Anda di halaman 1dari 100

PAJAK PENGHASILAN

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan


Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan
SUBJEK PAJAK
 Orang Pribadi
 Warisan yang Belum Terbagi
 Badan
 Bentuk Usaha Tetap
SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI
 Tanpa batasan tempat tinggal atau tempat
kedudukan
 Pengusaha  Perusahaan Perorangan
 Karyawan
 Profesional / Tenaga Ahli  Pekerjaan Bebas
(dokter, akuntan, pengacara, konsultan,
arsitek, notaris, penilai, aktuaris)
WARISAN YANG BELUM DIBAGI
 Merupakan satu kesatuan, menggantikan yang
berhak (ahli waris)
 Tetap harus membayar pajak meskipun
warisan belum dibagi kepada yang berhak.
SUBJEK PAJAK BADAN
 Sekumpulan orang dan atau kumpulan modal
sebagai satu kesatuan, baik melakukan usaha
atau tidak melakukan usaha
 PT, CV, firma, koperasi, dana pensiun,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, lembaga
BENTUK USAHA TETAP
 Bentuk usaha yang digunakan oleh subyek
pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia
 Berupa tempat kedudukan manajemen, cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor,
pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk
promosi/penjualan, pertambangan,
pengeboran, pertanian, proyek konstruksi,
pemberian jasa, orang atau badan yang
bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas, agen atau pegawai asuransi,
komputer untuk e-commerce
JENIS SUBJEK PAJAK
 SPDN : Subjek Pajak Dalam Negeri
 SPLN : Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek Pajak Dalam Negeri

 Orang Pribadi (OP) yang bertempat tinggal


atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, atau OP yang
berada di Indonesia dan berniat tinggal di
Indonesia;

 Badan yang didirikan atau bertempat


kedudukan di Indonesia;

 Warisan yang belum terbagi sebagai satu


kesatuan, menggantikan yang berhak.
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF DALAM
NEGERI MULAI
• Pada waktu OP dilahirkan, berada, atau berniat
untuk bertempat tinggal di Indonesia
• Pada waktu Badan didirikan atau bertempat
kedudukan Indonesia
• Pada saat timbulnya warisan yang belum
terbagi
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF DALAM
NEGERI BERAKHIR
 Pada saat OP meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya
 Pada saat Badan dibubarkan atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia
 Pada saat warisan selesai dibagi
Subjek Pajak Luar Negeri
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal/
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan dan Badan yang
tidak didirikan/berkedudukan di Indonesia
 yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di
Indonesia.
 yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
BUKAN SUBJEK PAJAK

 BADAN PERWAKILAN NEGARA ASING


 PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK, KONSULAT, ATAU PEJABAT-
PEJABAT ASING, DAN ORANG-ORANG YANG DIPERBANTUKAN
DENGAN SYARAT BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA DAN TIDAK
MENJALANKAN KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH
PENGHASILAN DI INDONESIA
 ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN
OLEH MENTERI KEUANGAN DENGAN SYARAT:
 PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL
YANG DITETAPKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
DENGAN SYARAT BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA DAN TIDAK
MENJALANKAN KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH
PENGHASILAN DI INDONESIA
PENENTUAN PENGHASILAN SEBAGAI OBJEK PAJAK

PENGHASILAN

TAXABLE INCOME NON TAXABLE INCOME


PASAL 4 AYAT 1 PASAL 4 AYAT 2

OBJEK PPH FINAL OBJEK PPH


PASAL 4 AYAT 2 NON FINAL
WAJIB PAJAK
 Mempunyai kewajiban pajak subjektif
dan objektif
 Termasuk pemungut pajak dan
pemotong pajak (withholding agents)
OBJEK PPH : PENGHASILAN
 setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
 baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia,
 yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan,
 dengan nama dan dalam bentuk apa pun
PENGELOMPOKAN PENGHASILAN
1. PENGHASILAN DALAM HUBUNGAN KERJA DAN
PEKERJAAN BEBAS

