ش ْم َ َدَُُّ ْوا … صلُّ ْوا َوت َ َ َرأ َ ْيت ُ ْم ذَ ِل َك فَا ْد ُ ع ْوهللاَ َو َك ِب ُر ْوا َو َ Dalam istilah fuqaha dinamakan kusuf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusuf semakna dengan kusuf. Ada pula yang mengatakan kusuf adalah gerhana matahari, sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya. Sebagaimana diketahui, gerhana matahari dan gerhana bulan ada beberapa macam, ada gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain. Maka semuanya disyariatkan shalat gerhana padanya. Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.[2] Kisah seseorang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya tentang apa kewajibannya dalam Islam, maka Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan shalat 5 waktu. Orang tersebut lalu bertanya, apakah ada kewajiban shalat selainnya? Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak ada, kecuali jika engkau mau shalat sunnah.” (HR. Al-Bukhari no. 2481 dan Muslim no. 11) Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ’anhu ketika diutus berdakwah ke negeri Yaman, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berpesan kepadanya, ”Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu.” (HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) Sebagian ulama lainnya berpendapat hukumnya wajib. Landasan pendapat ini adalah teks perintah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hadits tentang gerhana yang bersifat perintah, ”… apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah... ” Karena merupakan perintah, maka sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih, ’perintah’ menunjukkan kepada makna wajib, kecuali apabila dalil lainnya yang memalingkan dari makna wajib kepada makna sunnah. Sedangkan dalam konteks gerhana ini tidak ada dalil lainnya. Adapun dua hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur di atas, tidak berarti meniadakan adanya shalat- shalat lain selain shalat lima waktu yang hukumnya wajib. Karena yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam dua hadits tersebut aadalah shalat yang kewajibannya bersifat mutlak. Namun di san ada shalat-shalat lainnya yang hukumnya juga wajib karena ada sebab-sebab tertentu, mislnya shalat jenazah, shalat ’Id, shalat tahiyyatul masjid, termasuk dalam hal ini shalat gerhana. Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin Rahimahullah berkata, ”Pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat dibandingkan yang sunnah. Namun, wajib di sini adalah wajib (fardhu) kifayah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/ 182) Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : صلُّ ْوا َحتَّى ُ فَإِذَا َرأَ ْيت ُ ُم ْو ُه َما فَا ْد َ ع ْوهللا َو َ َي ْن َج ِلOleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan ي shalatlah sampai kembali terang. [Muttafaqun ‘alaihi]. ”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam keluar menuju masjid, beliau berdiri dan bertakbir (yakni shalat gerhana, pen) dan para makmum bershaf di belakang beliau…” (HR. Muslim no. 901) Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan melaksanakan shalat gerhana di masjid yang dipakai juga untuk shalat jum’at…hadits ini juga menunjukkan disunnahkan melaksanakannya secara berjamaah, boleh pula dikerjakan dengan sendiri-sendiri.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901). Berdasarkan hadits dari sahabat ’Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu ’anhuma, ”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul diserukan, ”Inna ash-Shalata Jami’ah.” (HR. Al-Bukhari no. 1045) dalam lafadz lain ’Ash-Shalatu Jami’ah” (HR. Muslim no. 901). Al-Imam an_Nawawi Rahimahullah berkata, ”Disenangi untuk diserukan ’ash- shalatu Jami’ah’ pada saat gerhana, dan para ulama sepakat tidak ada adzan dan iqomah padanya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901). Takbiratul ihram. Membaca doa istiftah, ta’awwudz, dan membaca basmalah secara sir (pelan). Membaca surah Al-Fatihah dan surah secara jahr (keras). Bacaan pada berdiri pertama rakaat pertama ini dipanjangkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diterangkan “…kurang lebih sepanjang surah Al-Baqarah…” (HR. Al-Bukhari no. 1052, Muslim no. 907). Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku. Membaca doa ruku dengan diulang-ulang. Kemudian berdiri dari ruku sambil mengucapkan, ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd.” Setelah itu tidak sujud, namun terus berdiri panjang, dan kembali membaca Al-Fatihah dan surah. Namun berdiri kedua pada rakaat pertama ini agak lebih pendek dibandingkan berdiri pertama. Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku. Membaca doa ruku dengan diulang-ulang. Ruku kedua ini agak lebih pendek dibandingkan ruku pertama. Kemudian berdiri dan ruku sambil mengucapkan ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd,” ini adalah i’tidal, dan dipanjangkan juga. Berdasarkan hadits dari sahabat Jabir Radhiyallahu ’anhu, ”…maka Nabi memanjangkan berdiri sampai-sampai (sebagian makmum) tersungkur, lalu beliau ruku dan memanjangkannya, lalu bangkit berdiri dan memanjangkannya, lalu ruku dan memanjangkannya, kemudian bangkit berdiri dan memanjangkannya, kemudian beliau sujud dua kali…” (HR. Muslim no. 904). Bertakbir kemudian sujud dengan sujud yang panjang juga. Berdasarkan hadits, ”…kemudian beliau sujud dengan sujud yang panjang.” (HR. al-Bukhari no. 1047). Kemudian bertakbir dan bangkit, lalu duduk iftirasy dan memanjangkan duduknya. (HR. An-Nasa’i no. 1482).Lalu bertakbir dan kembali sujud dengan sujud yang panjang, namun tidak sepanjang sebelumnya. (HR. Al-Bukhari no. 1056). Bertakbir dan berdiri untuk rakaat kedua. Demikian berikutnya sama persis dengan rakaat pertama, hanya saja masing-masing lebih pendek dari pada sebelumnya. Pada berdiri pertama rakaat kedua kembali membaca Al-Fatihah dan surah dengan jahr dan dipanjangkan pula kurang lebih sepanjang surat ali ’Imran. (HR. Abu Dawud no. 1187). Kemudian duduk bertasyahud, membaca shalawat, dan salam ke kanan dan ke kiri. i 'Aisyah radliallahu 'anha, bahwa ada seorang wanita Yahudi datang bertanya kepadanya, "Apakah Allah akan melindungi anda dari siksa kubur?" Aisyah lalu menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah manusia akan disiksa dalam kubur mereka?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu menjawab: "Aku berlindung darinya." Kemudian di pagi hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi mengendarai tunggangannya, tiba-tiba terjadi gerhana matahari. Lalu beliau segera kembali saat masih waktu dluha, beliau melewati di antara kamar- kamar (isterinya). Kemudian beliau mendirikan shalat dengan diikuti oleh orang-orang di belakangnya. Beliau berdiri dengan lama, lalu rukuk dengan rukuk yang panjang, lalu mengangkat (kepala) kemudian berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian rukuk kembali dengan yang panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan sujud dengan sujud yang panjang. Kemudian beliau kembali berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama, lalu rukuk dengan panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, lalu mengangkat (kepala) dan berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian beliau rukuk dengan panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama. Kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu sujud dan mengakhiri shalatnya. Kemudian beliau bersabda sebagaimana yang dikendaki Allah, kemudian memerintahkan orang-orang agar mereka memohon perlindungan dari siksa kubur." Dalam shalat gerhana, makmum dinyatakan kurang rakaat shalatnya apabila dia tidak mendapati ruku pertama pada rakaat pertama. Maka, setelah imam mengucapkan salam, makmum tersebut harus menambah satu rakaat dengan dua kali ruku. Disunnahkan untuk berkhutbah setelah shalat gerhana, karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melakukannya. ”Setelah beliau selesai shalat, matahari telah tersingkap (dari gerhananya). Lalu beliau berkhutbah seraya memuji Allah dan menyanjung-Nya…” (HR. al-Bukhari no. 1044) Menurut asy-Syaikh al-Bassam Rahimahullah, khutnah tersebut dilakukan saat dibutuhkan sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia, namun jika tidak dibutuhkan maka cukup dengan doa, istighfar, dan shalat tanpa khutbah. (Lihat Taisirul ’Allam 1/ 133). Kaum wanita boleh mengikuti shalat gerhana berjamaah di masjid, sebagaimana ’Aisyah dan Asma’ bintu Abi Bakr Radhiyallahu ’anhum dulu ikut melaksanakan shalat gerhana di masjid. (Lihat Hr. al-Bukhari no. 1053, Muslim no. 905, Syarh Shahih Muslim, al-Mughni III/ 322). Boleh pula mereka shalat dirumahnya masing- masing secara sendiri-sendiri. Perlu diingat, kaum wanita yang hadir berjamaah di masjid ada syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya: harus menutup aurat dan berjilbab sesuai dengan syarat-syaratnya, tidak memakai wewangian, tidak berhias, tidak berbaur dengan kaum pria, dan lain-lain.