Anda di halaman 1dari 13

Hukum Syara’

Kelompok IV
1. Akbar Rozaaq Arda (G1A017036)
2. Rizky Amanah Putra (G1A017038)
3. Teguh Purwadi (G1A017054)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari
terlebih lagi bagi mukallaf, yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa)
dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat
mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara. hukum
syara ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus
memiliki dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah,
mandub, makruh, dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah.
kenapa sih harus terikat? keterikatan kita kepada hukum syara lah yang
menandakan bahwa kita adalah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat
dari indeks ketaatannya kepadahukum syara atau dalam kata lain
ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah mencoba membuat makalah sederhana
untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-
unsur yang terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi dan hukum wadh’i.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan berapa macam-macam pembagian hukum
syara’?
2. Apa pengertian dan Pembagian hukum Taklifi?
3. Apa pengertian dan Pembagian hukum Wadh’i?
4. Apa manfaat dari mempelajari Hukum Syara’ ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’
Secara bahasa hukum berarti mencegah atau
memutuskan. Menurut terminologi, hukum adalah Khitab
(doktrin) Syara’ (Allah) yang bersangkutan dengan perbuatan
orang yang sudah Mukalaf. Baik doktrin itu berupa tuntutan
(perintah, larangan), anjuran untuk melakukan, atau anjuran
untuk meninggalkan. Atau berupa takhyir (kebolehan untuk
memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Atau wadh’i
(menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ atau
penghalang).
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah
khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’,
maka yang dimaksud ialah hukum yang bersangkutan dengan
manusia, yakni yang dibahas dalam ilmu fiqh, bukan hukum
yang bersangkutan dengan akidah dan akhlaq.
B. Macam-Macam Hukum Syara’
Ulama ushul fiqh membagi hukum syara’ menjadi dua macam,
yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadh’i.
1. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi ialah suatu ketentuan yang menuntut
mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau
berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan.
Contoh hukum Taklifi yang menuntut kepada mukalaf untuk
dilakukannya:
- Mukalaf wajib berpuasa di bulan Ramadhan.
Contoh hukum Taklifi yang boleh bagi si mukalaf untuk memilih
antara mengerjakan atau meninggalkannya :
- Mukalaf bisa memilih mengqasar shalat ketika bepergian jauh.
Pembagian Hukum Taklifi
a. Wajib, ialah ketentuan suatu perintah itu harus dilakukan oleh mukalaf
sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan.
b. Mandup(sunah), secara bahasa mandup adalah sesuatu yang
dianjurkan. Secara istilah ialah perintah yang datang dari Allah untuk
dilakukan oleh mukalaf secara tidak tegas atau harus.
c. Haram, secara bahasa berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya
dan sesuatu yang dilarang.
d. Makruh, ialah berasal dari kata kariha yaitu sesuatu yang tidak
disenangi, dibenci atau sesuatu yang dijauhi.
e. Mubah, secara bahasa yaitu melepaskan dan memberitahukan. Secara
istilah, mubah ialah suatu perbuatan yang diberi kemungkinan kepada
mukallaf antara memperbuat dan meninggalkan.
2. Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, mani, rukhsah atau Azimah, sah dan batal.
Pembagian Hukum Wadh’I :
a. Sebab, dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Secara Istilah, sebab didefinisikan
sebagai sesuatu yang dijadikan syariat, sebagai tanda bagi adanya hukum, dan
tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
b. Syarat, menurut para ulama mendefinisikan ialah sesuatu yang
tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya tidak ada
hukum, tetapi tidaklah lazim dengan adanya ada hukum.
c. Mani’ (penghalang), secara bahasa kata mani’ penghalang. Dalam
istilah ushul fiqh mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan Syara’ sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau berfungsinya sebab (batalnya hukum).
d. Rukhsah dan Azimah, Rukhsah ialah keringanan hukum
yang diberikan oleh Allah kepada mukallaf dalam kondisi-kondisi
tertentu. Sedangkan Azimah ialah hukum yang berlaku secara
umum yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semula di mana
tidak ada kekhususan karena suatu kondisi.
e. Sah dan Batal, secara etimologi kata sah atau shihhah
merupakan lawan saqam yang berarti sakit. Istilah sah dalam
syara’ digunakan dalam ibadah dan akad muamalat. Yaitu suatu
perbuatan dipandang sah apabila sejalan dengan kehendak
Syara’, atau perbuatan mukallaf disebut sah apabila terpenuhi
rukun dan syaratnya
C. Unsur-Unsur Hukum Syara’
1. Hukum
Secara etimologi, kata hukum yaitu berarti mencegah atau memutuskan. Ahli ushul
fiqh mendefinisikan hukum yaitu “sebagai ketentuan Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan atau meninggalkan,
atau pilihan atau berupa ketentuan”.
2. Al-Hakim
Istilah hakim secara bahasa berarti orang yang memutuskan atau menetapkan
hukum. Dalam kajian ushul fiqh, istilah hakim diartikan sebagai pihak yang
menentukan dan membuat hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini para ulama
sepakat bahwa yang menjadi sumber pembuat hukum-hukum syariat bagi semua
perbuatan mukallaf adalah Allah.
3. Mahkum Fih/Bih
Dalam kajian ushul fiqh, mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang berkaitan
dengan hukum. Mahkum fih atau perbuatan mukallaf adakalanya terdapat dalam
hukum taklifi dan adakalanya terdapat dalam hukum wadh’i. Mahkum fih sering
juga disebut dengan mahkum bih, karena perbuatan mukallaf tersebut selalu
dihubungkan dengan perintah atau larangan.
4. Mahkum Alaih
Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah mukalaf yang layak mendapatkan
khitab dari Allah di mana perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’.
Seseorang dapat dikatakan mukalaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Mukallaf dapat memahami dalil taklif, baik itu berupa nas-nas al-Qur’an
atau sunah baik secara langsung maupun melalui perantara.
b. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya.
Dalam hal ini, keadaan manusia harus dihubungkan dengan kelayakan untuk
menerima atau menjalankan hak dan kewajiban, yaitu dapat dikelompokan
menjadi 2:
a. Tidak Sempurna,artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak baginya
kewajiban. Contohnya seperti janin yang ada di dalam perut seorang ibu.
Baginya ada beberapa hak, ia berhak menerima harta pusaka dan bisa
menerima wasiat, tetapi tidak mampu melaksanakan kewajiban.
b. Secara Sempurna,artinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan
layak melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukallaf).
5. Ahliyyah
Secara bahasa, kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan. Misalnya
ungkapan yang menyatakan seseorang ahli untuk melakukan seatu pekerjaan.
Ahliyyah sendiri terbagi menjadi dua yaitu:
a. Ahliyyah al-ada’, adalah kecakapan yang telah dimiliki seseorang sehingga
setiap perkataan dan perbuatannya telah diperhitungkan secara syara’.
b. Ahliyyah al-wujub, adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk
menerima hak-hak dan sejumlah kewajiban.
Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi dua yaitu:
-Ahliyyah al-wujub al-naqisah, yaitu orang yang dianggap layak untuk
mendapatkan hak tetapi tidak layak untuk dibebankan kewajiban atau sebaliknya.
-Ahliyaah al-wujub al-kamilah, yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak
dan layak untuk menjalankan kewajiban.
D. Manfaat Mempelajari Hukum Syara’
Manfaat mempelajari hukum syara’ ialah agar kita
mengetahui hukum-hukum bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan
berakal. Karena hukum-hukum syara’ adalah peraturan dari Allah. Karena
sesungguhnya semua manusia itu terdiri dan unsur jasmani dan rohani.
Jasmani adalah unsur yang dapat dilihat dan disentuh oleh panca indera,
sedangkan rohani merupakan unsur yang tidak bisa dilihat dan disentuh oleh
panca indera. Jasmani adalah bagian manusia yang melakukan gerakan fisik
seperti: bernafas, makan, minum, berjalan, dan lain-lain. Sedangkan rohani
melakukan aktifitas berfikir, yang mendorong manusia membedakan yang
baik dan yang buruk. Dan mempelajari hukum syara’ akan menuntun manusia
kedalam kehidupan yang diridhai Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang
tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua
umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul
fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan
dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul
fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum wadh’I
ada yaitu sebab, syarat, mani (penghalang), rukhshah (keringanan) dan Azimah.
Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’I. Hukum taklifi merupakan
tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih.
Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’i
ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat hukumnya
wajib (hukum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika belum
mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan penyebab
(hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadh’i wajib zakat).
13

Anda mungkin juga menyukai