Anda di halaman 1dari 36

Effect of Postextubation High-Flow Nasal

Cannula vs Conventional Oxygen Therapy


on Reintubation in Low-Risk Patients
A Randomized Clinical Trial
Shinta Nareswari
Pendahuluan
Gangguan oksigenasi setelah ekstubasi sering terjadi.
Biasanya dikoreksi dengan terapi oksigen konvensional yang diberikan melalui nasal prong/
sungkup, dengan FiO2 dan aliran yang disesuaikan dengan derajat hipoksemia.

Upaya untuk mencegah gagal napas pasca ekstubasi telah berhasil hanya untuk
penyebab spesifik reintubasi.

Pencegahan dengan ventilasi tekanan positif non invasif gagal untuk mengurangi kejadian
gagal napas pasca ekstubasi pada populasi pasien sakit kritis secara umum, meskipun
terdapat 2 uji acak menemukan bukti efektivitasnya pada subkelompok pasien tertentu
dengan faktor risiko tinggi untuk reintubasi.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi telah memungkinkan terapi oksigen aliran tinggi diberikan melalui
nasal kanul. Cara ini tidak hanya memungkinkan FiO2 yang konstan selama aliran inspirasi
puncak, tetapi juga memberikan manfaat seperti continuous positive airway pressure tingkat
rendah dengan peningkatan end-expiratory lung volume dan mengurangi work of breathing.

Udara inspirasi dihangatkan dan dilembabkan, meningkatkan kenyamanan dan mengurangi


inflamasi saluran napas, yang menyebabkan peningkatan drainase dari sekresi pernapasan.
Pendahuluan

Studi klinis pada populasi umum pasien sakit kritis telah menemukan bahwa terapi high flow
selama gagal napas fase akut dapat meningkatkan oksigenasi, survival, toleransi, dan
kenyamanan, serta memudahkan drainase sekresi saluran napas.

Terapi high flow setelah ekstubasi telah menunjukkan keuntungan klinis pada populasi
tertentu seperti bayi prematur dan pasien yang menjalani operasi jantung.

Baru-baru ini, Maggiore dkk. menyarankan bahwa terapi high flow setelah ekstubasi
menurunkan kejadian reintubasi pada populasi umum pasien kritis.
Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah terapi


oksigen high flow segera setelah ekstubasi akan mengurangi
kejadian reintubasi dibandingkan dengan terapi oksigen standar
pada pasien dengan risiko rendah untuk reintubasi.
Metode
Dilakukan random clinical trial (RCT) di 7 ICU di Spanyol
dari September 2012 hingga Oktober 2014.

Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etik di setiap rumah sakit dan
departemen kesehatan pemerintah daerah dimana rumah sakit ini berafiliasi.

Semua pasien atau keluarga telah diberikan informed consent tertulis.


Pasien
Syarat : semua pasien dewasa yang mendapat ventilasi mekanis lebih dari 12 jam.

Pasien direkrut ketika siap untuk ekstubasi, setelah mentoleransi uji coba dengan pernapasan
spontan, asalkan memenuhi kriteria untuk risiko rendah reintubasi :
Usia < 65 tahun; tidak ada gagal jantung sebagai indikasi utama untuk ventilasi mekanis; tidak
ada PPOK sedang – berat; skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation
(APACHE)II kurang dari 12 pada hari ekstubasi; IMT kurang dari 30; tidak ada masalah
patensi saluran napas, termasuk risiko tinggi terjadinya edema laring; kemampuan untuk
mengelola sekresi saluran napas (terdapat refleks batuk atau penghisapan sekret<2 kali dalam
8 jam sebelum ekstubasi); weaning sederhana; kurang dari 2 komorbid; tidak ada
pemanjangan ventilasi mekanis lebih dari 7 hari.
Pasien
 Kriteria eksklusi
 Pasien Do-Not-Resuscitate
 TerdapatTrakeostomi
 Secara tidak sengaja terekstubasi (termasuk self-extubated)
 Pasien yang mengalami hiperkapnik selama percobaan
pernapasan spontan
Pasien

 Pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dicatat :


 Variabel demografi (usia, jenis kelamin, skor APACHE II dalam 24 jam
pertama setelah masuk)
 Diagnosis primer.