2. PENGHASILAN DARI USAHA DAN KEGIATAN

3. PENGHASILAN DARI MODAL

4. PENGHASILAN LAIN (HADIAH & PEMBEBASAN


UTANG)
PPH & LAPORAN LABA RUGI
 Besarnya PPh atas laba dihitung tersendiri
menurut ketentuan fiskal, bukan dari laporan
laba rugi yang disusun menurut ketentuan
akuntansi
 Laporan laba rugi komersial disusun menurut
standar akuntansi keuangan
 Laporan laba rugi fiskal disusun menurut
peraturan perpajakan (pajak penghasilan)
 Proses penyusunan laporan laba rugi fiskal
melalui koreksi fiskal atas laporan laba rugi
komersial

17
PENGHASILAN
 AKUNTANSI  PAJAK
 Kenaikan manfaat  Tambahan kemampuan
ekonomi selama satu ekonomis yang diterima
periode akuntansi dalam atau diperoleh Wajib
bentuk pemasukan atau Pajak, baik yang berasal
penambahan aktiva atau dari Indonesia maupun
penurunan kewajiban dari luar Indonesia yang
yang mengakibatkan dapat dipakai untuk
kenaikan ekuitas yang konsumsi dan atau untuk
tidak berasal dari menambah kekayaan
penanaman modal Wajib Pajak ybs dengan
 Meliputi revenues dan nama dan dalam bentuk
gain apapun
 Ada Obyek Pajak dan
Bukan Obyek Pajak
18
EXPENSES & LOSS
 AKUNTANSI  PAJAK
 Revenue  Deductible Expenses
Expenditure (Pengurang
(Expenses) Penghasilan)
 Loss  Nondeductible
Expenses (Bukan
Pengurang
Penghasilan)

19
LAPORAN LABA RUGI

LAPORAN LABA RUGI LAPORAN LABA RUGI


KOMERSIAL FISKAL
KOREKSI
FISKAL

PRETAX FINANCIAL TAXABLE INCOME


INCOME (LABA SEBELUM (PENDAPATAN KENA
PAJAK PENGHASILAN) PAJAK)

PAJAK PENGHASILAN PAJAK PENGHASILAN

LABA SETELAH PAJAK

20
KOREKSI FISKAL
 Rekonsiliasi fiskal adalah usaha mencocokkan
perbedaan yang terdapat dalam laporan laba rugi
komersial dan laporan laba rugi fiskal.
 Ada dua jenis koreksi fiskal
 Koreksi positif yang menyebabkan Penghasilan
Kena Pajak membesar
 Koreksi negatif yang menyebabkan Penghasilan
Kena Pajak mengecil

21
LAPORAN LABA RUGI
Financial Income Taxable Income

Revenues 130.000 110.000


Expenses 60.000 50.000
Pretax Financial 70.000
Income
Taxable Income 60.000
Tax Expense 15.000
(Tax rate 25%)
22
PENYEBAB PERBEDAAN
 PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPH FINAL
Contoh : PPh atas Bunga Deposito, PPh atas
Sewa Tanah & Bangunan
 BEDA TETAP (PERMANENT DIFFERENCE)
Contoh : Sumbangan, Upah dalam bentuk
natura
 BEDA WAKTU (TEMPORARY DIFFERENCE)
Contoh : Penyusutan

23
MEKANISME PAJAK PENGHASILAN
WAJIB
PAJAK

MEMBAYAR PAJAK MEMOTONG PAJAK


ATAS PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN PIHAK LAIN
SENDIRI (WITHHOLDING TAX)

MEMBAYAR
MENGHITUNG
UANG MUKA
PPH TAHUNAN PPH BULANAN

DIPOTONG PAJAK
MEMBAYAR ATAS PENGHASILAN
ANGSURAN BULANAN YANG DIBAYAR OLEH PIHAK LAIN
(WITHHOLDING TAX) 24
MEKANISME PAJAK PENGHASILAN

WAJIB
PAJAK

MEMBAYAR PAJAK MEMOTONG PAJAK


ATAS PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN PIHAK LAIN
SENDIRI (WITHHOLDING TAX)

