Anda di halaman 1dari 49

HUB.

DOKTER - PASIEN
 PATERNALISTIK
 SEJAK HIPPOCRATES
 DIANGGAP DASARNYA : SALING PERCAYA
 PRINSIP MORAL UTAMA : BENEFICENCE
 “MENIADAKAN” HAK PASIEN (CONSENT)
 MULAI DIKRITIK TAHUN 1956
 KONTRAKTUAL
 MULAI TAHUN 1972-1975 (social contract)
 PRINSIP MORAL UTAMA : AUTONOMY
 Adanya suatu persetujuan (consensual, agreement),
atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan
pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan

 Adanya suatu kepercayaan (fiduciary relationship),


karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling
percaya mempercayai satu sama lain.
 Perjanjian tersebut tidak menjamin kesembuhan
pasien atau memberikan keuntungan untuk pasien,
tetapi sang dokter akan berusaha semaksimal
mungkin untuk memberikan pelayanan yang terbaik
sesuai dengan kemampuanya untuk memberikan
pelayanan yang terbaik untuk pasien.
 Dalam hukum dikenal adanya 2 macam perjanjian,
yaitu :
1. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya
kedua belah pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya
upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang
diperjanjikan.
2. Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan
memberikan resultaat atau hasil yang nyata sesuai
dengan apa yang diperjanjikan
Risiko medis

 Danny Wiradharma:
1. Risiko yang melekat (rambut rontok atau ujung jari-jari kaki
dan tangan hitam
2. Reaksi hipersensitivitas, misalnya respon imun / obat yang
sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya
3. Komplikasi / penyulit yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak
bisa diduga sebelumnya (emboli air ketuban pada ibu saat
melahirkan)
Risiko medis
 Chrisdiono M. Achadiat berpendapat :
Untuk suatu tindakan medis selalu ada risiko dan risiko yang
demikian itu tidak dapat dilimpahkan kepada dokter, artinya
dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
Risiko medis
 Hasil yang tidak diharapkan terjadi :
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit
yang tidak ada hubungannya dengan tindakan medis yang
dilakukan dokter
2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu :
a.Risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforesseable),
risiko seperti ini dimungkinkan di dalam ilmu kedokteran oleh
karena sifat ilmu empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat
bervariasi serta rentan terhadap pengaruh eksternal
b. Risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
(foresseeable) tetapi dianggap dapat diterima (acceptable), dan
telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui oleh
pasien untuk dilakukan (Ali Muhammad Mulyohadi)
Berkaitan dengan risiko medis maka dalam ilmu
hukum terdapat adagium volenti non fit iniura atau
asumption of risk, adalah apabila seseorang
menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya (risiko)
yang sudah ia ketahui, maka ia tidak dapat menuntut
pertanggungjawaban pada orang lain apabila risiko itu
benar-benar terjadi.
Pembuktian mengenai risiko medis dapat dilakukan
melalui doktrin Informed Consent
 Dalam bahasa Indonesia,informed consent
seharusnya diterjemahkan dengan istilah
Persetujuan Setelah Penjelasan(PSP) dan
bukan “PersetujuanTindakan Kedokteran” seperti
yang terdapat dalam Permenkes no. 290 tahun
2009 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Dengan mengatakan Persetujuan Tindakan
Kedokteran, maka unsur informasi (penjelasan)
hilang dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang
penting. Pada hal unsur informasi ini menjadi
unsur yang sangat penting dari proses itu.
 Definisi informed consent sendiri ada macam-macam.
 Jessica W.Berg, Informed Consent: Legal Theory
and Clinical Practice, Oxford University Press, Oxford,
2001: “Informed consent adalah aturan hukum
yang menentukan tingkah laku dokter dan
pelayan kesehatan lainnya dalam interaksinya
dengan pasien dan dalam situasi tertentu akan
memberikan hukuman apabila dokter
membelokkannya dari harapan tersebut.”
 Kamus Kedokteran “persetujuan secara sadar yang
diberikan oleh subjek atau pengawas untuk
berpartisipasi dalam penelitian atau
penyelidikan, atau untuk tindakan medis, setelah
mendapat informasi mengenai kegunaan
metode, prosedur, keuntungan, dan resiko.”

 Informed Consent ialah persetujuan dan sekaligus
pemberian wewenang(otorisasi) yang diberikan secara
bebas dan otonom oleh pasien atau subjek penelitian
kepada pelayan kesehatan atau kepada peneliti untuk
dapat dilaksanakan intervensi medis atau untuk ikut
serta dalam sebuah riset setelah mendapatkan
keterangan yg baik, benar dan lengkap.
 Ada suatu proses dalam informed consent: diberi
informasi mengerti informasi menyetujui
memberikan wewenang/otorisasi
Sejarah
 Terjadi perubahan dalam etika kedokteran dari
Paternalistik ke otonomi.
 Dulu,segala sesuatu yang menentukan adalah dokter,
sekarang yang menentukan adalah pasien. Mengapa?
Ada 2 alasan pokok
1. Sebagaimana sumpah Hippokrates, segala macam
usaha dokter diarahkan bagi kepentingan dan
keuntungan pasien. Pada abad terakhir, ada banyak
kasus dimana dokter mementingkan kepentingan diri
dan kurang setia kepada sumpah hipokratesnya.
.
2. Dari pasien, menuntut otonominya. Orang semakin
sadarakan hak penentuan nasib sendiri dan tidak mau
didikte oleh orang lain
 Informed Consent yang pertama kali secara tertulis
terjadi dalam peristiwa Yellow Fever Experiment
( demam kuning ) yang diadakan oleh Walter Reed
(1851– 1902), seorang dokter angkatan bersenjata
Amerika di Kuba tahun 1900an. Oleh karena resiko
kematian yang sangat tinggi bagi bagi subjek
penelitian (orang yang ikut dalam percobaan) maka
untuk berjaga-jaga, mereka diminta menanda tangani
surat kesepakatan keikut sertaan dalam penelitian.

 Pada tahun 1900, negara Prusia adalah negara pertama
di dunia dimana secara resmi dinyatakan larangan
melakukan intervensi medis kecuali untuk
penyembuhan dan kepada pasiennya harus diberi
informasi mengenai konsekuensinya.
 Yang paling berpengaruh adalah peristiwa pengadilan
dokter Nazi diNürnberg. Sekitar Perang DuniaII ,para
dokter Nazi Jerman mengadakan percobaan riset
biomedis dengan menyertakan manusia sebagai
subjek penelitian yang melanggar martabat manusia.
Para dokter Nazi melakukan serangkaian percobaan
Kedokteran dalam bidang Highaltitude experiments,
Freezing experiment,Malaria experiments,
Lost(mustard)gas experiments dsb.Yang
mengakibatkan subjek penelitian mati atau cacat
berat.
 Disini bisa kita lihat, bahwa dijaman modern ini
informed consent pertama tama muncul bukan dari
bidang pelayanan kesehatan, tetapi dari bidang
penelitian kesehatan yang sebenarnya merupakan
keputusan pengadilan. Akan tetapi, dari sini lalu
berkembang pesat, baik dalam pelayanan kesehatan
maupun dalam penelitian kesehatan.
 Perkembangan selanjutnya, informed consent
diterapkan pada pelbagai macam riset yang memakai
subjek manusia: semua harus mendapatkan informed
consent
pelaksanaan
 Secara teoritis, pasienlah (dan bukan pelayan
kesehatan) yang berhak menentukan apakah dia mau
atau tidak untuk dikenai tindakan kedokteran itu.
Keikut sertaan pasien dlm pengambilan keputusan
adalah bagian yang esensial dan bukan tambahan.
Pelayan kesehatan memfasilitasi pengambilan
keputusan itu dengan menyediakan informasi yang
diperlukan.

 Defakto, pengambilan keputusan itu dilakukan
bersama antara pelayan kesehatan dan pasien karena
pasien membutuhkan informasi dari dokter. Pasien
harus diperlakukan sebagai partner dalam
pengambilan keputusan dan bahkan bukan hanya
dalam pengambilan keputusan akan tetapi dalam
seluruh proses penyembuhan, pasien harus dipandang
sebagai partner, “Patient is your partner in curing.”
 Untuk bisa mengambil keputusan secara baik dan
benar, diperlukan prasarana yang memadai, misalnya
pengetahuan(pendidikan formal) dan kesadaran
otonomi.
 DiIndonesia,prasarat itu belum semua terpenuhi bagi
semua warga negara. Ditambah lagi dengan sifat
colective (kekeluargaan) yang ada dalam masyarakat
kita, maka secara praktis, informed consent dilakukan
dalam kebersamaan.
 Otonomi dimasyarakat kita bukanlah otonomi pribadi
yang rigit, tetapi otonomi kekeluargaan, dimana
pengambilan keputusan dilakukan bersama dalam
keluarga. Dokter perlu bekerjasama dengan seluruh
keluarga untuk mengambil keputusan (informed
consent).
 Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap
merupakan hal yang paling penting walaupun
prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling
utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa.
Walaupun tetap penting, namun Informed consent
tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi
pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan
kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak
mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai
pasien benar-benar menyadari kondisi dan
kebutuhannya serta memberikan keputusannya.
 Dokter jugatidak mempunyai banyak waktu untuk
menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun
keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan
doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan
tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes
Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan
emergency tidak diperlukan Informed consent.
TUJUAN
Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi
adalah :
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter
terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat
negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang
takmungkin dihindarkan walaupun dokter sudah
mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak
dengan sangat hati-hati dan teliti.
Manfaat
Melegalkan sesuatu perbuatan
 Suatu perbuatan yang merugikan pihak lain, pada
dasarnya tidak boleh diperbuat. Mengambil mangga
dikebun tetangga tanpa ijin jelas salah akan tetapi
dengan adanya ijin, maka perbuatan yang walaupun
merugikan pihak lain itu akan dipandang sebagai
perbuatan yang syah.
 Prinsip kedokteran yang sudah ada sejak lama
mengatakan, first,do no harm (primum non nocere)
sehingga seorang dokter sebisa mungkin jangan
melukai pasiennya.
 Akan tetapi, ada banyak kasus dimana untuk
menyembuhkan pasien dokter harus melukai pasien.
 Walaupun intensi dari dokter itu baik, yakni untuk
menyembuhkan pasien, tetapi intensi itu sendiri tidak
serta-merta memberikanhak kepadanya untuk
melukai atau memotong tubuh pasien.
 Intensi yang baik itu harus dilakukan dengan cara
yang baik pula. Disinilah perlunya
ijin/persetujuan(consent) untuk melakukan operasi.
Tatacara Informed consent
Elemen-elemen penting untuk informed consent:
I. Unsur permulaan (prekondisi)
1. Kompetensi untuk mengerti dan memutuskan
2. Kesediaan didalam membuat keputusan
II. Unsur informasi
3. Pemberian informasi
4. Rekomendasi sebuah perencanaan
5. Pemahaman atas informasi dan rencana(no.3- 4)
III. Unsur persetujuan
6. Keputusan atas rencana itu
7. Otorisasi (pemberian wewenang) untuk melakukan
rencana itu dengan menanda tangani formulir
1.Kompetensi. Orang dikatakan mempunyai
kompetensi untuk memberikan informed consent
adalah orang yang punya hak untuk memberikannya,
bisa mengerti dan sadar serta mampu memutuskan.
 Pertama-tama yang punya hak memberikan informed
consent adalah pasien sendiri (dan bukan
keluarganya) sebab intervensi medis itu akan
dikenakan kepada tubuhnya. Akan tetapi dalam
keadaan tertentu dimana pasien tidak
kompeten(misalnya karena tidak sadar, gangguan
jiwa, ataubelumumur/anak-anak)maka kompetensi
itu jatuh pada walinya yang secara hukum berhak
untuk mewakilinya.
 Dalam hal anak-anak dibawah umur, maka yang
menjadi walinya adalah orangtuanya; kalau suami,
maka walinya adalah istrinya dan sebaliknya. Anak
yang dibawah umur, orang gila, tidak (kurang) sadar,
kemampuan psikisnya terganggu dll dipandang tidak
kompeten untuk memberikan informed consent.
Dalam hal ini perlu diperhatikan orang/kelompok
yang vulnerable yang memerlukan perlindungan agar
tidak diexploitasi, ditipu ataupun dimanfaatkan untuk
kepentingan yang tidak adil.
dewasa menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/ Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 8 ayat (2) adalah
telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
2. Kesediaan.
Di sini unsur kebebasan dari subjek pemberi
informed consentmemegang peranan penting.
Orang yang akan dimintai consent tidak boleh
dipaksa baik langsung maupun tidak langsung.
Kesediaan untuk memberikan persetujuan itu
haruslah menjadi kehendak diri yang bebas.
3.PemberianInformasi.
Pasien atau walinya berhak untuk mendapatkan
informasi yang baik, benar dan komplit mengenai
penyakitnya atau proses reset.
Baik,,, menyangkut cara pemberian informasi
Benar,,, menyangkut isi informasi
Komplit,,, menyangkut keseluruhan informasi Tiga
syarat ini diperlukan agar pasien bisa mengambil
keputusan secara bertanggung jawab.
 Informasi haruslah diberikan dalam bahasa yang bisa
dimengerti oleh pasien dan / atau walinya dengan
tetap memperhitungkan keadaan psikologis /
mentalnya.
 Dalam memberikan informasi ini dibutuhkan cara-
cara yang baik dan skill yang memadai agar tidak
merusak seluruh proses therapi.
 Informasi yang diberikan haruslah jujur dan lengkap
serta jangan memberikan harapan palsu kepada
pasien atau keluarganya.
4.Rekomendasi.
Setelah memberikan informasi yang adekuat
mengenai penyakitnya lalu dokter menawarkan
sebuah rencana solusi intervensi medis/perawatan
sesuai apa yang dipandang paling baik dan
memungkinkan oleh dokter demi pasien.
 Dalam rekomendasi ini juga dibicarakan mengenai
alternatif pengobatan yang ada, resiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi dan prognosis keberhasilan atas
tindakan medis yang dilakukan itu.
5. Pemahaman atas informasi.
Tahap ini paling krusial. Dalam tahap ini pasien atau
walinya harus ditanya, apakah mengerti apa yang
diterangkan beserta rekomendasi (tahap nomor 3 – 4)
di atas. Bila belum paham, maka tahap itu bisa diulang
kembali.
6. Keputusan atas rencana.
 Setelah mengetahui tawaran atas rencana intervensi
medis itu lalu pasien sendiri dan/atau walinya yang
memutuskan.
 Kalau keputusan itu tidak seperti yang diharapkan
oleh dokter, maka dokter harus menghormatinya.
 demi kebaikan kedua belah pihak, pasien juga harus
membuat pernyataan mengenai pilihannya itu.
7.Otorisasi.
 Kalau tahap-tahap dari no.1– 6 sudah dilalui dengan
baik, maka sekarang pasien atau walinya bisa
memberikan otorisasi kepada dokter untuk
melakukan intervensi medis dengan membubuhkan
tanda-tangan pada blangko informed consent yang
sudah diisi sesuai dengan keterangan tadi, atau
dengan cara mengangguk, atau dengan cara lain.
 Otorisasi ini bisa tertulis,bisa verbal, atau dengan
isyarat sesuai dengan keadaan dan situasinya.
•
 Otorisasi dari pasien inilah yang memberikan hak
kepada dokter untuk melakukan intervensi medis
kepada pasien. Tanpa otorisasi ini, seorang dokter
tidak boleh melakukan intervensi medis kepada
pasien.
Regulasi Informed Concents :
 Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan
bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara
dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam
beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut
setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat
kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih
tinggi.
Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara
dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap
tindakan dokter, tetapi dokter tetap melakukan
tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan
misleading tentang risiko dan akibat dari tindakan
medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko
dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent yang diberikan terhadap prosedur
medis berbeda secara substansial dengan yang
dilakukan oleh dokter.
Regulasi Informed Concents :
 Pasal 52, Hak Pasien UU 29/2004
 Pasal 45 UU no 29/2004
 Permenkes no. 290/2008 ttg persetujuan tindakan
medis
 UU no.36/2009 Pasal 56 Paragraf kedua (Perlindungan
Pasien)
 UU no. 44/2009 pasal 37
UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap
pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara
lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4). Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan
(5). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang mengandung risiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan
 Permenkes no. 290/2008 ttg persetujuan tindakan
medis : Semua tindakan medis harus mendapat
persetujuan pasien atau keluarga. Tidak perlu bila
dalam keadaan gawat darurat
 UU no.36/2009 Pasal 56 Paragraf kedua (Perlindungan
Pasien):
(1)Setiap orang berhak menerima atau menolak
sebagian atau seluruhnya tindakan pertolongan yang
akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap ( melengkapi pasal 45 uu no. 29/2004)
 UU no. 44/2009 pasal 37 :
Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di RS
harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya

Anda mungkin juga menyukai