 Pada ekstubasi, variabel-variabel berikut dicatat:


 kadar gas darah arteri
 skor APACHE II
 pemberian steroid.
Pasien

 Dalam 72 jam setelah ekstubasi, variabel berikut dicatat:


 komplikasi terkait ekstubasi
 efek samping (trauma kulit atau septum hidung)
 alasan untuk reintubasi
 waktu dilakukan reintubasi (dalam jam)

 Pasien di-follow up sampai keluar dari rumah sakit. Lama tinggal di ICU
dan di rumah sakit, serta status saat pulang dari rumah sakit dicatat.
Protokol Weaning
 Protokol weaning meliputi skrining harian untuk kesiapan
weaning menurut kriteria sbb :
- Pemulihan dari penyakit pencetus
- Kriteria respiratory (Rasio PaO2:FiO2 >150mmHg dengan
FiO2≤40%, PEEP<8cmH2O, dan pH arteri >7.35)
- Kriteria klinis (tidak ada tanda elektrokardiografi iskemia miokard,
tidak menggunakan obat vasoaktif atau hanya dopamin dosis rendah
[<5µg/kg/min], heart rate <140x/min, Hb >8g/dL, temp<38oC,
tidak membutuhkan sedasi, ada rangsang pernapasan, dan ada refleks
batuk).
Protokol Weaning
 Pasien yang memenuhi kriteria weaning menjalani uji coba
pernapasan spontan dengan T-tube atau Pressure Support 7 cmH2O
selama 30 hingga 120 menit.

 Pasien yang mentolerir uji pernapasan spontan dihubungkan kembali


dengan pengaturan ventilator sebelumnya untuk istirahat dan evaluasi
klinis patensi jalan napas, sekresi pernapasan, dan obstruksi jalan
napas bagian atas.
Randomisasi

Sebelum ekstubasi, pasien yang lulus uji pernapasan spontan secara acak menerima terapi
oksigen konvensional atau terapi high flow dengan permutasi konstan.

Dilakukan stratified random sampling berdasarkan rumah sakit.


Intervensi
Terapi oksigen high flow (Optiflow; Fisher & Paykel Healthcare) digunakan segera setelah
esktubasi melalui nasal kanula. Aliran awal digunakan 10 Lpm dan dititrasi bertahap. Suhu
awalnya ditetapkan 37oC, kecuali pasien merasakan terlalu panas, dan FiO2 disesuaikan
untuk mecapai target saturasi oksigen kapiler perifer (SpO2) lebih besar dari 92%.

Setelah 24 jam, terapi high flow dihentikan, dan jika perlu, pasien diberikan terapi
oksigen konvensional melalui nasal kanula atau sungkup wajah non rebreather, dan
aliran oksigen disesuaikan untuk mempertahankan SpO2 lebih dari 92%.

Kedua kelompok dirawat oleh staf medis yang sama (tidak termasuk para peneliti)
dan menerima penanganan medis yang serupa. Para peneliti tidak berpartisipasi
dalam keputusan klinis, dan analisa statistik dilakukan secara blinding.
Outcome
Outcome primer adalah reintubasi dalam 72 jam setelah ekstubasi.

 Kriteria reintubasi :
- Henti napas atau jantung
- Gangguan pernapasan dengan kehilangan kesadaran atau gasping
- Agitasi psikomotor yang tidak dapat dikendalikan oleh sedasi
- Aspirasi masif
- Ketidakmampuan persisten untuk mengeluarkan sekret pernapasan
- Heart rate <50x/menit dengan penurunan kesadaran
- Atau ketidakstabilan hemodinamik berat yang tidak responsif dengan cairan dan
obat vasoaktif.
- Gagalan napas pasca ekstubasi persisten
- Alasan non respirasi ,seperti operasi darurat atau penurunan GCS > 2 poin atau
skor GCS <9 poin dengan PaCO2 kurang dari 45 mmHg.
Outcome
 Outcome sekunder adalah :
 kegagalan pernafasan pasca ekstubasi, ada salah satu kriteria sbb dalam 72 jam ekstubasi :
 Asidosis respiratorik (pH < 7,35 dengan PaCO2>45mmHg)
 SpO2 kurang dari 90% atau PaO2 kurang dari 60mmHg pada FiO2 lebih besar dari 40%
 Laju pernapasan lebih dari 35x/menit
 Penurunan kesadaran (penurunan skor GCS >1 poin)
 Agitasi, atau tanda-tanda klinis yang menunjukkan kelelahan otot pernapasan
 Peningkatan work of breathing (misalnya, penggunaan otot-otot aksesori pernapasan, gerakan perut
paradoks, atau retraksi intercostal)
 infeksi pernapasan (pneumonia terkait ventilator atau trakeobronkitis terkait ventilator).

