• Abdan izza
• Affan rafli A.
• Muhammad Fadhil R.
DEFINISI JUAL BELI
Secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar
menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak
kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan
akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Adapun jual beli adalah merealisasikan keinginan
seseorang yang terkadang tidak mampu
diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu
untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya,
karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat
terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya
Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang
berasal dari A;-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).
Dalil Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman,
ُ َ َوأ َح َّل ه
ََِّاَّلل ْال َب ْي َع َو َح َّ َََّ بال
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi
1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh
Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan
syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi
tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal.
24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap
perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau.
(HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang
terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan
semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena
mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah
pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil
yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.”
(HR. Muslim: 1513)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang
ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ َ ُ َ َّ َ َّ ٌ ْ َ ا ْ َ َ ْ َ َ ْ ُ ُّ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ُ ْ ُ ْ
يه عيب ِإال بينه له ِ يه بيع ِفِ المس ِلم أخو المس ِل ِم ال ي ِحل ِلمس ِل ٍم ب ع ِمن أ ِخ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang
muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama
muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah
nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin
‘Ied Al Hilali)
SYARAT SAH JUAL BELI
Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba
Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba, anggapan
mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil keuntungan
yang sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli dan
riba?!. Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala
berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.
Al-Baqarah: 275)
Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama.
Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai
kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai
dengan harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali
supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu
ia belum punya uang tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin,
“Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit sebesar 200 juta dengan
pelunasan sampai dua tahun ke depan”. Sebulan setelah itu, si
empunya tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah
itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.”
Artinya di sini, si pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin
meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah
hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin
dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena
“setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan
penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik
dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana
dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau
hanya melihat dari akad secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya
rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli
‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan
Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang.
Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit harus melihat beberapa
kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.
Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita
contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil
tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika
mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan
pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di
muka dan sisanya dibayarkan di belakang.
Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi
milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu
si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang
tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada
bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya
adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan
membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual
beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak,
walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika
ada keterlambatan angsuran.
Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka
akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli
sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya
belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ُ َ ْ َ ْ َ ََّ ْ َ َ َ َ ا َ َ َ ْ ُ َ ى
م ِن ابت ع طع م فًل ي ِبعه حَّ َستو ِفيه
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia
menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu
‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu
hukumnya sama dengan bahan makanan.”