MENYETORKAN
KE PEMERINTAH
25
MEKANISME PAJAK PENGHASILAN
MEMBAYAR PAJAK
ATAS PENGHASILAN
SENDIRI

MENGHITUNG MEMBAYAR
PPH TAHUNAN UANG MUKA
(PPH TERUTANG) PPH BULANAN

DIPOTONG PAJAK
MEMBAYAR ATAS PENGHASILAN
ANGSURAN BULANAN YANG DIBAYAR OLEH PIHAK LAIN
(WITHHOLDING TAX)

SETORAN KE PEMERINTAH ADALAH


PPH TERUTANG TAHUNAN DIKURANGI UANG MUKA PPH BULANAN
26
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (1)
Pasal 4 Ayat 1
1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan
3. laba usaha
4. keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (2)
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang
telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (3)
9. sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala
11. keuntungan karena pembebasan utang,
kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (4)
12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh
perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (5)
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari
penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
dan
19. surplus Bank Indonesia.
PPH FINAL

1. Penghasilan dikenakan PPh saat diperoleh

2. Penghasilan tersebut tidak perlu dilaporkan atau


dihitung kembali pada akhir tahun

3. PPh tersebut sifatnya Final  tidak dapat


dikreditkan terhadap PPh Terutang di akhir
tahun

4. Contoh: bunga deposito, hadiah undian, sewa


tanah dan bangunan, dan lain-lain
OBJEK PAJAK PENGHASILAN
FINAL

1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,


bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
2. penghasilan berupa hadiah undian;
3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal
ventura;
4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. penghasilan tertentu lainnya
Tarif PPh Final (1) – Pasal 4 Ayat 2
No. Jenis Penghasilan DPP / Tarif Pajak
1. Penghasilan Bunga Deposito, Jumlah Bruto/20%
Termasuk Simpanan pada Bank
Dalam Negeri yang Memiliki
Cabang di Luar Negeri
2. Penghasilan Bunga Tabungan, Jumlah Bruto/20%
Jasa Giro, dan Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia
3. Penghasilan Berupa Hadiah Jumlah Bruto/25%
4. Penghasilan dari Pengalihan Hak Jumlah Bruto/5%
atas Tanah dan atau Bangunan

5. Penghasilan Sewa Tanah Jumlah Bruto/10%


dan/atau Bangunan
Tarif PPh Final (2)
No. Jenis Penghasilan DPP / Tarif Pajak
6. Penghasilan yang 1. Nilai Transaksi /
Diterima/Diperoleh dari Transaksi 0,1% untuk non
Penjualan Saham di Bursa Efek pemilik saham
pendiri
2. Nilai Transaksi /
0,1% + 0,5%
untuk pemilik
saham pendiri
7. Bunga Simpanan yang Jumlah Bruto / 10%
Dibayarkan oleh Koperasi kepada
Anggota Koperasi Orang Pribadi
lebih dari Rp. 240.000
Tarif PPh Final (3)
No. Jenis Penghasilan DPP / Tarif Pajak
Usaha Jasa Konstruksi
8. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha
Penghasilan
Bruto/2%
Kecil.
9. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang tidak memiliki Kualifikasi
Penghasilan
Bruto/4%
Usaha.
10. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa selain penyedia Jasa yang
Penghasilan
Bruto/3%
memiliki Kualifikasi Usaha Kecil dan penyedia
Jasa yang tidak memiliki Kualifikasi Usaha.
11. Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Penghasilan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Bruto/4%
yang Memiliki Kualifikasi Usaha.
12. Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Penghasilan
Bruto/6%
Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa
yang tidak Memiliki Kualifikasi Usaha
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Pasal 4 ayat 3
1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
2. harta hibahan yang diterima oleh:
• keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
• badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
(2)

