1. Ardelia Shelomita Teena 2. Riyadh Ilyas 3. Tasya Faradila Balqis 4. Muhammad Andre Noval 5. Noer Syam Hidayat JAKARTA KOTA MAL • Mal merupakan kelompok kesatuan komersial yang dibangun disebuah lokasi yang direncanakan, dikembangkan, dimulai, dan diatur menjadi sebuah unit operasi, berhubungan dengan lokasi, ukuran, tipe toko, dan area perbelanjaan dari unit tersebut. Unit ini juga menyediakan parkir yang dibuat berhubungan dengan tipe dan ukuran total toko-toko (Urban Land Institute, 1997). PERKEMBANGAN MAL DI JAKARTA • Mal telah menjadi sebuah drama hidup, tempat orang benar-benar datang hanya untuk melihat dan mengatakan bahwa mereka di sana ataupun pernah ke sana (Moss, 2007). Ungkapan tersebut sangat sesuai dengan kondisi yang terjadi di Jakarta belakangan ini. Setiap mal berlomba-lomba untuk memberikan fasilitas dan program menarik sehingga pengunjung menyempatkan diri untuk datang menjadi bagian dari kerumunan. • Survei AC Nielsen bulan Agustus tahun 2005 menunjukkan 93% konsumen Indonesia menganggap belanja ke mal sebagai hiburan. Di Asia, Indonesia menempati ranking kedua setelah Hong Kong. Survei tersebut menunjukkan pertumbuhan penjualan retail Indonesia paling tinggi jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya mencapai 57,2 triliun rupiah. • Dengan menjamurnya pertumbuhan mal di Jakarta maka kondisi ini akan menjadi incaran peretail asing. • Tahun 1961 dibangunlah Proyek Senen berdiri di Jakarta Pusat ini merupakan pusat perbelanjaan pertama di Jakarta. • Tahun 1966 lahirlah Mal Sarinah di Jakarta, ketika mall ini didirikan keadaan ekonomi sudah membaik dan dinilai sebagai gedung yang memiliki fasilitas tercanggih. • Tahun 1986 dibangunnya Ratu Plaza di Jakarta Selatan untuk menawarkan pasar menengah keatas dengan kehidupan modern. • Tahun 1996 dibuka Mal Taman Anggrek yang merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara dan memiliki layar LED terpanjang di dunia. • Sebelum krisis 1998, dibutuhkan waktu 37 tahun untuk membangun pusat- pusat perbelanjaan di Jakarta dengan luas 1 juta m². Namun dalam waktu 10 tahun pembangunan pusat perbelanjaan justru bertambah seluas 2,4 juta m² menjadi 3,4 juta m². • Dengan jumlah warga Jakarta sekitar 8,8 juta dan jumlah mal sebanyak 132 (Maret 2008), maka 1 mal dappat menampung 68.000 warga. Dengan luas total volume mal 3,4 juta m² berarti 1 m² mal dapat menampung 4 orang. • Tahun 2007 jumlah pusat perbelanjaan menjamur tanpa menghiraukan krisis ekonomi yang belum pulih. Setiap tahun Jakarta melahirkan 3 buah pusat perbelanjaan sejak Mal Sarinah 56 tahun silam. • Tahun 2009 diresmikan Mal Central Park yang merupakan sebuah mal terpadu dengan desain yang ramah lingkungan yang sedang menjadi tren saat ini. Munculnya bentuk ini merupakan antisipasi terhadap keborosan energi untuk climatic control serta mahalnya pembuatan dan perawatan mal tertutup. Dampak Negatif Menjamurnya Mal di Jakarta • Mal menyediakan ruang sosial untuk orang-orang dan memainkan fungsi sosial yang sangat penting di satu sisi, namun kemudian di sisi lain melambangkan segala sesuatu yang bermasalah dengan masyarakat di Jakarta. • Keberadaan banyak mal merupakan ciri-ciri “kota sakit”. Karena sebagai ruang publik, kota tersebut tidak memenuhi tujuan sosial dan lingkungan (Atmawidjaja, 2011). • Jumlah mal di Jakarta telah melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya. Kota Jakarta telah memiliki lebih dari 75 bangunan mal (Yasir, 2012). • Kota metropolitan ini sesuai dengan reputasinya dalam hal penggunaan energi juga. Melany mengatakan satu mal seukuran Grand Indonesia menggunakan listrik yang sama dengan dua kota di bagian lain di Jawa. Hanya 74% di Indonesia yang dianggap 'berdaya listrik' dan bahkan jumlahnya mungkin meningkat karena cara statistik tersebut dihitung. Ada ketidakadilan sosial yang mencolok dalam angka-angka ini, yang mungkin menjadi alasan mengapa beberapa mal mulai merangkul 'going green'. • Masyarakat akan semakin sulit mendapatkan ruang terbuka hijau, seperti daerah resapan air atau taman sehingga dapat menyebabkan banjir. • Menjamurnya mal akan melahirkan jurang perbedaan yang tinggi antara si kaya dan si miskin. • Dampak sosial dari menjamurnya pembangunan mal adalah warga akan terbius menjadi warga yang konsumtif dan menghabiskan waktunya di mal. Bukan sebuah masalah untuk warga yang mempunyai kemampuan finansial yang baik, akan tetapi tidak demikian untuk masyarakat tidak mampu. Pada akhirnya hal ini akan menyebabkan angka kriminalitas yang semakin tinggi, seperti pencopetan, penjambretan, perampokan dan lain-lain. Kesimpulan • Bagi kota Jakarta, mal adalah representasi fisik dari berbagai paradoks kehidupan sosial-ekonomi, yakni antara kaya – miskin, eksklusif – inklusif, artifisial – natural, dan modern - tradisional. Mall, plaza, town square dan sejenisnya adalah monumen kesenjangan sosial-ekonomi, sengan kata lain merupakan bentuk segregasi sosial-ekonomi yang ditentang habis-habisan oleh Jane Jacobs sejak lama (Levy, 1991). • Sudah waktunya para pengambil keputusan memikirkan kembali dampak pembangunan mal di Jakarta yang tampaknya tidak sesuai dengan prinsip ’serving thepublic interest’ sebagai filosofi dasar urbanisme (Campbell & Fainstein, 2003). • Dengan jumlah mal yang ada saat ini, tampaknya sudah lebih dari cukup. Sudah waktunya berbagai dikotomi yang ada diakhiri, sehingga warga kota dapat tumbuh bersama dalam ruang-ruang sosial yang lebih inklusif (terbuka), lebih natural (tidak artifisial), penuh empati (terhadap perbedaan kelas sosial-ekonomi) dan sesuai dengan karakter bangsa. Pemikiran pembangunan yang mungkin jauh lebih sederhana, dimana instrument ruang terbuka hijau sebagai ruang publik yang natural serta peraturan zonasi yang pro-lingkungan (yang menjamin penyediaan jalur-jalur pedestrian, sepeda, dsb) perlu mendapatkan perhatian lebih dan mulai dilaksanakan secara konsisten. • Berdasarkan kontroversi dari bangunan mal ini, peraturan akan pembangunan mal sebaiknya mendapat perhatian lebih saksama dari Pemerintah DKI Jakarta.