Anda di halaman 1dari 34

Trauma Penetrasi

Terhadap Ureter,
Kandung Kemih,
dan Uretra
Abstrak

 Kami mendeskripsikan epidemiologi, diagnosis, dan


manajemen penetrasi trauma terhadap ureter, kandung
kemih, dan uretra
 Trauma adalah sumber signifikan dari kematian dan
morbiditas.
 Trauma genitourinari terdapat pada 10% kasus trauma
penetrasi
 Pengenalan yang cepat dan manajemen yang tepat
trauma genitourinari, yang sering tidak terlihat akibat
trauma yang terjadi bersamaan, sangatlah penting
untuk meminimalisir morbiditas.
 Trauma penetrasi umumnya berasal dari luka tembak
atau luka tusuk, yang jika dibandingkan dengan trauma
benda tumpul, lebih membutuhkan eksplorasi bedah.
 Pemahaman tentang anatomi dan indeks kecurigaan
yang tinggi diperlukan untuk pengenalan yang cepat
dari cedera genitourinari.
Pendahuluan

 Trauma menyumbang 10% dari kematian di Amerika


Serikat dan menghasilkan 406 miliar per tahun untuk
biaya perawatan kesehatan dan kerugian produktivitas.
 Trauma adalah penyebab utama kematian pada individu
antara usia 1 dan 44 tahun.
 Cedera genitourinari terdapat di sekitar 10% dari kasus
trauma. Trauma penetrasi paling umum adalah akibat
baik dari luka tembak (GSW) atau luka tusuk (SW).
 Dengan GSWs, trauma disebabkan dari perpindahan
energi yang tinggi ke tubuh dan memiliki jalur yang tak
terduga.
 Selain itu, lepasnya proyektil sekunder seperti fragmen
tulang menyebabkan cedera lebih lanjut di organ yang
berdekatan.
 Ekstensi cedera dari GSW terkait dengan peluru kaliber,
kecepatan, dan jarak
 SWS adalah akibat dari banyak objek dan biasanya memiliki
jalur yang lebih dapat diprediksi.
 Cedera saluran urogenital bawah dapat mengancam nyawa
juga secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup.
Diagnosis yang cepat dan manajemen yang tepat sangat
penting dalam membatasi mortalitas dan morbiditas. Kami
meninjau epidemiologi, diagnosis, dan manajemen trauma
penetrasi ureter, kandung kemih, dan uretra pada orang
dewasa.
Cedera Ureter
Latar Belakang dan
Epidemiologi
 Cedera ureter insiden < 1%, relatif jarang karena ureter
terlindung dengan baik dalam retroperitoneum oleh tulang
panggul, otot psoas, dan tulang belakang.
 Dalam analisis retrospektif dari American National Trauma
Data Bank dari 2002 hingga 2006, sekitar 2,5% dari seluruh
trauma genitourinari termasuk cedera ureter (582 dari
22.706).
 Mayoritas cederanya merupakan segmen pendek yang
hilang dari ureter bagian atas, sementara lainnya,
mayoritas melibatkan ureter distal.
 Trauma penetrasi ureter sering diasosiasikan dengan cedera
usus dan pembuluh darah (umumnya vena). Tingkat
kematian untuk pasien dengan luka tembus ure-TERAL
adalah 6%.
Diagnosis

 Gejala cedera ureter mungkin termasuk hematuria dan


hipotensi, meskipun ini tidak ada.
 Pedoman trauma AUA merekomendasikan dilakukannya
CT abdominal / panggul dengan kontras dan urogram
untuk semua pasien stabil dengan dugaan trauma
ureter.
 Hasil CT radiografi disarankan untuk cedera ureter
termasuk ekstravasasi kontras, pyelogram terlambat,
hidronefrosis, dan kurangnya kontras dalam cedera
ureter distal. Secara intraoperatif, pada pasien yang
stabil, suntikan tunggal IVP dapat memberikan informasi
anatomi dan fungsional.
 Hal ini melibatkan pemberian 2 cc / kg kontras, bolus
intravena dengan foto tunggal x-ray pada abdomen
sekitar 10 menit untuk menggambarkan keberadaan dan
fungsi dari unit ginjal kontralateral yang dapat
mempengaruhi pengelolaan unit terluka. Dapat juga
dipertimbangkan pyelogram retrograde untuk delineasi
anatomi lebih lanjut.
 Pada pasien yang tidak stabil dengan cedera multipel,
cedera ureter traumatik dapat didiagnosis selama
laparotomi eksplorasi, baik dengan inspeksi langsung
atau dengan memvisualisasikan ekstravasasi pewarna
intravena diekskresi melalui ginjal seperti metilen biru
atau indigo carmine.
American Association for the
Surgery of Trauma (AAST)
GRADE Cedera
I Hematoma Periureteral
II Laserasi <50% dari sirkumferensi
III Laserasi> 50% dari sirkumferensi
Robekan komplit <2 cm
IV
devaskularisasi
Robekan komplit > 2 cm
V
devaskularisasi
Manajemen
 Tujuan utama untuk perbaikan adalah menjaga drainase ginjal. Pilihan
manajemen tergantung pada lokasi cedera, tingkat devitalisasi ureter, dan
cedera konkomitan. Prinsip dasar operasi termasuk tension-free anastomosis
, debridement jaringan devitalisasi, spatulation, dan water-tight
anastomosis.
 Kami menggunakan jahitan absorbable (5-0 PDS) dengan magnifikasi untuk
repair. Kami percaya bahwa penggunaan stent ureter dapat memfasilitasi
penyembuhan, meskipun beberapa urolog telah menyuarakan bahwa stent
dapat menyebabkan pembentukan striktur, reaksi inflamasi, dan
ketidaknyamanan. Kami merasa bahwa manfaat lebih besar daripada risiko
dan advokasi penggunaan stent dalam perbaikan cedera ureter.
 Pilihan rekonstruksi untuk ureter tergantung pada lokasi dan panjang cedera.
Cedera di sepertiga atas ureter dapat dikelola dengan uretero-ureterostomi
atau uretero-pielostomi. Di sepertiga tengah, dengan uretero-ureterostomi,
transuretero-ureterostomi, atau yang paling jarang flap Boari. Sepertiga
paling bawah, uretero-neosistotomyi(reimplant primer) atau psoas hitch[3].
 Pilihan tergantung pada ukuran kandung kemih dan mobilitas. Untuk cedera
ureter yang lebih panjang, dapat mempertimbangkan sebuah saluran ureter
appendix atau ileum atau mungkin dengan autotransplantasi ginjal. Dalam
pengaturan trauma akut, ini bukan pilihan ideal dan harus dilakukan
rekonstruksi setelah pasien lebih stabil. Pada pasien tidak stabil, operasi
mungkin perlu ditunda dengan drainase urin sementara oleh tabung
nefrostomi perkutan
Cedera Kandung Kemih
Latar Belakang dan
Epidemiologi
 Sebuah tinjauan dari 2693 laparotomi trauma di sebuah
pusat trauma tingkat 1 menemukan tingkat 4,1% cedera
kandung kemih. Dari jumlah tersebut, 51,3% adalah
hasil dari trauma penetrasi. Selain itu, terdapat
hubungan sebanyak 41,3% dengan cedera rektal.
 Diantara trauma penetrasi ini, 80% dihasilkan dari GSW
dan 20,9% dari SW. Namun, review dari 8565 trauma
kandung kemih yang terdokumentasi di National Trauma
Data Bank menemukan bahwa 85% dari cedera kandung
kemih disebabkan oleh trauma tumpul. Dalam kasus
trauma tumpul, luka kandung kemih dilaporkan
sebanyak1,6%.
 Secara umum, meskipun cedera kandung kemih jarang
ditemukan dalam kasus-kasus trauma tumpul, pasien
dengan cedera kandung kemih cenderung memiliki
cedera lebih parah dan mengancam kehidupan.
 Kecelakaan kendaraan bermotor dan pejalan kaki yang
ditabrak dengan kendaraan bermotor adalah penyebab
paling umum dari trauma tumpul yang mengakibatkan
perforasi kandung kemih (80%). Sementara sebagian
besar cedera kandung kemih adalah akibat dari trauma
tumpul, 14-51% cedera kandung kemih disebabkan oleh
trauma penetrasi
Diagnosis

