Anda di halaman 1dari 19

KANKER NASOFARING

RINITHA DINDA S
H1A012050
PENDAHULUAN
 Kanker nasofaring merupakan kasus tumor
ganas kepala leher yang terbanyak di Indonesia.
Urutan kedua adalah tumor ganas hidung dan
sinus paranasal, kemudian laring, dan tumor ganas
rongga mulut, tonsil, hipofaring. 1,2
 Diagnosis dini menentukan prognosis pasien,
tetapi sulit dilakukan. Seringkali tumor
ditemukan terlambat dan sudah bermetastasis ke
leher.1
ETIOLOGI
 Virus Epstein Barr diduga menjadi salah satu etiologi namun
ini bukan satu- satunya faktor, karena ada faktor- faktor lain
yang sangat mempengaruhi timbulnya penyakit ini. 1,2
 Letak geografis
 Faktor lingkungan misalnya iritasi oleh bahn kimia, asap
sejenis kayu, dan ada hubungan antara kadar nikel dalam air
minum dan makanan dengan mortalitas kanker nasofaring. 1
 Faktor genetik
EPIDEMIOLOGI
 Daerah China bagian selatan menempati urutan pertama
dengan 2500 kasus baru pertahun atau prevalensi
39,84/100.000 penduduk. Ras mongoloid merupakan salah
satu faktor dominan.1,4
 Kasus ini di Indonesia sendiri cukup merata di setiap daerah.
Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan
lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-
rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus,
15 kasus setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan
Bukit Tinggi.1
PATOGENESIS
DIAGNOSIS
Gejala kanker nasofaring dibagi menjadi 4 kelompok: 1,3
 Gejala nasofaring berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung. Nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau
perlu dengan nasofaringoskop, hal ini dikarenakan tumor
sudah tumbuh tapi gejala belum ada.
 Gangguan pada telinga berupa tinitus, rasa tidak nyaman di
telinga sampai otalgia.
 Gejala mata.
 Metastasis atau gejala di leher dalam bentuk benjolan di leher.
 Penegakan diagnosis bisa dilakukan dengan pemeriksaan CT-
Scan daerah kepala dan leher. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan melakukan biopsi nasofaring
PENENTUAN STADIUM
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC. 1
 T = Tumor Primer
 T0 - Tidak tampak tumor
 T1 – Tumor terbatas di nasofaring
 T2-Tumor meluas ke jaringn lunak
 T2a : perluasan tumor ke ororfaring dan/ rongga hidung
tanpa perluasan ke parafaring
 T2b : Disertai perluasan ke parafaring
 T3 – tumor menginvasi struktur tulang dan/ sinus paranasal
 T4 – Tumor dengan perluasan intrakranial dan/ terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita,
atau ruang mastikator
 N- Pembesaran kelenjar getah bening regional
 NX- Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
 N0- Tidak ada pembesaran
 N1- Metastase kelenjar getah bening unilateral dengan
ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm diatas fossa
supraklavikula
 N2- Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm diatas fossa
supraklavikula
 N3- Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran
lebih besar dari 6 cm atau terletak fossa supraklavikula
 M= Metastasis jauh
 MX= Tidak dapat dinilai
 M0- Tidak ada metastasis jauh
 M1- Terdapat metastasis jauh
Stadium 0 T1 N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVB Semua T N3 M0
Staidum IVC Semua T Semua N M1
TATA LAKSANA
Stadium I Radioterapi
Stadium II& III Kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6 cm Kemoradiasi
Stadium IV dengan N> 6 cm Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
dengan kemoradiasi
• Terapi
Radioterapi merupakan pengobatan utama. Pengobatan
tambahan yang diberikan adalah diseksi leher, pemberian
tetrasiklin, kemoterapi, vaksin, dan antivirus. Semua
pengobatan tambahan masih dalam pengembangan,
sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi
ajuvan. Pengobatan tambahan diseksi leher dilakukan
terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada
penyinaran, atau timbul lagi setelah penyinaran selesai. 1
 Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan
pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebabkan oleh
kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Gangguan lain adaah mukositis ronggA mulut
karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis
jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan dan kadang- kadang muntah atau rasa mual.1
CON’T
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca
pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada atau kambuh
kembali. Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan.
Tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.1
 Follow up
KNF mempunyai resiko terjadinya rekurensi, dan follow up
jangka panjang diperlakukan. Kekambuhan sering terjadi
kurang dari 5 tahun. Pasien ini perlu di follow up kurang
lebih 10 tahun setelah terapi.1
PENUTUP
Kanker nasofaring berada dalam kedudukan 5 besar dari
tumor ganas manusia bersama dengan kanker serviks, uteri,
payudara, getah bening, dan kulit. Agar dapat berperan dalam
pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu diketahui
seluruh aspek terkait kanker nasofaring, antara lain
epidemiologi, etiologi, diagnostik, pemeriksaan serologi,
histopatologi, terapi dan pencegahan, serta perawatan paliatif
pasien yang pengobatannya tidak berhasil baik.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, E.A, Iskandar,N. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyaki Telinga
Hidung dan teggorkan. Edisi 7. Jakarta : Balai Penerbit FK UI
2. American Cancer Society. Nasopharyngeal Cancer. Available from
: www.cancer.org/nasopharyngeal-cancer-pdf
3. Adam, G.L , Boies, Hilger , P.A. 1997. Boies Fundamentals of
Otolaryngology. Philadelphia : WB Saunders.
4. Zeng, Mu-Sheng and Zeng,Yi Xin. Pathogenesis and Etiology of
Nasopharyngeal
Carcinoma. Available from : www.springer.com/9783540928096-
c1.pdf
5. Chan, ATC et al. 2002.Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of
Oncology 1007-15.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai