Anda di halaman 1dari 29

Kelompok:

 Novi Wijayanti P1337420316062


 Trisnaeni Luthfiatul P1337420316068
 Abdul Majid T P1337420316071
 Salsabila Yumna Y P1337420316077
 Sabrina Leviani P1337420316079
 Tiya Saputri P1337420316091
 Yunitasari P1337420316094
 Karina Anggraeni P P1337420316103
 Dewi Rohmana H.U P1337420316105
 Muhammad Fauzan N P1337420316109
Definisi
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 3, alergi merupakan
perubahan reaksi tubuh thd kuman-kuman penyakit atau keadaan
sangat peka terhadap penyebab tertentu (zat, makanan, serbuk,
keadaan udara, asap, dsb) yang dalam kadar tertentu tidak
membahayakan untuk sebagian besar orang.
 Penyakit alergi adalah golongan penyakit dengan ciri peradangan
yang timbul akibat reaksi imunologis terhadap lingkungan.
Walaupun factor lingkungan merupakan factor penting, factor
genetik dalam manifestasi alergi tidak dapat di abaikan. Adanya
alergi terhadap suatu allergen tertentu menunjukan bahwa
seseorang pernah terpajan dengan allergen tersebut sebelumnya.
 Kesimpulannya suatu alergi merujuk pada suatu reaksi berlebihan
oleh sistim imun kita sebagai tanggapan pada kontak badan dengan
bahan-bahan asing tertentu.
Etiologi
Zat yang paling sering menyebabkan alergi adalah serbuk
tanaman (jenis rumput tertentu, jenis pohon yang berkulit halus dan
tipis, serbuk spora, penisilin), seafood, telur, kacang, susu, jagung
dan tepung jagung, sengatan serangga, debu dan kutu.
Secara umum penyebab dari terjadinya alergi belum dapat
dijabarkan secara jelas namun adapun beberapa factor yang
menyebabkan adalah:
 Jenis makanan tertentu, vaksin dan obat-obatan, bahan berbahan
dasar karet, aspirin, debu, bulu binatang, dan lain sebagainya.
 Sengatan lebah, gigitan semut api, penisilin’ kacang-kacangan.
Biasanya reaksi yang ditimbulkan akan berlebihan dan bisa
mengakibatkan rius di sekujur tubuh.
 Penyebab minor; suhu udara panas ataupun dingin, dan kadar
emosi yang berlebihan.
Tanda dan Gejala
 Adapun Gejala klinis umumnya :
 Pada saluran pernafasan : asma, bersin, hidung beringus
 Pada saluran cerna: mual, muntah, diare, nyeri perut.
 Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal,
demam, ruam, Hives (gatal-gatal dengan bercak merah
dibangkitkan)
 Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
 Eksposur lainnya dapat menyebabkan reaksi alergi yang berbeda:
 Alergi makanan : Reaksi alergi terhadap alergen makanan juga
bisa menyebabkan kram perut, muntah, atau diare.
 Sengatan serangga. Reaksi alergi terhadap sengatan dari lebah
atau serangga lain menyebabkan pembengkakan lokal,
kemerahan, dan nyeri.
 Kerasnya reaksi alergi, gejala dapat sangat bervariasi:
 Gejala ringan mungkin tidak begitu kentara, hanya membuat
Anda merasa sedikit,
 Sedang gejala dapat membuat Anda merasa sakit, seolah-olah
Anda, mendapat flu atau bahkan dingin.
 Parah reaksi alergi sangat tidak nyaman, bahkan melumpuhkan.