3. Warisan
4. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh
bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan
pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit)
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
(3)
6. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang
pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
7. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara
dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor;
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
(4)
8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik
yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana
pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
10. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif;
11. penghasilan yang diterima atau modal ventura
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
(5)
12. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
13. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
(6)
14. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak
tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
PENGURANG PENGHASILAN BRUTO
 Objek PPh : Laba Usaha (Penghasilan
Netto) menurut ketentuan fiskal 
LABA FISKAL
 Penghasilan Netto = Penghasilan
Bruto yang Merupakan Objek Pajak –
Beban yang Boleh Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto
PENENTUAN PENGURANG PENGHASILAN BRUTO

EXPENSES

NON DEDUCTIBLE
DEDUCTIBLE EXPENSES
EXPENSES
PASAL 6 AYAT 1
PASAL 9 AYAT 1
DEDUCTIBLE EXPENSES
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung
berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
a. biaya pembelian bahan;
b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
c. bunga, sewa, dan royalti;
d. biaya perjalanan;
e. biaya pengolahan limbah;
f. premi asuransi;
g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
h. biaya administrasi; dan
DEDUCTIBLE EXPENSES
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau
yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia;
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
DEDUCTIBLE EXPENSES
8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan
syarat:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi
komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak
dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan telah
diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
c. atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu;
d. syarat sebagaimana dimaksud pada HURUF C tidak berlaku
untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil
DEDUCTIBLE EXPENSES

9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana


nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
DEDUCTIBLE EXPENSES :
ENTERTAINMENT
HARUS DIDUKUNG DENGAN DOKUMENTASI MEMADAI
DAN DAFTAR NOMINATIF YANG MEMUAT INFORMASI:
1. Nomor urut
2. Tanggal diberikan
3. Nama/tempat entertainment diberikan
4. Alamat entertainment
5. Jenis entertainment
6. Jumlah
7. Relasi, nama, posisi,nama perusahaan dan
jenis usaha
DEDUCTIBLE EXPENSES :
HANDPHONE dan KENDARAAN PERUSAHAAN
(KEP. DJP No. KEP-220/PJ./2002, tanggal 18 April 2002)

1. Handphone
a. Cost diakui 50%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok I
b. Abonemen, Pulsa (voucher isi ulang), dan Perbaikan
dibebankan 50% pada tahun pengeluaran
2. Bus/Minibus untuk Antar Jemput Karyawan
a. Cost (termasuk perbaikan besar) diakui 100%, disusutkan
sebagai aktiva Kelompok II
b. Pemeliharaan rutin dibebankan seluruhnya pada tahun
pengeluaran
3. Sedan/Sejenisnya untuk Pegawai dengan Jabatan/Pekerjaan
Tertentu
a. Cost (termasuk perbaikan besar) diakui 50%, disusutkan
sebagai aktiva Kelompok II
b. Pemeliharaan rutin dibebankan 50% pada tahun
pengeluaran
DEDUCTIBLE EXPENSES :
PENYUSUTAN
 Infomasi penting untuk menghitung
penyusutan berdasarkan pajak adalah:
 Penyusutan dalam peraturan perpajakan
ditentukan berdasarkan tarif sesuai dengan
metode penyusutan yang di pilih
 Tarif penyusutan berdasarkan pengelompokkan
barang yang diatur dalam peraturan perpajakan.
 Penyusutan dengan menggunakan saldo
menurun, nilai sisa pada akhir masa masa
manfaat harus disusutkan sekaligus.
 Penyusutan dimulai pada bulan saat barang
tersebut siap untuk di pakai.
TARIF & METODE PENYUSUTAN
Contoh Menghitung Biaya
Penyusutan

Harga Perolehan 100,000,000


Tahun Tarif Penyusutan Akumulasi
Penyusutan Penyusutan Per Tahun Penyusutan
2009 25% 12,500,000 12,500,000
2010 25% 25,000,000 37,500,000
2011 25% 25,000,000 62,500,000
2012 25% 25,000,000 87,500,000
2013 25% 12,500,000 100,000,000
Total 100,000,000
KOMPENSASI KERUGIAN
 Kerugian Fiskal muncul apabila Beban
Fiskal lebih besar daripada Penghasilan
Fiskal
 Kerugian Fiskal dapat dikompensasikan
mulai tahun pajak berikutnya berturut-
turut sampai 5 tahun
 Tidak boleh digabung dengan kerugian
fiskal tahun berikutnya.
KOMPENSASI KERUGIAN
 PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian
fiskal sebesar Rp. 1.200.000.000 (satu
miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5
tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A
sebagai berikut:
 2010 : laba fiskal Rp. 200.000.000
 2011 : rugi fiskal Rp.(300.000.000)
 2012 : laba fiskal Rp. Nihil
 2013 : laba fiskal Rp. 100.000.000
 2014 : laba fiskal Rp. 800.000.000
KOMPENSASI KERUGIAN
LATIHAN KOMPENSASI KERUGIAN

2009. Rugi Fiskal Rp 1. 200.000


2010. Laba Fiskal Rp 200.000
2011. Rugi Fiskal Rp 300.000
2012. NIHIL
2013. Laba Fiskal Rp 100.000
2014. Laba Fiskal Rp 800.000
2015. Laba Fiskal Rp 75.000
2016. Laba Fiskal Rp 200.000
2017. Laba Fiskal Rp 500.000
2009 Rugi Fiskal Rp 1.200.000
2010 Laba Fiskal Rp 200.000
Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 1.000.000

2011 Rugi Fiskal Rp 300.000


Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 1.000.000
Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 300.000

2012 NIHIL
Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 1.000.000
Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 300.000
2013 Laba Fiskal Rp 100.000
Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 900.000
Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 300.000

2014 Laba Fiskal Rp 800.000


Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 100.000
(habis masa kompensasinya)
Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 300.000

2015 Laba Fiskal Rp 75.000


Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 225.000
2016 Laba Fiskal Rp 200.000
Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 25.000
(habis masa kompensasinya)

2017 Laba Fiskal Rp 500.000


Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Pengurang Penghasilan Untuk WP Orang Pribadi

 Besaran atau nominal


Rp 15.840.000 bagi diri WP
Rp 1.320.000 tambahan bagi WP yang kawin
Rp 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang
penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami
Rp 1.320.000 tambahan untuk setiap anggota
keluarga yang menjadi tanggungan,
maksimum 3

 Mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2009


Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Peraturan Menteri Keuangan No. 162/PMK.011/2012

 besaran atau nominal


Rp24.300.000,00 bagi diri WP
Rp2.025.000,00 tambahan bagi WP yang kawin
Rp24.300.000,00 tambahan untuk seorang istri
yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami
Rp2.025.000,00 tambahan untuk setiap anggota
keluarga yang menjadi tanggungan

 mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2013


TANGGUNGAN
 setiap anggota keluarga
 keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus
 serta anak angkat
 yang menjadi tanggungan sepenuhnya (tidak
memiliki penghasilan)
 paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
HUBUNGAN KELUARGA

WAJIB
PAJAK

SEDARAH SEMENDA

LURUS:
KE SAMPING:
ORANGTUA LURUS:
SAUDARA KE SAMPING:
ANAK MERTUA,
(KAKAK IPAR
KANDUNG ANAK TIRI
& ADIK)
ISTILAH DALAM PTKP

 TK/0 : tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan


 TK/1 : tidak kawin dan mempunyai satu tanggungan
 TK/2 : tidak kawin dan mempunyai dua tanggungan
 K/1 : kawin dan mempunyai satu tanggungan
 K/2 : kawin dan mempunyai dua tanggungan
 K/3 : kawin dan mempunyai tiga tanggungan
 K/I/1: kawin, isteri mempunyai penghasilan yang
digabung dengan penghasilan suami dan mempunyai
1 tanggungan
 PH : wajib pajak kawin dan pisah harta dan
penghasilan
 HB : wajib pajak kawin yang telah hidup berpisah
ditambah banyak tanggungan yang mendapatkan
pengurangan PTKP
NON DEDUCTIBLE EXPENSES

1. pembagian laba dengan nama dan dalam


bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan
untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
3. pembentukan atau pemupukan dana
cadangan
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang
dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan;
5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
6. jumlah yang melebihi kewajaran yang
dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan;
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
dan warisan huruf i sampai dengan huruf m serta
zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
8. Pajak Penghasilan;
9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya;
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham;
11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan
di bidang perpajakan.
12. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
melalui penyusutan atau amortisasi
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
2. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final
3. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
4. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi
penghasilan
5. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki
dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak.
Penggabungan Penghasilan Untuk
Keluarga – Pasal 8
 berdasarkan Undang-Undang PPh
menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan
ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian
dari seluruh anggota keluarga digabungkan
sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh
kepala keluarga.
Pemenuhan kewajiban pajak
tersebut dilakukan secara terpisah

 Penghasilan isteri diperoleh semata-


mata dari satu pemberi kerja dan
 Penghasilan isteri tersebut berasal
dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha atau
pekerjaan bebas suami atau anggota
keluarga lainnya.
Penghitungan pajaknya dilakukan
secara proposional
 suami-isteri telah hidup berpisah
berdasarkan putusan hakim;
 dikehendaki secara tertulis oleh
suami-isteri berdasarkan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan;
atau
 dikehendaki oleh isteri yang memilih
untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri.
Penghasilan Anak Yang Belum
Dewasa
 penghasilan anak yang belum dewasa dari
mana pun sumber penghasilannya dan apa
pun sifat pekerjaannya digabung dengan
penghasilan orang tuanya dalam tahun
pajak yang sama.
 Yang dimaksud dengan “anak yang belum
dewasa” adalah anak yang belum berumur
18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah.
Definisi Penghasilan Kena Pajak
 Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar
penghitungan untuk menentukan besarnya
Pajak Penghasilan yang terutang
 Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada
dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak, yaitu penghitungan dengan cara
biasa dan penghitungan dengan
menggunakan Norma Penghitungan.
PPH TERUTANG
 PPH TERUTANG = TARIF PPH X
PENGHASILAN KENA PAJAK
 UNTUK WP ORANG PRIBADI
 PENGHASILAN KENA PAJAK =
PENGHASILAN NETTO - PTKP
 UNTUK WP BADAN
 PENGHASILAN KENA PAJAK =
PENGHASILAN NETTO
PENGHASILAN NETTO

 PENGHASILAN NETTO WP OP
 PEMBUKUAN
 NORMA PERHITUNGAN
 PENGHASILAN NETTO WP BADAN:
 PEMBUKUAN
NORMA PERHITUNGAN
 Hanya untuk WP Orang Pribadi
 Peredaran bruto dalam satu tahun <
Rp 4,8 milyar
 Memberitahukan kepada DJP dalam 3
bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan
 Wajib menyelenggarakan pencatatan
CONTOH : PENGGUNAAN NORMA

Seorang dokter, status kawin, istri tidak bekerja/tidak


memiliki penghasilan, mempunyai 3 (tiga) orang anak,
bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri
rotan di Cirebon.

Norma perhitungan penghasilan netto industri rotan (kode


33100) adalah 12,5% dan untuk dokter (kode 93213)
sebesar 45%

Penghasilan selama tahun 2009:


- Peredaran usaha dari Industri Rotan : Rp. 200.000.000
- Penerimaan bruto sebagai dokter : Rp. 72.000.000
Penghasilan neto dihitung sebagai berikut :
- Industri rotan : 12,5%XRp. 200.000.000 : Rp.25.000.000
- Dokter : 45%XRp. 72.000.000: Rp.32.400.000
Jumlah Penghasilan Neto Rp.57.400.000

Penghasilan Kena Pajak untuk WP Orang Pribadi


= Penghasilan Neto dikurangi PTKP
= Rp. 57.400.000 - Rp. 21.120.000
= Rp. 36.280.000

Pajak penghasilan yang terutang :


5% X Rp. 36.280.000 = Rp. 1.814.000
Contoh Perhitungan PKP untuk WP Orang
Pribadi yang Menyelenggarakan
Pembukuan

Biaya untuk mendapatkan, menagih,


dan memelihara penghasilan Rp (5,400,000,000)
Laba Usaha (Penghasilan Neto Usaha) Rp 600,000,000
Penghasilan lainnya Rp 50,000,000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan lainnya Rp (30,000,000)
Rp 20,000,000
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 620,000,000
Kompensasi kerugian Rp (10,000,000)
Penghasilan neto setelah kompensasi kerugian Rp 610,000,000
PTKP (K/2) Rp (19,800,000)
Penghasilan Kena Pajak bagi WP Orang Pribadi Rp 590,200,000
Contoh Perhitungan PKP untuk WP Badan
(Harus Menyelenggarakan Pembukuan)

Peredaran Bruto Rp 6,000,000,000


Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan Rp (5,400,000,000)
Laba Usaha (Penghasilan Neto Usaha) Rp 600,000,000
Penghasilan lainnya Rp 50,000,000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan lainnya Rp (30,000,000)
Rp 20,000,000
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 620,000,000
Kompensasi kerugian Rp (10,000,000)
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan Rp 610,000,000
TARIF PPH
Pasal 17 UU No. 36/2008 tentang PPh

WP Orang Pribadi

Lapisan Penghasilan Kena Pajak


Tarif PPh
(dalam Rupiah)
sampai dengan 50.000.000 5%
50.000.000 - 250.000.000 15%
250.000.000 - 500.000.000 25%
di atas 500.000.000 30%
TARIF PPH
Pasal 17 UU No. 36/2008 tentang PPh

WP Badan

Lapisan Penghasilan Kena Pajak


Tarif PPh
(dalam Rupiah)
Untuk semua penghasilan kena pajak 25%

1. Tarif ini ditetapkan sebesar 28% dan


berubah menjadi 25% sejak tahun pajak 2010
2. Bagi WP yang telah go public dengan minimal 40% saham
Dimiliki masyarakat diberikan pengurangan 5%
CONTOH PENERAPAN TARIF

1. WP A (ORANG PRIBADI) PENGHASILAN KENA PAJAK


Rp 600.000.000.
PAJAK PENGHASILAN TERUTANG :
- s/d Rp 50.000.000.- 5% = Rp 2.500.000.-
- Rp 200.000.000.- 15% = Rp 30.000.000.
- Rp 250.000.000.- 25% = Rp 62.500.000.-
- Rp 100.000.000.- 30% = Rp 30.000.000.-
JU M L A H = Rp 125.000.000.

2. WAJIB PAJAK BADAN :


PT ANTARIKSA, PENGHASILAN NETO 2009 = Rp 1.250.000.000.
PPh Terutang 28% x Rp 1.250.000.000 = Rp 350.000.000.

PT ANTARIKSA, PENGHASILAN NETO 2010 = Rp 1.250.000.000.


PPh Terutang 25% x Rp 1.250.000.000 = Rp 312.500.000.
Hubungan Istimewa – Pasal 18
 Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung
atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh
lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau
lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau
lebih yang disebut terakhir.
 Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua
atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan
yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau
 terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun
semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke
samping satu derajat.
Kepemilikan
 WP memiliki 25% atau lebih WP lain,
baik langsung maupun tidak langsung
HUBUNGAN A & B:
KEPEMILIKAN LANGSUNG
25% A
60% HUBUNGAN A & C:
KEPEMILIKAN
TIDAK LANGSUNG
D B
50% A-B-C-D:
HUBUNGAN ISTIMEWA

C
HUBUNGAN KELUARGA

WAJIB
BEDAKAN DENGAN PAJAK
KETENTUAN UNTUK
TANGGUNGAN

SEDARAH SEMENDA

LURUS:
KE SAMPING:
ORANGTUA LURUS:
SAUDARA KE SAMPING:
ANAK MERTUA,
(KAKAK IPAR
KANDUNG ANAK TIRI
& ADIK)
Penguasaan Manajemen
 WP menguasai WP lainnya atau dua/lebih
pengusaha.
 Terjadi karena penguasaan manajemen atau
teknologi, kendati tidak ada hubungan
kepemilikan
Pajak Penghasilan Kurang Bayar
/Lebih Bayar Untuk WPOP
Pajak Penghasilan Kurang/Lebih
Bayar Untuk WP OP dengan Norma
Pajak Penghasilan Kurang/Lebih
Bayar Untuk WP Badan
JENIS-JENIS PEMBAYARAN PPh YANG DAPAT
DIKREDITKAN BAGI WPDN/BUT

a. Pasal 21 PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN


DARI PEKERJAAN,JASA, DAN KEGIATAN LAIN

PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGHASILAN


b. Pasal 22 DARI KEGIATAN DIBIDANG IMPOR ATAU KE
GIATAN USAHA DIBIDANG LAINNYA

PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN


c. Pasal 23 BERUPA DEVIDEN, BUNGA, SEWA, ROYALTY,
HADIAH, DAN PENGHARGAAN & IMBALAN
JASA LAINNYA .

d.Pasal 24 PAJAK YG DIBAYAR ATAU TERUTANG ATAS


PENGHASILAN DARI LN YG BLH DIKREDITKAN

e. Pasal 25 PEMBAYARAN YG DILAKUKAN WP SENDIRI.

PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN


f. Pasal 26 YANG TIDAK BERSIFAT FINAL
Ayat (5)
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA,
TIDAK BOLEH DENDA DAN KENAIKAN PAJAK
DIKREDITKAN

PASAL 28 Ayat (1) dan (2)


Fasilitas Pengurangan Tarif
Pajak – Pasal 31E
 Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009
sebesar Rp. 4,5 Milyar dengan Penghasilan Kena
Pajak sebesar Rp. 500 juta.
 Karena peredaran bruto kurang dari Rp. 4,8 Milyar,
sehingga tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan
Kena Pajak tersebut adalah 50% dari tarif Pajak
Penghasilan yang berlaku.
 Perhitungan PPh terhutang adalah:

Penghasilan Kena Pajak Rp 500,000,000


Tarif PPh yang berlaku 25% x 50%
PPh terhutang Rp62,500,000
Fasilitas Pengurangan Tarif
Pajak
 Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak
2009 sebesar Rp.30 Milyar dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 3
Milyar.
 Karena peredaran bruto PT X lebih dari Rp.
4,8 Milyar, maka yang mendapatkan
fasilitas pengurang tarif dihitung secara
proposional.
 Perhitungan PPh terhutang adalah:
Fasilitas Pengurangan Tarif
Pajak

1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak


dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas
Rp. 4.800.000.000 x Rp. 3.000.000.000 = Rp. 480.000.000
Rp. 30.000.000.000
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak
dari bagian peredaran bruto yang
tidak memperoleh fasilitas
Rp. 3.000.000.000 - Rp. 480.000.000 = Rp. 2.520.000.000
PPh terhutang adalah:
1. (50% x 25%) x Rp. 480.000.000 = Rp 60,000,000
2. 25% x Rp. 2.520.000.000 = Rp 630,000,000
Total PPh terhutang Rp 690,000,000
Penghitungan PPh Terutang – Orang Pribadi

Penghasilan Neto dari Pekerjaan


Penghasilan Neto dari Usaha atau Pekerjaan Bebas (Laba
Usaha)
Penghasilan dari Modal/Investasi
Penghasilan Lain-lain
Penghasilan Neto
(Kompensasi Rugi)
Penghasilan Neto setelah Kompensasi Rugi
(PTKP)
Penghasilan Kena Pajak (PKP)

PPh Terutang = Tarif PPh x PKP


Penghitungan PPh Terutang – Badan

Penghasilan Neto dari Usaha (Laba Usaha)


Penghasilan dari Modal/Investasi
Penghasilan Lain-lain
Penghasilan Neto
(Kompensasi Rugi)
Penghasilan Kena Pajak (PKP)

PPh Terutang = Tarif PPh x PKP


Penghitungan PPh pada Akhir Tahun
 PPh Terutang
dikurangi: Kredit Pajak I
(PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain)
 PPh yang Masih Harus Dibayar Sendiri
dikurangi: Kredit Pajak II (PPh yang dibayar
sendiri)
 PPh yang Kurang atau Lebih Dibayar

Anda mungkin juga menyukai