 Gejala klinis: hematuria, nyeri suprapubik atau perut,


dan kesulitan berkemih.
 Tingkat keparahan darah dalam urin tidak berkorelasi
dengan tingkat cedera kandung kemih
 Radiografi konvensional dengan pengisian retrograde
kandung kemih telah terbukti setara dengan CT
sistogram. Ketika dilakukan dengan tepat (distensi
kandung kemih yang adekuat dengan fase drainase
berikutnya), keduanya sangat spesifik dan sensitif untuk
cedera intraperitoneal dan ekstraperitoneal kandung
kemih.
 Temuan yang mengindikasikan cedera kandung kemih
termasuk material kontras yang terlihat di luar kandung
kemih, dapat bervariasi tergantung pada lokasi cedera
kandung kemih. Dengan demikian, drainase film yang
baik adalah penting.
 Pada cedera intraperitoneal, bahan kontras terlihat
mengoutlining perut. Pada cedera kandung kemih
ekstraperitoneal, kontras ekstravasasi dapat
divisualisasikan dalam ruang prevesikal, ruang
peritoneal anterior, dan jaringan lunak superfisial paha
anterior dan medial.
American Association for the
Surgery of Trauma (AAST)
GRADE Cedera
Kontusi, hematoma intramural, laserasi
Ia
ketebalan parsial
Laserasi dinding kandung kemih
IIa
ekstraperitoneal <2cm
Laserasi dinding kandung kemih
III ekstraperitoneal ≥2cm, intraperitoneal
<2cm
Laserasi dinding kandung kemih
IV
intraperitoneal ≥2cm
Laserasi memanjang ke leher kandung
V
kemih atau orifisium ureteral
Manajemen

 Cedera kandung kemih intraperitoneal


 Indikasi mutlak untuk perbaikan kandung kemih segera
adalah cedera kandung kemih intraperitoneal.
 Ini umumnya memerlukan manajemen operatif karena
tidak dapat sembuh hanya dengan drainase saja
diakibatkan adanya kebocoran urin ke dalam rongga
peritoneum, yang juga dapat menyebabkan ascites
kemih, abses abdomen, ileus dan sepsis.
 Trauma penetrasi kandung kemih juga membutuhkan
eksplorasi melihat resiko tinggi cedera viseral
konkomitan dan kemungkinan ruptur intraperitoneal
 Cedera kandung kemih ekstraperitoneal
 Indikasi mutlak untuk perbaikan cedera kandung kemih
ekstraperitoneal yaitu cedera konkomitan leher
kandung kemih, cedera rektal atau vagina, fraktur
panggul terbuka, fraktur panggul yang membutuhkan
reduksi terbuka dan fiksasi internal, dan fragmen tulang
yang terproyeksi ke dalam kandung kemih
 Drainase kandung kemih dengan kateter uretra dan /
atau selang suprapubik sangatlah penting untuk
perbaikan kandung kemih. Kami menambahkan utilisasi
suction drain tertutup dekat dengan lokasi perbaikan
kami. Cairan dari saluran drainase biasanya diperiksa
adanya kreatinin untuk mengevaluasi kebocoran urin
sebelum pelepasan drain.
 Setelah perbaikan kandung kemih, sistogram paska
operasi dianjurkan dalam 10- 14 hari dan telah
digambarkan sebagai awal 5-10 hari setelah perbaikan.
Ketika menatalaksana trauma kandung kemih secara
konservatif, dekompresi dengan kateter Foley
direkomendasikan, dilanjutkan dengan sistografi
berinterval untuk menilai resolusi ekstravasasi urin.
Cedera Ureter
Latar Belakang dan
Epidemiologi
Cedera uretra merupakan bagian dari 4% trauma urologi dan dapat
menyebabkan morbiditas yang cukup besar dengan efek pada kualitas
kehidupan
 Melihat dari panjang uretra, cedera uretra lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita. Selain itu, uretra laki-laki memiliki dukungan yang
kurang secara anatomis.
 Trauma penetrasi ke uretra anterior paling sering diakibatkan dari GSW ke
pendulous dan bulbar uretra.
 Secara anatomis, cedera uretra dapat berupa anterior
atau posterior. Cedera uretra posterior terjadi di
proksimal dari membran perineal di prostat atau uretra
membran. Uretra anterior meliputi bulbar dan penis
uretra selain navicularis fossa.
 Tingkat diastasis simfisis pubis langsung berkorelasi
dengan kemungkinan cedera uretra. Malgaigne, atau
patah tulang belakang vertikal, melibatkan patah di
beberapa tulang panggul, termasuk rami pubis dan
sayap dari ilium ipsilateral atau sakrum, dengan
displacement bagian atas dari hemipelvis.