 Outcome sekunder tambahan termasuk sepsis, multi organ failure, lama rawat di
rumah sakit dan ICU, angka kematian, waktu untuk reintubasi, dan efek samping
intubasi.
Analisa Statistik
Dari penelitian sebelumnya, penurunan tingkat reintubasi diperkirakan 8%,
dari tingkat basal 13%. Dalam upaya mencapai kekuatan 80% untuk
mendeteksi perbedaan, jumlah sampel 260 pasien pada masing – masing
kelompok penelitian dianggap cukup untuk 2-sided test, tingkat α 5%, dan
tingkat kehilangan pasien maksimal ditoleransi 15%.

Seluruh analisis dilakukan atas dasar intention-to treat. Kurva Kaplan-Meier


diplot untuk menilai waktu dari ekstubasi ke reintubasi dan dibandingan
dengan rerata dari log-rank test.
Analisa Statistik
Untuk menilai probabilitas reintubasi, digunakan Cochran-Mantel-
Haenszzel χ2 test dikelompokkan berdasarkan rumah sakit.

Untuk menguji odds ratio (OR) digunakan multivariable logistic regression.

Variabel independen : terapi oksigen high flow, lama penggunaan ventilasi mekanik,
rumah sakit, dan semua variabel yang terkait dengan reintubasi yang memiliki P-
value kurang dari 0,10.
Analisa Statistik
Analisa outcome sekunder dan analisa post hoc menggunakan Fisher exact test, t test, Mann-
Whitney U test, atau Cochran-Mantel-Haenszzel χ2 test (stratifikasi untuk rumah sakit).

Number needed to treat dihitung dengan menggunakan metode Newcombe-Wilson.

Confidence Interval untuk perbandingan median dihitung dengan metode referensi.

2-sided level of significance ditetapkan pada 0,05.

SPSS versi 13.0 (SPSS Inc) digunakan untuk seluruh analisa statistik.
Hasil
Selama periode penelitian, didapatkan 1739 pasien yang dapat di-weaning
setelah mendapat ventilasi mekanis selama lebih dari 12 jam; 527 (30%)
diacak: 264 ke grup high-flow dan 263 ke grup konvensional (Gambar 1).

Tidak didapatkan drop out.

Karakteristik demografis dan klinis pasien


dari 2 kelompok relatif sama (Tabel 1).
Hasil
 PRIMARY OUTCOME
 Seluruh pasien difollow up selama 72 jam, baik di ICU atau di bangsal.
 Reintubasi dalam 72 jam lebih rendah pada grup high-flow: 13 pasien
(4.9%) vs 32 pasien (12.2%) pada grup konvensional (absolute difference,
7.2% [95% CI, 2.5% to 12.2%]; P=0.004).
 Perbedaan ini terutama disebabkan oleh insiden reintubasi terkait
pernapasan yang lebih rendah pada grup high-flow: 1.5% vs 8.7% pada
grup konvensional (Tabel 2 dan Gambar 2).
 Jumlah pasien needed to treat untuk mencegah 1 reintubasi dengan terapi
high-flow adalah 14 (95% CI, 8 sampai 40).
 Analisa statistik diulang setelah mengekslusikan 7 reintubasi akibat edema
laring (4,9% vs 9,8%, P = .04).
Hasil
 SECONDARY OUTCOME
 Gagal napas post ekstubasi lebih sedikit pada grup high flow : 22
pasien (8.3%) vs 38 pasien (14.4%) pada grup konvensional.
 Perbedaan pada secondary outcome tidak signifikan secara statistik
diantara kedua grup (Tabel 2 dan Tabel 3).
Hasil
 Dibandingkan dengan pasien yang direintubasi, pasien yang sukses
ekstubasi memiliki durasi yang lebih pendek dengan ventilasi
mekanik, lama rawat di ICU yang lebih singkat dan lama rawat di
rumah sakit yang lebih singkat.

 Tidak dijumpai efek samping yang dijumpai : seluruh pasien


mentoleransi dengan nasal kanula, dan tidak ditemui adanya laporan
trauma mukosa hidung atau kulit.
Diskusi
Temuan utama dari penelitian ini adalah oksigen high-flow secara signifikan mengurangi
angka reintubasi pada pasien sakit kritis dengan resiko rendah gagal ekstubasi.

Kejadian reintubasi pada grup kontrol yang mendapat terapi oksigen konvensional (12.2%)
serupa dengan angka pada laporan sebelumnya pada populasi umum pasien sakit kritis.

Menunda intubasi atau reintubasi dapat berbahaya. Pada 2004, Esteban dkk melaporkan
angka kematian yang tinggi pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik non invasif,
kebanyakan disebabkan karena reintubasi yang tertunda, sehingga menimbulkan pemahaman
bahwa ventilasi mekanik non invasif dapat meningkatkan risiko gagal napas post ekstubasi.

Baru –baru ini, Kang dkk menemukan outcome yang lebih buruk pada pasien
dengan terapi high-flow yang tertunda intubasi lebih dari 48 jam.
Diskusi
Pada penelitian ini, terapi high-flow tidak menunda reintubasi.

Sedikitnya penundaan ini mungkin akibat populasi yang dengan risiko rendah, dan
protokol yang membatasi terapi high-flow hanya sampai 24 jam setelah ekstubasi.

Penggunaan terapi high-flow dibatasi hanya 24 jam setelah ekstubasi karena 24 jam adalah
waktu monitoring standar sebelum dikeluarkan dari ICU dan pada saat periode penelitian
ini belum tersedia alat yang dapat memberikan terapi high-flow tanpa sumber gas medis,
yang mana tidak selalu tersedia di bangsal.

Jangka waktu yang optimal untuk terapi high flow tidak diketahui
Diskusi
Terapi high-flow meningkatkan oksigenasi dan menurunkan kejadian
reintubasi sekunder karena hipoksia pada grup high-flow.

Oksigen high-flow juga mengurangi penyebab lain dari gagal napas


seperti peningkatanWOB dan kelelahan otot-otot pernapasan.

Mekanisme lain terapi high-flow dapat meningkatkan outcome ekstubasi adalah


udara inspirasi yang dilembabkan dapat memperbaiki manajemen sekresi saluran
pernapasan sehingga mencegah reintubasi akibat obstruksi saluran napas atas.

Maggiore dkk mendukung pendapat bahwa udara yang dilembabkan dapat


mengatasi inflamasi pada mukosa trakea setelah intubasi.
Diskusi
 KETERBATASAN PENELITIAN

Untuk memilih pasien dengan risiko rendah reintubasi

Dipilih faktor risiko tinggi berdasarkan laporan penelitian Nav et al dan Ferrer et al

Sebuah model untuk secara akurat memprediksi kegagalan ekstubasi belum divalidasi.
Diskusi
 KETERBATASAN PENELITIAN

Keputusan reintubasi ditentukan oleh kriteria klinis

Dicatat alasan yang paling relevan untuk reintubasi

Reintubasi kadang dikaitkan dengan penyebab simultan, sulit untuk menyimpulkan alasan utamanya

Dokter yang merawat tidak bisa dilakukan blinding terhadap kelompok penelitian.

 Kebanyakan pasien pada kelompok kontrol menerima oksigen melalui face mask segera
setelah ekstubasi, dan banyak dari mereka beralih ke nasal kanul dalam 24 jam setelah
ekstubasi; Namun, jenis perangkat pemberian oksigen setelah 24 jam tidak tercatat.
Kesimpulan

Diantara pasien terintubasi dengan risiko rendah


reintubasi

Penggunaan oksigen nasal kanul high-flow


dibandingkan dengan terapi oksigen konvensional

dapat mengurangi risiko reintubasi dalam 72 jam

Anda mungkin juga menyukai