 Reaksi alergi yang paling parah disebut anafilaksis. Dalam


anafilaksis, alergen menyebabkan reaksi alergi seluruh tubuh yang
dapat mencakup:
 Gatal-gatal dan gatal-gatal di seluruh (bukan hanya di daerah
terbuka)
 Mengi atau sesak napas
 Suara serak atau sesak di tenggorokan
 Kesemutan di tangan, kaki, bibir, atau kulit kepala
Klasifikasi
Berikut jenis – jenis Reaksi Hipersensitifitas :
1. Reaksi Hipersensitifitas tipe I (reaksi atopik atau anafilatik)
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas
langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit,
mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang
beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.
Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).
Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau
basofil. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi
hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG),
hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk
beberapa alergi tertentu.
2. Reaksi Hipersensitifitas tipe II (reaksi sitotoksik atau sitolitik)
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa
imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan
antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Pada
umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan
pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi
silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula
menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
 Penyakit grave dimana terjadi pembentukan antibodi terhadap
kelenjar tiroid.
 Anemia hemolitik autoimun dimana antibodi dibentuk terhadap
sel darah merah.
 Reaksi tranfusi yang melibatkan pembentukan antibodi terhadap
sel darah kotor.
3. Reaksi Hipersensitifitas tipe III (reaksi Arthus atau komplek
toksik)
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks
imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-
antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Pada kondisi
normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah
besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar
pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga
dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru,
sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak. Patogenesis kompleks
imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum
sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan
antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama
sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi.
4. Reaksi Hipersensitifitas tipe IV (reaksi seluler atau
hipersensitifitas tipe lambat)
Reaksi ini sama sekali tidak memerlukan antibodi seperti pada
ketiga tipe terdahulu, bahkan tidak memerlukan aktivasi
komplemen. Oleh karena itu itu reaksi ini timbulnya agak lambat,
sekitar 24 – 48 jam, maka secara klinis reaksi dikenal dengan istilah
hipersensitifitas tipe lambat. Ada dua macam mekanisme yang turut
berperan di dalam terbentuknya hipersensitifitas tipe lambat lambat
ini, yakni mekanisme aferen dan eferen.
Contoh – contoh reaksi hipersensitifitas tipe IV :
 Tiroiditis autoimun dimana terbentuknya sel T terhadap jaringan,
tiroid, penolakan tandur dan tumor.
 Reaksi alergi tipe lambat, misal alergi terhadap poison IVX.
 Uji kulit tuberkulin, mengisyaratkan adanya imunitas selular
terhadap hasil tuberkulosis.
Patofisiologi
Terjadinya alergi:
 Pada paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen
untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T. Sel-T
tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi
dari berbagai subtipe.
 Alergen yang intake diserap oleh usus dalam jumlah cukup
banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam
mukosa usus dan organ limfoid usus,pada anak atopi cenderung
terbentuk IgE lebih banyak. Selanjutnya terjadi sensitisi sel mast
pada saluran cerna, saluran nafas dan kulit. Kombinasi alergen
dengan IgE pada sel mast bisa terjadi pada IgE yang telah
melekat pada sel mast atau komplek IgE-Alergen terjadi ketika
IgE masih belum melekat pada sel mast atau IgE yang telah
melekat pada sel mast diaktifasi oleh pasangan non spesifik, akan
menimbulkan degranulasi mediator.
Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak paparan awal dan
berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi. Komplemen akan
mulai mengalami aktivasi oleh kompleks antigen antibodi.
• Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel-
T. Sitokin mempunyai berbagai efek terhadap berbagai sel
terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil dan
eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan. Aktifasi
komplemen dan terjadinya komplek imun akan menarik netrofil.
• Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator, sitokin
dan kerusakan jaringan yang ditimbulkannya

Faktor yang berperan dalam alergi :


 Imaturitas usus secara fungsional maupun fungsi-fungsi
imunologis memudahkan penetrasi alergen makanan.
 Genetik berperan dalam alergi .
 Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
Kelainan Umum Alergi
 Alergi Rhinitis
Alergi Rhinitis ("hay fever") adalah yang paling umum dari
penyakit-penyakit alergi dan merujuk pada gejala-gejala hidung
musiman yang disebabkan oleh serbuk sari. Alergi Rhinitis
umumnya disebabkan oleh allergen-allergen didalam
rumah/ruangan, seperti tungau (dust mites), dander binatang, atau
jamur-jamur. Juga dapat disebabkan oleh serbuk sari.
 Asma
Asma adalah suatu persoalan pernapasan yang berasal dari
peradangan dan kekejangan (spasm) dari saluran udara paru-paru
(bronchial tubes). Peradangan menyebabkan suatu penyempitan
dari saluran-saluran udara, yang mana membatasi aliran udara
kedalam dan keluar dari paru-paru. Asma paling sering, namun
tidak selalu, dihubungkan dengan alergi-alergi.
 Alergi Mata-Mata
Alergi mata-mata (allergic conjunctivitis) adalah peradangan dari
lapisan-lapisan jaringan (membranes) yang menutupi permukaan
dari bola mata dan permukaan bawah dari kelopak mata.
 Allergic Eczema
Allergic eczema (atopic dermatitis) adalah suatu alergi ruam yang
umumnya tidak disebabkan oleh kontak kulit dengan suatu
allergen. Kondisi ini umumnya dihubungkan dengan alergi rhinitis
atau asma.
 HIVES
Hives (urticaria) adalah reaksi-reaksi kulit yang timbul sebagai
pembengkakkan-pembengkakkan yang gatal dan dapat terjadi pada
bagian tubuh mana saja. Hives dapat disebabkan oleh suatu reaksi
alergi, seperti pada makanan atau obat-obatan, namun mereka juga
dapat terjadi pada orang-orang yang tidak alergi.
 Allergic Shock
Allergic shock (anaphylaxis atau anaphylactic shock) adalah suatu
reaksi alergi yang mengancam nyawa yang dapat mempengaruhi
sejumlah organ-organ pada waktu yang bersamaan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan pada kasus alergi yaitu:
 Inspeksi : liha adanya kemerahan, terdapat bentol-bentol
 Palpasi : ada nyeri pada kemerahan
 Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
 Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi
usus.
Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi.
Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering
ditemukan pada alergi makanan.
 IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l
sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada
umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
 Tes IgE spesifik dengan RAST (radio immunosorbent test) atau
ELISA (enzyme linked immuno assay).
 Secara in vivo dengan uji intrakutan yang tunggal atau berseri, uji
tusuk (prick test), uji provokasi hidung/ uji inhalasi, dan uji
gores. Dilakukan diet eliminasi dan provokasi untuk alergi
makanan.
Penatalaksanaan
 Terapi ideal adalah menghindari kontak dengan allergen
penyebab dan eliminasi.
 Terapi simtomatis dilakukan melalui pemberian antihistamin
dengan atau tanpa vasokonstriktor atau kortikosteroid per oral
atau local.
 Untuk gejala yang berat dan lama, bila terapi lain tidak
memuaskan dilakukan imunoterapi melalui desensitisasi dan
hiposensitisasi atau netralisasi
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi alergi
yaitu:
 Polip hidung
 Otitis media
 Sinusitis paranasal
 Anafilaksi
 Pruritus
 Mengi
 Edema
ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN ALERGI
Pengkajian
Data Subjektif
• Biodata
Umur memeberikan petunjuk mengenai dosis obat yang
diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya
berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,
ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
• Riwayat psikososial ; factor pencetus ; stress, kebiasaan dan
rutinitas, perawatan sebelumnya.
• Kaji riwayat alergi terdahulu, dan alergi sekarang.
• Kaji riwayat alergi keluarga.
• Kaji keluhan pasien:
• Pasien mengatakan merasa gatal.
• Pasien mengatakan merasa sesak dan susah untuk bernapas.
• Pasien mengatakan merasa mual-mual
Data Objektif
 Kaji tanda-tanda vital.
 Kaji status neurology, perubahan kesadaran, meningkatnya
fatigue, perubahan tingkah laku.
 Kulit kemerahan.
 Ada bentol-bentol.
 Pasien muntah-muntah.
 Pasien terlihat susah bernapas.
 Pasien terlihat pucat.
Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan Integritas Kulit b/d lesi dan cedera mekanik
(luka akibat garukan).
2. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b/d sekresi mukus,
penyempitan jalan nafas dan edema saluran nafas.
3. Gangguan Citra Tubuh b/d Perubahan Penampilan Diri.
Intervensi Keperawatan
DX I : Kerusakan Integritas Kulit b/d lesi dan cedera mekanik
(luka akibat garukan).
NOC : Respiratory status : Airway Patency
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama...X 24 jam ,
diharapkan bersihan jalan nafas pasien normal dengan kriteria hasil:
 Frekuensi respirasi normal ( Skala 5 )
 Irama respirasi normal ( skala 5 )
 Kemampuan menarik nafas dalam normal ( skala 5 )
 Kemampuan untuk mengeluarkan sekret/ sputum normal (skala
5)

NIC : Airway suction


 Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
 Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
 Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning.
 Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi
suksion nasotrakeal
 Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan.
 Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter
dikeluarkan dari nasotrakeal.
 Monitor position oksigen pasien.
 Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion.
 Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien
menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.

NIC : Airway Management


 Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau utter thrust bila
perlu.
 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
 Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan.
 Pasang mayo bila perlu.
 Lakukan fisioterapi papa jika perlu.
 Keluarkan sekret dengan batuk atau suction.
 Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
 Lakukan suction pada mayo.
 Berikan bronkodilator bila perlu.
 Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab.
 Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
 Monitor respirasi dan position O2

DX II : Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b/d sekresi mukus,


penyempitan jalan nafas dan edema saluran nafas.
NOC : Tissue Integrity: Skin and Mucous Membranes
Setelah dilakukan intervensi selama ...x24 jam diharapkan kondisi
integritas kulit klien membaik dengan Kriteria Hasil :
 Temperatur kulit normal (skala 5)
 Tidak ada lesi pada kulit (skala 5)
 Tidak nampak jaringan nekrosis (skala 5)
NIC : Skin Surveillance
 Observasi ekstremitas, warna, suhu kulit, bengkak, nadi, tekstur,
edema dan ulkus.
 Monitor area kulit yang mengalami kemerahan dan kerusakan.
 Monitor adanya ruam dan abrasi kulit

NIC : Wound Care


 Lepaskan balutan dan plester perekat secara berkala.
 Monitor karakteristik luka meliputi pengeringan luka, warna,
ukuran dan bau.
 Bersihkan menggunakan NS/NaCl atau larutan nontoksik.
 Ganti balutan.
 Dokumentasi letak, ukuran dan penampakan luka
DX III : Gangguan Citra Tubuh b/d Perubahan Penampilan Diri.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama...x 24 jam,
diharapkan gangguan citra tubuh klien teratasi dengan kriteria
hasil:
NOC : Body Image
 Puas dengan penampilan tubuh (skala 4 dari 1 – 5).
 Mampu menyesuaikan dengan perubahan fungsi tubuh (skala 4
dari 1 – 5)

NOC : Self Esteem


 Menerima keterbatasan diri (skala 4 dari 1 – 5).
 Merasa dirinya berharga (skala 4 dari 1 – 5).

NIC: Body Image Enhancement


 Tentukan harapan citra tubuh klien berdasarkan tingakat
perkembangan.
 Monitor frekuensi kalimat yang mengkritik diri sendiri.
 Bantu klien untuk mengenali tindakan yang akan meningkatkan
penampilannya.
NIC: Self Esteem Enhancement
 Anjurkan klien untik menilai kekuatan pribadinya.
 Anjurkan kontak mata dalam berkomunikasi dengan orang lain.
 Bantu klien menerima ketergantungan terhadap orang lain
dengan tepat.
 Anjurkan klien untuk mengevaluasi kebiasaannya.
 Bantu klien menerima perubahan baru tersebut.
THANKYOU

Anda mungkin juga menyukai