Diagnosis

 Pasien dengan cedera uretra dapat hadir dengan darah


di meatus uretra, rasa penuh suprapubik, atau retensi
urin. Dikarenkan cedera konkomitan, jika cedera diduga
disebabkan oleh fraktur panggul, pemeriksaan rektal
harus dilakukan untuk menilai rektum pada pria dan
pemeriksaan vagina untuk mengevaluasi cedera vagina
pada wanita. High-riding prostat merupakan tanda yang
tidak dapat diandalkan.
 Evaluasi uretra harus dilakukan dengan urethrogram ret-
rograde (RUG). Indikasi lain untuk pencitraan uretra
mencakup panggul tidak stabil, fraktur penile, atau
hematoma perineum signifika setelah cedera straddle.
 Jika kontras ekstravasasi terlihat, selang suprapubik harus ditempatkan,
meskipun dapat juga dicoba memasukkan kateter Foley dengan lembut
 Teknik kami untuk melakukan RUG termasuk menempatkan pasien pada
sudut miring 45° jika memungkinkan, memfleksikan tungkai kaki pada 90°,
dan menjaga bagian atas kaki lurus. Jika jelas ada fraktur panggul tapi
terdapat darah di meatus uretra, terdapat pendapat untuk mengusahakan
kateterisasi secara lembut dengan Foley oleh seorang ahli urologi.
 Jika ini gagal, kateter suprapubik harus ditempatkan. Pada wanita,
cystourethroscopy harus dipertimbangkan untuk evaluasi leher kandung
kemih karena cedera disini dapat menyebabkan inkontinensia urin
 Pada perbaikan uretra yang tertunda, ulangi pencitraan
dengan RUG dan voiding cystourethrogram (VCUG)
adalah penting untuk lebih mengkarakterisasikan
panjang dan lokasi defek.
 Dalam kasus di mana visualisasi dari leher kandung
kemih jelek, sistoskopyi fleksibel dapat digunakan
melalui situs suprapubik untuk mendapatkan visualisasi
yang lebih baik.
 MRI dapat dimanfaatkan untuk lebih
mengkarakterisasikan striktur dengan memperkirakan
panjang defek, tingkat misalignment prostat, dan
kepadatan jaringan parut, walaupun kita tidak secara
rutin menggunakan ini dalam praktek kami dan itu
mungkin merupakan biaya yang tidak perlu
American Association for the
Surgery of Trauma (AAST)
GRADE Cedera
Kontusi, darah di meatus, retrograde yang
I
normal
Pemanjangan uretra tanpa ekstravasasi
II
pada uretrografi
Ekstravasasi kontras pada uretrografi di
III
situs cedera
Ekstravasasi kontras pada uretrografi di
IV situs cedera tanpa visualisasi kandung kemih,
<2 cm
Transeksi lengkap dengan pemisahan ≥ 2
V
cm, ekstravasasi ke dalam prostat atau vagina
Manajemen
 Uretra Posterior
 Dengan cedera di posterior uretra laki-laki, eksplorasi inisial dan
perbaikan anastomotik tidak dilakukan karena memiliki resiko tinggi
terjadinya striktur, inkontinensia, dan impotensi
 Penggunaan kateter suprapubik adalah standar baku perawatan pada pria
dengan cedera uretra posterior untuk memungkinkan diversi perkemihann
dan penyembuhan secara bersih di lokasi cedera sebelum open delayed
urethroplasty.
 Dapat dicoba melakukan endoscopic realignment kembali uretra dimana
pasien memiliki cedera yang stabil yang memungkinkan untuk pemosisian
yang tepat.
 Upaya berkepanjangan endoscopic realignment tidak disarankan, karena
berhubungan dengan inkontinensia buruk dan disfungsi ereksi. Pasien yang
berhasil dilakukan endoscopic realignment membutuhkan follow up segera
karena resiko terjadinya stenosis dan obstruksi mencapai 80%
 Dalam kasus cedera uretra dimana alignment primer
tidak mungkin dilakukan, delayed surgical repair adalah
pengobatan yang dianjurkan. Pasien-pasien ini awalnya
harus ditatalaksana dengan kateter suprapubik.
 Secara umum, percobaan rekonstruksi uretra harus
ditunda sampai 3-6 bulan setelah cedera ketika formasi
skar telah stabil dan penyembuhan yang cukup telah
terjadi.
 Uretra Anterior
 Trauma penetrasi uretra anterior lebih sering
ditatalaksana dengan eksplorasi bedah inisial dan
perbaikan primer. Jika ada disrupsi inkomplit, dapat
dipertimbangkan pemasangan kateter.
 Dalam kasus di mana terdapat cedera tambahan yang
mencegah perbaikan bedah segera, kita harus
memasangkan kateter suprapubik untuk diversi urin dan
melakukan urethroplasty berkala.
 Dalam kasus adanya kehilangan jaringan yang signifikan
dari cedera, diversi urin suprapubik harus dilakukan dan
rekonstruksi definitif uretra harus dikejar di kemudian
hari.
Kesimpulan
 Trauma genitourinari hadir dalam 10% kasus trauma. Trauma penetrasi
umumnya disebabkan oleh baik dari GSW atau SW. Keparahan cedera dari
GSW terkait dengan peluru kaliber, kecepatan, dan jarak. SW terkait
dengan banyak objek dan biasanya memiliki jalur yang lebih dapat
diprediksi.
 Tidak seperti trauma tumpul, trauma penetrasi umumnya membutuhkan
eksplorasi bedah. Sebuah tinjauan retrospektif dari San Francisco General
Hospital, sebuah pusat trauma level 1, menunjukkan bahwa 84% dari GSWs
yang melibatkan saluran kemih bawah, melibatkan kandung kemih
 Selain itu, 80% dikaitkan dengan cedera usus
konkomitan, dengan 34% menjadi cedera rektal. Peluru
dari anterior menuju ke posterior dikaitkan dengan
cedera usus pada 71% kasus dibandingkan posterior ke
anterior yaitu 45%
 Trauma saluran urogenital bawah dapat mengancam
nyawa dan secara signifikan mempengaruhi kualitas
hidup. Diagnosis yang cepat dan manajemen yang tepat
sangat penting dalam membatasi mortalitas dan
morbiditas.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai