaksin/ komponennya;
demam yang berat
DTP Anafilaksis terhadap dosis sebelumnya atau terhadap
salah satu komponennya
Campak Reaksi berat pada vaksinasi sebelumnya, gangguan
imunitas bawaan atau didapat (tetapi bukan HIV
tanpa gejala), kehamilan
Mumps Defisiensi imun didapat / imunosupresi, alergi
neomycin, gelatin. Hindari kehamilan meskipun
belum ditemukan adanya gangguan pada kehamilan.
Hepatitis B Anafilaksis pada dosis sebelumnya
Yellow fever Alergi telur, defisiensi imun, HIV simptomatik,
hipersensitifitas pada dosis sebelumnya, kehamilan
Reaksi yang Berhubungan dengan Kecemasan

• Reaksi suntikan langsung


– Rasa sakit, bengkak & kemerahan
• Reaksi suntikan tidak langsung
– Rasa takut / cemas
– Nafas tertahan
– Pernafasan sangat cepat  light headedness, dizziness
– Pusing, mual / muntah  anak-anak
– Kejang  kasus jarang
– Pingsan / Sinkope  sering, anak-anak lebih tua & dewasa
– Hysteria massal
Klasifikasi KIPI berdasarkan kausal (WHO,2014)

3
1 2 4
Reaksi yang
Reaksi yang Reaksi yang Reaksi yang 5
berhubungan
berhubungan berhubungan berhubungan
dengan Koinsiden
dengan dengan defek dengan
kesalahan
produk vaksin kualitas vaksin kecemasan
prosedur
CONTOH
CONTOH
Kegagalan CONTOH
CONTOH Demam
pabrik vaksin
CONTOH Transmisi Vasovagal setelah
untuk
Trombositope infeksi syncope imunisasi
menginaktiva
-nia pasca melalui vial pada (hubungan
si secara
pemberian multidosis seorang sementara)
komplit suatu
vaksin yang dewasa dan parasit
lot vaksin IPV
campak terkontami- muda malaria
yang
nasi setelah yang
menyebabka
imunisasi. diisolasi
n polio
dari darah.
paralitik

Anda mungkin juga menyukai